• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kopi dihasilkan oleh lebih dari 50 negara, yang sebagian besar merupakan negara berkembang, dan melibatkan 17-20 juta kepala keluarga. Peranan kopi bagi perekonomian Indonesia sangat besar, karena komoditas ini diperkirakan menjadi sumber pendapatan utama dari 1,84 juta keluarga yang sebagian besar mendiami kawasan pedesaan di wilayah-wilayah terpencil. Kopi juga berperan penting dalam penyediaan lapangan kerja di sektor industri hilir dan perdagangan (Nestle S.A., 2004), karena 96% dari total areal perkebunan kopi di Indonesia merupakan perkebunan rakyat, 2% merupakan Perkebunan Besar Negara (PBN) serta 2% sisanya merupakan Perkebunan Besar Swasta (PBS) (Anonim, 2014a). Kopi juga merupakan komoditas ekspor yang memberikan devisa yang cukup besar, tahun 2012 ekspor kopi Indonesia mencapai 782 ribu ton (Anonim, 2014b). Total ekspor kopi pada tahun 2013 sebesar 700 ribu ton menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor kopi terbesar ketiga didunia setelah Brasil (2,9 juta ton) dan Vietnam (1,65 juta ton) (Anonim, 2014c).

Kopi arabika merupakan jenis kopi yang paling banyak diperdagangkan dan dikonsumsi di dunia. Menurut Van der Vossen (2001), 70% kopi dunia adalah jenis arabika, dan 30% sisanya merupakan jenis robusta. Produksi kopi arabika pada tahun 2012 mencapai 88,9 juta karung (62 %) sedangkan kopi robusta hanya 56,3 juta karung (38% dari total produksi kopi dunia) (Anonim, 2014d). Produksi kopi Indonesia bertolak belakang dengan produksi dan konsumsi kopi dunia. Kopi Indonesia didominasi oleh kopi robusta (79,21%) dan kopi arabika hanya 21,78%, sehingga Indonesia lebih dikenal sebagai produsen kopi robusta (Anonim, 2014e). Peningkatan produksi kopi arabika akan meningkatkan pendapatan, karena harga kopi arabika lebih tinggi daripada kopi robusta.

Peningkatan produksi kopi arabika dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu intensifikasi, peningkatan produktivitas kopi per satuan luas lahan dengan perbaikan sistem budidaya tanaman, dan ekstensifikasi, peningkatan produksi dengan cara perluasan areal penanaman. Peningkatan produksi dengan cara intensifikasi dipandang relatif lebih sulit, karena secara alami kopi arabika memiliki sifat akan mengalami penurunan hasil selama satu sampai dua tahun setelah mengalami puncak produksi atau dikenal dengan biennial bearing (Yahmadi, 1973). Bagi pemulia kopi, program pemuliaan tanaman kopi arabika tidak hanya dirancang untuk merakit tanaman kopi yang memiliki produktivitas tinggi dan tahan terhadap hama maupun

(2)

penyakit tertentu, namun juga untuk menghasilkan kopi unggul yang memiliki citarasa unik dan baik (Leroy et al., 2006).

1.2. Perumusan Masalah

Kopi arabika dapat tumbuh dan berproduksi baik pada lahan kawasan tinggi (> 1.000 mdpl). Ekstensifikasi kopi arabika pada lahan ketinggian lebih dari 1.000 m dpl. relatif sulit dilakukan, karena ketersediaan lahan pada ketinggian tersebut di Indonesia sangat terbatas. Komoditas pesaing seperti tanaman hortikultura semakin membatasi ketersediaan lahan yang sesuai untuk kopi arabika. Lahan pengembangan yang masih tersedia cukup luas terletak pada lahan ketinggian menengah (700 – 900 m dpl.), yaitu batas ketinggian minimal yang masih dianggap layak untuk penanaman kopi arabika (Hulupi, 2006). Budidaya kopi arabika pada lahan ketinggian menengah akan menghadapi banyak permasalahan, seperti meningkatnya serangan hama dan penyakit, dan penurunan kualitas citarasa yang dihasilkan (Hulupi, 2006). Berdasarkan hal tersebut, diperlukan strategi khusus untuk mendapatkan kultivar kopi arabika yang memiliki daya adaptasi dan citarasa yang baik pada lahan ketinggian menengah.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia telah melepas kultivar unggul baru dalam bentuk komposit dengan nama ‘KOMASTI’. ‘KOMASTI’ disusun oleh enam genotipe yang memiliki bentuk morfologi sama namun berasal dari keturunan persilangan tetua berbeda (Hulupi et al., 2012). Kultivar ini telah diuji pada kondisi lingkungan berbeda yaitu pada lokasi kawasan tinggi serta kawasan menengah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa KOMASTI memiliki daya adaptasi dan stabilitas dayahasil yang baik pada kedua lokasi tersebut, namun pengaruh ketinggian lokasi penanaman terhadap mutu yang dihasilkan oleh genotipe-genotipe penyusunnya belum diketahui secara lebih mendalam. Informasi mengenai mutu kopi arabika yang ditanam pada lahan ketinggian menengah serta perubahan mutu yang terjadi pada genotipe-genotipe yang diuji perlu diketahui untuk menyusun program pemuliaan kopi arabika untuk lahan ketinggian menengah. Penelitian ini akan mengkaji lebih mendalam performa mutu kopi arabika yang ditanam pada lokasi kawasan tinggi dan kawasan menengah, serta perubahan mutu yang terjadi terhadap genotipe-genotipe yang diuji akibat pengaruh genotipe dan ketinggian yang berbeda. Walaupun secara empiris ketinggian kawasan penanaman diketahui memberikan pengaruh besar terhadap kualitas kopi, namun hanya sedikit kajian ilmiah yang mendokumentasikan pengaruh tersebut (Bertrand et al., 2006). Hasil penelitian diharapkan dapat

(3)

digunakan sebagai bahan pertimbangan kelayakan pengembangan kopi arabika di kawasan menengah.

1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah

1. mengetahui pengaruh genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe × lingkungan pada mutu fisik biji dan komponen biokimia pada delapan genotipe kopi arabika;

2. mengetahui citarasa yang terbentuk akibat perbedaan genotipe dan tinggi kawasan penanaman, serta mendapatkan genotipe unggul yang memiliki citarasa terbaik pada kawasan menengah, dan genotipe yang memiliki citarasa terbaik pada kawasan tinggi; dan

3. mengetahui hubungan antarpeubah mutu fisik, biokimia, dan citarasa yang diamati

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani dan Genetik Kopi Arabika

Kopi arabika (Coffea arabica L.) merupakan tanaman perdu yang memiliki warna kulit batang berwarna keabu-abuan atau coklat muda. Daun pada kopi arabika berwarna hijau mengkilat berbeda dengan kopi robusta yang daunnya terlihat lebih kusam. Ukuran daun beragam, panjangnya berkisar 10-20 cm, sedangkan lebarnya berkisar setengah sampai sepertiga dari panjang daun (Cramer, 1957). Kopi arabika bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini didatangkan ke Indonesia tepatnya di Pulau Jawa pada tahun 1699 (Schweizer, 1929), kemudian berkembang menjadi komoditas ekspor utama bagi pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1900 (Cramer, 1918; Schweizer, 1929). Daerah pusat keragaman kopi arabika adalah Etiopia (Cramer, 1957), kemudian menyebar ke wilayah Yaman dan beberapa negara yang ada di sekitarnya (Rodrigues et al., 1975).

Tanaman kopi arabika dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 600 – 1.500 m dpl (Charrier & Eskes, 2004), walaupun banyak juga tanaman kopi yang dibudidayakan pada ketinggian lebih dari 2.000 m dpl. Deskripsi botani tanaman kopi dibuat pertama kali oleh A. de Jussieu pada tahun 1713 dengan nama Jasminum arabicanum dengan mengamati tanaman tunggal yang berada di Kebun Raya Amsterdam. Namun pada tahun 1737, Linneus mengelompokkan kopi dalam satu marga Coffea dan satu-satunya spesies yang dikenal saat itu adalah C. arabica (Charrier & Berthaud, 1985). Berdasarkan klasifikasi yang disarikan oleh Charrier & Berthaud (1985), kopi arabika termasuk dalam suku Rubiaceae, anak suku Cinchonoidea. Anak suku Cinchonoidea terbagi menjadi dua marga, yaitu Coffea L. dan Psilantus (Hook. F.). Marga Coffea terdiri dari tiga anak marga, yaitu Coffea, Psilanthopsis (Chev.) Leroy, dan Baracoffea (Miguel) Leroy. Menurut klasifikasi Leroy (1980) cit Charrier & Berthaud (1985), anak marga Coffea terdiri dari empat seksi yaitu Argocoffea, Paracoffea, Mascarocoffea, dan Eucoffea. Seksi Eucoffea selanjutnya oleh Chevalier (1947) cit Charrier & Berthaud (1985) diklasifikasikan menjadi lima anak seksi yaitu Nanocoffea, Pachycoffea, Erythrocoffea, Melanocoffea dan Mozambicoffea. Spesies kopi arabika masuk dalam anak seksi Erythrocoffea bersama spesies C. moka, C. congensis, dan C. canephora (Gambar 2.1).

(5)

Gambar 2.1. Kedudukan Coffea arabica L. dalam anak marga Coffea. Sumber : Chevalier (1947) cit. Charrier & Berthaud (1985)

Marga Coffea memiliki lebih dari 100 spesies (Pearl et al., 2004), namun hanya dua spesies yang memiliki nilai ekonomi penting, yaitu Coffea arabica L. dan Coffea canephora (Lashermes et al., 1999; Raina, et al, 1998; Steiger et al., 2002)

Jumlah kromosom dasar marga Coffea adalah x = 11. Kopi arabika memiliki keunikan dibandingkan kopi spesies lainnya karena C. arabica merupakan satu-satunya spesies dalam marga Coffea yang memiliki jumlah kromosom somatik 2n = 4x = 44 kromosom dan satu-satunya spesies yang memiliki sifat menyerbuk sendiri

(6)

(self compatible) (Sybenga, 1961; Pinto-Maglio, 2006). Sifat menyerbuk sendiri pada kopi arabika menyebabkan keragaman genetik kopi arabika cenderung lebih rendah daripada spesies kopi lainnya (Charrier & Eskes, 2004). Spesies lain yang banyak diusahakan umumnya memiliki jumlah kromosom somatik 2n = 2x = 22, seperti kopi robusta (C. canephora var. robusta), kopi Liberika (C. liberica), kopi kongensis (C. congensis Froehrer), dan kopi ekselsa (C. dewevrei). Walaupun jumlah kromosom dalam genom kopi arabika berbeda dari spesies kopi lainnya, pola segregasi kopi arabika menyerupai spesies kopi diploid lainnya, sehingga kopi arabika dapat disebut sebagai allotetraploid (Hulupi, 2006). Hasil penelitian Charrier & Eskes (2004) mendukung hipotesis bahwa sifat allotetraploid yang dimiliki oleh kopi arabika berasal dari persilangan alami antara spesies C. eugenioides sebagai tetua betina dan species yang mirip C. canephora sebagai tetua jantan.

2.2. Mutu Kopi

Definisi mutu kopi menurut Leroy et al. (2006) bermacam-macam bergantung pada peran dari yang mendefinisikannya. Jika dilihat dari sudut pandang konsumen, mutu kopi berkorelasi dengan ukuran biji, nilai cacat rendah, citarasa dan stabilitas citarasa, kandungan biokimia dan pengaruhnya bagi kesehatan. Mutu kopi dalam perdagangan internasional, ditentukan berdasarkan standar ISO (Organisasi Internasional untuk Standarisasi) tahun 2004 nomor 9116 (Anonim, 2014b). Terdapat beberapa informasi penting yang diperlukan untuk memenuhi standar ISO 9116 seperti daerah asal kopi, tahun panen, kadar air, total nilai cacat, dan ukuran biji. Standar tersebut juga mengatur metode pengukuran nilai cacat, kadar air, ukuran biji, komponen biokimia dan metode penyajian untuk uji organoleptik. Menurut standar ISO 10470 cacat biji kopi dideskripsikan menjadi empat komponen, yaitu material asing selain berasal dari kopi, material asing yang bukan berasal dari biji kopi seperti kulit tanduk atau kulit kopi, biji abnormal secara visual seperti biji hitam, dan biji abnormal yang menyebabkan cacat citarasa setelah disangrai dan diseduh dengan metode yang benar (Anonim, 2014c). Di Indonesia, standar mutu biji kopi juga diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-2907-2008. Standar mutu kopi ditentukan berdasarkan jumlah nilai cacat yang dihitung dari 300 g contoh.

Tahun 2002 International Coffee Organization (ICO) telah memberikan rekomendasi kepada negara-negara pengekspor kopi untuk tidak mengekspor kopi dengan yang memiliki nilai cacat lebih dari 86 dalam 300 g contoh untuk kopi arabika dan 150 nilai cacat dalam 300 g contoh pada kopi robusta. Terminologi nilai cacat

(7)

(defect) yang digunakan untuk menilai mutu kopi menurut standar mutu ISO maupun SNI tersebut dibuat untuk mempermudah dalam proses perdagangan kopi atau untuk kebutuhan komersial (Clarke, 1987; Franca et al., 2005a). Nilai kopi ditentukan berdasarkan jumlah cacat yang ada, tidak berdasarkan komponen-komponen penyusun mutu yang sesungguhnya seperti ukuran biji maupun citarasanya.

Leroy et al. (2006) menjelaskan bahwa terdapat empat komponen penting pada kopi yang sangat berpengaruh terhadap mutu kopi, yaitu kadar air biji, mutu fisik biji, mutu citarasa berdasarkan uji organoleptik, dan mutu kesehatan yang ditunjukkan oleh kandungan senyawa-senyawa biokimia yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Mutu fisik, mutu citarasa dan kandungan biokimia merupakan tiga komponen penting yang dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman, praktek budidaya dan lingkungan tumbuh maupun interaksi antara keduanya (Wintgens, 2004a), sedangkan kadar air biji hanya dipengaruhi oleh proses penanganan pasca panen. Oleh karena itu dalam upaya perbaikan tanaman untuk mendapatkan kopi dengan mutu yang baik, maka ketiga komponen mutu tersebut dapat dijadikan sebagai parameter pengamatan.

2.2.1. Mutu fisik biji kopi

Mutu fisik biji memiliki peranan yang sangat penting dalam penerapan teknologi pasca panen yang akan digunakan. Kriteria utama mutu fisik biji adalah ukuran biji, persentase biji abnormal seperti biji gajah (elephant bean), biji hampa dan biji bulat (peaberries) (Eskes & Leroy, 2004).

a. Ukuran biji (bean size)

Ukuran biji memiliki peranan penting untuk menghasilkan kopi sangrai yang baik, karena banyak konsumen meyakini bahwa ukuran biji berkorelasi positif dengan kualitas, walaupun ukuran biji besar tidak selalu menghasilkan citarasa kopi yang lebih baik daripada kopi yang berukuran lebih kecil (Wintgens, 2004a). Penentuan ukuran biji dapat didekati dengan menimbang rerata 100 butir biji. Bobot satu biji kopi beragam antara 100 mg sampai lebih dari 200 mg (Clifford, 1985)dan bobot 100 biji kopi arabika berkisar antara 18-22 g (Wintgens, 2004b). Perbedaan ukuran biji kopi tidak hanya disebabkan oleh faktor genetik saja, namun juga berhubungan dengan kondisi lingkungan, dan penggunaan bahan organik dalam praktek budidaya (Clifford, 1985; Wintgens, 2004a)

b. Normalitas biji

Buah kopi tidak hanya menghasilkan biji yang memiliki bentuk dan ukuran yang normal, namun juga menghasilkan bentuk abnormal seperti biji bulat

(8)

(peaberry/rounded bean), biji gajah (elephant bean/poliembryoni), dan biji hampa (empty bean).

Biji bulat. Buah kopi normal memiliki dua buah biji, namun kadangkala dapat terjadi salah satu biji tidak dapat berkembang sempurna, sehingga biji yang lain akan mengisi semua ruang yang ada dalam buah kopi sehingga terbentuklah biji bulat (Wintgens, 2004a). Biji bulat dapat dihasilkan dari proses polinasi yang tidak sempurna ketika kondisi lingkungan tidak mendukung, atau juga disebabkan oleh sifat genetik tanaman. Kultivar kopi arabika yang direkomendasikan biasanya menghasilkan kurang lebih 10% biji bulat (Eskes & Leroy, 2004). Keberadaan biji bulat dinilai sebagai cacat dalam budidaya kopi, dan sifat ini digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi dalam pemuliaan tanaman. Peningkatan satu persen biji bulat pada suatu tanaman berhubungan dengan penurunan hasil sebesar 0.75% (Wintgens, 2004a). Persentase biji bulat seringkali berhubungan dengan persentase biji hampa, sebab adanya rongga yang tidak terisi biji akan mendorong biji yang berada di rongga lain untuk terus tumbuh, menyebabkan biji yang terbentuk berbentuk bulat/elips. Kopi arabika pada umumnya memiliki persentase biji hampa kurang dari 10%, dan pada kultivar yang dihasilkan dari persilangan antar spesies, persentase biji hampa dapat lebih dari 50% (Eskes & Leroy, 2004).

Biji gajah berasal dari buah yang berukuran lebih besar dari buah normal, demikian juga ketika biji masih berkulit tanduk, namun setelah biji di gerbus maka biji akan pecah menjadi lapisan-lapisan endosperma kecil (Wintgens, 2004a). Pecahnya biji disebabkan biji gajah terbentuk dari beberapa endosperma berbentuk lapisan-lapisan tipis bergabung menjadi satu membentuk biji kopi. Pada saat proses sortasi, biji gajah akan dihitung sebagai cacat biji pecah. Penyebab munculnya biji gajah belum diketahui secara pasti, namun diduga sangat dipengaruhi oleh genotipe dan kondisi lingkungan. Persentase biji gajah pada kopi arabika umumnya berkisar antara 2-3%, namun pada beberapa kultivar dapat mencapai 20-50% pada kondisi lingkungan tertentu (sebagai contoh kultivar S795 yang ditanam di Indonesia). Pengamatan persentase biji hampa dan biji abnormal lainnya dapat dilakukan dengan memotong melintang 200 butir buah kopi pada saat buah berumur 4-5 bulan setelah antesis (Eskes & Leroy, 2004).

c. Densitas kamba (bulk density)

Densitas kamba merupakan salah satu penciri kualitas yang mudah dalam pengukurannya. Densitas kamba sebelum penyangraian sangat erat hubungannya dengan densitas kamba setelah penyangraian serta volume biji (Clarke, 1987).

(9)

Densitas kamba biji kopi berkisar antara 1.15 mg.L-1 sampai 1.42 g.mL-1 (Clifford, 1985).

d. Apparent swelling

Apparent swelling merupakan ukuran tingkat mengembang biji kopi setelah disangrai sebagai konsekuensi kehilangan bobot keringnya (dry matter). Nilai apparent swelling pada tingkat sangraian untuk konsumsi berkisar antara 170 – 230% (Clifford, 1985). Kehilangan bobot pada saat proses penyangraian berkisar pada 10% untuk kriteria light roast (warna sangrai sangat pucat) sampai 25% untuk kriteria dark roast (warna hasil sangrai gelap) (Clifford, 1985). Penyebab mengembangnya biji kopi saat penyangraian belum diketahui secara pasti, namun diduga kuat disebabkan oleh penguapan kadar air biji, pelepasan air dan CO2 akibat proses penyangraian mendorong pembesaran ukuran biji melawan kekuatan struktural material biji (Eggers & Pietsch, 2001).

2.2.2. Mutu Citarasa (Cup Quality)

Kopi adalah minuman penyegar yang dikonsumsi karena citarasanya, sehingga citarasa merupakan faktor paling penting dalam menentukan kualitas kopi. Ukuran biji yang besar, warna yang bagus dan sifat mutu fisik lainnya yang baik akan menjadi tidak berguna apabila citarasa kopi yang dihasilkan tidak baik.

Mutu citarasa merupakan mutu kopi yang sulit untuk didefinisikan, namun beberapa faktor yang mempengaruhinya sudah diketahui, seperti jenis kultivar yang dibudidayakan, teknik budidaya tanaman, letak geografis, dan perlakuan pascapanen yang diterapkan (Carvalho, 1988; Mitchell, 1988; Barel & Jacquet, 1994).

Flavor dan aroma kopi merupakan hasil dari kombinasi antara ratusan komponen biokimia yang diproduksi oleh reaksi yang terjadi selama proses penyangraian (Franca et al., 2005a). Biji kopi yang telah diproses belum memiliki ciri khas seduhan kopi, namun memiliki prekursor pembentuk citarasa. Citarasa kopi akan terbentuk setelah kopi beras disangrai. Selama proses penyangraian terjadi reaksi kimia yang sangat kompleks sehingga terbentuk ciri citarasa kopi yang sesungguhnya. Menurut Leroy et al. (1979), proses penyangraian terbagi menjadi tiga tahapan, berturut-turut adalah :

1. drying, ditandai dengan pelepasan air dan senyawa folatil secara perlahan serta perubahan warna biji dari hijau menjadi kuning, tahapan ini berlangsung selama paruh pertama proses sangrai

(10)

2. roasting/pyrolysis, menghasilkan perubahan secara fisik maupun kimia biji. Sebagian besar CO2, air, dan senyawa folatil dilepaskan, biji berubah warna menjadi cokelat, karena adanya karamelisasi gula dan reaksi Maillard

3. cooling, proses pendinginan untuk mencegah biji terbakar. Penyangraian merupakan proses yang sangat komplek, karena ratusan reaksi kimia terjadi secara bersamaan, seperti reaksi Mailard, reaksi Steckers, degradasi protein, polisakarida, trigonelin dan asam klorogenat (De Maria et al., 1996).

Kopi yang telah disangrai akan menghasilkan ciri citarasa yang sangat kompleks. Penilaian komponen citarasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan uji inderawi/organoleptik, atau dengan uji kuantitatif menggunakan peralatan yang dapat mengukur komponen biokimia yang terdapat pada biji kopi. Komponen biokimia yang diukur merupakan senyawa tertentu yang memiliki korelasi dengan aroma dan rasa pada kopi seduhan seperti furaneol, sotolon dan abhexon berhubungan dengan rasa karamel-manis; alkylpyrazines, guaiacols, dan 2-methylisoborneol diketahui berhubungan dengan aroma spicy dan harsh-earthy pada kopi robusta (Blank et al., 1991; Bade-Wagner et al., 1993). Walaupun telah banyak komponen kimiawi yang telah berhasil diketahui berhubungan dengan sifat aroma tertentu, tetapi analisis senyawa kimiawi belum dapat menggantikan uji citarasa menggunakan uji organoleptik karena kompleksitas citarasa pada kopi (Shibamoto, 1991; Steinhart & Holscher, 1991).

Tujuan utama dari uji citarasa kopi adalah mengevaluasi citarasa kopi dengan cara obyektif dan dapat diulangi (reproducible) (Wintgens, 2004a). Kopi dinilai oleh panelis terlatih dengan menilai kopi berdasarkan flavor (perisa), body (tingkat kekentalan kopi seduhan) dan acidity (tingkat keasaman). Model penilaian ini tentunya sangat mengandalkan pada pengalaman pribadi dan daya ingat panelis, sehingga subyektivitas kadang terjadi.

Empat komponen citarasa dasar yang selalu ada dalam penilaian kopi arabika, yaitu: 1. Aroma : bau yang tercium oleh indra hidung. Terdapat dua sifat aroma yaitu aroma yang tercium pada saat kopi baru saja di-bubukkan (grinded) yang disebut sebagai fragrance, dan aroma yang tercium setelah 3-4 menit kopi diseduh yang disebut sebagai aroma

2. Flavor (perisa). Jika aroma merupakan sesuatu yang dapat dicium oleh hidung, dan rasa (taste) adalah sesuatu yang dirasa oleh lidah, maka flavor adalah kombinasi dari aroma dan taste. Flavor merupakan sifat utama dan

(11)

paling penting dalam menentukan kualitas kopi (Clarke, 1987; Banks et al., 1999)

3. Body : sensasi rasa tingkat kekentalan kopi yang dapat dirasa oleh lidah 4. Acidity : sensasi rasa asam yang menyenangkan

Metode pengujian citarasa kopi terbagi menjadi dua, yaitu analisis hedonik (hedonic analysis) dan analisis deskripsi (descriptive analysis). Hedonic analysis bertujuan untuk mengetahui tingkat preferensi konsumen terhadap citarasa kopi. Pengujian dengan metode ini dilakukan secara panel oleh minimal 60 orang panelis spontan yang mewakili suatu populasi. Descriptive analysis bertujuan untuk mendeskripsikan citarasa kopi. Pengujian dengan metode descriptive analysis dilakukan oleh panelis terlatih dan mampu mendeskripsikan profil citarasa kopi dengan baik (Leroy et al., 2006).

2.2.3. Kandungan biokimia

Pembentukan aroma kopi merupakan proses yang kompleks meliputi reaksi Mailard dan Strecker dan degradasi suhu selama proses penyangraian. Lebih dari 800 senyawa volatil bergabung membentuk aroma kopi (Dart & Nursten, 1985; Flamen, 1989; Shibamoto, 1991), dan masih banyak komponen-komponen yang masih belum diketahui, termasuk senyawa-senyawa non volatil (Shibamoto, 1991). Senyawa prekursor aroma merupakan senyawa yang berperan menghasilkan senyawa-senyawa baru pembentuk aroma, beberapa telah berhasil ditemukan seperti sukrosa, trigonelin (Clifford, 1985; Dart & Nursten, 1985), asam klorogenat dan kafein (Leloup et al., 1995), amino, peptida asam organik, lemak, dan karotenoid (Montavon et al., 2003). Kafein dan asam klorogenat merupakan senyawa fenol yang dihasilkan tanaman sebagai metabolit sekunder yang berfungsi dalam sistem pertahanan tanaman terhadap radiasi ultraviolet atau serangan hama penyakit tanaman (Farah & Donangelo, 2006).

Kafein (1,3,7-trimethylxanthine) adalah senyawa purin utama pada biji kopi dengan formula kimia C8H10N4O2 (Clifford, 1985; Belay, 2011). Kafein murni tidak memiliki bau, berbentuk bubuk putih, dan pH berkisar antara 6 – 9 (Mumin et al., 2006; Belay, 2011). Kadar kafein biji kopi seringkali berbanding lurus dengan kandungan asam klorogenat. Kadar kafein dipengaruhi oleh genotipe tanaman dan cara pengolahan. Kafein kopi robusta lebih tinggi dari arabika, dan biji kopi yang diolah basah memiliki kandungan kafein lebih rendah dari kopi yang diolah dengan metode olah kering. Menurut Clifford (1985), perbedaan kandungan kafein biji kopi

(12)

dari hasil metode pengolahan yang berbeda tersebut disebabkan oleh adanya proses pencucian. Kandungan kafein kopi robusta berkisar antara 1.6 – 2.4 %, sedangkan kopi arabika 0.9-1.2 %. Spesies kopi lain yang tidak banyak dibudidayakan seperti C. liberica dan C. dewevrei memiliki kadar kafein biji cukup rendah, yaitu berturut-turut 1,4 % dan 1.2 %, sedangkan spesies kopi yang tidak memiki nilai komersial memiliki kadar kafein rendah seperti C. eugenioides (0.4%), C. salvatrix (0.7%) dan C. racemosa (0.8%) (Mazzafera & Carvalho, 1991). Keragaman kadar kafein biji kopi dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi dalam pemuliaan tanaman, dan sebagai kriteria seleksi kandungan maksimum kafein pada kopi arabika adalah 1.3% (Wintgens, 2004b).

Ragam genetik lebih besar pengaruhnya dalam mengendalikan kadar kafein biji dibandingkan dengan pengaruh lingkungan dan praktek budidaya. Proses penyangraian sampai pada tingkat tertentu tidak mempengaruhi kandungan kafein biji kopi (Farah et al., 2006). Kafein berperan terhadap munculnya rasa pahit dalam seduhan kopi (Macrae, 1985). Lee et al. (1992) melaporkan bahwa kafein tidak berbau, memiliki rasa pahit menyumbang hanya 10 % dari total rasa pahit pada seduhan kopi.

Sukrosa merupakan penyusun utama kandungan gula pada biji kopi (Bradbury, 2001; Knopp et al., 2006), dan memiliki peranan penting dalam mekanisme sink-source kopi (Franck et al., 2006). Kandungan sukrosa pada biji kopi beragam, yaitu 5 % - 9.5 % berat kering pada kopi arabika, dan 4% - 7% pada kopi robusta. Tingginya kandungan sukrosa pada kopi arabika merupakan salah satu faktor yang menyebabkan citarasa kopi arabika lebih enak dibandingkan dengan kopi robusta (Ky et al., 2001).

Proses penyangraian, akan mendegradasi sukrosa dengan cepat membentuk anhydro-sugar dan senyawa lain seperti glyoxal (Clifford, 1985; De Maria et al., 1994). Molekul-molekul tersebut selanjutnya akan bereaksi dengan asam amino untuk menghasilkan asam alifatik (aliphatic acid), hydroxymethylfurfural, furan, pyrazine, dan senyawa carbonyl yang memberikan peran penting terhadap pembentukan flavor, aroma, maupun citarasa seduhannya (Grosch, 2001; Homma, 2001; Franca et al., 2005a). Walaupun kandungan sukrosa banyak terdegradasi selama proses penyangraian, namun 0.4% - 2.8% kandungannya masih memberikan pengaruh nyata pada sifat sweetness dalam mutu seduhannya (Guyot et al., 1996). Asam klorogenat (chlorogenic acid/CGA) adalah nama umum yang digunakan untuk menyebutkan berbagai senyawa asam fenolat dalam bahan

(13)

tanaman, termasuk kopi. Asam klorogenat merupakan senyawa fenolat utama pada tanaman kopi, yang telah dipelajari lebih dari satu abad (Clifford, 1979; Montavon et al., 2003). Asam klorogenat pertama kali ditemukan sebagai 3-caffeoylquinic acid, kemudian struktur asam klorogenat ditetapkan sebagai 5-caffeoylquinic acid berdasarkan nomenklatur IUPAC tahun 1976 (Trugo & Macrae, 1984). Saat ini, terminologi asam klorogenat setidaknya terdiri dari 5 isomer yaitu caffeoylquinic acids (CQA), dicaffeoylquinic acids (diCQA), feruloquinic acids (FQA) (Trugo & Macrae, 1984; Clifford, 2003), p-coumaroylquinic acids (pCoQA), dan caffeoylferuloy-quinic acids (CFQA) (Clifford, 2003). Tiga isomer yang paling banyak ditemukan pada biji kopi yaitu CQA sebagai penyusun utama asam klorogenat dengan persentase 56-62% dari total asam klorogenat pada biji kopi, dan diCQA dan FQA masing-masing sebesar 15-20% dan 5-13% (Trugo & Macrae, 1984; Clifford et al., 2006).

Asam klorogenat diketahui memiliki peranan penting dalam menentukan flavor pada citarasa kopi. Asam klorogenat berperan terhadap pembentukan kualitas dari acidity (Trugo & Macrae, 1984), meningkatkan rasa sepat (astringency) (Variyar et al., 2003). Degradasi suhu saat penyangraian pada asam klorogenat akan menghasilkan substansi fenolat yang berperan terhadap rasa pahit (bitterness) pada seduhan kopi (Trugo, 1984; Clifford, 1985). Hasil dari reaksi Maillard dan Strecker saat penyangraian menyebabkan bitterness meningkat disebabkan oleh pelepasan caffeic acid dan pembentukan lactones dan turunan senyawa fenol lainnya yang berpengaruh terhadap flavor dan aroma kopi (Ginz & Engelhardt, 2001; Variyar et al., 2003). Hubungan antara asam klorogenat dan kualitas citarasa kopi belum sepenuhnya diketahui, bahkan terkadang terjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan oleh Ohiokpehai et al. (1982) melaporkan bahwa penambahan diCQA menyebabkan penurunan flavor pada citarasa kopi seduhan, sedangkan peningkatan CQA tidak menyebabkan terjadinya penurunan flavor. Penelitian yang dilakukan oleh Silva (1999) cit. Farah & Donangelo (2006) menunjukkan bahwa peningkatan total CGA menyebabkan terjadinya penurunan kualitas citarasa seduhan kopi. Hal ini mengingat bahwa 60% dari total CGA merupakan CQA. Penelitian yang dilakukan oleh Farah et al. (2006) mendukung hasil penelitian Silva (1999) yaitu kadar CQA dan FQA yang tinggi berkorelasi positif dengan penurunan kualitas citarasa kopi seduhan, sedangkan kadar diCQA yang rendah berkorelasi dengan citarasa kopi yang baik. Penelitian Farah et al. (2006) semakin memperkuat hipotesis bahwa penurunan kualitas citarasa pada biji kopi yang memiliki kadar CGA yang tinggi disebabkan oleh proses oksidasi pada CGA menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat

(14)

menyebabkan citarasa rio-off flavor (tingkatan citarasa paling rendah pada penilaian mutu kopi di Brasil yang digambarkan sebagai pungent, medicinal, phenolic atau iodine-like) (Mazzafera, 1999; Farah & Donangelo, 2006; Farah et al., 2006).

Trigonelin. Tanaman kopi memiliki dua tipe alkaloid yang berasal dari nukleotida. Tipe pertama adalah alkaloid purin seperti kafein (1,3,7-trimethylxanthine) dan teobromin (3,7-N-dimethylxanthine), sedangkan tipe kedua adalah alkaloid pirimidin berupa trigonelin (1-N-methylnicotinic acid) (Ashihara, 2006). Konsentrasi trigonelin pada biji kopi berkisar 2% dari berat kering (Clifford, 1985). Penelitian yang dilakukan Ky et al. (2001) menunjukkan bahwa keragaman genetik kadar trigonelin pada kopi arabika berkisar antara 0,88 – 1,77 % dan pada kopi robusta 0,75 – 1,24%.

Selama proses penyangraian, trigonelin akan berkurang sebesar 50-80% dari kadar awal sebelum penyangraian (Franca et al., 2005a; Farah et al., 2006). Menurut Macrae (1985), trigonelin sedikit memberikan pengaruh langsung terhadap citarasa seduhan kopi, memberikan rasa pahit (bitterness) kira-kira seperempat rasa pahit kafein, namun produk dari degradasi suhu trigonelin selama penyangraian memberikan pengaruh penting terhadap citarasa pada kopi. Setelah mengalami penyangraian, trigonelin akan berubah menjadi asam nikotinat dan komponen flavor tertentu yang menentukan citarasa seduhan kopi (Mazzafera & Carvalho, 1991). Kadar trigonelin yang lebih tinggi pada kopi arabika daripada kopi robusta menunjukkan bahwa trigonelin memberikan pengaruh positif terhadap citarasa kopi, karena kopi arabika memiliki citarasa yang lebih baik daripada kopi robusta. Menurut Farah et al. (2006), kadar trigonelin pada biji kopi mentah memiliki korelasi negatif dengan seduhan kopi berkualitas buruk (r = -0.93) dan kopi dengan citarasa Rio-off-flavor (r = -0,94).

2.3. Pengaruh Ketinggian (Altitude) terhadap Mutu Kopi

Interaksi antara genotipe dengan lingkungan pada tanaman kopi telah banyak dikaji, namun sebagian besar berfokus pada dayahasil dan sifat agronomi yang berpengaruh terhadap dayahasil (Belete et al., 2014; Demissie et al., 2011; Wamatu et al., 2003). Mutu kopi merupakan sifat penting yang sangat menentukan harga kopi. Efisiensi metode seleksi dalam program pemuliaan kopi juga sangat bergantung pada pengetahuan mengenai besar pengaruh lingkungan dan interaksi antara genotipe dengan lingkungan pada sifat yang diinginkan (Wamatu et al., 2003). Ketinggian tempat penanaman merupakan faktor lingkungan yang memiliki pengaruh besar terhadap mutu kopi. Penelitian yang dilakukan oleh Lara-estrada &

(15)

Vaast (2006) menunjukkan bahwa pengaruh ketinggian lokasi penanaman terhadap mutu fisik biji, mutu citarasa, dan komposisi biokimia biji kopi yang dihasilkan lebih besar daripada pengaruh praktek budidaya seperti pemberian penaung dan pemupukan. Kopi yang ditanam pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl. memiliki ciri aromatic, tingkat kepahitan (bitterness) rendah, dan acidity serta body yang baik, sedangkan citarasa kopi arabika yang ditanam pada ketinggian kurang dari 850 m dpl. memiliki bitterness yang tinggi, grassy (beraroma rerumputan/langu), nilai aroma rendah, serta cenderung sepat (astringent) (Decazy et al., 2003). Penelitian oleh Lara-estrada & Vaast (2006) dan Decazy et al. (2003) tersebut dilakukan pada berbagai ketinggian tempat yang berbeda, namun hanya menggunakan satu genotipe saja, sehingga pengaruh langsung ketinggian terhadap genotipe dan interaksinya tidak dapat dijelaskan.

Penelitian mengenai interaksi genotipe × lingkungan pada citarasa kopi arabika telah dilakukan oleh Gichimu et al. (2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi genotipe × lingkungan yang sangat nyata pada hampir semua peubah citarasa yang diuji (fragrance, flavor, aroma, aftertaste, acidity, balance, preference, dan total score) kecuali pada body. Hal tersebut menunjukkan bahwa seleksi untuk pemuliaan kopi arabika bercitarasa baik, sebaiknya dilakukan secara multilokasi, sehingga dapat dipilih genotipe kopi arabika yang paling sesuai untuk lingkungan tertentu (Gichimu et al., 2012). Penelitian tersebut dilakukan di tiga lokasi dengan ketinggian 1.524, 1.554, dan 1.700 m dpl, sehingga pengaruh genotipe dan interaksinya dengan lingkungan pada ketinggian menengah (700 – 900 m dpl.) belum dapat dijelaskan. Kajian mengenai pengaruh interaksi genotipe dengan lingkungan pada sifat normalitas biji telah dilakukan oleh Mawardi & Hulupi (1995). Hasil pengujian menunjukkan terdapat pengaruh nyata interaksi genotipe dengan lingkungan pada semua sifat normalitas biji yang diuji, yang berarti bahwa terbentuknya biji normal dan abnormal tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik, namun juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Semakin tinggi lokasi penanaman, semakin besar persentase biji abnormal.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut, maka perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai performa genotipe-genotipe yang ditanam pada lahan ketinggian menengah dan kawasan tinggi. Genotipe-genotipe yang diuji adalah genotipe memiliki produktivitas yang baik di kawasan tinggi maupun kawasan menengah. Pengamatan dilakukan terhadap mutu kopi meliputi mutu fisik biji, citarasa dan kandungan biokimia yang menjadi prekursor citarasa.

(16)

2.4. Hipotesis

1. Terdapat pengaruh genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe × lingkungan pada mutu fisik biji dan komponen biokimia pada beberapa genotipe kopi arabika yang diuji.

2. Terdapat perbedaan citarasa antara genotipe yang ditanam pada kawasan menengah dan kawasan tinggi dan terdapat genotipe yang memiliki citarasa terbaik dari kawasan tinggi dan genotipe dengan citarasa terbaik kawasan menengah.

3. Terdapat korelasi antara citarasa seduhan kopi dengan peubah mutu fisik dan kandungan biokimia

Gambar

Gambar 2.1.  Kedudukan Coffea arabica L. dalam anak marga Coffea.

Referensi

Dokumen terkait

Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan, saran, semangat yang tidak dapat disebutkan satu per satu.. Saya menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak

Hasil pengujian yang diperoleh dari campuran LASTON untuk berbagai proporsi additive filler semen, seperti terlihat pada Tabel 5.4, dimana nilai flow 4,52 mm untuk

penelitian tersebut ditemukan bahwa proporsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris, dan risiko pelaporan keuangan tidak memiliki pengaruh terhadap pembentukan

Ayrıca –şimdi adını hatırlamadığım- genç ve atılgan savaşçı (“good.. trade”) ile de ilginç bir dostluk kuruyor. Son olarak da bizon avı sırasında

Kegiatan penjualan dengan cara kredit sudah menjadi trend namun pada saat penjualan barang dagangan dilakukan secara kredit, akan menimbulkan masalah baik dalam

Permasalahan yang akan diangkat oleh Penulis yang Pertama adalah Apakah pertimbangan hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa sesuai dengan fakta yang terungkap dan terbukti

Bagi para anggota Komisi Maria Marta yang membutuhkan surat pengantar untuk menghadiri Persekutuan/Kebaktian Bulanan KMM pada setiap Minggu ke 3, dimohon untuk mendaftarkan namanya

Pelatihan Budidaya Ikan 6 kali, Bantuan benih dan induk ikan konsumsi 2 paket , induk ikan hias 2 paket, sarana produksi ikan konsumsi 2 paket, sarana produksi ikan hias 2