• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO

SKRIPSI

Oleh:

Ratih Pramuningrum

99320016

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

JOGJAKARTA

(2)

PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN ANAK Kl TOARJO

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakulta* Psikoiopi time^tas Islam Indonesia untuk

menempuh sebagian dan svaravsvarai guna memp-roleh derajat

Sarjiuui S~i Psikoiogi.

Oleh;

Ratih Fraii)iiniusrum

('9J20CI6

FAKl LTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YGGYAKARTA

(3)

Dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Psikologi llniversitas Islam Indonesia

Diterima Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat Guna Memperoleh

Derajat Sarjana SI Psikologi

Pada Tanggfil

] o feb ::c4

Dewan Penguji:

1. Hadi Sutarmanto, Drs., MS

2. Hj. Ratna Syifa'a R, S, Psi., M. Si

3. Irwan Nuryana K, S. Psi

ii

Meagesahkan

Fakultas Psikologi

Univer^ites Islam Indonesia

f *

(4)

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk:

v» Allah SWT,atas rahmat dan karunia-Nya

v- Rasul dan para Nabiku

v Ayahanda Sudaryoto,ST dan Ibunda Sri Sunarti atas kasih sayang, Cinta

dan do'anya yang tiada akhir

v° I would like to thank the person who gave me "a big support" in this

work...and for the time....Dwi...."thank's for everything..."

(5)

"Sesungguhnya Allah tidak melihat atau menilai rupa hartamu,

tetapi menilaikepada hatidan karyamu."

(HR. Muslim dan Abu Hurairah)

'Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan" (Alam Nasyrah:6)

(6)

Assalamu 'alaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya, yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan dan

tefah memfimpahkan sebagian rizk.-Nya sehingga dapat diselesaikannya skripsi

ini, guna memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana Psikologi pada Fakultas

Psikologi llniversitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya

skripsi yang bcrjudul "Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya Dengan

Perilaku Delinkuen Pada Remaja Di Penjara Anak-anak Kutoarjo" ini, ucapan

terima kasih terutama kepada:

Bapak Hadi Sutarmanto, selaku dosen pembimbing utama skripsi yang

telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama penyusunan

skripsi ini.

Bapak Irwan Nuryana K, S.Psi, selaku dosen pembantu pembimbing

skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, kntik dan saran

selama penyusunan skripsi ini.

Bapak Sus Budiharto S.Psi, Psikolog, selaku dosen pembimbing akademik

yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama studi S-l di

Fakultas Psikologi' [Jniversitas Islam Indonesia.

Seluruh staf pengajar dan karyawan di hngkungan Fakultas Psikolog,

Universitas Islam Indonesia atas bantuan yang telah diberikan kepada nenulis

selama menyelesaikan studi S-l di Fakultas Psikologi [Jniversitas Islam

Indonesia.

Bapak Drs Imam Darmono Bc.Ip.SIP selaku pimpinan LAPAS Anak-anak

Kutoarjo, Jawa Tengah Yang telah memberikan ijin untuk pengambilan data.

Bapak Suwardi selaku PJS KA LAPAS anak Kutoarjo Jawa Tengah yang

(7)

Anak-anak Kutoarjo.

Bapak dan Ibu yang telah banyak memberikan dorongan dan kasih sayang

kepada penulis selama menyelesaikan studi S-1.

Kakakku Pranowo, terima kasih atas do'a dan motivasinya selama ini.

Mas Oestam, dik Mung dan keluarga Bayat, Klaten, yang telah banyak

memberikan bantuan, masukan-masukan dan dorongan kepada penulis selama

menyusun skripsi ini.

Teman-temanku di Fakultas Psikologi (Jniversitas Islam Indonesia, Hesti,

Kiky, Okky, Tiwi dan semua teman-temanku di Fakultas Psikologi UII,

khususnya angkatan '99.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besamya

kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis

selama penyusunan skripsi ini.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Jogjakarta, 11 Februari 2004

Penulis

(8)

HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN u

HALAMAN PERSEMBAHAN

MOTTO iv KATA PENGANTAR. v DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL.... x BAB IPENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah B. TujuanPenelitian... o C. Manfaat Penelitian D. Keaslian Penelitian

BABIITINJAUANPUSTAKA

I0

A. Perilaku Delinkuen

1. Pengertian Perilaku Delinkuen

10

2. Aspek Perilaku Delinkuen

13

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Delinkuen

17

B. Konformitas Teman Sebaya

24

1. Pengertian Konformitas Teman Sebaya

24

2. Aspek-Aspek Konformitas Teman Sebaya

27

C. Remaja

27

'. Pengertian Remaja

27

2. Ciri (/mum pada Remaja

30

D. Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya Dengan Perilaku

Delinkuen Pada Remaja Di Pcnjara Anak-Anak Kutoarjo

32

E. Hipotesis

(9)

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

36

C. Subjek Penelitian ,_

D. Metode Dan Alat Pengumpulan Data

37

1. Skala Perilaku Delinkuen

38

2. Skala Konformitas Teman Sebaya

40

E. Validitas Dan Reliabilitas

42

F. Metode Analisis Data

BAB IV PELAKSAAAN DAN HASIL PENELITIAN

44

44

A. Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah Penelitian

44

2. Perijinan Penelitian

47

3. Periapan Alat Ukur Penelitian

47

a. Skala Perilaku Delinkuen

48

b. Skala Konformitas Teman Sebaya

48

B. Pelaksanaan Penelitian

49

C. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Subjek Penelitian

50

2. Deskripsi Dala Penelitian

50

3. Hasil LJji Asumsi

53

a. Uji Normalitas

53

b. l/ji Liniearitas

3. Hasil Uji Hipotesis

54

D. Pembahasan 54 BAB V PENUTUP 58 A. Kesimpulan 58 B. Saran 58 VIII

(10)
(11)

Tabel I

Daftar Sebaran Aitem Skala Perilaku Delinkuen Sebelum Uji Coba

39

Tabel B

Daftar Sebaran Aitem Skala Konformitas Sebelum Uji Coba

41

Tabel III

Daftar Penghuni LAPAS Anak Kutoarjo Berdasar Golongan

Per Oktober 2003

Tabel IV

Daftar Penghuni LAPAS Anak Kutoarjo Berdasar Status Tahanan

Per Oktober 2003

45

46 Tabel V

Daftar Sebaran Aitem Skala Perilaku Delinkuen Setelah Uji Coba

48

Tabel VI

Daftar Sebaran Aitem Skala Konformitas Teman Sebaya Setelah Uji Coba... 49

Tabel VII

Deskripsi Subyek Penelitian

Tabel VIH

Deskripsi Data Penelitian

Tabel IX

Kategori Skala Perilaku Delinkuen.

50

51

(12)

Tabel XI

Hasil Uji Asumsi Normalitas

XI

(13)

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam sejarah kehidupan perkembangan manusia, manusia

berkembang melalui beberapa tahapan perkembangan dan tahap perkembangan

sebelumnya akan berpengaruh terhadap perkembangan berikutnya. Remaja

merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Masa depan bangsa dan

negara adalah terletak di pundak dan tanggung jawab mereka. Remaja mempunyai

potensi dan banyak kesempatan untuk menjadi pribadi yang lebih berguna bagi

keluarga, lingkungan maupun bangsa dan negara. Perkembangan remaja akan

menentukan apakah remaja tersebut menjadi remaja yang ideal atau menjadi

remaja yang tidak diinginkan oleh lingkungan. Jika mereka berkembang dengan

peningkatan kualitas yang baik, besar harapan kebaikan dan kebahagiaan bangsa

dapat diharapkan. Namun jika terjadi sebaliknya maka keadaan yang

membahayakan negara akan timbul, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang

akan menjadikan rakyat sengsara (Basri, 1995).

Beberapa tahun terakhir ini berita di media massa berisi perilaku

kejahatan dalam kuantitas dan kualitas yang semakin meningkat. Selain itu juga

terungkap semakin banyaknya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak-anak

remaja seperti perkelahian, penyerangan, pemerkosaan, perampasan dan

perampokan, pemakaian obat terlarang hingga ke pembunuhan. Istilah kenakalan

remaja sudah tidak lagi sekedar perilaku iseng semata, tetapi mengalami

peningkatan bobot dilihat dari keberanian mengambil resikonya. Sorotan tajam

(14)

dan kekhawatiran masyarakat atas perilaku sebagaimana remaja yang telah

menyimpang dari norma hukum dan norma sosial. Perhatian yang begitu besar

dari berbagai kalangan tidak lain disebabkan oleh kesadaran akan pentingnya

remaja sebagai penerus generasi tua untuk mempertahankan eksistensi bangsa di

masa depan (Basri, 1995).

Remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak yang

penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab.

Kehidupan remaja penuh dengan problema, seperti kekecewaan, penderitaan,

meningkatnya konflik, pertentangan-pertentangan, krisis penyesuaian, impian dan

khayalan, pacaran dan keterasingan dan kehidupan orang dewasa serta norma

kebudayaan (Gunarsa, 1983). Upaya memahami remaja bukan berdasar atas

pemikiran-pemikiran yang berat sebelah, namun diupayakan juga cara

pemecahannya.

Masa remaja identik dengan masa kritis, masa transisi dan merupakan

masa pencarian identitas din yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan dalam

berbagai aspek, terutama yang berkaitan dengan aspek fisiologis, yaitu

pertumbuhan fisik yang sudah menyamai bentuk fisik orang dewasa,

berkembangnya fungsi seksual dan aspek psikologis, seperti aspek emosi,

intelektual, perkembangan sosial dan mental. Perubahan-perubahan yang dialam,

oleh remaja akan sangat mempengaruhi perilaku-penlaku remaja selanjutnya

(Poerwanti &Widodo, 2002). Perkembangan sosial remaja (erjad. dua macam

(15)

proses mencari identitas diri. Di sisi lain diketahui bahwa remaja mempunyai

serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalaninya. Salah satu tugas

perkembangan tersebut adalah menerima hubungan dengan lingkungan sosial

yang lebih luas. Remaja dalam perkembangannya harus dapat mencapai pola

hubungan baru yang lebih matang dengan kelompok sebaya, baik yang sejems

maupun yang berlainan jenis, sesuai dengan etika moral masyarakat dan

bertanggung jawab sebagai pedoman perilaku dan mengembangkan ideologi

mereka.

Melalui kehidupan dengan kelompok sebaya, remaja belajar bagaimana

berinteraksi dengan kelompok sebayanya, mengontrol tingkah laku sosialnya,

mengembangkan kemampuan dan mmat, serta mendapatkan dukungan sosial yang

berbeda dengan yang mereka dapatkan dari lingkungan keluarganya. Penlaku

seragam merupakan suatu perubahan atau penyesuaian persepsi, keyakinan dan

perilaku terhadap kelompok karena adanya tuntutan maupun tekanan yang

sifatnya imajinatif atau nyata. Tekanan-tekanan dalam kelompok yang

mengakibatkan konformitas ini mcmainkan peran yang sangat penting dalam

keputusan seseorang untuk melakukan sesuatu yang sifatnya " terpaksa ", karena

jika tidak melakukannya seseorang akan dikeluarkan dari kelompoknya.

Terbentuknya sistem nilai, sikap, perilaku dan kebiasaan baru banyak dipengaruh,

oleh kelompok sebaya ini, sehingga pemilihan kelompok sebaya yang tepat akan

menjadi pendorong dan sumber kematangan kepribadian remaja. Sebaliknya, akan

(16)

lingkungan sosial yang normal. Kelompok ini kurang mampu mengenal

norma-norma sosial yang ada, sehingga menimbulkan perilaku-perilaku yang kurang atau

bahkan tidak sesuai dengan norma, seperti tindak kriminal atau kejahatan yang

akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat (Poerwanti &Widodo, 2002).

LAPAS khusus anak yang terletak di Kabupaten Kutoarjo Propinsi Jawa

Tengah dihuni oleh 58 orang anak dan remaja berusia antara 13 sampai 23 tahun,

terdiri dari 58 orang laki-Iaki. Penjara ini merupakan salah satu tempat khusus

bagi anak-anak dan remaja delinkuen yang dijatuhi pidana menurut putusan hakim

dan telah memiliki kekuatan tetap, yaitu anak dan remaja yang melakukan

tindakan menyimpang dan melangar peraturan atau norma, baik norma sosial,

agama maupun hukum. Tingkah laku yang ditunjukkan lebih pada perilaku

delinkuen dengan bercirikhaskan cenderung merusak, melanggar

peraturan-peraturan dan menyerang. Lingkup bidang-bidang yang dilanggar meliputi hak

milik (mencuri dan merusak hak milik orang lain), bidang seks dan hubungan

dengan orang lain (menyerang dengan tiba-tiba dan berkelahi) dan

penyalahgunaan narkotika (Kartono, 2002).

Menurut keterangan dari beberapa pengunjung yang pernah berkunjung

ke penjara tersebut, para penghuni LAPAS berperilaku delinkuen dikarenakan

adanya impulsifitas (dorongan dasar dari dalam diri) dan sikap konformitas (sikap

ingin sama dengan kelompoknya). Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia

tempat para remaja dapat melakukan sosialisasi dalam suasana di mana nilai-nilai

(17)

remaja dalam kelompok tersebut. Berdasarkan alasan tersebut dapat disimpulkan

bahwa kepentingan vital masa remaja bagi remaja adalah kelompok sebaya yang

terdiri dari anggota kelompoknya atau teman-teman yang dapat menerimanya.

Orang seringkali mempelajari sikap dan perilaku orang yang menjadi

model. Proses perilaku ini terjadi melalui observasi biasa terhadap model tersebut

(Sears, Freedman & Peplau, 1994). Begitu juga dengan perilaku delinkuen,

seorang anak berusia tiga belas tahun dapat belajar bagaimana melakukan

pencabulan pada anak tetangganya yang berusia dibawahnya dengan meniru

bagaimana adegan "syur" yang ditontonnya dari sebuah VCD Blue yang

dipinjamnya dari sebuah rental VCD. Selain itu juga ada dua anak kelas enam SD

tega memperkosa anak tetangganya yang masih berusia balita. Berbeda dengan

sekelompok (empat orang) anak yang berusia sepuluh sampai lima belas tahun

tega membunuh secara beramai-ramai seorang penjaga malam di sebuah

peternakan yang hanya disebabkan karena mereka diketahui mencun (Patroli

Indosiar, 2003).

Peneliti juga mewawancarai salah seorang remaja penghuni LAPAS yang

mengatakan bahwa awalnya remaja tersebut hanya sering berkumpul dengan

teman-temannya, pergaulannya dengan teman sebaya dimulainya dengan merokok

dengan teman-temannya karena ditawari rokok. Semakin tinggi intensitas bersama

dengan kelompoknya maka remaja tersebut mempunyai rasa persatuan yang

tmggi, yaitu apabila satu senang semua ikut senang dan satu susah semua ikut

(18)

melakukan aksi pencurian agar bisa mendapatkan uang.

Tingginya intensitas remaja berada di luar rumah bersama dengan

teman-teman sebaya sebagai kelompok dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman-teman-teman

pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada

pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila

mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok

yang populer, maka kesempatan untuk diterima oleh kelompoknya lebih besar.

Begitu juga apabila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obat

terlarang atau merokok dan mencuri, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa

memperdulikan akibatnya pada mereka sendiri ( Hurlock 1990).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengungkap tentang adanya

sikap ingin selalu sama terhadap kelompoknya atau disebut konformitas dengan

perilaku delinkuen yang dilakukan oleh penghuni LAPAS anak di Kutoarjo,

karena usia mereka tergolong ke dalam usia masa transisi menuju remaja dan

identik dengan pencarian jati diri terutama bersama teman-temannya. Sehingga

peneliti mempunyai pertanyaan " adakah hubungan antara konformitas dengan

perilaku delinkuen yang dilakukan oleh penghuni LAPAS anak di Kutoarjo"

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara

konformitas teman sebaya dengan perilaku delikuen pada remaja di LAPAS anak

(19)

Manfaat praktis, untuk memberikan informasi dan pengetahuan pada

masyarakat, para orang tua dan pendidik mengenai hubungan antara konformitas

teman sebaya dengan perilaku delinkuen pada remaja, khususnya pada remaja di

LAPAS anak di Kutoarjo.

Manfaat teoritis, penelitian ini merupakan bentuk sumbangan pengetahuan

pada ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan psikologi sosial.

D. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan perilaku

delinkuen sebagai variabel tergantung. Variabel bebas yang pernah dijadikan

prediktor perilaku delinkuen adalah :

a. Dorongan mencari sensasi dan persepsi terhadap tersedianya dukungan teman

sebaya (Ediati, 1997).

Penelitian tersebut mengunakan sampel subjek siswa sebuah SMU di

Yogyakarta. Dengan hasil penelitian, ada korelasi positifyang signifikan antara

dorongan sensasi dan persepsi terhadap tersedianya dukungan teman sebaya

dengan kecenderungan berperilaku delinkuen. Skala yang digunakan adalah

skala yang berkaitan dengan skala kecenderungan berperilaku delinkuen dari

teori Hurlock dan teori Jersen.

b. Kontrol diri (Elfida, 1995). Penelitian yang digunakan adalah berfokus pada

bagaimana kecenderungan perilaku delinkuen. Subjek bisa saja bclum pernah

(20)

SMU di Yogyakarta. Hasil penelitiannya adalah ada korelasi negatif yang

signifikan antara kemampuan mengontrol diri dan kecenderungan berperilaku

delinkuen pada remaja. Alat tes yang digunakan berkait dengan perilaku

delinkuen adalah skala kecenderungan berperilaku delinkuen dari teori Hurlock

dan Jensen,

c. Ciri sifat kepribadian (Tri Novita, 1990) dengan sampel dan siswa sebuah

SMU di Yogyakarta. Alat ukur yang dipakai yaitu alat ukur yang mengungkap

ciri sifat kepribadian dari 16 PF. Dengan hasil yang diperoleh ada perbedaan

profil remaja delinkuen yang ciri sifat lebih tinggi daripada remaja non

delinkuen; ciri sifat intellengency dominance conformity, radicalism dan self

discipline yang lebih tinggi daripada delinkuen faktor H; tidak ada perbedaan

ciri sifat emotional-stability (faktor C), impulsifity (faktor F), sensitivity (faktor

I), suspiciousness (faktor L), imajination (faktor M), shrewdness (faktor N),

insecurity (faktor O), selfsufficiency (Q2) dan lention (Q4).

d. Orientasi religiusitas dan jenis kelamin (Kurniawan, 1997), dengan

menggunakan sampel siswa sebuah SMU kelas II di Tasikmalaya. Hasil

penelitian yang telah dilakukan diperoleh ada hubungan negatif antara orientasi

religius dengan kecederungan berperilaku delinkuen pada remaja. Alat ukur

yang dipakai skala kecederungan perilaku delinkuen yang merupakan skala

hasil adaptasi dari skala Elfida (1995).

e. Konformitas pada anak jalanan (Lidya Indrawati, 2001) dengan menggunakan

sampel para anak jalanan di Yogyakarta. hasil yang diperoleh ada hubungan

positif antara konformitas dengan perilaku delinkuen pada anak jalanan. Skala

(21)

Jensen dan skala konformitas dari Deutch dan Gerard.

Penelitian yang berkaitan dengan anak atau remaja penghuni LAPAS

jarang sekali ditemukan. Dalam hal ini peneliti hanya mendapatkan satu penelitian

kualitatif eksploratif dalam hubungannya dengan fanomena perilaku seksual

(Setyaningsih, 2000). Berdasarkan beberapa penelitian yang erat kaitannya

dengan perilaku delinkuen di atas dapat disimpulkan pada penelitian terdahulu

pada umumnya mengunakan sampel dari anak-anak atau remaja yang dulu duduk

di bangku sekolah, khususnya SMU, SMK, ataupun sekolah-sekolah sederajat

lainnya. Penelitian yang berfokus pada anak dan remaja penghuni LAPAS yang

mungkin sebagian ada yang bersekolah dan ada yang tidak, bahkan ada yang tidak

pernah sama sekali bersekolah, dan karakteristik merekapun berbeda dengan

siswa-siswa SMU atau sekolah sederajat lainnya.

Penelitian yang dilakukan dalam kaitannya dengan konformitas teman

sebaya terhadap perilaku delinkuen pada remaja di LAPAS anak Kutoarjo juga

(22)

A. Perilaku Delinkuen

1. Pengertian Perilaku Delinkuen

Banyak pengertian dapat diberikan pada istilah kenakalan remaja

tergantung pada sudut pandang pemahamannya.

Kenakalan remaja adalah perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh

mereka yang berusia kurang lebih 18 tahun dan bila dilakukan oleh orang

dewasa akan dikenakan pidana (Kartono, 2002). Simanjuntak (Respati, 1995)

menyatakan bahwa kenakalan remaja adalah perbuatan anti sosial yang

dilakukan oleh anak-anak remaja dan bilamana dilakukan oleh orang dewasa

dikualifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

Menurut Kartono (2002) perilaku delinkuen adalah perilaku jahat atau

dursila, atau kejahatan /kenakalan anak-anak muda. Perilaku delinkuen

merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja

yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Anak-anak muda

yang delinkuen atau jahat itu disebut puia sebagai anak cacat secara sosial.

Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di

tengah masyarakat.

(23)

Secara hukum, Sudarsono (1995) menyatakan kenakalan remaja

memiliki arti luas yaitu perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan

dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang terdapat dalam KUHP

(pidanaumum) maupun perundang-undangan di luar KUHP (pidana khusus). Simanjuntak (Respati, 1995), berkaitan dengan hukum menyatakan bahwajuvenile deliquency berarti perbuatan perkosaan terhadap norma hukum

pidana dan pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para "JDn I

disebut juga offenders terdiri dari anak berumur di bawah 21 tahun yang

termasuk yurisdiksi pengadilan anak. Pengertian delinkuensi dibatasi pada

perbuatan kenakalan yang dikhawatirkan akan mengakibatkan si anak nantinya

mempunyai kecenderungan yang mendalam untuk berbuat tindak pidana. Suatu

perbuatan disebut delinkuen jika dilakukan oleh anak-anak tetapi jika

perbuatan itu dilakukan orang dewasa disebut kejahatan. Pengertian yang sama yaitu jika perbuatan itu secara normatif tidak pantas dilakukan anak/remaja

maka disebut delinkuensi remaja, sedangkan bila perbuatan tersebut dilakukan

orang dewasa disebut kejahatan.

Gold dan Petronio (Sarwono, 2002) mendefinisikan kenakalan remaja

sebagai tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja oleh

seseorang yang belum dewasa tanpa memperdulikan peraturan yang telah

ditetapkan oleh petugas hukum.

Arti delinquency (delinkuensi, kejahatan, pelanggaran) berdasarkan

(24)

1. Satu pelanggaran, serangan, kesalahan atau kejahatan yang relatif minor melawan UU legal, khususnya dilakukan oleh anak muda yang belum dewasa.

2. Ciri-ciri khas dan penjahat atau pelanggar yang melakukan perbuatan

kejahatan secara berulang-ulang.

Perkembangan istilah perilaku delinkuen mengalami pergeseran

secara etimologis baik yang menyangkut aktivitasnya, yaitu istilah kejahatan (delinkuen) menjadi kenakalan dan juga pergeseran pengertian subjek atau pelakunya. Diurigkapkan oleh Walgito (Sudarsono, 1995), bahwa perilaku

delinkuen adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak remaja

dan jika dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan tersebut merupakan

tindak kejahatan.

Perilaku delinkuen dapat dibedakan menjadi dua yaitu delinkuen yang

mengarah pada tindakan kriminal dan delinkuen dalam arti sebenarnya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini delinkuen yang di maksud adalah delinkuen

dalam arti yang sebenarnya, yaitu kenakalan remaja, yang digolongkan dalam bentuk kriminal atau kejahatan berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan perbuatan kriminal atau kejahatan tersebut.

Merril (Gerungan, 2000) menggolongkan bahwa seorang anak

digolongkan anak delinkuen apabila anak tersebut menampakkan kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya dan mengasingkannya.

(25)

Berpijak dari uraian di atas maka perilaku delikuen dapat

didefinisikan sebagai suatu perilaku yang dilakukan oleh remaja yang

bertentangan dengan norma dan nilai yang ada dalam masyarakat yang

berwujud tindakan asusila, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, dursila dan lain sebagainya sebagai akibat dari pengaruh sosial yang

didapat untuk mengatasi problema dalam kehidupannya.

2. Aspek-Aspek Perilaku Delinkuen

Empat aspek delinkuen menurut Jensen (Sarwono, 2002):

1. Delinkuen yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara

pergi dari rumah atau membantah perintah orang tua dan sebagainya.

2. Delinkuen yang tidak menimbulkan korban dan kerugian bagi orang lain,

seperti pelacuran dan penyalahgunaan obat.

3. Delinkuen yang menimbulkan korban materi bagi orang lain, misalnya

perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan Iain-Iain.

4. Delinkuen yang menimbulkan korban fisik bagi orang lain, misalnya

perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan Iain-Iain.

Wright (Basri, 1995), membagi jenis-jenis kenakalan remaja dalam

beberapa keadaan :

1. Neurotic delinquency, yaitu remaja yang mempunyai sifat pemalu, terlalu perasa, suka menyendiri, gelisah dan mcngalami pcrasaan rendah diri.

(26)

seperti mencuri sendirian, melakukan tindakan agresif secara tiba-tiba tanpa alasan karena dikuasai oleh khayalan dan fantasinya sendiri.

2. Unsocialized delinquency, suatu sikap yang suka melawan kekuasaan

seseorang, rasa bermusuhan dan pendendam. Hukuman dan pujian tidak

berguna bagi mereka. Mereka tidak pernah merasa bersalah dan tidak pula

menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Sering melemparkan

kesalahan dan tanggung jawab kepada orang lain. Untuk mendapatkan kesenangan dan ketakutan atau pengakuan orang lain sering pula melakukan

tindakan-tindakan yang penuh dengan keberanian, kehebatan dan di luar

dugaan.

3. Pseudo social delinquency, remaja atau pemuda yang mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap kelompok atau "geng" sehingga sikapnya tampak

patuh, setia dan kesetiakawanan yang baik. Jika melakukan suatu tindakan

kenakalan bukan atas dasar kesadaran diri sendiri yang baik tetapi karena

didasari anggapan bahwa ia harus melaksanakan sesuatu kewajiban

kelompok yang telah digariskan. Ia selalu siap sedia memenuhi kewajiban yang ditugaskan oleh kelompoknya, hal tersebut dikarenakan kelompoknya memberikan rasa aman kepada dirinya, meskipun kelompoknya adalah

kelompok yang tidak dapat diterima, baik oleh masyarakat karena tindakan

(27)

Hurlock (1990) mengemukakan empat kategori mayor perilaku

delinkuen berdasarkan bentuknya, antara lain :

1. Harm to self and other, meliputi tingkah laku menyerang orang lain,

menimbulkan keributan di tempat umum, melukai diri sendiri dan Iain-lain.

2. Damage to or misapproriation ofproperty; meliputi pengrusakan barang,

mencuri, membakarbarang, perampasan dan Iain-lain.

3. Ungovernability; meliputi tingkah laku membantah orang tua, guru atau

orang dewasa lainnya, "minggat" dari rumah, membolos, mabuk-mabukan,

menggunakan narkotika dan Iain-lain.

4. Acts leading to possible damage to self or others; meliputi penggunaan

berat terhadap narkotika, penyalahgunaan senjata, perilaku seksual yang

menyimpang dan Iain-lain.

Kartono (2002), mengemukakan beberapa wujud penlaku delinkuen,

seperti:

1. Kebut-kebutan di jalanan yang menganggu keamanan lalu-lintas dan

membahayakan jiwa sendiri maupun orang lain.

2. Perilaku ugal-ugalan, brandalan, urakan yang mengacaukan ketentraman

milik sekitar.

3. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku

(tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.

4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen

(28)

5. Kriminalitas anak, lamaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan

mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, mengarong; melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya; mencekik, meracun, tindak

kekerasan dan pelanggaran lainnya.

6. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas

atau orgi (mabuk-mabukan hemat dan menimbulkan keadaan yang kacau

balau) yang mengganggu lingkungan.

7. Perkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual atau

di dorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menurut

pengakuan diri, depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan di tolak oleh seorang wanita dan lain sebagainya.

8. Perjudian dan bentuk permainan lain dengan taruhan, sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas.

9. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan

pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin.

10. Tindakan radikal dan ekstrim dengan cara kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja.

11. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan karena adanya organ-organ yang

(29)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja bukan merupakan keadaan yang muncul dengan sendirinya akan tetapi juga merupakan perpaduan dari beberapa kondisi yang dialami oleh remaja.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Delinkuen

Masalah kenakalan remaja merupakan suatu masalah yang menarik

untuk dibahas, karena permasalahan tersebut merupakan masalah yang global

bagi masyarakat luas. Banyak teori yang membahas mengenai kenakalan remaja dan banyak dikemukakan penyebab-penyebab yang melatarbelakangi terjadinya kenakalan remaja. Salah satu faktor penyebab yang mempunyai peranan besar bagi terbentuknya perilaku delinkuen, yakni peran orang tua dan

keluarga.

Orang tua seringkali melakukannya dengan jalan menekan atau

menghukum anak-anak tersebut secara keras, mengadakan berbagai macam Iarangan yang tidak wajar ataupun menanamkan peraasaan berdosa dan bersalah pada diri anak padahal cara-cara tersebut dapat menimbulkan efek

terhambatnya daya pikir dan intelegensi anak, karena anak merasa ketakutan,

insecure dan merasa terancam sehingga sulit untuk berfikir. Akibatnya anak

tersebut menjadi kesulitan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dan sulit berfikir wajar dan realistis. Melihat keadaan remaja seperti itu , maka remaja pasti akan lari ke dalam kelompok teman sebaya mereka yang menurut mereka dalam kelompok teman sebaya tersebut dapat membantu permasalahan

(30)

Selanjutnya perilaku-perilaku yang dilakukan dalam pergaulan dengan kelompok teman sebaya tersebut, remaja akan mengabaikan atau lupa akan

norma yang ada karena remaja tersebut merasa enjoy dengan perilakunya dan tanpa merasa ada pembatasan-pembatasan terhadap dirinya (Prawesti, 2001).

Remaja melakukan tindak kejahatan karena didorong oleh konflik

batin pada diri mereka, sehingga memunculkan konflik batinnya untuk

mengurangi tekanan jiwanya melalui tingkah laku yang agresif dan impulsif.

Hal tersebut dapat dibuktikan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa remaja delinkuen memiliki intelegensi yang lebih rendah dibandingkan dengan

remaja normal. Skor rata-rata remaja delinkuen lebih rendah dalam tes-tes

intelegensi dibandingkan remaja sebayanya yang non delinkuen (Monks,

1994), hal tersebut di dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Jennifer

et al (White & Moffit, 1989) yang mengindikasikan bahwa remaja delinkuen

ternyata menunjukkan skor-skor IQ yang lebih rendah secara signifikan

dibandingkan remaja non delinkuen.

Kartono (2002) mengatakan, anak-anak delinkuen pada umumnya

mempunyai inte'egensi verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian

hasil-hasil skolastik . Kecerdasan yang tumpul dan wawasan sosial yang

kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delinkuen jahat. Mereka banyak membolos dari sekolah. Kurang lebih 30% dari anak-anak yang terbelakang mentalnya menjadi kriminal, dan kurang lebih 50% dari anak-anak delinkuen itu pernah mendapatkan hukuman polisi atau

(31)

Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntungpun jelas

membuahkan masalah psikologis personal dan penyesuaian diri yang terganggu pada diri anak-anak, sehingga mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga

guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen.

Delinkuen atau kejahatan anak-anak dan remaja merupakan reaksi terhadap

masalah psikis anak remaja itu sendiri (Kartono, 2002).

Sutherland (Kartono, 2002) menyatakan bahwa anak dan remaja menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu

lingkungan sosial, yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang

efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu, semakin lama anak

bergaul dan semakin intensif relasinya dengan anak-anak jahat lainnya, akan

menjadi semakin iama pula proses asosiasi differensial tersebut. Semakin besar

kemungkinan anak-anak remaja tadi benar-benar menjadi kriminal. Sutherland

menekankan pada hal-hal yang dipelajari atau proses pengkondisian terhadap individu anak, serta tipe kepribadian anak (biasanya dengan mental yang lemah dan tidak terdidik dengan baik) yang menjalani proses pengkondisian tadi.

Menurut Graham (dalam Sarwono, 2002), membagi faktor-faktor penyebab perilaku delinkuen ke dalam dua golongan, yaitu :

1. Faktor lingkungan :

a. Malnutrisi (Kekurangan gizi)

b. Kemiskinan di kota-kota besar

c. Gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu lintas, bencana alam dan

(32)

d. Migrasi (urbanisasi, pengungsian karena perang dan Iain-lain)

e. Faktor sekolah (kesalahan mendidik, faktor kurikulum dan Iain-lain)

f. Keluarga yang tercerai berai ( perceraian, perpisahan yang terlalu lama

dan Iain-lain)

g. Gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga

2. Faktor Pribadi

a. Faktor bakat yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah,

hiperaktif dan Iain-Iain)

b. Cacat tubuh

c. Ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri.

Beberapa faktor penyebab perilaku delinkuen di atas, salah satu

diantaranya merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah

psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimulus, dengan kata lam

adalah merupakan kompensasi dari segala kekurangan dan kegagalan yang

dialaminya (Kartono, 2002).

Hurlock (1990) menyatakan ada dua hal yang berkaitan dengan

masalah delinkuen remaja. Pertama •adalah kecenderungan (predisposition)

yang menyebabkan delinkuensi remaja. Kedua adalah motivasi penyebab

kenakalan remaja. Kecenderungan penyebab mengakibatkan meningkatnya

kemungkinan remaja berperilku delinkuen.

Seperti yang dikemukakan Resnick (Hurlock, !990) banyak faktor

yang menghasilkan individu anti sosial pada sebagian remaja dan

(33)

kecenderungan tersebut lebih tinggi daripada yang lain, ada beberapa

kecenderungan yang menyebabkan remaja berperilaku delinkuen.

Beberapa kecenderungan {predisposition) yang menyebabkan

delinkuen , antara lain :

1. Tingkat intelegensi yang rendah, biasanya berkaitan dengan kurangnya

perencanaan kedepan {foresight), tidak memungkinkan bagi sejumlah remaja untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

2. Ketidaksempurnaan fisik dan kemasakan seksual yang menyimpang akan

menyebabkan adanya perasaan adekuat pada remaja, yang mungkin akan

dikompensasikan dalam bentuk perilaku menyimpang.

3. Sikap yang tidak menguntungkan terhadap sekolah, yang berasal dari

kegagalan akademis dan sosial, sering mendorong remaja membolos dan

mengakibatkan drop out serta kesulitan dalam memperoleh pekerjaan dan kemudian akan meningkatkan kecenderungan remaja berperilaku anti

sosial.

4. Ketimpangan akan nilai moral

karena identifikasi dengan kelompok

sebaya yang memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan yang terdapat dalam

lingkungan keluarganya atau kelompok sosial yang lebih luas atau

kelompok orang dewasa.

5. Penerimaan sosial" oleh remaja tersebut membuat mereka sering

(34)

6. Komunikasi media massa secara tidak langsung bertanggung jawab

terhadap delinkuensi, terutama jika media massa memperkuat kondisi

lingkungan yang tidak menguntungkan.

7. Pola kepribadian yang kurang menguntungkan, seperti konsep diri kurang baik, inferioritas dan perasaan adekuat menyebabkan remaja berpotensi

melakukan penyesuaian diri dengan cara yang maladaptif.

8. Kondisi rumah yang kurang menguntungkan seperti kurang perhatian dari

orang tua, kurang mengalami hubungan afeksional dengan keluarga,

inkonsistensi disiplin dalam keluarga dan pola kehidupan yang

menyimpang membuat anak merasa tidak disayangi dan anak ingin

menyakiti orang tuanya dengan perilaku yang menyimpang.

Faktor kedua adalah motivasi untuk berperilaku delinkuen. Motivasi

ini

akan

berkolaborasi

dengan penyebab

kecenderungan,

sehingga

menghasilkan perilaku delinkuen.

Beberapa motivasi penyebab tersebut (Hurlock, 1990) adalah :

1. Keinginan untuk memiliki sesuatu akibat ketidakmampuan terhadap apa

yang dimiliki, yang sering diintensifkan oleh media massa, kemungkinan

akan memotivasi remaja untuk mencuri, misalnya sebagai cara tercepat dan

termudah untuk mendapatkan simbol yang diinginkan.

2. Emosi yang kuat (perasaan mudah iri, cemburu dan takut) dan adanya

peristiwa-peristiwa kecil sehingga seringkali memicu remaja untuk berperilaku delinkuen.

(35)

3. Kebosanan. Terbatasnya kesempatan atau tanggung jawab yang terlalu

kecil mendorong remaja mengurangi kebosanannya dengan melanggar

hukum dan sejumlah perilaku yang menyenangkan dirinya.

4. Perasaan inferior secara fisik, mental maupun sosial akan mendorong

remaja melakukan perbuatan melanggar hukum untuk membuktikan bahwa

dirinya sama seperti teman sebaya lainnya.

5. Keinginan untuk independent. Jika remaja mampu memuaskan keinginan

ini dengan melanggar peraturan-peraturan di rumah dan di sekolah dan

akan melanggarnya dengan harapan akan memperoleh keinginan

independent seperti yang diidamkannya.

6. Keinginan untuk memperoleh kepuasan seksual, terutama pada remaja

yang tidak dicintai di mmah atau meragukan kemampuan seksualnya.

7. Keinginan untuk memperoleh penerimaan sosial mendorong remaja

mengikutinya meskipun hal tersebut berarti melanggar hukum.

Permasalahan dalam kehidupan psikologis remaja dapat

diidentifikasikan dari stabil tidaknya perkembangan emosi yang dialami,

berhasil tidaknya penyesuaian diri yang dilakukan, idealisme dan cita-cita serta kematangan seksual yang dialaminya.

(36)

B. Konformitas Teman Sebaya

1. Pengertian Konformitas Teman Sebaya

Fenomena konformitas didefinisikan secara berbeda-beda :

Brehm &Kassin (1990) mendefinisikan konformitas sebagai tendensi manusia

untuk merubah persepsi, opini atau perilaku dengan cara yang konsisten

dengan norma kelompok.

Baron & Byrne (1991) mendefinisikan konformitas sebagai suatu

bentuk penyesuaian terhadap kelompok sosial untuk menyesuaikan, meskipun

biasanya tuntunan tersebut tidak terbuka. Batasan Klopf (1985) tentang

konformitas adalah bertindak sesuai dengan norma kelompok menjadi

harmonis dan sepakat dengan anggota-anggota kelompok.

Kiesler & Kiesler mengartikan konformitas sebagai perubahan

perilaku atau keyakinan ke arah tuntutan yang nyata maupun tuntutan yang

dibayangkan (Worchel & Cooper, 1983)

Stephan & Stephan (Suryo,1988) mengartikan konformitas sebagai

perubahan perilaku dan kepercayaan sebagai akibat dari adanya tekanan

kelompok baik nyata maupun tidak nyata.

Seidenberg & Snadowsky (Indrawati, 2001) mendefinisikan

konformitas sebagai kecenderungan untuk berperilaku dengan maksud untuk

memenuhi harapan kelompok sebagaimana harapan-harapan ini dibuat oleh

(37)

Secara khusus Willis (Dahlan, 1982) menyatakan ada 3 cara yang

berbeda dalam penggunaan istilah konformitas, yaitu :

1. Perilaku konformitas sebagai ciri kepribadian yang ajeg. Asumsi yang

mendasari pengertian ini adalah ada sejumlah orang yang konsisten

berperilaku konform lebih daripada orang lain tanpa mempedulikan

variabel-variabel lainnya yang berkaitan seperti kedwiartian (ambiguity)

stimulus dan ukuran kelompok.

2. Perilaku konformitas sebagai perubahan kognitif dan sikap yang diakibatkan

oleh sejumlah tekanan kelompok yang sifatnya nyata maupun tidak nyata.

Perilaku konformitas diartikan sebagai penerimaan pribadi atau perubahan

sikap atau internalisasi.

3. Perilaku konformitas sebagai kebersamaan dengan kelompok tanpa

mempedulikan apakah anggota kelompok yang lain hanya terdiri dan satu orang atau seratus orang.

Ditinjau dari faktor personal atau individual, Worchel & Cooper

(1983), mengungkapkan dari beberapa penelitian bahwa individu yang

mempunyai status lebih rendah daripada anggota lainnya cenderung untuk

mudah konform dengan kelompok.

Penelitian dari Sheriff (Hewstone dkk, 1996) menunjukkan ketika

seseorang dihadapkan pada stimulus yang ambigious dan tidak berstruktur,

orang tersebut jarang membangun sudut pandang sendiri yang stabil dalam

(38)

dihadapkan dengan pandangan orang lain, maka akan segera dirubah untuk

disesuaikan dengan pandangan orang lain tersebut.

Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, sehingga dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku

lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja

mengetahui bahwa bila remaja memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk

diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota

kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang atau rokok, maka

sebagai akibatnya remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaanya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa konfomiitas teman

sebaya merupakan suatu tuntutan maupun tekanan yang sifatnya imajinatif/ nyata. Tekanan ini terwujud sebagai akibat dari pengaruh sosial teman sebaya remaja yang mau tidak mau remaja tersebut harus berperilaku sesuai dengan apa yang diinginkan teman sebayanya dengan pola, sikap dan perilaku yang

dihargai oleh kelompok teman sebaya dianggap sebagai pengakuan terhadap

superioritas pribadi yang perlu ditegakkan, pengakuan dan eksistensi dalam

kelompok sangat penting dalam kehidupan remaja, sehingga konformitas

(39)

2. Aspek-Aspek Konformitas Teman Sebaya

Aspek-aspek konformitas yang dikemukakan oleh Worchel & Cooper

(1983) dibagi menjadi dua, antara lain :

I. Aspeknormatif

yaitu pengaruh dari kelompok yang menyebabkan seseorang individu

berperilaku konform

karena didasarkan pada keinginan untuk dapat

diterima oleh kelompok.

2. Aspek Informasional

yaitu pengaruh dari kelompok yang menyebabkan seseorang individu dapat

berperilaku konform karena didasarkan pada keinginan dan kebutuhan untuk memperoleh informasi yang benar dan akurat tentang realitas dari orang Iain.

Kedua pengaruh sosial yang bersifat normatif dan informatif tersebut,

keduanya merupakan dasar kecenderungan yang kuat bagi seseorang dalam

melakukan konformitas untuk bertindak sesuai dengan norma-norma sosial

yang berlaku. Konformitas bersumber dari kebutuhan dan motif dasar manusia

yang langsung dapat dipenuhi jika seseorang memutuskan untuk bertindak

sesuai dengan orang lain.

C. Remaja 1. PengertianRemaja

Remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak

(40)

jawab. Masa remaja ditandai dengan pengalaman-pengalaman baru yang

sebelumnya belum pernah terbayangkan dan di alami. Dalam bidang fisik

biologis maupun psikis atau kejiwaan. Menstruasi pertama bagi kaum wanita

dan keluarnya sperma dalam mimpi basah pertama bagi kaum pria, adalah

merupakan tonggak pertama dalam kehidupan manusia yang menunjukkan

bahwa mereka sedang dalam perjalanan usia remaja (Basri, 1995). Menurut

Gunarsa dan Gunarsa (1991), masa remaja adalah masa peralihan dan masa

kanak-kanak menuju masa dewasa, meliputi semua proses perkembangan yang

di alami sebagai pe^siapan memasuki masa dewasa.

Kagan & Coles, Keniston, Lipsitz (Steinbergh, 1991)

mengklasifikasikan usia remaja menjadi tiga kategori, yaitu : remaja awal usia

12-14 tahun, remaja tengah usia i5-18 tahun dan remaja akhir 19-21 tahun. Kartono (Chaplin, 2002), mendefinisikan remaja berdasarkan

perkembangan biologis remaja tersebut yakni merupakan suatu periode antara

pubertas dan kedewasaan. Usia yang diperkirakan: 12 sampai 21 tahun untuk anak gadis, yang lebih cepat menjadi matang daripada anak laki-laki, dan

antara 13 hingga 22 tahun bagi anak laki-laki.

WHO pada tahun 1974 (Sarwono, 2002), memberikan definisi tentang

remaja yang lebih konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria

yaitu biologik, psikologik dan sosial ekonomi.

Remaja adalah suatu masa dimana :

1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda

(41)

2. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dan

kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Terjadi penilaian dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada

keadaanyang relatif lebihmandiri.

Pada tahun-tahun benkutnya, definisi tentang remaja semakin

berkembang ke arah yang lebih konkret operasional. Ditinjau dan bidang

kegiatan WHO, yaitu kesehatan, terutama kesehatan remaja pada kehamilan

usia muda. Di latar betakangi masalah pokok tersebut. Walaupun definisi

tersebut berdasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut

juga berlaku untuk remaja pria dan WHO membagi kurun usia tersebut dalam 2

bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.

Batasan antara masa remaja dan masa dewasa semakin lama juga

semakin kabur, hal mi karena pada masing-masing negara mempunyai

karakteristik remaja yang bcrbeda-beda. Di Indonesia sendiri ada masa remaja

yang diperpendek dan masa remaja yang diperpanjang. Disebut yang

diperpendek jika remaja menikah pada usia 18-19 tahun dan memasuki dunia

orang dewasa. Disebut masa remaja yang diperpanjang yaitu bila seseorang

yang sesudah usia remaja masih hidup bersama orang tuanya dan masih belum

mempunyai nafkah sendiri serta masih berada di bawah otontas orang tuanya

(Monks, 1999).

Hurlock (Gunarsa & Gunarsa, 1991), mengambil patokan batasan

umur yakni berdasarkan tanda-tanda fisik yang menunjukkan kematangan

(42)

masa remaja sesuai dengan tempat khusus dimana ia hidup, lingkungan sosial

dan pandangan sosiologis. Neidhart berpendapat bahwa adolescensia

merupakan masa peralihan dan ketergantungan pada masa kanak-kanak ke

masa dewasa, dimana ia harus dapat hidup sendiri (Gunarsa &Gunarsa, 1991).

Enkson menghubungkan adolescensia dengan perkembangan psikis yang

berlangsung pada masa tersebut, yakni bahwa adolescensia merupakan masa

dimana terbentuk suatu masa baru mengenai identitas. Identitas mencakup cara

hidup pribadi yang di alami sendiri dan sulit di kenal oleh orang Iain, secara

hakiki ia tetap sama walaupun telan mengalami berbagai macam perubahan.

Anna Freud lebih mengutamakan perkembangan seksualitas, hal ini terlibat

dari perumusan psikoanalitik. Adolescence merupakan suatu masa yang

meliputi proses perkembangan dimana terjadi perubahan-perubahan dalam hal

motivasi seksual, organisasi daripada ego dalam hubungannya dengan orang

tua, orang lain dan cita-cita yang dikejarnya (Gunarsa &Gunarsa, 1991).

Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju

ke masa dewasa dimana terdapat perubahan-perubahan baik secara fisik dan

psikologis, emosi, mental, sosial maupun moral. Perubahan-perubahan tersebut menuntut remaja untuk mengadakan perubahan besar dalam sikap dan perilaku sesuai dengan tugas perkembangannya dengan cara yang adaptif.

2. Ciri Umum pada Remaja

Poerwanti (2002), menjelaskan secara umum tentang ciri-ciri umum

(43)

a. Pertumbuhan fisik yang sangat pesat dan mulai berfungsinya honnon

sekunder, terutama honnon reproduksi. Pada masa ini remaja tidak mau lagi

disebut anak kecil.

b. Fase remaja adalah masa mencari identitas, sehingga pada masa ini anak

mempunyai pribadi yang sangat labil, baik dalam pemikiran, perasaan

maupun emosionalnya, sehingga masa ini anak akan mudah sekali dipengaruhi.

c. Remaja mulai menginginkan kebebasan emosional dari orang tua dan mulai mengikatkan dirinya dengan kehidupan peer group, sehingga pada masa ini

kehidupan kelompok sebaya menjadi sangat penting bahkan peer group

adalah "segala-galanya" untuk remaja.

d. Adanya berbagai perubahan yang dialami, menyebabkan remaja menjadi anak yang emosional, gampang tersinggung, mudah melampiaskan kemarahannya, malas, murung, ingin menangis sendiri yang kadang-kadang tanpa sebab yang pasti.

e. Perkembangan penalaran yang pesat menjadikan kelompok remaja menjadi kelompok yang bersifat kritis dan ideal, sehingga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kelompok ini mudah sekali melakukan protes bila ditemui

hal yang tidak sesuai dengan konsep idealismenya.

f. Masa ini juga berkembang rasa ingin tahunya sangat besar, sehingga pada kelompok-kelompok remaja juga berkembang sifat heroik, sehingga remaja suka sekali menjadi pengelana, mendaki gunung, atau menjadi menjelajah dan kegiatan-kegiatan lain yang menyerempet bahaya.

(44)

g. Mulai berfungsinya hormon sekunder terutama hormon reproduksi

menyebabkan remaja muilai tertarik dengan lawan jenis, sebagai tanda

kesiapan phisik mereka, pada masa ini anak juga suka berkhayal.

D. Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya Dengan Perilaku

Delinkuen Pada Remaja Di LAPAS Anak Kutoarjo

Fenomena perilaku delinkuen inipun tidak lepas dari kehidupan para

remaja, namun demikian tentu masih tetap ada pendapat umum tentang

kenakalan anak dan remaja tersebut, yang dapat menentukan bahwa ada

kelakuan dan kebiasaan tertentu yang dipandang sebagai kelakuan yang

digolongkan kepada kehormatan dan lain sebagainya.

Kenakalan remaja adalah perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh

mereka yang berusia kurang lebih 18 tahun dan bila dilakukan oleh orang

dewasa dapat dikenakan pidana.

Remaja dalam tindakan yang dilakukannya terkadang tidak disertai

dengan pemikiran rasional dan biasanya hanya mengikuti gejolak emosinya

tanpa memikirkan dampak dari perbuatannya tersebut. Mereka hanya sekedar

memenuhi kebutuhan sesaat. Di benak mereka, tidak ada pertanyaan apakah

tindakannya itu dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang

lain.

Penyebab remaja dapat berperilaku delinkuen karena tidak

(45)

dalam masa perkembangan sosialnya. Terdapat dua macam perkembangan

dalam tahap perkembangan sosial remaja, yaitu keinginan untuk memisahkan

diri dari orang tua dan menuju ke arah pergaulan dengan teman sebaya. Perkembangan remaja harus dapat mencapai pola hubungan baru yang lebih

matang dengan teman sebayanya, baik yang sejems maupun berlainan jenis

sesuai dengan etika moral masyarakat dan bertanggung jawab sebagai

pedoman perilaku dan pengembangan ideologi mereka.

Pergaulan dengan kelompok sebayanya remaja belajar bagaimana

mereka berinteraksi dengan temanya, mengontrol tingkah laku sosialnya,

mendapatkan dukungan sosial yang berbeda dengan yang mereka dapatkan dari

lingkungan keluarganya. Terbentuknya sistem nilai, sikap, perilaku dan

kebiasaan baru banyak dipengaruhi oleh kelompok sebaya ini, sehingga

pemilihan kelompok sebaya yang tepat akan menjadi pendorong dan sumber

kematangan kepribadian remaja, tetapi sebaliknya akan menyesatkan apabila

kelompok yang dipilih adalah kelompok yang menyimpang perilakunya

(Widodo,200I).

Jadi semakin sering seseorang bergaul dengan kelompok yang

menyimpang perilakunya maka semakin tinggi kecenderungan seseorang tersebut untuk berperilaku delinkuen sesuai dengan perilaku kelompoknya

tersebut. Beberapa faktor penyebab perilaku delinkuen di atas, salah satu diantaranya merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah

(46)

stimulus, dengan kata lain adalah merupakan kompensasi dari segala

kekurangan dan kegagalan yang dialaminya (Kartono, 2002).

Remaja penghuni LAPAS anak di Kutoarjo adalah mereka para

pelaku tindak pidana atau perilaku delinkuen. Mereka berperilaku delinkuen

disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah faktor lingkungan.

Perbuatan merekapun cukup beragam, mulai dan mencuri, mencopet, tawuran

sampai dengan pembunuhan. Perbuatan mereka sebagian besar dipengaruhi

oleh bujuk rayu dan ajakan dari teman-teman sekompok bermain mereka

maupun dari pengaruh orang yang lebih dewasa dan biasa bergaul dengan

mereka.

Faktor penyebab perilaku delinkuen selain faktor-faktor tersebut di

atas salah satunya adalah sikap konformitas, yaitu suatu sikap atau perilaku

untuk selalu sama dan sesuai seperti orang-orang dalam kelompok atau

masyarakat di mana ia berada.

Condry & Lacovetta (Fuhrmann, 1990) menyatakan bahwa hubungan

remaja dengan keluarga ikut berpengaruh terhadap konformitas pada remaja.

Mereka menyatakan bahwa remaja yang mempunyai konfomitas tinggi

terhadap teman sebayanya, biasanya mempunyai hubungan yang lemah atau

kurang baik dengan keluarganya atau orang tuanya. Hal tersebut disebabkan

oleh krisis identitas diri yang dialami remaja dan di saat mereka membutuhkan

perhatian dari keluarga, khususnya orang tua. Akan tetapi terkadang sikap

(47)

menolak dan kurang berkomunikasi antara remaja dengan orang tua, sehingga menyebabkan remaja lebih berorientasi pada teman sebayanya.

Berdasarkan pendapat Candry dan Lacovetta (Furhmann, 1990),

mendukung hipotesis peneliti bahwa kemungkinan besar konformitas berpengaruh terhadap perilaku delinkuen yang akhir-akhir ini semakin

meningkat.

D. Hipotesis

Ada hubungan positif antara konformitas teman sebaya dengan perilaku delinkuen pada remaja di LAPAS anak di Kutoarjo. Jadi semakin

tinggi konformitas teman sebaya maka semakin tinggi perilaku delinkuen pada

remaja penghuni LAPAS anak Kutoarjo, begitu juga sebaliknya semakin rendah konformitas teman sebaya maka semakin rendah perilaku delinkuen

(48)

A. Identifikasi Variabel -Variabel Penelitian

Variabel tergantung : Perilaku delinkuen

Variabel bebas : Konformitas Teman Sebaya

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Perilaku delinkuen

Perilaku delinkuen adalah sejauh mana perilaku yang dihasilkan oleh remaja, dimana perilaku tersebut menyimpang dan norma yang berlaku didalam

masyarakat. Perilaku delinkuen remaja diungkap melalui skala delinkuen remaja.

Skala ini dirancang berdasarkan klasifikasi delikuen dari Hurlock dan Jensen.

Semakin tinggi skor yang diperoleh maka akan semakin tinggi tingkat perilaku

delinkuennya. Sebaliknya, apabila skor yang diperoleh rendah maka semakin

rendah pula tingkat perilaku delinkuennya.

2. Konformitas teman sebaya

Konformitas teman sebaya adalah seberapa besar keinginan atau

keyakinan individu untuk selalu berperilaku sama dengan kelompoknya.

Konfonnitas dalam penelitian ini diungkap dengan skala konformitas berdasarkan

teori yang dikemukakan oleh Worchel & Cooper (1983). Semakin tinggi skor

(49)

yang diperoleh maka akan semakin tinggi tingkat konformitasnya. Begitu juga

sebaliknya, apabila skor yang diperoleh rendah maka akan semakin rendah juga

tingkat konformitasnya.

C. Subjek Penelitian

Peneliti mengambil subjek penelitian pada remaja penghuni LAPAS anak

Kutoarjo Jawa Tengah, yaitu remaja yang telah dikenai hukuman pidana akibat

dari perbuatan dan perilaku mereka yang melanggar hukum. Subjek tersebut

berumur antara 13-18 tahun dan termasuk dalam kategori remaja awal dan remaja

tengah menurut John hill (dalam Suntrock 1983).

D. Metode Dan Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode skala, yaitu

alat ukur psikologis yang mengukur dan mengungkap perilaku delinkuen dan konformitas, khususnya pada remaja penghuni LAPAS anak di Kutoarjo.

Skala penelitian ini secara garis besar terdiri dari dua bagian, yaitu .

1. Mengungkap identitas subjek penelitian yang meliputi:

a. Nama

b. Umur

(50)

2. Mengandung butir-butir kasus berupa cerita pendek yang berisi tentang

seseorang atau beberapa orang tokoh yang melakukan tindak delinkuen dan

perilaku delinkuen dan butir-butir pernyataan yang dirumuskan berdasarkan

landasan teori. Alasan penggunaan metode skala ini adalah berdasarkan adanya

anggapan mengenai keuntungan metode ini, yaitu :

a. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri.

b. Apa yang dikatakan subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat

dipercaya.

c. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan sama

dengan yang dimaksudkan oleh peneliti (Hadi, 2002).

Metode skala ini mengandung beberapa kelemahan, antara Iain adanya

unsur-unsur yang tidak disadari tidak dapat diungkapkan, jawaban dapat

dipengaruhi oleh keinginan pribadi, kesukaran merumuskan keadaan diri sendiri

dalam bahasa dan adanya kecenderungan untuk mengkonstruksi secara logik

(Hadi, 2002). Mengatasi hal tersebut maka skala yang disajikan diberi pengantar

yang menerangkan bahwa subjek diminta untuk memben jawaban secara jujur apa

adanya, semua jawaban dianggap benar dan jawaban subjek akan dijamin

kerahasiaannya. Secara terperinci alat pengumpulan data yang digunakan adalah :

a. Skala perilaku delinkuen

Perilaku delinkuen diungkap melalui skala perilaku delinkuen yang

disusun berdasarkan aspek perilaku delinkuen dari teori Hurlock dan Jensen

(dalam Kurniawan, 1997), yaitu perilaku delinkuen berdasarkan atas aspek

(51)

membahayakan diri dan orang lain, perilaku yang menimbulkan korban materi dan perilaku yang menimbulkan korban fisik. Penulis melakukan perubahan pada beberapa aitem yang ada yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan kondisi subjek, hal ini dikarenakan skala sebelumnya dipergunakan untuk populasi siswa Sekolah Menengah Atas. Sedangkan penelitian ini dilakukan

pada populasi penghuni LAPAS.

Jumlah butir pada angket adalah 36 aitem yang terbagi dalam 31 aitem favourable dan 5 aitem unfavourable. Aitem tersebut berupa cerita pendek

yang terdapat dalam angket perilaku delinkuen yang telah disajikan kepada

kelompok subjek. Subjek diminta untuk memilih salah satu pilihan jawaban berdasarkan perilaku delinkuen yang sebenarnya. Penghitungan skor subjek dilakukan dengan berdasarkan junlah skor yang diperoleh subjek. Jumlah skor yang diperoleh subjek merupakan gambaran dari perilaku delinkuen yang telah

dilakukan subjek.

Semakin tinggi jumlah skor yang diperoleh subjek maka menunjukkan semakin tinggi pula tingkat perilaku delinkuen yang dilakukan. Sebaliknya, apabila skor yang diperoleh subjek rendah, maka semakin rendah pula tingkat perilaku delinkuen yang dilakukan. Butir-butir aitem perilaku delinkuen dapat

dilihat pada tabel I.

Tabel I

Daftar Sebaran Aitem Skala Perilaku Delinkuen

Sebelum Uji Coba

No Aspek Nome

Favourable

r Aitem

Unfavourable Jumlah

1 Perilaku yang melanggar status dan aturan

1,3,4,11,22, 24,26,29,33,36

14,27,28

13

2 Perilaku yang

membahayakan diri dan

5,8,9,10,13,

(52)

orang lain 3 4 Perilaku yang menimbulkan korban mated 7,12,16,31,35 2,6,17,30,32,34 19 5 Perilaku yang

menimbulkan korban fisik 7

Adapun pemberian nilai tergantung dari favourable dan unfavourable

suatu aitem, untuk aitem favourable, jawaban (SS) mendapat nilai 4, jawaban

(S) mendapat nilai 3, jawaban (TS) mendapat nilai 2 dan jawaban (STS)

mendapat nilai 1. Untuk aitem unfavourable, jawaban (SS) mendapat nilai 1, jawaban (S) mendapat nilai 2, jawaban (TS) mendapat nilai 3 dan jawaban

(STS) mendapat nilai 4.

b. Skala konformitas teman sebaya

Skala konformitas teman sebaya dalam penelitian ini digunakan untuk

mengungkap seberapa besar kemungkinan subjek berperilaku konformitas.

Skala konformitas teman sebaya yang digunakan adalah skala yang disusun

peneliti berdasarkan aspek-aspek perilaku konformitas yang merupakan hasil modifikasi aitem dengan merubah kata dan kalimat pada aitem yang disusun

oleh Sidqon (2001) dari teori yang diungkapkan oleh Worchel dan Cooper

tentang konformitas. Penulis melakukan perubahan pada beberapa aitem yang

bertujuan untuk menyesuaikan dengan kondisi subjek. Hal ini dikarenakan

skala sebelumnya dipergunakan untuk populasi siswa SMU, sedangkan pada

penelitian ini digunakan pada populasi penghuni LAPAS anak. Aspek-aspek

yang digunakan untuk mengungkap sikap konformitas adalah aspek normatif dan aspek informasional.

(53)

Skala ini terdiri dari 43 item yang terbagi dalam 26 aitem favourable dan 17 aitem unfavourable, berupa butir-butir pernyataan yang sudah dimodifikasi

oleh penulis dan disesuaikan dengan keadaan subjek. Sebaran aitem skala

konformitas dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II

Daftar Sebaran Aitem Skala Konformitas Teman Sebaya

Sebelum Uji Coba

No Aspek Nomor Aitem Jumlah

Favourable Unfavourable 1 Normatif 1,3,4,8,9,10,15 ,23,24,25,30, 40,43 11,12,14,16, 27,32 19 2 Informational 2,5,6,13,17,20, 21,22,26,31,33 ,36,39 7,18,19,28,29,34, 35,37,38,41,42 24 Jumlah 26 17 43

Skala konformitas teman sebaya ini terdiri dari 4 alternatif jawaban, Pembobotan nilai skala bcrgerak dari 1 sampai dengan 4. yaitu: untuk aitem

favourable, sangat setuju (SS) diberi skor 4, setuju (S) diberi skor 3, tidak

setuju (TS) diberi skor 2 dan sangat tidak setuju (STS) diberi skor I. Untuk

aitem unfavourable sangat setuju (SS) diberi skor ,1 setuju (S) diberi skor 2,

tidak setuju (TS) diberi skor 3 dan sangat tidak setuju (SIS) diberi skor 4.

Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, maka semakin tinggi perilaku untuk konformitas begitu juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh

maka semakin rendah pula perilaku konformitasnya.

Kedua alat ukur tersebut akan diujicobakan pada remaja penghuni

LAPAS anak Kutoarjo Jawa Tengah. Setelah diujicobakan akan di hitung

(54)

tersebut digunakan sebagai hasil penelitian. Hal ini dikarenakan peneliti

menggunakan metode tryout terpakai.

E. Validitas Dan Reiiabilitas

1. Uji Validitas

Suatu tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas

tinggi apabila alat ukur tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan

hasil ukurnya sesuai dengan maksud dilaksanakannya pengukuran tersebut. Dapat

pula dikatakan validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat

dalam melakukan fungsinya. Suatu tes dikatakan mempunyai validitas rendah jika

tes tersebut menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran. Validitas biasanya dinyatakan secara empiris oleh suatu koefosien uji koefisien

validitas (Azwar, 1997).

Seleksi terhadap aitem-aitem yang akan digunakan dalam penelitian

dilakukan dengan cara menghitung koefisien korelasi antara skor subjek pada

aitem yang bersangkutan dengan skor total tes. Dengan melihat indeks daya beda

aitem dapat ditentukan aitem yang digunakan dalam penelitian dan aitem-aitem yang gugur dalam penelitian. Teknik yang digunakan adalah korelasi

product moment dari Pearson.

2. Uji Reiiabilitas

Reiiabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, handal, ajeg, stabil dan konsisten. Estimasi terhadap tingginya reiiabilitas alat

(55)

ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan konsistensi internal. Metode tersebut bekerja dengan melihat konsistensi antar aitem atau

antar bagian dalam tes itu sendiri. Teknik yang digunakan dalam penghitungan

reiiabilitas ini memakai teknik koefisien Alpha (Azwar, 1997).

F. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini digunakan

untuk mengetahui hubungan antara konformitas dengan perilaku delinkuen pada remaja di LAPAS anak kutoarjo dengan menggunakan program SPSS 10.0 for

(56)

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah Penelitian

Pengambilan data penelitian dilakukan di LAPAS khusus anak Kutoarjo

yang berlokasi di Jalan Pangeran Diponegoro No. 36 Kutoarjo, Jawa Tengah.

Adapun subjek penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah para

penghuni LAPAS anak-anak dengan karakteristik remaja berusia 13-18 tahun.

LAPAS anak Kutoarjo adalah sebuah LAPAS bagi anak dan remaja yang

telah melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan

perbuatannya, LAPAS tersebut berada di bawah naungan Dinas Kehakiman dan

HAM Propinsi Jawa Tengah yang menangani dan menampung para napi dari

seluruh wilayah Jateng dan DIY, khususnya dari Jawa Tengah bagian selatan.

LAPAS anak dan remaja Kutoarjo berdiri pada tahun 1992 dan mulai berjalan

secara efektif pada tahun 1993.

Pendirian LAPAS anak Kutoarjo bertujuan sebagai unit pelaksana teknis yang menampung dan merawat para narapidana dan anak didik. Para narapidana

tersebut dibedakan dalam tiga kategori, pertama, anak pidana yaitu narapidana

yang sudah jelas mendapatkan hukuman pidana karena kasus pidana. Kedua.amk

negara yaitu narapidana yang mendapatkan hukuman karena kasus pidana, tapi

putusan diserahkan pada negara untuk diberi pendidikan dan pembinaan. Ketiga,

Gambar

Tabel XI
Tabel II
Tabel III
Tabel IV
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku menyontek pada siswa SMA.. Sumbangan efektif

Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara konformitas teman sebaya dengan perilaku agresif remaja.. Subyek penelitian terdiri dari 207 siswa SMP Negeri 1

Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya dengan Minat Mengikuti Trend Menggunkan Kawat Gigi Pada Remaja Putri ... Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Indrawati (2016) yang membahas tentang konformitas teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada siswi SMA Semesta menunjukkan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku

menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara konformitas teman sebaya dan perilaku minum-minuman keras pada remaja laki-laki di Kelurahan Pekuncen RT 31 RW 07

Konformitas teman sebaya yang berada pada tataran remaja karang taruna di Dusun Gamping Desa Jambean, Sragen Jawa Tengah memiliki hubungan yang sigknifikan dengan perilaku

berpendapat bahwa ciri-ciri remaja yang me- lakukan konformitas terhadap teman sebaya yaitu: (1) Remaja akan berperilaku sama atau sesuai dengan kelompok dan bersikap menerima