Makna Simbol Isi Peras Di Tengah Era Moderenisasi Zaman
(Analisis Semiotika Charles Sander Pierce Pada Persyaratan Ritual Masyarakat The Sun Rise Of Java)
Agung Putra Mulyana, Muhammad Irfan
1,2Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Bina Sarana Informatika Jakarta
Email :[email protected], [email protected]
ABSTRACT
This study describes the of Charles Sanders Pierce’s semiotic analysis simbol peras the contents of the rituals in Banyuwangi. Peras is another name commonly used public offerings Banyuwangi. The aim of this research is to find out the meaning of simbols that exist on the content wring in modernization era banyuwangi society. Juicing is used as a condition of society in implementing hajatnya banyuwangi. The method in this research is descriptive qualitative meaning triangle approach semiotics Charles Sanders Pierce. The results showed that simbols of the contents peras in Banyuwangi is a simbol of hope or values - values that contain the prayer of the owner's intent, not to present to the nation for ghost. In addition to the desired expectations, the form of wringing is also a defense of the traditions of the ancestors.
Keywords: Peras, Banyuwangi, Semiotics Charles Sanders Pierce.
ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan tentang Analisa semiotika Charles Sanders Pierce pada simbol isi peras pada ritual upacara yang ada di Banyuwangi. Peras adalah nama lain dari sesajen yang biasa digunakan masyarakat Banyuwangi. Tujuannya adalah untuk mengetahui makna simbol – simbol yang ada pada isi peras di era modernisasi zaman masyarakat banyuwangi. Peras digunakan sebagai persyaratan masyarakat banyuwangi dalam melaksanakan hajatnya. Metode dalam penilitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan segitiga makna semiotika Charles Sanders Pierce terkait kajian tentang simbol. Hasil penelitian menunjukan bahwa simbol dalam isi peras di Banyuwangi merupakan simbol harapan atau nilai mengandung doa dari pemilik hajat, bukan untuk menyajikan kepada bangsa lelembut atau mahluk halus. Selain harapan yang di inginkan, bentuk peras juga merupakan mempertahankan tradisi para leluhur.
Kata kunci : Peras, Banyuwangi, Semiotika Charles Sanders Pierce
PENDAHULUAN
Indonesia sebuah negara kepulauan yang memiliki suku bangsa begitu banyak, tak heran jika budayanya juga memiliki beraneka ragam. Sehingga sukunya mampu mengembangkan
budaya masing – masing sesuai dengan lingkungan adaptasi mereka serta sosialnya juga. Indonesia juga memiliki ragam kegiatan sesuai dengan sosial budayanya masing – masing dan memiliki niliai tradisi yang sangat
2
kental. Maka tak heran sampai saat ini begitu banyak tradisi yang masih di lakukan oleh masyarakat modern saat ini.Globalisasi merupakan proses meluasnya pengaruh kapitalisme dan sistem demokrasi liberal yang menggiring ke arah hegemoni budaya yang menyebabkan setiap tempat menjadi sama, baik bentuk arsitektur, fashion, gadget, dan lain-lain (Piliang 2010 : 236).
Indonesia sekarang ini sudah mencapai dalam titik pemikiran yang sangat modern, dimana Indonesia sendiri sudah mampu mengoperasikan teknologi – teknologi canggih yang sudah kita rasakan dalam kehidupan sehari – hari, bahkan sudah mulai mampu menciptakannya. Namun disisi lain, masyarakat Indonesai yang dikenal sebagai masyarakat yang taat pada nenek moyangnya juga memiliki prinsip dalam mempertahankan tradisinya seperti masyarakat the sun rise of java atau Banyuwangi.
Secara historis, Banyuwangi merupakan kota yang letaknya di ujung paling timur Pulau Jawa. Memiliki kesenian dan kebudayaan yang terkenal unik. Banyuwangi sendiri tidak hanya ditempati oleh suku asli yaitu using, dimana saat ini ada beberapa etnis
besar seperti Jawa Mataram, Bali, Madura, Mandar, Tionghoa bahkan Arab yang saling berdampingan sehinngga mampu membentuk sebuah tradisi ritual. Ritual atau ritus adalah kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan (Bustanuddin, 2007, h.95).
Secara historis, kota banyuwangi yang identik dengan bumi blambangan dan saat ini dijuluki the sun rise of java. Masyarakat menganggap keduanya sebagai suatu yang tidak berbeda. Pemahaman semacam itu dilatarbelakangi oleh sikap dan rasa memiliki terhadap Blambangan sebagai cikal bakal keberadaan Banyuwangi. Sebagai akibatnya, hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat lebih mengenal Banyuwangi dengan istilah Blambangan. Kerajaan Blambangan dijadikan perebutan karena pengaruh antara kerajaan dui Jawa dan di Bali. Ketika Majapahit berkuasa, daerah Blambangan dikuasai Kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, daerah itu diserahkan kepada Arya Wiraja karena dia dianggap berjasa kepada Raden Wijaya. Setelah Arya Wiraja meninggal,
3
daerah itu kemudian diwariskan kepadaputeranya yang bernama Arya Nambi. Semasa kepemimpinan Arya Nambi, pada tahun 1316, Blambangan melakukan pemberontakan kepada Kerajaan Majapahit. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, wilayah Blambangan menjadi perebutan Kerajaan Bali, Pasuruan, dan Mataram Islam. Ketika berada di bawah pengaruh Kerajaan Mataram, Blambangan dipimpin oleh Santaguna. Pada tahun 1636, pasukan Sultan Agung berhasil menakhlukkan Blambangan. Setelah Belanda masuk ke Indonesia, wilayah Blambangan pada tahun 1700-an dapat ditakhlukkan. Meskipun demikian rakyat Blambangan tidak tinggal diam. Salah seorang tokohnya yang sangat terkenal, yakni Pangeran Agung Wilis berjuang mengangkat senjata untuk menantang kekejaman penjajah Belanda. Pada tanggal 25 maret 1767, ibu kota Blambangan berhasil dikuasai oleh Belanda. Pangeran Agung Wilis yang diangkat menjadi pangeran Blambangan terus memimpin perjuangan rakyat Blambangan. Akan tetapi, Pangeran Agung Wilis akhirnya tertangkap oleh pasukan Belanda dan kemudian diasingkan ke Selong, dekat Pasuruan (Saputra, 2017, h.52-55).
Secara historis banyuwangi memang meiliki sejarah yan erat dengan hal kerajaan, dimana kegiatan krajaan yang jug sangat dekat dengan sebuah tradisi ritual. Sehingga wajar apabila banyuwangi memiliki banyak kegiatan ritual yang sampai saat ini masih di pertahankan.
Tradisi Ritual saat ini memang selalu menjadi diskusi menarik di setiap ruang publik. Mengingatkan Indonesia dengan kekayaan tradisi dan budaya, khususnya yang bertahan secara turun menurun. Suwaji Bastomi dalam bukunya Apresiasi Kesenian Tradisional (1988) menjelaskan, tradisi merupakan sebuah roh dari kebudayaan yang memperkokoh sistem kebudayaan. Namun kenyataannya saat ini ada yang menganggap tradisi itu merupakan sesembahan untuk memanggil makhluk halus, seperti halnya berita idntimes.com pada tanggal 02 mei 208 yang membahas kegiatan dalammemanggil mahkluk halus, dimana disebutkan salah satunya yaitu dupa yang dianggap mendatangkan makhluk halus. Padahal ritual membakar dupa di kota banyuwangi saat ini masih banyak dilakukan oleh para tokoh di era modernisasi saat ini masih
4
mempertahankan tradisi dari leluhurnya. Sepertihalnya tradisi perkawinan yang dimana terdapat persyaratan – persyaratan yang disebut masyarakat banyuwangi yaitu Peras yang sebenarnya sebuah simbol – simbol
Simbol-simbol yang ada dalam sebuah upacara selalu dilatarbelakangi oleh budaya masyarakat setempat, sehingga idiom-idiom yang terangkat ke permukaan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat penduduknya sendiri (Sucipto, 2000: 53). Peras sama halnya dengan sesajen, namun biasanya peras merupakan sesajen yang menjadi syarat tradisi misalnya perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali makna dibalik kepentingan keberadaan seluruh isi yang terkandung dalam peras. Sehingga peneliti memiliki batas penelitian hanya makna isi yang terdapat didalam peras yang sudah dibentuk. Peneliti menggunakan teori semiotik Charles Sanders Pierce karena menganggap teori ini merupakan teori yang paling cocok untuk mengkaji makna isi peras karena dari segitiga makna miliki Charles Sanders Pierce mengkaji tentang sign yang menjelaskan secara keseluruhan tentang isi yaitu hasil bumi pertanian.
Sedangkan object yang menjelaskan tentang gabungan dari keseluruhan isi Peras. Interpretant menjelaskan tentang kesimpulan dari arti isi peras tersebut. Melalui simbol, pesan di komunikasikan sebagai proses transaksional yang melibatkan pemberian makna antara orang-orang dari budaya yang berbeda (Gudykunst dan Kim, dalam Mulyana 2010).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sedangkan tujuan Riset kualitatif ialah untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data dan hasil penelitian berisi analisis data yang sifatnya menuturkan, memaparkan, memberikan, menganalisis, dan menafsirkan (Satoto, 1992). Penelitian ini menggunakan teknik analisis semiotik model Charles Sanders Peirce yang membahas sign, object, dan interpretan sebagai segitiga makna untuk membedah hasil data yang didapat.
Kajian semiotika budaya merupakan bagian dari kajian semiotik secara umum (Susanto, 2015, h.754).
5
Semiotik dan Dinamika Sosial Budayakarya Benny H. Hoed. menjelaskan tanda tidak hanya mewakili sesuatu dan menerimanya. Teori Pierce tentang tanda memerlihakan pemaknaan tanda menjadi suatu proses kognitif dan bukan sebuah setruktur. Proses seperti inilah yang disebut semiosis, yaitu suatu proses pemaknaan tanda yang bermula dari persepsi atas dasar, kemudian dasar merujuk pada objek dan akhirnya terjadi proses interpretant (Hoed, 2002:21).
Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional Pierce (Budiman 2011:22). Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah simbol-simbol. Dengan kata lain, menilik pengertian simbolik yang berhubungan dengan penelitian ini menghantar pada simbol verbal maupun nonverbal yang terdapat dalam tradisi budaya yang dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Peirce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan, objeknya adalah keduaan dan penafsirnya adalah sebagai unsur pengantara yang berperan sebagai ketigaan. Ketigaan yang ada dalam konteks pembentukkan tanda juga
membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya.
Teknik pengumpulan data dengan mengamati isi sesajen yang ada pada peras di Banyuwangi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah makna simbol isi peras yang digunakan masyarakat dalam tradisi perkawinan di Banyuwangi. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara oleh seorang tokoh budaya di Banyuwangi. Data sekunder diperoleh melalui dokumen-dokumen pendukung, seperti buku, artikel jurnal dan dokumen lainnya Teknik analisa penelitian ini menggunakan model interaktif, yaitu tanya jawab antara peneliti dengan informan yang dapat memberikan pemaparannya mengenai makna simbol peras dalam tradisi perkawinan. Dari hasil wawancara dan studi literatur yang sudah diperoleh, nantinya hasil tersebut akan dianalisa dengan menggunakan analisis semiotika. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna (Tinarbuko,2009:12).
6
Dengan dasar teori segitiga makna Charles Sanders Peirce, tahapan yang dilakukan adalah (1) mengidentifikasi simbol-simbol yang terdapat dalam isi peras (2) menginterpretasikan satu persatu simbol-simbol yang telah diidentifikasi (3) menginterpretasikan makna simbol secara keseluruhan berdasarkan kolaborasi hasil wawancara dan hasil studi literatur tentang isi peras (4)menyajikan data yang sudah disederhanakan, penyusunan data secara sistematis dan dideskripsikan berbentuk paparan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlengkapan dan makna Isi Peras dalam Tradisi Ritual
Dalam tradisi perkwinan di masyarakat Banyuwangi. Ada salah satu perlengkapan persyaratan yaitu adanya sebuah peras yang terdiri atas hasil bumi sebagiana besar. Hasil bumi diantaranya yaitu kelapa, pisang, Daun kluwih, alang – alang, ketan, beras, kopi , janur. Dimana seluruh bahan – bahan tersebut dimasukan ke dalam wadah yang disusun rapi dari beberapa hasil bumi tersebut. Sebenarnya peras ada bermacam-macam, namun peneliti membahas peras yang paling sederhana.
No Sign Object Interpretant 01 Hasil
Bumi
Buah kelapa Kehidupan yang Makmur dan sejahtera
02 Hasil Bumi
Pisang Raja Menjadi orang yang kuat seperti Raja dan memberikan manfaat banyak orang sebelum maut menjemput. 03 Hasil
Bumi
Daun Kluwih
Diberikan kelebihan dalam segala hal
04 Hasil Bumi
Alang - alang
Tidak ada halangan dalam sesuatu apapun
05 Hasil Bumi
Ketan Melekatkan pasangan rumah tangga
06 Hasil Bumi
Beras Selesai segala urusan atau hajat
07 Hasil Bumi
Kopi Mengingat leluhur
08 Hasil Bumi
Janur Kuning
Bersinar cahaya sejati
7
Buah KelapaPohon buah kelapa secara bentuk memiliki pohon yang tinggi, kuat dan lurus. Serta pohon kelapa sudah dipercaya oleh masyarakat menjadi pohon yang banyak manfaat. Sehingga secara makna dalam sajian isi peras pohon kelapa merupakan sebuah nilai kehidupan manusia untuk saling mutualisme atau menguntungkan dalam hal bermasyarakat sehingga menjadi kehidupan yang Makmur dan sejahtera. Diibaratkan sebbuah pohon kelapa yang dimana mulai dari pohon, buah, daun samapi akarnya pun bisa dimanfaatkan.
Pisang Raja
Pisang Raja salah satu jenis pisang yang ada di Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa menggunakan pisang raja dalam hal tradisi ritual. Secara kehidupan pisang juga memiliki banyak manfaat yang tidak jauh berbeda dengan pohon kelapa, mulai dari buah dan daunnya. Namun yang berbeda pohon pisang tidak mampu berbuah dua kali atau tidak akan tumbang sebelum berbuah. Sehingga memiliki makna manusia harus bisa melihat nilai kebaikan pisang yaitu sebelum kematian menghampiri
maka berilah manfaat terlebih dahulu terhadap lingkungan.
Daun Kluwih
Daun Kluwih salah satu tumbuhan yang biasanya digunakan oleh para pemilik hajat. Daun kluwih memiliki kata luwih ( berlebih ) kata berlebih menjadi lantunan doa untuk bahtera kehidupan mempelai yang kehidupannya nanti diberkati rexeki yang berlebih atau luwih.
Alang – alang
Tumbuhan alang – alang dikenal daunnya yang hijau memanjang dan memiliki ujung yang runcing dan sisinya yang tajam. Menurut media baliexpress yang ditulis oleh I Putu Suyatra, Alang – alang merupakan rumput yang dianggap suci digunakan dalam sarana upakara, Sehingga alang – alang selain dianggap suci oleh para masyarakat sebagaian, alang - alang juga memiliki makna dari kata halangan. Maka doa yang di artikan untuk mempelai dalam kehidupannya tidak diberikan halangan suatu apapun dalam berumah tangga. Sehingga mempelai menjadi pasangan yang damai dan sejahtera.
Ketan
Ketan merupakan salah satu jajanan kuliner yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Ketan sendiri
8
memliki tekstur yang sam aseperti beras namun lengket. Maka dari itu dengan tekstur kelengketannya memberikan makna tersendiri yaitu melengketkan pasangana, sehingga ketan memiliki nilai doa agar pasangan tetap Bersama. Seperti yang dikatakan Che Ufu Shafitri dalam kompas.com yang ditulis oleh wan Supriyatna, ketan yang lengket ibarat seperti manusia berkumpul dan kedekatannya semakin erat semakin baik.
Beras
Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Beras yang ada dalam isi peras ternayata beras tidak hanya dimakan, namun beras juga bias menjadi isi dari persyaratan peras. Dari kata beras, beras apabila di bahasakan dengan kalimat jawa yaitu berse. Sehingga mempunya doa dalam setiap kegiatan rumah tangga diberikan selesai dalam kondisi apapun.
Kopi
Kopi merupakan yang menjadi sajian rutin para sesepuh zaman dahulu. Berdasarkan keyakinan kopi dihidangkan hanya untuk mengenang para leluhur untuk menjaga tradisinya yang sudah terbiasa dengan menikmati kopi
Janur Kelapa
Janur kelapa merupakan daun yang di hasilkan oleh pohon kelapa, dimana daun kelapa yang masih muda berwarna kuning dijadikan sebuah syarat isi dari sesajen. Kata janur diambil dari nur yang artinya cahaya, sedangkan kuning memiliki makna sabda dadi yaitu harapan dalam keinginan yang dihasilkan dari jiwa yang suci bakal tercapai. Maka dari itu ini merupakan nilai doa untuk calon mempelai dengan harapan menjadi passangan yang bercahaya dan memiliki jiwa yang suci agar tercapai.
Dalam penelitian oleh Yermia Djefri Manafe mengenai komunikasi ritual menulis ritual buknlah sekedar rekreasi, dimana ritual merupakan bagian kehidupan yang serius ( serious life ), tidak hanya sebatas hura – hura atau bersenang – senang. Selain itu simbol – simbol dalam suatu ritual memiliki efektifitas dan powerful. Sehingga kekuatan dari simbol – simbol secara jelas Nampak dalam bentuk ritus, selalu berperan dalam semua bentuk ritual. Bahkan disaat terjadi transformasi social yang tidak menampilkan maksud secara exsplisit dari suatu pertunjukan ritual seperti halnya sebuah lagu, gerak gerik tubuh
9
atau doa. Maka simbol tersebutberfungsi sebagai alat komunikasi yang dapat dipahami oleh masyarakat seperti halnya peras.
Banyak ahli mempercayai bahwa tradisi ritual adalah aksi yang berkaitan dengan keramat atau sakral .Contohnya, bagaimana masyarakat menyajikan dan memperlakukan obyek – obyek yang dianggap sama seperti halnya isi peras yang terdiri dari beberapa hasil bumi . Saat peras hanya di maknai sebatas simbol, maka peras
hanya sebatas sajian yang hanya dapat di makan oleh mahluk. Namun disaat Peras yang yang tidak menampilkan maksud secara exsplisit dari suatu ritual. Maka isi peras menjadi sejumlah dari nilai nilai susunan doa panjatan oleh sang kuasa. Padahal secara object sebenarnya isi peras hanyalah hasil bumi yang semestinya dapat dimakan oleh manusia, namun disaat isi peras sudah diletakan menjadi satu dengan yang lainya maka melahirkan makna yang tersembunyi.
Sumber Gambar : https://penarakyatnews.id/2019/12/03/uri-uri-sejarah-nusantara-eds-sesajen-sajen/
Makna Peras Secara keseluruhan dibalik kepentingan masyarakat modern.
Peras atau yang disebut sesaji merupakan sesuatu hal yang sakral. Dimana sesajen pada zaman dahulu di persembahkan oleh leluhur pada zaman dahulu yang memiliki kepentingan dalam memohon hajatnya. Seperti halnya Jurnal “ Sinkretisme Agama dan Budaya dalam Tradisi Sesajen di Desa
Prenduan “ dimana dalam hasil penelitiannya menulis bahwa dalam tradisi sesajen yang dilakukan oleh masyarakat Prendeun, terdapat unsur untuk menghormati mahluk gaib. Dimana masyarakat memiliki keyakinan dengan meletakkan sesajen merupakan rasa hormat kepada mahluk ghaib. Selain itu kepentingan dalam meletakkan sesajen pada masyarakat tersebut juga dianggap telah menjaga
10
tempat yang dianggap sangat berperan dalam lingkungannya. Artinya ada sebuah sebab akibat dalam sesajen yang diadakan oleh masyarakat madura, dimana dalam kepentingannya yaitu para gaib untuk menjaga lingkungannya. Karena dianggap nenek moyang orang jawa sejak usia dini memperkenalkan sesuatu yang gaib sebagai penjaga territorial, seperti penjaga laut, atau semacamnya. Sehingga dikatakan masyarakat Prenduan memiliki tujuan untuk berharap desanya baik – baik saja di saat sesajen telah di persembahkan.
Beda suku juga beda tradisi, seperti halnya masyarakat Prenduan yang dianggap sesajen adalah bentuk kehormatan. Masyarakat Banyuwangi menganggap sesajen adalah bentuk nilai – nilai jati diri manusia dalam melakukan kehidupannya. Dimana hasil bumi yang dikemas mengandung sebuah permohonan kebaikan untuk calon mempelai dalam menjalankan kehidupannya. Sehingga ada pesan moral sekaligus rangkaian doa yang dikemas dalam bentuk hasil bumi berupa isi peras. Tidak hanya itu, nilai mempertahankan kebiasaan leluhur juga ada dalam nilai yang dibentuk dari sebuah isi peras. Sehingga masyarakat
modern Banyuwangi menganggap isi peras bukanlah sajian untuk para leluhur atau mahluk ghaib namun bentuk peras ini merupakan bagian doa atau munajat kepada Tuhan yang di simbolkan melalui isi peras yang sudah dikemas dari sudut pandang filosofi masing masing isinya. Sama halnya ritual seblang yang pernah diteliti oleh Almira Puspita Yashi tentang ritual seblang. Dimana Ritual ini dilakukan sebagai tujuan bersih desa dan tolak bala yang dimaksudkan agar desa tetap dalam keadaan tentram dan terhindar dari mara bahaya
Selain masyarakat Banyuwangi, ada juga masyarakat toraja yang memiliki kesamaan dalam prosesi ritual yang ada di Banyuwangi, bukan kesamaan upacaranya, yaitu acara upacara sebagai tanda penghormatan terakhir pada seseorang yang telah meninggal. Penelitian ini dilakukan oleh Debyani Embon dan I Gusti Ketut Alit Suputra dama sistem simbol upacara adat Toraja Rambu Solo. Peneliti memahami hasil penelitiannya terdapat persyaratan juga yang sama halnya dalam kegiatan ritual kemanten berupa persyaratannya yaitu peras. Namun bedanya apabila peras dari hasil pertanian, namun masyarakat toraja
11
yaitu beberapa hewan peternak sepertisapi. Sapi yang digunakan pun tidak hanya satu, namun bias puluhan. Mulai dari 8 kerbau hingga 100. Apabila masyarakat Toraja memiliki ritual cara menghormati orang meninggal yang berbeda, maka masyarakat Banyuwangi memiliki ritual yang berbeda juga yaitu kemantenan dengan menggunakan peras.
Intinya sama – sama menunjukan sebuah persyaratan dalam upacara. Dalam ritual upacara adat Toraja dimana ada simbol verbal dan non verbal. Simbol verbal dalam upacaranya berupa doa – doa yang dipersembahkan kepada leluhurnya atau dikemas dengan menggunakan teks yang diucapkan, berbeda dengan masyarakat Banyuwangi dengan nilai doa – doa yang sudah dibentuk menjadi sesajen atau yang biasa masyarakat Banyuwangi disebut peras. Selanjutnya, simbol nonverbal dalam upacara Toraja yaitu sebagai wujud budaya yang harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran sehingga berfungsi sebagai pemersatu.
Jadi semua tampak berkaitan antara isi sesajen atau peras dengan peras secara keseluruhan sehingga menjadi tampak nyata melalui pemahaman simbol sehingga sesuai
dengan Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan, objeknya adalah keduaan dan penafsirnya adalah sebagai unsur pengantara yang berperan sebagai ketigaan. Ketigaan yang ada dalam konteks pembentukkan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna sehingga bisa dipahami oleh penafsir lainnya.
KESIMPULAN
Sesajen yang dijadikan ritual orang banyuwangi atau biasa disebut peras dijadikan simbol nilai – nilai harapan kepada sang mempelai atau yang memiliki hajat. Karena setiap unsur – unsur isi peras memiliki satu harapan. Sebenarnya sesuatu harapan yang di munajatkan kepada tuhan sudah dilakukan oleh para leluhur – leluhur pada zaman dahulu, namun perbedaanya masyarakat modern saat ini doa yang biasanya di ucapkan melewati teks, juga di bentuk melewati isi peras yang dijadikan sebagai simbol harapan, bukan untuk menyajikan kepada bangsa lelembut atau mahluk halus. Selain harapan yang di inginkan,
12
simbol isi peras juga memiliki makna penghormatan kepada para leluhur. Karena leluhur merupakan unsur budaya dari sesajen yang di wujudkan dengan menyediakan kopi yang dahulunya merupakan hal yang disukainya. Jadi semua tampak berkaitan antara isi sesajen atau peras dengan peras secara keseluruhan sehingga menjadi tampak nyata melalui pemahaman simbol.
DAFTAR PUSTAKA
Almira Puspita Yashi. 2018. RITUAL EBLANG MASYARAKAT USING DI KECAMATAN GLAGAH, KABUPATEN BANYUWANGI, JAWA TIMUR. Haluan Sastra Budaya. 2(1).
Berger, Asa Arthur. 2010. Pengantar Semiotika.Yogyakarta : Tiara Wacana.
Bustanuddin, A. (2007). Agama dalam kehidupan. Jakarta: PT Rajagrafindo.
Benny H. Hoed, 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, cetakan pertama, Beji Timur, Depok.
Debyani Embon, I Gusti Ketut Alit Suputra. 2018. Sistem Simbol Dalam Upacara Adat Toraja
Rambu Solo : Kajian Semiotik. Jurnal Bahasa dan Sastra. 3(7) I PUTU SUYATRA “ Begini Ceritanya
Alang-alang Jadi Rumput Sakral dan Sarana Ritual “ https://baliexpress.jawapos.co m/read/2017/07/19/2262/begi ni-ceritanya-alang-alang-jadi- rumput-sakral-dan-sarana-ritual, (diakses pada 09 Febuari 2020, pada pukul 21.36 )
Iwan Supriyatna “Mengenal Filosofi
Ketan Hitam“
https://lifestyle.kompas.com/re ad/2017/09/25/181526420/me ngenal-filosofi-ketan-hitam, (diakses pada 05 Febuari 2020, pada pukul 17.25 )
Mulyana, Deddy. 2009. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Sucipto, Toto. 2000. Kebudayaan Masyarakat Sunda Di Kabupaten Lebak Jawa Barat. Jawa Barat: Proyek P2NB Jawa Barat.
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui BatasBatas Kebudayaan. Bandung : Matahari
Saputra, H.S.P. (2017). Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat
13
Suku Using Banyuwangi.Yogyakarta: LkiS Yogyakarta. Susanto, D. (2015). Kamus Istilah Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tinarbuko Sumbo, 2009, Semiotika
Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra
Yermia Djefri Manafe. 2011. Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah Meto di Tmor-Nusa Tenggara Timur. Jurnal Komunikasi 1(3)