• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nanik Istianingsih dan Fina Afriany STIA Setih Setio Muaro Bungo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Nanik Istianingsih dan Fina Afriany STIA Setih Setio Muaro Bungo"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 9

STRATEGI PENDAMPINGAN PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (P2TP2A) TERHADAP ANAK

KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI KABUPATEN MERANGIN Nanik Istianingsih dan Fina Afriany STIA Setih Setio Muaro Bungo

nanikistianingsih66@gmail.com

Abstract

Cases of violence against men, women, and even children often make headlines in various media. However, many cases have not been revealed, because this violence case is considered as an insignificant matter, especially the problem of violence against children. So many cases of violence that occur in children but only a few cases that are followed up. In Merangin District, Jambi Province cases of violence have increased in recent years. The purpose of this study was to determine the assistance strategy for the Integrated Service Center for Women's Empowerment and Child Protection (P2TP2A) for children victims of sexual violence in Merangin District. The sample in this study amounted to 8 people who are informants who are in direct contact with programs and cases of violence against children. This type of research is descriptive qualitative with data analysis techniques using data triangulation. The results of the study found that in handling cases of violence against children the Integrated Service Center for Women's Empowerment and Child Protection (P2TP2A) was in accordance with standard operating procedures stipulated by the State Ministerial Regulation for Women Empowerment and Child Protection Number 5 of 2010. In carrying out the assistance of P2TP2A officers also has a strategy implemented for handling cases. However P2TP2A officers still encountered obstacles including difficulty in communication from the family and the lack of facilities, especially shelter or safe houses for victims of violence against children. So the suggestion from this research is that the victim's family should be more open to P2TP2A officers so that violence cases can be resolved properly. And the government should provide shelter facilities or safe houses for victims of violence.

Keyword: Child Abuse, Assistance, Service. A. PENDAHULUAN

Kasus kekerasan terhadap pria, wanita, bahkan anak sering menjadi headline diberbagai media. Namun, banyak kasus yang belum terungkap, karena kasus kekerasan ini dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting, terutama masalah kekerasan pada anak-anak. Begitu banyak kasus kekerasan yang terjadi pada anak tetapi hanya sedikit kasus yang ditindaklanjuti. Padahal, seorang anak merupakan generasi penerus bangsa. Kehidupan masa kecil anak sangat berpengaruh terhadap sikap mental dan moral anak ketika dewasa nanti.

Kekerasan merupakan tindakan yang mengacu pada sikap atau perilaku yang tidak manusiawi, sehingga dapat menyakiti orang lain yang menjadi korban kekerasan tersebut. Kekerasan tidak hanya bersifat fisik, seperti pemukulan, pembunuhan, penyerangan, dan

(2)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 10

tindak kekerasan fisik lainnya, tetapi juga sikap yang melecehkan dan melontarkan kata-kata yang tidak senonoh atau menyakitkan hati dapat juga dikategorikan sebagai tindak kekerasan. Teknologi informasi telah mempengaruhi anak untuk tidak takut pada hal-hal baru mereka mendapat banyak informasi dari internet, film, majalah, dan televisi, sehingga banyak anak yang mengalami kekerasan seksual dari dunia maya. Kekerasan dapat terjadi pada siapa saja, umumnya kekerasan terjadi pada orang-orang yang lemah, seperti anak, perempuan, dan orang tua (lansia).

Kekerasan seksual adalah tindakan yang mengarah pada ajakan seksual tanpa persetujuan, hal ini juga termasuk tindakan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Kekerasan terhadap anak merupakan tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiayaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang bersifat kejam dan termasuk sosial patologi artinya bukan masalah hukum saja tetapi juga masalah sosial. Dalam perkembangannya, persoalan kekerasan seksual tidaklah bersifat personal dan berdiri sendiri, melainkan merupakan masalah sosial yang mempunyai banyak aspek dan faktor yang melingkupinya.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menjadi langkah awal dalam pemutusan permasalahan kekerasan seksual pada anak yang ada di Indonesia. Undang-undang perlindungan anak mengatur segala jenis permasalahan sosial dan hukum anak, tata cara pendampingan dan keterlibatan seluruh perangkat daerah dalam mengsukseskan tujuan dari undang-undang tersebut.

Menurut Pasal 1 ayat 12 dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi professional dalam bidangnya, Undang-Undang Perlindungan Anak tidak menjelaskan secara khusus peran dari seorang pendamping dalam mengangani korban. Pendampingan bagi anak korban kekerasan sangatlah penting bagi korban dengan tujuan untuk membantu menyelesaikan, membantu meringankan, membantu memulihkan fungsi sosialnya di masyarakat. Kebijakan yang paling tepat adalah dibentuknya Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A), sebagai lembaga pemerintah yang secara khusus sebagai tempat pendampingan terhadap perempuan dan anak yang mengalami permasalahan sosisal. Keputusan mengenai pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Perlindungan Anak kini tercantum pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2010 tentang Panduan Pembentukan

(3)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 11

dan Pendampingan Pusat Pelayanan Terpadu, dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pembentukan dan pendampingan pusat pelayanan terpadu merupakan kewajiban dan tugas masing-masing daerah termasuk didalamnya penguatan kelembagaan dan pemenuhan sarana dan prasarana yang berkaitan.

Di Provinsi Jambi kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan setiap tahunnya meningkat. Hal tersebut dapat terlihat dari data kekerasan anak pada tahun 2015 hingga 2017, seperti yang dilampir pada tabel 1 :

Tabel 1. Data Jumlah Kasus Kekerasan Seksual pada Anak Di Provinsi Jambi

No. Tahun Jumlah Kasus Kekerasan Seksual

1. 2015 66

2. 2016 124

3. 2017 115

4. 2018 145

Sumber : Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pengadilan Penduduk Provinsi Jambi, 2019

Di Kabupaten Merangin angka kekerasan seksual terhadap anak juga setiap tahunnya meningkat. Berdasarkan data dari Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Merangin dapat dilihat jumlah kasus kekerasan seksual pada tabel 2 :

Tabel 2. Data Jumlah Kasus Kekerasan Seksual pada Anak di Kabupaten Merangin

No. Tahun Jumlah Kasus Kekerasan Seksual

1. 2015 12

2. 2016 20

3. 2017 34

4. 2018 40

Sumber : Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Merangin,2019

(4)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 12

Kasus seperti ini cuma sebagian saja yang muncul kepermukaan, hal ini disebabkan banyak dari masyarakat menilai bahwa kekerasan seksual tersebut sebagai aib. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi pendampingan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) terhadap anak korban kekerasan seksual di Kabupaten Merangin.

B. METODOLOGI

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan analisis kualitatif. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 8 orang yang terdiri dari para informan yang berkaitan langsung dengan penanganan kasus kekerasan kepada anak. Sampel terdiri dari 2 orang petugas P2TP2A, 2 orang dari Dinas Social Kabupaten Merangin, 3 orang masyarakat yang mengetahui kasus kekerasan anak dan 1 orang dari orang tua korban kekerasan anak. C. HASIL PEMBAHASAN

Dari data sekunder yang peneliti peroleh, dapat diketahui bahwa angka kekerasan di Kabupaten Merangin memang meningkat sehingga sangat diperlukan pendampingan bagi korban. Ini dapat dilihat pada tabel 3 :

Tabel 3 Daftar Jumlah Data Kasus Kekerasan Seksual Tahun 2015-2017 No. Jenis Kasus Tahun

2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018 1. Pelecehan 6 11 13 10 2. Pencabulan 4 4 6 12 3. Pemerkosaan 2 2 5 6 4. Kekerasan - 3 10 12 JUMLAH 12 20 34 40 Persentase (%) 1,69% 2,82% 4,80% 5,64%

Sumber : Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Merangin, 2019

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa pada tahun 2015 ada 4 jenis kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani oleh P2TP2A di Kabupaten Merangin, pertama yaitu pelecehan dengan jumlah korban sebanyak 6 orang, kedua yaitu pencabulan dengan jumlah korban 4 orang, ketiga yaitu pemerkosaan dengan jumlah korban 2 orang, dan jumlah korban kekerasan pada anak tidak ada. Jadi total

(5)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 13

korban kekerasan seksual selama tahun 2015 yaitu 12 orang atau 1,69% dari total jumlah anak di Kabupaten Merangin. Selanjutnya pada tahun 2016 ada 4 jenis kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani oleh P2TP2A di Kabupaten Merangin, pertama yaitu pelecehan dengan jumlah korban sebanyak 11 orang, kedua yaitu pencabulan dengan jumlah korban 4 orang, ketiga yaitu pemerkosaan dengan jumlah korban 2 orang, dan keempat yaitu kekerasan dengan jumlah korban 3 orang. Jadi total korban kekerasan seksual selama tahun 2016 yaitu 20 orang atau 2,82% dari total jumlah anak di Kabupaten Merangin.

Selanjutnya pada tahun 2017 ada 4 jenis kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani oleh P2TP2A di Kabupaten Merangin, pertama yaitu pelecehan dengan jumlah korban sebanyak 13 orang, kedua yaitu pencabulan dengan jumlah korban 6 orang, ketiga yaitu pemerkosaan dengan jumlah korban 10 orang, dan keempat yaitu kekerasan dengan jumlah korban 3 orang. Jadi total korban kekerasan seksual selama tahun 2017 yaitu 34 orang atau 4,80% dari total jumlah anak di Kabupaten Merangin.Dan pada tahun 2018 ada 4 jenis kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani P2TP2A di Kabupaten Merangin, pertama yaitu pelecehan dengan jumlah korban 10 orang, kedua yaitu pencabulan dengan jumlah korban 12 orang, ketiga pemerkosaan dengan jumlah korban 6 orang, dan keempat yaitu kekerasan dengan jumlah korban 12 orang. Jadi total korban kekerasan seksual terhadap anak tahun 2018 yaitu 40 orang atau 5,64% dari total jumlah anak di Kabupaten Merangin.

Kasus seperti ini hanya sebagian saja yang muncul kepermukaan, hal ini disebabkan banyak dari masyarakat menilai itu sebagai aib. Hal ini tentu akan berdampak buruk pada masa depan anak korban tindak kekerasan apabila di diamkan, untuk itu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai wahana pelayanan bagi perempuan dan anak dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, hukum, perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan terhadap perempuan dan anak.

Pelaksanaan Pendampingan P2TP2A Kabupaten Merangin dalam menangani anak korban kekerasan seksual lebih menekankan pada aspek psikologis dan pendidikan korban, dikarenakan korban kekerasan adalah usia anak-anak, yang akan berakibat pada trauma yang berkepanjangan hingga korban tumbuh dewasa. Rasa trauma korban dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah

(6)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 14

pendidikan. Sehingga perlu adanya penguatan pada korban untuk tetap melanjutkan pendidikan, karena anak korban kekerasan seksual juga mempunyai kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya sekaligus masa depan yang lebih baik untuk kehidupan mendatang.

Pelaksanaan pendampingan dilakukan melalui beberapa tahap :

1. Tahap pertama yaitu laporan tentang kekerasan. Laporan kekerasan ini dapat diterima kedatangan korban atau yang mewakili ke kantor P2TP2A Kabupaten Merangin. Selain itu korban kekerasan dapat juga berasal dari rujukan instansi lain. Untuk laporan kekerasan anak-anak biasanya yang melaporkan adalah orang tua, sekolah maupun rujukan intansi lain.

2. Tahap kedua yaitu assessment, yang dilakukan sebelum pelaksanaan pendampingan dan sesudah pelaksanaan pendampingan. Kegiatan assessment yang dilakukan sebelum pendampingan berguna untuk menentukan pendampingan yang akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan korban. Sedangkan assessment yang dilakukan sesudah pendampingan untuk melihat perkembangan kasus dan kondisi korban, sehingga dapat menentukan langkah apa yang selanjutnya akan dilakukan untuk korban.

3. Tahap ketiga yaitu home visit yang untuk melihat langsung keadaan keluarga korban dan situasi kondisi tempat tinggal korban. Pada tahap ini tim biasanya memberikan konseling untuk penguatan pada korban sekaligus meminta persetujuan pelaksanaan pendampingan pada korban. Pada kegiatan ini terjalin kesepakatan antara pihak korban dengan tim P2TP2A Kabupaten Merangin selama proses kegiatan pendampingan berlangsung.

4. Tahap keempat yaitu pelaksanaan pendampingan meliputi pendampingan kesehatan, hukum, psikologis dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan korban. Kegiatan pendampingan untuk korban kekerasan tergantung dengan kebutuhan korban sehingga waktu pendampingan tidak dapat ditentukan. Pendamping akan selalu mendampingi dan terlibat dalam setiap kegiatan pelayanan yang diberikan untuk korban. Korban kekerasan akan dirujuk ke jejaring P2TP2A Kabupaten Merangin apabila pelayanan dibutuhkan oleh korban tidak tersedia. Proses perujukan dan penanganan oleh pihak lain akan tetap didampingi oleh pendamping.

(7)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 15

5. Tahap kelima yaitu reintegrasi sosial yang bertujuan untuk penyembuhan psikis korban di lingkungan tempat tinggalnya. Reintegrasi sosial merupakan proses pengembalian ke masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya dalam rangka untuk membantu pemulihan psikis korban yang melibatkan lingkungan sebagai faktor pendukungnya. Pada tahap ini, P2TP2A Kabupaten Merangin melibatkan steakholder setempat meliputi keluarga korban, tetangga, tokoh masyarakat dan kerabat korban lainnya. Tahap yang terakhir adalah terminasi yang merupakan berakhirnya kegiatan pendampingan. Terminasi dilakukan setelah korban mengalami banyak kemajuan dan sudah tidak membutuhkan pendampingan lagi karena sudah kembali pada keadaan semula dan melakukan aktivitas-aktivitas seperti biasanya. Apabila klien memerlukan rehabilitas atau semacamnya maka pihak P2TP2A akan melakukan rujukan ke panti sosial yang bersangkutan.

Strategi dalam pelaksanan Pendampingan P2TP2A Kabupaten Merangin dalam menangani anak korban kekerasan seksual lebih menekankan pada aspek psikologis dan pendidikan korban, dikarenakan korban kekerasan adalah usia anak-anak, yang akan berakibat pada trauma yang berkepanjangan hingga korban tumbuh dewasa. Rasa trauma korban dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah pendidikan. Sehingga perlu adanya penguatan pada korban untuk tetap melanjutkan pendidikan, karena anak korban kekerasan seksual juga mempunyai kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya sekaligus masa depan yang lebih baik untuk kehidupan mendatang.

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) di Kabupaten Merangin mempunyai strategi dalam pelaksanaan pendampingan anak korban kekerasan seksual, strategi tersebut sebagai berikut:

1. Fasilitator

Fasilitator sebagai penanggung jawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional. Sebagai fasilitator perlu mempelajari strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan yang meliputi, pemberian harapan, pengurangan penolakan, pengakuan, dan pendorong kekuatan-kekuatan personal serta aset-aset sosial. Kriteria utama dalam melakukan pendampingan kepada anak korban kekerasan seksual adalah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap anak serta mengerti dan memahami tentang hak-hak anak. Adapun bentuk layanan berupa :

(8)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 16

Langkah pertama seperti memberikan rasa aman kepada anak untuk bercerita, mengingat setiap anak memiliki pendampingan yang berbeda.

1) Anak korban kekerasan sebagai sasaran pendampingan

Yang menjadi sasaran pendampingan pihak P2TP2A adalah semua anak yang berusia 0-18 tahun yang mengalami tindak kekerasan baik kekerasan fisik, psikis maupun seksual.

2) Pendekatan

3) Suasana pendampingan b. Konseling

Bantuan secara professional yang diberikan oleh konselor kepada klien secara tatap muka empat mata yang dilaksanakan interaksi secara langsung dalam rangka memperoleh pemahaman diri yang lebih balk, kemampuan mengontrol diri, dan mengarahkan diri untuk dimanfaatkan olehnya dalam rangka pemecahan masalah dan memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang.

a). Kelompok dukungan.

Dalam melakukan pendampingan dibutuhkan intervensi dari pendamping dan melibatkan orangtua dari anak korban kekerasan seksual karena memiliki hubungan yang dekat serta dukungan dari lingkungannya. b). Mediasi.

Upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping dan penasihat.

2. Mediator

Pekerja sosial sering melakukan pendampingan sebagai mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Pendampingan ini sangat penting dalam paradigma generalis. Pendamping sebagai mediator diperlukan terutama pada saat terdapat perbedaan yang sangat mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Adapun bentuk layanan berupa :

a. Mendefinisikan permasalahan • Memulai proses mediasi

(9)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 17

• Merumuskan masalah dan menyusun agenda b. Memecahkan permasalahan

• Mengembangkan pilihan-pilihan (options) • Menganalisis pilihan-pillihan

• Proses tawar menawar akhir • Mencapai kesepakatan 3. Pembela

Dalam praktek pendampingan masyarakat, sering kali pekerja sosial harus berhadapan dengan sistem politik dalam rangka menjamin kebutuhan dan sumber yang diperoleh klien atau dalam melaksanakan tujuan-tujuan pendampingan sosial. Adapun bentuk layanan berupa :

1) Memberikan konsultasi hukum yang mencangkup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan.

2) Mendampingi korban ditingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan seksual terhadap anak yang dialaminya.

3) Melakukan koordinasi sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

4. Pelindung

Tanggung jawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung terhadap orang-orang yang lemah dan rentan. Bentuk layanan berupa :

a. Konsultasi hukum

Bertindak memberikan nasehat-nasehat dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan/perbuatan hukum yang akan dan yang telah dilakukan oleh kliennya.

b. Pendampingan dan menjadi kuasa hukum dalam proses ditingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

c. Mediasi

Dalam setiap kegiatan pendampingan peran mediasi selalu dilibatkan ini tujuannya tentu untuk memberi arahan, petunjuk, proses, atau solusi dalam penanganan kasus yang dihadapi.

(10)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 18

Hambatan Yang Dihadapi P2TP2A Dalam Pendampingan Anak Korban Kekerasan Seksual

Meskipun P2TP2A mengatasi kekerasan seksual terhadap anak dengan melakukan pelayanan konsultasi dan pendampingan terhadap korban tindak kekerasan serta ikut mensosialisasikan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, masih ada beberapa hambatan yang dihadapi dalam penanganan tindak kekerasan terhadap anak, antara lain sebagai berikut:

1. Kurangnya komunikasi yang efektif pendamping dalam pelaksanaan pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual

2. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A), memberikan pendampingan terhadap korban kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Ketika korban mengalami trauma, kita memberikan konseling untuk memulihkan sejauh mana trauma yang dialami dengan mendatangkan psikolog, sebelumnya dilakukan assessment kepada korban. Namun dalam melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan seksual terhadap anak terdapat kendala komunikasi pendamping kepada anak yang masih berusia kurang dari 5 tahun. Anak tersebut ketika dilakukan pendampingan masih tertutup karena merasa tidak kenal, dan tenaga pendamping tersebut sulit mendapatkan informasi yang benar dari korban tindak kekerasan.

3. Masih minimnya fasilitas shelter/rumah aman untuk pelaksanaan pendampingan anak korban kekerasan seksual

4. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2010 tentang Panduan Pembentukan dan Pendampingan Pusat Pelayanan Terpadu, dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pembentukan dan pendampingan pusat pelayanan terpadu merupakan kewajiban dan tugas masing-masing daerah termasuk didalamnya penguatan kelembagaan dan pemenuhan sarana dan prasarana yang berkaitan.

Upaya Yang Dilakukan P2TP2A Dalam Meningkatkan Kualitas Pendampingan Anak Korban Kekerasan Seksual

1. Membangun kedekatan antara pendamping dengan anak korban kekerasan seksual

(11)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 19

Berdasarkan hasil temuan penelitian dapat diketahui bahwa, untuk mengatasi kendala komunikasi terhadap anak korban kekerasan seksual yang timbul dalam melakukan pendampingan berupa pendampingan medis, psikologis, dan yuridis. Tugas pendamping disini membantu anak agar menyelesaikan masalahnya. Pendamping juga melakukan penguatan kepada keluarga berupa sosialisasi, mengadakan sharing tentang keluh kesah dan harapan terhadap korban serta penguatan keluarga agar menerima kondisi anak. Ada beberapa cara pendamping membangun kedekatan dengan anak korban kekerasan seksual seperti pendekatan personal, dengan maksud memahami anak secara individu. Dalam proses pendampingan, suasana dibangun sangat akrab, kekeluargaan, santai, dan non formal agar anak nyaman dan leluasa untuk menyampaikan permasalahannya.

2. Mengajukan bantuan dana kepada pemerintah daerah agar dapat dibuatnya fasilitas shelter/rumah aman

Sebagaimana mengenai keputusan pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A), sebagai lembaga pemerintah yang secara khusus sebagai tempat pendampingan perempuan dan anak yang mengalami permasalahan sosial. Dan tercantum pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2010 tentang panduan pembentukan dan pendampingan pusat pelayanan terpadu, dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pembentukan dan pendampingan pusat pelayanan terpadu merupakan kewajiban dan tugas masing-masing daerah termasuk didalamnya penguatan kelembagaan dan pemenuhan sarana dan prasarana yang berkaitan. Maka sesuai dengan yang disebutkan diatas untuk penanganan kasus perempuan dan anak korban tindak kekerasan, sesuai dengan standar pelayanan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan bersama agar terwujudnya bantuan dana yang dianggarkan melalui APBD Kabupaten Merangin, tentunya akan mempercepat pembangunan shelter/rumah aman agar pelayanan maksimal.

3. Dilakukan pelatihan kepada tenaga administrasi dan pendamping tindak kekerasan seksual kepada anak

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) merupakan salah satu bentuk wahana pelayanan bagi perempuan dan anak dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan dibidang pendidikan, kesehatan,

(12)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 20

ekonomi, politik, hukum, perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan terhadap perempuan dan anak. Agar pelayanan maksimal yaitu dengan pelatihan merupakan usaha untuk mengurangi atau menghilangkan terjadinya kesenjangan antara kemampuan pegawai dengan yang dikehendaki oleh organisasi. Usaha tersebut dilakukan melalui peningkatan kemampuan kerja yang dimiliki bagi para pendamping dengan menambahkan pengetahuan dan keterampilan serta segala potensi yang dimilikinya, para pendamping terus dilatih dan dikembangkan sehingga menjadi optimal dalam mencapai tujuan organisasi.

D. Kesimpulan

1. Strategi Pendampingan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual adalah dengan melakukan pelayanan konsultasi dan pendampingan korban tindak kekerasan terhadap anak yang meliputi, fasilitator, mediator, pembela, dan pelindung. Strategi yang paling intensif dilakukan adalah sebagai fasilitator bentuk kegiatannya berupa pendampingan, konseling, dan mediasi.

2. Hambatan yang dihadapi oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kabupaten Merangin dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah kurangnya komunikasi yang efektif pendamping terhadap anak korban tindak kekerasan seksual, masih minimnya fasilitas shelter/rumah aman untuk pelaksanaan pendampingan anak korban kekerasan seksual, serta kurang pahamnya tenaga administrasi terhadap tupoksinya.

3. Adapun upaya yang dilakukan oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) adalah membangun kedekatan antara pendamping dengan anak korban tindak kekerasan seksual, mengajukan dana kepada pemerintah daerah agar dapat dibuatnya fasilitas shelter/rumah aman, serta dilakukan pelatihan kepada tenaga administrasi dan pendamping tindak kekerasan seksual pada anak.

b. Saran

1. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Merangin untuk memberikan dukungan dana kepada P2TP2A agar dibuatnya shelter/rumah aman serta berbagai macam sarana dan prasarana yang dibutuhkan sehingga pelayanan berupa pendampingan terhadap perempuan dan anak menjadi maksimal.

(13)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 21

2. Kepada semua pihak terutama masyarakat untuk ikut berperan dalam menangani dan mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak dengan cara ikut berpartisipasi dan mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang lalu diperbaharui di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menjadi langkah awal pemutusan permasalahan sosial pada anak kepada masyarakat lainnya yang belum mengetahui UU tersebut. Serta bagi siapa saja yang mengetahui atau melihat tindak kekerasan seksual terhadap anak segera melaporkan ke pihak P2TP2A atau kepolisian agar segera mendapat pendampingan.

3. Kepada anak korban kekerasan seksual agar lebih terbuka mengenai permasalahan yang terjadi serta berani melaporkan tindak kekerasan yang dialami kepada pihak P2TP2A atau pihak kepolisian.

E. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika Aditama, Bandung, 2000.

Amirin M. Tatang, Menyusun Rencana Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

Arifin Tahir, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Alfabeta, Bandung, 2015.

Bisma Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta, 2000.

Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori, Proses dan Studi Kasus, CAPS, Yogyakarta, 2012. Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memperdayakan Masyarakat, Persada, Jakarta, 2005. , Pendampingan Sosial dalam Pengembangan Masyarakat, Refika Aditama,

Bandung, 2005.

Eli Nur Hayadi, Panduan Untuk Pendampingan Korban Kekerasan, Rifka Annisa, Yogyakarta, 2002.

Harkristuti Harkrisnowati, Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, UI, Jakarta, 2000.

(14)

Jurnal Normative Volume 8 Nomor 1 Tahun 2020

ISSN : 1907-5820 E-ISSN : 2620-8202 22

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005.

R.A.Koesnan, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur, Bandung, 2005. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,

2002.

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 2006.

, Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif R & B, Alfabet, Bandung, 2007. Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, Surabaya, 2011.

Ulber Silalahi, Ilmu Administrasi Konsep, Teori, dan Dimensi, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2009.

, Metode Penelitian Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Yuyun Affandi, Pemberdayaan Perempuan dan Pendampingan Perempuan, Korban Kekerasan Seksual Perspektif Al-Qur’an, Walisongo Press, Semarang, 2010.

Perundang-Undangan

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU No. 11 Tahun 2012 tentang peradilan Anak.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 tentang Panduan Pembentukan dan Pendampingan Pusat Pelayanan Terpadu.

Gambar

Tabel 2. Data Jumlah Kasus Kekerasan Seksual pada Anak di Kabupaten Merangin
Tabel 3 Daftar Jumlah Data Kasus Kekerasan Seksual Tahun 2015-2017  No.  Jenis Kasus  Tahun

Referensi

Dokumen terkait

cookie ada l ah untuk mengenalpasti pengguna Intern e t dan mungkin menyediakan laman web yang khusus untuk mereka. Bila anda melayari sebuah laman web yang menggunakan

disebutkan bahwa negara penerima mendapatkan kewajiban khusus untuk melindungi gedung kedutaan dari segala gangguan atau kerusakan dan dapat mencegah setiap gangguan

Arah kerjasama dalam peningkatan ekonomi dan pembangunan merupakan sebuah langkah terpadu dari masing-masing Negara anggota untuk kemajuan komunitas regional di

Ketiga berkaitan dengan spiritualitas, wawasan dunia Kris- ten memperluas pemahaman tentang Allah dan Trinitas yang peran, natur dan eksistensinya memben- tuk

Pada tahap ini pelaksanaan dilakukan oleh peneliti sendiri sebagai guru sekaligus praktis dalam pembelajaran dikelas dalam kolaborasi dengan guru kelas IV SD N citigeu

Ekstrak kasar enzim lipase kemudian diuji aktivitasnya dengan metode Titrimetri dan diukur kadar proteinnya dengan metode Lowry.. Uji aktivitas enzim lipase metode Titrimetri

Ketut Tunas, Msi selaku pembimbing statistik, yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti Program Pendidikan Spesialis

Menyadari betapa pentingnya mewariskan tradisi yang baik kepada generasi penerus bangsa maka penulisan ten tang keragaman makanan tradisional masyarakat Bangka Belitung