• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEREDUKSI PSYCHOLOGICAL PAIN MERUPAKAN MOTIF YANG PALING KUAT PADA PERCOBAAN BUNUH DIRI INDIVIDU DEPRESI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEREDUKSI PSYCHOLOGICAL PAIN MERUPAKAN MOTIF YANG PALING KUAT PADA PERCOBAAN BUNUH DIRI INDIVIDU DEPRESI"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

MAJALAH ILMIAH METHODA Volume 3, Nomor 3 , September-Desember 2013 : 48-52 | 48

MEREDUKSI PSYCHOLOGICAL PAIN MERUPAKAN MOTIF

YANG PALING KUAT PADA PERCOBAAN BUNUH DIRI

INDIVIDU DEPRESI

Ervina Sectioresti

Dosen Universitas HKBP Nommensen Medan

ABSTRACT

Suicidal behavior is one of most intriguing problematic behavior for many social and psychological research, which the concept had being aroused for study since late 19th

century. However, suicidal phenomena was as significant problem only for western country for many years. Recent findings shows that this phenomena has also become crucial problem for non-western country including Indonesia. We have known numerous media reports of suicidal cases recently. Concern for studying factors of suicidal behavior becomes necessary to emerged, for the aims to gain comprehensive understanding in formulating prevention and treatment to those who prone to suicidal behavior or those who had experienced non-fatal suicidal behavior. Review of expertise’s reports about motives in suicidal behavior suggest that escaping unbearable state of mind and emotion, termed as psychological pain, is the most motivating in suicidal attempts.

Keywords: Suicidal behavior, suicidal attempts, motives, psychological pain.

PENDAHULUAN

Fenomena gangguan depresi yang berkembang pesat di masyarakat diinformasikan melalui berbagai publikasi. Harian analisa (2007) melaporkan data riset Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, 2007, menunjukkan 94% penduduk Indonesia saat ini mengalami depresi dari tingkat ringan hingga berat (www.analisa daily.com, 2009).

Penelitian kolaboratif mengenai depresi yang dilakukan oleh World Health Organization (1983) terhadap beberapa kultur bangsa di berbagai negara menyimpulkan bahwa pasien depresi di negara-negara barat lebih banyak mengekspresikan perasaan bersalah yang berat dan pikiran atau ide bunuh diri, sedangkan pasien di negara-negara non-Western lebih banyak memunculkan gejala-gejala fisik atau somatis (Oltmans & Emery, 2001).

Faktor sosial memang merupakan hal yang dapat memicu perilaku self destructive, namun proses psikologis yang terjadi di dalam diri individu merupakan faktor penentu apakah seseorang akan melakukan tindakan untuk mengakhiri hidupnya atau tetap hidup (Oltmans

& Emery, 2001), sehingga menempatkan permasalahan tekanan kehidupan sebagai satu-satunya faktor penyebab, seperti yang sering kita dengar pada ulasan media massa tentang kasus bunuh diri, bukan merupakan hal yang tepat.

Proses Psikologis yang terjadi di dalam diri individu dapat menyelamatkan seseorang dari tindakan destruktif atau justru membawanya kepada tindakan destruktif. Tindakan bunuh diri, sebagai aktivitas psikomotorik, akan diawali oleh proses psikologis kognitif maupun afektif. Pengambilan keputusan pada suatu tindakan akan terjadi pada area kognitif. Berpikir atau memikirkan tindakan bunuh diri merupakan tahap dimana individu sedang menimbang apakah tindakan bunuh diri dapat merupakan cara yang paling tepat dalam hal permasalahan yang ia hadapi. Pada saat individu berada pada tahapan inilah kemungkinan atau peluang ia akan tetap hidup atau mengakhiri hidupnya.

Kesulitan dalam memahami bagaimana dan mengapa seseorang akhirnya melakukan tindakan bunuh diri mungkin disebabkan oleh

(2)

MAJALAH ILMIAH METHODA Volume 3, Nomor 3 , September-Desember 2013 : 48-52 | 49

tension yang muncul ketika kita mengetahui

informasi bahwa seseorang tersebut memiliki peluang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Hal ini membuat setiap orang yang berada pada lingkaran sosial seseorang tersebut lebih berfokus pada usaha menjauhkannya dari faktor-faktor eksternal yang memberinya kesempatan bunuh diri, seperti benda-benda tajam, racun, kesendirian, dan sebagainya. Padahal proses psikologis yang sedang terjadi di dalam diri seseorang tersebut justru merupakan faktor yang paling perlu diperhatikan.

DEPRESSIVE DISORDER

Depresi merupakan suatu jenis gangguan psikologis yang termasuk dalam kelompok gangguan mood (Mood Disorder). Diagnostic

and Statistical Manual of Mental Disorder

IV-TR (DSM IV-IV-TR) menjelaskan karakteristik khas dari suatu depresi adalah terjadinya episode depresif dimana individu mengalami gejala-gejala antara lain kesedihan mendalam, perasaan tertekan, kehilangan minat untuk beraktivitas dan berinteraksi dengan lingkungan, konsep diri yang negatif, sulit berkonsentrasi, merasa diri tidak berharga dan munculnya pikiran untuk bunuh diri. Depresi dapat dibagi ke dalam tiga kategori yaitu depresi mayor, dysthymia dan depresi akibat pengaruh substansi maupun kondisi medis tertentu.

Depresi mayor bersifat akut yakni muncul dengan intensitas berat pada rentang waktu yang terbatas (Halgin & Whitbourne, 2003). Individu yang memiliki depresi mayor mengalami episode depresif dengan tingkat parah dan membutuhkan penanganan segera bahkan sampai perawatan di rumah sakit apabila membahayakan keselamatannya.

Dysthymia bersifat kronis yakni muncul

dengan intensitas yang lebih ringan namun dalam rentang waktu yang lebih panjang (Halgin & Whitbourne, 2003). Episode depresif pada individu yang memiliki dysthymia

memang lebih ringan daripada episode depresif individu yang memiliki depresi mayor, namun konsekuensi yang memprihatinkan dibuktikan dengan penelitian oleh Klein, Schwartz, Rose, et al. (2000) yang menemukan bahwa masa

sembuh dari episode depresif individu yang memiliki dysthymia lebih singkat atau hanya sebentar. Pendapat selanjutnya oleh Guzofski, Lundquist dan Szetela (2008) bahwa konsekuensi dari dysthymia dinilai cukup memberatkan, yakni menyebabkan gangguan fungsional yang cukup parah, meningkatkan kerentanan terhadap berbagai penyakit tubuh dan meningkatkan risiko bunuh diri. (www.emedicine.medscape.com, 2009).

Populasi Gender Rentan Depressive Disorder

Penelitian mengenai depressive disorder menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami gangguan tersebut. Susan Nolen-Hoeksema (1990) menyatakan risiko perempuan mengalami depressive disorder adalah sebanyak tiga kali lipat dari pada laki-laki (Oltmans & Emery, 2001). Lebih lanjut, Susan Nolen-Hoeksema (1987, 1991) menyatakan bahwa perbedaan risiko Depressive Disorder antara perempuan dan laki-laki adalah pada bagaimana respon perempuan dan laki-laki terhadap mood depresif. Perempuan akan cenderung berfokus menghayati, menelaah dan menganalisa kondisi tersebut sedangkan laki-laki akan cenderung mengalihkan dan mengabaikan kondisi tersebut dengan hal lain (Alloy, Jacobson & Acocella, 1999)

PERILAKU BUNUH DIRI DAN PERCOBAAN BUNUH DIRI

Pembelajaran yang panjang terhadap perilaku bunuh diri oleh para pakar dalam bidang ini telah membedakan tiga area dalam perilaku bunuh diri, yakni (a) suicidal ideation, yaitu pikiran untuk membunuh diri sendiri; (b)

suicide attempts, yaitu segala tindakan yang

dilakukan untuk menghilangkan nyawa sendiri tidak menghasilkan kematian; dan (c) suicide, yaitu segala tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan nyawa sendiri dan menghasilkan kematian (Kring, Davison, Neale, & Johnson, 2007).

DSM IV-TR tidak membahas perilaku bunuh diri sebagai suatu kategori gangguan tertentu yang memiliki deskripsi. Ide bunuh diri tercantum sebagai bagian dari simptom yang termasuk dalam kategori mood disorder. Relevansi perilaku bunuh diri dibahas dalam

(3)

MAJALAH ILMIAH METHODA Volume 3, Nomor 3 , September-Desember 2013 : 48-52 | 50

kajian mood disorder didukung oleh sejumlah

penelitian. Henrickson, Aro, Marttunen, et al. (1993) berdasarkan penelitian mereka meyakini bahwa setengah dari populasi pelaku bunuh diri mengalami depresi pada saat mereka melakukan tindakan tersebut, dan Angst, Stassen, Clayton, et al. (2002) menemukan bahwa 15 persen individu yang dirawat dirumah sakit karena depresi pada akhirnya melakukan bunuh diri (Kring, Davison, Neale, & Johnson, 2007). Para peneliti klinis dan sosial mengajukan sistem untuk mengklasifikasikan sub tipe perilaku bunuh diri berdasarkan teori etiologi perilaku bunuh diri (Oltmans & Emery, 2001).

Perilaku bunuh diri merupakan konsep yang memiliki sejarah konstruksi definisi yang cukup panjang. Durkheim (1897) memberikan definisi perilaku bunuh diri adalah semua kasus kematian yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh tindakan dari korban bunuh diri itu sendiri, dimana ia mengetahui bahwa tindakannya akan menghasilkan kematian. Baechler (1980) mendefinisikan sebagai segala tindakan yang dimaksudkan untuk mencari dan menemukan solusi terhadap masalah eksistensi individual, dengan melakukan suatu tindakan terhadap hidupnya sendiri. Shneidman (1985) mendefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan sadar untuk melenyapkan diri sendiri, merupakan kondisi ketidakberdayaan bersifat multidimensi pada individu yang membutuhkan bantuan dimana tindakan bunuh diri dimaknakan sebagai solusi terbaik bagi permasalahan yang sedang dialaminya (De Leo, Burgis, Bertolote, et al., 2004).

World Health Organization (1998) mendefinisikan perilaku bunuh diri sebagai tindakan membunuh diri sendiri, atas inisiatif dan dilakukan dengan sengaja oleh individu yang memahami dan mengharapkan hasil tindakannya (De Leo, Burgis, Bertolote, et al., 2004).

De Leo, Burgis, Bertolote, et al. (2004) mengkonstruksi definisi perilaku bunuh diri berdasarkan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan perilaku bunuh diri, mendefinisikan perilaku bunuh diri dalam dua kategori yakni bunuh diri dan percobaan bunuh

diri. Bunuh diri adalah tindakan dengan hasil yang fatal, dimana individu yang telah melenyapkan dirinya tersebut mengetahui dan mengharapkan hasil fatal perbuatannya, terinisiasi dan didorong oleh tujuan untuk mendatangkan perubahan yang diinginkan pada kondisinya. Percobaan bunuh diri adalah tindakan yang bukan merupakan kebiasaan (non-habitual act) dengan hasil yang tidak fatal, dimana individu mengharapkan atau mengambil risiko untuk meninggal atau menyakiti diri sendiri, terinisiasi dan didorong oleh tujuan untuk mendatangkan perubahan yang diinginkan pada kondisinya.

Populasi Gender Rentan Perilaku Bunuh Diri dan Percobaan Bunuh Diri

Penelitian oleh Tsuang, Simpson, & Fleming (1992) menemukan bahwa perempuan berusia 15 sampai dengan 19 tahun melakukan percobaan bunuh diri tiga kali lebih banyak daripada laki-laki pada kelompok usia yang sama, namun perilaku bunuh diri adalah empat kali lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan pada kelompok usia tersebut. Perbedaan dalam hasil fatal tindakan antara laki dan perempuan disebabkan oleh laki-laki cenderung memilih metode yang lebih mematikan seperti menembak diri dengan pistol dan gantung diri, sementara perempuan cenderung memilih meracuni dirinya dengan obat atau zat racun lainnya (Oltmans & Emery, 2001).

Arias, Anderson, Kung, et al. (2003) dalam laporan studi mereka juga menyatakan bahwa laki-laki di Amerika Serikat empat kali lebih banyak melakukan bunuh diri yang berhasil dengan menggunakan pistol atau metode gantung diri dibandingkan perempuan yang menggunakan racun dan obat-obatan, namun perempuan melakukan percobaan bunuh diri tiga kali lebih banyak dibandingkan laki-laki (Kring, Davison, Neale, & Johnson, 2007).

Faktor Eksternal Percobaan Bunuh Diri

Pengalaman hidup yang menekan dan traumatis (stressful and traumatic live events), berdasarkan beberapa penelitian juga telah dibuktikan sebagai faktor yang berperan dalam perilaku bunuh diri (Paykel, Prusoff, & Myers,

(4)

MAJALAH ILMIAH METHODA Volume 3, Nomor 3 , September-Desember 2013 : 48-52 | 51

1975 dan Welz ,1988, dalam De Leo, Burgis,

Bertolote, et al., 2004 ) dengan mempelajari kejadian kehidupan 12 bulan menemukan kejadian kehilangan anggota keluarga atau teman, masalah hubungan interpersonal, gangguan kesehatan, masalah pendidikan atau pekerjaan, kesulitan keuangan lebih banyak dilaporkan oleh para pelaku percobaan bunuh diri daripada kelompok kontrol bukan pelaku percobaan bunuh diri. Penelitian Kelly, Soloff, Lynch, et al. (2000) pada pasien depresi mayor dan gangguan kepribadian borderline menemukan bahwa kejadian kehidupan yang menekan meningkatkan risiko mereka melakukan bunuh diri (De Leo, Burgis, Bertolote, et al., 2004).

Motif Perilaku Percobaan Bunuh Diri

Pada era 1960-an sampai dengan 1980-an percobaan bunuh diri diyakini sebagai suatu bentuk komunikasi dari pelakunya. Komunikasi ini populer disebut sebagai konsep “cry for

help” . Stengel pada tahun 1975 mengajukan

pemikiran bahwa percobaan pembunuhan merupakan tindakan sadar atau tidak disadari dalam rangka berkomunikasi kepada orang lain, yakni sebagai pertanda adanya pengalaman

distress dan kebutuhan akan bantuan pada

pelakunya. Tindakan percobaan bunuh diri dimotivasi reaksi yang diharapkan oleh pelaku dari lingkungannya, umumnya berupa reaksi perhatian dan kasih sayang. Stengel juga menyatakan hipotesa bahwa perobaan bunuh diri berorientasi pada kematian namun sekaligus juga berorientasi pada kehidupan (De Leo, Burgis, Bertolote, et al., 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Maris pada tahun 1981 menyatakan bahwa sasaran utama percobaan bunuh diri adalah manipulasi, usaha mencari perhatian dan katarsis terhadap afek depresi. Kesimpulan ini dibangun oleh Maris berdasarkan temuannya bahwa pelaku percobaan bunuh diri umumnya memiliki biografi suicidal careers yakni pengalaman tertekan, kegagalan, depresi dan masalah interpersonal yang berulang kali terjadi pada kehidupan pelaku, dan pelaku terpengaruh untuk menghadapinya dengan perilaku

self-destructive. Percobaan bunuh diri yang pertama

biasanya bersifat manipulatif dan pengulangan

percobaan bunuh diri selanjutnya akan ditentukan oleh reaksi dari significant others (De Leo, Burgis, Bertolote, et al., 2004).

Sejumlah besar penelitian lainnya membangun keyakinan yang berbeda dengan konsep “cry for help” mengenai percobaan bunuh diri. Percobaan bunuh diri dinyatakan sebagai tindakan reaktif dari pelaku. Bancroft, Skrimshire, & Simkin pada tahun 1976 menemukan bahwa hanya 15 persen pelaku percobaan bunuh diri dimotivasi oleh kebutuhan mendapatkan bantuan. Penelitian oleh Michel, Valach, & Waeber pada tahun 1994 menemukan bahwa 52 persen responden pelaku percobaan bunuh diri dalam penelitiannya sama sekali tidak mengharapkan bantuan. Kedua hasil penelitian ini menyatakan bahwa motif utama yang melatarbelakangi percobaan bunuh diri adalah kebutuhan untuk menemukan kelepasan dari state of mind dan kondisi emosi yang tidak tertahankan (De Leo, Burgis, Bertolote, et al., 2004).

Kedua penelitian tersebut sejalan dengan pemikiran dan penelitian Shneidman pada tahun 1992, 1993, 1996, 1998, yang menyatakan bahwa bunuh diri adalah usaha melepaskan diri dari psychological pain yang tidak tertahankan.

Psychological pain adalah tekanan yang

dihasilkan oleh emosi-emosi negatif yakni rasa bersalah, rasa takut, rasa terpuruk, malu, terhina, duka yang mendalam, kesepian, ketidakberdayaan, frustrasi afeksi, kebutuhan yang terhambat secara kronis, dan amarah yang besar (rage) (Oltmans & Emery, 2001 & De Leo, Burgis, Bertolote, et al., 2004).

Williams dan Pollock 2000, 2001 mengelaborasi teori “cry of pain” dalam memahami latar belakang percobaan bunuh diri. Teori ini menyatakan bahwa individu yang melakukan percobaan bunuh diri merasa terjebak dengan kondisinya dan meyakini tidak akan ada penyelamatan eksternal terhadap dirinya, kemudian ide dan pikiran bunuh diri muncul akibat merasa terpuruk dan terperangkap dalam keterpurukan. Perilaku bunuh diri akan dimunculkan ketika seseorang merasa terjebak dalam sakit yang tidak tertahankan, yakni sebagai motif utama pada perilaku self-destructive, dan kebutuhan akan

(5)

MAJALAH ILMIAH METHODA Volume 3, Nomor 3 , September-Desember 2013 : 48-52 | 52

bantuan dari luar diri hanya sebagai motif

penyerta (De Leo, Burgis, Bertolote, et al., 2004).

Penelitian yang menggunakan pendekatan kognitif behavioral juga mengarah kepada motif melepaskan diri dari psychological pain yang tidak tertahankan. Beck, Kovacs, & Weissman pada tahun 1996 menyatakan bahwa perilaku bunuh diri pada individu depresi berasal dari distorsi pada kognisi individu tersebut. Distorsi yang dimaksud adalah hilangnya keyakinan diri individu akan kemampuannya untuk menghadapi permasalahannya, keyakinan bahwa pada masa selanjutnya pun individu akan tetap terpuruk, serta keyakinan bahwa keadaan tidak akan lebih baik di masa yang akan datang (De Leo, Burgis, Bertolote, et al., 2004). Distorsi ini kemudian menempatkan individu dalam keadaan depresi dan ketidakberdayaan yang kronis maupun akut.

PENUTUP

Perilaku bunuh diri merupakan perilaku bermasalah yang membutuhkan pengkajian serius mengingat dampak fatal yang dapat ditimbulkannya terhadap individu. Perilaku bunuh diri sekarang telah menjadi fenomena yang signifikan bagi masyarakat Indonesia dimana kejadiannya telah meningkat pada kurun waktu belakangan ini.

Permasalahan dan tekanan kehidupan masih diduga sebagai faktor pencetus bagi fenomena ini. Namun demikian, pembelajaran mengenai berbagai hasil penelitian memberikan pemahaman bahwa faktor eksternal bukan merupakan faktor utama bagi dilakukannya suatu tindakan bunuh diri. Proses psikologis intra individu menjadi faktor penentu bagi keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan bunuh diri.

Proses psikologis yang paling banyak dipelajari menyangkut percobaan bunuh diri adalah mengenai motif yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Pada awalnya para peneliti meyakini bahwa percobaan bunuh diri merupakan sebagai suatu komunikasi untuk mendapatkan bantuan dan perhatian dari orang lain di lingkungan pelaku, namun penelitian

ekstensif yang sudah banyak dilakukan menyatakan bahwa percobaan bunuh diri merupakan usaha individu untuk melepaskan dirinya dari psychological pain yang tidak tertahankan. Psychological pain sedemikian menekan sehingga individu sangat menginginkan kelepasan dari kondisi terperangkap tersebut.

Pemahaman ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berharga dalam mempertimbangkan prosedur penanganan bagi kasus-kasus percobaan bunuh diri, terutama dalam membangun metode komunikasi yang tepat untuk menurunkan peluang individu pelaku percobaan bunuh diri.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association (2000).

Diagnostic and statistical manual of mental disorder (4th ed. Text revised) Washington, DC: American Psychiatric Association

Alloy, L.B., Jacobson, N.S., & Acocella, J. (1999). Abnormal psychology (8th ed.) New York: McGraw-Hill

De Leo, D., Bille-Brahe, U., Kerkhof, A., Schmidtke, A. (2004). Suicidal Behavior:

Theories and Research Findings. Germany:

Hogrefe & Huber Publisher

Halgin, R.P., & Whitbourne, S.K. (2003).

Abnormal psychology: Clinical perspective on psychological disorder (4th ed.) New York: McGraw-Hill

Kring, A.M., Davison, G.C., Neale, J.M., Johnson, S.L. (2007). Abnormal Psychology (10th ed.) New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Oltmans, T.F., & Emery, R.E. (2001). Abnormal

psychology. New Jersey: Prentice-Hall

Harian Analisa. 94 Persen Masyarakat

Indonesia Mengidap Depresi. (2007, Juni

21). Diunggah 8 January 2009, dari www.analisadaily.com

Guzofski, S., Lundquist, R.S., & Szetela B.R. (2008). Dysthymic Disorder. Diunggah 7 January 2009, dari

Referensi

Dokumen terkait

Sistem nilai budaya pada hakekatnya terdiri dari konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai beharga dan penting warga suatu masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai

 Pada hipokortisolism akut tanfa disertai hipoaldosteron, diberikan pengobatan dengan kortisol intravena 100 mg per m 2 luas permukaan tubuh yang diberikan setiap 6-8

langkah strategis untuk dapat membentengi masyarakat khususnya generasi muda terhadap berbagai tantangan yang ada. Hal ini dilakukan Rindam Jaya sebagai salah satu lembaga yang

Untuk menambahkan Task yang baru dapat dilakukan dengan memilih salah satu user story yang ada pada daftar stories, lalu klik icon plus (+) yang ada disamping user story

Kekurangannya, jelas karena antivirus memantau cara kerja perangkat lunak secara keseluruhan yaitu bukan memantau berkas, maka seringnya antivirus membuat alarm

Dalam Undang-undang pasal 1 dijelas- kan bahwa: Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetap- kan dengan Peraturan

1.Strategi adaptasi sosial adalah tindakan yang dilakukan berulang- ulang dan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan masyarakat, dalam penelitian ini pada lingkungan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian makanan pendamping ASI formula tempe terhadap frekuensi BAB pada anak diare usia 6-24 bulan di Ruang Perawatan