• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses kehidupan untuk mengembangkan diri setiap individu agar dapat melangsungkan kehidupannya (Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003 pengertian pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Haryanto, 2012).

Adanya Undang-Undang tentang pendidikan menggarisbawahi bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara merata dan tanpa pengecualian. Sekolah negeri, sekolah swasta, bahkan sekolah luar biasa (SLB) pun menjadi tempat formal untuk mendapatkan pendidikan. Berbicara mengenai sekolah luar biasa tidak bisa terlepas dari istilah anak berkebutuhan khusus (ABK) (Kidam, 2015).

ABK dapat diartikan sebagai anak yang lambat atau mengalami gangguan fisik, mental, inteligensi, dan emosi sehingga membutuhkan pembelajaran secara khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak-anak yang termasuk ke dalam ABK antara lain adalah tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan (Kosasih, 2012).

Dengan memiliki karakteristik dan hambatan pada diri anak tersebut maka ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus pula yang disesuaikan

(2)

dengan kemampuan dan potensi para guru, contohnya anak tunanetra memerlukan modifikasi teks bacaan menggunakan tulisan Braille dalam berkomunikasi sedangkan untuk anak tunarungu harus menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi.

Pendidikan untuk ABK di sekolah tidak terlepas dari peran seorang guru. Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan (Depdiknas, 2008:1). Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Setyawan, 2014)

Seorang guru yang mengajar di sekolah luar biasa memiliki kualifikasi pendidikan minimum D-IV atau S1 Luar Biasa/Pendidikan Khusus (PLB/PKh). Kualifikasi ini diperoleh dari Program Studi/Jurusan PLB/PKh yang terakreditasi atau berpendidikan D-IV atau S1 PGTK, PAUD, Psikologi atau Kependidikan non PLB/PKh dari perguruan tinggi terakreditasi. Selain itu para guru harus memiliki sertifikat pendidik untuk guru pendidikan khusus yang diperoleh dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi terakreditasi yang ditetapkan oleh pemerintah (Choiri, 2011).

Tugas guru yang mengajar di sekolah luar biasa atau sering disebut sebagai guru SLB secara umum sama dengan guru pada umumnya. Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya Nomor 16 Tahun 2009, Pasal 5, tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta

(3)

didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah. Beban kerja guru untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan/atau melatih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari pemerintah atau pemerintah daerah (Choiri, 2011)

Adapun, tugas lainnya yang harus dilakukan oleh guru SLB yang membedakan dengan tugas guru lainnya adalah harus mampu merencanakan, melaksanakan dan menilai program orientasi mobilitas dan huruf braille, melakukan pembelajaran bina persepsi bunyi dan irama serta SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia), melakukan pembelajaran bina diri dan bina gerak, serta melakukan pembelajaran bina pribadi dan sosial (Choiri, 2011).

Hal-hal tersebut menggambarkan bahwa menjadi seorang guru SLB adalah pekerjaan yang tidak mudah. Begitu juga dengan kondisi yang tergambar di SLB “X” di Bandung. SLB ini dibangun oleh sebuah yayasan “X”. Yayasan ini merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang sosial dan telah berdiri sejak tahun 1990 dengan Izin Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat No. 421.9/3916-PLB. Salah satu bidang kegiatan yang telah berjalan adalah menyelenggarakan Sekolah Luar Biasa (SLB) yaitu pendidikan bagi ABK dan hingga saat ini yayasan tersebut telah menyelenggarakan pendidikan mulai dari jenjang SDLB, SMPLB, sampai SMALB/SMKLB. Yayasan ini telah mendirikan dua sekolah yaitu B dan SLB-C. SLB-B adalah sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak tunarunguwicara atau tuli bisu sedangkan SLB-C adalah sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak tunagrahita atau anak terbelakang mental (Bakty,

(4)

tanpa tahun). Keunggulan dari SLB ini dibandingkan SLB lain adalah dalam hal keseniannya yaitu menari dan pembuatan sendal khususnya sendal jepit. Jumlah guru SLB yang mengajar di SLB ini berjumlah 32 orang dengan jumlah siswa 97 orang.

Menurut Kepala Sekolah SLB “X”, selain memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, dan melatih anak didiknya, guru-guru SLB ini juga diberikan tugas lain yang harus dikerjakan yaitu memeriksa identitas anak didik, memeriksa daftar hadir peserta didik, memeriksa daftar pelajaran dan materi yang akan diberikan di hari tersebut, menjalankan piket, mengisi daftar nilai anak didiknya, memeriksa daftar mutasi kelas, memeriksa daftar inventaris kelas, mengisi form kegiatan home visit atau kegiatan sehari-hari, membimbing anak didik dalam melakukan kegiatan ekstrakurikuler, melakukan bimbingan konseling baik untuk anak didiknya maupun untuk orang tua, melakukan analisis hasil evaluasi dan merencanakan serta melakukan kegiatan perbaikan dan pengayaan untuk anak didiknya.

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Sekolah SLB “X”, guru SLB yang mengajar memiliki tuntutan untuk memberi pengajaran kepada anak didik seperti mengajari cara berkomunikasi dengan orang lain, cara menulis, cara berhitung dan pengajaran lainnya dengan metode pengajaran yang berbeda dengan guru pada umumnya. Metode ini dikenal sebagai metode CTL atau Contextual Teaching Learning, metode ini menekankan pengajaran yang sifatnya aplikatif. Jadi guru SLB tidak hanya mengajar di ruang kelas tetapi para guru juga harus membawa anak didiknya untuk terjun langsung ke lapangan ketika mengajari suatu pelajaran. Misalnya saja ketika belajar mengenai cara berhitung, guru SLB harus membawa anak didiknya ke luar kelas dan meminta siswanya menghitung jumlah motor yang melewati gedung sekolahnya. Disamping itu guru SLB juga harus tetap siap siaga

(5)

dengan keberadaan anak didiknya ketika sedang belajar di luar kelas, karena peluang anak didik melakukan hal-hal yang tidak biasa seperti lari keluar gerbang sekolah adalah sesuatu yang bisa saja terjadi.

Menurut Kepala Sekolah SLB “X”, sistem pembelajaran yang diterapkan disini berbeda dengan sistem pembelajaran yang ada di sekolah pada umumnya. Sistem pembelajaran tersebut bersifat individual dan bukan klasikal. Hal ini disebabkan oleh tuntutan yang diberikan kepada masing-masing guru SLB untuk dapat melakukan 24 administrasi dalam satu tahun pelajaran terkait dengan masing-masing anak didik dan setiap hari guru SLB yang mengajar harus membuat delapan item administrasi seperti melakukan perencanaan, membuat program, melaksanakan program, melakukan penilaian, mengevaluasi, melakukan remedial, pengayaan, dan membimbing masing-masing anak secara individual. Penting bagi guru SLB untuk melakukan tugas administrasi ini karena guru SLB dapat mengetahui seberapa jauh perkembangan dan perubahan yang sudah terjadi pada anak dan salah satu tujuan dari SLB ini adalah membuat anak melakukan perubahan ke arah yang lebih baik lagi.

Tidak hanya itu, pada tahun 2007, banyak orang tua yang memiliki anak dengan kesulitan lain yang meminta masuk ke sekolah ini, pada awalnya kepala sekolah tidak menerima anak dengan kesulitan lain selain tunarungu dan tunagrahita karena guru-guru SLB yang mengajar di sekolah ini sudah terfokus untuk mengajar anak tunarungu dan anak tunagrahita saja.

Tetapi sejak tahun 2009, pemerintah mengeluarkan keputusan bahwa SLB tidak boleh melakukan labelling. Labelling disini memiliki maksud bahwa SLB B atau SLB C tidak hanya dikhususkan untuk anak tunarungu dan anak tunagrahita saja tetapi semua anak berkebutuhan khusus boleh bersekolah di SLB ini. Pada awalnya

(6)

hampir sebagian besar guru SLB yang mengajar di sekolah ini menolak keputusan tersebut namun karena hal tersebut sudah menjadi keputusan pemerintah maka mau tidak mau semua guru SLB harus menerimanya dan hingga tahun 2016 sekolah ini sudah memiliki 20 anak didik selain tunarungu dan tunagrahita yaitu anak autis, low vision, conduct problem, tunadaksa, dan tunalaras.

Dengan adanya perubahan keputusan yang menyebabkan jumlah anak didik bertambah sedangkan jumlah guru yang mengajar tetap sama, membuat Kepala Sekolah SLB “X” merasa jumlah guru SLB yang ada di sekolah ini kurang jika dibandingkan dengan jumlah anak didiknya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka terdapat beberapa kelas yang menggabungkan anak-anak dengan kesulitan yang berbeda seperti anak tunarungu dengan anak low vision, atau anak tunagrahita dengan anak conduct problem. Hal ini dilakukan agar semua anak didiknya tetap mendapatkan pengajaran. Ketika keputusan ini belum dibuat, satu orang guru mengajar dua hingga tiga anak didik di dalam kelas, namun setelah keputusan ini dibuat satu orang guru dapat mengajar empat hingga lima anak didik di kelasnya.

Selain mengajar, mendidik, dan melatih anak didiknya, guru yang mengajar di SLB “X” ini juga memiliki tugas lain yang tetap harus dikerjakan, yaitu masing-masing guru memegang jabatan sebagai wakasek kurikulum, wakasek kesiswaan, wakasek ketenagaan, bendahara, humas, koordinator SDLB, SMPLB, SMALB, koordinator pramuka, binadiri, kesenian, keterampilan, olahraga dan jabatan lainnya. Hal ini dikarenakan oleh jumlah guru yang bekerja di SLB “X” dianggap terlalu sedikit, sehingga selain memegang jabatan sebagai guru, para guru juga harus merangkap jabatan lain.

Selain itu, pemerintah dan yayasan juga seringkali mengadakan acara yang berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus, acara-acara ini biasanya diadakan pada

(7)

hari libur misalnya hari Sabtu atau hari Minggu agar tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar. Guru-guru yang mengajar di SLB “X” pun tetap diminta untuk bertanggung jawab mendampingi orang tua dan anak didiknya. Hal ini secara tidak langsung meminta guru SLB untuk datang dan mengikuti acara tersebut hingga selesai.

Semua tugas-tugas yang diemban oleh para guru yang bekerja di SLB “X” di Bandung, membutuhkan energi, pelibatan diri yang kuat, dan konsentrasi untuk dapat menyelesaikannya. Besarnya energi yang dikeluarkan untuk mengerahkan segala kemampuan untuk mengerjakan tugas, perasaan antusiasme terhadap pekerjaan dan memiliki konsentrasi yang tinggi saat bekerja merupakan suatu konsep yang dikenal sebagai work engagement. Menurut Smulder (dalam Schaufeli, 2011) pekerjaan-pekerjaan seperti guru, entrepreneur, dan perawat memiliki satu kesamaan yaitu pekerjaan yang melibatkan pelayanan sebagai modal utamanya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut menuntut work engagement yang tinggi.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh orang guru SLB dari 32 guru SLB yang mengajar di SLB “X” ini mengenai perubahan keputusan dari pemerintah, sebanyak dua orang guru SLB (28.6%) menjadikan hal tersebut sebagai tantangan. Tetapi lima orang guru SLB lainnya (71.4%) mengatakan stress, kaget dan kebingungan ketika harus mengajar anak-anak dengan kesulitan lain selain tunarungu atau tunagrahita. Para guru mengatakan dengan adanya perubahan tersebut beban dalam mengajar menjadi bertambah, karena mengajar dua atau tiga orang ABK saja sudah berat, sedangkan sekarang harus mengajar empat hingga lima anak dengan kebutuhan yang berbeda-beda dalam satu kelas. Hal ini dikarenakan para guru sudah terbiasa mengajar anak-anak tunarungu atau anak tunagrahita saja, selain itu saat di bangku kuliah pun para guru mengambil fokus terhadap anak tunarungu atau

(8)

tunagrahita saja. Hingga sekarang satu orang guru SLB (14.3%) dari lima guru SLB tersebut masih sering mengeluh dengan kondisi anak didiknya yang memiliki kesulitan berbeda dan ketika terdapat anak yang tantrum di kelasnya, ia lebih memilih mendiamkan saja hingga anak tersebut tenang dengan sendirinya.

Lalu berdasarkan hasil wawancara dengan tujuh orang guru SLB mengenai penghayatannya terhadap tuntutan yang ada pada pekerjaan sebagai guru SLB, lima orang (71.4%) guru SLB menghayati tuntutan yang dihadapi selama mengajar sebagai guru SLB adalah sesuatu yang berat. Para guru merasakan kesulitan ketika harus berkomunikasi dengan anak-anak yang memiliki potensi dan kebutuhan yang berbeda-beda. Di satu sisi para guru harus memberikan materi tetapi di sisi lain para guru harus memerhatikan anak didiknya secara individual untuk melihat seberapa jauh perubahan yang sudah terjadi. Terkadang karena kemampuan setiap anak berbeda-beda dan perubahan yang terjadi pada anak pun tidak terjadi setiap hari guru SLB ini merasa kesal dan berharap anak dapat dengan cepat menunjukkan perubahan. Dari kelima guru SLB tersebut salah satu diantaranya (14.3%) mengatakan meskipun tuntutan dari pemerintah dan orang tua tidak terlalu banyak namun ia merasa seperti memiliki beban tersendiri dalam mengajar anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah ini. Dua orang guru SLB (28.6%) lainnya mengatakan meskipun banyak tantangan yang dihadapi saat mengajar anak-anak berkebutuhan khusus namun para guru merasa menikmatinya dan tidak pernah merasa kesulitan dalam mengajar karena para guru merasa terpanggil untuk bekerja sebagai guru SLB.

Work engagement didefinisikan sebagai suatu penghayatan positif, terlibat dengan pekerjaannya yang ditandai oleh aspek-aspeknya yaitu vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli et al., 2002: 74). Ketiga aspek tersebut akan saling berkaitan

(9)

dalam menentukan derajat tinggi rendahnya work engagement seseorang. Aspek vigor ditandai dengan level energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika bekerja, kemauan untuk mengerahkan upaya dalam pekerjaan dan persisten walaupun menghadapi kesulitan. Aspek kedua yaitu dedication mengacu pada pelibatan diri yang kuat terhadap pekerjaannya, merasakan keberartian, antusiasme, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Aspek yang terakhir adalah absorption ditandai dengan konsentrasi penuh dan keasyikan bekerja, sehingga merasa waktu cepat berlalu dan sulit untuk berhenti bekerja.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh orang guru SLB, sebanyak lima orang (71.4%) mengatakan berusaha semaksimal mungkin dan tetap bersemangat untuk mengajar walauupun mengalami kesulitan saat mengajari anak didiknya yang memiliki kebutuhan serta kemampuan berbeda. Satu orang guru SLB (14.3%) lainnya mengatakan bahwa ketika ia mengalami kesulitan dalam mengajar, ia hanya berusaha seadanya saja, ia tidak berusaha mencari solusi atau alternatif lain dan satu orang guru SLB (14.3%) lagi mengatakan menjadi kurang bersemangat dan malas untuk mengajar ketika mengalami kesulitan saat mengajari anak didiknya dan ketika anak didiknya tidak menunjukan adanya perubahan. Ia selalu berharap bahwa anak didiknya dapat dengan cepat menunjukkan adanya perubahan. Hal ini menggambarkan aspek pertama dari work engagement yaitu vigor.

Sebanyak enam orang guru SLB (85.7%) dari tujuh guru SLB merasa bangga dan berarti dapat menjadi seorang guru SLB karena pekerjaannya adalah pekerjaan yang mulia dan memberikan pelayanan atau jasa kepada orang lain. Para guru merasa tertantang dengan keadaan dan kondisi anak didiknya yang setiap saat berubah dan membuat para guru merasa antusias ketika mengajar anak didiknya. Satu orang guru SLB (14.3%) lainnya mengatakan cukup bangga menjadi guru SLB karena orang

(10)

tuanya lah yang mengharapkan ia menjadi seorang guru SLB. Hal ini membuat guru SLB tersebut kurang antusias dalam menjalani pekerjaannya sebagai guru SLB ketika ia dihadapkan dengan kesulitan saat mengajar anak didiknya. Hal ini menggambarkan aspek kedua dari work engagement yaitu dedication.

Lalu didapat informasi sebanyak dua orang (28.6%) dari tujuh orang guru SLB mengatakan menjadi malas mengajar dan waktu mengajar pun terasa lama ketika para guru mengalami kesulitan dalam mengajar dan ketika anak didiknya tidak menunjukkan perubahan. Satu orang guru (14.3%) mengatakan menjadi jenuh dalam mengajar ketika hanya mengajar satu anak saja di dalam kelasnya. Sedangkan empat orang guru lainnya (57.1%) mengatakan menikmati ketika mengajar anak-anak yang ada di SLB ini sehingga waktu berjalan begitu cepat. Hal ini menunjukkan aspek ketiga dari work engagement yaitu absorption.

Dari wawancara yang dilakukan ternyata terdapat penghayatan yang bervariasi pada guru SLB yang bekerja sebagai guru SLB serta terdapat pula variasi pada aspek-aspek work engagement. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai work engagement pada guru SLB “X” di Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana derajat work engagement pada guru SLB “X” di Bandung.

(11)

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah memperoleh data dan gambaran mengenai work engagement pada guru SLB “X” di Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran mengenai derajat work engagement pada guru SLB “X” di Bandung berdasarkan aspek-aspek dari work engagement serta faktor-faktor yang memengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Menjadikan masukan bagi ilmu Psikologi khususnya bidang Industri dan Organisasi mengenai derajat work engagement pada guru SLB “X” di Bandung. 2. Memberikan informasi kepada peneliti lain untuk pengembangan

penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan topik work engagement.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada guru dan Kepala Sekolah SLB “X” di Bandung mengenai gambaran work engagement yang dimiliki sehingga dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja para guru SLB dalam mengajar dengan cara mengikuti pelatihan atau gathering terkait dengan work engagement.

(12)

1.5 Kerangka Pikir

Guru SLB merupakan pendidik profesional yang memiliki peran penting dalam dunia pendidikan khususnya untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK). Dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai guru SLB dibutuhkan pengerahan energi, pelibatan diri, dan konsentrasi yang tinggi. Hal-hal tersebut diperlukan baik dalam merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), melaksanakan KBM, maupun dalam melakukan evaluasi pembelajaran. Menurut Schaufeli et. Al (dalam Bakker & Leiter, 2010), pengerahan energi, konsentrasi, serta dedikasi dalam suatu pekerjaan disebut sebagai work engagement.

Work engagement didefinisikan sebagai suatu penghayatan positif dan rasa terpenuhi pada pekerjaan yang ditandai oleh adanya vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli et. Al, 2002:74). Menurut Smulder (dalam Schaufeli, 2011) pekerjaan-pekerjaan seperti guru, entrepreneur, dan perawat memiliki satu kesamaan yaitu pekerjaan yang melibatkan pelayanan sebagai modal utamanya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut menuntut work engagement yang tinggi.

Dalam merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), melaksanakan KBM, maupun melakukan evaluasi pembelajaran tentunya guru SLB dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan dalam bekerja. Guru SLB ini diberikan berbagai macam tugas untuk dapat mencapai target yang telah ditentukan ketika mengajar anak berkebutuhan khusus. Tuntutan ini disebut sebagai job demands.

Job demands pada guru SLB adalah segala aspek fisik, sosial maupun organisasional dari pekerjaan tersebut yang dapat membuat guru SLB perlu mengerahkan usaha secara fisik maupun psikologis. Job demands yang pertama adalah work pressure. Guru SLB dituntut untuk dapat melakukan pengajaran terhadap anak didiknya yang memiliki kebutuhan dan kondisi yang berbeda satu

(13)

dengan yang lainnya. Dalam satu kelas bisa terdapat anak tunagrahita dan anak dengan low vision dan dua kondisi tersebut pasti memiliki metode pengajaran yang berbeda. Selain melakukan proses belajar mengajar, setiap hari guru SLB juga harus membuat delapan item administrasi yang terkait dengan masing-masing anak didik untuk melihat seberapa jauh perubahan yang sudah terjadi seperti membuat program, melakukan perencanaan, melaksanakan program, melakukan penilaian, mengevaluasi, melakukan remedial, pengayaan, dan membimbing masing-masing anak.

Hal ini tentu menjadi job demands bagi guru SLB dalam mengerjakan tugasnya sebagai seorang guru SLB dan menuntut guru SLB tersebut untuk lebih mengerahkan usahanya, meluangkan waktu serta meningkatkan produktivitasnya, sehingga meskipun terdapat banyak tekanan yang harus dihadapi oleh guru SLB, para guru tetap dapat memberikan pengajaran yang optimal untuk anak didiknya.

Job demands yang kedua adalah emotional demands. Di satu sisi para guru SLB yang mengajar di SLB ini harus dapat bersikap santai dan ramah serta perlu menjalin kedekatan emosional dengan anak didiknya agar anak didiknya mau memerhatikan dan dapat fokus pada guru SLB ketika mengajarkan materi. Tetapi di sisi lain guru SLB juga harus dapat bersikap tegas bila anak didiknya memerlihatkan sikap tidak mau diatur seperti anak yang sedang tantrum di kelas. Hal ini perlu dilakukan oleh guru SLB karena para guru menghadapi anak didik yang memiliki karakter, kemampuan, dan kebutuhan berbeda-beda. Tidak hanya dalam menghadapi anak didiknya, ketika guru SLB sedang mengalami masalah di bidang kehidupan lainnya seperti di keluarganya pun, guru SLB ini juga dituntut untuk tetap dapat memberikan pengajaran yang optimal untuk anak didiknya sehingga para guru harus mampu mengolah emosinya agar masalah tersebut tidak terbawa hingga ke sekolah.

(14)

Job demands yang ketiga adalah mental demands. Guru SLB ini harus mengetahui terlebih dahulu kebutuhan dan kesulitan yang ada pada diri anak misalnya anak dengan low vision atau anak tunagrahita sehingga para guru mengetahui metode yang tepat untuk mengajari anak. Begitu pula ketika para guru sedang mengajari suatu materi kepada anak didiknya namun terdapat anak yang tidak mengerti, guru SLB ini harus dapat mencari metode, ide atau alternatif cara mengajar lain agar anak didiknya dapat mengerti dan memahami materi yang diajarkan.

Job demands yang keempat adalah physical demands. Dalam mengajar anak didik berkebutuhan khusus yang memiliki karakter, kemampuan, dan kebutuhan berbeda-beda diperlukan fisik yang bugar karena guru SLB perlu memperhatikan setiap perubahan yang terjadi pada anak didiknya. Guru SLB juga harus siap mengejar anak didiknya yang bisa tiba-tiba berlarian keluar kelas, selain itu guru SLB juga perlu memerhatikan dan menjaga gerak-gerik anak didiknya yang bisa saja merusak barang yang ada di sekitarnya dan ketika anak didiknya tantrum, guru SLB harus bisa mengendalikan hal tersebut.

Secara personal, guru SLB memiliki karateristik dan keterampilan tertentu untuk melakukan pekerjaannya. Guru SLB dibekali dengan pengetahuan secara kognitif dan keahlian yang didapat melalui perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang ditetapkan oleh pemerintah, setelah mengikuti program tersebut guru SLB akan mendapatkan sertifikat pendidik untuk guru pendidikan khusus, baru kemudian guru SLB diperbolehkan mengajar di SLB. Pengalaman guru SLB yang berkaitan dengan ABK dapat membangun keyakinan guru tersebut mengenai kemampuannya dan potensinya untuk bisa berhasil merupakan self efficacy dan optimism pada diri guru SLB. Ketika guru SLB dihadapkan dengan masalah atau hambatan saat sedang melakukan pekerjaannya,

(15)

guru SLB tetap berusaha menghadapi masalah tersebut dan selalu memiliki perencanaan dalam bekerja agar dapat menyelesaikan semua tugas yang diberikan, hal ini merupakan resilience dan hope yang dimiliki guru SLB. Kekuatan yang menjadi sumber daya personal tersebut merupakan personal resources yang dimiliki para guru SLB ketika melakukan pekerjaannya.

Personal resources merupakan aspek kognitif dan afektif dari kepribadian yang merupakan kepercayaan positif terhadap diri sendiri dan lingkungan serta bersifat dapat dikembangkan. Hal ini dapat memotivasi pencapaian tujuan bahkan memotivasi guru SLB untuk menghadapi kesulitan (Bakker, 2008: 8-13). Dalam melakukan pekerjaannya sebagai guru SLB, salah satu tujuan personal yang ingin dicapai adalah perasaan senang dan puas apabila anak didiknya menunjukan perubahan ke arah yang lebih baik, misalnya dari yang tidak bisa menulis menjadi bisa menulis, atau dari yang tidak bisa mengikat tali sepatu menjadi bisa mengikat tali sepatu. Tujuan tersebut memotivasi guru SLB untuk dapat bekerja dengan baik, namun pada pelaksanaannya bisa saja terdapat hambatan atau masalah.

Guru SLB yang bisa menunjukan sikap beradaptasi ketika berada di bawah tekanan merupakan salah satu personal resources yang dimiliki oleh guru SLB yaitu resilience. Ketika guru SLB sedang mengajari anak didiknya dan tidak semua anak didiknya memahami dengan cepat materi yang diberikan, guru SLB tersebut akan bertahan pada kondisi tersebut dan mencoba mencari metode, cara, atau ide lain agar materinya dapat diterima oleh anak didiknya. Guru SLB seperti ini merupakan guru SLB yang menghayati memiliki resiliensi, sedangkan ketika guru SLB tersebut mudah menyerah ketika anak didiknya sulit untuk menerima materi yang diberikan dan memilih meninggalkan kelas atau meminta guru lain yang mengajar merupakan guru SLB yang menghayati kurang memiliki resiliensi.

(16)

Ketika guru SLB dapat beradaptasi, bertahan, dan berusaha bangkit dari masalah, para guru akan terus membuat perencanaan yang dirancang agar tetap bisa mencapai goal. Hal ini merupakan personal resources yang kedua yaitu hope. Hope yaitu kondisi motivasional positif yang didasarkan pada adanya keinginan untuk sukses secara interaktif, yang ditandai dengan adanya energi yang terarah untuk mencapai goal, dan adanya langkah-langkah yang dirancang untuk mencapai goal. Guru SLB yang menghayati memiliki hope akan membuat langkah-langkah terlebih dahulu untuk dapat membuat perubahan yang lebih baik pada anak didiknya seperti membuat anak didiknya menjadi lancar membaca dan berhitung, sedangkan guru SLB yang menghayati kurang memiliki hope akan merasa bingung ketika anak didiknya tidak memerlihatkan perubahan ke arah yang lebih baik karena para guru tidak membuat perencanaan terlebih dahulu.

Selain itu, kemampuan serta keterampilan yang dimiliki guru SLB dapat meningkatkan keyakinan diri para guru untuk melaksanakan atau menyelesaikan suatu tugas atau tuntutan yang diberikan kepada guru SLB tersebut. Hal ini disebut sebagai self efficacy. Guru SLB yang menghayati memiliki self efficacy akan yakin untuk dapat menghadapi tuntutan yang muncul di SLB seperti anak didiknya yang mudah lupa dengan materi yang baru diajarkan sedangkan keesokan harinya ujian akan dilaksanakan. Guru SLB juga akan semakin percaya terhadap kemampuannya untuk dapat membuat anak didiknya memahami materi-materi yang diajarkan tersebut sehingga anak didiknya tidak mudah lupa, sedangkan guru SLB yang menghayati kurang memiliki self efficacy menjadi kurang memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya untuk dapat membuat anak didiknya memahami materi yang diajarkan.

(17)

Guru yang memiliki self efficacy akan merasa yakin bahwa dirinya memiliki potensi untuk bisa berhasil dan sukses. Hal ini merupakan personal resources yang terakhir yaitu optimism. Guru SLB yang menghayati memiliki sikap optimis akan memiliki kepercayaan bahwa para guru bisa mendapatkan hasil yang baik seperti membuat anak didiknya dapat membaca dan berhitung, dengan memiliki kepercayaan ini para guru juga akan memerlihatkan sikap yang antusias ketika mengajar karena para guru akan berusaha mencari berbagai macam cara untuk membuat anak didiknya menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik seperti lancar membaca dan berhitung. Guru SLB yang menghayati kurang optimis menjadi kurang memiliki kepercayaan bahwa para guru bisa membuat anak didiknya dapat membaca dan berhitung sehingga para guru juga kurang memerlihatkan antusiasmenya ketika mengajar karena para guru kurang berusaha untuk mencari berbagai macam metode dalam mengajar anak didiknya.

Dalam bekerja, individu tidak hanya memiliki tujuan yang ingin dicapai secara personal, namun individu juga memiliki tujuan yang ingin dicapai dari sisi pekerjaannya. Tujuan yang ingin dicapai dari sisi pekerjaan sebagai guru SLB sekaligus bisa mencapai tujuan guru SLB secara personal. Tujuan yang ingin dicapai oleh guru SLB dipengaruhi oleh bagaimana tuntutan dari pekerjaannya. Tuntutan pekerjaan atau yang sering disebut sebagai job demands pada pekerjaan sebagai guru SLB dapat menjadi tekanan dan menguras energi baik fisik maupun psikis guru SLB, dan untuk mengurangi tekanan tersebut diperlukan sumber daya (resources) yang berasal dari pekerjaan itu sendiri, atau yang disebut dengan job resources.

Job resources yaitu setiap aspek fisik, sosial, dan organisasional dari pekerjaan sebagai guru SLB yang memungkinkan mengurangi job demands dan kerugian secara fisiologis maupun psikologis, kemudian berfungsi untuk mencapai

(18)

tujuan dalam mengajar, menstimulasi personal growth, pembelajaran, dan pengembangan diri guru SLB tersebut. Job resources guru SLB ini terdiri dari autonomy, performance feedback, dan social support.

Guru SLB yang mengajar di sekolah ini diberikan kebebasan dalam melakukan proses belajar mengajar terhadap anak didik yang ada di kelasnya. Para guru diberikan kebebasan untuk menggunakan metoda apapun dalam mengajar dan dalam menyampaikan materi, misalnya belajar dengan menggunakan musik atau alat peraga. Hal ini disebut sebagai autonomy. Guru SLB yang menghayati mendapatkan autonomy ketika mengajar akan lebih tertantang ketika mengajar karena para guru harus menentukan sendiri metode yang tepat untuk masing-masing anak yang memiliki kebutuhan berbeda-beda. Hal ini juga bisa meningkatkan antusiasme pada diri guru SLB tersebut dalam mengajar, sedangkan guru SLB yang menghayati kurang mendapat autonomy ketika mengajar akan merasa bosan dengan metode yang digunakan secara monoton sehingga guru SLB ini menjadi kurang antusias dalam mengajar.

Job resources yang kedua adalah performance feedback. Umpan balik ini dapat diberikan kepada guru SLB baik oleh kepala sekolah maupun sesama guru. Guru SLB yang menghayati mendapatkan performance feedback yang sifatnya membangun dari lingkungannya seperti kelebihan atau kekurangan guru SLB dalam mengajar dapat membuat guru SLB merasa berarti karena dengan lingkungannya memberi feedback berarti lingkungan tersebut memerhatikan guru SLB ketika mengajar. Hal ini juga dapat meningkatkan keyakinannya dan kemampuan guru SLB dalam mengajar karena guru SLB tersebut akan memertahankan kelebihannya dalam mengajar dan merubah kekurangannya dalam mengajar. Untuk guru SLB yang menghayati kurang mendapatkan performance feedback dari lingkungannya akan

(19)

merasa bingung dengan kinerjanya selama ini, karena tidak ada umpan balik mengenai kinerjanya dalam mengajar misalnya sudah baik atau masih ada yang kurang dan hal ini bisa mengurangi keyakinannya dalam mengajar.

Job resources yang ketiga adalah social support. Dukungan ini bisa berasal dari kepala sekolah, sesama guru, maupun kerabat dan keluarga masing-masing. Guru SLB yang menghayati mendapatkan social support dari lingkungannya seperti pujian, dukungan, dan perhatian dapat meningkatkan usaha dan daya juang pada diri guru SLB tersebut dalam mengajar karena para guru akan merasa orang lain saja yakin dengan kemampuan yang dimiliki guru SLB tersebut. Untuk guru SLB yang menghayati kurang mendapat social support dari lingkungannya bisa saja memiliki usaha dan daya juang yang terbatas atau malah menurunkan usaha dan daya juangnya dalam mengajar karena para guru merasa tidak ada yang memerhatikan dan menemani para guru ketika para guru sedang mengalami kesulitan saat mengajar.

Job resources dapat mengurangi tekanan dalam tuntutan pekerjaan (job demands) dan juga akan menstimulasi perkembangan pribadi (dalam hal ini personal resources). Personal resources dan job resources akan saling terkait dan saling mendukung dalam mengurangi job demands (Bakker & Demerouti, 2007, 2008) dan dengan begitu maka individu akan merasa engaged terhadap pekerjaannya. Semakin tinggi derajat personal resources yang ada pada diri individu dan adanya job resources yang memadai maka akan semakin menunjang dalam mengubah job demands menjadi sesuatu yang tidak menekan bagi individu tersebut (Bakker & Demerouti, 2007). Menurut Bakker dan Leiter (2010) energi dan fokus yang terdapat pada work engagement akan membuat individu bekerja maksimal saat bekerja.

Work engagement dapat diukur melalui aspek-aspeknya yaitu vigor, dedication, dan absorption. Aspek yang pertama adalah vigor yaitu level energi dan

(20)

resiliensi mental yang tinggi ketika bekerja, kemauan mengerahkan upaya dalam bekerja dan persisten walaupun menghadapi kesulitan. Guru SLB yang memiliki vigor yang tinggi akan merasa memiliki energi yang banyak saat melaksanakan tugasnya sebagai guru SLB, para guru akan berusaha untuk mengatasi anak yang sedang tantrum saat berada di kelas sehingga guru SLB tersebut tetap bisa mengajar seoptimal mungkin. Guru SLB tersebut akan berusaha memberikan materi sesuai dengan kebutuhan anak didiknya misalnya anak dengan low vision mengharuskan guru SLB untuk mengajar dengan menggunakan penerangan yang lebih banyak. Guru SLB yang memiliki vigor yang rendah merasa energi yang dimilikinya sedikit ketika sedang melaksanakan tugas sebagai guru SLB, tidak berusaha melanjutkan proses belajar mengajar ketika kondisi kelas tidak kondusif karena terdapat anak yang tantrum, malas mengatasi anak didiknya yang memerlihatkan sikap sulit diatur, dan tidak berusaha memberikan pengajaran sebaik dan seoptimal mungkin sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak didiknya.

Aspek yang kedua adalah dedication yaitu pelibatan diri yang kuat terhadap pekerjaan sebagai guru SLB dan guru SLB tersebut merasakan keberartian (significance), antusiasme (enthusiasm), inspirasi (inspiration), kebanggaan (pride), dan tantangan (challenge). Guru SLB yang memiliki dedication tinggi akan memerlihatkan sikap yang antusias ketika mengajar misalnya ketika anak tunagrahita tidak mengerti dengan metode pengajaran yang diberikan maka guru SLB akan mencoba mencari metode lain untuk mengajar, para guru akan terinspirasi ketika mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus, bangga dapat bekerja sebagai guru SLB dan merasa pekerjaan sebagai guru SLB adalah pekerjaan yang memiliki makna dan tujuan, serta menjadikan tuntutan dan kesulitan yang ada saat bekerja sebagai guru SLB menjadi sebuah tantangan. Sebaliknya guru SLB yang memiliki dedication

(21)

yang rendah tidak merasa antusias ketika mengajar atau terlihat malas ketika mengajar, tidak terinspirasi ketika mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus tersebut, tidak merasa bangga menjadi guru SLB, tidak merasa pekerjaan sebagai guru SLB adalah pekerjaan yang berarti, dan merasa kesulitan serta tuntutan yang ada selama bekerja sebagai guru SLB sebagai suatu beban.

Aspek ketiga adalah absorption. Guru SLB yang memiliki absorption tinggi ditandai dengan guru SLB yang memiliki konsentrasi penuh saat mengajar misalnya dalam menerapkan metode CTL di luar kelas selain guru SLB memberi pengajaran bagi anak didiknya guru SLB juga tetap harus mengawasi pergerakan anak didiknya, merasa menikmati ketika mengajar anak-anak dengan kebutuhan yang berbeda-beda sehingga merasa waktu terasa cepat berlalu. Sebaliknya guru SLB yang memiliki absorption rendah akan sulit berkonsentrasi ketika sedang mengajar misalnya ketika terdapat anak yang tantrum di kelasnya konsentrasi guru SLB ini langsung hanya terfokus pada anak yang tantrum ini saja, para guru kurang mampu membagi konsentrasinya untuk mengajar anak-anak didik lainnya yang ada di kelasnya. Guru SLB ini akan mudah terdistraksi saat mengajar dan merasa jenuh ketika mengajar anak didiknya yang memiliki kebutuhan khusus.

Vigor, dedication, dan absorption akan saling terkait dan menentukan tinggi atau rendahnya derajat work engagement yang dimiliki guru SLB. Guru SLB dengan derajat work engagement tinggi akan berusaha mengerahkan energinya untuk menyelesaikan tugasnya sebagai guru SLB dan mengatasi kesulitan yang muncul ketika mengajar seperti keadaan anak didiknya yang tiba-tiba tantrum, bersemangat dan antusias ketika mengajar anak didiknya yang memiliki kesulitan berbeda-beda seperti anak tunarungu dengan anak yang tunagrahita atau anak yang low vision dengan anak yang conduct problem, para guru akan bangga dengan pekerjaannya,

(22)

para guru akan menikmati pekerjaannya, sehingga waktu mengajar terasa begitu cepat, para guru juga menganggap tuntutan yang dihadapinya sebagai tantangan, dan merasa engaged dengan pekerjaannya sebagai guru SLB.

Guru SLB dengan derajat work engagement yang tinggi juga akan terlihat dari sikap para guru ketika dihadapkan dengan perubahan keputusan pemerintah mengenai penghapusan labelling yaitu harus mengajar anak didik yang memiliki kesulitan lain selain tunarungu dan tunagrahita, guru SLB yang engaged akan berusaha mencoba menambah wawasan dan pengetahuannya dengan berbagai cara mengenai kondisi anak didiknya tersebut. Misalnya dengan membaca buku, jurnal, penelitian-penelitian atau dengan mengikuti seminar-seminar atau training yang terkait dengan anak didiknya. Para guru juga akan mempelajari kembali bagaimana metode pengajaran yang tepat bagi anak didik tersebut tanpa diminta oleh pihak sekolah. Ketika terdapat kegiatan di hari libur yang berkaitan dengan anak-anak didiknya, para guru akan bersemangat dan merasa antusias untuk mengikuti kegiatan tersebut dengan tujuan menemani dan membimbing anak didiknya dan selama kegiatan tersebut berlangsung para guru pun akan menikmatinya.

Ketika derajat salah satu aspek dari work engagement rendah, maka derajat work engagement guru SLB tersebut akan menjadi rendah. Misalnya guru SLB tersebut memiliki semangat yang tinggi ketika sedang mengerjakan tugasnya sebagai guru SLB, guru SLB tersebut juga merasa pekerjaannya penuh dengan tantangan dan merasa antusias ketika bekerja, tetapi tidak merasa menikmati saat bekerja. Begitupula ketika guru SLB tersebut merasa pekerjaan sebagai guru SLB merupakan pekerjaan yang memiliki makna dan tujuan, guru SLB tersebut merasa waktu begitu cepat berlalu ketika bekerja, tetapi tidak menghayati memiliki energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika bekerja, maka derajat work engagementnya pun akan

(23)

rendah. Derajat work engagement akan semakin rendah ketika semua aspek dari work engagement juga memiliki derajat yang rendah. Hal ini terlihat dari sikap guru SLB yang akan mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan, tidak bersemangat dan tidak memerlihatkan sikap yang antusias ketika mengajar, para guru juga tidak bangga dengan pekerjaannya sebagai guru SLB karena menganggap tuntutan atau tantangan yang dihadapinya sebagai beban. Jika dilihat dari sikapnya dalam menghadapi perubahan yang terjadi dan dalam menyelesaikan tugas-tugas tambahan pun, guru SLB yang memiliki derajat work engagement rendah akan mengajar anak didiknya sesuai dengan pengetahuan yang para guru miliki, para guru tidak merasa antusias untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait dengan anak didiknya. Ketika terdapat kegiatan di hari libur pun, para guru akan mencari-cari alasan agar tidak perlu mengikuti kegiatan tersebut.

(24)

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir Guru SLB “X” di Bandung. Personal Resources :  Self Efficacy  Optimism  Hope  Resiliency Job Resources :  Autonomy  Performance Feedback  Social Support Job Demands :  Work Pressure  Emotional Demands  Mental Demands  Physical Demands Aspek :  Vigor  Dedication  Absorption Rendah Tinggi Work Engagement

(25)

1.6 Asumsi Penelitian

1. Tugas guru SLB “X” dalam mengajar, mendidik, dan melatih ABK memiliki work pressure, emotional demands, mental demands, dan physical demands yang merupakan job demands.

2. Dalam menghadapi kesulitan ketika bekerja sebagai guru SLB, guru SLB “X” tetap harus bekerja sesuai dengan ketentuan. Artinya guru SLB tetap harus memiliki work engagement.

3. Work engagement dibentuk oleh vigor, dedication, dan absorption.

4. Derajat work engagement tinggi ketika ketiga aspeknya memiliki derajat yang tinggi juga dan derajat work engagement rendah ketika terdapat salah satu atau ketiga aspeknya memiliki derajat yang rendah.

5. Derajat work engagement dipengaruhi oleh job demands, job resources dan personal resources.

6. Derajat work engagement yang dimiliki oleh guru SLB “X” di Bandung berbeda-beda.

Gambar

Gambar 1.1  Bagan Kerangka PikirGuru  SLB  “X”  di Bandung. Personal Resources :   Self Efficacy   Optimism   Hope   Resiliency Job Resources :   Autonomy   Performance Feedback   Social Support Job Demands :    Work Pressure    Emotional Demands

Referensi

Dokumen terkait

Persyaratan Kualitas Air Untuk Budidaya Ikan Kerapu Macan Kualitas wilayah perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan

Sehingga dengan memanfaatkan suatu sistem informasi perpustakaan berbasis website, diharapkan dapat menciptakan suatu kinerja yang lebih cepat dan efisien terutama

Jelaskan secara rinci indikator capaian produk Program KKN-PPM yang dituju, misalnya peningkatan produksi, efisiensi biaya, perbaikan sistem, peningkatan partisipasi masyarakat,

masangan kamera pengaman pada ruang brankas masih banyak belum dilakukan.Untuk itu, perlu diterapkan kamera pengaman pendeteksi gerak yang berbasis internet

I)ari ketiga skripsi di atas, skripsi pertama dan kedua telah membahas perhatian orang tua. dan motivasi trelajar secara teoritik yang dikaji dari sudut.. pandang

 Guru menunjuk/memanggil siswa secara bergantian untuk memasang/mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis dan menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan

Sistem pakar merupakan program aplikasi dimana program tersebut menirukan proses penalaran dari seorang ahli dalam memecahkan masalah, dengan kata lain sistem

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aktivitas ekstrak rhizoma kunyit (Curcuma domestica Val) terhadap pertumbuhan jamur Alternaria porri Ellis, dan