PROSPEK PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM
PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA: SEBUAH STUDI
PERBANDINGAN TERHADAP BELANDA DAN KOREA SELATAN
Jason Tigris,
Suparjo SujadiProgram Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Jason_tigris95@hotmail.com Abstrak
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, banyak negara yang menggunakan teknologi dalam melaksanakan mekanisme pendaftaran tanah. Skripsi ini membahas mengenai prospek penerapan teknologi informasi dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia. Pembahasan pertama adalah mengenai sejarah singkat dan sistem pendaftaran tanah di Indonesia beserta contoh mekanisme pendaftaran tanah konvensional. Pembahasan kedua adalah mengenai sejarah dan sistem pendaftaran tanah di Belanda dan Korea Selatan dan bagaimana mekanisme pendaftaran tanah di kedua negara tersebut yang sudah dilaksanakan dengan bantuan teknologi informasi. Pembahasan terakhir adalah mengenai perbandingan kondisi pendaftaran tanah di Indonesia dan kedua negara tersebut, dampak, implikasi dan hambatan dari penerapan teknologi informasi dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana prospek dan kesiapan dari penerapan teknologi informasi dalam pendaftaran tanah di Indonesia baik dari sisi hukum maupun sisi non-hukum. Penilitian ini menggunakan metode penelitian normatif empiris dimana data penelitian ini sebagian besar diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa hambatan yang dihadapi dalam penerapan teknologi informasi ke dalam sistem pendaftaran di Indonesia. Kedua negara yang telah berhasil menerapkan teknologi informasi tersebut bekerja melalui perencaanan yang mendalam dan bertahap untuk menjamin kesuksesan penggunaan teknologi informasi dalam sistem pendaftaran tanah masing-masing negara tersebut.
POSSIBILITY OF INFORMATION TECHNOLOGY APPLICATION IN INDONESIA;S LAND REGISTRATION: A COMPARATIVE STUDY ON
NETHERLANDS AND SOUTH KOREA Abstract
With the constant development of information technology, many countries are using technology to assist the mechanism of land registration. This thesis discusses the prospects for the application of information technology in Indonesia’s land registration system. The first discussion is about a brief history and land registration system in Indonesia along with examples of conventional land registration mechanism that is currently being used. The second discussion is about the history and land registration system in Netherlands and South Korea respectively and how the mechanism of land registration in those two countries have been carried out with the help of information technology. The final part is a comparison between land registration condition in Indonesia and both countries, the impact, implications
and constraints of the application of information technology in land registration system in Indonesia. This study aims to examine how the prospects and readiness of the applitcation of technology in Indonesia’s land registration system both in legal and non-legal terms. This research uses normative empirical methods where most of the data is acquired through library research. The results showed that there are some obstacles encountered in the application of information technology into the Indonesia’s land registration system. The two countries that have successfully implemented the information technology in their respective land registration system done it through extensive research and planning to ensure the success of technology usage.
Keywords: Land Registration, Information Technology, Indonesia, Netherlands, South Korea, Comparative Study, Land Registration System, Land Registration History.
1. Pendahuluan
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Alasan utama dari adanya pendaftaran tanah di Indonesia adalah untuk menjamin kepastian hukum. Pernyataan ini diperkuat dalam ketentuan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan:
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Ketentuan tersebut diatas merupakan keharusan dan kewajiban bagi Pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan pendaftaran tanah. (Bachtiar Effendie, 1993) Sebagai bentuk nyata dari pasal tersebut maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dengan harapan menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah di Indonesia. Proses penyelenggaraan pendaftaran tanah dapat dilihat di dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria dengan mengadakan: (1)Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah; (2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya; (3) Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
Jika dilihat dari ketentuan di dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria, maka dapat kita simpulkan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk menyediakan data-data penggunaan tanah untuk pemerintah ataupun masyarakat dan memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah. Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 menyatakan bahwa: “Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah.”
Pasal 12 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 menjelaskan kegiatan pendaftaran tanah pertama kali yang dimaksud meliputi: (1) Pengumpulan dan
pengelolaan data fisik; (2)Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya; (3) Penerbitan sertipikat; (4) Penyajian data fisik dan data yuridis; (5) Penyimpanan daftar umum dan dokumen. Pasal 13 Peraturan
Pemerintah No 24 Tahun 1997 menjelasakan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi: (1)Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak; (2) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
Seiring berkembangnya teknologi informasi, beberapa negara sudah mulai menggunakan sistem elektronik dalam proses pendaftaran tanah negaranya. Salah satu contoh pengguna sistem elektronik dalam pendaftaran kadaster adalah negara Belanda. Sejak tahun 2003, semakin banyak data yang di copy dengan scan dan disimpan secara elektronik sebagai dasar register publik digital yang dimasukkan ke dalam Undang-Undang dan disetujui Parlemen Belanda pada tahun 2005 (Arie Hutagalung, 2012). Penggunaan sistem kadaster elektronik tersebut memungkinkan penduduk untuk mengakses data-data seperti informasi kepemilikan tanah, harga jual, hipotek, akta-akta terkait dan hal-hal lain yang berhubungan dengan tanah tersebut secara
online. Sistem pendaftaran tanah di
Belanda dapat dibagi menjadi dua yaitu arsip publik terkait pendaftaran hak atas tanah dan sistem pendaftaran tanah yang menyediakan informasi-informasi terkait tanah yang terdaftar tersebut. Berdasarkan tinjauan diatas dapat dilihat bahwa kemajuan teknologi informasi dapat diterapkan dalam sistem pendaftaran tanah sehingga mempermudah pemerintah dan masyarakat dalam mengolah serta mengakses data-data terkait pendaftaran tanah.
Dalam kesempatan ini penulis tertarik untuk membahas prospek penggunaan teknologi informasi sebagai sarana penunjang sistem pendaftaran tanah di Indonesia. Seiring berkembangnya teknologi di masa sekarang, sistem pendaftaran tanah di Indonesia sudah seharusnya dapat menggunakan sarana teknologi informasi dalam membantu proses pendaftaran tanah sebagaimana yang sudah diterapkan di negara-negara lain seperti Belanda dan Korea Selatan maupun sistem teknologi informasi yang sudah diterapkan oleh Menkumham dalam hal pengesahan akta perseroan secara
online. Penerapan teknologi informasi
dalam sistem pendaftaran tanah tentu saja harus memperhatikan hukum telematika dan pertanahan yang ada di Indonesia. Penulis juga akan mengkaji kelebihan, kelemahan dan dampak dari penerapan teknologi informasi dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia baik dari sisi hukum formil maupun dari sisi birokrasi di Badan Pertanahan Nasional / Kementrian Agraria dan Tata Ruang Berdasarkan hal-hal yang telah dijabarkan sebelumnya di latar belakang, maka
muncul pertanyaan-pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini, yaitu (1) Bagaimana penerapan teknologi informasi dalam mekanisme pendaftaran tanah di negara lain ; (2) Bagaimana prospek dari penggunaan teknologi informasi dalam proses pendaftaran tanah di Indonesia. Penelitian ini secara umum memiliki tujuan untuk mengkaji probabilitas penerapan teknologi informasi sebagai sarana yang membantu mekanisme pendaftaran tanah pertama kali yang sudah berjalan di Indonesia. Sedangkan secara khusus, penelitian ini memiliki tujuan untuk: (1) Menguraikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan, mekanisme pendaftaran tanah yang ada dan contoh penerapan teknologi informasi dalam pendaftaran tanah di negara lain bagaimana teknologi informasi dapat membantu mekanisme pendaftaran tanah.; (2) Menganalisa prospek dari penggunaan teknologi informasi di dalam sistem pendaftaran tanah Indonesia berdasarkan peraturan perundangan yang ada dan pendapat ahli maupun birokrat terkait.
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan
hukum positif dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini terdapat dua tahap kajian yaitu (1) Tahap pertama adalah kajian mengenai hukum normatif yang berlaku; (2) Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in concreto guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Penerapan tersebut dapat diwujudkan melalui perbuatan nyata dan dokumen hukum. Hasil penerapan akan menciptakan pemahaman realisasi pelaksanaan ketentuan hukum normatif yang dikaji telah dijalankan atau tidak.(Abdulkadir Muhammad, 2004)
Dikarenakan penggunaan kedua tahapan tersebut, maka penelitian hukum normatif membutuhkan data primer dan data sekunder. Penulis menggunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai data untuk menganalisa penerapan teknologi informasi di dalam sistem pendaftaran tanah baik itu yang sudah berjalan maupun prospek penerapannya di Indonesia. Wawancara yang dilakukan oleh penulis hanya bertujuan untuk memperkuat analisis penulis dan bukan sebagai data utama dalam penyusunan skripsi. Penulis juga tidak melakukan penelitian lapangan dengan meneliti norma hukum adat maupun norma hukum tidak tertulis
lainnya. Penggunaan metode penelitian normative empiris ini dilator belakangi kesesuaian teori dengan metode penelitian yang diperlukan oleh penulis dalam penyusunan skripsi.
Penelitian ini berdasarkan sifatnya merupakan penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada baik fenomena alamiah ataupun buatan manusia. Jenis penelitian deskriptif yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah studi perbandingan (comparative study) yaitu membandingkan persamaan dan perbedaan yang dapat digunakan untuk menganalisa penyebab timbulnya persitiwa tertentu. Dari hasil perbandingan tersebut dapat ditarik kesimpulan faktor yang menyebabkan timbulnya gejala pada objek yang diteliti. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut: (1) Data sekunder pada umunya ada dalam keadaan siap; (2) Bentuk dan isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu; (3) Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat. (Soerjono Soekanto, 2006)
Data primer adalah data yang harus diperoleh peneliti melalui penelitian langsung terhadap faktor-faktor yang menjadi latar belakang penelitiannya. Oleh karena itu, data primer seringkali menjadi data dasar penelitian hukum empiris. Dalam pengumpulan data primer, penulis menggunakan wawancara karena dengan menggunakan metode tersebut penulis dapat mengumpulkan informasi yang relevan dari pihak-pihak yang terkait dengan studi kasus tersebut. Pada pngumpulan data sekunder, penulis menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan (bibliography study) merupakan pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas. Informasi tertulis tersebut lazim disebut sebagai bahan hukum (law
material). Bahan hukum tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi tiga golongan,
yaitu: (1)Bahan hukum primer adalah bahan hukum memiliki kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan; (2)Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer; (3)Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah dan teknologi informasi serta bahan hukum sekunder baik literatur, jurnal hukum, media cetak atau elektronik. Kemudian, data-data yang diperoleh akan dianalisis dan dikaji secara kualitatif oleh penulis
3. Hasil dan Pembahasan
Badan Pertanahan Nasional / Kementerian Agraria dan Tata ruang sebenarnya sudah memanfaatkan teknologi informasi dalam proses pendaftaran tanah khususnya dalam bidang pemeliharaan data pendaftaran tanah. Penggunaan teknologi informasi ini dimulai dengan adanya Kegiatan Komputerisasi Kantor Pertanahan atau dikenal juga dengan nama Land Office
Computerization
Penggunaan teknologi informasi sudah sepatutnya dilaksanakan dalam mekanisme pelayanan pertanahan karena tak dapat lagi dipungkiri prosedur pelayanan pertanahan secara manual yang masih mengandalkan sistem tatap muka memakan waktu yang cukup banyak dan banyak terjadi kesalahan berupa inkonsistensi data-data pertanahan. Infrastruktur untuk melaksanakan penerapan teknologi
informasi dalam prosedur pelayanan pertanahan sebetulnya sudah ada dan bisa dilihat dari penggunaan teknologi informasi untuk menyimpan data-data pertanahan. Namun hal yang lebih penting disini adalah sumber daya manusia dalam menggunakan teknologi informasi tersebut yaitu dalam hal ini adalah petugas dan pejabat kantor-kantor pertanahan. Selama ini penerapan teknologi informasi di Indonesia umumnya terhambat masalah kurang memadianya sumber daya manusia sehingga penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan pertanahan juga harus diikuti dengan pengembangan sumber daya manusia itu sendiri. Aspek pengembangan tersebut meliputi:
(1) Pendidikan dan Pelatihan ; (2) Akreditasi keahlian; (3) Pembinaan dan pengembangan karir. (Tubagus Haedar Ali, 1997)
Selain pengembangan sumber daya manusia itu sendiri, perlu ditinjau juga asas kepastian hukum dari penggunaan teknologi informasi atas pendaftaran tanah karena salah satu tujuan utama dari pendaftaran tanah itu sendiri adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Berdasarkan Pasal 5 UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dijelaskan bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah. Permasalahan hukum yang sering muncul dalam penggunaan teknologi informasi adalah pembuktian dan perbuatan hukum yang dilakukan secara elektronik. Kegiatan melalui sistem elektronik atau dikenal dengan sebutan cyberspace merupakan suatu tindakan hukum yang nyata. Kegiatan dalam cyberspace merupakan kegiatan virtual yang memiliki dampak sangat nyata walaupun alat bukti yang ada dalam bentuk elektronik.
Pasal 6 UU No. 11 Tahun 2008 juga menjelaskan bahwa jika ada ketentuan lain selain yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan atau dokumen elektronik tetap dianggap sah sepanjang informasi yang terdapat di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Jadi sebetulnya Indonesia sudah memiliki dasar hukum yang jelas terkait kekuatan dokumen-dokumen elektronik. Penerapan teknologi informasi dalam pendaftaran tanah juga perlu memperhatikan hukum pertanahan yang ada. Sampai sejauh ini, belum ada peraturan perundangan yang dapat mengakomodasi penggunaan teknologi informasi dalam mekanisme pendaftaran tanah
Mengambil contoh dari program KLIS di Korea Selatan, beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penerapan teknologi informasi di bidang pendaftaran tanah adalah politik, ekonomi, sosial budaya, level informasi, kesadaran akan informasi pertanahan diantara pejabat pertanahan dan perilaku penggunaan tanah oleh masyarakat umum. (Jong Taek Park, 2013). Secara spesifik hal paling penting yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara lembaga pemerintahan pusat dan pemerintah-pemerintah daerah. Hal lain yang dapat menjamin kesuksesan atau kegagalan dari penerepan teknologi informasi adalah kesiapan level informasi negara tersebut. Beberapa negara memiliki kondisi informasi yang sangat rendah seperti kurangnya akses terhadap komputer dan jaringan internet sehingga untuk dapat menjalankan program teknologi informasi harus dikaji secara mendalam.
Dukungan-dukungan lain seperti adanya peraturan perundang-undangan yang siap menerima penggunaan teknologi informasi di bidang hukum, distribusi teknologi, sosialisasi penggunaan teknologi informasi dan tingkat pendidikan masyarakat sangat berperan terhadap kesuksesan penerapan teknologi informasi di bidang pendaftaran tanah. Bagaimana data-data pertanahan tersebut akan diperbaharui dan bagaimana para pihak yang menjalankan teknologi
tersebut sehari-hari harus dicermati secara baik-baik sebelum mengambil keputusan besar digitalisasi pendaftaran tanah secara sepenuhnya. Hal yang sering terabaikan namun merupakan masalah cukup penting khususnya di negara berkembang seperti Indonesia adalah masalah pendanaan. Penerapan teknologi informasi dalam pendaftaran tanah tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biaya-biaya tersebut antara lain meliputi pengembangan software, pusat data, pelatihan dan pendidikan petugas pertanahan dan PPAT selaku pemeran aktif dalam mekanisme pendaftaran tanah dan sosialisasi kepada masyarakat umum. Kesuksesan program penerapan teknologi informasi di Korea Selatan dan Belanda terjadi karena adanya perencanaan secara mendalam. Variabel-variabel yang dapat mempengaruhi proyek penerapan teknologi informasi dicermati dan direfleksikan secara mendalam saat tahap perencanaan. Indonesia tidak bisa secara langsung meniru proyek penerapan teknologi informasi dari negara asing karena perbedaan tingkat ekonomi, politik dan sosial budaya antara negara asing dan Indonesia menyebabkan besar kemungkinan gagalnya proyek tiruan. Mekanisme pendaftaran tanah berbasis teknologi informasi haruslah
memperhatikan asas-asas diatas. Karena pada konsepnya penerapan teknologi informasi tersebut bersifat menunjang mekanisme yang sudah ada. Penerapan teknologi informasi dalam pendaftaran tanah bertentangan dengan pandangan umum bahwa pendanaan pendaftaran tanah perlu diberikan kepada administrasi pemerintahan pertanahan itu sendiri untuk mengembangkan sistem pertanahan suatu negara. Birokrasi pemerintah pada umumnya merupakan sumber dan bukan solusi dari permasalahan yang timbul dalam pendaftaran tanah. Solusi dari permasalahan dan inefisiensi pendaftaran tanah dapat diselesaikan dengan cara memberi pendanaan dan mengembangkan sistem elektronik, pusat-pusat data, teknik pemetaan yang hemat biaya dan strategi politik yang melawan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu seperti politisi, tuan tanah, pengacara dan birokrat yang mengambil keuntungan dari inefisiensi birokrasi pertanahan. (Peter F. Schaefer dan Clayton Schaefer, 2013) Berdasarkan wawancara dengan petugas Badan Pertanahan Nasional / Kementrian Agraria dan Tata Ruang bidang PPAT wilayah Jakarta Pusat (narasumber tidak disebutkan namanya atas permintaaan sendiri), kondisi yang selama ini menjadi hambatan dalam pelaksanaan mekanisme pendaftaran tanah secara efektif dan efisien
adalah kurangnya jumlah sumber daya manusia yang memadai. Narasumber juga menjelaskan bahwa dalam prakteknya, petugas loket kantor pertanahan umumnya merupakan pekerja tidak tetap ataupun magang sehingga tidak memiliki kualifikasi yang memadai. Hal ini terjadi karena kurangnya petugas tetap di dalam lembaga pertanahan itu sendiri. Akibat yang timbul adalah pintu administrasi pertanahan tidak dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang memadai sehingga memperlambat mekanisme pendaftaran tanah yang sudah ada.
Kondisi dan solusi dari kurangnya sumber daya manusia ini juga dijelaskan dalam wawancara oleh PPAT dan Notaris Buntario Tigris Darmawang. Menurut beliau, mekanisme pendaftaran tanah saat ini yang masih menggunakan sistem tatap muka tidak efektif karena menghabiskan waktu yang cukup banyak. Kondisi lain yang ditemukan adalah kurangnya petugas pertanahan yang memberikan pelayanan pertanahan sehingga sering diganti oleh petugas tidak tetap ataupun petugas magang. Mekanisme pendaftaran tanah yang sekarang juga rawan dengan korupsi oleh pejabat pertanahan. Solusi yang dijelaskan oleh beliau adalah pembagian tugas Badan Pertanahan Nasional kepada PPAT dalam hal pendaftaran tanah sehingga menggeser peran Badan
Pertanahan Nasional menjadi pengawas dan memberikan PPAT beban kerja dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Sistem ini merupakan sistem yang dilaksanakan dalam pendaftaran tanah di negara Belanda.
Kondisi diatas sesuai dengan apa yang dituangkan dalam teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman. Teori sistem hukum Friedman menyatakan bahwa kesuksesan penegakan hukum itu bergantung pada tiga unsur yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum yang ada di dalam masyarakat. (Lawrence Friedman, 1997). Struktur hukum terdiri dari unsur-unsur seperti jumlah dan ukuran pengadilan, jurisdiksi pengadilan, prosedur lembaga penegakan hukum yang diikuti oleh aparat dibawahnya. Secara singkat struktur hukum adalah lembaga hukum yang memiliki tujuan untuk menjalankan hukum yang ada. Substansi hukum adalah peraturan nyata, norma dan pola perilaku dari aparat yang berada dalam sistem hukum. Penekanan dalam substansi hukum ini berada di hukum nyata bukan sekadar peraturan yang tertulis di buku-buku. Unsur terakhir dalam sistem hukum
Friedman adalah budaya hukum. Friedman menyatakan bahwa budaya hukum adalah sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Sikap ini merupakan suasana pemikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari ataupun disalah gunakan.
Selain penerapan teknologi informasi dalam mekanisme pendaftaran tanah, penerapan teknologi informasi juga dapat dilakukan dalam hal pengukuran bidang tanah. Teknologi yang ada sekarang seperti GPS dan Peta 3 Dimensi dapat dimanfaatkan secara langsung untuk mengukur bidang tanah secara jelas dan akurat. Sebagai contoh negara Belanda sejak tahun 2000 menggunakan sistem GPS RTK (real time kinematics) dalam melakukan pengukuran bidang tanah untuk pendaftaran tanah. Pengamatan terhadap penggunaan teknologi GPS dalam pengukuran bidang tanah di Belanda menunjukkan bahwa 25% dari survey pertanahan dapat dilakukan secara lebih efektif menggunakan teknologi GPS dibanding pengukuran konvensional.
4. Kesimpulan
Penerapan teknologi informasi dalam sistem pendaftaran di Indonesia tidak dapat dilaksanakan secara langsung. Penerapan
tersebut memerlukan adanya perencaan yang mendalam karena infrastruktur yang ada saat ini belum dapat mengakomodasi
penerapan teknologi informasi. Mengambil contoh komparasi dari negara Belanda dan Korea Selatan, Indonesia memerlukan suatu peraturan perundangan sebagai dasar hukum penerapan teknologi informasi dalam mekanisme pendaftaran tanah. Bentuk peraturan perundangan tersebut dapat dilihat dalam penerapan teknologi informasi SABH (Sistem Administrasi Badan Hukum) yang dilaksanakan oleh
Kementrian Hukum dan HAM.
Perencanaan penerapan teknologi informasi dalam pendaftaran tanah harus memperhatikan kondisi politik, ekonomi dan sosial budaya dari negara setempat sehingga Indonesia tidak dapat secara langsung meniru program yang ada. Negara Belanda dan Korea Selatan sukses menerapkan penggunaan teknologi informasi karena dilakukan dengan perencanaan yang mendalam dan pelaksanaan secara tahap demi tahap. Penggunaan teknologi informasi dalam bidang pertanahan akan memberikan kemajuan yang pesat dan meningkatkan kualitas pelayanan di bidang pertanahan. Salah satu hambatan yang muncul dalam usaha penerapan teknologi informasi adalah kurangnya sumber daya manusia yang memadai baik dari sisi kualitas dan kuantitas di lembaga pertanahan Indonesia. Kondisi ini ditemukan setelah dilakukan wawancara dengan berbagai pihak yang
berinteraksi sehari-hari dengan mekanisme pendaftaran tanah. Penerapan teknologi informasi memerlukan sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi keahlian dan jika sistem informasi tersebut sudah berjalan secara sepenuhnya maka kondisi kurangnya jumlah sumber daya manusia dapat diatasi. Sistem berbasis elektronik juga menghindari terjadinya praktik-praktik pungutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi karena sistem elektronik akan merubah birokrasi pertanahan di bidang mekanisme sehingga lebih menjamin transparansi mekanisme pendaftaran tanah.
Kekurangan dari penerapan teknologi informasi adalah perlu biaya yang cukup besar di muka karena kurangnya infrastruktur teknologi di Indonesia yang dapat mendukung program elektronisasi pendaftaran tanah. Hambatan muncul dalam upaya meyakinkan pejabat-pejabat terkait untuk memberikan alokasi dana dalam elektronisasi pendaftaran tanah. Studi komparatif dari Korea Selatan sudah menunjukkan bahwa penggunaan teknologi informasi dalam pendaftaran tanah memberikan penghematan uang yang signifikan dalam jangka panjang. Pendanaan teknologi informasi untuk pendaftaran tanah bertentangan dengan pandangan klasik yang menyatakan bahwa
untuk memajukan suatu lembaga diperlukan pendanaan kepada birokrasi terkait. Kondisi ini sulit diterapkan di Indonesia karena birokrasi yang ada khususnya di bidang pertanahan masih belum tertata secara baik.
Salah satu implikasi yang muncul adalah terjadinya pergeseran sistem publikasi pertanahan di Indonesia ke arah positif. Hal ini terjadi karena dengan adanya teknologi informasi pemerintah dapat menjamin kebenaran data-data pertanahan yang ada sehingga sertifikat alat bukti pertanahan berubah kedudukannya dari
alat bukti yang kuat menjadi alat bukti yang mutlak. Indonesia harus siap secara hukum untuk mengakomodasi perubahan ini karena berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, sertifikat tanah adalah alat bukti kuat sehingga perlu adanya suatu peraturan perundangan yang mengatur pergeseran ini. Dampak yang muncul atas pergeseran ini adalah sertifikat alat bukti tanah tidak dapat dibatalkan di muka pengadilan tetapi bagi pihak yang dirugikan akibat terbitnya sertifikat ini hanya dapat diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.
5. Daftar Acuan Buku
Ali, Tubagus Haedar, Kajian Kebijakan
Makro Teknologi dan
Informasi,Jakarta:BPN,1997
Chomzah, Ali Achmad, Hukum Agraria
Pertanahan Indonesia Jilid 2, Jakarta:
Prestasi Pustakarya 2004
Effendie, Bachtiar, Pendaftaran Tanah di
Indonesia dan Peraturan Pelaksananya,
Bandung: Penerbit Alumni, 1993
Friedman, Lawrence M., “American Law: An Introduction”, cet.2, New York: W.W Norton and Company, 1997
Gautama, Sudargo dan G.Sukahar Badwi, “Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria”, Bandung: Alumni, 1989
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia
: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Jakarta : Penerbit Djambatan, 2008
Hutagalung, Arie S. dkk. “Hukum
Pertanahan di Belanda dan Indonesia”,
Bali: Pustaka Larasan, 2012
Makarim, Edmond, Tanggung Jawab
Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik,Jakarta: Rajagrafindo, 2010
Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan
Penelitian Hukum, Cet. 1, Bandung: PT.
Citra Adya Bakti, 2004
Parlindungan, A.P. “Pendaftaran Tanah
Indonesia”, Bandung: Mandar Maju, 1999
Santoso, Urip, Hukum Agraria, Jakarta:
Kencana, 2012
Santoso, Urip, Pendaftaran dan Peralihan
Hak atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2010
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. 8, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006
Sutedi, Adrian, Peralihan Hak atas Tanah
dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika,2008
Artikel
Buku Petunjuk Pengoperasian Aplikasi Notaris SABH, 6
Cara Kerja Sistem Administrasi Badan Hukum
SABH, SABH-NG Menjawab Tantangan Zaman, Diapresiasi Banyak Negara,
Renvoi (Nomor 7/79, Desember, Th
07/2009).
Sinaga, Syamsudin Manan ,
“Penyederhanaan Prosedur Pengesahan Perseroan Terbatas Dalam Rangka Menggairahkan Iklim Investasi di Indonesia,” Makalah Acara Rapat Pleno Ikatan Notaris Indonesia, Medan, 30 Maret 2007
BPN CIMSA IG. A.I.E., Komputerisasi BPN (Land Office Computerization) Fase 2B LOC 2B “LOC 2b Office Application
Development), (Jakarta: CIMSA Ig. A.I.E,
2006, 3-4
Skripsi dan Tesis
Nazirwan, “Cyber Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah Secara Online di Kantor Pertanahan Administrasi Jakarta Barat”, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok,2012
Peraturan Perundangan
Belanda, Cadastre Act, Bulletin of Acts, Orders and Decrees, 1991, No.571
Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria.,UU No. 5 Tahun 1960, LN No.
_______, Penjelasan Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU No.11 Tahun
2008, LNRI Tahun 2008 No.58, TLN No.4843
________, Peraturan Pemerintah
Pendaftaran Tanah, PP No.10 Tahun
1961, LN No. 28 Tahun 1961. TLN No. 2171
________, Peraturan Pemerintah
Pendaftaran Tanah, PP No.24 Tahun
1997, LN No. 59 Tahun 1997. TLN No. 3696
________, Lampiran Peraturan Pemerintah tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, PP No.13
Tahun 2010, LN RI Tahun 2010 No.18, TLN RI No.5100
Korea Selatan, Real Estate Registration
Act, Act No.9401, 2009.
Internet
Dainith, John, "IT", A Dictionary of
Physics, Oxford University Press, 2009,
diakses 5 Oktober 2015
Publications, FIG, “FIG Statement on the
Cadastre”, , diakses 5 Oktober 2015, http://www.fig.net/resources/publications/f igpub/pub11/figpub11.asp#6.4
http://site.bpn.go.id/o/Layanan-Pertanahan.aspx , diakses 10 November 2015
http://www.kadaster.nl/web/english.htm, diakses tanggal 15 November 2015
http://www.eurocadastre.org/pdf/310107_ Netherlans_TEXT.pdf, diakses tanggal 15 November 2015
http://koreanlii.or.kr/w/index.php/Real_pro perty, diakses tanggal 26 November 2015
http://www.doingbusiness.org/data/explore economies/korea/registering-property/, diakses tanggal 27 November 2015
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/11/17 /penjelasan-tentang-sisminbakum/,
diakses tanggal 7 November 2015 Pukul 16.00 WIB
http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/9631 , diakses tanggal 1 Januari 2015
Jurnal
Henssen, J.L.G. dan Williamson, I.P. “Land registration, cadastre and its interaction; a world perspective”,
Commission 7, Paper 701.1, Helsinki 1990,
20
Jang, Bong-Bae dan June-Hwan KOH,
Cadastre 2014 – A Case Study from South Korea, 2
Park, Jong Taek dan Joungyoon Chun, The Establishment of Korea Land Information System, 2013 Modularization of Korea’s
Development Experience (April 2014),
68-75
Saxena, Naresh C, Updating Land Records: Is Computerisation Sufficient,
Economic and Political Weekly Vol.40
No.4, Januari 2005, 321
Schaefer, Peter F dan Clayton Schaefer, An Innovative Approach to Land Registration in the Developing World: Using Technology to Bypass the Bureaucracy, Policy Analysis No.765, 3 Desember 2014, 10
Tembom, Emmanuel, Johnson Kampamba dan Bipuso Nkwae, Land Registration in a
Digital Envinronment,FIG Congress 2014, Kuala Lumpur: FIG Publications,2014. 5-6 Vos, Jacques, “The Digitalization of Land Registration in the Netherlands: Paving The Road For Cross Border Practices” ,
Ponencias y Comunicaciones presentadasal XVII Congreso Internacional de Derecho Registral, 2013,
1
Wakker, Willem Jan, Paul van der Molen dan Christian Lemmen, “Land registration and cadastre in the Netherlands, and the role of cadastral boundaries: The application of GPS technology in the survey of cadastral boundaries.” Journal of
Geospatial Engineering, Vol. 5, No.1
(June 2003), 4-8
Youngho,Lee, 2006, The Role of Cadastral
Information for the Good Land Administration in South Korea,3
Zevenbergen, Jaap,”A Systems Approach to Land Registration and Cadastre”,
Nordic Journal of Surveying and Real Estate Research, Vol.1, 2004, 1