• Tidak ada hasil yang ditemukan

TIDAK ADA BAB 5 BAB I. Pendahuluan. I.1. Permasalahan I.1.1. Latar Belakang Permasalahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TIDAK ADA BAB 5 BAB I. Pendahuluan. I.1. Permasalahan I.1.1. Latar Belakang Permasalahan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

Pendahuluan

I.1. Permasalahan

I.1.1. Latar Belakang Permasalahan

Gereja Kristen Sumba (selanjutnya disingkat GKS) Waikabubak adalah sebuah gereja yang berada di pusat kota kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Gereja ini merupakan Gereja pertama yang berdiri di Waikabubak ibu kota kabupaten Sumba Barat. Dengan berdirinya gereja ini, membuka penginjilan di daerah Sumba Barat, sehingga hampir seluruh masyarakat dari kepercayaan setempat menjadi anggota gereja. Dengan demikian, gereja ini menjadi gereja dengan pelayanan yang luas dan besar, karena memiliki anggota jemaat lebih

dari 1000 jiwa di gereja induk saja.1 Sampai saat ini GKS Waikabubak memiliki sembilan

gereja Cabang dan tiga Pos Pekabaran Injil (mirip dengan cabang, namun dengan jumlah warga lebih sedikit). Saat ini GKS Waikabubak memiliki lima orang pendeta jemaat dan dua orang guru Injil. Hadirnya gereja di Waikabubak diiringi juga sebuah usaha Pendidikan Kristiani bagi anak-anak setempat, khususnya Sekolah Minggu. Pada akhirnya perkembangan Sekolah Minggu pun menjadi bagian dari pertumbuhan gereja. Sekolah Minggu pun hadir untuk melayani anak-anak dan merupakan bagian dari jemaat dan tubuh Kristus.

Pada umumnya setiap Sekolah Minggu harus memiliki Guru Sekolah Minggu (selanjutnya GSM) lebih dari satu orang, untuk menunjang keefektivan dalam kegiatan Sekolah Minggu. Namun pada kenyataannya perkembangan Sekolah Minggu di GKS Waikabubak mengalami kelesuan dalam melayani. Hal ini didasari dengan sedikitnya jumlah Guru Sekolah Minggu dibandingkan dengan jumlah Sekolah Minggu yang ada. Sekolah Minggu di GKS Waikabubak berjumlah 17 (tujuh belas) buah Sekolah Minggu (sudah termasuk Sekolah Minggu yang berada di Cabang dan Pos PI), namun hanya memiliki 32 (tiga puluh dua) orang Guru Sekolah Minggu. Untuk sebuah kelas Sekolah Minggu yang efektif, setiap delapan orang anak seharusnya didampingi oleh oleh satu orang GSM. Hal ini mengakibatkan sebuah pertanyaan (baca: pergumulan) bagi penyusun, bagaimana mungkin

1

Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Pdt. E. N. Bora, S.Si selaku pendeta jemaat pada tanggal 9 Meii 2014, pukul 15.00 WIB. Sejauh ini GKS Waikabubak tidak memiliki data tertulis tentang jumlah warga jemaat yang bisa menjadi acuan yang pasti.

(2)

2

gereja yang memiliki jemaat dalam jumlah besar, bahkan gereja yang lembaganya didewasa cukup lama ini (dewasa tahun 1937), bisa kekurangan pelayan Sekolah Minggu! Lalu dimana peran serta gereja dalam memperjuangkan Pendidikan Kristiani bagi anak-anak melalui Sekolah Minggu? Mungkin pertanyaan ini membutuhkan penelitian yang lebih jauh untuk menjawabnya, namun yang jelas setiap situasi pastilah ada alasan dibaliknya dan alasan itu adalah sejarah. Maka perlulah gereja, bahkan warga gereja pada umumnya untuk mau melihat sejarah dan belajar darinya.

Sebenarnya pada masa 1960-1980-an GKS Waikabubak telah memiliki Sekolah Minggu.2

Dan pada awalnya Guru Sekolah Minggu (selanjutnya GSM) berasal dari jemaat wanita (ibu-ibu) yang juga memiliki profesi sebagai guru. Bahkan pada tahun 1972 sinode GKS juga berperan dalam upaya membangkitkan semangat Sekolah Minggu di Waikabubak. Hal itu dilakukan dengan cara mengutus seorang pekerja wanita gereja bernama Kaba Djaga untuk studi di Magelang sebelum melayani di GKS Waikabubak. Maka sekembalinya Djaga dari Jawa, ia dipekerjakan di Yayasan untuk Menyelenggarakan Rumah Sakit Kristen (YUMERKRIS) sebagai konselor, selain membantu pelayanan di GKS Waikabubak. Pada akhirnya Ia pun mendapat tugas pelayanan bidang Sekolah Minggu, karena pendeta jemaat sendiri lebih memfokus diri pada Jemaat dewasa. Maka pada saat itu pelayanan Sekolah Minggu berjalan baik, bahkan selalu ada persiapan bagi para pengajar sebalum mengajar di Sekolah Minggu.

Pada perkembangannya, Sekolah Minggu juga hadir di setiap sekolah yang berada di bawah naungan YAPMAS (Yayasan Persekolahan Masehi di Sumba), yang bergerak di bidang pendidikan dan memiliki sekolah dari tingkat SD sampai SMU. YAPMAS juga berada di

bawah naungan Sinode GKS.3 Tujuan hadirnya Sekolah Minggu di sekolah milik YAPMAS

adalah untuk menunjukkan ciri khas dari sekolah Kristen dan agar lebih mudah memobilisasi anak-anak untuk hadir dalam Sekolah Minggu. Sehingga pada saat itu, di SD Masehi Wakabubak 1 (selanjutnya SDM) hadirlah Sekolah Minggu. Salah satu GSM-nya adalah Kaba Djaga, selain juga guru-guru SD setempat dan anggota Persekutuan Wanita (PW) GKS Waikabubak.

Berbeda lagi dengan periode tahun 1960-1980, memasuki tahun 1980-an Sekolah Minggu di Waikabubak mulai mengalami kemunduran. Dimana banyak Sekolah Minggu yang berada

2

Wawancara dengan ibu D (selaku guru Sekolah Minggu dan pendamping Sekolah Minggu di GKS Waikabubak sejak tahun 1972-1992) 4 juli 2014, pukul 10.00-11.26 WITA.

3 Garis-Garis Besar Kebijakan Umum Gereja Kristen Sumba tahun 2010-2014. h. 4

(3)

3

di setiap wilayah mulai berkurang bahkan ada wilayah yang Sekolah Minggu-nya berhenti dikarenakan kurangnya tenaga pengajar. Namun di sisi lain, beberapa SD Negeri juga mulai mendirikan Sekolah Minggu. Seperti yang terjadi di SDN Dedekadu dan SDN Kabalibedu (sekarang berganti nama Sekolah Minggu Bukit Sion). Berdirinya Sekolah Minggu di SD-SD seringkali diprakarsai oleh anggota-anggota Persekutuan Wanita. Berawal dari keprihatinan karena Sekolah Minggu tidak memiliki gedung untuk mengajar, maka mereka pun berupaya dengan meminjam ruang kelas SD-SD, yang pada akhirnya menetap dan berdirilah Sekolah Minggu di sekolah-sekolah Dasar. Dengan hadirnya Sekolah Minggu di sekolah-sekolah, secara otomatis para murid lebih tertarik untuk mengikuti Sekolah Minggu di sekolah masing-masing. Sehingga pada akhir tahun 1980-an, Sekolah Minggu menjadi terpusat di sekolah-sekolah.

Memasuki dekade 1990-an, Sekolah Minggu disetiap kelurahan sudah tidak berjalan.4

Sekolah Minggu telah berpusat pada SDN dan SDM. Penyebab pengalihan Sekolah Minggu karena sebagian pengajar juga merupakan guru SD. Namun pada periode inilah gereja mulai menunjukan perhatiannya kepada Pendidikan Kristiani bagi anak, khususnya pada Sekolah Minggu. Gereja membentuk komisi anak yang mengkoordinir Sekolah Minggu di seluruh GKS Waikabubak, baik cabang maupun pos PI. Sayangnya dalam periode ini juga Kaba Djaga memasuki masa pensiunnya (tepatnya tahun 1992), yang mangharuskannya untuk meninggalkan pelayanannya di Sekolah Minggu. Hal ini berakibat perkembangan Sekolah Minggu tidak terkontrol dengan baik.

Melalui Komisi Anak, Gereja menunjukan perhatiannya dengan cara mengadakan bahan ajar yang didatangkan dari PGI. Namun ini juga tidak berlangsung lama (disamping PGI sendiri sudah tidak menerbitkan lagi bahan ajar Sekolah Minggu), sehingga memaksa para GSM untuk menyediakan bahan ajar sendiri. Pada pertengahan tahun 1990-an, salah satu program komisi anak yaitu memberikan insentif pada GSM yang aktif mengajar. Sayangnya, perkembangan ini hanya sebatas pemberian insentif, gereja tidak mengambil bagian lebih dari itu. Selain itu, gereja juga tidak melakukan sistem kontrol terhadap berjalannya Sekolah Minggu selama itu. Pada masa ini juga, jumlah kehadiran anak yang semakin banyak, sehingga kelas dibagi menjadi dua kategori usia. Mulai dengan usia balita sampai kelas 2 SD dan kelas 3 sampai kelas 6 SD. Pembagian kelas ini terlaksana jika pengajarnya lebih dari satu orang.

4

Wawancara dengan Bapak C (pendeta jemaat di GKS Waikabubak periode 1991-2005) tanggal 2 juli 2014 pukul 19.10-20.00 WITA

(4)

4

Dalam periode ini pula, peran GSM yang berlatar belakang sebagai guru SD semakin berkurang. Hal ini dikarenakan kesibukannya sebagai guru SD dengan jam mengajar yang padat, serta kegiatan-kegiatan di sekolah yang menyita waktu. Maka pada akhirnya GSM bukan lagi berlatar guru SD melainkan siapa saja anggota jemaat yang memiliki kerinduan mengajar. Sekolah Minggu juga sempat terhenti atau pindah gedung karena masalah dengan sekolah. Awalnya kehadiran Sekolah Minggu menjadi bagian sekolah. Namun pada perjalanannya menjadi tidak begitu jelas antara gereja maupun sekolah. Tantangannya adalah, terkadang inventaris sekolah rusak karena dirusak oleh anak Sekolah Minggu, sehingga sekolah juga tidak ingin gedungnya digunakan untuk Sekolah Minggu, sedangkan gereja tidak memiliki gedung Sekolah Minggu.

Sedangkan pada periode tahun 2000-2014,5 diawali pada tahun 2003 GKS Waikabubak

telah selesai melakukan renovasi gereja, sehingga gereja memiliki gedung aula yang dapat digunakan Sekolah Minggu. Seiring dengan tersedianya gedung, maka Sekolah Minggu yang dahulunya berada di SDM Waikabubak I dipindahkan ke gedung aula dan menjadi Sekolah Minggu GKS Waikabubak. Sekalipun di gereja telah diadakan Sekolah Minggu, Sekolah Minggu yang berada di SDN Dedekadu dan SDN Kabalibedu masih tetap berjalan dan gereja juga tetap menunjang uang insentif kepada setiap GSM (Rp 500.000,00 perbulan). Seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa sampai saat ini (tahun 2014) Sekolah Minggu di GKS Waikabubak memiliki 17 (tujuh belas) tempat Sekolah Minggu dan hanya memiliki 32 (tiga puluh dua) GSM, bukanlah hal yang ideal untuk menjadikan Sekolah Minggu yang berkualitas. Namun di sini, peran Komisi Anak sudah semakin baik. Mereka merancangkan persiapan mengajar Sekolah Minggu bagi para GSM pada setiap bulannya dan juga mendatangkan bahan ajar yang diterbitkan GKI (Gereja Kristen Indonesia) Jawa Tengah, Sahabat Anak, demi meningkatkan kemampuan mengajar para GSM. Meskipun pada kenyataannya beberapa dari GSM hanya lulusan SD atau SMP saja,

tetapi mereka memiliki kerinduan untuk melayani.6

Melihat sejarah perkembangan Sekolah Minggu GKS Waikabubak, menarik bahwa banyak Sekolah Minggu yang tumbuh karena kerinduan jemaat mendirikannya ditambah dengan kemudahan dari sekolah-sekolah, baik SDM Waikabubak 1, SDN Kabalibedu dan SDN Dedekadu, yang juga menyediakan tempat bagi terlaksananya Sekolah Minggu. Bahkan,

5

Wawancara dengan Ibu B (selaku pengurus komisi anak GKS Waikabubak) tanggal 1 juli pukul 17.12-19.00 WITA

6

Pengamatan pada tanggal 27 Juli pukul 12.00-15.00 WITA (dengan agenda evaluasi kegiatan Pesta Iman Anak pada tanggal - 5 juli, persiapan mengajar untuk 4 Minggu ke depan dan pembagian insentif).

(5)

5

semakin hari seiring dengan Pekabaran Injil yang dilakukan, Sekolah Minggu hadir di desa-desa. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan Sekolah Minggu mengenai kuantitas cukup pesat. Dalam sejarah Sekolah Minggu menunjukkan bahwa GKS Waikabubak memiliki jemaat yang peduli akan perkembangan iman anak sekalipun belum memiliki bekal secara profesional dalam menerapkan pelajaran sesuai dengan kurikulum. Kendati demikian, gereja kurang merespon semangat yang tumbuh di dalam jemaat, sehingga pada tahun-tahun terakhir, hanya beberapa Sekolah Minggu yang bertahan. Padahal, gereja pernah memiliki tenaga kompeten sebelumnya untuk mengurus Sekolah Minggu secara khusus. Namun hal ini tidak diteruskan. Secara tidak langsung hal ini mengindikasikan bahwa gereja seolah-olah kurang peduli dengan Pendidikan Kristiani bagi anak. Sehingga dengan merasa bahwa Sekolah Minggu ada dan berjalan itu merupakan hal yang cukup. Padahal perlu juga gereja melakukan evaluasi sejauh mana perkembangan iman, apa yang terjadi dan dilakukan. Karena gereja tidak dapat memungkiri bahwa anak-anak adalah adalah gereja seutuhnya, mereka berada dalam masa kini dan masa depan gereja. Sedangkan jemaat yang mula-mula aktif dalam proses berdirinya Sekolah Minggu semakin hari semakin sedikit yang berpartisipasi. Ini terlihat dari jumlah Sekolah Minggu yang ada sebanyak tujuh belas Sekolah Minggu sedangkan jumlah GSM hanya tiga puluh dua orang. Dengan kata lain tidak semua Sekolah Minggu memiliki dua orang GSM. Hal ini menunjukkan bahwa gereja kurang sepenuh hati dalam mengelola Sekolah Minggunya, bahkan gereja terkesan hanya memberikan uang insentif kepada GSM, tanpa perduli perkembangan dan berjalannya Sekolah Minggu.

Apa yang terjadi pada Sekolah Minggu di GKS Waikabubak, baik yang berada di SD-SD maupun yang berada di gereja, satu sisi dapat dilihat sebagai kemajuan dan di sisi lain sebagai sebuah kemunduran. Kemajuan karena gereja makin luas dengan makin banyak Sekolah Minggu yang tumbuh. Ini didukung oleh keberadaan GKS yang merupakan gereja wilayah yang hadir pertama di Pulau Sumba, sehingga GKS memiliki teritorial yang besar sebagai tempat berkembangnya gereja serta Sekolah Minggu. Kemunduran dari sisi pengelolaan Sekolah Minggu. Semakin banyak Sekolah Minggu yang muncul maka semakin besar tanggung jawab Komisi Anak karena seluruh kepengurusan Sekolah Minggu tidak ditangani mandiri oleh lembaga tempat Sekolah Minggu berdiri, baik sekolah, gereja cabang maupun ranting. Pengelolaan secara langsung oleh gereja tidak kelihatan, sedangkan partisipasi atau keterlibatan jemaat juga semakin berkurang.

(6)

6

Jika membandingkan semangat awal berdirinya Sekolah Minggu di GKS Waikabubak dengan sejarah berdirinya Sekolah Minggu di Dunia belahan Barat, kita akan menyadari bahwa kaum awam memberikan sumbangsih yang sangat besar. Lihat saja salah satu tokoh, yaitu Robert Raikes (1735-1811) yang mendirikan Sekolah Minggu atas dasar keprihatinan terhadap anak-anak miskin. Anak-anak tersebut merupakan korban revolusi industri, sehingga mereka menjadi budak. Anak-anak ini, bekerja dari Senin sampai Sabtu dan pada hari Minggu, mereka menghabiskan waktu untuk bermain di jalan. Kebiasaan ini membentuk karakter mereka menjadi anak yang nakal. Melihat konteks saat itu, Raikes yang sebelumnya juga memperhatikan orang miskin mulai mendirikan sekolah percobaan bagi anak-anak tersebut. Dalam Sekolah Minggu ini mereka belajar membaca, beribadah, dan menghafalkan katekismus. Raikes sendiri yang mencarikan guru bagi anak-anak tersebut serta membayarkan gaji guru-guru tersebut. Hal ini menunjukan bahwa meskipun klaim bahwa Raikes adalah pendiri Sekolah Minggu namun ia sendiri tidak terjun secara langsung

dalam pengajaran bagi naradidiknya.7

Sekolah Minggu yang didirikan oleh Raikes, kemudian dibantu oleh Thomas Stock seorang pendeta di Saint John the Baptis. Mereka bekerja sama mendirikan Sekolah Minggu, meskipun pada awalnya pemahaman Sekolah Minggu yang didirikan oleh Raikes tidak memiliki kesamaan dengan Sekolah Minggu saat ini. Dinamakan Sekolah Minggu, karena pendidikan yang dilakukan Raikes dilaksanakan pada hari Minggu. Pendidikan yang diterima dalam sekolah tersebut pertama-tama adalah pendidikan akademis, kemudian pelajaran katekismus. Ini menunjukkan bahwa sebelumnya dalam konteks Raikes belum ada pemisahan antara sekolah formal dan Sekolah Minggu bagi para buruh karena mengkuatirkan jika mereka menjadi terdidik dan melawan para pengusaha Inggris serta, saat itu belum ada pendidikan bagi kaum miskin atau buruh. Tetapi tujuannya jelas agar anak-anak pada masa itu memiliki ahlak yang baik. Pada perkembangannya Sekolah Minggu Raikes ini bekerjasama dengan gereja yaitu pendeta Stock untuk membangun Sekolah

Minggu, bahkan menggaji Guru Sekolah Minggu.8 Kerja sama yang baik ini membuat

perkembangan pendidikan anak baik secara akademis maupun iman berjalan bersamaan menjawab konteks masyarakat saat itu.

7

Robert R Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, Jilid II. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), h.383-385

8 Robert R Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran ..., Jilid II, h. 386

(7)

7

Ketika mendirikan Sekolah Minggu, Raikes tidak menyangka bahwa Sekolah Minggu yang diawali olehnya memiliki pengaruh yang besar. Raikes hanyalah seorang awam yang memiliki keprihatinan terhadap anak-anak saat itu, meskipun seperti yang sudah disinggung di atas bahwa Raikes sendiri tidak mengajar naradidik secara langsung. Sekolah Minggu tidak dimulai dari gereja tetapi justru orang awam, sedangkan keterlibatan orang tua dari anak-anak sendiri hampir tidak ada. Setelah itu barulah gereja campur tangan dan dalam perkembangannya Sekolah Minggu selalu identik dengan gereja. Hal ini mengindikasikan bahwa pentingnya kerja sama yang jelas antara pihak gereja dengan kaum awam yang membangun Sekolah Minggu. Sekolah Minggu yang didirikan Raikes ini, tidak mengklaim tentang kepemilikan tetapi struktur dan pembagian tugas dalam pengajaran sangat diperhatikan. Inilah yang pada akhirnya membuat Sekolah Minggu menjadi berkembang. Hal yang sedikit berbeda tumbuh di Amerika. Sekolah Minggu di Amerika terinspirasi dari Sekolah Minggu yang didirikan oleh Robert Raikes di Inggris namun perbedaannya terletak pada konteks serta pengelolaannya. Pada tahun 1790, tiga orang warga Philadelphia mendirikan Perserikatan Hari Pertama untuk mendidik anak-anak miskin. Pendirinya datang dari berbagai denominasi gereja yang berbeda, mereka menggunakan hari Minggu untuk mengajar, dan ini juga digerakkan oleh keprihatinan yang sama dimana anak-anak menggunakan hari Minggu untuk dengan maksud buruk yang merusak kesusilaan dan mutu hidup. Pada tahun 1816, Joanne Bethune dari kota New York, mendirikan Perserikatan Wanita bagi Kemajuan Sekolah Sabat di New York. Dalam proses ini, Bethune dan para ibu berhasil meyakinkan pentingnya Sekolah Minggu, setelah sebelumnya ditolak oleh orang awam dan pendeta. Sekolah Minggu ini terus berkembang hingga akhirnya memiliki kurikulum sendiri karena memperhatikan konteks Inggris dan Amerika yang berbeda, dimana di Amerika konteksnya, masyarakat tani di kota-kota kecil. Sekolah Minggu di Amerika ini juga bertumbuh menjadi sekolah negri. Sekolah Minggu ini menampung dari semua golongan sosial kecuali para anak dari budak karena banyak orang Amerika takut jika para budak dapat membaca dan menulis akan mengancam sistem perbudakan. Ketika Sekolah Minggu makin menyebar hampir ke seluruh negara bagian, pada tahun 1824 para pemimpin Sekolah Minggu mendirikan American Sunday School Union (Perserikatan Sekolah Minggu Amerika) di kota Philadelphia. Union ini bermaksud untuk mendirikan Sekolah Minggu sampai ke lembah-lembah dengan semboyan, “Melayani lembah” dan ini menangkap perhatian dan daya imajinasi ribuan warga Kristen. Untuk menyokong dana mereka menjual bahan pelajaran seperti membaca, katekismus, nyanyian rohani maupun

(8)

8

cerpen. Saat itu Sekolah Minggu dipandang sebagai gerakan yang memperbaharui dunia. Karena penginjilan bermula dari anak-anak kemudian orang dewasa. Setelah kesuksesan Sekolah Minggu dalam mendidik anak-anak maka peran Sekolah Minggu digantikan dengan

sekolah negeri yang pada akhirnya dibuka.9

Dari ketiga sejarah di atas, ada beberapa pola yang terbentuk. Dalam pengalaman Raikes, seorang awam bekerja sama dengan gereja membangun Sekolah Minggu dan ini berjalan. Di Amerika, Sekolah Minggu menjadi lembaga independen yang membangun Sekolah Minggu, bahkan membentuk Sekolah Minggu yang ekumenes. Bahkan dari Sekolah Minggu, banyak orang dewasa yang bertobat dan mendirikan sebuah gereja. Sedangkan di GKS Waikabubak sendiri dalam sejarahnya Sekolah Minggu tumbuh di antara lingkungan jemaat, dengan peran warga gereja biasa/awam. Tetapi kemudian berkembang di sekolah-sekolah maka partisipasi kaum awam yang dahulunya mengajar di wilayah-wilayah mulai berkurang. Sekalipun terdapat Sekolah Minggu di sekolah-sekolah, namun semuanya tetap berpusat atau bernaung di bawah GKS Waikabubak.

Hal ini menunjukan bahwa yang menjadi masalah dalam Sekolah Minggu GKS Waikabubak, ialah peran kaum awam dewasa ini sudah semakin luntur dalam memperjuangkan Pendidikan Kristiani bagi anak-anak gereja, khususnya dalam Sekolah Minggu. Hal ini diawali dengan berpindah-pindah pengelolaannya, dan bagaimana gereja mengambil alih Sekolah Minggu yang berada diluar gereja menjadi milik gereja tetapi kurang diperhatikan. Dalam hal ini, seakan ada sikap saling menunggu baik antara kaum awam yang mengajar di Sekolah Minggu maupun gereja sebagai lembaga yang menaungi Sekolah Minggu. Padahal jika ditelisik lebih dalam, maka bisa dilihat bahwa gereja sendiri belum mampu secara maksimal mengelola Sekolah Minggu, apalagi menyediakan pengajar bagi Sekolah Minggu (GSM). Akibatnya proses belajar mengajar yang terjadi tidak optimal. Padahal, tidak menutup kemungkinan bahwa banyak orang awam yang memiliki kemauan untuk mengembangkan Sekolah Minggu. Ini dapat dibandingkan dengan bagaimana Paxson seorang tukang kayu dapat mengembangkan Sekolah Minggu di Amerika sehingga berkembang menjadi 1200. Maka hal yang sama mungkin juga terjadi di GKS Waikabubak, keterlibatan kaum awam dalam pembangunan Sekolah Minggu bisa menjadi sebuah sumbangan untuk kemajuan Sekolah Minggu sekalipun tidak harus dalam kuantitas (sama seperti Paxson) melainkan kualitas dan semangat mengembangkan Sekolah Minggu. Yang

9 Robert R Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran ..., Jilid II, h. 400-403

(9)

9

perlu diperhatikan bahwa persekutuan dalam gereja bukan sekedar satu arah dari pendeta ke jemaat, tetapi ada proses “saling”. Dengan demikian, gereja sebagai lembaganya dan jemaat harusnya memiliki hasrat yang sama untuk mengembangkan Sekolah Minggu. Memang dalam hal ini, kaum awam kurang memiliki teologis akademis, namun sisi teologis dapat dibimbing oleh gereja dengan proses belajar mengajar, ketersediaan pengajar, sehingga masalah tanggungjawab bisa terselesaikan.

I.1.2. Rumusan Permasalahan

Dengan mengacu pada latar belakang di atas, maka penyusun mengajukan sebuah pertanyaan dalam skripsi ini, yaitu: “Sejauh mana pengelolaan Sekolah Minggu oleh gereja (sebagai pemilik Sekolah Minggu, dalam konteks GKS Waikabubak) melibatkan jemaat/kaum awam? Untuk menjawab pertanyaan ini maka penyusun merumuskan dalam sebuah pertanyaan:

1. Sejauhmana partisipasi kaum awam dalam Sekolah Minggu di GKS Waikabubak

dibandingkan dengan sejarah Sekolah Minggu di Barat? I.2. Judul Skripsi

“Keterlibatan Kaum Awam dalam Sejarah Sekolah Minggu di Gereja Kristen Sumba Waikabubak”

I.3. Tujuan Penulisan Skripsi

Penyusun merasa penting mengangkat judul ini karena hasil skripsi ini akan menjadi sumbangan bagi GKS Waikabubak untuk membangun Pendidikan Kristiani bagi anak. Jika gereja menyadari sejarah Sekolah Minggunya, yaitu bagaimana partisipasi jemaat membangun Sekolah Minggu baik di wilayah pelayanan maupun sekolah, maka Sekolah Minggu akan berjalan secara efektif. Apabila pengelolaan Sekolah Minggu berjalan dengan baik maka iman anak diharapkan dapat bertumbuh dengan baik. Selain itu, penelitian ini dapat dipakai untuk melihat model pembelajaran seperti apa yang tepat untuk konteks jemaat tersebut.

I.4. Metode Penelitian

Penelitian empiris secara kualitatif akan dilakukan dalam lapangan untuk mengetahui sejauh mana pandangan gereja dan jemaat tentang kepemilikan dan pengelolaan Sekolah

(10)

10

Minggu. Dan penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan wawancara kepada pendeta dan GSM, sekaligus pengamatan langsung di lapangan kepada guru Sekolah Minggu untuk mengetahui keterlibatan kaum awam pada pengelolaan Sekolah Minggu di GKS Waikabubak.

Penelitian literatur juga akan dilakukan sebagai modal dasar untuk melakukan penelitian lapangan, sehingga dengan begitu akan memberikan sudut pandang serta menambah wawasan dan cara berpikir yang lain.

I.5. Sistematika Penulisan

Bab I. Pendahauluan

Bab ini memaparkan secara umum mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, judul skripsi, tujuan penulisan, metodologi penyusunan, serta sistematika penyusunan skripsi mengenai keterlibatan gereja dan jemaat dalam pengelolaan Sekolah Minggu.

Bab II. Keterlibatan Kaum Awam dalam Sejarah Sekolah Minggu di GKS Waikabubak

Pada bab ini, penyusun akan menyampaikan sejarah berdirinya Sekolah Minggu di GKS Waikabubak diawali dengan sejarah masuknya Injil di Tanah Sumba, serta sekilas tentang didewasakannya GKS Waikabubak. Setelah itu diakhiri dengan analisis atas keterlibatan kaum awam dalam sejarah Sekolah Minggu di GKS Waikabubak dan kesimpulannya.

Bab III. Keterlibatan Kaum Awam dalam Sejarah Sekolah Minggu di Barat dan Tinjauan Teologis atas Peran Kaum Awam di Gereja

Bab ini akan menguraikan sejarah berdirinya Sekolah Minggu dengan secara khusus membahas Robert Raikes, sebagai seorang tokoh yang mempelopori berdirinya Sekolah Minggu. Selanjutnya akan dibahas perkembangan Sekolah Minggu sampai ke Amerika. Penyusun juga akan menganalisis sejarah Sekolah Minggu kemudian dibandingkan dengan sejarah Sekolah Minggu di Waikabubak. Dalam bab ini, akan disampaikan tinjauan teologis terhadap peran kaum awam dalam Pendidikan Kristiani dan juga perkembangan gereja. Tinjauan teologis sendiri akan membahas 1 Korintus 12:12-30.

(11)

11 Bab IV. Usulan dan Penutup

Dalam bab terakhir ini penyusun akan menyampaikan beberapa usulan bagi GKS Waikabubak dan gereja di Indonesia secara umum, tentang bagaimana sebaiknya gereja lebih berperan dalam Pendidikan Kristiani bagi anak-anak, khususnya untuk Sekolah Minggu. Dan bab ini akan diakhiri dengan penutup, yang juga mengakhiri skripsi ini.

Referensi

Dokumen terkait

carlett Whitening merupakan brand lokal perawatan kecantikan asal Indonesia yang didirikan pada tahun 2017 oleh artis Indoneisa yang bernama Felicya

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah virus Covid-19 adalah dengan menerapkan perilaku Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di mana dalam penerapannya

Berdasarkan hal-hal yang telah penulis uraikan dalam pembahasan mengenai kesesuaian penetapan tersangka korupsi oleh KPK tanpa bukti permulaan yang cukup dengan asas due of

Skripsi berjudul “PENGARUH RASIO KERENGGANGAN KATUP ISAP DAN KATUP BUANG TERHADAP UNJUKKERJA MOTOR BENSIN EMPAT LANGKAH” telah diuji dan disahkan oleh Fakultas

menganalisis, memproses dan mengorganisasikan data tersebut.. Peserta didik menyusun perkiraan dari hasil analisis yang dilakukan. Sampaikan poin-poin pembelajaran utama yang

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan atau rekomendasi terhadap kebijakan pemerintah dalam hal pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi

Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Jabatan Fungsional Perekam Medis dan Angka Kreditnya, perekam medis memiliki jabatan fungsional

Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dan pengumpulan data melalui pembacaan kumpulan cerpen Surga di Tangan Ibu seri Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) yang