STUDI MODULUS ELASTISITAS PADA RUAS JALAN DENGAN
VOLUME LALU LINTAS RENDAH MENGGUNAKAN ALAT
LIGHT WEIGHT DEFLECTOMETER
(STUDI KASUS: RUAS JALAN BTS. BOVEN DIGOEL/MERAUKE – MUTING – BUPUL)
Franky EP. Lapian
Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) XVIII Papua, Jalan Abepantai – Tanah Hitam Kompleks Bina Marga Jayapura
Email: lapianedwin@gmail.com
Abstract
Pada daerah-daerah terpencil kebanyakan jalan masih menggunakan perkerasan tanah yang sangat rentan terhadap perubahan cuaca, terutama yang menggunakan perkerasan tanah dengan plastisitas tinggi atau tanah lempung. Selain masalah biaya, kesulitan mendapatkan sumber material yang baik menjadi masalah lain yang mengakibatkan melambungnya harga pengadaan material. Berkaitan dengan hal tersebut, dilakukan penelitian untuk mencari nilai modulus elastisitas pada ruas Merauke-Bupul-BTS. Kab. Merauke/Boven Digoel menggunakan alat LWD (Light Weight Deflectometer). Ruas tersebut merupakan ruas jalan dengan volume lalu lintas yang rendah. Hal ini disebabkan karena kepadatan, lendutan dan elastistas dari setiap lapisan tanah dasar, lapis pondasi (base layer) hingga lapisan campuran aspal merupakan parameter yang penting untuk mendesain suatu konstruksi jalan.
Keywords— Modulus elastisitas, Volume lalu lintas, LWD Abstract
In remote areas most roads still use soil pavement which is very vulnerable to weather changes, especially those using high plasticity or clay soil pavement. In addition to the cost problem, the difficulty of obtaining good material sources is another problem that has resulted in soaring prices of material procurement. In this regard, a study was conducted to find the modulus of elasticity in the Merauke-Bupul-BTS section. Kab. Merauke / Boven Digoel uses the LWD (Light Weight Deflectometer) tool. The segment is a road with a low traffic volume. This is due to the density, deflection and elasticity of each subsoil, the base layer to the asphalt mixture layer is an important parameter for designing a road construction.
Keywords— Modulus of elasticity, traffic volume, LWD
I. PENDAHULUAN
Ketersediaan infrastruktur jalan yang baik dan berkualitas merupakan hal utama dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Propinsi Papua yang belum memiliki jaringan jalan yang menghubungkan antar kota dan distrik membutuhkan jaringan jalan yang menghubungkan antar kota dan dsitrik. Jaringan jalan yang terhubung secara luas, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga volume lalu lintas dan beban lalu lintas juga akan meningkat. Oleh sebab itu kualitas jalan yang dibangun harus mampu melayani peningkatan lalu lintas dan struktur lapis keras jalan harus didesain dengan baik dengan metode konstruksi yang benar secara teknis dan ekonomi. Lapis keras jalan membutuhkan pondasi dengan kinerja yang baik dan mampu mendukung lapis aus yang berada di atasnya. Lapis pondasi jalan, baik lapis pondasi atas (base) dan lapis pondasi bawah (sub-bases)
dapat mempergunakan tanah dan material granular.
Tanah dasar (subgrade) adalah bagian yang terpenting dari konstruksi jalan karena tanah dasar inilah yang mendukung seluruh konstruksi jalan beserta beban lalu lintas diatasnya. Tanah dasar pulalah yang menentukan mahal atau tidaknya pembangunan jalan tersebut, karena kekuatan tanah dasar menentukan tebal atau tipisnya lapisan perkerasan.
Secara teknis lapis keras (pavement) didefinisikan sebagai semua permukaan yang diperkeras yang mampu memikul beban kendaraan (Edwards, 2007). Lapis keras jalan umumnya didesain dengan menggunakan pendekatan berdasarkan sejarah data kinerja dan “resep” spesifikasi. Pendekatan ini memiliki keterbatasan, khususnya karena teknologi material yang semakin berkembang dan prosedur desain yang ketat. Pendekatan ini juga menjadi hambatan
utama pada pengunaan material daur ulang (recycling) dan material sekunder (Reid dan Chandler, 2001).
Penggunaan material daur ulang dan sekunder akan memberikan dampak secara sosial, ekonomi dan lingkungan (Chittori dkk., 2012; Correia dkk., 2016), seperti diberikan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Dampak penggunaan material daur ulang dan sekunder
Perencanaan perkerasan suatu jalan yang digunakan sekarang tidak lagi berdasarkan pada perhitungan tegangan-tegangan serta penentuan kekuatan bahan secara teliti, tetapi cara-cara yang dipakai secara umum adalah cara empiris dan yang paling terkenal adalah menggunakan cara CBR. Spesifikasi lapis keras yang didasarkan pada kinerja, dibandingkan dengan spesifikasi yang didasarkan pada persyaratan material yang baku atau 'resep', dianggap 'membuka' penggunaan bahan alternatif, termasuk sumber materi utama 'lokal'. Namun semua tergantung pada kemampuan alat ukur - dengan pengukuran langsung - untuk mengetahui kinerja produk yang akan digunakan dalam konstruksi (Fleming dkk., 2003). Jenis spesifikasi ini telah berhasil digunakan di Inggris pada lapisan aus (wearing course) lapis keras, untuk aspal inklusi, yaitu agregat bergradasi yang terikat dengan aspal, seperti dalam Spesifikasi untuk Pekerjaan Jalan Raya pada British Standard (Specification for Highways Works) sejak tahun 1990-an (Brown, 2004). Pendekatan kinerja bergantung pada pemahaman dasar tentang parameter yang diperlukan dan cara serta alat ukur yang diperlukan. Nottingham Asphalt Tester (NAT), yang dikembangkan pada tahun 1980-an dan 1990-an, merupakan alat laboratorium utama yang digunakan untuk menilai campuran terikat aspal pada lapisan aus.
Pada lapis pondasi perkerasan, spesifikasi lapis keras berdasarkan kinerja kurang dikembangkan dengan baik. Namun, pentingnya pondasi perkerasan, dalam hal kemungkinan masa layanan jangka panjang, mulai diakui, seperti pembangunan pondasi 'ditingkatkan' dengan perilaku pondasi yang lebih baik dibandingkan
dengan pondasi 'standar' sekarang mulai diterima dengan keuntungan mendapatkan lapisan aus yang lebih tipis (Frost dkk., 2001).
Manual Desain Perkerasan Jalan (MDPJ) 2013, yang disahkan oleh Direktorat Bina Marga, Departemen PU dengan no 2/B/BM/2013; dalam kebijakan desain (sub-bab 1.2) pada butir empat menyatakan kebijakan penggunaan material yang efisien dan pemanfaatan material lokal semaksimal mungkin. Pemilihan solusi desain perkerasan didasarkan pada analisis biaya umur pelayanan (discounted) termurah dan pertimbangan sumber daya konstruksi. Meski pada MDPJ 2013 struktur lapis keras jalan yang dikenalkan masih pada lapis keras jalan fleksibel dan kaku, tetapi pada tahun yang sama, 2013 juga telah ditetapkan Spesifikasi Khusus Interim Lapis Pondasi Semen Komposit Tanah. t umur desain hingga 40 tahun untuk struktur pondasi jalan. Penetapan ini didasarkan pada life cycle cost minimum.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Nunez (2007) desain pondasi dengan stabilisasi tanah dan wearing course dengan hotmix asphalt (HMA) memberikan desain yang paling ekonomis dibandingkan dengan struktur lapis keras. Struktur ini disebut sebagai composite pavement dengan stabilisasi tanah. Struktur composite pavement ini lebih murah 20% dan umur desain bisa mencapai 40 tahun untuk 100 juta ESAL.Kualitas material yang memenuhi spesifikasi teknis sebagai lapis keras jalan, terkadang sulit terpenuhi, misalanya karena daya dukung yang rendah dan perubahan volume yang besar.
Kendala utama yang dihadapi pada Ruas Jalan Merauke - Boven Digul adalah keterbatasan sumber daya berupa material batu sebagai aggregat pada pembangunan jalan, baik untuk jenis lapis keras jalan fleksibel maupun kaku. Penelitian ini bertujuan untuk mencari nilai lendutan pada lokasi studi yaitu di Merauke dengan menggunakan alat LWD (Light Weight Deflectometer).
II. TINJAUAN PUSTAKA Tanah
Tanah merupakan produk sampingan deposit akibat pelapukan kerak bumi dan atau batuan yang tersingkap dalam matrik tanah. Menurut Bowles (1989) tanah merupakan campuran partikel-partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh jenis seperti berangkal (boulders), kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt), lempung (clay) dan koloid (colloids). Tanah dalam ilmu mekanika tanah adalah semua endapan alam yang berhubungan dengan teknik sipil, kecuali batuan tetap. Batuan tetap menjadi ilmu tersendiri yaitu mekanika batuan (rock mechanics). Endapan alam tersebut mencakup semua bahan dari tanah lempung sampai berangkal (Adha, 2009).
Perkerasan lentur dan perkerasan kaku dalam pelaksanaannya tergantung tanah dasar (subgrade) yang bersangkutan. Tebal perkerasan dan komponennya tergantung sifat-sifat tanah dasar yang akan ditetapkan sebelum perencanaan dibuat. Untuk mengetahui kekuatan tanah biasanya digunakan datadata seperti CBR (California Bearing Ratio), pemadatan dan daya dukung. Letak dari tanah dasar (subgrade) dapat ditunjukkan melalui Gambar 2.
Gambar 2. Susunan lapis konstruksi perkerasan lentur
Karakteristik Tanah
Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari butiran mineral-mineral padat yang terikat secara kimia satu sama lain dan dari bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel padat tersebut (Das, 1995). Tanah adalah himpunan mineral, bahan organik dan endapan-endapan yang relative lepas (loose) yang terletak di atas batuan dasar (bedrock) (Hardiyatmo, H.C., 2010).
Menurut Bowles, 1989 tanah adalah campuran partikel-partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh yaitu :
1. Berangkal (boulders), merupakan potongan batu yang besar, biasanya lebih besar dari 250 mm sampai 300 mm. Untuk kisaran antara 150 mm sampai 250 mm, fragmen batuan ini disebut kerakal (cobbles).
2. Kerikil (gravel), partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm.
3. Pasir (sand), partikel batuan yang berukuran 0,074 mm sampai 5 mm, berkisar dari kasar (3-5 mm) sampai halus (kurang dari 1 mm). 4. Lanau (silt), partikel batuan berukuran dari
0,002 mm sampai 0,074 mm. Lanau dan lempung dalam jumlah besar ditemukan dalam deposit yang 6 disedimentasikan ke dalam danau atau di dekat garis pantai pada muara sungai.
5. Lempung (clay), partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm. Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi pada tanah yang kohesif.
6. Koloid (colloids), partikel mineral yang “diam” yang berukuran lebih kecil dari 0,001 mm.
Sistem klasifikasi menurut AASHTO berguna untuk menentukan kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu lapis dasar (subbase) dan tanah dasar
(subgrade). Oleh karena sistem ini ditujukan untuk pekerjaan jalan tersebut, maka penggunaan sistem ini dalam praktiknya harus dipertimbangkan terhadap maksud aslinya. Sistem ini membagi tanah ke dalam 7 kelompok utama yaitu A-1 sampai dengan A-7. Tanah yang terklasifikasikan dalam kelompok A-1, A-2, dan A-3 merupakan tanah granuleryang memiliki partikel yang lolos saringan No. 200 kurang dari 35%. Tanah yang lolos saringan No. 200 lebih dari 35% diklasifikasikan dalam kelompok A-4, A-5, A-6, dan A-7. Tanah-tanah dalam kelompok ini biasanya merupakan jenis tanah lanau dan lempung (Hardiyatmo, H.C., 2010). Sistem klasifikasi menurut AASHTO disajikan yang mana didasarkan pada kriteria yaitu :
1. Ukuran partikel
a. Kerikil: fraksi yang lolos saringan ukuran 75 mm (3 in) dan tertahan pada saringan No. 10. b. Pasir: fraksi yang lolos saringan No. 10 (2 mm) dan tertahan pada saringan No. 200 (0,075 mm).
c. Lanau dan lempung: fraksi yang lolos saringan No. 200.
2. Plastisitas: tanah berbutir halus digolongkan lanau bila memiliki indek plastisitas, PI ≤ 10 dan dikategorikan sebagai lempung bila mempunyai indek plastisitas, PI ≥ 11 Gambar 3 memberikan grafik plastisitas untuk klasifikasi tanah kelompok A-2, A-4, A-5, A-6, dan A-7.
Gambar 3. Grafik plastisitas untuk klasifikasi tanah sistem AASHTO (Das, 1994)
Dari klasifkasi tanah sistem AASHTO, diperlihatkan bahwa untuk tanah yang berukuan dengan diameter kurang dari 0,075 mm pertimbangan klasifikasinya tidak langung berdasarkan pada gradasi butirannya, tetapi lebih ditekankan pada batas-batas atterbergnya. Hal ini disebabkan karena sifat lempung dan lanau lebih bergantung pada komposisi zat mineralnya dari pada ukuran butirnya, sehingga dalam penentuan klasifikasinya lebih berdasar pada batas-batas atterbergnya.
Setiap tanah yang mengandung material berbutir halus didefinisikan lebih lanjut dengan
indeks kelompok. Semakin tinggi nilai indeks kelompok suatu tanah maka tanah tersebut makin buruk.
Adapun yang termasuk ke dalam batas-batas Atterberg antara lain batas cair, batas plastis, batas susut, indeks plastisitas dan berat spesifik:
1. Batas cair (Liquid Limit)
Batas cair (LL) adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis.
2. Batas plastis (Plastic Limit)
Batas plastis (PL) adalah kadar air pada kedudukan antara daerah plastis dan semi plastis, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan diameter silinder 3 mm mulai retak-retak ketika digulung dan dibuat sebagai benda uji.
3. Batas susut (Shrinkage Limit)
Batas susut (SL) adalah kadar air yang didefinisikan pada derajat kejenuhan sebesar 100%, dimana untuk nilai-nilai di bawahnya tidak akan terdapat perubahan volume tanah apabila dikeringkan secara terus menerus. Harus diketahui bahwa batas susut makin kecil maka tanah akan lebih mudah mengalami perubahan volume akibat dikeringkan secara terus menerus.
4. Indeks plastisitas (Plasticity Index)
Indeks plastisitas (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas plastis. Indeks plastisitas merupakan interval kadar air tanah yang masih bersifat plastis.
5. Berat spesifik (Spesific Gravity)
Berat spesifik (GS) adalah perbandingan antara berat volume butiran padat (ɣs) dengan berat volume air (ɣw) pada temperatur t˚C. Pemadatan Tanah
Teori pemadatan pertama kalinya dikembangkan oleh R. R. Proctor. Metode yang orisinil dilaporkan melalui serangkaian artikel dalam Engineering New Record. Oleh karena itu, prosedur dinamik laboratorium yang standar biasanya disebut dengan uji Proctor (Bowles, 1989). Empat variabel pemadatan tanah yang didefinisikan oleh Proctor, yaitu usaha pemadatan atau energi pemadatan, jenis tanah (gradasi, kohesif atau tidak kohesif, ukuran partikel dan sebagainya), kadar air, dan berat isi kering. Menurut Craig (1991), pemadatan (compaction) adalah proses naiknya kerapatan tanah dengan memperkecil jarak antar partikel sehingga terjadi reduksi volume udara dan tidak terjadi perubahan volume air yang cukup berarti pada tanah ini. Berat volume kering tanah dapat dituliskan ke dalam persamaan 1.
………(1)
Dengan ɣ = berat volume butir tanah dan w = kadar air
Berat volume kering jenuh tanah dapat dituliskan ke dalam persamaan 2.
………(2) Dengan Gs = berat spesifik butiran tanah padat dan ɣw = berat jenis air
1. Pemadatan Standar (Standard Compaction) Pemadatan standar (standard compaction) adalah usaha untuk memadatkan contoh tanah yang dilakukan di laboratorium dengan menggunakan alat-alat pemadatan standar. Aturan yang dapat dilakukan pada pemadatan standar ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Aturan-aturan pemadatan standar
Sumber : Adha I, 2009 & Ariyani N., Mekanika Tanah I, 2001
2. Pemadatan Modifikasi (Modified Compaction) Pemadatan modifikasi (modified compaction) adalah usaha untuk memadatkan contoh tanah yang dilakukan di laboratorium dengan menggunakan alat-alat pemadatan modifikasi (berat). Aturan-aturan cara yang dapat dilakukan pada pemadatan modifikasi ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Aturan-aturan pemadatan modifikasi
Sumber : Adha I, 2009 & Ariyani N., Mekanika Tanah I, 2001
Alat-alat yang paling berperan untuk digunakan pada pemadatan modifikasi adalah silinder pemadatan dan penumbuk modifikasi. Dimensi yang digunakan pada silinder pemadatan dan penumbuk modifikasi dapat ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Dimensi silinder pemadatan dan penumbuk modifikasi
Uji Modulus Elastisitas
Alat LWD pertama kali diperkenalkan pada tahun 1981 di Magderburg, Jerman dan dikembangkan oleh Highway Research Institute dan HMP Company in Germany (HMP-LFG) the light drop weight tester. Pada pasir silika dengan kepadatan relatif 20-80% memiliki ELWD sekitar 12-38 MPa. Hasil pengujian lapisan pasir berkapur pada kepadatan relatif dari 20-80% memiliki modulus ELWD 8-32 MPa. (Magderburg
prufgeratebau GmbH, www.hmp-online.com, dalam Elhakim et al 2013.
Pemakaian Light Weight Deflectometer (LWD) semakin meningkat. Dalam melakukan pengujian dengan alat LWD ini, pada jalan tanpa penutup, parameter yang diperoleh adalah modulus elastisitas dari lapisan yang diuji. Parameter modulus elastisitas ini bisa dikonversikan menjadi parameter CBR dengan menggunakan korelasi yang diberikan AASHTO 1993. Korelasi ini tergantung dari jenis lapisan yang diuji (tanah dasar, base A atau base B).
Untuk penggunaan LWD pada jalan beraspal yang berlalu lintas rendah, parameter yang didapat berupa modulus elastisitas tanah dasar dan juga modulus elastisitas sistem perkerasan menggunakan persamaan-persamaan yang diberikan pada AASHTO 1993. Modulus elastisitas sistem perkerasan ini bisa digunakan juga untuk menghitung kekuatan struktural sistem perkerasan eksisting yang pada akhirnya bisa untuk menghitung tebal lapis tambah yang dibutuhkan selama umur rencana.
Dari sisi ini penggunaan alat LWD sangat memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan alat-alat konvensional seperti Dynamic Cone Penetration (DCP), CBR langsung, Plate Bearing Test, dan lain-lain, baik dari sisi waktu maupun akurasinya. Tabel 4 memperlihatkan perbandingan antara derajat kepadatan aktual dan derajat kepadatan dengan LWD pada lapisan pasir dengan kepadatan 2,67.
Derajat kepadatan aktual dengan derajat kepadatan dengan LWD yang diperlihatkan oleh Tabel 5 memiliki nilai yang berkisar 80 - 90%. Pada jalan beraspal volume lalu lintas rendah, evaluasi dan monitoring kekuatan struktural sistem perkerasan biasanya dilakukan dengan alat Benkelman Beam. Alat ini terdiri dari satu truk standar juga menggunakan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang teknisi selai sopir truk sendiri. Selain itu pencatatan yang dilakukan juga secara manual. Dari sisi ini penggunaan LWD untuk jalan beraspal yang mempunyai lalu lintas rendah sampai sedang jelas lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan alat Benkelman Beam.
Tabel 4. Perbandingan antara derajat kepadatan aktual dan derajat kepadatan dengan LWD pada
lapisan pasir dengan kepadatan 2,67
(Sumber: Elhakim et al., 2013. The Use of Light Weight Deflectometer for In Situ Evaluation of Sand Degree of Compaction. HBRC Journal)
Sebagai alternatif lain dari penggunaan alat LWD khususnya untuk jalan-jalan dengan kategori jalan bervolume lalu lintas rendah. Tabel 5 memperlihatkan perbandingan antara derajat kepadatan aktual dengan modulus LWD pada lapisan pasir dengan kepadatan 2,67. Perhitungan yang digunakan adalah berdasarkan teori-teori dasar seismology serta mekanika tanah khususnya teori Boussinesq untuk menghasilkan nilai modulus elastisitas. Teori dasar seismology digunakan dalam analisis gelombang sampai mendapatkan nilai lendutan yang dihasilkan. Sedangkan teori Boussineq adalah untuk menghitung nilai modulus elastisitas lapisan tanah dengan mempertimbangkan nilai lendutan.
Tabel 5. Perbandingan antara derajat kepadatan aktual dan derajat kepadatan dengan LWD pada
lapisan pasir dengan kepadatan 2,67
(Sumber: Elhakim et al., 2013. The Use of Light Weight Deflectometer for In Situ Evaluation of Sand Degree of Compaction. HBRC Journal)
Dua teori ini dalam pengujian LWD disandingkan untuk mendapatkan parameter dari tanah yang begitu penting berupa nilai lendutan dan modulus elastisitas. Gambar 4 memperlihatkan skema pengujian alat LWD.
Penggunaan alat LWD ini meliputi pengukuran lendutan dari permukaan lapisan akibat beban impak yang dijatuhkan. Selain dari lendutan pada titik pembebanan, lendutan juga harus bisa diukur pada jarak tertentu dari titik pembebanan tersebut. Lendutan yang didapat bisa digunakan untuk perancangan tebal perkerasan jalan. Selain itu, nilai lendutan ini juga digunakan untuk parameter quality control dan quality assurance serta
kekuatan struktural lapisan perkerasan seperti yang ditunjukkan pada ASTM D4695.
Gambar 4. Skema pengujian dengan menggunakan LWD (Ryden & Mooney, 2009)
Untuk pengujian pada lapisan tertentu (aspal, lapis pondasi, lapis pondasi bawah atau tanah dasar), harus memperhatikan level tegangan yang digunakan pada pengujian. Level tegangan yang harus diperhatikan adalah: (Pedoman Metoda Uji Lendutan menggunakan LWD), Pd 03-2016-B, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)
1. Bahan tanah dasar dan lapis pondasi bersifat stress dependent, maka harus hati-hati dalam melakukan pengujian LWD pada bahan granural. Sebaiknya nilai σ yang digunakan tidak jauh berbeda dengan tegangan aktual rata-rata yang terjadi selama umur pelayanan perkerasan tersebut.
2. Volume bahan tanah dasar dan lapis pondasi yang dipengaruhi oleh beban merupakan fungsi dari besaran beban itu sendiri
Tabel 6 memperlihatkan spesifikasi beberapa alat LWD yang sering digunakan untuk menguji lendutan pada lapisan perkerasan.
Tabel 6. Spesifikasi beberapa alat LWD
Dengan menggunakan alat ini maka dapat dihitung rata-rata pengujian (ώ), standar deviasi (σw) dan koefisien variasi (COVw) masing-masing
berdasarkan persamaan 3, 4 dan 5 dari penurunan yang terjadi pada bantalan plat setiap 3 kali pukulan yang diberikan.
ώ = ………...(3)
σw = ………..………….(4)
COVw = ………...…………....(5)
Dimana m = jumlah pukulan palu dan m = 3 untuk semua STA dan titik uji pada pengujian ini.
Untuk rata-rata dari penurunan yang terjadi pada bantalan plat, modulus deformasi ELWD dari
ruas jalan dapat dihitung berdasarkan persamaan 6.
ELWD = ………(6)
Untuk setiap pengujian, rata-rata, standar deviasi dan koefisien variasi dari modulus deformasi yang didapatkan (ЁLWD, σE – LWD dan
COVE – LWD untuk tiga jenis ruas jalan tersebut
masing-masing dapat dihitung berdasarkan persamaan 7, 8 dan 9.
ЁLWD = ………..(7)
σE – LWD = …………..(8)
COVE – LWD = ……….(9)
Dimana n = jumlah titik uji dari pengujian yang dilakukan.
Korelasi antara nilai modulus elastisitas dengan CBR dapat menggunakan rumus yaitu : (Rao et al., 2008).
CBR = 14,0 + 0,66 (ELWD) ………..………….(10)
III. METODOLOGI PENELITIAN Tempat Penelitian
Untuk penelitian yang dilakukan, melakukan investigasi lapangan pada tanggal pada ruas jalan Bupul – Erambu – Sota 1 / 2 PN dan Ruas jalan Bts. Kab. Boven. Digoel/Merauke – Muting/PN. Gambar 5 memperlihatkan lokasi penelitian ini.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengujian modulus elastisitas terhadap setiap lokasi yang ada pada lokasi studi dengan tujuan membuat desain yang tepat untuk mengetahui nilai modulus elastisitas dari setiap perkerasan yang ada pada lokasi studi.
Kondisi Jalan Pada Lokasi Studi
Secara umum, kondisi jalan di lokasi studi merupakan jalan dengan lapis pondasi menggunakan tanah yang telah diberikan perlakuan stabilisasi baik dengan menggunakan kapur, semen maupun menggunakan bahan-bahan lain sesuai dengan karakteristik tanah yang ada dan diatasnya telah menggunakan perkerasan aspal dengan jenis gradasi HRS-WC. Gambar 6 memperlihatkan kondisi jalan yang dilakukan pengujian modulus elastisitas dengan menggunakan alat LWD.
Hasil pengujian LWD ini diharapkan dapat memberikan kontribusi mengenai nilai lendutan dari perkerasan jalan yang ada di lokasi studi yang dipantulkan melalui geopone dari alat sehingga dapat diketahui desain penanganan jalan yang tepat dan cepat.
Gambar 6. Kondisi jalan di lokasi studi Pengujian Modulus Elastisitas
Pengujian modulus elastisitas dilakukan di lapangan dengan menghampar pada lokasi campuran tanah laterit, kapur padam dan semen. Pengujian ini menggunakan alat LWD (Light Weight Deflectometer). Pedoman pengujian LWD adalah pedoman metoda uji lendutan menggunakan Light Weight Deflectometer Pd–03-2016-B, SE Menteri PUPR No/19/SE/M/2016. Gambar 7 memperlihatkan pengoperasian alat LWD yang dilakukan oleh 1 sampai 2 orang teknisi.
Alat LWD digunakan untuk pengukuran lendutan pada permukaan perkerasan tanpa penutup, digunakan untuk mengukur kekuatan struktur lapisan (dalam parameter modulus
elastisitas) dan digunakan untuk jalan yang bervolume lalu lintas rendah. Gambar 8 memperlihatkan alat LWD beserta komponen-komponen.
Gambar 7. Pengoperasian alat LWD Adapun prosedur pengujian lendutan dengan menggunakan alat LWD berdasarkan pedoman metoda uji lendutan menggunakan Light Weight Deflectometer Pd–03-2016-B, SE Menteri PUPR No/19/SE/M/2016 adalah :
a) Meletakkan alat Light Weight Deflectometer pada titik pengujian. Kemiringan permukaan lapisan yang bisa diuji dengan LWD adalah maksimum 4%. Untuk lapisan granular direkomendasikan menggunakan lapisan tipis pasir pada titik pengujian. Hal ini untuk mendapatkan permukaan kontak yang seragam antara pelat pembebanan dan permukaan lapisan.
b) Memeriksa sekali lagi posisi pelat pembebanan dan sensor geophone.
c) Mengangkat beban pada ketinggian tertentu sampai mencapai level tegangan yang diinginkan dan kemudian jatuhkan sehingga menimbulkan beban impak pada pelat pembebanan.
d) Melakukan pengujian pada titik tersebut minimum 2 kali. Apabila perbedaan hasil pengujian 1 dan 2 lebih besar dari 3%, mencatat perbedaan ini dalam laporan. Pengujian ketiga dibutuhkan apabila hal ini terjadi.
e) Untuk pengujian pada lapisan granular, juga dicatat besarnya kadar air lapangan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Modulus Elastisitas
Pengujian modulus elastisitas dilakukan di STA Merauke, lokasi Bio dan Kabupaten Bovendigoel. Pengujian dilakukan dengan beban sebesar 300 kg dan jumlah titik uji yaitu 3 titik. Pengujian modulus elastisitas menitikberatkan kepadatan, lendutan dan elastistas dari setiap lapisan tanah dasar, lapis pondasi (base layer) hingga lapisan campuran aspal merupakan parameter yang penting untuk mendisain suatu konstruksi jalan dimana alat LWD (Light-Weight Deflectometer) untuk menganalisa lendutan dan resilient modulus. Tabel 7 memperlihatkan hasil
pengujian lapangan dengan menggunakan alat LWD pada lokasi studi, dimana ELWD yang
diperoleh berbeda-beda tergantung jenis perkerasan jalan yang di uji. Selain itu, nilai koefisien variasi yang didapatkan juga berkisar antara 0,5% hingga 0,7%.
Nilai modulus deformasi yang diperoleh sangat bervariasi pada setiap lokasi pengujian, hal ini disebabkan karena variasi dalam pemadatan energi. COV modulus deformasi yang didapatkan dari hasil pengujian LWD terjadi karena variabilitas bahan perkerasan yang diuji misalnya kadar air, kepadatan perkerasan dan ketebalan angkat alat LWD) atau variabilitas karena pengujian.
Tabel 7. Hasil pengujian lendutan menggunakan alat LWD
kg Mikron Mikron Mikron 0° Mpa Mpa M' Perkerasan (cm) lapangan D0-D200 (>41)
merauke bio boven 1 3000 424.9 227.8 38.1 30 359 147 1.5 Asphalt 1.971 35.9 38.68 kondisi baik √
merauke bio boven 2 3000 377.3 223.5 136.7 30 404 41 1.5 Asphalt 1.538 40.4 24.06 tepi √
merauke bio boven 3 3000 398.8 226.1 113.5 30 382 49 1.5 Asphalt 1.727 38.2 28.53 tepi √
merauke bio boven 1 3000 1782.4 902.8 535.3 30 86 10 1.5 Soils 8.6 124.71 kondisi amblas ×
merauke bio boven 2 3000 1730.2 895.1 440 30 88 13 1.5 Soils 8.8 129.02 as ×
merauke bio boven 3 3000 1759.2 920 470.9 30 87 12 1.5 Soils 8.7 128.83 as ×
merauke bio boven 1 3000 1644.2 1145.9 939.9 30 93 6 1.5 Soils 9.3 70.43 kondisi amblas ×
merauke bio boven 2 3000 1755 1141 932.8 30 87 6 1.5 Soils 8.7 82.22 tepi ×
merauke bio boven 3 3000 1680.4 1199.7 917.4 30 91 6 1.5 Soils 9.1 76.3 tepi ×
merauke bio boven 1 3000 1169.8 216.2 170.3 30 130 33 1.5 Soils 13 99.95 kondisi amblas ×
merauke bio boven 2 3000 1084 258.2 200.9 30 141 28 1.5 Soils 14.1 88.31 as ×
merauke bio boven 3 3000 863.3 273.1 186.9 30 177 30 1.5 Soils 17.7 67.64 as ×
merauke bio boven 4 3000 648.3 285.5 198 30 235 28 1.5 Soils 23.5 45.03 as ×
merauke bio boven 5 3000 636.4 293.9 183.3 30 240 30 1.5 Soils 24 45.31 as ×
merauke bio boven 6 3000 625.8 299.8 192.3 30 244 29 1.5 Soils 24.4 43.35 as ×
merauke bio boven 7 3000 413 308.3 197.2 30 369 28 1.5 Soils 36.9 21.58 as √
merauke bupul muting 1 3000 941.6 393.1 168.7 30 162 33 1.5 Asphalt 5.485 16.2 77.29 Amblas ×
merauke bupul muting 2 3000 971.9 444.1 148.9 30 157 38 1.5 Asphalt 5.278 15.7 82.3 as ×
merauke bupul muting 3 3000 841.2 428.3 41.5 30 181 135 1.5 Asphalt 4.129 18.1 79.97 as ×
merauke bupul muting 1 3000 162.7 34.6 55.2 30 937 101 1.5 Soils 93.7 10.75 Amblas Cliping
merauke bupul muting 2 3000 172.1 37.2 31 30 886 180 1.5 Soils 88.6 14.11 as Cliping
merauke bupul muting 3 3000 77.1 37.4 26.8 30 1977 209 1.5 Soils 197.7 5.03 as Cliping
merauke bupul muting 1 3000 607.7 598.5 461.9 30 251 12 1.5 Asphalt 0.092 25.1 14.58 as √
merauke simpati muting 2 3000 413.4 207.7 122.4 30 369 46 1.5 Asphalt 36.9 29.1 √
KETERANGAN : Pembacaan (EVd0) ≥ 250 Mpa
× : Overlay
√ : Rekonstruksi
STA Titik Beban D0 D1 D2 Cuaca EVd0 EVd1 Jarak Geo Jenis Lendutan CBR (%) Lendutan (mm) Keterangan
4
Lokasi Kab
Merujuk pada penelitian yang telah dilakukan oleh Amr F. Elhakim, dkk., (2014) memperoleh nilai ELWD pada pasir yang mengandung silika
(siliceous sand) dengan kepadatan relatif yang berkisar antara 20 hingga 80% memiliki nilai ELWD
sekitar 12 hingga 38 MPa. Selain itu, hasil pengujian pada pasir berkapur (calcareous sand) pada kepadatan relatif yang berkisar antara 20 sampai 80% menghasilkan nilai ELWD sebesar 8
sampai 32 MPa.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mendukung program penanganan ruas jalan tersebut dimana program penanganan yang dikenal saat ini adalah penanganan rutin jalan,
penanganan rutin jembatan, penanganan rehab jalan dan penanganan rekonstruksi jalan. 2. Pemakaian kapur padam dan bahan tambah
untuk stabilisasi tanah di ruas jalan tersebut masih digunakan untuk stabilisasi pada lapis pondasi perkerasan jalan yang disesuaikan dengan program penanganan berdasarkan hasil penelitian ini.
3. Sebagai acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan stabilisasi 2 tahap tanah laterit dengan kapur dan semen perlu dibuat spesifikasi khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Adha, I., 2009. Pengaruh Resapan Air (Water Adsorption) Terhadap Daya Dukung Lapis Pondasi Tanah Semen. Jurnal Rekayasa. Vol. 13. Universitas Lampung.Bandar Lampung.
Amr F. Elhakim, Khaled Elbaz, dan Mohamed I. Amer. 2013. The Use of Light Weight Deflectometer for In Situ Evaluation of Sand Degree of Compaction, Volume 10 Issue 3, pp : 298-307.
Ariyani, N. 2001. “Potensi Abu Sekam Padi dan Kapur sebagai Campuran dalam Usaha Peningkatan Karakteristik Mekanis Tanah Tras dari Dusun Serapan - Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
ASTM, Annual Books of ASTM Standards, Volume 04.08 Soil and Rock (I): D420-D5611, 2004.
Bowles, J. 1989. Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah). Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta
Ch. NageshwarRao, Varghese George, and R. Shivashankar, PFWD, CBR and DCP Evaluation of Lateritic Subgrades of Dakshina Kannada, India, 2008, The 12 th International Conference of International Association for Computer Methods and Advances in Geomechanics (IACMAG) 1-6 October, Goa, India, pp. 441-4423.
Chittoori B.S., Puppala, A.J., Reddy, R.K., Marshall, D., 2012, Sustainable reutilization of excavated trench material. ASCE
GeoCongress, Oakland, California, March 2012, pp. 4280–4289
Correia, A.G., Winter, M.G. dan Puppala, A.J., (2016), A review of sustainable approaches in transport infrastructure, Transportation Geotechnics 7, 21–28, Elseiver
Das, B. M. 1995. Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknik) Jilid I.PT. Erlangga: Jakarta
Edwards, J.P., 2007, Laboratory characterisation of pavement foundation materials, Disertasi Doktor Teknik (Eng.D), Loughborough University
Hardiyatmo, C. H. (2010). Mekanika Tanah 1. Gadjah Mada University Press: Jakarta. Nils Ryden dan Michael A. Mooney, Analysis of
surface waves from the light weight deflectometer, Soil Dynamics and Earthquake Engineering 29 (2009), pp. 1134–1142.
Pd 03-2016-B. Pedoman Metoda Uji Lendutan Menggunakan Light Weight Deflectometer (LWD), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Reid, J.M., and Chandler, J.W.E. (2001). Recycling in transport infrastructure. Transport Research Laboratory. Crowthorne House.