• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANAMAN SAGU DAN PEMANFAATANNYA DI PROPINSI PAPUA. M. Zain Kanro, Aser Rouw, A. Widjono, Syamsuddin, Amisnaipa, dan Atekan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANAMAN SAGU DAN PEMANFAATANNYA DI PROPINSI PAPUA. M. Zain Kanro, Aser Rouw, A. Widjono, Syamsuddin, Amisnaipa, dan Atekan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

S

agu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang cukup penting di Propinsi Papua karena merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat terutama yang bermukim di daerah pesisir. Pertanaman sagu di Papua cukup luas, namun luas areal yang pasti belum diketahui. Flach (1983) memperkirakan luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 ha dan kebun sagu

14.000 ha, yang tersebar pada beberapa daerah, yaitu Salawati, Teminabuan, Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, Membramo, Sarmi, dan Sentani

Hutan sagu merupakan komunitas yang terdiri atas campuran tanaman sagu dan tanaman nonsagu. Proporsi tanaman sagu dalam hutan sagu bervariasi antara kurang dari 30% sampai 90% (Haryanto dan Pangloli 1992). Hal ini menyulitkan dalam

memperoleh data yang pasti mengenai luas daerah penyebaran sagu di Papua.

Informasi mengenai teknologi budi daya sagu masih sangat terbatas. Pe-meliharaan kebun sagu yang dipraktekkan oleh petani masih sangat sederhana, yaitu berupa pemangkasan pohon yang me-naungi sagu dan pembersihan gulma. Pemupukan, pengaturan air, dan teknik budi daya lainnya belum dipraktekkan

M. Zain Kanro, Aser Rouw, A. Widjono, Syamsuddin, Amisnaipa, dan Atekan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Jalan Yahim Sentani, Kotak Pos 256 Sentani, Jayapura 99352

TANAMAN SAGU DAN PEMANFAATANNYA

DI PROPINSI PAPUA

ABSTRAK

Sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang cukup penting di Propinsi Papua, karena merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat terutama yang bermukim di daerah pesisir. Pertanaman sagu di Papua diperkirakan sedikitnya mencapai 900.000 ha, dan tersebar pada beberapa daerah meliputi Salawati, Teminabuan, Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, Membramo, Sarmi, dan Sentani. Kondisi hutan sagu di Papua sangat heterogen, baik dalam jenis vegetasi, jenis tanaman, maupun struktur tanaman. Populasi jenis sagu produktif makin tertekan sebagai akibat persaingan dengan jenis sagu lainnya dan eksploitasi guna memenuhi kebutuhan pangan. Tanpa kegiatan rehabilitasi atau budi daya, sagu produktif terancam punah. Telah diidentifikasi 20 jenis sagu di Sentani dan 60 jenis sagu di Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Merauke. Masyarakat lokal Papua mengetahui teknologi budi daya sagu secara turun temurun. Pengetahuan dan teknologi budi daya tersebut meliputi pemilihan bibit, teknik penanaman, dan pengolahan hasil. Pengolahan hasil sagu yang dipraktekkan oleh masyarakat masih cara konvensional dengan menggunakan tenaga manusia. Guna meningkatkan efisiensi pengolahan hasil sagu, telah dirakit pangkur dan alat peremas sagu. Aci sagu dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan ringan yang memberi peluang bagi berkembangnya industri rumah tangga.

Kata kunci: Sagu, pemanfaatan, Papua

ABSTRACT

Sago palm and its utilization in Papua

Sago palm plays important roles in socio-economic and cultural aspect in the Province of Papua because it functions as the main food for the local society. Sago palm plantation in Papua covered 900,000 ha, which spread over several regions, i.e., Salawati, Teminabuan, Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, Membramo, Sarmi, and Sentani. Sago palm forest condition at Papua is very heterogen in vegetation, palm cultivar, and growth stage. The population of high yielding variety of sago palm has reduced, due to the competition with other variety in the same area and over-exploitation. Without rehabilitation and cultural practice, the high yielding variety of sago palm will extinct. It was identified 20 sago palm germplasms at Sentani and 60 sago palm germplasms at Jayapura, Manokwari, Sorong, and Merauke. The Papua society have known several indigenous technologies wich were inherited from their ancestor. The indigenous technologies are seed selection, planting, harvesting, and processing. Sago starch could be used as raw materials for many kind of cake which can support the rural home industry development in Papua province.

(2)

sehingga hasilnya juga belum maksimal. Selain itu, usaha-usaha pengembangan sagu secara budi daya belum banyak mendapat perhatian sehingga suatu saat hutan sagu akan terancam punah. Sementara itu di negara lain seperti Malaysia dan Jepang, tanaman sagu sudah dikembangkan sejak beberapa dasawarsa yang lalu (Widjono dan Lakuy 2000). Pada masa datang, pengembangan dan budi daya sagu perlu mendapat perhatian.

Tanaman sagu yang tumbuh di Papua terdiri atas banyak jenis, dan sampai saat ini telah diidentifikasi 60 jenis pada empat tempat di Papua (Widjono et al. 2000). Dari jenis-jenis ini ada yang berpotensi hasil tinggi dan ada pula yang berpotensi hasil rendah dan sedang.

Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat. Tepungnya digunakan untuk bahan makanan pokok di Papua yang disebut papeda, di samping untuk kue dan bahan baku untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Daunnya digunakan sebagai atap rumah, pelepah untuk dinding rumah, dan ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak (Haryanto dan Pangloli 1992; Batseba et al. 2000).

Dalam makalah ini dibahas me-ngenai kondisi dan luas daerah pe-nyebaran sagu di Papua, jenis-jenis sagu yang telah ditemukan di Papua, teknik budi daya yang dipraktekkan petani, dan kegunaan tanaman sagu. Informasi ini diharapkan berguna bagi pemerhati sagu di Indonesia.

KONDISI TEMPAT TUMBUH

DAN LUAS DAERAH

PENYEBARAN SAGU

Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggi-an 700 m di atas permukaketinggi-an laut (dpl), namun produksi sagu terbaik ditemukan sampai ketinggian 400 m dpl. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951), tipe iklim A dan B sangat ideal untuk pertumbuhan sagu dengan rata-rata hujan tahunan 2.500−3.000 mm/tahun. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,50−29o C dan suhu minimal 15o

C, dengan kelembapan nisbi 90% (Haryanto dan Pangloli 1992 ).

Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan per-manen dapat mengganggu pertumbuhan

sagu. Auri (1996) telah melakukan penelitian kondisi tempat tumbuh sagu di Oransbari (Kabupaten Manokwari, Papua). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi tanah dengan peng-genangan air secara berkala dapat memacu pertambahan tinggi tanaman dan pem-bentukan anakan tanaman sagu (Tabel 1). Tinggi tanaman pada penggenangan berkala hampir lima kali lipat dari tinggi tanaman pada penggenangan permanen atau tanpa penggenangan. Demikian pula dalam pembentukan anakan, peng-genangan berkala mampu membentuk anakan dua kali lebih banyak dibanding penggenangan permanen atau tanpa penggenangan. Rendahnya pertumbuhan dan pembentukan anakan pada peng-genangan permanen disebabkan oleh kurangnya oksigen di daerah perakaran karena semua pori tanah terisi oleh air. Sebaliknya pada daerah tanpa peng-genangan terjadi kekurangan air terutama pada musim kemarau. Untuk mem-perbaiki pertumbuhan sagu pada daerah yang tergenang secara permanen perlu dilakukan perbaikan drainase, sedangkan pada daerah tanpa penggenangan perlu pengaturan pemberian air.

Pengertian mengenai hutan sagu adalah hutan yang didominasi oleh tanaman sagu. Selain sagu, masih banyak tanaman lain yang ditemukan dalam kawasan tersebut. Selain itu, dalam satu hamparan hutan sagu tidak hanya tumbuh satu jenis sagu, tetapi terdapat beragam jenis sagu dan struktur tanaman. Pe-nyebaran hutan sagu di Papua disajikan pada Tabel 2.

Struktur tanaman sagu dalam satu hamparan bertingkat-tingkat yang terdiri atas semaian, sapihan, tiang, dan pohon. Semaian adalah tanaman muda yang batangnya bebas daun hingga ketinggian 0−0,50 m; sapihan adalah tanaman yang

Tabel 1. Rata-rata tinggi dan anakan vegetatif tanaman sagu (Metroxylon rumphii Mart.) pada berbagai kondisi tempat tumbuh.

Kondisi tempat Tinggi anakan (cm) Jumlah tunas

tumbuh tahun ke- tahun

ke-1 2 3 4 1 2 3 4

Tergenang permanen 1 8 2 7 7 3 103,50 − 2 4 7 Tergenang temporer 1 6 5 9 206 560 − 7 1 6 2 0 Tidak tergenang 1 6 3 4 7 3 135 − 4 6 9 Sumber: Auri (1996).

Tabel 2. Daerah penyebaran dan luas hutan sagu di Papua.

Daerah Luas (ha)

Yapen Waropen 40.022 Sarmi 8.161 Bintuni 300.000 Inanwatan 147.950 Lain-lain 404.817 Papua 900.950 Sumber: Flach (1983).

batangnya bebas daun antara 0,50−1,50 m; tiang adalah tanaman yang batangnya bebas daun dari ketinggian 1,50−5 m, dan pohon adalah tanaman yang batangnya bebas daun pada ketinggian 5 m atau lebih (Haryanto dan Pangloli 1992). Komposisi tegakan pada beberapa hutan sagu di Papua disajikan pada Tabel 3.

Komposisi tegakan dalam hutan sagu mengindikasikan bahwa keber-lanjutan tanaman sagu cukup terjamin secara alami (tanpa campur tangan manusia). Setelah stadia pohon habis termanfaatkan akan disusul dengan berubahnya sagu dari stadia tiang men-jadi stadia pohon sebagai pengganti. Demikian pula dengan tegakan, dari stadia sapihan menjadi stadia pohon dan seterusnya dari stadia semai menjadi stadia sapihan. Namun demikian, karena kebutuhan manusia akan sagu meningkat terus dari tahun ke tahun, maka budi daya tanaman sagu perlu mendapat perhatian. Kepadatan populasi tanaman sagu dalam hamparan hutan sagu di Papua bervariasi dari rendah, sedang sampai tinggi. Proporsi tanaman sagu dalam hutan sagu pada beberapa daerah di Papua disajikan pada Tabel 4. Kecuali di Kecamatan Waropen Bawah, proporsi hutan sagu dengan kepadatan populasi tinggi jauh lebih rendah dibandingkan

(3)

dalam Haryanto dan Pangloli 1992).

Spesies yang berkembang di Propinsi Papua adalah M. rumpii Martius (Tokede dan Fere 1997). Spesies ini masih terbagi ke dalam banyak jenis atau tipe ber-dasarkan ciri morfologi dan telah dikenal oleh masyarakat pengelola sagu dengan menggunakan penamaan lokal.

Miftachorrachman et al. (1996) telah mengidentifikasi 17−20 jenis sagu di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Jenis-jenis tersebut sudah mempunyai nama lokal dan sudah dikenal oleh masyarakat pengelola sagu di Papua. Nama-nama lokal sagu tersebut adalah sebagai berikut: Yakhali, Fikhela, Phane, Osoghulu, Yoghuleng, Rena, Hobolo, Yebha, Hili, Wanni, Follo, Habela, Yaghalobe, Phui, Phara Waliha, Rondo, Ebesung, Manno, Ruruna, dan Phara. Jenis-jenis sagu ini berbeda secara morfologi maupun kemampuan produksi per pohon. Produksi empulur, tepung (aci), dan rendemen beberapa jenis sagu yang tumbuh di Sentani disajikan pada Tabel 5.

Pada Tabel 5 tampak bahwa sagu jenis Osoghulu, Ebesung, dan Yebha termasuk penghasil tepung sangat tinggi, masing-masing menghasilkan 207,50 kg, 207,50 kg, dan 191,50 kg tepung per pohon setelah berumur 7−10 tahun. Jenis Follo, Wanni, Yaghalobe, Ruruna, Hobolo, Phui, Fikhela, Rondo, dan Yakhali termasuk penghasil tepung cukup tinggi dengan produksi

Tabel 3. Jumlah tegakan sagu per hektar menurut stadia tumbuh di Papua dan daerah lain di Papua.

Jenis tegakan Papua Bintuni Wasior

Semai 2.677 4.090 35.000

Sapihan 271 945 1.600

Tiang 158 200 300

Pohon 9 6 7 0 7 0

Sumber: Haryanto dan Pangloli (1992).

Tabel 4. Luas hamparan sagu menurut kelas kepadatan populasi pada beberapa daerah di Papua.

Daerah penyebaran (% tegakan sagu)Kepadatan Luas(ha) Proporsi(%) Kecamatan Sarmi Tinggi : 60−90 1.889 10,70

Sedang : 30−60 6.273 35,50 Rendah : < 30 9.518 53,80 Kecamatan Waropen Bawah Tinggi : 60−90 19.546 48,80 Sedang : 30−60 3.698 9,20 Rendah : < 30 16.777 41,90 Kecamatan Agats Tinggi : 60−90 69.736 18,90 Sedang : 30−60 200.750 54,50 Rendah : < 30 97.755 26,60 Sumber: Haryanto dan Pangloli (1992).

hutan sagu dengan kepadatan populasi sedang atau rendah. Di Kecamatan Sarmi, proporsi hutan sagu dengan kepadatan populasi tinggi hanya 10,70%, sedang-kan hutan dengan kepadatan populasi sedang dan rendah berturut-turut 35,50% dan 53,80%. Demikian pula di Kecamatan Agats, proporsi tegakan sagu dengan kepadatan populasi tinggi, sedang, dan rendah berturut-turut adalah 18,90%, 54,50%, dan 26,60%. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan, karena tanpa reha-bilitasi, proporsi sagu produktif akan menurun karena kalah bersaing dengan sagu nonproduktif. Ditambah pula bahwa tanaman sagu produktif banyak di-eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan, termasuk kebutuhan pangan bagi masya-rakat setempat.

Jenis-Jenis Sagu

Secara garis besar tanaman sagu dibagi menjadi dua golongan, yaitu sagu yang hanya berbunga dan berbuah satu kali, dan sagu yang berbunga dan berbuah dua kali atau lebih. Sagu yang berbunga dan berbuah hanya sekali mempunyai arti ekonomi penting karena kandungan

acinya sangat tinggi. Golongan ini terdiri atas lima spesies, yaitu Metroxylon rumpii Martius, M. sagos Rottbol, M. sylvester Martinus, M. longispinum Martinus, dan

M. micracantum Martinus (Manan et al.

Tabel 5. Produksi empulur, tepung, dan rendemen masing-masing tipe sagu di Sentani, Papua.

Tipe sagu Bobot (kg/pohon) Rendemen

Empulur Tepung (%) Osoghulu 849 207,50 24,40 Ebesung 813,50 207,50 25,50 Yebha 764,50 191,50 2 5 Follo 735 176,50 2 4 Wanni 664 160,50 24,20 Yaghalobe 719,50 155,50 21,60 Ruruna 679,50 148,50 21,90 Hobolo 709 137,50 19,40 Phui 637,50 133 20,90 Fikhela 750 128,50 17,10 Rondo 496,50 127 25,60 Yakhali 563 126,50 22,50 Yoghuleng 512,50 93,50 18,20 Manno 475 67,50 14,20 Hili 973,50 29,50 3 Habela 209,30 2 7 12,90

(4)

berkisar antara 126,50−176,50 kg tepung/ pohon/tahun. Jenis Hili dan Habela termasuk penghasil pati sangat rendah. Bila kedua jenis ini mendominasi hutan sagu, maka produktivitas sagu akan menurun.

Untuk mempertahankan eksistensi jenis sagu penghasil tepung tinggi dan sangat tinggi di masa datang diharapkan adanya upaya perlindungan melalui kegiatan koleksi plasma nutfah. Widjono

et al. (2000) telah mengidentifikasi 61

jenis sagu pada empat lokasi di Papua. Identifikasi dilakukan menurut sifat-sifat kualitatif yang meliputi warna pucuk, bentuk duri, pelepah daun, diameter batang, warna tepung, bentuk tajuk, dan produksi tepung. Dari 61 jenis yang ditemukan, 32 di antaranya mempunyai produksi tinggi dan telah banyak di-manfaatkan oleh penduduk. Jenis-jenis sagu berproduksi tinggi pada empat daerah di Papua disajikan pada Lampiran 1.

Jenis-jenis sagu ini merupakan kekayaan hayati yang tidak ternilai bagi daerah Papua. Untuk mempertahankan keberlanjutannya, jenis-jenis ini perlu dilindungi dan dibudidayakan secara normal. Untuk memperkaya bahan per-tanaman budi daya sagu, jenis-jenis ini perlu dilepas dan diberi nama baku secara nasional.

Dari jenis-jenis yang sudah di-kemukakan, ada tiga jenis yang sangat dikenal oleh masyarakat peramu sagu di Sentani. Jenis-jenis dimaksud adalah Fikla, Para Haphou, dan Yebha (Gambar 1).

TEKNIK BUDI DAYA LOKAL

DAN PENGOLAHAN HASIL

SAGU

Teknik Budi Daya

Pengetahuan masyarakat Papua tentang budi daya sagu diperoleh secara turun temurun dan kebanyakan berhubungan dengan mitos. Budi daya sagu yang dipraktekkan masyarakat meliputi pe-milihan jenis sagu berproduksi tinggi, pemilihan bibit, cara tanam, dan pe-meliharaan tanaman.

Pemilihan bibit didasarkan atas kriteria tertentu menurut asal pengambilan dan tinggi tanaman. Bibit biasanya diam-bil dari tunas yang berasal dari pangkal

ditanam diharuskan tidak kurang dari 1 m (Tokede dan Fere 1997).

Untuk menjamin keberhasilan pe-nanaman sagu di lapangan, masyarakat Papua menggunakan perlakuan khusus terhadap bibit yang akan ditanam. Per-lakuan ini berbeda-beda antarkelompok masyarakat (Tabel 6). Masyarakat Taminabuan tidak melakukan perendaman karena bibit yang diambil umumnya sudah membentuk akar serabut baru. Sementara masyarakat Inanwatan dan Wandamen melakukan perendaman karena sebagian akar serabut dari bibit dipotong. Pe-rendaman dilakukan untuk merangsang tumbuhnya akar serabut baru.

Tabel 6. Perlakuan bibit sagu sebelum ditanam pada beberapa kelompok masyarakat di Papua.

Perlakuan Kelompok masyarakat

Taminabuan Inanwatan Wandamen Penutupan luka Ditutup dengan Tidak dilakukan Ditutup dengan

lumpur dan penutupan luka lumpur dan lumut lumut

Akar serabut Dipotong Tidak dipotong Dipotong

sebagian sebagian

Daun Dikurangi Dikurangi Dikurangi hingga hingga 1−2 helai hingga 1−3 helai 1−3 helai Perendaman Direndam di Tidak dilakukan Direndam di

sungai selama perendaman sungai selama

1−4 minggu 2−4 minggu

Sumber: Tokede dan Fere (1997).

Gambar 1. Jenis-jenis sagu unggul di Sentani, Papua; (A) Yebha, (B) Para Haphou, (C) Fikla.

batang (bukan dari tunas akar), tunas dari pohon yang siap panen, dan tunas yang terletak di atas permukaan tanah. Tunas yang umum digunakan adalah yang berasal dari pohon yang siap untuk dipanen. Hal ini dilakukan untuk meng-hindari kerugian sebagai akibat pelukaan yang terjadi pada saat pengambilan tunas. Menurut persepsi masyarakat setempat, luka pada pohon induk pada saat pengambilan tunas akan meng-ganggu proses metabolisme sehingga menurunkan produksi aci. Selain asal bibit, tinggi bibit juga digunakan sebagai salah satu kriteria penting dalam pemilih-an bibit. Tinggi bibit ypemilih-ang dipilih untuk

(5)

Penanaman dilakukan pada lubang yang berdiameter 20−30 cm dengan kedalaman lubang 25−35 cm. Jarak tanam yang digunakan berkisar antara 4 m x 4 m sampai 10 m x 10 m. Sebelum penanaman, lubang tanam diisi dengan daun matoa atau daun paku-pakuan. Daun-daunan ini berfungsi sebagai sumber bahan organik bagi tanaman sagu. Setelah bibit diturunkan ke dalam lubang, lubang ditutup dengan tanah sebatas leher anakan. Penutupan lubang tidak boleh melebihi leher anakan, sesuai dengan cara tanam yang dianjurkan (Rostiwati et al. 1999).

Pemeliharaan tanaman yang di-praktekkan masyarakat hanya terbatas pada pembersihan semak-semak di sekitar pohon dan pemangkasan tanaman pe-naung yang tumbuh secara liar di antara pertanaman sagu. Pemupukan dan teknik pemeliharaan lainnya tidak umum di-terapkan (Tokede dan Fere 1997).

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa hutan sagu bersifat heterogen, terdiri atas beberapa stadia tumbuh seperti semai, sapihan, tiang, dan pohon. Untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan pertumbuhan sagu di Papua, beberapa tindakan budi daya yang perlu dilakukan adalah penjarangan anakan dalam rumpun dan rehabilitasi hutan sagu dengan meningkatkan proporsi sagu berproduksi tinggi. Untuk itu, pengetahuan mengenai jenis sagu produktif memegang peranan penting. Sebagian besar masyarakat pengelola hutan sagu mengetahui bahwa sagu produktif mempunyai duri banyak. Pengetahuan ini sudah dimanfaatkan dalam memilih bibit sagu yang akan dibudidayakan (Tokede dan Fere 1997 ).

Tanaman sagu mempunyai banyak anakan sehingga dapat meningkatkan persaingan dalam penggunaan hara dan sinar matahari. Guna memaksimalkan penggunaan hara dan sinar matahari oleh tanaman, sejak dini perlu dilakukan penjarangan. Haryanto dan Pangloli (1992) telah membuat acuan penjarangan sagu dengan menetapkan tegakan ideal masing-masing stadia tumbuh tiap rumpun tanaman sagu (Tabel 7). Jumlah tegakan ideal per rumpun bervariasi menurut tipe sagu. Sagu tipe Ihur perlu dipertahankan 7−9 tegakan/rumpun. Untuk stadia semai, sapihan, tiang, dan pohon, jumlah tegakan masing-masing adalah 3; 2−3; 1−2; dan 1 tegakan/rumpun. Sagu tipe Tuni perlu dipertahankan 7−11 tegakan/rumpun, dan untuk stadia semai, sapihan, tiang, dan

Tabel 7. Proporsi tegakan ideal menurut stadia tumbuh masing-masing jenis sagu.

Jenis sagu Semai Sapihan Tiang Pohon Jumlah

Ihur 3 2−3 1−2 1 7−9

Tuni 3−4 2−3 1−2 1−2 7−11

Maolat 1−2 1 1 1 4−5

Sumber: Haryanto dan Pangloli (1992).

pohon masing-masing 3−4, 2−3, 1−2, dan 1−2 tegakan/rumpun. Untuk sagu tipe Maolat, jumlah tegakan idealnya relatif lebih sedikit dibandingkan tipe Ihur dan tipe Tuni, yakni 4−5 tegakan/rumpun, yang terdiri atas semai, sapihan, tiang, dan pohon masing-masing 1−2, 1, 1, dan 1 tegakan/rumpun.

Pengolahan Hasil Sagu

Batang merupakan komponen hasil utama pada tanaman sagu. Tepung sagu di-peroleh dari empulur sehingga peng-olahan hasilnya cukup berat dan me-merlukan alat yang khusus pula.

Batang sagu yang sudah ditebang selanjutnya dikuliti untuk mendapatkan empulur yang mengandung tepung. Selanjutnya, empulur yang dihasilkan diparut agar memudahkan peremasan (pengepresan). Peremasan dilakukan dengan menggunakan alat pres untuk mengeluarkan pati dari parutan empulur. Setelah selesai peremasan, dilakukan penyaringan untuk membuang serat-serat kasar dari empulur. Suspensi pati yang didapatkan kemudian diendapkan untuk

memisahkan tepung sagu dari air. Lang-kah selanjutnya adalah pengeringan, pengepakan dan penyimpanan atau dis-tribusi ke konsumen. Tiap tahapan kegiatan atau jenis pekerjaan meng-gunakan alat yang berbeda-beda seperti terlihat pada Tabel 8.

Peralatan pengolahan sagu sudah tersedia atau mudah disediakan kecuali untuk kegiatan pemarutan. Pemarutan empulur dapat dilakukan dengan meng-gunakan alat berupa silinder berpaku yang digerakkan oleh generator. Silinder berpaku mudah direkayasa di pedesaan, sementara generator membutuhkan biaya yang cukup mahal. Kondisi seperti ini tidak mudah bagi kebanyakan masyara-kat Papua yang rata-rata berpendapatan sangat rendah. Oleh karena itu, umumnya masyarakat Papua menggunakan teknik pengolahan dan peralatan tradisional.

Untuk meningkatkan efisiensi peng-olahan sagu, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua telah merakit alat pangkur sagu dan alat peremas spesifik lokasi, yaitu pangkur rantai, pangkur tali, dan pangkur gendong. Pangkur me-rupakan alat pemarut empulur untuk mempermudah peremasan, sedangkan

Tabel 8. Alat yang diperlukan pada pengolahan sagu dan ketersediaannya di tingkat petani di Papua.

Jenis pekerjaan Alat yang digunakan Ketersediaan Penebangan Parang, kampak, atau chain saw Tersedia secara lokal Pemarutan Generator, silinder berpaku, bak Perlu dirancang bangun

penampung

Penyaringan Saringan kain kasa berkonstruksi Mudah disediakan kayu

Pengendapan Bak penampung kayu Mudah disediakan Pengeringan Tikar atau tenda plastik Tersedia secara lokal Sumber: Haryanto dan Pangloli (1992).

(6)

alat peremas digunakan untuk memisah-kan tepung sagu dari empulur. Pangkur dirakit dengan menggunakan bahan-bahan yang tersedia di pedesaan. Konstruksi pangkur terdiri atas silinder kayu berpaku, gir sepeda roda belakang, pegas, dan rantai atau tali yang berfungsi sebagai belt. Keragaan alat ini di-perlihatkan pada Gambar 2. Penggunaan pangkur lebih efisien dibandingkan dengan pengolahan cara tradisional. Kemampuan kerja alat ini disajikan pada Tabel 9.

KEGUNAAN SAGU

Sagu mempunyai banyak kegunaan, di mana hampir semua bagian tanaman mempunyai manfaat tersendiri.

Batang-nya dapat dimanfaatkan sebagai tiang atau balok jembatan, daunnya sebagai atap rumah, pelepahnya untuk dinding rumah, dan acinya sebagai sumber karbohidrat (bahan pangan) dan untuk industri (Haryanto dan Pangloli 1992).

Aci sagu dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, baik makanan pokok maupun makanan ringan (Tabel 10). Oleh karena itu, tanaman sagu memegang peranan penting dalam penganeka-ragaman makanan untuk menunjang stabilitas pangan dan berpeluang untuk dikembangkan menjadi usaha industri rumah tangga.

Papeda dan kapurung merupakan makanan pokok bagi sebagian penduduk asli Maluku, Papua, dan Sulawesi Selatan. Ini berarti bahwa bila sagu dapat diper-tahankan sebagai bahan makanan pokok bagi sebagian penduduk di tiga daerah

tersebut, maka beban pengadaan beras nasional menjadi lebih ringan.

Sagu lempeng, buburnee, dan bagea berpeluang untuk dikembangkan menjadi industri rumah tangga. Menado (Sulawesi Utara) terkenal dengan bagea sagu sebagai oleh-oleh bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.

Melihat pertanaman sagu di Papua yang sangat luas, peluang pengembangan industri rumah tangga hasil olahan sagu sangat besar. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan keterampilan masya-rakat Papua dapat menopang keberhasilan pengembangan industri rumah tangga berbasis sagu. Untuk itu, pelatihan dan alih teknologi perlu mendapat perhatian.

KESIMPULAN

Hutan sagu di Papua sangat luas, sedikit-nya mencapai 900.000 ha, yang tersebar pada beberapa daerah meliputi Yapen Waropen, Sarmi, Bintuni, Inanwatan, dan daerah lainnya. Kondisi hutan sagu sangat heterogen dalam jenis vegetasi, jenis tanaman, dan struktur tanaman. Populasi jenis sagu produktif semakin tertekan sebagai akibat persaingan dengan jenis sagu lainnya dan eksploitasi guna memenuhi kebutuhan. Tanpa kegiatan rehabilitasi atau budi daya, sagu produktif terancam punah.

Telah diidentifikasi 20 jenis sagu di Sentani, dan 60 jenis sagu di Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Merauke. Untuk menjaga eksistensinya, jenis-jenis ini perlu dilindungi melalui kegiatan koleksi plasma nutfah.

Masyarakat lokal Papua telah banyak mengetahui teknologi budi daya sagu yang diperoleh secara turun temurun. Pengetahuan dan teknologi budi daya tersebut meliputi pemilihan bibit, teknik penanaman, dan teknologi pengolahan hasil sagu. Pengolahan hasil sagu masih secara konvensional dengan mengguna-kan tenaga manusia. Guna meningkatmengguna-kan efisiensi pengolahan sagu, telah dirakit pangkur dan alat peremas sagu. Alat ini sudah banyak diadopsi oleh masyarakat pengelola sagu di Wilayah Papua. Aci sagu dapat diolah menjadi macam-macam makanan ringan dan memberi peluang bagi berkembangnya industri rumah tangga.

Tabel 9. Kapasitas kerja dan biaya pembuatan pangkur pada pengolahan sagu.

Jenis pangkur Kapasitas kerja Biaya1 (serbuk empulur kg/jam) (Rp)

Pangkur rantai 4 3 750.000

Pangkur tali 2 6 700.000

Pangkur gendong 8 1 2.075.000

1Indeks harga tahun 1999.

Sumber: Widjono dan Lakuy (2000).

(7)

Tabel 10. Jenis makanan yang berasal dari aci sagu, daerah asal, dan cara pengolahannya.

Nama lokal Daerah asal Cara pembuatan

jenis makanan

Papeda Maluku dan Papua Aci sagu diaduk dalam air dingin sehingga terbentuk suspensi. Suspensi aci disiram air panas sambil diaduk hingga mengental dan terjadi perubahan warna, pengadukan di-hentikan bila warna pasta sudah merata. Papeda merupakan makanan pokok bagi kebanyakan penduduk di Maluku dan Papua

Kapurung Sulawesi Selatan Hampir sama dengan pembuatan papeda, bedanya hanya pada kapurung pasta dibentuk menjadi bulatan-bulatan kecil menggunakan sumpit dari bambu dengan cara memutar pasta hingga terbentuk bulatan. Kapurung pasta dicampur bersama lauk berupa ikan, udang, dan sayuran. Kapurung adalah makanan pokok sebagian penduduk di Sulawesi Selatan

Sagu lempeng Maluku dan Papua Sagu lempeng dibuat dari aci sagu basah yang diremahkan secara halus. Untuk men-dapatkan bentuk remah dan halus, bongkah-bongkah aci digosok-gosok di atas ayakan. Hasil ayakan bongkahan tersebut diayak lagi untuk mendapatkan aci remah dan halus yang siap dimasak. Aci dimasak dengan menggunakan alat yang di Maluku disebut

forna. Sagu remah dimasukkan ke dalam forna yang sebelumnya sudah dipanaskan. Forna kemudian ditutup daun pisang dan ditindih dengan papan pemberat selama

15−20 menit sampai aci di dalamnya masak

Buburnee Maluku Aci sagu basah dibuat menjadi remah dan halus seperti pada pembuatan sagu lempeng, kemudian dibuat butiran-butiran dengan menggoyang-goyangkan aci di atas tampah atau kantong kain. Butiran-butiran aci tersebut disangrai di atas kuali sampai berwarna putih kekuning-kuningan atau agak kecokelatan

Bagea Maluku dan Sulawesi Aci sagu dibungkus dengan daun pisang atau daun sagu lalu dipanaskan di dalam belanga. Untuk menambah nilai gizinya, aci sagu dicampur dengan telur, kenari, dan garam Ongol-ongol Maluku, Papua, Sulawesi, Cara pembuatannya hampir sama dengan papeda, tetapi pada pembuatan ongol-ongol

dan Jawa Barat dicampur dengan gula merah Sumber: Haryanto dan Pangloli (1992).

DAFTAR PUSTAKA

Auri, J.P. 1996. Pertumbuhan vegetatif

Metro-xylon rumphii Mart. pada tiga tanah tempat

tumbuh. Paratropika Jurnal Penelitian Kehutanan III(1): 1−6.

Batseba, M.W. Tiro, S. Tirajoh, dan Usman. 2000. Teknologi Peningkatan Produktivitas Ayam Buras. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat, Jayapura. 24 hlm. Flach, M. 1983. The Sago Palm. FAO Plant

Production and Protection. FAO of the United Nations, Rome. 85 pp.

Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. 140 hlm.

Miftachorrachman, H., Novarianto, and D. Allorerung. 1996. Identification of Sago

species and rehabilitation to increase productivity of sago (Metroxylon sp.) in Papua. In C. Jose and Aslimrasyad (Eds.) Sago: The Future Source of Food and Feed. Proceedings of the Sixth Int. Sago Symp. Pekanbaru, Riau. p. 73−91.

Rostiwati, T., F.S. Jong, dan M. Natadiwirya. 1999. Penanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb) Berskala Besar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. hlm. 10− 11.

Schmidt, F.H. and J.H. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period for Indonesia with Western New Guinea. Kementerian Perhubungan Djawatan Meteo-rologi dan Geofisika. Verhandelingen. No. 42 Jakarta.

Tokede, M.J. dan V.E. Fere. 1997. Tinjauan teknologi budi daya sagu masyarakat asli Papua. Jurnal Hipere, Fakultas Pertanian Universitas Cendrawasih II: 1−10. Widjono, A. dan H. Lakuy. 2000. Rekayasa

pangkur dan peremas sagu sederhana. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Sistem Usaha Tani Papua. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 1−8.

Widjono, A., R. Aser, dan Amisnaipa. 2000. Identifikasi, karakterisasi, dan koleksi jenis-jenis sagu. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Sistem Usaha Tani Papua. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 9− 16.

(8)

Lampiran 1. Jenis-jenis sagu berproduksi tinggi dan telah banyak dimanfaatkan pada empat daerah di Papua, 2000.

Daerah asal Nama lokal Karakter

Waisor, Manokwari Ana Uwabu Pucuk berwarna merah; duri keras tersebar tidak beraturan di punggung pelepah dan jarang; pelepah berwarna kekuningan, dilapisi oleh plot-plot putih; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka

Anangga Suanau Duri hanya pada anakan dalam baris-baris di punggung pelepah; produktivitasnya tinggi

Ananggemo Duri kecil tegak lurus, pada anakan terdapat tiga baris, semakin tua pohon duri-nya semakin kecil; produktivitasduri-nya tinggi

Bibutu Mewi Pucuk berwarna merah; duri pendek, keras dan letaknya tidak beraturan; pelepah berwarna hijau tua berbintik putih, tetap membungkus batang; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka

Wikuarawi Pucuk berwarna hijau kemerahan; duri jarang; pelepah berwarna hijau tua, pada anakan berplot-plot putih; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka

Wimor Pucuk berwarna merah; duri panjang dan lunak, pada pangkal pelepah tumbuh tidak beraturan; pelepah berwarna hijau kekuningan; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah; bentuk tajuk membuka

Wimir Pucuk berwarna kemerahan; duri panjang dan lunak memadati pangkal pelepah; pelepah berwarna hijau tua; diameter batang tengah lebih besar dari bagian bawah dan atas; warna tepung merah; bentuk tajuk membuka

Watarsomoy Pucuk berwarna hijau kemerahan; duri keras dalam baris-baris di bagian tengah pelepah; pelepah berwarna hijau kekuningan, pada anakan berplot-plot putih; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka

Witime Uwai Pucuk berwarna hijau kekuningan; duri jarang dan lunak; pelepah berwarna hijau berlilin, tegak dan membungkus batang; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka

Wokowurui Pucuk berwarna kemerahan; durinya panjang dan lunak; pelepah berwarna hijau tua, pucuk anakan tertutup; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka

Inanwatan, Sorong Apaigo Pucuk berwarna kekuningan; duri hanya pada anakan berbaris pada sisi kanan dan kiri pelepah; pelepah berwarna hijau kekuninagn sedikit berplot putih; diameter batang rata dari bawah ke atas, empulur putih, berserat halus; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka

Bibewo Pucuk berwarna hijau kemerahan; duri panjang berlekuk pada bagian tengah dan pangkal; pelepah berwarna hijau tua; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah muda; bentuk tajuk menutup

Bosairo Pucuk berwarna kemerahan; duri kecil dan lunak; pelepah berwarna hijau muda, pangkal pelepah sangat besar, sedikit berplot putih; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih kemerahan; bentuk tajuk menutup

Igoto Pucuk berwarna kemerahan; duri hanya pada anakan; pelepah berplot pada sisi kanan dan kiri; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah; bentuk tajuk membuka

Igoto Mogabarasu Pucuk berwarna kemerahan; duri hanya pada anakan; pelepah berpola batik pada sisi kanan dan kiri; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah muda; bentuk tajuk membuka

Marido Pucuk berwarna hijau muda; duri hanya pada anakan; pelepah berwarna hijau ke-kuningan; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk menutup

Merepo Pucuk berwarna hijau kemerahan; duri panjang berlekuk pada bagian tengah dan pangkal; pelepah berwarna hijau tua; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah muda; bentuk tajuk menutup

Segago Pucuk berwarna hijau kemerahan; duri sangat kecil di pangkal pelepah; pelepah berwarna hijau, alur tengah bermotif batik; diameter batang rata dari bawah ke atas; ditumbuhi akar serabut; warna tepung putih kemerahan; bentuk tajuk membuka

(9)

Daerah asal Nama lokal Karakter

Onggari, Merauke Kao Pucuk berwarna hijau kemerahan; duri hanya pada anakan, berjajar pada kedua sisi pelepah; pelepah berwarna hijau, berpola cokelat seperti batik pada punggung pelepah bagian tengah; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah; bentuk tajuk membuka

Sentani, Jayapura Follo Hongleu Pucuk berwarna kemerahan; tidak berduri; pelepah besar keputih-putihan, ber-motif batik pada punggungnya; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka

Hiyakhe Pucuk berwarna hijau tua; duri hanya pada anakan, berjajar pada kedua sisi dan tengah pelepah; pelepah berwarna hijau tua; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah muda; bentuk tajuk membuka

Kambea Pucuk berwarna hijau kemerahan; duri hanya pada anakan, berjajar pada kedua sisi pelepah; pelepah berwarna hijau, berpola cokelat seperti batik pada punggung pelepah bagian tengah; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah; bentuk tajuk membuka

Mongging Pucuk berwarna hijau kemerahan; duri panjang tersusun dalam garis-garis me-lengkung pada punggung pelepah; pelepah berwarna hijau keputihan; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka Osokulu Hongleu Pucuk berwarna hijau kemerahan; tidak berduri; pelepah berwarna hijau,

punggung-nya berkerut; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah muda; bentuk tajuk menutup

Osokulu Hongsay Pucuk berwarna merah; tidak berduri; pelepah berwarna hijau tua bermotif batik agak lebar; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah; ben-tuk tajuk menutup

Panne Pucuk berwarna kuning kemerahan; tidak berduri; pelepah berwarna hijau gelap pada pangkalnya, punggungnya beralur cokelat keputihan, ukuran pelepah besar berwarna hijau, berpola cokelat seperti batik pada punggung pelepah bagian te-ngah; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka

Para Haphou Pucuk berwarna hijau kekuningan; duri panjang tersusun dalam baris-baris me-lengkung pada punggung pelepah; pelepah berwarna hijau keputihan; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah; bentuk tajuk membuka Para Hongsay Pucuk berwarna merah tua; duri panjang tersusun dalam garis-garis melengkung

pada punggung pelepah; pelepah berwarna hijau keputih-putihan; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah; bentuk tajuk membuka Rondo Hongleu Pucuk berwarna kehijauan; duri pendek, halus, mudah patah; pelepah berwarna

hijau tua; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah; bentuk tajuk membuka

Wanny Hongleu Pucuk berwarna hijau kemerahan; tidak berduri; pangkal bekas pelepah tetap melekat; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk menutup

Yepha Hongleu Pucuk berwarna hijau kemerahan; tidak berduri; pelepah berwarna hijau, berpola putih; diameter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung putih; bentuk tajuk membuka

Yepha Hongsay Pucuk berwarna hijau kemerahan; tidak berduri; pelepah berwarna hijau; diame-ter batang rata dari bawah ke atas; warna tepung merah muda; bentuk tajuk membuka

Sumber: Widjono et al. (2000).

Gambar

Tabel 1. Rata-rata tinggi  dan anakan vegetatif tanaman sagu (Metroxylon rumphii Mart.) pada berbagai kondisi tempat tumbuh.
Tabel 5. Produksi empulur, tepung, dan rendemen masing-masing tipe sagu di Sentani, Papua.
Tabel 6. Perlakuan bibit sagu sebelum ditanam pada beberapa kelompok masyarakat di Papua.
Tabel 8. Alat yang diperlukan pada pengolahan sagu  dan ketersediaannya di tingkat petani di Papua.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Di sebuah taman, terdapat tanaman bunga mawar yang sedang berbunga. Mawar-mawar itu mengeluarkan aroma yang sangat harum. Dengan warna-warni yang cantik, banyak orang yang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan efektivitas ekstrak serai (Cymbopogon citratus) 30%, 60%,

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul “ Peningkatan Keaktifan dan Hasil

3) Kelainan jantung / penyakit jantung : Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output

pencarian yang memulai proses pencarian dari sekumpulan data atau fakta, dari data- data tersebut dicari suatu kesimpulan yang menjadi solusi dari permasalahan

Event A adalah terjadinya kelambatan pelayanan karena ada seorang nasabah yang memerlukan pelayanan lama di teller pertama, dan event B adalah terjadinya peristiwa

Metode SAW dipilih untuk sistem pendukung keputusan ini karena metode ini menentukan bobot untuk setiap atribut, kemudian dilanjutkan dengan proses perangkingan yang akan

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka sebagai usaha untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik khususnya untuk keterampilan berbicara bahasa Jerman