• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN. ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN. ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN

A. Pengertian Tindak Pidana Judi

Perjudian pada hakikatnya bertentangan dengan norma agama, kesusilaan dan moral Pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa dan negara dan ditinjau dari kepentingan nasional. Perjudian mempunyai dampak yang negatif merugikan moral dan mental masyarakat.80

Judi atau perjudian menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah permainan dengan memakai uang sebagai taruhan.

Masalah judi merupakan problem sosial yang sulit ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia.

81

Perjudian adalah permainan yang menggunakan uang dan/atau barang berharga sebagai taruhan seperti permainan dadu, kartu, dan lain-lain.82 Berjudi berarti mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan atau untung-untungan dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula.83

Pengertian ini mirip dengan yang dirumuskan dalam Pasal 303 KUH Pidana menentukan tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat

80

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian.

81

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 419. 82

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: balai Pustaka, 2005), hal. 479.

83 Ibid.

(2)

untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Dalam rumusan itu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Pengertian judi atau perjudian dalam Pasal 303 ayat (3) KUH Pidana merupakan pengertian yang setelah perubahan yaitu diubah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian yang menentukan sebagai berikut:

Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapatkan untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Unsur yang paling penting diperhatikan berdasarkan rumusan KUH Pidana mengenai judi adalah terdapat unsur keuntungan (untung) yang bergantung pada peruntungan (untung-untungan) atau kemahiran/kepintaran pemain. Selain itu dalam permainan judi juga melibatkan adanya pertaruhan.84 Pengertian judi yang dirumuskan dalam Pasal 303 KUH Pidana menurut R. Soesilo sama dengan istilah

hazardspel artinya permainan judi.85

84

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fc475308e6a0/judi, diakses tanggal 8 Januari 2016. Artikel yang ditulis oleh Iman Hadi, berjudul “Permainan Yang Memenuhi Unsur Pidana Judi”, dipublikasikan di website hukumoniline, Tanggal 9 Juni 2012.

85

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya

(3)

Pengertian permainan judi dalam istilah hazardspel (Belanda) menurut referensi lain menyebutnya juga sebagai kansspel yaitu permainan untung-untungan yang dapat dihukum berdasarkan peraturan yang ada.86 Judi menurut Henry Campbell Black dalam bahasa Inggris disebut gamble yang artinya play cards or other games

for money; to risk money on a future event or possible happening, dan yang terlibat

dalam permainan disebut a gamester atau a gambler yaitu, one who plays cards or

other games for money.87

Judi atau perjudian menurut Kartini Kartono adalah pertaruhan dengan sengaja mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa, permainan pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya.88

Dali Mutiara menyebut permainan judi harus diartikan secara luas juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau lain-lain pertandingan, atau segala pertaruhan dalam perlombaan-perlombaan yang diadakan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam perlombaan-perlombaan

Hasil yang tidak pasti dalam permainan itulah yang membuat judi dilarang karena didasarkan pada untung-untungan belaka.

86

N.E. algra dan RR.W. Gokkel, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk, (Jakarta: Bina Cipta, 1983), hal. 186. Lihat juga H. Van Der Tas, Kamus

Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Timun Mas, 1961), hal. 132 dan hal. 168.

87

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul : West Publishing. Co, 1991), hal. 679.

88

(4)

itu.89

1. Perjudian di Kasino, antara lain terdiri dari: roulette, blackjack, baccarat, creps, keno, tombola, super ping-pong, lotto fair, satan, paykyu, slot machine (jackpot), ji si kie, big six wheel, chuc a luck, lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan yang berputar (paseran), pachinko, poker, twenty one, hwa-hwe, dan kiu-kiu.

Contoh permianan judi yang disebutkan dalam penjelasan R. Soesilo terhadap Pasal 303 KUH Pidana tersebut harus diartikan lebih luas lagi, yakni segala permainan yang memenuhi unsur rumusan tindak pidana judi. Bahkan permainan yang legal sekalipun bisa menjadi illegal seperti pertandingan sepak bola dan lain-lain bisa mengarah kepada tindak pidana judi.

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian menjelaskan beberapa contoh permainan yang termasuk ke dalam perjudian yaitu:

2. Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain terdiri dari perjudian yang dilakukan dengan cara: lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak, lempar gelang, lempar uang (coin), kim, pancingan, menembak sasaran yang tidak berputar, lempar bola, adu ayam, adu sapi, adu kerbau, adu domba/kambing, pacu kuda, karapan sapi, pacu anjing, hailai, mayong/macak, dan erek-erek.

3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan seperti: adu ayam, adu sapi, adu kerbau, pacu kuda, karapan sapi, dan adu domba/kambing.

Menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 ini tidak termasuk dalam perngertian penjelasan Pasal 1 huruf c di atas yaitu perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain atau yang dikaitkan dengan kebiasaan apabila kebiasaan yang bersangkutan berkaitan dengan upacara keagamaan, dan sepanjang hal itu tidak merupakan perjudian. Undang-undang

89

Dali Mutiara, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1962), hal. 220.

(5)

menentukan syarat suatu perbuatan masuk dalam kategori tindak pidana judi adalah sepanjang permainan apapun jenisnya maupun kebiasaan-kebiasaan ritual, dan lain-lain tidak digunakan untuk pertaruhan untung-untungan, tidak termasuk tindak pidana judi. Sebaliknya jika permainan maupun kebiasaan-kebiasaan itu digunakan untuk pertaruhan untung-untungan, maka perbuatan itu termasuk ke dalam tindak pidana judi sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang.

Adami Chazawi menjelaskan bahwa suatu permainan yang kemungkinan memperoleh untung bergantung pada peruntungan atau nasib belaka. Menang atau kalah dalam arti memperoleh untung atau rugi hanyalah bergantung pada keberuntungan saja atau secara kebetulan saja. Permainan yang kemungkinan mendapatkan untung atau kemenangan tersebut sedikit banyaknya bergantung pada kepandaian dan kemahiran pemainnya.90

Perbuatan-perbuatan dari permainan biasa menjadi perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana (delik) harus dimaknai secara luas yaitu segala bentuk pertaruhan tentang keputusan perlombaan lainnya yang tidak diadakan oleh mereka untuk turut berlomba atau bermain. Misalnya dua orang bertaruh dalam suatu pertandingan sepak bola antara dua kesebelasan, dimana yang satu bertaruh dengan menebak satu kesebelasan sebagai pemenangnya dan yang satu pada kesebelasan lainnya.91

Selain itu juga termasuk segala bentuk pertaruhan lainnya yang tidak ditentukan atau dengan kata lain tidak ditentukan bentuk pertaruhan itu secara

90

Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 167.

91 Ibid.

(6)

limitatif. Segala bentuk pertaruhan demikian ini dan dengan cara bagaimanapun serta dalam segala bentuk apapun adalah termasuk perjudian bila dilakukan secara pertaruhan dan untung-untungan.92 Seperti permainan kuis untuk mendapatkan hadiah yang ditayangkan melalui televisi termasuk ke dalam perjudian dalam pasal ini. Akan tetapi oleh karena penyelenggaraan kuis tersebut telah memperoleh izin dari pihak yang berwajib, maka kuis tersebut tidak termasuk permainan judi yang dilarang karena bersifat hiburan dan telah memperoleh izin dari pihak yang berwenang.93

Ketentuan rumusan dalam Pasal 303 KUH Pidana junto Pasal 303 bis KUH Pidana dengan Pasal 1 ayat (1) PP dan penjelasan PP ini tidak konsisten, karena antara rumusan unsur-unsurnya berbeda dengan penjelasannya. Dalam rumusan unsur-unsurnya dirumuskan secara luas, tetapi contoh-contohnya dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP ini dibatasi secara limitatif. Sangat disayangkan PP ini hanya menentukan contoh-contoh perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain sebagaimana di

Pendapat demikian bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian. Pasal 1 ayat (1) PP ini menentukan bahwa pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain.

92

Yulia Christy Shintara Aruan, Op. Cit., hal. 17. 93

(7)

atas. Sedangkan bila dijabarkan lebih luas makna dari rumusan Pasal 1 ayat (1) PP ini seharusnya segala bentuk kegiatan apapun yang sifatnya bertaruh untuk memperoleh untung-untungan harus dilarang.

Pengertian perjudian menurut Pasal 303 ayat (1) KUH Pidana meliputi orang yang sengaja menyediakan sarana atau memberi kesempatan untuk berbuat judi dan termasuk bagi orang yang memanfaatkan atau menggunakan sarana itu atau turut campur berbuat judi. Sedangkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUITE terdapat kejanggalan mendefenisikan pengertian perjudian karena yang dilarang menurut pasal ini adalah setiap orang atau korporasi yang menyediakan sarana maupun prasarana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. Bila dipahami maksud Pasal 27 ayat (2) UUITE ini berarti tidak mencakup bagi orang yang mengakses sarana itu untuk bermain judi.

B. Tindak Pidana Judi Merupakan Kejahatan

Pembahasan tentang tindak pidana judi sebagai kejahatan sehubungan dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, yang menyatakan: ”semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan”. Oleh karena itu dalam bentuk apapun dan dalam kondisi bagaimanapun, judi tetap sebagai kejahatan dan orang-orang yang terlibat didalamnya, baik langsung maupun tidak langsung termasuk sebagai penjahat. Tidak boleh ada pengecualian, sebagaimana dibolehkan bila ada izin yang dimuat dalam Pasal 303 KUH Pidana.

(8)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian mempertimbangkan tindak pidana judi sebagai kejahatan dengan alasan-alasan antara lain karena pada hakekatnya perjudian adalah bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan moral pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Ditinjau dari kepentingan nasional, dampak perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan juga menunjukkan, bahwa hasil perjudian yang diperoleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namun ekses negatifnya lebih besar daripada ekses positifnya.

Penjudian merupakan salah satu penyakit masyarakat yang manunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi ke generasi ternyata tidak mudah diberantas. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian perlu diusahakan agar masyarakat menjauhi melakukan perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya, dan terhindarnya ekses-ekses negatif yang lebih parah untuk akhirnya dapat berhenti melakukan perjudian.

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian perlu mengklasifikasikan segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagai kejahatan, dan memberatkan ancaman hukumannya, karena ancaman hukuman yang sekarang berlaku ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunya jera. Sehingga sangat tidak dapat diterima secara rasional bila kejahatan diperbolehkan berdasarkan izin. Lagi pula memberikan izin berarti sama

(9)

saja melegalkan judi, atau setidak-tidaknya izin dimaksud berdampak pada anggapan masyarakat kepada Pemerintah berfikir setengah-setangah (tidak serius) dalam memberantas judi oleh karena diperbolehkannya bila ada izin.

Bambang poernomo memberikan ukuran atas perbedaan kejahatan dan pelanggaran yaitu kejahatan adalah criminal onrecht dan pelanggaran adalah politie

onrecht. Criminal onrecht itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan

kepentingan hukum. Politie onrecht itu merupakan perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara. Ada pula kemungkinan pendapat lain yang memberikan arti criminal onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan atau membahayakan kepentingan hukum, sedangkan arti

politie onrecht sebagai perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan pada

peraturan penguasa atau negara.94

Kejahatan menurut Bambang poernomo merupakan pemerkosaan terhadap kepentingan hukum (krengkings delicten) seperti pembunuhan, pencurian dan sebagainya atau juga membahayakan suatu kepentingan hukum dalam pengertian yang konkrit (concrete gavaarzettingsdelicten). Sedangkan pelanggaran adalah hanya membahayakan kepentingan hukum dalam arti yang abstrak abstracte

fevaarzettingsdelicten).95

94

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 96-98.

95

(10)

Kejahatan dan pelanggaran itu dibedakan oleh Bambang poernomo karena sifat dan hakekatnya berbeda, seperti ukuran perbedaan yang telah diuraikan terdahulu, akan tetapi ada pula perbedaan kejahatan dan pelanggaran didasarkan atas ukuran pelanggaran dipandang dari sudut kriminologi tidak begitu berat dibanding dengan kejahatan. Perbedaan yang demikian itu disebut perbedaan secara kualitatif dan kuantitatif.96

Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, maknanya berarti sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. B. Simandjutak menyebut kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Van Bammelen menyebut kejahatan adalah setiap kelakuan yang bersifat tercela yang merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan menolak atas kelakuan itu. J. E. Sahetapy dan Mardjono Reksodipuro menyebut kejahatan dilekati sifat jahat.97

Sedangkan pelanggaran dalam buku III KUH Pidana juga merupakan tindak pidana tetapi ancaman sanksinya lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Jika seseorang melanggar atau tidak patuh terhadap ketentuan ini disebut dengan pelanggaran. Misalnya melanggar rambu-rambu lalu lintas, tidak tepat disebut

96

Ibid., hal. 98. 97

(11)

sebagai kejahatan rambu-rambu lalu lintas, karena tidak patuh terhadap rambu-rambu lalu lintas bukan sebagai kejahatan tetapi pelanggaran.

Pelanggaran hukum adalah perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai suatu delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan atau yang diharuskan oleh undang-undang. Contoh lain dari pelanggaran adalah jika seseorang tidak mau menolong orang yang membutuhkan pertolongan sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUH Pidana, maka ia disebut melakukan pelanggaran, bukan melakukan kejahatan.

KUH Pidana telah menentukan tindak pidana yang masuk dalam kelompok pelanggaran dalam buku III KUH Pidana yaitu pelanggaran tentang keamanan umum bagi orang dan barang serta kesehatan umum, pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran terhadap kekuasaan umum, pelanggaran terhadap kedudukan warga, pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong, pelanggaran terhadap kesopanan, pelanggaran tentang polisi daerah, pelanggaran dalam jabatan, pelanggaran dalam pelayaran.98

C. Pengaturan Hukum Pidana Tentang Larangan Terhadap Perjudian

Pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian dapat ditemukan dalam perundang-undangan yaitu dalam KUH Pidana, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, Peraturan Pemerintah Nomor 9

98

(12)

Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana)

Pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian berdasarkan Pasal 303 KUH Pidana menentukan sebagai berikut:

(1) Dengan penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah dihukum barang siapa dengan tidak berhak:

1e Menuntut pencaharian dengan jalan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi, atau sengaja turut campur dalam perusahaan main judi.

2e Sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi, atau sengaja turut campur dalam perusahaan untuk itu, biarpun ada atau tidak ada perjanjiannya atau caranya apa jugapun untuk memakai kesempatan itu.

(2) Kalau si tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya, dapat ia dipecat dari jabatannya itu.

(3) Yang dikatakan main judi yaitu tiap-tiap permainan, yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung pada untung-untungan saja, dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain. Yang juga terhitung masuk main judi ialah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala pertaruhan yang lain-lain.

Objek larangan dalam Pasal 303 KUH Pidana ini adalah permainan judi yang dalam bahasa asing disebut juga dengan hazardspel. Menurut R. Soesilo hazardspel diartikan adalah tiap-tiap permainan yang mendasarkan pengharapan untuk menang dan pada umumnya bergantung kepada untung-untungan saja, serta juga pengharapannya menjadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain.

(13)

Hazardspel ini juga diartikan sebagai pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau

permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain.99

Bentuk-bentuk permainan yang bisa disebut hazardspel menurut penafsiran R. Soesilo terhadap pasal ini adalah misalnya main dadu, main selikuren, main jemeh, kodok ulo, roulette, bakarat, kemping keles, kocok, keplek, tombola, dan juga

Perlu diketahui bahwa tidak semua permainan masuk ke dalam kategori judi (hazardspel), akan tetapi sesuai rumusan di dalam Pasal 303 ayat (3) KUH Pidana di atas menentukan bahwa yang diartikan hazardspel adalah setiap permainan yang mendasarkan pada pengharapan untuk menang dan bergantung pada untung-untungan, serta pengharapan membuat penghasilan, dan tidak perlu harus pintar dan terbiasa, dan termasuk membuat penghasilan menjadi berkurang atau rugi akibat permainan tersebut.

Permainan judi (hazardspel) juga termasuk pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lainnya yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain atau termasuk segala bentuk pertaruhan dalam bentuk lain-lain. Orang yang tidak ikut melakukan judi tetapi jika turut berada dan menyediakan kesempatan kepada orang lain untuk berbuat judi menurut ketentuan Pasal 303 ayat (1) huruf b KUH Pidana juga termasuk dalam pasal ini. Dengan kata lain tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara atau tidak, yang penting turut serta terlibat dalam menyediakan praktik perjudian tersebut.

99

(14)

termasuk pada pacuan kuda, pertandingan sepak bola, dan sebagainya. Sedangkan bentuk-bentuk yang tidak termasuk hazardspel antara lain adalah domino, bridge, ceki, koah, pei dan sebagainya, yang intinya dipergunakan untuk hiburan semata.100

Praktik judi dalam perkembangannya saat ini bervariasi dalam berbagai ragam bentuk dan jenisnya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Bentuk-bentuk permainan judi saat ini yang dilakukan beraneka ragam antara lain perjudian dadu, sabung ayam, permianan ketangkasan, tebak angka seperti toto gelap (togel), sampai penggunaan telepon genggam seperti judi melalui telepon seluler atau melalui intrenet, bahkan olah raga seperti sepak bola dan pertandingan lainnya sekalipun juga tidak ketinggalan dijadikan sebagai ajang perjudian.101

Menurut penjelasan Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana perbuatan yang mengadakan atau memberi kesempatan main judi sebagai pencarian termasuk dalam pasal ini. Misalnya seorang bandar atau orang lain yang dapat pula berupa perusahaan membuka perjudian. Orang yang turut campur dalam hal ini juga dihukum. Menurut Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana ini bila ditafsirkan lebih cermat maka dalam ini tidak perlu perjudian itu di tempat umum atau untuk umum. Meskipun perjudian itu dilakukan di tempat yang tertutup atau kalangan yang tertutup saja, sudah cukup menjadikannya sebagai orang yang turut melakukan judi menurut pasal ini, asal perjudian itu belum memperoleh izin dari pihak yang berwajib.102

100

Ibid. 101

Yulia Christy Shintara Aruan, Loc. cit. 102

(15)

Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana ini juga berlaku untuk perbuatan yang sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum. Dalam hal ini juga berlaku dalam hal jika pelaku tidak membuatnya sebagai pencarian, tetapi dilakukan di tempat umum, atau yang dapat dikunjungi oleh umum. Singkatnya apabila telah ada izin dari pihak yang berwajib, tidak dihukum, menurut Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana.103

Alasan demikian juga ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian yang menegaskan bahwa perjudian bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan moral pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Bahkan bila ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental

Berdasarkan penafsiran R. Soesilo terhadap rumusan Pasal 303 KUH Pidana ini berarti KUH Pidana sendiri masih memberikan kelonggaran kepada masyarakat untuk bisa melakukan praktik perjudian. Sebab ketentuan ini menentukan apabila ada izin dari aparat keamanan. Ketentuan syarat demikian bertentangan dengan norma-norma agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sekalipun judi dibolehkan dalam hal-hal tertentu karena tidak berhubungan langsung dengan kondisi ekonomi masyarakat kecil, namun dibolehkannya judi berdasarkan izin dari aparat akan terbentur pada bentuk pelanggaran terhadap norma-norma agama dan nilai-nilai dalam masyarakat.

103

(16)

masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan dari hasil perjudian yang diperoleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namun ekses negatifnya lebih besar daripada ekses positifnya.104

Penjelasan Pasal 303 ayat (3) KUH Pidana menjelaskan bahwa orang yang mengadakan main judi dihukum menurut pasal ini dan hukuman bagi orang-orang Berdasarkan norma-norma agama, tidak satupun agama yang membolehkan perbuatan judi oleh karena unsurnya didasarkan pada untung-untungan. Berdasarkan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kesopanan, kepatutan, dan beradab sangat bertentangan bilamana judi dilegalkan dengan memberi izin pada hal-hal tertentu. Seolah-olah judi dibedakan dengan tindak pidana lainnya karena dibolehkannya judi melalui izin. Dengan demikian penanganan judi di Indonesia tidak menimbulkan efek penjeraan bilamana ada pengecualian dalam hal ini.

Bukankah perbuatan judi telah disepakati sebagai kejahatan? Hal itu ditegaskan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, yang menyatakan: ”semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan”. Oleh karena itu dalam bentuk apapun dan dalam kondisi bagaimanapun, judi tetap sebagai kejahatan dan orang-orang yang terlibat didalamnya, baik langsung maupun tidak langsung termasuk sebagai penjahat. Tidak boleh ada pengecualian, sebagaimana dibolehkan bila ada izin yang dimuat dalam Pasal 303 KUH Pidana.

104

Paragraf III Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian.

(17)

yang ikut pada permainan itu dikenakan hukuman menurut Pasal 303 bis KUH Pidana. Pasal 303 bis KUH Pidana menentukan:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah):

a. Barang siapa menggunakan kesempatan main judi yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303.

b. Barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu.

(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah.

Penjelasan Pasal 303 bis KUH Pidana menentukan pada masa dulu seorang yang berasal dan berbentuk sebuah perusahaan membuka perjudian dicancam pidana dalam Pasal 303 bis KUH Pidana sedangkan orang-orang yang mempergunakan kesempatan main judi dalam hal ini melanggar Pasal 303 dikenakan Pasal 542 KUH Pidana. Kemudian setelah diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, maka Pasal 542 KUH Pidana tersebut diganti dengan Pasal 303 bis KUH Pidana.105

Ketentuan hukum pidana dalam Pasal 303 bis KUH Pidana juga menentukan pengecualian judi berdasarkan izin. Ketentuan demikian sekaligus sebagai kelemahan dalam regulasi judi. Sebab dengan adanya pengecualian ini menimbulkan efek kepada masyarakat untuk memperoleh kesempatan bermain judi bila ada izin dari pihak yang

105

Pasal 542 KUH Pidana menentukan: “Dengan Undang-Undang Penertiban Perjudian Tanggal 6 Novemver 1974 Nomor 7 pasal ini dihapuskan dan diganti dengan Pasal 303 bis KUH Pidana”.

(18)

berwajib. Sangat tidak dapat diterima secara rasional bila kejahatan diperbolehkan berdasarkan izin. Lagi pula memberikan izin berarti sama saja melegalkan judi, atau setidak-tidaknya izin dimaksud berdampak pada anggapan masyarakat kepada Pemerintah berfikir setengah-setangah (tidak serius) dalam memberantas judi oleh karena diperbolehkannya bila ada izin.

Kenyataan dewasa ini menunjukkan perjudian dengan segala macam bentuknya masih banyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan baik dalam KUH Pidana maupun dalam UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dengan segala perubahan dan tambahannya, tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, terutama mengenai pengecualian larangan perjudian dan termasuk ancaman pidana maupun denda. Sekali lagi ditegaskan bahwa sangat tidak dapat diterima secara rasional bila Pemerintah masih membuka izin bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan praktik judi.

Syarat-syarat agar hukum lebih efektif dalam penerapannya menurut CG. Howard dan RS. Mumner, antara lain:106

a. Undang-undang harus dirancang baik.

b. Undang-undang seyogianya bersifat melarang bukan mengatur.

c. Sanksi yang dicantumkan harus sepadan dengan sifat-sifat undang-undang yang dilanggar.

d. Berat sanksi yang diancamkan kepada si pelanggar tidak boleh keterlaluan. e. Kemungkinan untuk mengamati dan menyelidiki atau menyidik perbuatan

yang dilanggar undang-undang harus ada.

f. Hukum yang mengandung larangan-larangan moral akan lebih efektif dari pada hukum yang tidak selaras dengan kaidah moral, atau yang netral.

106

Soetandyo Wignyosoebroto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Hukum

Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Sarana Kontrol Sosial, terjemahan dari C.G. Howard dan

(19)

g. Mereka yang bekerja sebagai pelaksana-pelaksana hukum harus menunaikan tugasnya dengan baik.

Syarat-syarat dari segi perumusan unsur dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan harus dirumuskan secara jelas dan terinci mengatur dan memberi sanksi agar tidak menimbulkan keraguan dalam penerapannya agar tercipta suatu keadilan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berperkara.107 Sebagaimana Lawrence Milton Friedman juga telah menegaskan tiga elemen dalam sistem hukum yang sangat menentukan penegakan hukum yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Khusus untuk substansi hukum menurutnya adalah mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.108

Ancaman pidana maupun denda dalam Pasal 303 KUH Pidana pada masa dulu adalah ditentukan selama-lamanya (maksimal) 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya (maksimal) Rp.90.000,- (sembilan puluh ribu

Berdasarkan segi ancaman pidana mapun denda dalam Pasal 303 KUH Pidana juga masih mengandung kelemehan secara substantif. Ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 303 KUH Pidana mengandung kelemahan dari sisi pidana denda karena masih tergolong sangat rendah yaitu Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).

107

Sugeng Tiyarto, Op. Cit., hal. 82-83. 108

(20)

rupiah), yang diubah menjadi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian.109

109

Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) KUH Pidana dari hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.

Namun ancaman pidana denda ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan dampak dari judi itu sendiri. Seharusnya untuk dapat memberikan efek penjeraan kepada pelaku, undang-undang harus menentukan pidana denda harus lebih besar daripada pidana penjara, hingga dapat memaksa masyarakat agar tidak mau melakukan judi karena denda yang ditentukan itu di luar daripada kemampuannya.

Ancaman pidana penjara maksimal masih dapat dijalani oleh narapidana judi selama di penjara, namun bila dikenakan kepadanya ancaman pidana denda di luar kemampuannya dan ditentukan dalam undang-undang dapat memberikan efek jera kepada pelaku. Hal ini didasarkan pada logika berfikir untuk mengadopsi dari prinsip

debt collection yang dikenal dalam hukum kepailitan. Manifestasi penerapan debt collection kepada para pelaku judi adalah membereskan harta atau aset para pelaku

untuk didirampas oleh negara. Sehingga dengan demikian akan menimbulkan efek penjeraan kepada para pelaku judi. Bukan tidak mungkin undang-undang dapat mengatur perampasan aset terhadap para pelaku judi sebagai salah satu upaya untuk memberikan efek penjeraan kepada para pelaku.

(21)

Ancaman pidana penjara dan denda juga tidak sebanding dengan dampak dari judi itu sendiri sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 303 bis KUH Pidana adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Sebelumnya berdasarkan Pasal 542 ayat (1) KUH Pidana diancam dengan kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).110

Sistem sanksi yang terdapat dalam KUH Pidana mengenal sistem tunggal dimana terhadap suatu kejahatan judi hanya bisa dijatuhkan satu hukuman pokok saja, tidak ada sanksi pidana tambahan untuk delik perjudian. Pada prinsipnya undang-undang membedakan 2 (dua) macam hukuman (pidana) yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Terhadap satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu pidana pokok yang bisa dikumulasikan dengan pidana tambahan.

Ini juga masih tergolong rendah untuk memberikan efek penjeraan kepada para pelaku judi. Analisisnya sama dengan ketentuan Pasal 303 KUH Pidana di atas.

111

Perumusan jenis sanksi pidana terhadap tindak pidana perjudian hanya menggunakan pidana penjara atau pidana denda. Artinya denda yang diancamkan dalam perumusan delik judi adalah suatu jumlah denda tertentu. Perumusan bentuk sanksi pidana terhadap tindak pidana perjudian juga bersifat alternatif. Dalam

110

Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) KUH Pidana dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.

111

(22)

penerapannya jenis pidana denda jarang sekali dikenakan terhadap si pembuat, melainkan berupa pidana penjara.112

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, sifatnya hanya mengubah dan melengkapi ketentuan di dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal 303 bis KUH Pidana. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian ini hanya terdiri dari 5 (lima) pasal.

Pasal 1 UU Nomor 7 Tahun 1974 ini menentukan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Pasal 2 merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) KUH Pidana, dari hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah. Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1974 juga merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) KUH Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.

112

(23)

Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1974 juga merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (2) KUH Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah. Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis.

Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 1974 menentukan pemerintah mengatur penertiban perjudian harus sesuai dengan jiwa dan maksud undang-undang ini yang diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 4 UU Nomor 7 Tahun 1974 menentukan bahwa terhitung mulai berlakunya peraturan perundang-undangan dalam rangka penertiban perjudian dimaksud pada Pasal 3 Undang-undang ini, mencabut Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230) sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526). Pasal 5 UU Nomor 7 Tahun 1974 menentukan tentang aturan peralihan.

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian tersebut di atas mengubah, mengganti, dan menambah ketentuan dalam Pasal 303 KUH Pidana junto Pasal 303 bis KUH Pidana, yang pada intinya masih banyak mengandung kelemahan antara lain: diaturnya pengecualian membuka praktik judi, ancaman pidana maupun pidana denda masih rendah sehingga tidak mampu memberikan efek penjeraan kepada para pelaku judi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

(24)

Pengecualian pemberian izin tersebut setelah Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian akhirnya dihapuskan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 ini hanya terdiri dari 4 (empat) pasal.113

Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal 303 bis KUH Pidana bila dibandingkan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, terdapat rumusan yang tidak kuat untuk menjerat pelaku yang memperoleh izin perjudian, karena larangannya dimuat dalam peraturan pemerintah dan tidak mempunyai sanksi hukum.114

Sesuai Pasal 303 KUH Pidana yang diubah dalam Pasal 303 bis KUH Pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian

113

Pasal 1 menentukan:

(1) Pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain.

(2) Izin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Maret 1981.

Pasal 2 menentukan: Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3040), dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi semua peraturan perundang-undangan tentang Perjudian yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 3 menentukan: Hal-hal yang berhubungan dengan larangan pemberian izin penyelenggaraan perjudian yang belum diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini akan diatur tersendiri. Pasal 4 menentukan: Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

114

(25)

masih terdapat ketentuan yang menentukan dibolehkannya izin untuk membuka praktik judi, padahal munculnya Pasal 303 bis KUH Pidana sebagai wujud dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian sementara tujuan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 adalah untuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian.

Izin untuk membuka praktik judi berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 dengan sangat tegas menentukan larangan terhadap pemberian izin untuk penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun dengan alasan-alasan lain, dan izin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Maret 1981, namun sangat disayangkan PP ini tidak mengandung sanksi pidana maupun denda bagi orang atau korporasi yang memperoleh izin praktik judi.115

115

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hal. 51.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan Pasal 303, Pasal 303 bis KUH Pidana justru masih mengakui dilegalkannya pemberian izin praktik judi. Ketentuan yang mengecualikan dalam KUH Pidana demikian itu dapat menimbulkan polemik dalam ranah penegakan hukum karena tidak mengandung ancaman pidana maupun denda bagi orang ataupun korporasi yang memperoleh izin membuka praktik perjudian.

(26)

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Sebagai bahan perbandingan antara KUH Pidana (lex generalis) dengan undang-undang lainnya adalah ketentuan lex spesialis dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE). Perbuatan yang dilarang berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUITE salah satunya adalah perbuatan judi. Pasal 27 ayat (2) UUITE menentukan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUITE tersebut di atas terdapat rumusan unsur subjekti dan objektif116

a. Setiap orang (unsur subjektif);

tindak pidana perjudian yaitu:

b. Dengan sengaja dan tanpa hak (unsur subjektif);

c. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian (unsur objektif).

Unsur subjektif “setiap orang” dalam Pasal 27 ayat (2) UUITE tersebut berarti hanya berupa orang saja, akan tetapi sesuai Pasal 52 ayat (4) UUITE, perbuatan demikian berlaku pula kepada korporasi (badan hukum maupun non badan

116

(27)

hukum).117 Unsur subjektif menyangkut diri si pelaku sedangkan unsur objektif menyangkut perbuatan si pelaku.118

UUITE berbeda dengan KUH Pidana yang sekarang ini masih berorientasi kepada subyek tindak pidana berupa orang dan bukan korporasi.

Unsur objektif dari ketentuan di atas mengandung sepihak saja karena dalam rumusan unsur “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian”, tidak terdapat unsur orang yang turut bermain judi atau terlibat bermain judi.

119

Termasuk subjek yang dilarang sesuai Pasal 34 ayat (1) huruf a UUITE adalah setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau Ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUITE tersebut hanya menyangkut perbuatan yang dilarang bagi orang atau korporasi yang menyediakan sarana maupun parasarana bermain judi, sedangkan bagi orang yang bermain atau turut melakukan permainan judi tidak tercakup dalam pasal ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUITE hanya melarang perbuatan setiap orang atau korporasi yang menyediakan sarana dan prasarana bermain bermain judi, sedangkan orang yang mengakses permainan judi tidak diatur dalam UUITE.

117

Pasal 52 ayat (4) UUITE menentukan: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga”.

118

Moeljatno, Op. cit., hal. 61-62. 119

(28)

secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.

Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) huruf a UUITE ini mempertegas bahwa subjek yang dilarang dalam UUITE adalah orang atau korporasi yang menyediakan sarana maupun prasarana saja, dan tidak termasuk bagi orang yang turut melakukan permainan judi atau orang yang mengakses permainan judi tersebut. Berdasarkan Pasal 52 ayat (4) UUITE semakin mempertegas pula bahwa bila perbuatan dalam Pasal 27 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga, berarti pidana pokok berupa pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun bisa bertambah menjadi 12 (dua belas) tahun, sedangkan pidana denda dari Rp.1.000.000.000, (satu miliar rupiah) bisa menjadi Rp.2.330.000.000,- (dua milyar tiga ratus tiga puluh juta rupiah).

Analisis di atas sekaligus menunjukkan kelemahan pengaturan tentang larangan perjudian dalam UUITE yaitu tidak mengatur larangan bagi setiap orang yang turut bermain judi atau setiap orang yang mengakses permainan judi sekalipun pidana denda bagi korporasi ditentukan cukup besar. Dari segi ancaman pidana denda sesuai Pasal 45 ayat (1) UUITE sudah memenuhi syarat untuk memberikan efek penjeraan kepada pelaku. Pasal 45 ayat (1) UUITE menentukan: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

(29)

Selanjutnya adalah mengenai ketentuan ancaman pidana dan denda. Mengenai ketentuan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 ayat (1) UUITE sangat berbeda dengan ancaman pidana yang ditentukan dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal 303 bis KUH Pidana. Perbedaan itu terlihat dari jumlah ancaman pidana penjara dan pidana denda. Ketentuan ancaman pidana yang menjadi sorotan dalam pasal ini adalah mengenai pidana denda. Pidana denda dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal 303 bis KUH Pidana lebih rendah daripada pidana denda di Pasal 45 ayat (1) UUITE. Pasal 303 KUH Pidana menentukan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) terhadap barang siapa tanpa mendapat izin melakukan perjudian. Kemudian dalam Pasal 303 bis KUH Pidana menentukan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Sedangkan Pasal 45 ayat (1) UUITE menentukan ancaman pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa pidana denda sangat efektif memberikan efek penjeraan kepada para pelaku atau setidak-tidaknya dengan pidana denda dapat mengembalikan dan memperbaiki kerusakan ke arah yang lebih baik dan lebih bermanfaat dalam rangka merampas aset-aset hasil kejahatan daripada memenjarakan fisik/badan pelaku.

Sangat disayangkan bahwa ketentuan ancaman pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tersebut hanya berlaku bagi setiap orang dan/atau korporasi yang menyediakan sarana maupun prasarana perjudian, UUITE

(30)

tidak mencakup bagi setiap orang yang turut bermain judi dan/atau mengakses permainan judi melalui internet. Konsekuensi dari ketentuan ini bagi orang yang turut bermain judi secara online berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUITE junto Pasal 45 ayat (1) UUITE bisa bebas dari jeratan hukum oleh karena undang-undang tidak mengatur demikian.

Referensi

Dokumen terkait

Isi surat rujukan Puskesmas Batealit terdiri atas kop surat, nomor surat, perihal, tempat dan tanggal penulisan surat, tempat rujukan yang dituju, identitas pasien (nama,

Vertebrae thoraks bagian dorsal ular buhu kanan ular pucuk kiri pengamatan metode rebus dengan kamera digital……….. Vertebrae thoraks ventral ular buhu bagian kanan ular pucuk

6DPSDK \DQJ GLKDVLONDQ ROHK DNWLILWDV PDQXVLD EDLN \DQJ EHUDVDO GDUL OLPEDK LQGXVWUL PDXSXQ OLPEDK UXPDK WDQJJD GLEXDQJ GDQ WHUNXPSXO GL VDWX ZLOD\DK WHUWHQWX \DQJ ELDVD GLVHEXW

SimNasKBA-2011 , bahwa dengan segala keterbatasan tersebut Insha Allah dapat melaksanakan SimNasKBA ini dengan sukses, yang tentu saja semua itu atas bantuan Panitia SimNasKBA dari

bagi anggota Polri tersebut ditegaskan dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 yang substansinya, penyidikan terhadap anggota Polri yang melakukan

Fenomena yang terjadi berkaitan dengan stress kerja diantaranya adalah jumlah pasien yang meningkat, ini tidak sebanding dengan jumlah kamar yang ada, kurangnya

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ilyas (2006), ekstrak buah mengkudu terhadap jamur Candida albicans dengan berbagai macam konsentrasi didapatkan bahwa ekstrak