• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Istilah gender seringkali disejajarkan dengan jenis kelamin. Namun, definisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Istilah gender seringkali disejajarkan dengan jenis kelamin. Namun, definisi"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Penelitian

Istilah “gender” seringkali disejajarkan dengan jenis kelamin. Namun, definisi ini dianggap belum cukup mewakili pengertian gender yang sesungguhnya, karena menurut pandangan sosial, kedua hal ini tidak dapat disamakan. Jenis kelamin (sex) adalah perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari aspek biologis, sementara gender merupakan kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan. Dengan demikian, konsep gender merupakan hasil konstruksi sosial atau rekayasa masyarakat (Humm, 2007: 177-178).

Atribut kultural yang melekat pada laki-laki dan perempuan dengan sendirinya menjadi penentu sikap, peran, hak, dan kewajiban mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Sejatinya perbedaan ini tidak akan menjadi masalah selama tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Namun, pada kenyataannya seringkali konsep gender dikambinghitamkan untuk mendiskriminasi dan memarginalkan sebagian populasi, yaitu perempuan, seperti yang diungkapkan oleh Grown, Gupta, dan Kes (2005: 30) berikut ini:

“Seperti halnya ras dan etnis, gender juga merupakan sebuah konstruksi sosial. Gender mendefinisikan dan membedakan peran, hak, tanggung jawab, dan kewajiban perempuan serta laki-laki. Perbedaan biologis bawaan antara perempuan dan laki-laki membentuk dasar dari norma-norma sosial yang mendefinisikan perilaku yang pantas bagi mereka dan menentukan perbedaan kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik bagi keduanya. Walaupun kadar dan tingkatan norma ini berbeda tergantung pada masyarakat dan juga masa atau

(2)

waktunya, namun pada awal abad ke-20, norma-norma ini cenderung memihak laki-laki, memberikan mereka lebih banyak akses dibandingkan perempuan dalam hal kemampuan, sumber penghasilan, dan juga kesempatan yang merupakan hal penting untuk mendapatkan kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik, serta kesejahteraan hidup.”

Karena adanya permasalahan yang timbul akibat konsep gender ini, maka mulai abad ke-20 lahirlah kesadaran tentang kesetaraan gender (gender equality) yang diusung oleh para feminis. Humm (2007: 132) mendefinisikan kesetaraan (equality) itu sendiri sebagai persamaan yang didasarkan pada gagasan bahwa tidak ada individu yang tidak sama dari yang lain dalam kesempatan atau dalam hak-hak manusia. Perjuangan untuk memperoleh kesetaraan gender ini masih berlanjut sampai sekarang dan mendapat dukungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB / UN) yang secara bertahap membentuk badan-badan khusus yang menangani permasalahan gender dan perempuan. Salah satu badan yang dibentuk ini adalah UN Women.

UN Women atau United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women merupakan badan khusus hasil bentukan PBB yang bergerak dalam bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Badan ini diresmikan pada tanggal 2 Juli 2010 dan Michelle Bachelet, mantan presiden Chili, diangkat sebagai direktur eksekutif pertama. Dalam praktiknya, UN Women mewadahi beberapa badan PBB lain yang sebelumnya telah dibentuk untuk menangani masalah perempuan. (http://www.unwomen.org/en/about-us/about-un-women).

(3)

Selain tentunya melakukan aktivitas atau aksi sosial nyata yang bertujuan demi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, UN Women juga mengkampanyekan isu dan gerakan ini lewat wacana-wacana yang mereka tampilkan dalam situs resmi mereka, yaitu www.unwomen.org. Wacana-wacana kampanye tersebut disusun baik dalam bentuk tertulis maupun lisan yang terwujud dalam format video. Sebuah kampanye, sebagaimana halnya kegiatan berbahasa lain, tentu dikonstruksi dengan membawa suatu maksud tertentu. Melalui wacana-wacana kampanye ini, UN Women bertujuan untuk menyebarkan paham dan pandangan mereka tentang konsep kesetaraan gender kepada masyarakat dan pihak-pihak lain yang disasar dalam wacana tersebut. Paham dan pandangan yang disebarkan tersebut tentunya sesuai dengan tujuan, visi, dan misi serta ideologi yang dianut oleh badan ini. Tujuan, visi, misi, serta ideologi tersebut kemudian terwujud dalam cara UN Women memandang atau merepresentasikan konsep kesetaraan gender itu sendiri.

Representasi konsep kesetaraan gender inilah yang kemudian menjadi fokus dalam penelitian kali ini. Konsep kesetaraan gender pada dasarnya menuntut persamaan hak dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki. Namun, belum ada parameter yang sangat pasti mengenai apa yang disebut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ini. Oleh karena itulah, secara umum penelitian ini ditujukan untuk melihat bagaimana konsep kesetaraan gender direpresentasikan oleh UN Women lewat wacana-wacana kampanye kesetaraan gender yang ditampilkan di situsnya.

Adapun alasan dibalik pemilihan wacana kampanye UN Women ini adalah karena UN Women, sebagai bagian dari PBB, merupakan sebuah badan internasional

(4)

yang mewadahi hampir seluruh negara-negara di dunia. Wacana-wacana yang ditampilkan pun tidak berasal dari satu pihak UN Women saja, akan tetapi merupakan aspirasi dan suara masyarakat dari berbagai belahan dunia. Oleh karena itu diasumsikan bahwa representasi konsep kesetaraan gender yang ditemukan di wacana kampanye kesetaraan gender di situs UN Women akan bersifat general dan tidak bias budaya.

Representasi, menurut Eriyanto (2011: 113), adalah sebuah proses tentang bagaimana seseorang, suatu kelompok, sebuah gagasan, atau pendapat ditampilkan dalam sebuah teks wacana dengan tujuan untuk membangun citra, mengunggulkan diri sendiri, dan pada saat yang bersamaan memarginalkan kelompok lain. Gerakan feminisme, misalnya, dapat direpresentasikan sebagai gerakan perjuangan untuk memperoleh hak-hak bagi kaum perempuan, namun dapat pula direpresentasikan sebagai gerakan anti laki-laki atau man-hating (Emma Watson dalam kampanye HeForShe). Perhatikan kutipan berikut (L adalah lampiran, dan angka setelahnya merupakan nomor data pada lampiran).

(1) I think it is right that socially, I am afforded the same respect as men. (Saya kira secara sosial, sudah seharusnya saya dihargai seperti laki-laki.) – [L1.13, hlm 155]

Emma Watson – Duta UN Women Dalam kutipan (1), penutur menyatakan pendapatnya tentang bagaimana ia seharusnya memiliki hak untuk dihargai secara sosial, sama halnya dengan penghargaan yang diberikan masyarakat kepada laki-laki. Tuturan ini memperlihatkan bagaimana konsep kesetaraan gender direpresentasikan sebagai

(5)

sebuah kondisi di mana perempuan memiliki hak untuk dihargai dalam lingkungan sosial. Menilik contoh tersebut, diasumsikan bahwa kesetaraan gender yang dimaksudkan oleh UN Women tidak hanya sebatas penghargaan dari masyarakat saja. Oleh sebab itu, pertanyaan inti yang perlu dijawab dari penelitian ini adalah bagaimana representasi kesetaraan gender menurut UN Women? dan mengapa demikian?

Selanjutnya, Hall (2003: 15) melihat representasi sebagai aktivitas penggunaan bahasa untuk menyampaikan sesuatu yang bermakna atau mendeskripsikan dunia secara bermakna kepada orang lain. Sebagai sebuah aktivitas berbahasa, jejak-jejak representasi tentunya tercermin dari aspek-aspek kebahasaan atau fitur linguistik yang digunakan untuk menyusun sebuah wacana, termasuk wacana kampanye kesetaraan gender di situs UN Women. Fitur-fitur linguistik ini membawa fungsinya masing-masing dalam memperlihatkan perwujudan atau manifestasi konsep kesetaraan gender di dalam wacana.

Berdasarkan teori fungsi bahasa yang dirumuskan oleh Halliday dan diadopsi oleh Fowler dalam merumuskan pendekatan Linguistik Kritis, terdapat beberapa fitur linguistik yang dapat digunakan dalam melihat manifestasi sebuah konsep di dalam wacana. Fowler merekomendasikan lima dan empat diantaranya digunakan dalam penelitian ini, yaitu (i) transitivitas, (ii) pilihan kata, (iii) modalitas, dan (iv) tindak tutur. Transitivitas dan pilihan kata adalah fitur linguistik pembawa fungsi ideasional, sementara modalitas dan tindak tutur membawa fungsi interpersonal (Fowler, 1996: 68-90).

(6)

Dalam kutipan (1) di atas, penutur menuturkan “I think it is right…..”. Transitivitas ini mengindikasikan terdapat sebuah proses mental pemikiran yang sedang terjadi. Selain itu, penutur juga menggunakan pilihan kata “same respect” untuk memperlihatkan pandangannya tentang konsep kesetaraan gender. Dilihat dari pilihan kata ini, tampak bahwa penutur memandang kesetaraan sebagai sebuah “kesamaan”. Selanjutnya, berdasarkan bentuk klausa atau kalimat, tuturan di atas merupakan sebuah kalimat deklaratif. Sejatinya, kalimat deklaratif digunakan untuk membuat sasaran tutur menyadari suatu proposisi. Namun, dalam konteks tuturan di atas, kalimat ini berfungsi untuk meminta atau mengajak sasaran tutur agar menghargai perempuan sama seperti laki-laki. Seluruh penggunaan fitur-fitur linguistik ini kemudian bermuara pada perwujudan atau manifestasi representasi konsep kesetaraan gender menurut UN Women. Oleh sebab itu, penelitian ini juga ditujukan untuk melihat fitur-fitur linguistik yang digunakan sebagai manifestasi konsep kesetaraan gender dalam wacana kampanye kesetaraan gender di situs UN Women.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka penelitian ini ditujukan untuk menjawab tiga pertanyaan berikut:

1. Bagaimana konsep kesetaraan gender direpresentasikan dalam wacana kampanye kesetaraan gender di situs UN Women? dan mengapa demikian?

(7)

2. Bagaimana representasi konsep kesetaraan gender tersebut bermanifestasi ke dalam fitur linguistik pembawa fungsi ideasional?

3. Bagaimana representasi konsep kesetaraan gender tersebut bermanifestasi ke dalam fitur linguistik pembawa fungsi interpersonal?

1.3 Tujuan Penelitian

Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menggambarkan representasi konsep kesetaraan gender dalam wacana kampanye kesetaraan gender di situs UN Women dan menjelaskan mengapa demikian.

2. Menjelaskan manifestasi konsep kesetaraan gender tersebut ke dalam fitur-fitur linguistik pembawa fungsi ideasional.

3. Menjelaskan manifestasi konsep kesetaraan gender tersebut ke dalam fitur-fitur linguistik pembawa fungsi interpersonal.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu linguistik khususnya tentang analisis wacana dengan pendekatan kritis. Analisis Wacana Kritis (AWK) melihat hubungan bahasa dengan kekuasaan dan ideologi yang melingkupinya, sehingga hasil penelitian ini dapat memberi

(8)

gambaran tentang bagaimana kekuasaan dan ideologi mempengaruhi produksi bahasa.

Selain itu, kajian AWK merupakan sebuah bidang ilmu multidisipliner. Pendekatan AWK tidak hanya terbatas pada kajian linguistik saja, akan tetapi dapat digunakan dalam bidang ilmu lain, seperti sosiologi, komunikasi, sejarah, politik, sastra, dan sebagainya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi disiplin ilmu lain dan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dalam AWK.

Selanjutnya, secara praktis, penelitian terhadap wacana kampanye kesetaraan gender di situs UN Women sekiranya bermanfaat untuk menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat dalam menyikapi sebuah wacana, khususnya wacana kampanye. Wacana kampanye umumnya ditujukan kepada masyarakat umum, di mana realitas-realitas penyusun wacana telah melalui proses seleksi yang membawa pesan dan ideologi produsen. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan masyarakat lebih jeli melihat tujuan dibalik sebuah wacana. Selanjutnya, terkait topik tentang kesetaraan gender, diharapkan wacana ini dapat menjadi salah satu titik terang untuk memahami konsep kesetaraan gender yang sampai sekarang pun masih merupakan isu rumit dan kontroversial.

1.5 Tinjauan Pustaka

Analisis Wacana Kritis (AWK) telah menjadi pendekatan popular dalam penelitian bahasa selama beberapa tahun terakhir. Ahli–ahli bahasa dan bahkan

(9)

peneliti di luar bidang linguistik pun tertarik untuk melihat bagaimana kekuasaan dan ideologi berperan dalam pembentukan sebuah wacana. Objek serta topik yang diangkat pada kajian ini pun beragam. Sebagai kajian pustaka, berikut akan dipaparkan beberapa penelitian terkait AWK yang dibatasi pada (i) AWK, (ii) AWK tentang representasi, (iii) AWK terhadap wacana kampanye dan (iv) AWK terhadap wacana tentang gender.

Sebuah analisis wacana kritis yang digabungkan dengan analisis pragmatik terhadap wacana editorial di surat kabar pernah dilakukan oleh Paulus Ari Subagyo dan Susilawati Endah Peni Adji pada tahun 2014. Penelitan ini berjudul “Frame Surat Kabar Nasional tentang Teorisme: Analisis Pragmatik Kritis Editorial Mengenai Fenomena Terorisme di Indonesia 2002-2013”. Penelitian ini menganalisis editorial tentang 13 peristiwa terorisme di Indonesia yang dilihat dari empat surat kabar nasional, yaitu Kompas, Koran Tempo, Republika, dan Suara Pembaruan. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui (1) apa saja frame (bingkai) surat kabar nasional (SKN) dalam editorial tentang terorisme (ET) di Indonesia 2002-2013, (2) bagaimana kaitan frame tentang terorisme dengan ideologi SKN, (3) bagaimana frame termanifestasi sebagai tujuan tutur dan sasaran tutur ET, dan (4) apa saja manifestasi frame ke dalam fenomena atau bentuk-bentuk ekspresi bahasa pada ET.

Dalam proses analisis, peneliti menggunakan metode AWK Van Dijk dan Fowler, serta pendekatan pragmatik kritis. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, ditemukan tiga frame yang digunakan empat SKN. Frame A “pelaku teror adalah Jemaah Islamiyah dan jaringannya; motifnya melakukan

(10)

kejahatan dengan mengatasnamakan Islam” digunakan oleh Suara Pembaruan. Frame B “pelaku teror ialah intelijen AS dan sekutunya; motifnya menguasai sumber daya alam Indonesia dengan melemahkan umat Islam” digunakan oleh Republika. Frame C “pelaku teror misterius, penanganan lebih penting” digunakan Kompas dan Koran Tempo. Kedua, frame berkaitan dengan “ideologi” SKN. Frame A berkaitan dengan “ideologi” Suara Pembaruan sebagai koran Kristen. Frame B berhubungan dengan “ideologi” Republika sebagai koran Islam. Frame C dipengaruhi oleh “ideologi” Kompas dan Koran Tempo yang secara ideologis tidak berafiliasi dengan lembaga keagamaan.

Ketiga, Frame A, B, maupun C termanifestasi menjadi tujuan tutur dan sasaran tutur yang khas sesuai dengan garis ideologi SKN. Keempat, masing-masing frame juga termanifestasi ke dalam fenomena bahasa atau bentuk-bentuk ekspresi kebahasaan dalam ET yang berwujud (1) modalitas, (2) metafora, (3) keterangan sisipan, dan (4) tanda petik.

Selanjutnya, analisis wacana kritis dengan fokus perhatian pada representasi pernah dilakukan oleh Dadang Suganda, Wagiati, dan Nani Darmayanti pada tahun 2006. Penelitian ini berjudul “Representasi Sosok Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia dalam Wacana Berita pada Harian Umum Utusan Malaysia dan Harian Umum Kompas Indonesia (Kajian Analisis Wacana Kritis)”. Penelitian yang menggunakan pendekatan kajian AWK dengan model analisis Theo Van Leeuwen ini ditujukan untuk melihat bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana di media massa dengan menggunakan bahasa sebagai

(11)

alatnya. Representasi ditinjau berdasarkan bagaimana kehadiran sosok TKW sebagai pihak yang tersubordinasi dan pihak lain sebagai pihak yang menghegemoni dalam pemberitaan dua media massa nasional yang ada di Malaysia dan Indonesia. Dengan kata lain, pihak mana yang mengalami proses ekslusi dan pihak mana yang mengalami proses inklusi.

Hasil penelitian menujukkan bahwa kedua media massa nasional, baik Harian Umum Utusan maupun Harian Umum Kompas sama-sama merepresentasikan sosok TKW Indonesia sebagai sosok yang marginal, tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan, kampungan, tidak berpendidikan, miskin, bodoh, dan lain-lain. Dalam pemberitaan, TKW lebih banyak menjadi pihak yang dihadirkan melalui strategi bahasa yang merepresentasikan mereka secara buruk, sedangkan pihak penguasa (majikan, media massa, pemerintah) lebih banyak menjadi pihak yang dikeluarkan dalam pemberitaan dengan tujuan untuk melindungi pihak penguasa.

Selanjutnya, penelitian tentang representasi perempuan dalam surat kabar juga pernah diteliti oleh Herlyn Djunina pada tahun 2013. Penelitian yang berjudul “Representasi Perempuan dalam Surat Kabar, Analisis Wacana Kritis Rubrik Tapale’uk di Surat Kabar Harian Pos Kupang Edisi Hari Kartini sejak tahun 2008 hingga 2012” ini menggunakan model analisis Fairclough. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana media di NTT, khususnya Rubrik Tapale’uk Pos Kupang, merepresentasikan perempuan dalam wacana. Selain itu penelitian ini juga bertujuan mengevaluasi bagaimana Pos Kupang merepresentasi perempuan sesuai keadaan dalam masyarakat.

(12)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, representasi perempuan dalam Rubrik Tapale’uk adalah sebagai sosok istri dan ibu rumah tangga. Namun lebih lanjut, setiap penulis dalam Rubrik Tapale’uk ini menghadirkan representasi ibu rumah tangga yang berbeda-beda. Penulis laki-laki, cenderung merepresentasikan perempuan bukan sebagai tokoh sentral dalam teks, perempuan kerap hanya dijadikan ”bumbu pelengkap”. Sedangkan penulis perempuan lebih menggunakan teks untuk merepresentasikan sosok ibu rumah tangga yang cerdas. Sosok yang bukan hanya sebatas pengurus rumah tangga saja, tetapi menjadi tokoh sentral yang kritis terhadap permasalahan sosial, berani mendobrak budaya patriarki dengan ide-ide yang tak kalah di banding jika dibanding dengan laki-laki.

Analisis wacana kritis terhadap wacana kampanye pernah dilakukan oleh Yella Hoepfner pada tahun 2006 dengan judul “Critical Discourse Analysis, Analyzing the Beauty Advertisement Discourse: Dove’s Campaign for Real Beauty”. Disini Hoepfner menggunakan teori AWK yang dirumuskan oleh Fairclough. Dalam penelitian ini, Hoepfner tidak hanya melihat aspek–aspek linguistik yang ditemukan dalam wacana, namun juga melihat aspek luar bahasa yang disebut dengan “multi-modal text”. Yang dimaksud dengan multi-“multi-modal text disini adalah visualisasi video yang ditampilkan dalam wacana iklan Dove’ Campaign for Real Beuaty tersebut. Pada tahap pertama, yaitu analisis teks, Hoepfner memfokuskan perhatian pada tiga hal penting, yaitu posisi subjek, hubungan antara subjek dan objek, serta representasi yang tergambar dari wacana tersebut. Selanjutnya, aspek–aspek linguistik ini digunakan dalam menginterpretasi produsen dan tujuan dibentuknya wacana yang

(13)

diterapkan pada tahap kedua. Tahap analisis ketiga adalah penjelasan tentang praktek–praktek sosial yang berpengaruh terhadap konstruksi wacana Dove’ Campaign for Real Beauty.

Penelitian AWK lain yang mengangkat topik kampanye dilakukan oleh Aris Munandar (2012) dengan judul “Simple, Yet Powerful English of MoveOn’s Campaigns”. Penelitian ini mengambil objek wacana kampanye presidensial pada situs MoveOn (http://www.moveon.org). Penelitian ini bertujuan untuk mengaji karakteristik bahasa Inggris yang digunakan dalam kampanye MoveOn selama periode 25 Januari 2011 hingga 30 Maret 2011.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kampanye MoveOn menggunakan kata– kata biasa dengan maksud mempertahankan kenetralan, serta menggunakan struktur retorika berpola situasi-problem-solusi untuk mengemas argumen agar mudah dipahami pembacanya. Disimpulkan bahwa MoveOn merancang kampanye– kampanyenya untuk membangkitkan dampak persuasif yang dilandasi oleh penalaran, bukan emosi semata–mata.

Hubungan antara wacana dan ideologi gender pernah diteliti oleh Dwi Cahyono Aji (2008) dalam thesisnya yang berjudul “Ideologi Gender dalam Rubrik Oh Mama, Oh Papa di majalah Kartini: Kajian Analisis Wacana Kritis”. Dalam thesis tersebut, Aji mendeskripsikan struktur yang membangun wacana, aspek–aspek situasi tutur wacana, dan ideologi yang terkandung dalam rubrik Oh Mama, Oh Papa di majalah Kartini. Aji menerapkan model van Dijk sebagai kerangka analisis wacana

(14)

kritisnya dengan menginterpretasikan bagian–bagian wacana melalui unsur tema, skema, latar, detil, koherensi, leksikon, grafis, dan metafora.

Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam struktur wacana Oh Mama, Oh Papa terdapat bagian–bagian yang membentuk wacana tersebut. Bagian–bagian ini meliputi (1) unsur wajib seperti judul, lead, problem, nama dan alamat pengirim, solusi, dan kotak simpati pembaca, (2) unsur pilihan atau optional yang meliputi perkenalan diri si pengirim dan tanggapan dari pembaca langsung, dan (3) unsur pengulangan. Selanjutnya, wacana Oh Mama, Oh Papa terikat pula pada situasi tutur tertentu, yaitu (1) penutur, lawan tutur dan sasaran tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai tindak verbal, dan (5) turan sebagai produk tindak verbal. Ideologi gender dalam wacana ini tercermin pada elemen–elemen tema, skema, latar, detil, koherensi, leksikon, grafis, dan metafora.

Pada tahun 2008 juga, sebuah penelitian analisis wacana kiritis tentang gender juga dilakukan oleh Ahmad Sirulhaq. Tesis yang berjudul “Ideologi Gender Bahasa Berita Samarinda Pos dalam Merepresentasikan Perempuan (Studi Analisis Wacana Kritis)” ini bertujuan untuk mndeskripsikan, menginterpretasikan, dan menjelaskan pilihan dan implikasi ideologis tema, skema, sintaksis, semantik, stilistika, retorika, berita–berita kriminal Samarinda Pos dalam merepresentasikan perempuan. Metode yang digunakan untuk menganalisis wacana dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan analisis wacana model van Dijk sebagai pisau analisis, yang bertumpu pada pendekatan analisis wacana dengan perspektif kritis.

(15)

Hasil yang diperoleh dari analisis data yang telah dilakukan yaitu bahwa berita–berita kriminal Samarinda Pos memiliki implikasi ideologis dalam merepresentasikan perempuan. Implikasi ideologis yang dimaksud di sini adalah ideologi patriarki. Ideologi tersebut tampak pada elemen–elemen berita yang ada berupa pilihan tema, skema, sintaksis, semantik, stilistika, dan retorika.

Dilihat dari penelitian–penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian kali ini memiliki beberapa aspek yang berbeda sehingga memungkinkan untuk diteliti. Perbedaan mendasar terletak pada objek penelitian yaitu wacana kampanye kesetaraan gender yang diambil dari situs remi UN Women. Selain itu, objektif dan teori yang akan digunakan juga merupakan pembeda penelitian ini dengan penelitian– penelitian terdahulu.

1.6 Landasan Teori

Landasan teori digunakan untuk mendasari sebuah penelitian. Landasan teori dari penelitian kali ini disusun dalam kerangka pikir sebagai berikut. Kampanye merupakan kegiatan memproduksi wacana. Dalam praktiknya, kegiatan memproduksi wacana ini dipengaruhi oleh ideologi yang diyakini produsen. Ideologi kemudian terwujud ke dalam cara produsen memandang dan merepresentasikan realitas. Bentuk representasi ini dapat dibongkar dan diketahui dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis. Mengikuti kerangka pikir ini, landasan teori disusun sebagai berikut (i) kampanye dan wacana kampanye, (ii) ideologi dan representasi, dan (iii) analisis wacana kritis.

(16)

1.6.1 Kampanye dan Wacana Kampanye

Pada prinsipnya, kampanye merupakan suatu kegiatan individu atau kelompok yang dilakukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu. Berdasarkan pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, setidaknya ada tiga aktivitas yang terdapat dalam sebuah kegiatan kampanye. Pertama, aktivitas menyampaikan visi dan misi. Kedua, aktivitas mempengaruhi orang lain. Ketiga, aktivitas memberikan dukungan kepada pencetus visi dan misi. Beberapa ahli, seperti Newsom, Scott, dan Turk (1993: 474) melihat kampanye sebagai rangkaian usaha yang terkoordinasi dan bertujuan yang disusun untuk meraih suatu tujuan khusus atau suatu rangkaian tujuan yang saling berhubungan, yang akan menggerakkan organisasi menuju objektif jangka panjang yang diungkapkan dalam visi dan misinya.

Terkait penelitian terhadap kampanye kesetaraan gender di situs UN Women, kampanye ini dapat digolongkan sebagai kampanye komunikasi publik (public communication campaign). Menurut Rice dan Atkin (2001: 231-232), kampanye komunikasi publik merupakan sebuah usaha yang terencana yang digunakan untuk menginformasikan, membujuk, atau memotivasi perubahan perilaku masyarakat, pada umumnya ditujukan untuk manfaat-manfaat sosial (noncommercial), biasanya pada kurun waktu yang ditentukan, melalui aktivitas komunikasi yang terencana dengan melibatkan media massa dan seringkali dilengkapi dengan dukungan interpersonal. Kampanye jenis ini ditujukan untuk mengubah perilaku publik yang berkaitan dengan permasalahan sosial, seperti kesetaraan gender. Dapat dikatakan bahwa kampanye kesetaraan gender di situs UN Women ditujukan untuk

(17)

mempengaruhi dan mengubah perilaku masyarakat terkait cara pandang dan perlakuan mereka terhadap laki-laki dan perempuan.

Selanjutnya, tujuan sebuah kampanye tidak akan dapat tercapai tanpa adanya peranan bahasa. Aktivitas kampanye tidak mungkin dilepaskan dari peran bahasa sebagai pembawa pesan dan penyampai informasi. Munandar (2012: 96) bahkan menyatakan bahwa dibandingkan dengan unsur-unsur pendukung lainnya, bahasa memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam menentukan kesuksesan sebuah kampanye. Sebuah pesan yang sebetulnya sangat kuat akan kehilangan pengaruhnya apabila disampaikan dengan bahasa yang kurang tepat. Oleh karena itu, pilihan kata dan struktur wacana kampanye harus benar-benar diperhatikan sebagai upaya untuk meyakinkan dan mempengaruhi sasaran tutur.

Namun, bahasa sebagai media pembawa pesan, sebenarnya merupakan alat yang seringkali digunakan, dimanipulasi, dan dikemas sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Fairclough (1989: 2) menyatakan bahwa penggunaan kekuasaan pada masyarakat modern merupakan pencapaian yang meningkat melalui ideologi, khususnya ideologi bahasa. Bahasa kerap dijadikan alat ampuh untuk merekonstruksi realitas, citra, opini, serta merupakan piranti canggih untuk menyebarkan dan mempertarungkan ideologi produsen. Bahasa yang telah direkonstuksi inilah yang kemudian terwujud dalam bentuk wacana.

Wacana, jika dilihat dari pandangan linguistik struktural, merupakan satuan bahasa yang lebih besar dari kalimat. Namun, jika dilihat dari pandangan linguistik kritis, wacana tidak hanya terbatas pada pembahasan tentang kalimat semata. Wacana

(18)

adalah sarana dan media yang digunakan seseorang atau kelompok untuk menyebarkan dan menanamkan ideologinya (Foucault dalam Eriyanto, 2001: 66-73). Fairclough (1997: 131) kemudian juga melihat wacana sebagai sebuah praktik sosial, di mana kekuasaan dan ideologi memiliki peran penting dalam pengkonstruksian sebuah wacana.

Melihat wacana sebagai praktik sosial ini menyiratkan beberapa implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari sebuah tindakan. Seseorang menggunakan wacana sebagai suatu bentuk tindakan pada dunia, khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat realitas. Kedua, wacana akan selalu dilatarbelakangi oleh aspek-aspek sosial dan sejarah. Wacana dan kedua aspek ini akan selalu memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu sama lain (dialectal). Akibat hubungan yang timbal balik ini, maka wacana juga turut andil dalam menciptakan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat (Fairclough, 1997: 131).

Sebagaimana halnya dengan jenis wacana lain, wacana kampanye tentunya juga dikonstruksi untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu. Proses produksi wacana kampanye dipengaruhi oleh ideologi dan kepercayaan terhadap suatu realitas. Ideologi dan kepercayaan ini kemudian terwujud dalam cara produsen dalam merepresentasikan sesuatu.

1.6.2 Ideologi dan Representasi

Dalam pandangan linguistik kritis, ideologi adalah sesuatu yang mempengaruhi produksi wacana. Ideologi sendiri dimaknai sebagai sistem ide,

(19)

seperangkat pola-pola kepercayaan, seperangkat nilai, perspektif, atau pandangan terhadap dunia dan representasinya yang terus dipegang dan diperjuangkan oleh sebuah kelompok yang meyakininya (Santoso, 2012: 59).

Ideologi dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu dalam suatu kelompok, sehingga dalam hal ini, ideologi memiliki beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi bersifat sosial yang disebarkan kepada seluruh anggota kelompok untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Kedua, ideologi digunakan secara internal di dalam suatu komunitas, sehingga selain fungsi koordinatif, ideologi juga berfungsi untuk membentuk identitas kelompok yang membedakannya dengan kelompok lain (Van Dijk dalam Eriyanto, 2011: 13-14).

Sedangkan Fairclough (2006: 86) melihat ideologi sebagai sebuah konstruksi dari berbagai macam realitas (dunia fisik, hubungan sosial, maupun identitas sosial) yang disusun dalam dimensi bentuk dan makna praktik diskursif yang berbeda-beda, yang berkontribusi dalam pembentukan atau perubahan dalam hubungan kekuasaan atau dominasi. Oleh karena itu, teori-teori klasik ideologi mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Ideologi ditanamkan secara terus menerus sehingga lama kelamaan menjadi sesuatu yang dipandang absah dan benar dan menjadi satu kesadaran palsu (false consciousness).

Dalam praktik produksi wacana, ideologi yang diyakini oleh seseorang, suatu kelompok, atau singkatnya produsen wacana ini kemudian bermanifestasi menjadi

(20)

perspektif, sudut pandang, atau bingkai (frame) yang dipahami sebagai pengetahuan akan sebuah konsep (Renkema, 2004: 236). Sudut pandang atau bingkai ini tidak hanya memfokuskan perhatian sasaran tutur pada masalah tertentu, tetapi juga membatasi persepsi dan mengarahkan mereka pada cara pikir dan keyakinan tertentu yang sejalan dengan ideologi produsen. Hal inilah yang kemudian terwujud dalam representasi produsen dalam menggambarkan sebuah realitas.

Representasi dapat diartikan sebagai aktivitas pembentukan makna melalui bahasa, bagaimana bahasa digunakan untuk menyatakan sesuatu yang bermakna, atau bagaimana mendeskripsikan dunia secara bermakna kepada orang lain (Hall, 2003: 15-16). Namun, proses ini tidak sesederhana kelihatannya, karena bahasa bisa saja reflektif, intensional, atau konstruksionis. Oleh sebab itu, proses representasi melibatkan dua aktivitas. Aktivitas pertama berkaitan dengan bagaimana realitas dihubungkan dengan aktivitas mental manusia. Dengan kata lain bagaimana seseorang memandang realitas, karena makna tergantung pada sistem konseptulisasi sebuah objek menurut kognisi seseorang. Kedua adalah bagaimana manusia membahasakan realitas tersebut sehingga dipahami oleh sasaran tutur. Peta konseptual harus dibahasakan dengan bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak, penutur dan sasaran tutur, sehingga representasi dapat tersampaikan (Hall, 2003: 18).

Dalam ranah linguistik kritis, Eriyanto (2011: 113) menyatakan bahwa representasi merujuk pada bagaimana seseorang, suatu kelompok, sebuah gagasan, maupun pendapat ditampilkan dalam sebuah teks wacana dengan tujuan untuk membangun citra, mengunggulkan diri sendiri, dan pada saat yang bersamaan,

(21)

memarginalkan kelompok atau gagasan lain. Praktik representasi diawali dengan proses pemilihan fakta, karena dengan memilih fakta tertentu untuk ditampilkan dalam wacana berarti membuang fakta-fakta lain yang tidak mendukung ideologi produsen. Seringkali fakta-fakta pilihan ini hanya menampilkan sisi baik satu pihak dan sisi buruk dari pihak lain. Dengan begitu realitas hadir sebagai “bentukan” tertentu di tengah masyarakat. Dengan kata lain, praktik representasi memilih beberapa fakta untuk ditonjolkan dan beberapa lainnya untuk dihilangkan. Proses ini secara tidak langsung bukan saja mendefinisikan realitas namun juga menciptakan realitas baru yang akan dikonsumsi dan dipahami masyarakat.

Oleh sebab itu, Santoso (2012: 56) menyatakan bahwa memahami representasi haruslah dilandasi pemahaman bahwa dunia tidak dapat direpresentasikan secara akurat dan objektif karena dunia bukanlah sesuatu yang apa adanya, melainkan efek bagaimana dunia tersebut dipahami dari berbagai sudut pandang. Teks, citra, dan cerita tidak pernah mencerminkan realitas secara jelas dan netral, melainkan merepresentasikannya sesuai dengan kode-kode dan konvenksi masyarakat atau komunitas tertentu.

Sebagai sebuah hasil dari aktivitas berbahasa, jejak-jejak representasi yang terkandung dalam sebuah wacana tentu dapat ditelusuri dari penggunaan bahasanya. Untuk itu, diperlukan sebuah analisis wacana secara kritis yang digunakan untuk membongkar praktik penggunaan bahasa sebagai upaya untuk mengetahui bagaimana produsen merepresentasikan sebuah konsep.

(22)

1.6.3 Analisis Wacana Kritis

Analisis Wacana Kritis (AWK) atau Critical Discourse Analysis (CDA) merupakan sebuah pendekatan yang digunakan untuk melihat dan membongkar praktik-praktik ideologi dan latar belakang yang tersembunyi di balik sebuah wacana. Dilihat dari sejarahnya, AWK bermula dari tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana, yaitu pandangan formal atau pandangan positivisme-empiris, padangan konstruktivisme, dan pandangan kritis (Wodak dan Meyer, 2001: 5; Hikam dalam Eriyanto, 2011: 4-7).

Pandangan formal (Hikam dalam Eriyanto menyebutnya sebagai pandangan positivisme-empiris) menekankan pada kemampuan berbahasa seorang penutur tanpa menghubungkannya dengan tujuan penggunaan bahasa tersebut. Pandangan ini melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Salah satu ciri dari pendangan ini adalah adanya pemisahan antara pemikiran dan realitas. Konsekuensi logisnya adalah seseorang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataan, karena yang terpenting adalah apakah pernyataan yang dilontarkan tersebut benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Wacana hanya dipandang sebagai fitur linguistik yang lebih besar dari kalimat.

Sementara itu, pandangan konstruksitivisme memandang bahasa dalam hubungannya dengan konteks penggunaan. Dalam pandangan ini, subjek memiliki kemampuan untuk mengatur dan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam sebuah wacana. Analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tersebut. Pengungkapan itu dilakukan di antaranya dengan

(23)

menempatkan diri pada posisi penutur dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari penutur. Unit dasar yang dikaji dalam pandangan ini adalah kalimat dan komponen-komponen kalimat. Dalam linguistik, pandangan ini digunakan dalam ilmu sosiolinguistik dan pragmatik.

Pandangan terakhir adalah pandangan kritis. Pandangan ini menekankan pada teks, konteks, produksi dan interpretasi wacana serta hubungannya dengan keadaan sosial. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema tertentu, maupun strategi-strategi yang terlibat di dalamnya. Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan pada konstelasi kekuatan (power) yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Sehingga analisis wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam proses berbahasa. Pandangan kritis inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya linguistik kritis dan analisis wacana kritis.

Selanjutnya,Van Dijk, Fairclough dan Wodak (dalam Eriyanto, 2001: 8–15) memberikan lima karakteristik penting dari AWK, yaitu (1) wacana dipahami sebagai sebuah tindakan sehingga wacana merupakan sesuatu yang bertujuan dan dieskpresikan secara sadar dan terkontrol, (2) AWK mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi, walaupun dalam analisis wacana konteks partisipan dan setting sosial lebih memegang peranan penting dalam proses produksi sebuah wacana, (3) aspek historis adalah aspek penting dalam sebuah wacana karena wacana yang berkembang akan sesuai dengan kejadian yang berkembang pada saat itu, (4) konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan

(24)

antara wacana dengan masyarakat, dan (5) ideologi juga merupakan konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis, karena ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.

Banyak ahli yang telah merumuskan beragam teori mengenai AWK, namun para ahli tersebut sama–sama melandaskan pandangan mereka pada bahasa sebagai praktik sosial, melalui mana suatu kelompok memantapkan dan menyebarkan ideologinya (Fairclough, 1997: 131). Oleh karena itu, analisis wacana kritis tidak cukup hanya dengan mengamati unsur kebahasaan saja. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.

Fairclough (2006: 62–73) juga menyatakan bahwa analisis wacana secara kritis mencakup tiga dimensi penting. Dimensi pertama yaitu linguistic practice (praktik linguistik) yang melihat penggunaan unsur–unsur kebahasaan yang membangun sebuah wacana. Dimensi pertama ini merepresentasikan potongan– potongan wacana, seperti objek analisis yang mencakup teks verbal, visual, maupun teks verbal-visual). Dimensi kedua adalah discursive practice (praktik diskursif) yang menitikberatkan pada proses produksi, distribusi, dan konsumsi sebuah wacana. Dimensi ini dapat digambarkan sebagai aspek dari sebuah konteks, tempat di mana pertarungan kekuasaan terjadi, atau seperti yang digambarkan Janks (dalam Hoepfner, 2006: 6) sebagai ‘the dimension where the processes by which the object is produced and received by human subjects take place’ (dimensi produksi dan konsumsi wacana oleh masyarakat). Dimensi wacana terakhir menurut Fairclough

(25)

adalah social effect (efek sosial) yang melihat bagaimana kekuaaan berada di balik sebuah wacana serta bagaimana sebuah wacana dapat mengubah praktik sosial di masyarakat.

1.7 Metode Penelitian

Terdapat tiga tahap yang dilalui dalam penelitian ini, yaitu (i) tahap penyediaan atau pengumpulan data, (ii) tahap penganalisisan data, dan (iii) tahap penyajian hasil analisis data. Masing-masingnya menggunakan metode dan teknik tertentu seperti dijelaskan di bawah ini.

1.7.1 Tahap Penyediaan atau Pengumpulan Data

Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah wacana kampanye kesetaraan gender di situs UN Women. Wacana yang diteliti dalam kampanye ini adalah wacana lisan yang berasal dari video yang terdapat di situs resmi UN Women, www.unwomen.org. Dipilihnya wacana lisan adalah melalui pertimbangan bahwa wacana lisan memiliki efek persuasif yang lebih kuat sehingga diasumsikan akan merepresentasikan konsep dengan lebih jelas pula.

Wacana-wacana ini tidak melulu dituturkan oleh pihak-pihak UN Women sendiri, namun juga pihak-pihak lain, termasuk masyarakat, yang juga mendukung UN Women dan gerakan kesetaraan gender. Walaupun tidak dituturkan oleh pihak UN Women, namun wacana-wacana ini diasumsikan membawa muatan, tujuan, dan ideologi yang sejalan dengan UN Women. Hal ini dikarenakan adanya proses seleksi

(26)

atau penyaringan sebelum sebuah wacana ditampilkan di situs resmi tertentu. Oleh karena itu, yang menjadi fokus penelitian disini bukan representasi menurut pendapat perorangan.

Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengunduh video-video kampanye tentang kesetaraan gender dari situs resmi UN Women. Video-video yang dikumpulkan berada pada rentang waktu tahun 2010-2014 yang dipilih secara acak (random sampling). Hal ini dilakukan untuk membatasi data sesuai yang dibutuhkan. Dari proses ini diperoleh 50 buah wacana terkait kesetaraan gender dengan durasi waktu masing-masingnya sekitar 0 sampai dengan 25 menit. Langkah selanjutnya yaitu menyimak dan mentranskripsikan wacana ke dalam bentuk tulisan untuk selanjutnya digunakan sebagai data dalam penelitian ini.

1.7.2 Tahap Penganalisisan Data

Interpretasi merupakan metode inti dari tahap analisis data. Langkah pertama yang dilakukan yaitu mengamati wacana untuk melihat isi dan informasi yang berkaitan dengan kesetaraan gender. Untuk menjawab pertanyaan tentang representasi kesetaraan gender, penelitian ini berpijak pada teori Hall (2003) yang menyatakan bahwa representasi merupakan sebuah aktivitas pembentukan makna melalui bahasa, bagaimana bahasa digunakan untuk menyatakan sesuatu yang bermakna, atau bagaimana mendeskripsikan dunia secara bermakna kepada orang lain. Representasi kesetaraan gender diperoleh dengan cara melakukan interpretasi terhadap keseluruhan isi wacana dan kemudian mengklasifikasikannya ke dalam

(27)

beberapa bentuk-bentuk kesetaraan gender. Hasil klasifikasi ini memperlihatkan bagaimana konsep kesetaraan gender direpresentasikan.

Setelah diperoleh representasi konsep kesetaraan gender, selanjutnya representasi ini dihubungkan dengan latar belakang, ideologi, serta visi dan misi UN Women. Hal ini dilakukan untuk melihat proses pemproduksian wacana dan bagaimana ideologi mempengaruhi penciptaan sebuah wacana. Proses inilah yang menandai sebuah analisis wacana kritis.

Untuk menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga tentang fitur linguistik, penelitian ini berpijak pada teori Fowler tentang linguistic tools untuk melihat manifestasi representasi sebuah konsep ke dalam aspek-aspek kebahasaan. Fowler (1996: 66) berpendapat bahwa struktur sebuah wacana – di bawah tekanan keadaan komunikasi sosial, dan membawa nilai dan kepercayaan yang merepresentasikan pengalaman, kejadian, dan konsep – dibentuk oleh struktur medium yang sangat dipengaruhi oleh cara pandang ideologi tertentu.

Fitur linguistik yang dimaksudkan oleh Fowler dan digunakan dalam penelitian ini adalah transitivitas dan pilihan kata yang dihubungkan dengan fungsinya sebagai pembawa pesan atau ide (fungsi ideasional bahasa), serta modalitas dan tindak tutur yang dihubungkan dengan fungsinya sebagai penghubung antara satu orang dengan orang lain (fungsi interpersonal bahasa). Proses ini dilakukan melalui interprestasi aspek kebahasaan, seperti kata, frasa, klausa, maupun kalimat yang dihubungkan dengan representasi konsep kesetaraan gender yang telah dirumuskan sebelumnya. Tahap analisis ini juga dibantu dengan penggunaan teori Halliday dan

(28)

Matthiessen (2004), Fairclough (1989), Alwi (1992), Palmer (1997, 2001), Yule (1996), Wijana (1996), dan Leech (2001).

1.7.3 Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data disajikan dengan metode formal dan informal. Penyajian data dengan metode formal adalah dengan penggunaan tabel, sedangkan penyajian data metode informal adalah dengan menggunakan kata–kata yang dapat langsung dipahami dengan mudah oleh pembaca (Sudaryanto, 1993: 145).

1.8 Sistematika Penyajian

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam lima Bab. Bab pertama merupakan bagian pendahuluan yang berbicara tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab kedua berbicara tentang represetasi konsep kesetaraan gender dalam wacana kampanye kesetaraan gender di situs UN Women. Bab ketiga memuat fitur linguistik yang membawa fungsi ideasional sebagai manifestasi konsep kesetaraan gender. Bab keempat memuat fitur linguistik yang membawa fungsi interpersonal. Bab kelima, terakhir, berisikan kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan deiksis pada sebuah kalimat dalam cerpen mengandung deiksis semantik tidak hanya menggunakan satu bentuk deiksis saja, tetapi dapat menggunakan lebih

Hasil penelitianmuatan keilmuan integrasi interkoneksi terhadap mata pelajaran PAI dan Budi Pekerti jenjang SMA kurikulum 2013 dapat dideskripsikan sebagai berikut: Bahwa

 Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif

Usaha dengan nilai intangible yang besar berarti bahwa dengan total production cost yang dihasilkan dan persentase harga layak yang seharusnya juga bisa diberikan ke

Mistik magis putih dalam Islam contohnya ialah mukjizat, karamah, ilmu hikmah, sedangkan mistik magis hitam contohnya santet dan sejenisnya yang menginduk ke sihir yang

[r]

Dari hasil analisa menggunakan uji Spearman Rank dengan bantuan SPSS dengan α =0,05 didapatkan ρ =0,001<0,05 bahwa H 1 diterima yang artinya ada hubungan