• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat CAPD Shanty

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat CAPD Shanty"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

Di negara berkembang, morbiditas dan mortalitas pasien dengan end stage renal disease (ESRD) masih tinggi, dengan angka mortalitas sekitar 22%. Jumlah pasien gagal ginjal yang diterapi dengan dialisis dan transplantasi diprediksi terus meningkat dari 340.000 pada tahun 1999 dan mencapai 651.000 pada 2010. Tingginya morbiditas dan mortalitas ini dapat diturunkan secara signifikan jika pasien secara dini mendapat renal replacement therapy (RRT). Selain itu, dengan meningkatnya pengetahuan tentang proses penyakit ini, pandangan baru tentang patogenesis, dan pilihan terapeutik yang baru dapat meningkatkan angka ketahanan hidup dan kualitas hidup pada pasien dengan ESRD (Wibisono dkk, 2007).

Pilihan terapi yang tersedia untuk pasien gagal tergantung pada onsetnya, akut atau kronik. Pada gagal ginjal kronik atau ESRD pilihan terapi meliputi hemodialisa; dialisa peritoneal seperti continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), intermitten peritoneal dialysis (IPD), dan continous cyclic peritoneal dialysis (CCPD); atau transplantasi ginjal (Wibisono dkk, 2007).

Jumlah pasien yang tetap hidup dengan terapi dialisis di Amerika Serikat terus meningkat dari tahun ke tahun. Di negara ini mortalitas pasien dengan dialisis mendekati 18% per tahun. Kematian ini disebabkan oleh masalah kardiovaskular dan infeksi. Lima belas persen populasi dialisis di dunia menggunakan cara dialisis peritoneal. Dialisis peritoneal merupakan suatu proses dialisis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan peritoneum sebagai membran semipermeabel yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan dan solut yang berisi ureum yang akan dibuang. Dialisis peritoneal digunakan hampir 12% pada populasi dialisis di Amerika Serikat. Di negara berkembang, populasi pasien dengan dialisis peritoneal ini cenderung naik (Wibisono dkk, 2007).

Sejumlah mesin otomatis telah dikembangkan untuk membantu agar proses dialisis menjadi lebih sederhana dan lebih mudah. Kemudian pada tahun 1976 diperkenalkan salah satu teknik peritoneal dialisis yaitu continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dan langsung dapat diterima sebagai terapi alternatif untuk pasien dengan gagal ginjal. Continuous ambulatory peritoneal dyalisis (CAPD) adalah suatu proses dialisis dimana jantung bertindak sebagai pompa darah dan peritoneum

(2)

Angka ketahanan hidup pada pasien yang menggunakan hemodialisa dibandingkan dengan dialisis peritoneal hampir sama. Kelebihan dialisis peritoneal antara lain lebih fleksibel, lebih murah dan teknik yang lebih sederhana, sehingga cenderung lebih disukai (Wibisono dkk, 2007).

Dalam pemilihan dialisis dengan cara hemodialisis ataupun peritoneum diálisis, haruslah sesuai dengan kondisi pasien. Penting dipertimbangkan keuntungan dan kerugian akibat tindakan yang diambil (Wibisono dkk, 2007).

(3)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Peritoneum

Membran peritoneum adalah membran semi-permeabel yang melapisi dinding abdomen (peritoneum parietal) dan organ-organ abdomen (peritoneum viseral). Di dalam rongga perut terdapat banyak prmbuluh-pembuluh darah kecil (kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum dan cairan dialisis pada sisi yang lain. Rongga peritoneum berisi + 100 ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi / pelicin dari membran peritoneum. Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan gangguan (Fresenius Medical Care, 2006).

Membran peritoneum merupakan lapisan tipis bersifat semi permeable. Luas permukaan + 1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian, yaitu:

• Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal peritoneum), + 20% dari total luas membran peritoneum.

• Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum), + 80% dari luas total membran peritoneum.

A. Pasokan Darah

Suplai darah peritoneum parietal berasal dari arteri di dinding abdomen. Darah ini mengalir ke sirkulasi sistemik. Peritoneum visceral disuplai oleh darah dari arteri mesenterika dan celiac yang mengalir ke vena porta (Fresenius Medical Care, 2006). B. Limfatik

Limfatik subdiafragmatika bertanggung jawab atas 80% dari drainase rongga peritoneal. Drainase tersebut kemudian diserap ke dalam sirkulasi vena melalui duktus limfa thorak kanan dan kiri. Keseimbangan zat terlarut dan cairan dalam jaringan interstisial diatur oleh penyerapan cairan dari rongga peritoneal. Penyerapan limfatik pada pasien peritoneal dialisis sekitar 0,5-1,0 ml/menit. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penyerapan adalah laju napas, postur, dan tekanan intra-abdomen (Fresenius Medical Care, 2006).

(4)

Gambar 1. Peritoneum

Sumber: http://www.your-mesothelioma-resource.com/

Gambar 2. Dialisis Peritoneal

(5)

2.2 Dialisis

Dialisis adalah tindakan medis yang tugasnya dalam beberapa hal sama dengan yang dilakukan oleh ginjal yang sehat. Dialisis diperlukan apabila ginjal tidak dapat lagi bekerja sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh. Dialisis diperlukan apabila sudah sampai pada tahap akhir kerusakan ginjal atau gagal ginjal terminal (End Stage Renal Disease) dimana fungsi ginjal anda tidak lagi dapat kembali berfungsi seperti sedia kala. Biasanya terjadi apabila kerusakan ginjal sudah mencapai 85 – 90 % (Mayo Clinic Staff, 2008).

Seperti halnya ginjal sehat, tindakan dialisis juga menjaga agar tubuh berada dalam keseimbangan. Tindakan dialisis dilakukan untuk membuang sisa – sisa metabolisme, dan kelebihan cairan agar tidak menumpuk di dalam tubuh, menjaga level yang aman dari unsur – unsur kimiawi dalam tubuh seperti potasium dan sodium. Selain itu tindakan dialisis juga untuk membantu mengkontrol tekanan darah (Mayo Clinic Staff, 2008).

Terdapat 2 tipe tindakan dialisis yaitu: - Hemodialisis

- Peritoneal dialisis.

2.2.1 Hemodialisis

Pada hemodialisis, sebuah ginjal buatan (dialyzer) digunakan untuk menyaring dan membuang sisa metabolisme dan kelebihan cairan maupun unsur kimiawi lainnya dari dalam darah. Untuk mengalirkan darah penderita ke dialyzer, diperlukan semacam akses ke pembuluh darah yang dapat dilakukan dengan cara bedah minor di tangan maupun paha. Biasanya hemodialisis dilakukan 2 -3 kali seminggu selama masing – masing 4 -5 jam per tindakan. Namun beberapa petimbangan turut berkontribusi terhadap waktu yang dibutuhkan untuk tindakan hemodialisa yaitu (Parsudi dkk, 2007):

- Berapa baik ginjal penderita bekerja

- Berapa berat kenaikan tubuh penderita diantara dua tindakan hemodialisa

- Berapa banyak racun yang ada dalam tubuh pasien

- Berapa besar tubuh penderita - Tipe dialyzer yang digunakan

(6)

Tabel dibawah ini kelemahan dan kerugian dalam menggunakan hemodialisa:

2.2.2 Peritoneal Dialisis

Peritoneal dialisis adalah suatu proses dialisis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialisis, dan peritoneum sebagai membran semi permeabel yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan dibuang. Dokter akan melakukan pembedahan untuk memasang akses berupa kateter di dalam abdomen penderita. Pada saat tindakan, area abdominal pasien akan secara perlahan diisi oleh cairan dialisat melalui kateter. Peritoneal dialisis merupakan dialisis yang dilakukan intra-corporeal dialysis di mana jantung bertindak sebagai pompa darah dan peritoneum sebagai dialyzer

(7)

permukaan peritoneum kira-kira luas permukaan kulit dewasa dan suplai darah 60-70 mlmin (Parsudi dkk, 2007).

Dialisis peritoneal dapat berupa (Parsudi dkk, 2007): 1. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Metode ini umum digunakan sebanyak 4-6 pertukaran per hari. Prinsip kerjanya dengan menghubungkan tabung dan kantong yang berisi cairan solution dengan menggunakan prinsip gravitasi untuk mengisi dan mengeringkan rongga peritoneum. 2. Continuous Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD)

Dalam teknik ini sebuah cylcer yang diisi kantong cairan solution yang digunakan terhubung dengan kateter dialisis peritoneal sebelum tidur. Selama malam hari, cycler ini melakukan 4-6 pertukaran secara otomatis. Pada siang hari tersisa 2 L larutan di rongga peritoneal tanpa pertukaran di siang hari.

3. Automated Peritoneal Dialysis (APD).

Terdapat beberapa mesin cycler yang berbeda yang secara otomatis melakukan pertukaran dengan volume yang dikehendaki dan juga mengukur volume ultra-filtrasi. Mesin ini juga menghangatkan cairan solution dan dapat mengulangi arus keluar jika volume yang dikehendaki belum pulih. Jika tidak mampu, alarm akan berbunyi dan mesin mati.

4. Nocturnal Intermittent Peritoneal Dialysis (NIPD)

Cara ini dilakukan pada malam hari dengan sebuah cycler dengan rongga peritoneum kosong pada siang hari.

5. Tidal Peritoneal Dialysis (TPD)

Rongga peritoneal diisi dengan cairan solution dan dalam waktu yang singkat (misalnya 20 menit) setengah dari cairan akan dibuang dan diganti. Hal ini dilakukan

(8)

2.2.2.3 Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

CAPD adalah salah satu bentuk dialisis peritoneal kronik untuk pasien dengan end stage renal disease (ESRD). ESRD merupakan stadium akhir dari gagal ginjal kronik dimana pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti dapat berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa hemodialisis dan dialisis peritoneal (Parsudi dkk, 2007).

CAPD dapat dilakukan di rumah dengan bantuan kateter tetap yang dipasang menembus dinding abdomen. Kateter dialisis ini dipasang melalui laparatomi terbuka atau secara operasi endoskopik. Biasanya dipakai kateter Tenckhoff yang merupakan kateter silikon yang lurus atau bengkok dengan dua manses untuk fiksasi di dinding abdomen dan melingkar pada ujungnya (Sjamsuhidajat dkk, 2004).

Elemen penting untuk dialisis peritoneal adalah rongga peritoneal yang sehat dengan fungsi membran peritoneal yang baik, adanya kateter pada rongga peritoneal dan cairan dialisat beserta sistem transfernya (Munib, 2006).

2.2.2.4 Prinsip Dialisis

Cairan dialysis 2 L dimasukkan dalam rongga peritoneum melalui kateter tenchoff dengan teknik operasi yaitu dengan cara teknik seldinger percutaneous, peritoneoscopy dan laparotomi dibawah anestesi umum atau lokal. Cairan tersebut didiamkan untuk waktu tertentu (6 – 8 jam) dan peritoneum bekerja sebagai membrane semi permeable untuk mengambil sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air dari darah. Kemudian akan terjadi proses osmosis, difusi dan konveksi di dalam rongga peritoneum. Setelah dwell time selesai cairan akan dikeluarkan dari rongga peritoneum melalui

(9)

catheter yang sama, proses ini berlangsung 3–4 kali dalam sehari selama 7 hari dalam seminggu (Munib, 2006).

Dialisis melalui proses sebagai berikut (Munib, 2006): a. Difusi dan Osmosis

Perpindahan molekul terlarut dari larutan konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah disebut difusi. Jadi molekul seperti urea, kreatinin, vitamin B12 dan fosfat berdifusi dari darah ke dialisat, dimana konsentrasi awal adalah nol.

(10)

Faktor-serta permeabilitas membran peritoneum (semakin luas dan permeabel, semakin cepat difusi).

b. Ultra-filtrasi

Perpindahan molekul pelarut (air) melewati membran peritoneal yang dikendalikan oleh gradien tekanan disebut ultra-filtrasi (UF). Tingginya konsentrasi dekstrosa dalam cairan dialisat menyebabkan tekanan osmotik untuk ultra-filtrasi.

c. Konveksi

Molekul-molekul terlarut bergerak dalam jumlah besar dengan pelarut (air). Proses ini disebut konveksi.

d. Net ultra-filtrasi

Perbedaan volume cairan yang dimasukkan ke dalam rongga peritoneum dengan cairan yang dikeluarkan.

e. Penyerapan limfatik

Air (dengan zat terlarut) dalam jumlah yang signifikan juga diserap ke dalam limfatik.

Pada dialisis peritoneal biasa dipakai kateter peritoneum untuk dipasang pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisat dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisat dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lain yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat baru (Parsudi dkk, 2007).

(11)

Gambar 4. Tahap Dialisis

Sumber: http://kidney.niddk.nih.gov/

Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi : • Kualitas membrane

• Ukuran & karakteristik larutan • Volume dialisat.

Beberapa agen osmotik selain glukosa juga dapat digunakan, seperti; agar agar, xylitol, sorbitol, manitol, fruktosa, dextrane, polyanion, asam amino, gliserol dan glukosa polimer. Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan antara tekanan osmotik dan konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam pembuluh kapiler. Dibawah ini komposisi cairan dialisat (Munib, 2006).

(12)

merk. Pada umumnya terdiri dari 3 bentuk yaitu :

1. Kateter yang keras dengan mandren yang ujungnya tajam dan tebal disebut stiloenth.

2. Kateter lunak dengan ujung tumpul tanpa mandren sehingga memerlukan trokar untuk memasukkannya ke dalam rongga peritoneum.

3. Kateter Tenckhoft.

Dengan perkembangan kateter Tenckhoff, dialisis peritoneal jangka panjang menjadi mungkin. Kateter dialisis peritoneal terdiri dari tiga bagian, yaitu: segmen eksternal, segmen subkutan (memiliki dua bagian, yang luar ditempatkan tepat di bawah kulit bagian keluar dan yang dalam di fasia eksternal peritoneum) dan segmen intra-abdomen dengan beberapa lubang kecil dan terbuka di ujung ke arah rongga peritoneum (Munib, 2006).

Kateter dialisis peritoneal dapat disisipkan dengan tiga teknik, yaitu: teknik perkutaneous Seldinger, peritoneoskopi dan laparotomi (Munib, 2006).

Gambar 5. Kateter Tenckhoff

(13)

Gambar 6. Perlengkapan Dialisis Peritoneal

Sumber: http://kidney.niddk.nih.gov/

2.2.2.6 Cairan Dialisis Peritoneal

Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi, namun prinsipnya kurang lebih seperti terlihat pada tabel 1. Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila dialisis peritoneal dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia, dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 3,5-4,5 mEq/L (Parsudi dkk, 2007).

Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCl, 0,294 gram CaCl2, 0,153 gram MgCl2, 4.880 gram Nalaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat mengandung kadar glukosa >1,5%, maka disebut cairan dialisat hipertonik (2,5; 3,5; 4,25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik ini digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan fibrin yang mengganggu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500-1000 U tiap 2 liter cairan (Parsudi dkk, 2007).

Berikut ini komposisi cairan dialisis (Munib, 2006):

Tabel 1. Komposisi Cairan Dialisis

(14)

Calcium Magnesium Klorida Laktat Glukosa (g/dl) pH 2.5-3.5 0.5-1.5 96-102 35-40 1.5, 2.5, 3.5, 4.25 5.2-5.5

2.2.2.7 Tatacara Dialisis Peritoneal

Tatacara dialisis peritoneal adalah sebagai berikut (Rani, 2008):

• Penjelasan kepada pasien mengenai penyakit pasien dan tindakan yang akan dilakukan serta komplikasinya.

• Pasien dibaringkan dalam posisi telentang, tangan dan kaki difiksasi. Kandung kemih dikosongkan dengan kateterisasi urin.

• Bila perlu dapat diberikan premedikasi dengan diazepam.

• Giving set dipersiapkan sedemikian rupa dengan menghubungkan ujung giving set dengan kolf cairan dialisat, dan ujung yang lain bebas karena akan dihubungkan dengan kateter dialisis peritoneal untuk memasukkan cairan dialisat ke dalam rongga peritoneum dan mengeluarkan cairan dan rongga peritoneum.

• Dilakukan tindakan a dan antiseptik. Dinding abdomen antara umbilikus dan simfisis pubis disterilkan. Pada daerah garis tengah 1/3 proksimal antara umbilikus dan simfisis pubis dilakukan anestesi lokal.

• Dengan jarum suntik yang agak besar dan panjang, dinding abdomen yang sudah dianestesi ditusuk sampai menembus peritoneum. Lalu dimasukkan cairan dialisat atau NaCl fisiologis 20 ml/kgBB, untuk membuat asites buatan, agar terhindar bahaya perforasi sewaktu memasukkan trokar atau stilokateter. Pada pasien dengan asites yang banyak tidak diperlukan asites buatan.

• Kulit dinding abdomen di tempat yang sudah ditentukan diinsisi selebar ½ cm. Melalui lubang insisi, trokar beserta mandrinnya ditusukkan ke dalam rongga peritoneum sampai menembus peritoneum yang dapat dirasakan dengan berkurangnya tegangan dinding abdomen secara tiba-tiba disertai keluarnya cairan asites melalui pinggir trokar. Mandrin trokar dicabut dan kateter dialisis peritoneal dimasukkan melalui lubang trokar, kemudian didorong sampai mencapai daerah rongga pelvis atau kavum Douglas. Kemudian trokar dicabut.

(15)

• Ujung kateter dialisis peritoneal yang berada di luar rongga abdomen dihubungkan dengan giving set yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan dialisis siap dilakukan. Dialisis dilakukan dengan memasukkan cairan dialisat 40 mI/kgBB, membiarkannya di dalam rongga peritoneum, kemudian mengeluarkannya. Cairan dialisat sebaiknya dihangatkan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan efektivitas dialisis.

• Untuk menghindari rembesan cairan keluar melalui pinggir lubang tempat kateter, dilakukan penjahitan kulit pada luka insisi dengan mengelilingi kateter.

• Kemudian kateter difiksasi dengan kasa steril dan diplester ke dinding abdomen.

• Pada permulaan sebaiknya cairan dialisat segera dikeluarkan setelah masuk ke dalam rongga peritoreum untuk menguji kelancaran keluar masuknya cairan dialisat.

• Setiap siklus memerlukan waktu kira-kira I jam, terdiri dari waktu memasukkan cairan dialisat kira-kira 15 menit, cairan dialisat dibiarkan di dalam rongga peritoneum selama 30 menit, dan kemudian dikeluarkan selama kira-kira 15 menit.

• Pada beberapa siklus pertama sebaiknya dimasukkan heparin ke dalam kolf cairan dialisat dengan dosis 1.000 unit per liter untuk mencegah pembentukan fibrin yang dapat menyumbat kateter.

• Bila sejak semula kadar kalium darah normal, harus ditambahkan kalium ke dalam cairan dialisat sejak siklus pertama dengan dosis 4 mEq per liter. Bila terdapat hiperkalemia, maka pada beberapa siklus pertama tidak ditambahkan kalium ke dalam cairan dialisat sampai kalium darah normal.

• Untuk mencegah peritonitis, dapat diberikan antibiotik ampisilin 230 mg atau gentamisin 5 mg per liter ke dalam cairan dialisat setiap 6 jam.

Perawatan tempat lubang keluarnya kateter Tenckhoff dilakukan setiap hari untuk mencegah infeksi (Rani, 2008).

2.2.2.8 Indikasi Dialisis Peritoneal

Dialisis peritoneal dapat digunakan pada pasien (Parsudi dkk, 2007):

1. Gagal ginjal akut (dialisis peritoneal akut): sebagai pencegahan maupun atas indikasi klinis (keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata) atau indikasi biokomiawi (ureum darah >200 mg%, kalium <6 mEq/L, HCO3 <10-15 mEq/L, pH <7,1).

2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa. 3. Intoksikasi obat atau bahan lain.

(16)

2.2.2.9 Kontraindikasi Dialisis Peritoneal

Kontraindikasi dialisis peritoneal sebagai berikut (Parsudi dkk, 2007): 1. Kontraindikasi absolut: tidak ada.

2. Kontraindikasi relatif: keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi, seperti obesitas, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui penyebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat.

2.2.2.10 Keuntungan Dialisis Peritoneal

Keuntungan dialisis peritoneal antara lain (Munib, 2006):

• Dilaksanakan oleh pasien di rumah sendiri.

• Transportasi ke rumah sakit hanya dibutuhkan untuk kunjungan darurat.

• Akses mudah untuk dilakukan, tidak membutuhkan mesin, teknik sederhana.

• Pembatasan makanan dan cairan sedikit, penurunan insiden anemia dan kontrol yang lebih baik untuk hipertensi.

• Menghindari tusukan jarum dan heparinisasi sistemik. Kemungkinan terkena hepatitis B dan C lebih kecil.

• Infeksi pada tempat keluar kateter jarang menjadi serius. Peritonitis biasanya sembuh setelah kateter dilepas dan jarang fatal.

• Lebih aman untuk pasien dengan gangguan fungsi jantung dan iskemik jantung berat. 2.2.2.11 Komplikasi Dialisis Peritoneal

Komplikasi dialisis peritoneal dapat berupa komplikasi mekanis, metabolik dan radang (Parsudi dkk, 2007).

a. Komplikasi mekanis

• Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kemih atau hati).

• Perdarahan yang terkadang dapat menyumbat kateter.

(17)

• Bocornya cairan dialisat.

• Perasaan tidak enak dan sakit dalam abdomen. b. Komplikasi metabolik

• Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa.

• Gangguan metabolisme karbohidrat terutama pada diabetes mellitus berupa hiperglikemi tak terkendali maupun hipoglikemi post dialisis.

• Kehilangn protein yang tebuang melalui cairan dialisat.

• Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gejala berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma dan dapat menyebabkan kematian. Komplikasi ini terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi. Patogenesisnya belum diketahui secara pasti. Salah satu teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya koreksi/penurunan ureum dalam otak dan cairan sererospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan osmotik dengan akibat edema otak.

c. Komplikasi radang

• Infeksi saluran pernapasan (pneumonia, bronkitis purulenta)

• Sepsis

• Peritonitis

Saat ini tingkat infeksi telah menurun seiring dengan perbaikan teknik, pendidikan pasien dan pemberian antibiotik. Peritonitis yang dapat terjadi dalam 12-24 bulan. Tanda penting untuk diagnosis klinis peritonitis (Munib, 2006):

1. Adanya tanda dan gejala klinis inflamasi peritoneal, seperti nyeri, rasa tidak nyaman, demam, mual/muntah dan diare atau sembelit.

2. Cairan keruh (WBC >100 sel/mm3), tidak terdapat ultra-filtrasi, atau cairan

berdarah.

3. Kultur atau pewarnaan gram positif

Berikut organisme patogen penyebab peritonitis pada pasien dialisis peritoneal dan frekuensinya (Munib, 2006).

(18)

Organisme Frekuensi (%) Bakteri Gram Positif

Staphylococcus epidermis Staphylococcus aureus Streptococcus viridians Streptococcus fecalis 80-90 30-40 5-10 5-10

Bakteri Gram Negatif

Escherichia coli Klebsiella/Enterobacter spp. Pseudomonas spp. Acinetobacter spp Mycobacterium spp. Lain-lain 5-10 5 <10 <5 <5 <5 Fungi

Candida spp. dan fungi lain 1-10

Kultur Negatif 5-20

Antibiotik tetap menjadi terapi utama, yang ditambahkan ke dalam larutan dialisis (Munib, 2006).

BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Dialisis peritoneal merupakan tindakan dialisis yang mengambil alih sebagian fungsi ginjal dengan memasukkan cairan dialisat ke dalam rongga peritoneum, sehingga terjadi pertukaran cairan dan zat terlarut antara cairan dialisat di dalam rongga

(19)

peritoneum dengan sirkulasi darah melalui membran peritoneum. Di dalam rongga perut cairan tersebut akan mengalami proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Setelah beberapa 6-9 jam disimpan, cairan bersama dengan sisa hasil metabolisme tubuh akan dibuang melalui kateter tersebut ke dalam kantong pembuangan (Mayo Clinic Staff, 2008).

Continuos Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) adalah salah satu bentuk dialisis peritoneal kronik untuk pasien dengan end stage renal disease (Parsudi dkk, 2007). CAPD dapat dilakukan di rumah dengan bantuan kateter tetap yang dipasang menembus dinding abdomen (Sjamsuhidajat dkk, 2004).

Kelebihan dialisis peritoneal antara lain lebih fleksibel, lebih murah dan teknik yang lebih sederhana (Wibisono dkk, 2007). Namun, dialisis peritoneum juga memiliki kelemahan yang dapat merepotkan penderita. Komplikasi yang dapat timbul yaitu berupa peritonitis yang sering terjadi pada pengguna dialisis peritoneum, serta komplikasi-komplikasi lainnya (Parsudi dkk, 2007).

Gambar

Gambar 1. Peritoneum
Gambar 4. Tahap Dialisis
Gambar 5. Kateter Tenckhoff
Gambar 6. Perlengkapan Dialisis Peritoneal

Referensi

Dokumen terkait

Rumah sakit memberitahu pasien dan keluarga, dengan cara dan bahasa yang dapat dimengerti tentang proses bagaimana mereka akan diberitahu tentang kondisi medis dan diagnosis

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 20 siswi SMA N I Sanden Bantul didapatkan bahwa hasil 14 orang memiliki pacar dan 6 orang

Di dalam penelitian ini walaupun tidak terdapat perbedaan pada hasil nilai post test rata-rata pengetahuan ibu balita kelompok penyuluhan AV dan konvensional, namun

Pratik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan matakuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa S-1. Matakuliah ini ditempuh setelah sebelumnya menempuh matakuliah

STRATEGI INISIATIF PROGRAM KERJA SUB PROGRAM KERJA SASARAN KPI TARGET (Mengacu Tabel ANGGARAN 3.17) WAKTU PELAKSANAAN b. Menetapkan besaran tarif jasa pelayanan

Pada struktur data pohon dimana setiap simpul menunjuk ke orangtua mereka, LCA dapat ditentukan dengan mudah dengan mencari lintasan dari u ke akar teratas,

Pengaruh Faktor Produksi (Luas Lahan, Biaya Tenaga Kerja, Biaya Benih, Biaya Pupuk, Biaya Pestisida) Terhadap Pendapatan Petani Semangka Biji Dan Semangka Non

Adapun strategi yang dilakukan untuk mengatasi risiko adalah analisa atau survei dengan 5C, memberi pembiayaan pada usaha yang tidak berisiko tinggi, seleksi