• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oseanologi di Indonesia 1993 No. 26 : ISSN BAKTERI HETEROTROFIK DAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI UTARA PULAU JAWA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oseanologi di Indonesia 1993 No. 26 : ISSN BAKTERI HETEROTROFIK DAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI UTARA PULAU JAWA."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAKTERI HETEROTROFIK DAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI UTARA PULAU JAWA

Oleh

SUMINARTI S. THAYIB 1) dan RUYITNO 1)

ABSTRAK

Analisis kelompok bakteri heterotrofik dan fitoplankton telah dilakukan di tujuh lokasi perairan sepanjang pantai utara Pulau Jawa pada musim barat 1979 dan musim timur 1980. Hasilnya menunjukkan bahwa pada musim barat kisaran kandungan bakteri heterotrofik antara 5 x 104/ml di stasiun 17 dan 18, perairan Semarang, dan 160 x 104 /ml di stasiun 27, perairan Lasem. Pada musim timur kisarannya antara 8 x 104 /ml juga di stasiun 18, perairan Semarang, dan 152 x 104 /ml di stasiun 13, perairan Tegal. Kisaran jumlah sel fitoplankton pada musim barat terendah 0,06 x 106 sel/m3 diperoleh di stasiun 4, perairan Tanjung Karawang, dan tertinggi 107,5 x 106 sel/m3 di-peroleh di stasiun 3, juga di perairan Tanjung Karawang. Pada musim timur nilai paling rendah 0,007 x 106 sel/m3 diperoleh di stasiun 16, perairan Tegal dan nilai paling tinggi 61,7 x 106 sel/m3 diperoleh di stasiun 22, Semarang.

Umumnya pada musim barat kandungan bakteri heterotrofik maupun jumlah sel fitoplankton lebih besar dibandingkan dengan musim timur. Kondisi bakteri hetere-trofik dan fitoplankton di setiap lokasi dibahas.

ABSTRACT

HETEROTROPHIC BACTERIA AND PHYTOPLANKTON IN THE NORTHERN COASTAL WATERS OF JAVA. Study on the heterotrophic bacteria and

phytoplank-ton was carried out at seven locations in the waters of the north coast of Java during the west monsoon of 1979 and east monsoon of 1980. The results indicated that during, the west monsoon the heterotrophic bacteria were between 5 x 104 /ml colony forming unit (cfu), found at station 17 and 18, Semarang waters, and 160 x 104 /ml cfu found at station 27, Lasem waters. During the east monsoon the heterotrophic bacteria ranged from 8 x 104 /ml cfu found at station 18, Semarang waters and 152 x 104 /ml cfu found at station 13, Tegal waters. The cell of phytoplankton during the west monsoon was between 0.06 x 106 cell/m3 found at station 4 and 107.5 x 106 cell/m3 found at station 3, both in the Tanjung Karawang. During the east monsoon the number of phytoplankton ranged from 0.007 x 106 million cell/m3 found at station 16, Tegal waters and 61.7 x 106 cell/m3 found at station 22, Semarang waters.

l)Balitbang Lingkungan Laut, Puslitbang Oseanologi — LIPI, Jakarta.

(2)

THAYIB DAN RUYITNO

In general the number of both heterotrophic bacteria and phytoplankton cell during the west monsoon was higher that during the east monsoon. The condition of heterotrophic bacteria and phytoplankton at each location was also discussed.

PENDAHULUAN

Saling hubungan antara kelompok bakteria heterotrofik dan fito-plankton dalam ekosistem laut merupakan suatu kondisi yang amat penting dalam transfer energi dari produser ke konsumen dalam jaringan makanan di laut. Kelompok bakteria heterotrofik menguraikan senyawa organik menjadi zat hara dan mengeluarkan vitamin tertentu yang bermanfaat untuk pertumbuhan fitoplankton. Sedangkan fitoplankton memberikan zat organik untuk pertumbuhan bakteri heterotrofik. Sementara itu kelom-pok bakteri heterotrofik juga dapat menyebabkan penyakit terhadap fito-plankton sehingga dapat mengontrol kelimpahan fitofito-plankton. Sebalik-nya fitoplankton juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri hetero-trofik (RHEINHEIMER 1984).

Tampaknya fenomena ini memang mudah dimengerti namun kenya-taan di alam fenomena tersebut tidaklah jelas terlihat karena ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses dekomposisi senyawa organik men-jadi zat hara. Banyak penelitian yang mengungkapkan adanya saling hu-bungan antara kelompok bakteri heterotrofik dan fitoplankton, namun ada yang memberikan kesimpulan lain (RHEINHEIMER 1984). Oleh

ka-rena itu penulis mencoba menganalisis kelompok bakteri heterotrofik dan fitoplankton di perairan pantai utara Pulau Jawa.

BAHAN DAN METODE

Untuk analisis bakteri heterotrofik, contoh air diambil dari 7 lokasi di perairan sepanjang pantai utara Pulau Jawa yaitu perairan pantai Teluk Banten (4 stasiun), Tanjung Karawang ( 4 stasiun), Tanjung Inderamayu (3 stasiun), Tegal (5 stasiun), Semarang (7 stasiun), Lasem (4 stasiun) dan Surabaya (8 stasiun) (Gambar 1). Contoh air dari 7 lokasi tersebut diambil pada bulan Desember 1979 mewakili musim barat dan pada bulan Juni 1980 yang mewakili musim timur. Segera setelah pengambilan contoh air diencerkan hingga 10-4 menggunakan larutan pengencer buffer. Selan-jutnya berdasarkan metode tuang (pour plate), 1 ml dari tiap contoh air

(3)
(4)

THAYIB DAN RUYITNO

yang telah mengalami seri pengenceran dari tiap stasiun di taruh di cawan petri, kemudian ditambahkan media Zobell agar. Setiap contoh air dibuat tiga ulangan, kemudian diinkubasikan dalam suhu kamar. Setelah satu ming-gu koloni yang tumbuh pada setiap cawan petri dicacah, kemudian dirata-ratakan dan dikalikan dengan faktor pengencerannya. Hasilnya rnerupakan jumlah unit koloni bakteri heterotrofik per ml. Data fitoplankton adalah data sekunder yang diambil dari buku laporan Pemonitoran Perairan Pantai Utara Jawa, buku I dan II (1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis dari dua kali pengamatan bakteri heterotrofik dan fito-plankton adalah sebagai berikut :

1. Perairan Teluk Banten

Pada musim barat kandungan bakteri heterotrofik di perairan Teluk Banten berkisar antara 29 x 104/ml dan 48 x 104/ml dengan jumlah rata-rata 39 x 104/ml. Kandungan bakteri heterotrofik yang rendah diperoleh pada stasiun 7 dan 8 yaitu stasiun dekat pantai dan yang tinggi pada stasiun 5 dan 6 yaitu stasiun yang jauh dari pantai. Keadaan yang sama juga terjadi untuk jumlah sel fitoplankton yaitu tertinggi (2,1 x 106sel/m3) diperoleh pada stasiun 6 dan terendah (0,7 x 106 sel/m3) diperoleh pada stasiun 8 dengan jumlah rata-rata 1,5 x 106 sel/m3 (Tabel 1). Rendahnya kandungan bakteri heterotrofik di stasiun-stasiun dekat pantai ini mungkin disebabkan karena banyaknya material organik yang berasal dari daratan yang ma-suk ke laut lewat aliran sungai tidak secara langsung dapat merangsang pertumbuhan bakteri heterotrofik (RHEINHEIMER, dalam HOPPE 1986).

Bakteri heterotrofik baru akan terangsang setelah terjadinya blooming fitoplankton akibat adanya suplai material organik hasil ekskresi dan lisisnya sel fitoplankton. RHEINHEIMER (1987) menyatakan bahwa jumlah maksimum bakteri saprofit (heterotrofik) terjadi pada saat terjadinya blooming fitoplankton. KANAN & VASANTHA (1986) dalam penelitian-nya di perairan pantai timur India (Velar estuary) mendapatkan kandungan bakteri heterotrofik yang terjadi bersamaan dengan tingginya sel fitoplank-ton. FUKAMI et al. (1981) menyatakan bahwa di perairan Jepang, popu-lasi bakteri heterotrofik lebih banyak jumlahnya pada saat blooming fito-plankton.

(5)

Tabel 1. Sebaran bakteri heterotrofik dan fitoplankton di perairan sepanjang pantai utara Pulau Jawa pada bulan Desember 1979 (musim barat) dan Juni 1980 (musim timur).

(6)
(7)

Pada musim timur kandungan bakteri heterotrofik paling tinggi (43 x 104/ml) di peroleh pada stasiun 6 dan terendah di stasiun 7, (12 x 104/ml). Sedangkan keadaan fitoplankton pada stasiun 6,7 dan 8 yang masih dalam teluk jumlah selnya tinggi dibandingkan dengan stasiun 5 yang berada di luar teluk. Jumlah sel tertinggi (0,4 x 106 sel/m3) diperoleh pada stasiun 7 yang kandungan bakteri heterotrofiknya terendah, dan sel terendah (0,02 x 106 sel/m3) di stasiun 5 dengan rata-rata jumlah selnya (0,2 x 106 sel/ m3) (Tabel 1). Rendahnya kandungan bakteri heterotrofik pada stasiun 7 ini dapat disebabkan oleh adanya produk ekstra seluler dari fitoplankton yang menghambat pertumbuhan bakteri heterotrofik (REIL & LANG

da-lam ICHIGAWA 1983). Marga Chaetoceros adalah fitoplankton yang

men-dominasi perairan Teluk Banten baik pada musim barat maupun pada mu-sim timur.

Pada musim barat jumlah rata-rata kandungan bakteri heterotrofik maupun jumlah sel fitoplanktonnya lebih tinggi dari pada musim musim timur (Tabel 1). Hal ini bisa dimengerti karena pada musim barat banyak nutrisi yang berasal dari daratan masuk ke laut melalui aliran sungai. Nutrisi ini kemudian akan digunakan oleh fitoplankton untuk pertumbuh-annya. Jumlah fitoplankton yang banyak juga akan mengeluarkan hasil ekskresi yang banyak pula dan ini merupakan nutrien bagi bakteri hetero-trofik untuk pertumbuhannya (RHEINHEIMER dalam HOPPE 1986).

2. Perairan Tanjung Karawang

Pada musim barat kandungan bakteri heterotrofik paling tinggi dijum-pai di stasiun 3, dekat pantai (62 x 104/ml) dan yang paling rendah di sta-siun 2 (28 x 104 sel/ml) dengan jumlah rata-rata 40 x 104/ml. Jumlah fi-toplankton yang paling tinggi juga dijumpai pada stasiun 3 (107,5 x 106 sel/m3) stasiun yang kandungan bakteri heterotrofiknya paling tinggi dan terendah di stasiun 4, (0,06 x 106 sel/m3) dengan rata-ratanya (30 x 106 sel/m3) (Tabel 1). Jadi tingginya kandungan bakteri heterotrofik di stasiun ini bersamaan dengan jumlah sel fitoplanktonnya paling tinggi (RHEIN -HEIMER 1987).

Pada musim timur kandungan bakteri heterotrofik yang paling tinggi dijumpai pada stasiun 2 (28 x 104/ml) dan yang paling rendah dijumpai pada stasiun 1 (10 x 104/ml) dengan jumlah rata-rata 16 x 104/ml. Sedang-kan jumlah sel fitoplankton yang paling rendah (0,2 x 106sel/m3) dijumpai di stasiun 1 yaitu stasiun yang paling jauh dari pantai dan yang paling tinggi (1,1 x 106 sel/m3) di stasiun 4, bagian timur tanjung dengan jumlah sel rata-ratanya 0,6 x 106 sel/m3 (Tabel 1). Keadaan di sini hampir

(8)

THAYIB DAN RUYITNO

wanan dengan keadaan di perairan Teluk Banten di musim timur karena di stasiun yang kandungan bakteri heterotrofiknya paling tinggi justru jumlah sel fitoplanktonnya rendah, dan sebaliknya stasiun 3 yang rendah kandungan bakteri heterotrofiknya, jumlah sel fitoplanktonnya tinggi. Hal ini barangkali disebabkan adanya perbedaan produk ekstra-seluler dari

fitoplankton. Menurut F U K A M I et al (1981) fitoplankton dapat

meng-hasilkan dua fraksi organik yang labil dan refraktori. Fraksi organik labil mudah diuraikan oleh bakteri heterotrofik, sedangkan fraksi organik re-traktori sangat sukar diuraikan oleh bakteri sehingga memerlukan waktu yang lama untuk menjadi zat hara yang siap diserap oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Jadi kemungkinan fraksi organik yang labil akan merangsang pertumbuhan bakteri dan sebaliknya terjadi pada fraksi organik refraktori.

Bila dilihat dari dominasi fitoplanktonnya maka pada musim barat Skeletonema dominan, sedangkan pada musim timur Chaetoceros yang mendominasi. Pada musim barat jumlah rata-rata kandungan bakteri hete-rotrofik maupun sel fitoplanktonnya lebih banyak dibandingkan dengan musim timur.

3. Perairan Tanjung Indramayu

Pada musim barat kandungan bakteri heterotrofiknya paling tinggi

70 x 104/ml dijumpai di sebelah timur tanjung (stasiun 11) yang cukup

jauh dari pantai sedangkan stasiun 9 dan 10 di sebelah barat tanjung

kan-dungan bakterinya rendah (20 x 104/ml) dengan jumlah rata-rata 37 x

104 /ml. Hal yang sama terjadi pada fitoplankton yaitu paling tinggi (14,5

x 106 sel/m3) diperoleh pada stasiun 11 dan yang paling rendah di stasiun 9, (3,4 x 106 sel/m3) dengan rata-rata jumlah selnya (9,9 x 106 sel/m3) (Tabel 1). Fitoplankton yang mendominasi adalah marga Thalassionema/ Thalassiothrix. Kondisi yang demikian ini menyerupai kondisi di perairan Tanjung Karawang, dimana jumlah maksimum kandungan bakteri hetero-trofik terdapat bersama-sama dengan jumlah maksimum sel fitoplankton,

seperti juga hasil penelitian KANNAN & VASANTHA (1986) dan RHEIN

-HEI MER (1987).

Pada musim timur kandungan bakteri heterotrofik yang tinggi diper-oleh pada stasiun 9 dan 11 yaitu stasiun yang paling jauh dari pantai. Sedangkan pada stasiun 10 dekat pantai kandungan bakteri

heterotrofik-nya rendah. Kandungan bakteri heterotrofik paling tinggi adalah 24 x 104/

ml dan paling rendah 10 x 104/ml, dengan kandungan rata-rata 19 x 104/

ml. Namun keadaan sebaliknya terjadi untuk jumlah sel fitoplankton

(9)

mana jumlah tertinggi (0,2 x 106 sel/m3) diperoleh di stasiun 10 yang kandungan bakteri heterotrofik paling rendah dan terendah (0,03 x 106 sel/m3) diperoleh di stasiun 11 yaitu stasiun di sebelah timur tanjung. Rata-rata jumlah sel fitoplanktonnya 0,1 x 106 sel/m3) (Tabel 1).

Keadaan ini menyerupai keadaan di perairan Teluk Banten pada mu-sim timur yaitu kandungan bakteri yang paling rendah diperoleh di stasiun yang paling tinggi jumlah sel fitoplanktonnya yang didominasi oleh marga Chaetoceros. Kondisi demikian barangkali disebabkan oleh adanya produk ekstraseluler dari fitoplankton yang menghambat pertumbuhan bakteri seperti yang diutarakan oleh REIL & LANG (dalam ICHGAWA 1983)

atau mungkin karena banyaknya fraksi organik refraktori yang dikeluarkan oleh fitoplankton sehingga perlu waktu lama untuk diuraikan oleh bak-teri heterotrofik untuk pertumbuhannya.

Pada musim barat rata-rata kandungan bakteri heterotrofik maupun jumlah sel fitoplankton lebih banyak dibandingkan dengan pada musim timur (Tabel 1). Keadaan ini sama seperti keadaan di perairan Teluk Banten maupun Tanjung Karawang.

4. Perairan Tegal

Pada musim barat kandungan bakteri heterotrofik yang paling rendah diperoleh di stasiun 14 (10 x 104/ml) yaitu stasiun yang paling dekat pantai, sedangkan stasiun 12, 13, 15 dan 16 yang agak jauh dari pantai kandungan bakteri heterotrofiknya lebih tinggi. Nilai paling tinggi (20 x 104/ml) diperoleh di stasiun 13 dan jumlah rata-rata 17 x 104/ml. Jumlah sel fitoplankton paling tinggi diperoleh di stasiun yang kandungan bakteri heterotrofiknya paling tinggi yaitu stasiun 13 (7,8 x 106 sel/m3) dan paling rendah di stasiun 16 (0,2 x 106 sel/m3) dengan jumlah rata-rata 3,9 x 106 sel/m3 (Tabel 1). Kandungan bakteri heterotrofik yang paling tinggi diikuti dengan jumlah sel fitoplankton paling tinggi di perairan ini sama dengan yang ditemukan di perairan Teluk Banten, Tanjung Karawang dan Tanjung Indramayu. Thalassionema/Thalassiothrix dan Chaetoceros adalah marga fitoplankton yang dominan. Hasil ini memperkuat lagi pernyataan RHEINHEIMER (1987) maupun FUKAMI et al. (1981).

Pada musim timur, kandungan bakteri heterotrofik paling tinggi di-peroleh di stasiun 13, sama seperti pada musim barat, namun kandungan-nya lebih tinggi yaitu 152 x 104/ml dan yang paling rendah adalah 13 x 104/ml di stasiun 12 dan 15 dengan jumlah rata-rata 53 x 104/ml. Sedang jumlah sel fitoplankton paling tinggi (1,0 x 106 sel/m3) diperoleh di

(10)

THAYIB DAN RUYITNO

siun 14 yaitu stasiun yang paling dekat dengan pantai dan yang paling rendah di stasiun 16 yaitu (0,007 x 106 sel/m3) dengan jumlah rata-rata 0,3 x 106 sel/m3 (Tabel l).

Adanya perbedaan lokasi antara stasiun yang kandungan bakteri hete-rotrofik paling tinggi dengan stasiun yang jumlah sel fitoplanktonnya pa-ling tinggi barangkali ini akibat adanya produk ekstraseluler dari fitoplank-ton yang menghambat pertumbuhan bakteri heterotrofik seperti yang di-nyatakan oleh REIL & LANG (dalam ICHIGAWA 1983) dan fraksi organik refraktori yang dikeluarkan oleh dominasi marga Bacteriastrum seperti yang dikemukakan oleh FUKAMI et al. (1981).

Pada musim barat rata-rata kandungan bakteri heterotrofik lebih ren-dah dibandingkan dengan musim timur, keadaan sebaliknya terjadi untuk fitoplankton (Tabel 1). Hal ini mungkin karena fitoplankton yang menge-luarkan produk ekstraseluler yang memacu pertumbuhan bakteri hetero-trofik seperti yang dinyatakan oleh REIL & LANG (dalam ICHIGAWA

1986) dan terdiri dari fraksi organik yang labil seperti yang dikemukakan oleh FUKAMI et al (1981).

5. Perairan Semarang

Pada musim barat kandungan bakteri heterotrofik berkisar antara 5 x 104/ml hingga 70 x 104/ml dengan jumlah rata-rata 33 x 104/ml. Nilai paling tinggi diperoleh di stasiun 22 yang terletak dekat pantai dan paling rendah di stasiun 17 dan 18, yaitu du stasiun yang paling jauh dari pantai. Sedangkan jumlah sel fitoplankton tertinggi (8,1 x 106 sel/m3) ditemukan pada staiun 20, dekat pantai dan paling rendah di stasiun 19 dan 22, (1 x 106 sel/m3) dengan jumlah rata-rata 3,8 x 106 sel/m3 (Tabel 1). Pada stasiun 22 terdapat kandungan bakteri heterotrofik yang paling tinggi sedangkan jumlah sel fitoplanktonnya paling rendah. Keadaan se-perti ini barangkali sama sese-perti yang diutarakan di atas bahwa banyak pro-duk ekstraseluler yang merangsang pertumbuhan bakteri dan merupakan fraksi organik labil terdapat di stasiun 22. Dominasi fitoplankton di stasiun ini ialah marga Chaetoceros.

Pada musim timur, kandungan bakteri heterotrofik berkisar antara 8 x 104/ml hingga 48 x 104/ml dengan jumlah rata-rata 19 x 104/ml. Jumlah terendah di stasiun 18 yang jauh dari pantai dan jumlah tertinggi di stasiun 23 dekat pantai. Sedangkan untuk fitoplankton paling tinggi (61,7 x 106 sel/m3) diperoleh di stasiun 22 dan terendah (1,06 x 106 sel/m3) di stasiun 17 yang jauh dari pantai, dengan jumlah rata-rata 12,2 x 106 sel/m3 (Tabel 1). Melimpahnya sel fitoplankton di stasiun 22 dekat

(11)

pantai mencerminkan banyaknya nutrisi di stasiun dari proses pengurain senyawa organik oleh bakteri heterotrofik. Bila dilihat dari kandungan bak-teri heterotrofiknya yang rendah, tampaknya ledakan (blooming) fitoplank-ton baru terjadi dan akan diikuti melimpahnya kandungan bakteri hetero-trofik pada tenggang waktu beberapa minggu kemudian (RHEINHEIMER

1987). Hal ini dapat dilihat dari kandungan bakteri heterotrofik di musim barat yang jumlahnya paling tinggi di antara stasiun-stasiun yang ada. Dominasi fitoplankton di stasiun 22 adalah marga Skeletonema.

Pada musim barat rata-rata kandungan bakteri heterotrofik lebih tinggi dibandingkan dengan pada musim timur. Keadaan sebaliknya terjadi untuk fitoplankton (Tabel 1). Keadaan ini berlawanan dengan situasi di perairan Tegal. Barangkali ini disebabkan oleh adanya perbedaan dominasi oleh marga Chaetoceros sedangkan di perairan Semarang marga Skeletonema. F u K A -M I et al. (1981) menyatakan bahwa jenis fitoplankton juga mempengaruhi kandungan bakteri heterotrofik.

6. Perairan Lasem

Pada musim barat kandungan bakteri heterotrofik berkisar antara 65 x 104/ml hingga 160 x 104/ml) dengan jumlah rata-rata 91 x 104/ml. Nilai tertinggi diperoleh di stasiun 27 dekat pantai dan terendah di stasiun 26 agak jauh dari pantai. Jumlah sel fitoplankton tertinggi (20,5 x 106 sel/m3) diperoleh pada stasiun yang mempunyai kandungan bakteri hetero-trofik paling tinggi yaitu stasiun 27, dan terendah (0,3 x 106 sel/m3) di-peroleh di stasiun 25 dengan rata-rata jumlah sel (7,7 x 106 sel/m3) (Tabel 1). Kondisi ini sama seperti yang diperoleh di Teluk Banten, Tanjung Ka-rawang, Tanjung Indramayu dan Tegal di musim barat yaitu kandungan bakteri heterotrofik yang paling tinggi diperoleh di stasiun yang jumlah sel fitoplanktonnya juga paling tinggi. Hal ini memperkuat pernyataan RHEINHEIMER (1987).

Pada musim timur kandungan bakteri heterotrofik paling tinggi di-peroleh di stasiun 27, dekat pantai (126 x 104/ml dan yang paling rendah di stasiun 26 (21 x 104/ml. yang agak jauh dari pantai dengan jumlah rata-rata 52 x 104/ml. Sedangkan jumlah sel fitoplankton paling rendah (0,05 x 106 sel/m3) diperoleh pada stasiun, yang kandungan bakteri heterotrofiknya paling tinggi yaitu di stasiun 25 dan 27 dan jumlah sel fitoplanktonnya pun paling tinggi (0,08 x 106 sel/m3) diperoleh di stasiun 24 dengan jumlah rata-rata 0,06 x 106 sel/m3 (Tabel 1). Fitoplankton yang paling dominan di stasiun yang jumlah selnya paling tinggi adalah marga

(12)

THAYIB DAN RUYITNO

zosolenia. Tingginya kandungan bakteri akibat banyaknya suplai makanan dari hasil ekskresi dan lisisnya sel fitoplankton yang blooming di saat musim barat. Hal seperti ini sesuai dengan pendapat RHEINHEIMER

(1987) bahwa jumlah maksimum bakteri heterotrofik terjadi setelah teng-gang waktu beberapa minggu dari saat blooming fitoplankton.

Pada musim barat rata-rata kandungan bakteri heterotrofik lebih tinggi daripada musim timur. Keadaan yang sama terjadi untuk rata-rata jumlah sel fitoplankton (Tabel 1). Ini bisa dimengerti karena pada musim barat banyak masukan nutrisi dari darat yang merangsang pertumbuhan fito-plankton. Banyaknya fitoplankton berarti banyak nutrisi bagi bakteri heterotrofik hasil dari ekskresi dan lisisnya sel fitoplankton.

7. Perairan Surabaya

Pada musim barat kandungan bakteri heterotrofik paling tinggi di-peroleh pada stasiun 31 (128 x 104/ml) yang terletak di depan muara sungai dan paling rendah (15 x 104/ml) di bagian timur stasiun 32. Jumlah rata-rata kandungan bakteri heterotrofik adalah 43 x 104/ml.

Jumlah sel fitoplankton yang paling tinggi (16,8 x 106 sel/m3) di-peroleh di stasiun 33 yang terletak di sebelah timur muara sungai dan paling rendah (1,4 x 106 sel/m3) di stasiun 35 di bagian barat yang agak jauh dari pantai (Tabel 1). Jumlah rata-rata selnya adalah 4,9 x 106 sel/m3. Bacteriastrum dan Chaetoceros adalah marga fitoplankton yang dominan di daerah ini. Stasiun 31 yang kandungan bakteri heterotrofiknya paling tinggi terletak di sebelah barat laut stasiun 33 yang jumlah sel fitoplankton-nya paling tinggi. Keadaan ini mungkin disebabkan dari hasil ekskresi mau-pun lisisnya sel fitoplankton di stasiun 33, selanjutnya karena pengaruh pasut, zat itu berkumpul di stasiun 31 dan merangsang pertumbuhan bak-teri heterotrofik di tempat ini secara melimpah. Faktor lain adalah produk ekstraseluler yang dihasilkan oleh Chaetoceros yang dominan ini berupa fraksi organik labil yang mudah didekomposisi oleh bakteri heterotrofik untuk pertumbuhannya.

Pada musim timur kisaran kandungan bakteri heterotrofik antara 20 x 104/ml hingga 87 x 104/ml dengan jumlah rata-rata 44 x 104/ml. Nilai paling rendah di stasiun 32 dan 35, daerah yang jauh dari pantai dan yang paling tinggi di stasiun 30 yaitu stasiun yang agak jauh dari muara sungai. Jumlah sel fitoplankton berkisar antara 0,01 x 106 sel/m3 hingga 2,4 juta sel/m3 dan jumlah rata 0.8 x 106 sel/m3. Nilai paling tinggi di stasiun 31 di depan muara sungai dan paling rendah di stasiun 35 di bagian barat dari lokasi penelitian (Tabel 1). Dominasi marga fitoplankton di daerah ini ialah marga Chaetoceros.

(13)

Jumlah sel fitoplankton paling tinggi diperoleh pada tempat yang pada saat musim barat kandungan bakteri heterotrofiknya paling tinggi yai-tu stasiun 31. Hal ini barangkali akibat banyak tersedianya nutrien hasil da-ri penguraian mateda-rial organik oleh bakteda-ri heterotrofik pada musim barat, yang kemudian digunakan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya.

Pada musim barat, rata-rata kandungan bakteri heterotrofik relatif lebih kecil (43 x 104/ml) dibandingkan pada musim timur (44 x 104/ml). Keadaan sebaliknya terjadi pada rata-rata jumlah sel fitoplanktonnya (Tabel 1). Hal ini barangkali akibat banyaknya produk ekstraseluler yang berupa fraksi organik labil yang dikeluarkan oleh marga Skeletonema yang mendominasi perairan Surabaya di musim timur daripada yang dikeluarkan oleh marga Bacteriastrum dan Chaetoceros di musim barat.

Secara umum hasil pengamatan kandungan bakteri heterotrofik dan fitoplankton di tujuh lokasi perairan sepanjang pantai utara Pulau Jawa pada musim barat kisaran kandungan bakteri heterotrofik antara 5 x 104/ml di lokasi stasiun 17 dan 18 perairan Semarang dan 160 x 104/ml di lokasi stasiun 27 perairan Lasem. Pada musim timur kisaran antara 8 x 104/ml, juga di lokasi stasiun 18 perairan Semarang, dan 152 x 104/ml di lokasi stasiun 13 perairan Tegal. Kisaran jumlah sel fitooplankton antara 0,06 x 106 sel/m3 yang diperoleh di stasiun 4, dan tertinggi 107,5 x 106 sel/m3 yang diperoleh di stasiun 3, keduanya di perairan Tanjung Karawang pada musim barat. Pada musim timur nilai paling rendah (0,007 x 106 sel/m3) diperoleh di stasiun 16 perairan Tegal dan paling inggi 61,7 x 106 sel/m3 diperoleh di stasiun 22 perairan Semarang.

Umumnya, kandungan bakteri herterotrofik dan jumlah sel fitoplank-ton pada musim barat lebih tinggi dibandingkan pada musim timur. Lokasi-lokasi yang kandungan bakteri heterotrofiknya lebih tinggi pada musim barat yaitu, Teluk Banten, Tanjung Karawang, Tanjung Indramayu, Se-marang dan Lasem. Sedangkan lokasi-lokasi yang jumlah sel fitoplank-ton lebih tinggi adalah perairan Teluk Banten, Tanjung Karawang, Tan-jung Indramayu, Tegal dan Surabaya. Dengan demikian tampaknya ada persesuaian antara kandungan bakteri heterotrofik dan jumlah sel fitoplank-ton seperti yang diutarakan oleh KANNAN & VASANTHA (1986), Fu-KAMI et al. (1981) dan RHEINHEIMER (1987). Hal ini disebabkan bak-teri heterotrofik mampu menguraikan senyawa organik terutama yang berasal dari hasil ekskresi dan lisisnya sel fitoplankton menjadi zat hara, yang pada akhirnya juga akan digunakan lagi oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Walaupun demikian hasil ekskresi fitoplankton juga ada

(14)

THAYIB DAN RUYITNO

yang bersifat susah diuraikan (refraktori) oleh bakteri heterotrofik dan ada yang mudah (labil). Yang susah diuraikan, akan memerlukan waktu lama untuk menjadi zat hara dan sebaliknya untuk yang mudah diuraikan akan dapat langsung diserap oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Jadi tampaknya memang ada fenomena saling berhubungan antara bakteri heterotrofik dan fitoplankton.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada para teknisi laboratorium mikrobio-logi, atas bantuannya sehingga dapat terlaksananya penelitian ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan para peneliti plankton yang menyediakan data sekunder bagi penulisan makalah ini.

DAFTAR REFERENS

FUKAMI, K. ; U. SlMIDU and N. TAGA 1981. Fluctuation of the communities of heterotrophic bacteria during the decomposition process of phytoplankton.

J.Exp. Mar. Bio. Ecol. 5 : 171—184.

HOPPE, KG. 1986. Degradation in sweater. In : Biotechnology, (H. J. HEM and G. REED eds.) Vol. 8 Verlagsgesellschaft mbh, D—6940 Weinheim (Federal Repu-blic of Germany) : 453 — 47 5.

ICHIGAWA, T. 1983. Distribution of two groups of bacteria, oligotrophs and eutrophs, in the Indian Ocean and the South China Sea. Mem. Kagoshima Univ. Res. Cente.

S. Pac. 4 ( 2 ) : 194 — 199.

KANNAN, L and K. Vasantha 1986. Distribution of heterotrophic bacteria in Vellar Estuary, East Coast of India. Indian J. Mar. Sciences. 15 : 267 — 268.

LEMBAGA OSEANOLOGI NASIONAL — LlPI 1980. Pemonitoran peraian pantai

utara Jawa. Laporan No. 1 Proyek Penelitian Masalah Pengembangan

Sumber-daya Laut dan Pencemaran Laut 1979 — 1980 : 159 hal. (tidak diterbitkan). LEMBAGA OSEANOLOGI NASIONAL - LlPI 1980. Pemonitoran perairan pantai

utara Jawa, Laporan No. 2 Proyek Penelitian Masalah Pengembangan Sumberdaya

Laut dan Pencemaran Laut 1979 — 1980 : 265 hal (tidak diterbitkan).

RHEINHEIMER, G. 1984. Interrelationships between bacteria and phytoplankton in marine area. Ed. du CNRS. Paris : 101 — 106.

RHEINHEIMER, G. 1987. Influence of eutrophication on bacterial abundance and activity in Baltic Sea. In : Integrated Global Ocean Monitoring. Leningrad indro-metecozdddat 86 (2): 280 — 287.

Gambar

Tabel 1. Sebaran bakteri heterotrofik dan fitoplankton di perairan sepanjang pantai utara Pulau Jawa  pada bulan Desember 1979 (musim barat) dan Juni 1980 (musim timur).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan oleh peneliti diperoleh data sebagai berikut: Perencanaan pertama dalam menerapkan bimbingan dan konseling sosial untuk

Hasil penelitian didapatkan bahwa pendidikan orang tua adalah faktor yang paling dominan mempengaruhi motivasi orang tua dalam memanfaatkan Alat-alat Permainan Edukatif

Untuk itu, motivasi pemeliharaan maupun pengembangan individu- individu dalam organisasi perlu senantiasa diperhatikan dan dilaksanakan dengan baik. Manajemen sumber

Hasil perhitungan dengan menggunakan model regresi penuh ( Full Model Regression ) diperoleh dengan nilai koefisien regresi beberapa karakteristik perilaku

Hasil yang diperoleh adalah: penerimaan pajak daerah dalam kurun waktu 2002 – 2009 mengalami peningkatan yang baik dan secara umum berada pada kategori sangat

Dari data hasil uji lentur dapat diketahui bagaimana pengaruh waktu impregnasi dan konsentarsi resin terhadap sifat mekanis kayu kelapa sawit.. Pengaruh waktu terhadap

Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh Al-nitrat dan Al-laktat terhadap konsentrasi Al yang diserap oleh akar serta pengaruh Al-nitrat dan Al-laktat terhadap

Untuk PT Sumber Alfaria Trijaya, tbk berdasarkan hasil analisis deskriptif pada variabel Penempatan Pegawai (X2) perlu memperhatikan pada dimensi pengalaman kerja