DENGAN PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA DI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO
SKRIPSI
Oleh:
Ratih Pramuningrum
99320016
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
JOGJAKARTA
PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN ANAK Kl TOARJO
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakulta* Psikoiopi time^tas Islam Indonesia untuk
menempuh sebagian dan svaravsvarai guna memp-roleh derajat
Sarjiuui S~i Psikoiogi.
Oleh;
Ratih Fraii)iiniusrum
('9J20CI6
FAKl LTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YGGYAKARTA
Dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Psikologi llniversitas Islam Indonesia
Diterima Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana SI Psikologi
Pada Tanggfil
] o feb ::c4
Dewan Penguji:
1. Hadi Sutarmanto, Drs., MS
2. Hj. Ratna Syifa'a R, S, Psi., M. Si
3. Irwan Nuryana K, S. Psi
ii
Meagesahkan
Fakultas Psikologi
Univer^ites Islam Indonesia
f *
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk:
v» Allah SWT,atas rahmat dan karunia-Nya
v- Rasul dan para Nabiku
v Ayahanda Sudaryoto,ST dan Ibunda Sri Sunarti atas kasih sayang, Cinta
dan do'anya yang tiada akhir
v° I would like to thank the person who gave me "a big support" in this
work...and for the time....Dwi...."thank's for everything..."
"Sesungguhnya Allah tidak melihat atau menilai rupa hartamu,
tetapi menilaikepada hatidan karyamu."(HR. Muslim dan Abu Hurairah)
'Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan" (Alam Nasyrah:6)
Assalamu 'alaikum Wr. Wb
Syukur alhamdulillah ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan dan
tefah memfimpahkan sebagian rizk.-Nya sehingga dapat diselesaikannya skripsi
ini, guna memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana Psikologi pada Fakultas
Psikologi llniversitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
skripsi yang bcrjudul "Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya Dengan
Perilaku Delinkuen Pada Remaja Di Penjara Anak-anak Kutoarjo" ini, ucapan
terima kasih terutama kepada:
Bapak Hadi Sutarmanto, selaku dosen pembimbing utama skripsi yang
telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama penyusunan
skripsi ini.
Bapak Irwan Nuryana K, S.Psi, selaku dosen pembantu pembimbing
skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, kntik dan saran
selama penyusunan skripsi ini.
Bapak Sus Budiharto S.Psi, Psikolog, selaku dosen pembimbing akademik
yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama studi S-l di
Fakultas Psikologi' [Jniversitas Islam Indonesia.
Seluruh staf pengajar dan karyawan di hngkungan Fakultas Psikolog,
Universitas Islam Indonesia atas bantuan yang telah diberikan kepada nenulis
selama menyelesaikan studi S-l di Fakultas Psikologi [Jniversitas Islam
Indonesia.Bapak Drs Imam Darmono Bc.Ip.SIP selaku pimpinan LAPAS Anak-anak
Kutoarjo, Jawa Tengah Yang telah memberikan ijin untuk pengambilan data.
Bapak Suwardi selaku PJS KA LAPAS anak Kutoarjo Jawa Tengah yang
Anak-anak Kutoarjo.
Bapak dan Ibu yang telah banyak memberikan dorongan dan kasih sayang
kepada penulis selama menyelesaikan studi S-1.
Kakakku Pranowo, terima kasih atas do'a dan motivasinya selama ini.
Mas Oestam, dik Mung dan keluarga Bayat, Klaten, yang telah banyak
memberikan bantuan, masukan-masukan dan dorongan kepada penulis selama
menyusun skripsi ini.
Teman-temanku di Fakultas Psikologi (Jniversitas Islam Indonesia, Hesti,
Kiky, Okky, Tiwi dan semua teman-temanku di Fakultas Psikologi UII,
khususnya angkatan '99.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besamya
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis
selama penyusunan skripsi ini.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Jogjakarta, 11 Februari 2004
Penulis
HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN u
HALAMAN PERSEMBAHAN
MOTTO iv KATA PENGANTAR. v DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL.... x BAB IPENGANTARA. Latar Belakang Masalah B. TujuanPenelitian... o C. Manfaat Penelitian D. Keaslian Penelitian
BABIITINJAUANPUSTAKA
I0
A. Perilaku Delinkuen1. Pengertian Perilaku Delinkuen
10
2. Aspek Perilaku Delinkuen
13
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Delinkuen
17
B. Konformitas Teman Sebaya
24
1. Pengertian Konformitas Teman Sebaya
24
2. Aspek-Aspek Konformitas Teman Sebaya
27
C. Remaja
27
'. Pengertian Remaja
27
2. Ciri (/mum pada Remaja
30
D. Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya Dengan Perilaku
Delinkuen Pada Remaja Di Pcnjara Anak-Anak Kutoarjo
32
E. Hipotesis
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
36
C. Subjek Penelitian ,_
D. Metode Dan Alat Pengumpulan Data
37
1. Skala Perilaku Delinkuen
38
2. Skala Konformitas Teman Sebaya
40
E. Validitas Dan Reliabilitas
42
F. Metode Analisis Data
BAB IV PELAKSAAAN DAN HASIL PENELITIAN
44
44
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian
44
2. Perijinan Penelitian
47
3. Periapan Alat Ukur Penelitian
47
a. Skala Perilaku Delinkuen
48
b. Skala Konformitas Teman Sebaya
48
B. Pelaksanaan Penelitian
49
C. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Subjek Penelitian
50
2. Deskripsi Dala Penelitian
50
3. Hasil LJji Asumsi
53
a. Uji Normalitas
53
b. l/ji Liniearitas
3. Hasil Uji Hipotesis
54
D. Pembahasan 54 BAB V PENUTUP 58 A. Kesimpulan 58 B. Saran 58 VIII
Tabel I
Daftar Sebaran Aitem Skala Perilaku Delinkuen Sebelum Uji Coba
39
Tabel B
Daftar Sebaran Aitem Skala Konformitas Sebelum Uji Coba
41
Tabel III
Daftar Penghuni LAPAS Anak Kutoarjo Berdasar Golongan
Per Oktober 2003
Tabel IV
Daftar Penghuni LAPAS Anak Kutoarjo Berdasar Status Tahanan
Per Oktober 2003
45
46 Tabel V
Daftar Sebaran Aitem Skala Perilaku Delinkuen Setelah Uji Coba
48
Tabel VI
Daftar Sebaran Aitem Skala Konformitas Teman Sebaya Setelah Uji Coba... 49
Tabel VII
Deskripsi Subyek Penelitian
Tabel VIH
Deskripsi Data Penelitian
Tabel IX
Kategori Skala Perilaku Delinkuen.
50
51
Tabel XI
Hasil Uji Asumsi Normalitas
XI
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam sejarah kehidupan perkembangan manusia, manusia
berkembang melalui beberapa tahapan perkembangan dan tahap perkembangan
sebelumnya akan berpengaruh terhadap perkembangan berikutnya. Remaja
merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Masa depan bangsa dan
negara adalah terletak di pundak dan tanggung jawab mereka. Remaja mempunyai
potensi dan banyak kesempatan untuk menjadi pribadi yang lebih berguna bagi
keluarga, lingkungan maupun bangsa dan negara. Perkembangan remaja akan
menentukan apakah remaja tersebut menjadi remaja yang ideal atau menjadi
remaja yang tidak diinginkan oleh lingkungan. Jika mereka berkembang dengan
peningkatan kualitas yang baik, besar harapan kebaikan dan kebahagiaan bangsa
dapat diharapkan. Namun jika terjadi sebaliknya maka keadaan yang
membahayakan negara akan timbul, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang
akan menjadikan rakyat sengsara (Basri, 1995).Beberapa tahun terakhir ini berita di media massa berisi perilaku
kejahatan dalam kuantitas dan kualitas yang semakin meningkat. Selain itu juga
terungkap semakin banyaknya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak-anakremaja seperti perkelahian, penyerangan, pemerkosaan, perampasan dan
perampokan, pemakaian obat terlarang hingga ke pembunuhan. Istilah kenakalan
remaja sudah tidak lagi sekedar perilaku iseng semata, tetapi mengalami
peningkatan bobot dilihat dari keberanian mengambil resikonya. Sorotan tajam
dan kekhawatiran masyarakat atas perilaku sebagaimana remaja yang telah
menyimpang dari norma hukum dan norma sosial. Perhatian yang begitu besar
dari berbagai kalangan tidak lain disebabkan oleh kesadaran akan pentingnya
remaja sebagai penerus generasi tua untuk mempertahankan eksistensi bangsa di
masa depan (Basri, 1995).
Remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak yang
penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab.
Kehidupan remaja penuh dengan problema, seperti kekecewaan, penderitaan,
meningkatnya konflik, pertentangan-pertentangan, krisis penyesuaian, impian dan
khayalan, pacaran dan keterasingan dan kehidupan orang dewasa serta norma
kebudayaan (Gunarsa, 1983). Upaya memahami remaja bukan berdasar atas
pemikiran-pemikiran yang berat sebelah, namun diupayakan juga cara
pemecahannya.
Masa remaja identik dengan masa kritis, masa transisi dan merupakan
masa pencarian identitas din yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan dalam
berbagai aspek, terutama yang berkaitan dengan aspek fisiologis, yaitu
pertumbuhan fisik yang sudah menyamai bentuk fisik orang dewasa,
berkembangnya fungsi seksual dan aspek psikologis, seperti aspek emosi,
intelektual, perkembangan sosial dan mental. Perubahan-perubahan yang dialam,
oleh remaja akan sangat mempengaruhi perilaku-penlaku remaja selanjutnya
(Poerwanti &Widodo, 2002). Perkembangan sosial remaja (erjad. dua macam
proses mencari identitas diri. Di sisi lain diketahui bahwa remaja mempunyai
serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalaninya. Salah satu tugas
perkembangan tersebut adalah menerima hubungan dengan lingkungan sosial
yang lebih luas. Remaja dalam perkembangannya harus dapat mencapai pola
hubungan baru yang lebih matang dengan kelompok sebaya, baik yang sejems
maupun yang berlainan jenis, sesuai dengan etika moral masyarakat dan
bertanggung jawab sebagai pedoman perilaku dan mengembangkan ideologi
mereka.
Melalui kehidupan dengan kelompok sebaya, remaja belajar bagaimana
berinteraksi dengan kelompok sebayanya, mengontrol tingkah laku sosialnya,
mengembangkan kemampuan dan mmat, serta mendapatkan dukungan sosial yang
berbeda dengan yang mereka dapatkan dari lingkungan keluarganya. Penlaku
seragam merupakan suatu perubahan atau penyesuaian persepsi, keyakinan dan
perilaku terhadap kelompok karena adanya tuntutan maupun tekanan yang
sifatnya imajinatif atau nyata. Tekanan-tekanan dalam kelompok yang
mengakibatkan konformitas ini mcmainkan peran yang sangat penting dalam
keputusan seseorang untuk melakukan sesuatu yang sifatnya " terpaksa ", karena
jika tidak melakukannya seseorang akan dikeluarkan dari kelompoknya.
Terbentuknya sistem nilai, sikap, perilaku dan kebiasaan baru banyak dipengaruh,
oleh kelompok sebaya ini, sehingga pemilihan kelompok sebaya yang tepat akan
menjadi pendorong dan sumber kematangan kepribadian remaja. Sebaliknya, akan
lingkungan sosial yang normal. Kelompok ini kurang mampu mengenal
norma-norma sosial yang ada, sehingga menimbulkan perilaku-perilaku yang kurang atau
bahkan tidak sesuai dengan norma, seperti tindak kriminal atau kejahatan yang
akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat (Poerwanti &Widodo, 2002).
LAPAS khusus anak yang terletak di Kabupaten Kutoarjo Propinsi Jawa
Tengah dihuni oleh 58 orang anak dan remaja berusia antara 13 sampai 23 tahun,
terdiri dari 58 orang laki-Iaki. Penjara ini merupakan salah satu tempat khusus
bagi anak-anak dan remaja delinkuen yang dijatuhi pidana menurut putusan hakim
dan telah memiliki kekuatan tetap, yaitu anak dan remaja yang melakukan
tindakan menyimpang dan melangar peraturan atau norma, baik norma sosial,
agama maupun hukum. Tingkah laku yang ditunjukkan lebih pada perilaku
delinkuen dengan bercirikhaskan cenderung merusak, melanggar
peraturan-peraturan dan menyerang. Lingkup bidang-bidang yang dilanggar meliputi hak
milik (mencuri dan merusak hak milik orang lain), bidang seks dan hubungan
dengan orang lain (menyerang dengan tiba-tiba dan berkelahi) dan
penyalahgunaan narkotika (Kartono, 2002).
Menurut keterangan dari beberapa pengunjung yang pernah berkunjung
ke penjara tersebut, para penghuni LAPAS berperilaku delinkuen dikarenakan
adanya impulsifitas (dorongan dasar dari dalam diri) dan sikap konformitas (sikap
ingin sama dengan kelompoknya). Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia
tempat para remaja dapat melakukan sosialisasi dalam suasana di mana nilai-nilai
remaja dalam kelompok tersebut. Berdasarkan alasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa kepentingan vital masa remaja bagi remaja adalah kelompok sebaya yang
terdiri dari anggota kelompoknya atau teman-teman yang dapat menerimanya.
Orang seringkali mempelajari sikap dan perilaku orang yang menjadi
model. Proses perilaku ini terjadi melalui observasi biasa terhadap model tersebut
(Sears, Freedman & Peplau, 1994). Begitu juga dengan perilaku delinkuen,
seorang anak berusia tiga belas tahun dapat belajar bagaimana melakukan
pencabulan pada anak tetangganya yang berusia dibawahnya dengan meniru
bagaimana adegan "syur" yang ditontonnya dari sebuah VCD Blue yang
dipinjamnya dari sebuah rental VCD. Selain itu juga ada dua anak kelas enam SD
tega memperkosa anak tetangganya yang masih berusia balita. Berbeda dengan
sekelompok (empat orang) anak yang berusia sepuluh sampai lima belas tahun
tega membunuh secara beramai-ramai seorang penjaga malam di sebuah
peternakan yang hanya disebabkan karena mereka diketahui mencun (Patroli
Indosiar, 2003).
Peneliti juga mewawancarai salah seorang remaja penghuni LAPAS yang
mengatakan bahwa awalnya remaja tersebut hanya sering berkumpul dengan
teman-temannya, pergaulannya dengan teman sebaya dimulainya dengan merokok
dengan teman-temannya karena ditawari rokok. Semakin tinggi intensitas bersama
dengan kelompoknya maka remaja tersebut mempunyai rasa persatuan yang
tmggi, yaitu apabila satu senang semua ikut senang dan satu susah semua ikut
melakukan aksi pencurian agar bisa mendapatkan uang.
Tingginya intensitas remaja berada di luar rumah bersama dengan
teman-teman sebaya sebagai kelompok dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman-teman-teman
pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada
pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila
mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok
yang populer, maka kesempatan untuk diterima oleh kelompoknya lebih besar.
Begitu juga apabila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obat
terlarang atau merokok dan mencuri, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa
memperdulikan akibatnya pada mereka sendiri ( Hurlock 1990).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengungkap tentang adanya
sikap ingin selalu sama terhadap kelompoknya atau disebut konformitas dengan
perilaku delinkuen yang dilakukan oleh penghuni LAPAS anak di Kutoarjo,
karena usia mereka tergolong ke dalam usia masa transisi menuju remaja dan
identik dengan pencarian jati diri terutama bersama teman-temannya. Sehingga
peneliti mempunyai pertanyaan " adakah hubungan antara konformitas dengan
perilaku delinkuen yang dilakukan oleh penghuni LAPAS anak di Kutoarjo"
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
konformitas teman sebaya dengan perilaku delikuen pada remaja di LAPAS anak
Manfaat praktis, untuk memberikan informasi dan pengetahuan pada
masyarakat, para orang tua dan pendidik mengenai hubungan antara konformitas
teman sebaya dengan perilaku delinkuen pada remaja, khususnya pada remaja di
LAPAS anak di Kutoarjo.
Manfaat teoritis, penelitian ini merupakan bentuk sumbangan pengetahuan
pada ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan psikologi sosial.
D. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan perilaku
delinkuen sebagai variabel tergantung. Variabel bebas yang pernah dijadikan
prediktor perilaku delinkuen adalah :
a. Dorongan mencari sensasi dan persepsi terhadap tersedianya dukungan teman
sebaya (Ediati, 1997).
Penelitian tersebut mengunakan sampel subjek siswa sebuah SMU di
Yogyakarta. Dengan hasil penelitian, ada korelasi positifyang signifikan antara
dorongan sensasi dan persepsi terhadap tersedianya dukungan teman sebaya
dengan kecenderungan berperilaku delinkuen. Skala yang digunakan adalah
skala yang berkaitan dengan skala kecenderungan berperilaku delinkuen dari
teori Hurlock dan teori Jersen.b. Kontrol diri (Elfida, 1995). Penelitian yang digunakan adalah berfokus pada
bagaimana kecenderungan perilaku delinkuen. Subjek bisa saja bclum pernah
SMU di Yogyakarta. Hasil penelitiannya adalah ada korelasi negatif yang
signifikan antara kemampuan mengontrol diri dan kecenderungan berperilaku
delinkuen pada remaja. Alat tes yang digunakan berkait dengan perilaku
delinkuen adalah skala kecenderungan berperilaku delinkuen dari teori Hurlock
dan Jensen,
c. Ciri sifat kepribadian (Tri Novita, 1990) dengan sampel dan siswa sebuah
SMU di Yogyakarta. Alat ukur yang dipakai yaitu alat ukur yang mengungkap
ciri sifat kepribadian dari 16 PF. Dengan hasil yang diperoleh ada perbedaan
profil remaja delinkuen yang ciri sifat lebih tinggi daripada remaja non
delinkuen; ciri sifat intellengency dominance conformity, radicalism dan self
discipline yang lebih tinggi daripada delinkuen faktor H; tidak ada perbedaan
ciri sifat emotional-stability (faktor C), impulsifity (faktor F), sensitivity (faktor
I), suspiciousness (faktor L), imajination (faktor M), shrewdness (faktor N),
insecurity (faktor O), selfsufficiency (Q2) dan lention (Q4).
d. Orientasi religiusitas dan jenis kelamin (Kurniawan, 1997), dengan
menggunakan sampel siswa sebuah SMU kelas II di Tasikmalaya. Hasil
penelitian yang telah dilakukan diperoleh ada hubungan negatif antara orientasi
religius dengan kecederungan berperilaku delinkuen pada remaja. Alat ukur
yang dipakai skala kecederungan perilaku delinkuen yang merupakan skala
hasil adaptasi dari skala Elfida (1995).
e. Konformitas pada anak jalanan (Lidya Indrawati, 2001) dengan menggunakan
sampel para anak jalanan di Yogyakarta. hasil yang diperoleh ada hubungan
positif antara konformitas dengan perilaku delinkuen pada anak jalanan. SkalaJensen dan skala konformitas dari Deutch dan Gerard.
Penelitian yang berkaitan dengan anak atau remaja penghuni LAPAS
jarang sekali ditemukan. Dalam hal ini peneliti hanya mendapatkan satu penelitian
kualitatif eksploratif dalam hubungannya dengan fanomena perilaku seksual
(Setyaningsih, 2000). Berdasarkan beberapa penelitian yang erat kaitannya
dengan perilaku delinkuen di atas dapat disimpulkan pada penelitian terdahulu
pada umumnya mengunakan sampel dari anak-anak atau remaja yang dulu duduk
di bangku sekolah, khususnya SMU, SMK, ataupun sekolah-sekolah sederajat
lainnya. Penelitian yang berfokus pada anak dan remaja penghuni LAPAS yang
mungkin sebagian ada yang bersekolah dan ada yang tidak, bahkan ada yang tidak
pernah sama sekali bersekolah, dan karakteristik merekapun berbeda dengan
siswa-siswa SMU atau sekolah sederajat lainnya.
Penelitian yang dilakukan dalam kaitannya dengan konformitas teman
sebaya terhadap perilaku delinkuen pada remaja di LAPAS anak Kutoarjo juga
A. Perilaku Delinkuen
1. Pengertian Perilaku Delinkuen
Banyak pengertian dapat diberikan pada istilah kenakalan remaja
tergantung pada sudut pandang pemahamannya.
Kenakalan remaja adalah perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh
mereka yang berusia kurang lebih 18 tahun dan bila dilakukan oleh orang
dewasa akan dikenakan pidana (Kartono, 2002). Simanjuntak (Respati, 1995)
menyatakan bahwa kenakalan remaja adalah perbuatan anti sosial yang
dilakukan oleh anak-anak remaja dan bilamana dilakukan oleh orang dewasa
dikualifikasikan sebagai tindakan kejahatan.
Menurut Kartono (2002) perilaku delinkuen adalah perilaku jahat atau
dursila, atau kejahatan /kenakalan anak-anak muda. Perilaku delinkuen
merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja
yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Anak-anak muda
yang delinkuen atau jahat itu disebut puia sebagai anak cacat secara sosial.
Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di
tengah masyarakat.
Secara hukum, Sudarsono (1995) menyatakan kenakalan remaja
memiliki arti luas yaitu perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang terdapat dalam KUHP
(pidanaumum) maupun perundang-undangan di luar KUHP (pidana khusus). Simanjuntak (Respati, 1995), berkaitan dengan hukum menyatakan bahwajuvenile deliquency berarti perbuatan perkosaan terhadap norma hukum
pidana dan pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para "JDn I
disebut juga offenders terdiri dari anak berumur di bawah 21 tahun yang
termasuk yurisdiksi pengadilan anak. Pengertian delinkuensi dibatasi pada
perbuatan kenakalan yang dikhawatirkan akan mengakibatkan si anak nantinya
mempunyai kecenderungan yang mendalam untuk berbuat tindak pidana. Suatu
perbuatan disebut delinkuen jika dilakukan oleh anak-anak tetapi jika
perbuatan itu dilakukan orang dewasa disebut kejahatan. Pengertian yang sama yaitu jika perbuatan itu secara normatif tidak pantas dilakukan anak/remaja
maka disebut delinkuensi remaja, sedangkan bila perbuatan tersebut dilakukan
orang dewasa disebut kejahatan.
Gold dan Petronio (Sarwono, 2002) mendefinisikan kenakalan remaja
sebagai tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja oleh
seseorang yang belum dewasa tanpa memperdulikan peraturan yang telah
ditetapkan oleh petugas hukum.
Arti delinquency (delinkuensi, kejahatan, pelanggaran) berdasarkan
1. Satu pelanggaran, serangan, kesalahan atau kejahatan yang relatif minor melawan UU legal, khususnya dilakukan oleh anak muda yang belum dewasa.
2. Ciri-ciri khas dan penjahat atau pelanggar yang melakukan perbuatan
kejahatan secara berulang-ulang.
Perkembangan istilah perilaku delinkuen mengalami pergeseran
secara etimologis baik yang menyangkut aktivitasnya, yaitu istilah kejahatan (delinkuen) menjadi kenakalan dan juga pergeseran pengertian subjek atau pelakunya. Diurigkapkan oleh Walgito (Sudarsono, 1995), bahwa perilaku
delinkuen adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak remaja
dan jika dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan tersebut merupakan
tindak kejahatan.
Perilaku delinkuen dapat dibedakan menjadi dua yaitu delinkuen yang
mengarah pada tindakan kriminal dan delinkuen dalam arti sebenarnya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini delinkuen yang di maksud adalah delinkuen
dalam arti yang sebenarnya, yaitu kenakalan remaja, yang digolongkan dalam bentuk kriminal atau kejahatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perbuatan kriminal atau kejahatan tersebut.
Merril (Gerungan, 2000) menggolongkan bahwa seorang anak
digolongkan anak delinkuen apabila anak tersebut menampakkan kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya dan mengasingkannya.
Berpijak dari uraian di atas maka perilaku delikuen dapat
didefinisikan sebagai suatu perilaku yang dilakukan oleh remaja yang
bertentangan dengan norma dan nilai yang ada dalam masyarakat yang
berwujud tindakan asusila, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, dursila dan lain sebagainya sebagai akibat dari pengaruh sosial yang
didapat untuk mengatasi problema dalam kehidupannya.
2. Aspek-Aspek Perilaku Delinkuen
Empat aspek delinkuen menurut Jensen (Sarwono, 2002):
1. Delinkuen yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara
pergi dari rumah atau membantah perintah orang tua dan sebagainya.
2. Delinkuen yang tidak menimbulkan korban dan kerugian bagi orang lain,
seperti pelacuran dan penyalahgunaan obat.
3. Delinkuen yang menimbulkan korban materi bagi orang lain, misalnya
perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan Iain-Iain.
4. Delinkuen yang menimbulkan korban fisik bagi orang lain, misalnya
perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan Iain-Iain.
Wright (Basri, 1995), membagi jenis-jenis kenakalan remaja dalam
beberapa keadaan :
1. Neurotic delinquency, yaitu remaja yang mempunyai sifat pemalu, terlalu perasa, suka menyendiri, gelisah dan mcngalami pcrasaan rendah diri.
seperti mencuri sendirian, melakukan tindakan agresif secara tiba-tiba tanpa alasan karena dikuasai oleh khayalan dan fantasinya sendiri.
2. Unsocialized delinquency, suatu sikap yang suka melawan kekuasaan
seseorang, rasa bermusuhan dan pendendam. Hukuman dan pujian tidak
berguna bagi mereka. Mereka tidak pernah merasa bersalah dan tidak pula
menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Sering melemparkan
kesalahan dan tanggung jawab kepada orang lain. Untuk mendapatkan kesenangan dan ketakutan atau pengakuan orang lain sering pula melakukan
tindakan-tindakan yang penuh dengan keberanian, kehebatan dan di luar
dugaan.
3. Pseudo social delinquency, remaja atau pemuda yang mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap kelompok atau "geng" sehingga sikapnya tampak
patuh, setia dan kesetiakawanan yang baik. Jika melakukan suatu tindakan
kenakalan bukan atas dasar kesadaran diri sendiri yang baik tetapi karena
didasari anggapan bahwa ia harus melaksanakan sesuatu kewajiban
kelompok yang telah digariskan. Ia selalu siap sedia memenuhi kewajiban yang ditugaskan oleh kelompoknya, hal tersebut dikarenakan kelompoknya memberikan rasa aman kepada dirinya, meskipun kelompoknya adalah
kelompok yang tidak dapat diterima, baik oleh masyarakat karena tindakan
Hurlock (1990) mengemukakan empat kategori mayor perilaku
delinkuen berdasarkan bentuknya, antara lain :
1. Harm to self and other, meliputi tingkah laku menyerang orang lain,
menimbulkan keributan di tempat umum, melukai diri sendiri dan Iain-lain.
2. Damage to or misapproriation ofproperty; meliputi pengrusakan barang,
mencuri, membakarbarang, perampasan dan Iain-lain.
3. Ungovernability; meliputi tingkah laku membantah orang tua, guru atau
orang dewasa lainnya, "minggat" dari rumah, membolos, mabuk-mabukan,
menggunakan narkotika dan Iain-lain.
4. Acts leading to possible damage to self or others; meliputi penggunaan
berat terhadap narkotika, penyalahgunaan senjata, perilaku seksual yang
menyimpang dan Iain-lain.
Kartono (2002), mengemukakan beberapa wujud penlaku delinkuen,
seperti:
1. Kebut-kebutan di jalanan yang menganggu keamanan lalu-lintas dan
membahayakan jiwa sendiri maupun orang lain.
2. Perilaku ugal-ugalan, brandalan, urakan yang mengacaukan ketentraman
milik sekitar.
3. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku
(tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.
4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen
5. Kriminalitas anak, lamaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan
mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, mengarong; melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya; mencekik, meracun, tindak
kekerasan dan pelanggaran lainnya.
6. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas
atau orgi (mabuk-mabukan hemat dan menimbulkan keadaan yang kacau
balau) yang mengganggu lingkungan.
7. Perkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual atau
di dorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menurut
pengakuan diri, depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan di tolak oleh seorang wanita dan lain sebagainya.
8. Perjudian dan bentuk permainan lain dengan taruhan, sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas.
9. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan
pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin.
10. Tindakan radikal dan ekstrim dengan cara kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja.
11. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan karena adanya organ-organ yang
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja bukan merupakan keadaan yang muncul dengan sendirinya akan tetapi juga merupakan perpaduan dari beberapa kondisi yang dialami oleh remaja.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Delinkuen
Masalah kenakalan remaja merupakan suatu masalah yang menarik
untuk dibahas, karena permasalahan tersebut merupakan masalah yang global
bagi masyarakat luas. Banyak teori yang membahas mengenai kenakalan remaja dan banyak dikemukakan penyebab-penyebab yang melatarbelakangi terjadinya kenakalan remaja. Salah satu faktor penyebab yang mempunyai peranan besar bagi terbentuknya perilaku delinkuen, yakni peran orang tua dan
keluarga.
Orang tua seringkali melakukannya dengan jalan menekan atau
menghukum anak-anak tersebut secara keras, mengadakan berbagai macam Iarangan yang tidak wajar ataupun menanamkan peraasaan berdosa dan bersalah pada diri anak padahal cara-cara tersebut dapat menimbulkan efek
terhambatnya daya pikir dan intelegensi anak, karena anak merasa ketakutan,
insecure dan merasa terancam sehingga sulit untuk berfikir. Akibatnya anak
tersebut menjadi kesulitan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dan sulit berfikir wajar dan realistis. Melihat keadaan remaja seperti itu , maka remaja pasti akan lari ke dalam kelompok teman sebaya mereka yang menurut mereka dalam kelompok teman sebaya tersebut dapat membantu permasalahan
Selanjutnya perilaku-perilaku yang dilakukan dalam pergaulan dengan kelompok teman sebaya tersebut, remaja akan mengabaikan atau lupa akan
norma yang ada karena remaja tersebut merasa enjoy dengan perilakunya dan tanpa merasa ada pembatasan-pembatasan terhadap dirinya (Prawesti, 2001).
Remaja melakukan tindak kejahatan karena didorong oleh konflik
batin pada diri mereka, sehingga memunculkan konflik batinnya untuk
mengurangi tekanan jiwanya melalui tingkah laku yang agresif dan impulsif.
Hal tersebut dapat dibuktikan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa remaja delinkuen memiliki intelegensi yang lebih rendah dibandingkan dengan
remaja normal. Skor rata-rata remaja delinkuen lebih rendah dalam tes-tes
intelegensi dibandingkan remaja sebayanya yang non delinkuen (Monks,
1994), hal tersebut di dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Jennifer
et al (White & Moffit, 1989) yang mengindikasikan bahwa remaja delinkuen
ternyata menunjukkan skor-skor IQ yang lebih rendah secara signifikan
dibandingkan remaja non delinkuen.
Kartono (2002) mengatakan, anak-anak delinkuen pada umumnya
mempunyai inte'egensi verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian
hasil-hasil skolastik . Kecerdasan yang tumpul dan wawasan sosial yang
kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delinkuen jahat. Mereka banyak membolos dari sekolah. Kurang lebih 30% dari anak-anak yang terbelakang mentalnya menjadi kriminal, dan kurang lebih 50% dari anak-anak delinkuen itu pernah mendapatkan hukuman polisi atau
Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntungpun jelas
membuahkan masalah psikologis personal dan penyesuaian diri yang terganggu pada diri anak-anak, sehingga mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga
guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen.
Delinkuen atau kejahatan anak-anak dan remaja merupakan reaksi terhadap
masalah psikis anak remaja itu sendiri (Kartono, 2002).
Sutherland (Kartono, 2002) menyatakan bahwa anak dan remaja menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu
lingkungan sosial, yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang
efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu, semakin lama anak
bergaul dan semakin intensif relasinya dengan anak-anak jahat lainnya, akan
menjadi semakin iama pula proses asosiasi differensial tersebut. Semakin besar
kemungkinan anak-anak remaja tadi benar-benar menjadi kriminal. Sutherland
menekankan pada hal-hal yang dipelajari atau proses pengkondisian terhadap individu anak, serta tipe kepribadian anak (biasanya dengan mental yang lemah dan tidak terdidik dengan baik) yang menjalani proses pengkondisian tadi.
Menurut Graham (dalam Sarwono, 2002), membagi faktor-faktor penyebab perilaku delinkuen ke dalam dua golongan, yaitu :
1. Faktor lingkungan :
a. Malnutrisi (Kekurangan gizi)
b. Kemiskinan di kota-kota besar
c. Gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu lintas, bencana alam dan
d. Migrasi (urbanisasi, pengungsian karena perang dan Iain-lain)
e. Faktor sekolah (kesalahan mendidik, faktor kurikulum dan Iain-lain)
f. Keluarga yang tercerai berai ( perceraian, perpisahan yang terlalu lama
dan Iain-lain)
g. Gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga
2. Faktor Pribadi
a. Faktor bakat yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah,
hiperaktif dan Iain-Iain)
b. Cacat tubuh
c. Ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri.
Beberapa faktor penyebab perilaku delinkuen di atas, salah satu
diantaranya merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah
psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimulus, dengan kata lam
adalah merupakan kompensasi dari segala kekurangan dan kegagalan yang
dialaminya (Kartono, 2002).
Hurlock (1990) menyatakan ada dua hal yang berkaitan dengan
masalah delinkuen remaja. Pertama •adalah kecenderungan (predisposition)
yang menyebabkan delinkuensi remaja. Kedua adalah motivasi penyebab
kenakalan remaja. Kecenderungan penyebab mengakibatkan meningkatnya
kemungkinan remaja berperilku delinkuen.
Seperti yang dikemukakan Resnick (Hurlock, !990) banyak faktor
yang menghasilkan individu anti sosial pada sebagian remaja dan
kecenderungan tersebut lebih tinggi daripada yang lain, ada beberapa
kecenderungan yang menyebabkan remaja berperilaku delinkuen.
Beberapa kecenderungan {predisposition) yang menyebabkan
delinkuen , antara lain :
1. Tingkat intelegensi yang rendah, biasanya berkaitan dengan kurangnya
perencanaan kedepan {foresight), tidak memungkinkan bagi sejumlah remaja untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
2. Ketidaksempurnaan fisik dan kemasakan seksual yang menyimpang akan
menyebabkan adanya perasaan adekuat pada remaja, yang mungkin akan
dikompensasikan dalam bentuk perilaku menyimpang.
3. Sikap yang tidak menguntungkan terhadap sekolah, yang berasal dari
kegagalan akademis dan sosial, sering mendorong remaja membolos dan
mengakibatkan drop out serta kesulitan dalam memperoleh pekerjaan dan kemudian akan meningkatkan kecenderungan remaja berperilaku anti
sosial.
4. Ketimpangan akan nilai moral
karena identifikasi dengan kelompok
sebaya yang memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan yang terdapat dalam
lingkungan keluarganya atau kelompok sosial yang lebih luas atau
kelompok orang dewasa.
5. Penerimaan sosial" oleh remaja tersebut membuat mereka sering
6. Komunikasi media massa secara tidak langsung bertanggung jawab
terhadap delinkuensi, terutama jika media massa memperkuat kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan.
7. Pola kepribadian yang kurang menguntungkan, seperti konsep diri kurang baik, inferioritas dan perasaan adekuat menyebabkan remaja berpotensi
melakukan penyesuaian diri dengan cara yang maladaptif.
8. Kondisi rumah yang kurang menguntungkan seperti kurang perhatian dari
orang tua, kurang mengalami hubungan afeksional dengan keluarga,
inkonsistensi disiplin dalam keluarga dan pola kehidupan yang
menyimpang membuat anak merasa tidak disayangi dan anak ingin
menyakiti orang tuanya dengan perilaku yang menyimpang.
Faktor kedua adalah motivasi untuk berperilaku delinkuen. Motivasi
ini
akan
berkolaborasi
dengan penyebab
kecenderungan,
sehingga
menghasilkan perilaku delinkuen.
Beberapa motivasi penyebab tersebut (Hurlock, 1990) adalah :
1. Keinginan untuk memiliki sesuatu akibat ketidakmampuan terhadap apa
yang dimiliki, yang sering diintensifkan oleh media massa, kemungkinan
akan memotivasi remaja untuk mencuri, misalnya sebagai cara tercepat dan
termudah untuk mendapatkan simbol yang diinginkan.
2. Emosi yang kuat (perasaan mudah iri, cemburu dan takut) dan adanya
peristiwa-peristiwa kecil sehingga seringkali memicu remaja untuk berperilaku delinkuen.
3. Kebosanan. Terbatasnya kesempatan atau tanggung jawab yang terlalu
kecil mendorong remaja mengurangi kebosanannya dengan melanggar
hukum dan sejumlah perilaku yang menyenangkan dirinya.
4. Perasaan inferior secara fisik, mental maupun sosial akan mendorong
remaja melakukan perbuatan melanggar hukum untuk membuktikan bahwa
dirinya sama seperti teman sebaya lainnya.
5. Keinginan untuk independent. Jika remaja mampu memuaskan keinginan
ini dengan melanggar peraturan-peraturan di rumah dan di sekolah dan
akan melanggarnya dengan harapan akan memperoleh keinginan
independent seperti yang diidamkannya.
6. Keinginan untuk memperoleh kepuasan seksual, terutama pada remaja
yang tidak dicintai di mmah atau meragukan kemampuan seksualnya.
7. Keinginan untuk memperoleh penerimaan sosial mendorong remaja
mengikutinya meskipun hal tersebut berarti melanggar hukum.
Permasalahan dalam kehidupan psikologis remaja dapat
diidentifikasikan dari stabil tidaknya perkembangan emosi yang dialami,
berhasil tidaknya penyesuaian diri yang dilakukan, idealisme dan cita-cita serta kematangan seksual yang dialaminya.
B. Konformitas Teman Sebaya
1. Pengertian Konformitas Teman Sebaya
Fenomena konformitas didefinisikan secara berbeda-beda :
Brehm &Kassin (1990) mendefinisikan konformitas sebagai tendensi manusia
untuk merubah persepsi, opini atau perilaku dengan cara yang konsisten
dengan norma kelompok.
Baron & Byrne (1991) mendefinisikan konformitas sebagai suatu
bentuk penyesuaian terhadap kelompok sosial untuk menyesuaikan, meskipun
biasanya tuntunan tersebut tidak terbuka. Batasan Klopf (1985) tentang
konformitas adalah bertindak sesuai dengan norma kelompok menjadi
harmonis dan sepakat dengan anggota-anggota kelompok.
Kiesler & Kiesler mengartikan konformitas sebagai perubahan
perilaku atau keyakinan ke arah tuntutan yang nyata maupun tuntutan yang
dibayangkan (Worchel & Cooper, 1983)Stephan & Stephan (Suryo,1988) mengartikan konformitas sebagai
perubahan perilaku dan kepercayaan sebagai akibat dari adanya tekanan
kelompok baik nyata maupun tidak nyata.Seidenberg & Snadowsky (Indrawati, 2001) mendefinisikan
konformitas sebagai kecenderungan untuk berperilaku dengan maksud untuk
memenuhi harapan kelompok sebagaimana harapan-harapan ini dibuat oleh
Secara khusus Willis (Dahlan, 1982) menyatakan ada 3 cara yang
berbeda dalam penggunaan istilah konformitas, yaitu :
1. Perilaku konformitas sebagai ciri kepribadian yang ajeg. Asumsi yang
mendasari pengertian ini adalah ada sejumlah orang yang konsisten
berperilaku konform lebih daripada orang lain tanpa mempedulikan
variabel-variabel lainnya yang berkaitan seperti kedwiartian (ambiguity)
stimulus dan ukuran kelompok.2. Perilaku konformitas sebagai perubahan kognitif dan sikap yang diakibatkan
oleh sejumlah tekanan kelompok yang sifatnya nyata maupun tidak nyata.
Perilaku konformitas diartikan sebagai penerimaan pribadi atau perubahan
sikap atau internalisasi.
3. Perilaku konformitas sebagai kebersamaan dengan kelompok tanpa
mempedulikan apakah anggota kelompok yang lain hanya terdiri dan satu orang atau seratus orang.
Ditinjau dari faktor personal atau individual, Worchel & Cooper
(1983), mengungkapkan dari beberapa penelitian bahwa individu yang
mempunyai status lebih rendah daripada anggota lainnya cenderung untukmudah konform dengan kelompok.
Penelitian dari Sheriff (Hewstone dkk, 1996) menunjukkan ketika
seseorang dihadapkan pada stimulus yang ambigious dan tidak berstruktur,
orang tersebut jarang membangun sudut pandang sendiri yang stabil dalam
dihadapkan dengan pandangan orang lain, maka akan segera dirubah untuk
disesuaikan dengan pandangan orang lain tersebut.
Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, sehingga dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku
lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja
mengetahui bahwa bila remaja memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk
diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota
kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang atau rokok, maka
sebagai akibatnya remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaanya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa konfomiitas teman
sebaya merupakan suatu tuntutan maupun tekanan yang sifatnya imajinatif/ nyata. Tekanan ini terwujud sebagai akibat dari pengaruh sosial teman sebaya remaja yang mau tidak mau remaja tersebut harus berperilaku sesuai dengan apa yang diinginkan teman sebayanya dengan pola, sikap dan perilaku yang
dihargai oleh kelompok teman sebaya dianggap sebagai pengakuan terhadap
superioritas pribadi yang perlu ditegakkan, pengakuan dan eksistensi dalam
kelompok sangat penting dalam kehidupan remaja, sehingga konformitas
2. Aspek-Aspek Konformitas Teman Sebaya
Aspek-aspek konformitas yang dikemukakan oleh Worchel & Cooper
(1983) dibagi menjadi dua, antara lain :
I. Aspeknormatif
yaitu pengaruh dari kelompok yang menyebabkan seseorang individu
berperilaku konform
karena didasarkan pada keinginan untuk dapat
diterima oleh kelompok.
2. Aspek Informasional
yaitu pengaruh dari kelompok yang menyebabkan seseorang individu dapat
berperilaku konform karena didasarkan pada keinginan dan kebutuhan untuk memperoleh informasi yang benar dan akurat tentang realitas dari orang Iain.
Kedua pengaruh sosial yang bersifat normatif dan informatif tersebut,
keduanya merupakan dasar kecenderungan yang kuat bagi seseorang dalam
melakukan konformitas untuk bertindak sesuai dengan norma-norma sosial
yang berlaku. Konformitas bersumber dari kebutuhan dan motif dasar manusia
yang langsung dapat dipenuhi jika seseorang memutuskan untuk bertindak
sesuai dengan orang lain.
C. Remaja 1. PengertianRemaja
Remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak
jawab. Masa remaja ditandai dengan pengalaman-pengalaman baru yang
sebelumnya belum pernah terbayangkan dan di alami. Dalam bidang fisik
biologis maupun psikis atau kejiwaan. Menstruasi pertama bagi kaum wanita
dan keluarnya sperma dalam mimpi basah pertama bagi kaum pria, adalah
merupakan tonggak pertama dalam kehidupan manusia yang menunjukkan
bahwa mereka sedang dalam perjalanan usia remaja (Basri, 1995). Menurut
Gunarsa dan Gunarsa (1991), masa remaja adalah masa peralihan dan masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, meliputi semua proses perkembangan yang
di alami sebagai pe^siapan memasuki masa dewasa.
Kagan & Coles, Keniston, Lipsitz (Steinbergh, 1991)
mengklasifikasikan usia remaja menjadi tiga kategori, yaitu : remaja awal usia
12-14 tahun, remaja tengah usia i5-18 tahun dan remaja akhir 19-21 tahun. Kartono (Chaplin, 2002), mendefinisikan remaja berdasarkan
perkembangan biologis remaja tersebut yakni merupakan suatu periode antara
pubertas dan kedewasaan. Usia yang diperkirakan: 12 sampai 21 tahun untuk anak gadis, yang lebih cepat menjadi matang daripada anak laki-laki, dan
antara 13 hingga 22 tahun bagi anak laki-laki.
WHO pada tahun 1974 (Sarwono, 2002), memberikan definisi tentang
remaja yang lebih konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria
yaitu biologik, psikologik dan sosial ekonomi.
Remaja adalah suatu masa dimana :
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
2. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dan
kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Terjadi penilaian dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaanyang relatif lebihmandiri.
Pada tahun-tahun benkutnya, definisi tentang remaja semakin
berkembang ke arah yang lebih konkret operasional. Ditinjau dan bidang
kegiatan WHO, yaitu kesehatan, terutama kesehatan remaja pada kehamilan
usia muda. Di latar betakangi masalah pokok tersebut. Walaupun definisi
tersebut berdasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut
juga berlaku untuk remaja pria dan WHO membagi kurun usia tersebut dalam 2
bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.
Batasan antara masa remaja dan masa dewasa semakin lama juga
semakin kabur, hal mi karena pada masing-masing negara mempunyai
karakteristik remaja yang bcrbeda-beda. Di Indonesia sendiri ada masa remaja
yang diperpendek dan masa remaja yang diperpanjang. Disebut yang
diperpendek jika remaja menikah pada usia 18-19 tahun dan memasuki dunia
orang dewasa. Disebut masa remaja yang diperpanjang yaitu bila seseorang
yang sesudah usia remaja masih hidup bersama orang tuanya dan masih belum
mempunyai nafkah sendiri serta masih berada di bawah otontas orang tuanya
(Monks, 1999).Hurlock (Gunarsa & Gunarsa, 1991), mengambil patokan batasan
umur yakni berdasarkan tanda-tanda fisik yang menunjukkan kematangan
masa remaja sesuai dengan tempat khusus dimana ia hidup, lingkungan sosial
dan pandangan sosiologis. Neidhart berpendapat bahwa adolescensia
merupakan masa peralihan dan ketergantungan pada masa kanak-kanak ke
masa dewasa, dimana ia harus dapat hidup sendiri (Gunarsa &Gunarsa, 1991).
Enkson menghubungkan adolescensia dengan perkembangan psikis yang
berlangsung pada masa tersebut, yakni bahwa adolescensia merupakan masa
dimana terbentuk suatu masa baru mengenai identitas. Identitas mencakup cara
hidup pribadi yang di alami sendiri dan sulit di kenal oleh orang Iain, secara
hakiki ia tetap sama walaupun telan mengalami berbagai macam perubahan.
Anna Freud lebih mengutamakan perkembangan seksualitas, hal ini terlibat
dari perumusan psikoanalitik. Adolescence merupakan suatu masa yang
meliputi proses perkembangan dimana terjadi perubahan-perubahan dalam hal
motivasi seksual, organisasi daripada ego dalam hubungannya dengan orang
tua, orang lain dan cita-cita yang dikejarnya (Gunarsa &Gunarsa, 1991).
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju
ke masa dewasa dimana terdapat perubahan-perubahan baik secara fisik dan
psikologis, emosi, mental, sosial maupun moral. Perubahan-perubahan tersebut menuntut remaja untuk mengadakan perubahan besar dalam sikap dan perilaku sesuai dengan tugas perkembangannya dengan cara yang adaptif.
2. Ciri Umum pada Remaja
Poerwanti (2002), menjelaskan secara umum tentang ciri-ciri umum
a. Pertumbuhan fisik yang sangat pesat dan mulai berfungsinya honnon
sekunder, terutama honnon reproduksi. Pada masa ini remaja tidak mau lagi
disebut anak kecil.
b. Fase remaja adalah masa mencari identitas, sehingga pada masa ini anak
mempunyai pribadi yang sangat labil, baik dalam pemikiran, perasaan
maupun emosionalnya, sehingga masa ini anak akan mudah sekali dipengaruhi.
c. Remaja mulai menginginkan kebebasan emosional dari orang tua dan mulai mengikatkan dirinya dengan kehidupan peer group, sehingga pada masa ini
kehidupan kelompok sebaya menjadi sangat penting bahkan peer group
adalah "segala-galanya" untuk remaja.
d. Adanya berbagai perubahan yang dialami, menyebabkan remaja menjadi anak yang emosional, gampang tersinggung, mudah melampiaskan kemarahannya, malas, murung, ingin menangis sendiri yang kadang-kadang tanpa sebab yang pasti.
e. Perkembangan penalaran yang pesat menjadikan kelompok remaja menjadi kelompok yang bersifat kritis dan ideal, sehingga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kelompok ini mudah sekali melakukan protes bila ditemui
hal yang tidak sesuai dengan konsep idealismenya.
f. Masa ini juga berkembang rasa ingin tahunya sangat besar, sehingga pada kelompok-kelompok remaja juga berkembang sifat heroik, sehingga remaja suka sekali menjadi pengelana, mendaki gunung, atau menjadi menjelajah dan kegiatan-kegiatan lain yang menyerempet bahaya.
g. Mulai berfungsinya hormon sekunder terutama hormon reproduksi
menyebabkan remaja muilai tertarik dengan lawan jenis, sebagai tanda
kesiapan phisik mereka, pada masa ini anak juga suka berkhayal.
D. Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya Dengan Perilaku
Delinkuen Pada Remaja Di LAPAS Anak Kutoarjo
Fenomena perilaku delinkuen inipun tidak lepas dari kehidupan para
remaja, namun demikian tentu masih tetap ada pendapat umum tentang
kenakalan anak dan remaja tersebut, yang dapat menentukan bahwa adakelakuan dan kebiasaan tertentu yang dipandang sebagai kelakuan yang
digolongkan kepada kehormatan dan lain sebagainya.
Kenakalan remaja adalah perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh
mereka yang berusia kurang lebih 18 tahun dan bila dilakukan oleh orang
dewasa dapat dikenakan pidana.
Remaja dalam tindakan yang dilakukannya terkadang tidak disertai
dengan pemikiran rasional dan biasanya hanya mengikuti gejolak emosinya
tanpa memikirkan dampak dari perbuatannya tersebut. Mereka hanya sekedar
memenuhi kebutuhan sesaat. Di benak mereka, tidak ada pertanyaan apakah
tindakannya itu dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang
lain.
Penyebab remaja dapat berperilaku delinkuen karena tidak
dalam masa perkembangan sosialnya. Terdapat dua macam perkembangan
dalam tahap perkembangan sosial remaja, yaitu keinginan untuk memisahkan
diri dari orang tua dan menuju ke arah pergaulan dengan teman sebaya. Perkembangan remaja harus dapat mencapai pola hubungan baru yang lebih
matang dengan teman sebayanya, baik yang sejems maupun berlainan jenis
sesuai dengan etika moral masyarakat dan bertanggung jawab sebagai
pedoman perilaku dan pengembangan ideologi mereka.
Pergaulan dengan kelompok sebayanya remaja belajar bagaimana
mereka berinteraksi dengan temanya, mengontrol tingkah laku sosialnya,
mendapatkan dukungan sosial yang berbeda dengan yang mereka dapatkan dari
lingkungan keluarganya. Terbentuknya sistem nilai, sikap, perilaku dan
kebiasaan baru banyak dipengaruhi oleh kelompok sebaya ini, sehingga
pemilihan kelompok sebaya yang tepat akan menjadi pendorong dan sumber
kematangan kepribadian remaja, tetapi sebaliknya akan menyesatkan apabila
kelompok yang dipilih adalah kelompok yang menyimpang perilakunya
(Widodo,200I).
Jadi semakin sering seseorang bergaul dengan kelompok yang
menyimpang perilakunya maka semakin tinggi kecenderungan seseorang tersebut untuk berperilaku delinkuen sesuai dengan perilaku kelompoknya
tersebut. Beberapa faktor penyebab perilaku delinkuen di atas, salah satu diantaranya merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah
stimulus, dengan kata lain adalah merupakan kompensasi dari segala
kekurangan dan kegagalan yang dialaminya (Kartono, 2002).
Remaja penghuni LAPAS anak di Kutoarjo adalah mereka para
pelaku tindak pidana atau perilaku delinkuen. Mereka berperilaku delinkuen
disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah faktor lingkungan.
Perbuatan merekapun cukup beragam, mulai dan mencuri, mencopet, tawuran
sampai dengan pembunuhan. Perbuatan mereka sebagian besar dipengaruhi
oleh bujuk rayu dan ajakan dari teman-teman sekompok bermain mereka
maupun dari pengaruh orang yang lebih dewasa dan biasa bergaul dengan
mereka.
Faktor penyebab perilaku delinkuen selain faktor-faktor tersebut di
atas salah satunya adalah sikap konformitas, yaitu suatu sikap atau perilaku
untuk selalu sama dan sesuai seperti orang-orang dalam kelompok atau
masyarakat di mana ia berada.
Condry & Lacovetta (Fuhrmann, 1990) menyatakan bahwa hubungan
remaja dengan keluarga ikut berpengaruh terhadap konformitas pada remaja.
Mereka menyatakan bahwa remaja yang mempunyai konfomitas tinggi
terhadap teman sebayanya, biasanya mempunyai hubungan yang lemah atau
kurang baik dengan keluarganya atau orang tuanya. Hal tersebut disebabkan
oleh krisis identitas diri yang dialami remaja dan di saat mereka membutuhkan
perhatian dari keluarga, khususnya orang tua. Akan tetapi terkadang sikap
menolak dan kurang berkomunikasi antara remaja dengan orang tua, sehingga menyebabkan remaja lebih berorientasi pada teman sebayanya.
Berdasarkan pendapat Candry dan Lacovetta (Furhmann, 1990),
mendukung hipotesis peneliti bahwa kemungkinan besar konformitas berpengaruh terhadap perilaku delinkuen yang akhir-akhir ini semakin
meningkat.
D. Hipotesis
Ada hubungan positif antara konformitas teman sebaya dengan perilaku delinkuen pada remaja di LAPAS anak di Kutoarjo. Jadi semakin
tinggi konformitas teman sebaya maka semakin tinggi perilaku delinkuen pada
remaja penghuni LAPAS anak Kutoarjo, begitu juga sebaliknya semakin rendah konformitas teman sebaya maka semakin rendah perilaku delinkuen
A. Identifikasi Variabel -Variabel Penelitian
Variabel tergantung : Perilaku delinkuen
Variabel bebas : Konformitas Teman Sebaya
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Perilaku delinkuen
Perilaku delinkuen adalah sejauh mana perilaku yang dihasilkan oleh remaja, dimana perilaku tersebut menyimpang dan norma yang berlaku didalam
masyarakat. Perilaku delinkuen remaja diungkap melalui skala delinkuen remaja.
Skala ini dirancang berdasarkan klasifikasi delikuen dari Hurlock dan Jensen.
Semakin tinggi skor yang diperoleh maka akan semakin tinggi tingkat perilaku
delinkuennya. Sebaliknya, apabila skor yang diperoleh rendah maka semakin
rendah pula tingkat perilaku delinkuennya.
2. Konformitas teman sebaya
Konformitas teman sebaya adalah seberapa besar keinginan atau
keyakinan individu untuk selalu berperilaku sama dengan kelompoknya.
Konfonnitas dalam penelitian ini diungkap dengan skala konformitas berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Worchel & Cooper (1983). Semakin tinggi skor
yang diperoleh maka akan semakin tinggi tingkat konformitasnya. Begitu juga
sebaliknya, apabila skor yang diperoleh rendah maka akan semakin rendah juga
tingkat konformitasnya.
C. Subjek Penelitian
Peneliti mengambil subjek penelitian pada remaja penghuni LAPAS anak
Kutoarjo Jawa Tengah, yaitu remaja yang telah dikenai hukuman pidana akibat
dari perbuatan dan perilaku mereka yang melanggar hukum. Subjek tersebut
berumur antara 13-18 tahun dan termasuk dalam kategori remaja awal dan remaja
tengah menurut John hill (dalam Suntrock 1983).D. Metode Dan Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode skala, yaitu
alat ukur psikologis yang mengukur dan mengungkap perilaku delinkuen dan konformitas, khususnya pada remaja penghuni LAPAS anak di Kutoarjo.
Skala penelitian ini secara garis besar terdiri dari dua bagian, yaitu .
1. Mengungkap identitas subjek penelitian yang meliputi:
a. Nama
b. Umur
2. Mengandung butir-butir kasus berupa cerita pendek yang berisi tentang
seseorang atau beberapa orang tokoh yang melakukan tindak delinkuen dan
perilaku delinkuen dan butir-butir pernyataan yang dirumuskan berdasarkan
landasan teori. Alasan penggunaan metode skala ini adalah berdasarkan adanya
anggapan mengenai keuntungan metode ini, yaitu :
a. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri.
b. Apa yang dikatakan subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat
dipercaya.
c. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan sama
dengan yang dimaksudkan oleh peneliti (Hadi, 2002).
Metode skala ini mengandung beberapa kelemahan, antara Iain adanya
unsur-unsur yang tidak disadari tidak dapat diungkapkan, jawaban dapat
dipengaruhi oleh keinginan pribadi, kesukaran merumuskan keadaan diri sendiri
dalam bahasa dan adanya kecenderungan untuk mengkonstruksi secara logik
(Hadi, 2002). Mengatasi hal tersebut maka skala yang disajikan diberi pengantar
yang menerangkan bahwa subjek diminta untuk memben jawaban secara jujur apa
adanya, semua jawaban dianggap benar dan jawaban subjek akan dijamin
kerahasiaannya. Secara terperinci alat pengumpulan data yang digunakan adalah :
a. Skala perilaku delinkuen
Perilaku delinkuen diungkap melalui skala perilaku delinkuen yang
disusun berdasarkan aspek perilaku delinkuen dari teori Hurlock dan Jensen
(dalam Kurniawan, 1997), yaitu perilaku delinkuen berdasarkan atas aspek
membahayakan diri dan orang lain, perilaku yang menimbulkan korban materi dan perilaku yang menimbulkan korban fisik. Penulis melakukan perubahan pada beberapa aitem yang ada yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan kondisi subjek, hal ini dikarenakan skala sebelumnya dipergunakan untuk populasi siswa Sekolah Menengah Atas. Sedangkan penelitian ini dilakukan
pada populasi penghuni LAPAS.
Jumlah butir pada angket adalah 36 aitem yang terbagi dalam 31 aitem favourable dan 5 aitem unfavourable. Aitem tersebut berupa cerita pendek
yang terdapat dalam angket perilaku delinkuen yang telah disajikan kepada
kelompok subjek. Subjek diminta untuk memilih salah satu pilihan jawaban berdasarkan perilaku delinkuen yang sebenarnya. Penghitungan skor subjek dilakukan dengan berdasarkan junlah skor yang diperoleh subjek. Jumlah skor yang diperoleh subjek merupakan gambaran dari perilaku delinkuen yang telah
dilakukan subjek.
Semakin tinggi jumlah skor yang diperoleh subjek maka menunjukkan semakin tinggi pula tingkat perilaku delinkuen yang dilakukan. Sebaliknya, apabila skor yang diperoleh subjek rendah, maka semakin rendah pula tingkat perilaku delinkuen yang dilakukan. Butir-butir aitem perilaku delinkuen dapat
dilihat pada tabel I.
Tabel I
Daftar Sebaran Aitem Skala Perilaku Delinkuen
Sebelum Uji Coba
No Aspek Nome
Favourable
r Aitem
Unfavourable Jumlah
1 Perilaku yang melanggar status dan aturan
1,3,4,11,22, 24,26,29,33,36
14,27,28
13
2 Perilaku yang
membahayakan diri dan
5,8,9,10,13,
orang lain 3 4 Perilaku yang menimbulkan korban mated 7,12,16,31,35 2,6,17,30,32,34 19 5 Perilaku yang
menimbulkan korban fisik 7
Adapun pemberian nilai tergantung dari favourable dan unfavourable
suatu aitem, untuk aitem favourable, jawaban (SS) mendapat nilai 4, jawaban
(S) mendapat nilai 3, jawaban (TS) mendapat nilai 2 dan jawaban (STS)
mendapat nilai 1. Untuk aitem unfavourable, jawaban (SS) mendapat nilai 1, jawaban (S) mendapat nilai 2, jawaban (TS) mendapat nilai 3 dan jawaban
(STS) mendapat nilai 4.
b. Skala konformitas teman sebaya
Skala konformitas teman sebaya dalam penelitian ini digunakan untuk
mengungkap seberapa besar kemungkinan subjek berperilaku konformitas.
Skala konformitas teman sebaya yang digunakan adalah skala yang disusun
peneliti berdasarkan aspek-aspek perilaku konformitas yang merupakan hasil modifikasi aitem dengan merubah kata dan kalimat pada aitem yang disusun
oleh Sidqon (2001) dari teori yang diungkapkan oleh Worchel dan Cooper
tentang konformitas. Penulis melakukan perubahan pada beberapa aitem yang
bertujuan untuk menyesuaikan dengan kondisi subjek. Hal ini dikarenakan
skala sebelumnya dipergunakan untuk populasi siswa SMU, sedangkan pada
penelitian ini digunakan pada populasi penghuni LAPAS anak. Aspek-aspek
yang digunakan untuk mengungkap sikap konformitas adalah aspek normatif dan aspek informasional.
Skala ini terdiri dari 43 item yang terbagi dalam 26 aitem favourable dan 17 aitem unfavourable, berupa butir-butir pernyataan yang sudah dimodifikasi
oleh penulis dan disesuaikan dengan keadaan subjek. Sebaran aitem skala
konformitas dapat dilihat pada tabel II.
Tabel II
Daftar Sebaran Aitem Skala Konformitas Teman Sebaya
Sebelum Uji Coba
No Aspek Nomor Aitem Jumlah
Favourable Unfavourable 1 Normatif 1,3,4,8,9,10,15 ,23,24,25,30, 40,43 11,12,14,16, 27,32 19 2 Informational 2,5,6,13,17,20, 21,22,26,31,33 ,36,39 7,18,19,28,29,34, 35,37,38,41,42 24 Jumlah 26 17 43
Skala konformitas teman sebaya ini terdiri dari 4 alternatif jawaban, Pembobotan nilai skala bcrgerak dari 1 sampai dengan 4. yaitu: untuk aitem
favourable, sangat setuju (SS) diberi skor 4, setuju (S) diberi skor 3, tidak
setuju (TS) diberi skor 2 dan sangat tidak setuju (STS) diberi skor I. Untuk
aitem unfavourable sangat setuju (SS) diberi skor ,1 setuju (S) diberi skor 2,
tidak setuju (TS) diberi skor 3 dan sangat tidak setuju (SIS) diberi skor 4.
Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, maka semakin tinggi perilaku untuk konformitas begitu juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh
maka semakin rendah pula perilaku konformitasnya.
Kedua alat ukur tersebut akan diujicobakan pada remaja penghuni
LAPAS anak Kutoarjo Jawa Tengah. Setelah diujicobakan akan di hitung
tersebut digunakan sebagai hasil penelitian. Hal ini dikarenakan peneliti
menggunakan metode tryout terpakai.
E. Validitas Dan Reiiabilitas
1. Uji Validitas
Suatu tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas
tinggi apabila alat ukur tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan
hasil ukurnya sesuai dengan maksud dilaksanakannya pengukuran tersebut. Dapat
pula dikatakan validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
dalam melakukan fungsinya. Suatu tes dikatakan mempunyai validitas rendah jika
tes tersebut menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran. Validitas biasanya dinyatakan secara empiris oleh suatu koefosien uji koefisien
validitas (Azwar, 1997).
Seleksi terhadap aitem-aitem yang akan digunakan dalam penelitian
dilakukan dengan cara menghitung koefisien korelasi antara skor subjek pada
aitem yang bersangkutan dengan skor total tes. Dengan melihat indeks daya beda
aitem dapat ditentukan aitem yang digunakan dalam penelitian dan aitem-aitem yang gugur dalam penelitian. Teknik yang digunakan adalah korelasi
product moment dari Pearson.
2. Uji Reiiabilitas
Reiiabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, handal, ajeg, stabil dan konsisten. Estimasi terhadap tingginya reiiabilitas alat
ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan konsistensi internal. Metode tersebut bekerja dengan melihat konsistensi antar aitem atau
antar bagian dalam tes itu sendiri. Teknik yang digunakan dalam penghitungan
reiiabilitas ini memakai teknik koefisien Alpha (Azwar, 1997).
F. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini digunakan
untuk mengetahui hubungan antara konformitas dengan perilaku delinkuen pada remaja di LAPAS anak kutoarjo dengan menggunakan program SPSS 10.0 for
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian
Pengambilan data penelitian dilakukan di LAPAS khusus anak Kutoarjo
yang berlokasi di Jalan Pangeran Diponegoro No. 36 Kutoarjo, Jawa Tengah.
Adapun subjek penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah para
penghuni LAPAS anak-anak dengan karakteristik remaja berusia 13-18 tahun.
LAPAS anak Kutoarjo adalah sebuah LAPAS bagi anak dan remaja yang
telah melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan
perbuatannya, LAPAS tersebut berada di bawah naungan Dinas Kehakiman dan
HAM Propinsi Jawa Tengah yang menangani dan menampung para napi dari
seluruh wilayah Jateng dan DIY, khususnya dari Jawa Tengah bagian selatan.
LAPAS anak dan remaja Kutoarjo berdiri pada tahun 1992 dan mulai berjalan
secara efektif pada tahun 1993.
Pendirian LAPAS anak Kutoarjo bertujuan sebagai unit pelaksana teknis yang menampung dan merawat para narapidana dan anak didik. Para narapidana
tersebut dibedakan dalam tiga kategori, pertama, anak pidana yaitu narapidana
yang sudah jelas mendapatkan hukuman pidana karena kasus pidana. Kedua.amk
negara yaitu narapidana yang mendapatkan hukuman karena kasus pidana, tapi
putusan diserahkan pada negara untuk diberi pendidikan dan pembinaan. Ketiga,