• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Korespondensi:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Korespondensi:"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS RELAPSE PREVENTION THERAPY TERHADAP PENINGKATAN SELF EFFICACY DALAM MENGHADAPI SITUASI RESIKO TINGGI PEMICU

RELAPSE PADA PASIEN TERAPI METADON Eka Oktavia Budningsih1, Achmad Djunaidi1, Kustimah1

1Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Korespondensi: ekaaoktavia@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas RPT untuk meningkatkan self-efficacy dalam menghadapi situasi resiko tinggi pemicu relapse pada pasien metadon. Self-efficacy merupakan salah satu faktor kognitif yang termasuk dalam faktor yang mempengaruhi kerentanan individu terhadap relapse. Relapse Prevention Therapy (RPT) merupakan terapi yang dikembangkan oleh Marlatt pada tahun 1985. Teori yang berdasar dari pengembangan pendekatan behavioristik yaitu cognitive behaviour therapy. Terapi ini dibuat untuk mencegah relapse pada area perilaku adiksi dan fokus pada masalah yang penting dari membantu pecandu mengubah perilakunya untuk membantu perkembangan yang telah dibuat pecandu dalam proses perawatan atau perubahan diri. Rancangan dalam penelitian ini adalah eksperimental semu, dengan melibatkan empat partisipan yang diperoleh melalui teknik purposive sampling. Data diperoleh dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dan kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah Drugs Taking Confidence Quetionnaire (Drugs Version). RPT diberikan dalam tujuh sesi. Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali yaitu sebelum, ketika intervensi diberikan dan setelah intervensi selesai dilakukan. Evaluasi juga dilakukan secara kualitatif. Data analisis dengan menggunakan teknik uji hipotesis, analisis jalur konfirmatori, dan analisa deskriptif. Hasil penelitian menunjukan RPT secara umum tidak efektif meningkatkan self-efficacy dalam menghadapi situasi resiko tinggi pemicu relapse pada pasien metadon. Namun secara khusus, RPT dapat meningkatkan self efficacy pada kemampuan melatih coping yang efektif dalam menghadapi situasi resiko tinggi pemicu lapse atau relapse.

Keyword: Self-efficacy, Relapse Prevention Therapy, Narkoba I. Pendahuluan

Penggunaan narkoba merupakan kasus yang akhir – akhir ini sedang hangat diperbincangkan. Narkoba tidak hanya menyerang kalang tertentu melainkan sudah menyerang ke berbagai kalangan dan tidak mengenal baik usia, jenis kelamin, status sosial, atau tingkat pendidikan seseorang. Seperti yang dilansir oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), peredaran narkoba di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin marak. Hal ini diindikasikan dari berbagai fakta dan data tangkapan kasus, hasil wawancara dengan informan kunci, dan konfirmasi ke berbagai pihak. Terlihat dari peningkatan kasus yang ditangani oleh BNN pada tahun 2010 berkisar 26 ribu kasus dan 29 ribu kasus pada tahun 2011 (P4GN, 2012).

(2)

Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan atau ketagihan yang berat. Salah satu jenis narkotika yang banyak digunakan adalah heroin. Heroin tergolong opioida semisintetik, yang dibuat dari morfin yang terdapat pada getah tanaman candu melalui perubahan kimiawi yang sederhana. Heroin lebih mudah larut dalam lemak, sehingga lebih mudah menembus sawar darah otak dibandingkan morfin.

Seseorang dapat dikategorikan adiksi terhadap narkoba atau menjadi pecandu bila narkoba sudah mempengaruhi segala aspek kehidupan seseorang, baik secara fisik dan psikis. Individu tersebut merasa tidak dapat hidup tanpa menkonsumsi narkoba. Secara fisiologis, tubuh individu akan meminta dosis yang meningkat untuk mendapatkan efek yang diinginkan, sedangkan secara psikologis individu yang kecanduan akan mempunyai keyakinan bahwa narkoba merupakan sumber kesenangan dan jawaban dari berbagai masalah hidup. Narkoba tidak lagi dirasakan sebagai kesenangan, melainkan hanya menjadi sebuah kebutuhan yang harus segera dipenuhi.

Menanggapi fakta tersebut, berbagai cara telah dikembangkan untuk mengatasi dampak buruk penggunaan narkoba (harm reduction). Salah satunya adalah terapi subtitusi. Terapi ini dinilai lebih efektif karna tidak membutuhkan hospitalisasi (rawat residensi) jangka panjang. Substitusi yang digunakan dapat bersifat agonis (methadone), agonis partial (buphrenorphine) atau antagonis (naltrexone). Methadone Maintance Therapy (MMT), dikenal sebagai Program Terapi Rumatan Metadone (PTRM) di Indonesia yang paling umum dijalankan.

Terapi metadon ini sangat disarankan untuk pengguna opioida yang hard core addict (pengguna opioida yang telah bertahun-tahun menggunakan opioida suntikan, mengalami kekambuhan kronis dan kegagalan berulang kali menjalani terapi ketergantungan). Pengguna dibantu untuk berhenti memakai opioid (detoksifikasi), dengan takaran metadon yang dikurangi tahap-demi-tahap selama jangka waktu tertentu. Pemberian terapi metadon diberikan secara terus-menerus dengan dosis yang disesuaikan agar pengguna tidak mengalami gejala putus zat (sakaw).

Keefektifan terapi untuk penyalahgunaan obat sendiri akan menunjukan peningkatan jika dikombinasikan dengan terapi psikososial lainnya. Salah satu terapi yang dapat digunakan adalah Relapse Prevention Therapy (RPT). Terapi ini dikembangkan oleh Marlatt pada tahun 1985. Teori yang berdasar dari pengembangan pendekatan

(3)

behavioristik yaitu cognitive behaviour therapy dalam beberapa penelitian menunjukan hasil yang efektif terhadap pasien-pasien dengan perilaku adiktif (Shiffman, 1992; Carroll, 1996; Cooney et al, 1997; Irvin et al, 1999; Mckay, 1999) .

RPT merupakan terapi menejemen diri yang dibuat untuk mencegah relapse pada area perilaku adiksi dan fokus pada masalah yang penting dari membantu pecandu mengubah perilakunya untuk membantu perkembangan yang telah dibuat pecandu dalam proses perawatan atau perubahan diri. (Marlatt dan Donovan, 2005). Konsep yang digunakan oleh RPT adalah dengan proses problem solving dan orientasi ulang dari nilai dan perilaku hidup individu (Giannetti, 1993). RPT mempunyai tujuan utama untuk memberikan keterampilan pada klien untuk mencegah relapse seutuhnya dan dapat terlepas dari situasi atau faktor resiko yang dapat memicu relapse di masa yang akan datang. Tidak hanya tujuan utama, RPT juga mempunyai dua tujuan spesifik yaitu mencegah penggunaan awal dan menjaga klien pada tahap abstinence (bersih dari zat) atau sebagai tujuan dari pengurangan dampak buruk (harm reduction) dan memberikan pengelolaan jika terjadi lapse (penggunaan awal zat setelah abstinence) dan mencegah terjadinya lanjutan lapse ke arah relapse sepenuhnya. Dalam hal ini zat yang dimaksud adalah narkoba.

Penelitian yang dilakukan oleh Marlatt & Gordon (1985) yang mengembangkan model tentang relapse menyatakan bahwa jika individu dihadapkan pada situasi resiko tinggi (misalnya tekanan sosial, atau situasi yang dianggap menekan atau mengancam), jika individu dapat memunculkan mekanisme coping yang tepat maka kesempatan untuk lapse dan relapse akan menurun dan self-efficacy individu akan meningkat. Peningkatan self-efficacy diperoleh dari proses kognisi yang terjadi ketika individu berhadapan dengan situasi resiko tinggi. Sebaliknya, jika individu mengembangkan coping yang tidak efektif (tidak dapat menolak ajakan menggunakan dan kembali menggunakan narkoba) dan disertai oleh harapan yang positif mengenai efek zat-zat penyebab kacanduan maka akan meguatkan persepsi individu mengenai kenikmatan zat-zat tersebut, dan menurunkan self-efficacy pecandu yang kemudian meningkatkan resiko untuk relapse.

Fenomena tersebut yang juga peneliti temukan pada pasien terapi metadon di Puskesmas Tebet. Pasien yang sedang menjalani terapi metadon yang sudah dalam tahap dosis stabil terkadang mengalami episode lapse atau slip. Peneliti mendapatkan data dari

interview awal dengan pasien X yang sudah mengikuti terapi metadon selama 7 tahun dan

sudah dalam tahap stabil. Beliau menyampaikan bahwa selama menjalani terapi metadon ada kalanya ia mempunyai keinginan untuk sesekali menggunakan kembali narkoba. X

(4)

mengalami lapse sebagian besar disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya peristiwa-peristiwa besar yang dihayati tidak lengkap tanpa menggunakan opioid, masalah-masalah interpersonal dan atau intrapersonal yang dialami pasien, sugesti efek positif dari penggunaan opioid, dan sebagainya. Ketika perasaan-perasaan itu muncul, ia beranggapan menggunakannya sekali saja tidak akan berbahaya dan tidak akan ketahuan oleh oranglain, tetapi ia tetap mendapatkan efek menyenangkan dari penggunaan obat tersebut. Ketika menghadapi situasi tersebut, pasien merasa tidak yakin mampu untuk menolak godaan untuk memakai dan akhirnya menjadi lapse.

Lain halnya dengan Y, ia merupakan mantan pasien terapi metadon yang kini sudah 5 bulan berhenti dari terapi metadon dan juga bersih dari penggunaan narkoba. Y memutuskan akhirnya untuk berhenti setelah merasa jenuh dengan terapi metadon yang mengharuskannya untuk datang setiap hari ke klinik untuk minum obat selama 10 tahun. Proses untuk berhenti total baik dari terapi metadon dan dan narkoba bukan hal yang mudah. Y harus melalui penurunan dosis metadon yang mempunyai efek samping putus obat, Y juga harus menghadapi ajakan teman-temannya yang pecandu aktif untuk memakai lagi, tekanan sosial seperti stigma negatif tentang diri Y sebagai pecandu juga cukup besar, namun Y dapat melewati hal tersebut. Perasaan sangat lelah yang dialami oleh Y menjadi pecandu yang kemudian membuat Y yakin bahwa ia dapat lepas dari terapi metadon ataupun penggunaan narkoba. Sehingga ketika ia dihadapkan dengan tekanan dari lingkungan maupun diri sendiri, ia berupaya sekuat mungkin untuk tidak kembali menggunakan narkoba sebagai jalan keluar.

Pada pasien metadon yang sudah mencapai tahap stabil, kemungkinan untuk relapse sepenuhnya menjadi berkurang, tetapi penggunaan narkoba sesekali atau yang dikenal sebagai lapse atau slip sangat memungkinkan untuk terjadi. Godaan akan perasaan menyenangkan yang didapat ketika menggunakan narkoba sesekali akan muncul pada pasien. Penghayatan seseorang yang melekat pada situasi tertentu, sugesti efek positif dari penggunaan obat, dan keyakinan diri yang rendah untuk menolak godaan menjadi pendorong kuat seseorang untuk lapse.

Dari uraian tersebut, self-efficacy merupakan aspek psikologis yang penting ketika pecandu menghadapi situasi resiko tinggi pemicu relapse. Peningkatan self-efficacy dapat dilakukan dengan menggunakan RPT. Dengan pemberian RPT, diharapkan pasien terapi metadon dapat menunjukan coping yang efektif ketika menghadapi situasi resiko tinggi pemicu relapase melalui peningkatan self-efficacy pada pasien. Pada RPT, individu diberikan kesempatan yang luas untuk belajar keterampilan baru dan bukan hanya dibantu

(5)

untuk belajar keterampilan baru tetapi juga praktek dan pelatihan kepada individu melalui

modelling, role play, feedback, dan homework untuk memastikan individu telah

memperoleh keterampilan baru dan dapat mempraktekannya.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai efektivitas intervensi relapse prevention therapy dalam meningkatkan

self-efficacy menghadapi situasi resiko tinggi pemicu relapse pada pasien metadon.

II. Kajian Literatur

Self-efficacy adalah keyakinan pada kemampuan individu untuk mengorganisir dan melaksanakan serangkaian aksi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan (Bandura, 1997). Self-efficacy sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dan faktor lingkungan (Bandura, 1986; Cassidy & Eachus, 1998; Koul & Rubba, 1999; Pajares 2002). Dalam perkembangan pola perilaku adiksi melibatkan dua fase prevensi self efficacy, yaitu fase primer dan fase sekunder. Fase yang pertama berfokus pada penggunaan awal atau pengalaman menggunakan narkoba. Fase primer program prevensi menitik beratkan pada peningkatan resistance self efficacy untuk menghambat penggunaan awal narkoba. Kemudian fase sekunder fokus pada prevensi sekunder atau disebut dengan keyakinan untuk mengurangi jumlah kerugian dari pengalaman menggunakan sebelumnya. Peran self efficacy disini adalah secara langsung merancang perilaku untuk mengurangi resiko atau kerugian penggunaan jumlah obat termasuk penggunaan jumlah sedang.

Penelitian terbaru tentang peranan perceived Self Efficacy dalam perilaku kecanduan, Marlatt, Baer, dan Quigley (dalam Self Efficacy in Changing Societies, 1995) mengajukan lima kategori efficacy beliefes sebagai berikut, yaitu :

a. Resistance Self Efficacy, penilaian terhadap kemampuan seseorang menghindari dari penggunaannya sebelum menggunakannya.

b. Harm-reduction Self Efficacy, efficacy dalam meminimalisasi resiko setelah penggunan yang pertama kali.

Tahap selanjutnya adalah tahapan perubahan tingkah laku :

c. Action Self Efficacy, atau keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai kondisi abstinence atau penggunaan yang dikontrol sesuai dengan yang diinginkan.

d. Coping Self Efficacy, berhubungan dengan anticipatory efficacy untuk mengatasi relapse crises.

(6)

e. Recovery Self Efficacy, yang termasuk ke dalamnya restorative coping yang dilanjutkan dengan episode lapse dan relapse.

Konsep RPT

Relapse Prevention Therapy merupakan terapi menejemen diri yang dibuat untuk mencegah relapse pada area perilaku adiksi dan fokus pada masalah yang penting dari membantu pecandu mengubah perilakunya untuk membantu perkembangan yang telah dibuat pecandu dalam proses perawatan atau perubahan diri. (Marlatt dan Donovan, 2005). Area yang diintervensi oleh terapi ini adalah faktor-faktor interpersonal klien yang memberikan pengaruh ketika klien dihadapkan pada situasi-situasi resiko tinggi pemicu relapse dan juga mengajarkan startegi coping yang baru untuk mencegah relapse.

Tujuan dari terapi ini adalah mengajarkan kepada pasien coping skill yang efektif dan dapat menghadapi situasi resiko tinggi pemicu relapse. Program dari terapi ini meliputi instruksi secara langsung, modelling, latihan perilaku, pengajaran untuk perilaku respon yang sebenarnya. RP merupakan pencegahan dan strategi intervensi yang dirancang untuk mencegah lapse awal dan memberikan keterampilan menejemen ketika lapse terjadi. RP menggabungkan komponen besar pendidikan, seperti restrukturisasi kognisi dari kesalahan persepsi dan pemikiran maladaptif

The Cognitive-Behavioral Model of Relapse

(7)

Pada model ini terdiri dari tonic processes dan phasic response. Tonic processes disebut juga sebagai general background factor yang mempengaruhi kerentanan individu untuk relapse. Proses ini terdiri dari distal risk, cognitive processes, dan physical withdrawal. Termasuk di dalamnya riwayat keluarga, dukungan sosial, faktor genetis, dan kepekaan terhadap obat. Terdapat juga faktor kognitif seperti self-efficacy, harapan dari penggunaan obat, motivasi, dan craving. Beberapa faktor dalam proses ini sebagian dapat menjadi phasic responses, karena memiliki baseline tersendiri atau yang disebut sebagai state variable, seperti physical withdrawal, self-efficacy, dan negative affect. Sedangkan phasic response merupakan kondisi sementara (transient states) atau faktor aktivasi yang mendahului lapse. Dalam phasic response terdapat coping behavior, affective state, dan substance use behavior (Marlatt dan Witkiewitz, 2004).

III.Metode

Penelitian ini dilakukan untuk menguji efektivitas pemberian Relapse Prevention Therapy terhadap peningkatan self-efficacy ketika menghadapi situasi resiko tinggi pemicu relapse pada pecandu yang sedang menjalani terapi rumatan metadon. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimental, yaitu desain penelitian yang menerapkan prosedur eksperimental tetapi tidak semua variabel extraneous dapat dikontrol (Christensen, 1988). Disamping itu eksperimen ini digunakan untuk melihat efektivitas dari suatu pemberian perlakuan (treatment) terhadap suatu permasalahan.

Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini dalah systematic case-study, dengan desain penelitian one group pretest-posttest design (Baker, Pistrang, &Elliot, 2002) yang memungkinkan peneliti untuk melihat efektivitas RPT dengan cara membandingkan hasil pre-test, evaluasi setiap pertemuan, dan post-test. Data dalam penelitian akan diperoleh dengan menggunakan kuisioner, wawancara, dan observasi. IV. Hasil dan Pembahasan

Self-efficacy diukur dengan kuesioner yang terdiri dari 50 item pernyataan yang diadaptasi dari Drug-Taking Conficence Questionnaire (DTCQ) oleh Annis et al (1997) (dalam Enhancing Motivation for Change in Substance Abuse Treatment, Treatment Improvement Protocol (TIP) Series 35). Alat ukur ini mengukur tingkat self efficacy pecandu dalam menghadapi situasi resiko tinggi. Sejalan dengan hasil penelitian Marlatt & Gordon (1985), membagi kondisi-kondisi resiko tinggi pemicu relapse menjadi delapan subscale, yaitu : unpleasant emotion, physical discomfort, pleasant emotion,

(8)

testing personal control, urges and temptation to use, conflict with other, social preasure to use, dan pleasant times with other.

Diagram 4.1 Perubahan Self-efficacy pada setiap aspek *)rata-rata yang sudah disesuaikan

Berdasarkan diagram diatas, terlihat bahwa secara umum perubahan terjadi hampir di seluruh aspek self-efficacy. Aspek yang perubahannya cukup terlihat adalah Physical Discomfort (PD) dan Pleasant Time with Other (PTO). Dimana terjadi penurunnya pada minggu pertama dan di minggu kedua yang kemudian mengalami kenaikan di post-test lebih dari pada minggu pre-test. Untuk aspek Unpleasant Emotion (UE), Pleasant Emotion (PE), Conflict With Other (CWO), Social Preasure (SP), dan Testing Personal Control (TPC) tidak mengalami penurunan dan kenaikan yang drastis. Sedangkan untuk aspek, Urges and Temptation to Use (UG) mengalami sedikit penurunan di setiap minggunya dan kembali naik di minggu post-test namun tidak melebihi angka pada minggu pre-test. Test Statisticsa N 4 Chi-Square 5.418 Df 4 Asymp. Sig. .247 a. Friedman Test

(9)

Sedangkan uji hipotesis melalui uji Friedman dapat terlihat bahwa Dengan α = 5% dan hasil chi-square = 5.4, maka H0 diterima dan H1 ditolak. Tidak terdapat pengaruh pemberian Relapse Prevention Therapy terhadap derajat self-efficacy menghadapi situasi resiko tinggi pemicu relapse pada pasien terapi metadon.

V. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data, baik kuantitatif maupun kualitatif, serta pembahasan yang dipaparkan dalam bab sebelumnya, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Relapse prevention therapy tidak secara efektif meningkatkan derajat self-efficacy dalam menghadapi situasi resiko tinggi pemicu relapse pada pasien terapi rumatan metadon. Hal tersebut terlihat dari hasil uji beda Friedman pada alat ukur Drugs Taking Confidence Questionnaire (Drugs Version) yang menunjukan hasil yang tidak signifikan.

2. Intervensi Relapse prevention therapy pada penelitian ini dapat menunjukan perubahan pada self-efficacy partisipan, khususnya pada kemampuan melatih coping yang efektif dalam menghadapi situasi resiko tinggi pemicu lapse atau relapse. 3. Kemajuan hasil dari terapi juga bergantung pada kesediaan, komitmen dan kerja sama

partisipan. Seluruh partispan dapat menyelesaikan semua sesi terapi karena adanya therapeutic rapport antara peneliti dan partisipan.

VI. Referensi

Badan Narkotika Nasional, 2012. Jurnal Data: Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun 2011, ed. 2012. Jakarta.

Bandura, Albert. 1995. Self Efficacy in Changing Societes. Cambridge : Cambridge University Press.

Bandura, Albert. 1995. Self Efficacy: Yhe Exercise Of Control. New York: W.H. Freeman and Company

Beck, Aaron T., Wright, Fred D., etc. 1993. Cognitive Therapy of Substance Abuse. New York : The Guilford Press.

Carroll, K.M, 1996. Relapse prevention as psychosocial treatment: A review of controlled clinicaltrials, Experimental and Clinical Psychopharmacology 4: 46-54.

Colondam, Veronica. 02 Februari 2008. Pecandu dan Integrasi Sosial. Jakarta : Media Indonesia.

(10)

Dadang Hawari. 2006. Penyalahgunaan & Ketergantungan NAPZA. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

David, W. Spinger & Allen, Rubin. 2009. Substance Abuse Treatment for Youth and Adults. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.

Donovan M. Dennis & Marlatt G. Alan. 2005. Assesment of Addictive Behaviors. New York. Guildford Publication.

Dr, dr. Nurdin, Adnil Edwin SpKJ. 2007. Madat Sejarah Dampak Klinis dan Penyalahgunaannya. Jakarta : Mutiara Wacana.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA). Jakarta : Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Edwards, Sue-Henry., Gowing, Linda. etc. 2003. Clinical Guidelines and Procedures for the Use of Methadone in the Maintenance Treatment of Opioid Dependence. Australia Goverment.

Febrikariyani, Nindi. 2013. Tesis : “ Efektivitas Penerapan Cognitive Behavioral Coping Skill Therapy terhadap Self Efficacy dalam Menghadapi Situasi Pemicu Relapse Pada Mantan Penyalahguna Narkoba (Studi Pada Warga Binaan di Lembaga Permasyarakatan Kelas IIA Banceuy)”. Bandung : Universitas Padjajaran.

Graziano, A.M & Raulin, M. 2000. Research Methods : A Process of Inquiry 4th edition. Boston USA : Allyn & Bacon

Irvin, J.E, Bowers, C.A. Dunn, M.E, and Wang, M.C. 1999. Efficacy of relapse prevention: A meta-analytic review. Journal of Counsulting and Clinical Psychology 67: 563-570.

Kurniawan, J. 2008. Arti Definisi & Pengertian Narkoba Dan Golongan/Jenis Narkoba Sebagai Zat Terlarang. .http://juliuskurnia.wordpress.com/ 2008/04/07/arti-definisi-pengertian-narkoba-dan-golonganjenis-narkoba-sebagai-zat-terlarang. Diakses tanggal 12 Maret 2013.

Liettieri, Dan J. Ph.D, et al. 1980. Theories On Drug Abuse : Selected Contemporary Perspective. National Institute on Drug Abuse. Maryland.

Margarana M, Anak Agung Bagus. 2013. Tesis : “Pengaruh CBT Terhadap Peningkatan Self Efficacy Pada Pasien Diabetes Militus Tipe 2”. Bandung : Universitas Padjajaran.

Marlatt, G Alan And Donovan, Dennis M. 2005. RELAPSE PREVENTION: Maintenance Strategies in the Treatment of Addictive Behaviors, Second Edition. New York : The Guilford Press.

(11)

Miller, William R.1999. Enhancing Motivation for Change in Substance Abuse Treatment, Treatment Improvement Protocol (TIP) Series 35. Rockville : Public Health Service.

Santosa, Agoes. 2015. Tesis. “Efektivitas Rational-Emotive Behavior Therapy Untuk Menurunkan Derajat Simptom Depresi (Studi Kasus Pada Pasien Jantung)”. Bandung : Universitas Padjajaran.

Sarafino, E.P. Smith, Timothy W. 2011. Health Psychology : Biopsychosocial Interactions, 7thedition. New Jersey : John Wiley & Son Ltd.

Witkiewitz, Katie and Marlatt, G Alan. 2007. Therapist’s Guide To Evidence-Based Relapse Prevention. United State of America : Academic Press.

Gambar

Diagram 4.1 Perubahan Self-efficacy pada setiap aspek

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hubungan sesama jenis kebanyakan masyarakat berpikiran aneh dan menyebutkan hubungan tersebut tidak normal, seperti yang dilakukan oleh Rafky dengan Valent yang

DPPKAD Kabupaten Sukoharjo telah melaksanakan tugasnya sebagai pengelola keuangan dengan baik, karena dalam penyusunan maupun pelaksanaannya kinerja telah sesuai

Cases of suspected child maltreatment were identified from state-based child protection records, along with the date of each episode of substantiated harm or risk, the subtypes

Program ini dilaksanakan pada 5 April 2015 yang berisi kegiatan tentang sebuah forum anak RW 05 Kampung Prenggan yang diberi nama dengan acara “kumpul bocah”

Saya memahami tentang cara menghitung besarnya Pajak Bumi dan Bangunan, sehingga saya tidak keberatan membayar sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan

Perilaku konsumen dalam pengambilan keputusan dipengaruhi berbagai faktor untuk dipertimbangkan oleh konsumen untuk membeli produk sepatu adalah kualitas, referensi, merk,

Berdasarkan hasil analisa antara spektrum FT-IR pada adsorben selulosa nata de coco sebelum dan setelah adsorpsi, dapat disimpulkan bahwa adsorpsi kromium(III)

Dari pelaksanan kegiatan KKU ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Kegiatan KKU ini telah banyak memberikan manfaat bagi mahasiswa, mitra, Perguruan Tinggi dan