• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1.1 Pengertian Manajemen dan Manajemen Keperawatan. menjalankan suatu kegiatan di organisasi. Manajemen mencakup kegiatan POAC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1.1 Pengertian Manajemen dan Manajemen Keperawatan. menjalankan suatu kegiatan di organisasi. Manajemen mencakup kegiatan POAC"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Manajemen Keperawatan

1.1 Pengertian Manajemen dan Manajemen Keperawatan

Manajemen merupakan suatu pendekatan yang dinamis dan proaktif dalam menjalankan suatu kegiatan di organisasi. Manajemen mencakup kegiatan POAC (planning, organizing, actuating, controlling) terhadap staf, sarana, dan prasarana dalam mencapai tujuan organisasi (Grant dan Massey dalam Nursalam, 2009).

Swanburg (2000) menyatakan bahwa, manajemen keperawatan berhubungan dengan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengaturan staf (staffing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian (controlling) aktivitas-aktivitas upaya keperawatan atau divisi departemen keperawatan dan dari sub unit departemen.

1.2 Fungsi Manajemen Keperawatan

Fungsi manajemen keperawatan menurut Marquis dan Huston (2010) sebagai berikut: 1) Perencanaan : dimulai dengan penerapan filosofi, tujuan, kebijaksanaan, prosedur, dan peraturan ; termasuk perencanaan jangka pendek dan jangka panjang ; menentukan tindakan fiskal ; dan mengelola perubahan terencana. 2) Pengorganisasian : meliputi pembentukan struktur untuk melaksanakan perencanaan, menetapkan metode pemberian asuhan keperawatan kepada pasien yang paling tepat, mengelompokkan kegiatan untuk mencapai tujuan unit serta melakukan peran dan fungsi dalam organisasi dan menggunakan

(2)

kekuatan serta otoritas dengan tepat. 3) Ketenagaan : meliputi merekrut, mewawancarai, mengontrak, dan orientasi dari staf baru, penjadwalan, pengembangan staf, sosialisasi staf dan pembentukan tim. 4) Pengarahan : mencangkup tanggung jawab dalam mengelola sumber daya manusia seperti motivasi untuk semangat, manajemen konflik, pendelegasian, komunikasi, dan memfasilitasi kolaborasi dan 5) Pengawasan/pengendalian meliputi penilaian kinerja, tanggung gugat fiskal, pengawasan mutu, pengawasan hukum dan etika, dan pengawasan hubungan profesional dan kolegial.

1.3 Kepala Ruangan sebagai Manajer Keperawatan

Kepala ruangan adalah seorang tenaga perawatan profesional yang diberi tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola kegiatan pelayanan keperawatan di satu ruang rawat (Depkes, 1994 dalam Hutahaen, 2009). Tugas pokok kepala ruangan adalah mengawasi dan mengendalikan kegiatan pelayanan keperawatan di ruang rawat yang berada di wilayah tanggung jawabnya. Adapun fungsi manajemen keperawatan kepala ruangan adalah:

a. Melaksanakan fungsi perencanaan, meliputi : 1) merencanakan jumlah dan kategori tenaga perawatan serta tenaga lain sesuai kebutuhan, 2) merencanakan jumlah jenis peralatan perawatan yang diperlukan, 3) merencanakan dan menentukan jenis kegiatan/asuhan keperawatan yang akan diselenggarakan sesuai kebutuhan pasien.

b. Melaksanakan fungsi pergerakan dan pelaksanaan, meliputi : 1) mengatur dan mengkoordinasi seluruh kegiatan pelayanan di ruang rawat, 2) menyusun dan mengatur daftar dinas tenaga perawatan dan tenaga lain sesuai dengan

(3)

kebutuhan dan ketentuan/peraturan yang berlaku (bulanan, mingguan, harian), 3) melaksanakan program orientasi kepada tenaga keperawatan satu atau tenaga lain yang bekerja di ruang rawat, 4) memberi pengarahan dan motivasi kepada tenaga perawatan untuk melaksanakan asuhan perawatan sesuai standart, 5) mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang ada dengan cara bekerja sama dengan sebagai pihak yang terlibat dalam pelayanan ruang rawat, 6) mengenal jenis dan kegunaan barang peralatan serta mengusahakan pengadaannya sesuai kebutuhan pasien agar tercapainya pelayanan optimal, 7) menyusun permintaan rutin meliputi kebutuhan alat, obat, dan bahan lain yang diperlukan di ruang rawat, 8) mengatur dan mengkoordinasikan pemeliharaan peralatan agar selalu dalam keadaan siap pakai, 9) mempertanggungjawabkan pelaksanaan inventaris peralatan, 10) melaksanakan program orientasi kepada pasien dan keluarganya meliputi tentang peraturan rumah sakit, tata tertib ruangan, fasilitas yang ada dan cara penggunaannya, 11) mendampingi dokter selama kunjungan keliling untuk memeriksa pasien dan mencatat program, 12) mengelompokkan pasien dan mengatur penempatannya di ruang rawat untuk tingkat kegawatan, injeksi dan non injeksi, untuk memudah pemberian asuhan keperawatan, 13) mengadakan pendekatan kepada setiap pasien yang dirawat untuk mengetahui keadaan dan menampung keluhan serta membantu memecahkan masalah berlangsung, 14) menjaga perasaan pasien agar merasa aman dan terlindungi selama pelaksanaan pelayanan berlangsung, 15) memberikan penyuluhan kesehatan terhadap pasien/keluarga dalam batas wewenangnya, 16) menjaga perasaan petugas agar merasa aman dan

(4)

terlindungi serlama pelaksanaan pelayanan berlangsung, 17) memelihara dan mengembangkan sistem pencatatan data pelayanan asuhan keperawatan dan kegiatan lain yang dilakukan secara tepat dan benar, 18) mengadakan kerja sama yang baik dengan kepala ruang rawat inap lain, seluruh kepala seksi, kepala bidang, kepala instansi, dan kepala UPF di rumah sakit, dan 19) menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik antara petugas, pasien dan keluarganya, sehingga memberi ketenangan.

c. Melaksanakan fungsi pengawasan, pengendalian dan penelitian, meliputi : 1) mengawasi dan menilai pelaksanaan asuhan keperawatan yang telah ditentukan, 2) melaksanakan penilaian terhadap upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang perawatan, 3) melaksanakan penilaian dan mencantumkan ke dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai (DP3) bagi pelaksana keperawatan dan tenaga lain di ruang yang berada di bawah tanggung jawabnya untuk berbagai kepentingan (naik pangkat/golongan, melanjutkan sekolah), 4) mengawasi dan mengendalikan pendayagunaan peralatan perawatan serta obat–obatan secara efektif dan efisien, mengawasi pelaksanaan sistem pencatatan dan pelaporan kegiatan asuhan keperawatan serta mencatat kegiatan lain di ruang rawat.

2. Kepemimpinan

2.1 Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah hubungan antara pemimpin dan pengikut dimana pemimpin mempengaruhi pengikut atau pihak lain atau bawahannya untuk bekerjasama sukarela dalam mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan

(5)

tugasnya untuk mencapai hal-hal yang diinginkan oleh pimpinan (Ali, 2010). Menurut Gillies (1994), mendefinisikan kepemimpinan berdasarkan kata kerjanya, yaitu to lead, yang mempunyai arti beragam, seperti untuk memandu (to guide), untuk menjalankan dalam arah tertentu (to run in a specific direction), untuk mengarahkan (to direct), berjalan di depan (to go at the head of), menjadi yang pertama (to be first), membuka permainan (to open play), dan cenderung ke hasil yang pasti (to tend toward a definite result).

Gardner dikutip dari Marquis dan Huston (2010) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses persuasif dan peneladanan oleh individu (atau tim kepemimpinan) yang mempengaruhi suatu kelompok untuk mengikuti arahan pimpinan atau diberikan oleh pimpinan kepada bawahannya. Merton dikutip dari Swanburg (2000) menguraikan kepemimpinan sebagai suatu transaksi masyarakat dimana seseorang anggota mempengaruhi yang lainnya. Ia menyatakan bahwa lebih baik bila seseorang dengan posisi sedang berkuasa mengkombinasikan antara kekuasaan dan kepemimpinan untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan. Merton menguraikan kepemimpinan yang efektif akan memenuhi empat keadaan yaitu : 1) Seseorang akan mengerti apabila menerima suatu komunikasi, 2) Orang ini mempunyai pedoman apa yang harus dilakukan yang diminta dalam komunikasi tersebut, 3) Orang ini percaya bahwa perilaku yang diminta adalah sesuai dengan kehendak perorangan dengan nilai yang baik, 4) Orang ini percaya bahwa hal itu sesuai dengan tujuan organisasi.

McGregor dikutip dari Swanburg (2000) menyatakan ada empat variabel besar untuk memahami kepemimpinan : 1) karakter pimpinan, 2) sikap,

(6)

kebutuhan, dan karakteristik lainnya dari bawahan, 3) karakteristik dari organisasi, seperti tujuan, strukur organisasi, keadaan organisasi yang akan dibentuk, dan 4) keadaan sosial, ekonomi, dan politik lingkungan. McGregor menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan hubungan yang sangat kompleks yang selalu berubah dengan waktu seperti perubahan yang terjadi pada manajemen, serikat kerja atau kekuatan dari luar.

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan memimpin yang pada hakikatnya meliputi suatu hubungan antara yang antara pemimpin dan yang dipimpin agar mau bekerja ke arah pencapaian tujuan tertentu.

2.2 Teori Kepemimpinan

a. Teori Sifat (The Great Man Theory)

Teori ini menekankan bahwa setiap orang adalah pemimpin (pemimpin dibawa sejak lahir bukan didapatkan) dan mereka mempunyai karakteristik tertentu yang membuat mereka lebih baik dari yang lain, teori ini disebut “Great Man Theory”. Banyak penelitian tentang riwayat kehidupan Great Man Theory, tetapi menurut teori kontemporer, kepemimpinan seseorang dapat dikembangkan bukan hanya dari pembawaan sejak lahir, dimana teori ini mengabaikan atau pengaruh dari siapa yang mengasuh, situasi, dan lingkungan lainnya (Marquis & Huston, 2010). The Great Man Theory dari filsuf Aristotle, menyatakan bahwa beberapa orang dilahirkan untuk menjadi pemimpin, sedangkan orang lain dilahirkan untuk dipimpin. Teori sifat menyatakan bahwa beberapa orang

(7)

memiliki karakteristik atau sifat individu tertentu yang membuat mereka memimpin lebih baik daripada yang lainnya (Marquis dan Huston, 2010).

Swanburg (2000) menyatakan ciri-ciri pemimpin menurut teori sifat adalah a) Inteligensi : sifat bawaan berkaitan dengan kecerdasan, termasuk pengetahuan, menentukan sesuatu dan kelancaran berbicara. Menyadari bahwa pengetahuan dan kompetensi dalam pekerjaan tertentu adalah salah satu faktor terpenting dalam keefektifan pemimpin. Pemimpin kompeten mempunyai kekuatan istimewa apabila dipakai untuk mengilhami bawahan untuk mengatasi penampilannya. b) Kepribadian : sifat bawaan dalam kepribadian seperti mudah menyesuaikan diri, mempunyai keyakinan diri, kreatif, dan bisa menyatukan diri adalah merupakan sifat pemimpin yang efektif. Pemimpin adalah seseorang yang efektif dan mengetahui bagaimana memotivasi para pegawai untuk mencapai tujuan dari organisasi dan c) Kemampuan : seorang pemimpin mempunyai cukup kepopuleran, wibawa dan keterampilan diri untuk dipakai sebagai simbol dalam menyampaikan segala sesuatu, dan bisa pula menanamkan kesatuan dengan secara mendalam diantara anggota-anggota dari suatu sistem organisasi.

b. Teori Perilaku (Behaviour Theory)

Kepemimpinan dapat dipelajari berdasarkan pola–pola kelakuan para pemimpin. Seorang pemimpin tidak berkelakuan sama ataupun melakukan kegiatan yang identik dengan seorang pemimpin yang lainnya dalam suatu situasi yang sama (Winardi, 2000). Nursalam (2009) menyatakan bahwa teori perilaku lebih menekankan pada apa yang dilakukan pemimpin dan bagaimana seorang manajer menjalankan fungsinya. Perilaku sering dilihat sebagai suatu rentang dari

(8)

sebuah perilaku otoriter ke demokratis atau dari fokus suatu produksi ke fokus pegawai. Vestal dikutip dari Nursalam (2009) menyatakan teori perilaku dinamakan dengan gaya kepemimpinan seorang manajer dalam satu organisasi. Bersamaan dengan berkembangnya teori kepemimpinan, para peneliti mulai menekankan pada apa yang telah pemimpin lakukan (gaya kepemimpinan). Lewin (1951) dan White & Lippitt (1960) mengeluarkan terobosan baru yaitu memisahkan gaya kepemimpinan menjadi otoriter, demokratis dan Laissez-faire (Gillies, 1994).

McGregor menyatakan bahwa setiap manusia merupakan kehidupan individu secara keseluruhan yang mengadakan interaksi inividu dengan lingkungannya. Apa yang terjadi dengan orang tersebut merupakan akibat dari perilaku orang lain. Sikap dan emosi orang lain mempengaruh orang tersebut. Bawahan sangat tergantung pada atasan dan berkeinginan untuk diberlakukan adil. Suatu hubungan akan berhasil apabila dihendaki kedua pihak, juga tergantung pada prakarsa yang diambil atasan (Swanburg, 2000).

2.3 Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin. Gaya kepemimpinan merupakan pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku

(9)

seseorang (Rivai, 2003). Gaya kepemimpinan adalah adanya pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami suksesnya kepemimpinan dimana lebih memusatkan perhatian apa yang dilakukan oleh pemimpin tersebut (Winardi, 2000). Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah sekumpulan pola perilaku yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku orang lain.

Gillies (1994) mengatakan gaya kepemimpinan berdasarkan wewenang dan kekuasaan dibedakan menjadi empat yaitu : otoriter, demokratis, partisipatif dan bebas tindak atau Laissez–Faire.

Gaya kepemimpinan otoriter adalah gaya seorang pemimpin yang berorientasi pada tugas, menggunakan jabatan kekuasaan posisi dan kekuasaan dalam memimpin, mempertahankan tanggung jawab untuk semua perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan serta memotivasi bawahan dengan menggunakan penghargaan (reward) dan kesalahan (punishment) (Gillies, 1994).

Gaya kepemimpinan demokratis merupakan kepemimpinan yang menghargai sifat dan kemampuan setiap staf. Membuat rencana dan pengontrolan dalam penerapannya informasi diberikan seluas - luasnya dan terbuka (Nursalam, 2007). Gaya kepemimpinan ini menggunakan kekuatan pribadi dan kekuatan jabata untuk menarik gagasan dari para pegawai dan memotivasi anggota kelompok untuk menentukan tujuan sendiri, mengembangkan rencana dan mengontrol praktek mereka sendiri (Gillies, 1994).

Gaya kepemimpinan partisipatif merupakan gabungan antara otoriter dan demokratis, yaitu pemimpin yang menyampaikan hasil analisis masalah dan

(10)

kemudian mengusulkan tindakan tersebut kepada bawahannya. Staf diminta saran dan kritiknya serta mempertimbangkan respon staf terhadap usulannya, dan keputusan akhir ada pada kelompok (Nursalam, 2007).

Gaya kepemimpinan Laissez–Faire atau bebas tindak merupakan pimpinan offisial dimana pemimpin melepaskan tanggung jawabnya, karyawan menentukan sendiri kegiatan tanpa pengarahan, supervisi dan koordinasi dan memaksa mereka untuk merencanakan, melakukan, dan menilai pekerjaan mereka yang menurut mereka tepat (Gillies, 1994).

Berbagai jenis kepemimpinan yang tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Semua gaya kepemimpinan dapat dipilih untuk digunakan tergantung dari situasi dan kondisi yang ada (Suyanto, 2009). Implementasi gaya kepemimpinan lebih didasarkan pada situasi kondisi serta kemampuan dari seluruh anggota yang ada dalam organisasi. Pemilihan tipe kepemimpinan yang terbaik untuk sebuah situasi yang ada sangat dipengaruhi oleh berbagai banyak faktor, antara lain kesulitan atau kompleksitas tugas yang diberikan, banyaknya waktu yang tersedia untuk penyelesaian tugas, ukuran kelompok kerja, pola komunikasi dalam kelompok, latarbelakang pendidikan dan pengalaman, dan kebutuhan akan kebebasan, informasi dan prestasi (Tannenbaum & Schmit dikutip dari Arwani, 2006).

3. Manajemen Konflik 3.1 Defenisi Konflik

Deutsch dikutip dari Monica (1998) mendefinisikan konflik sebagai suatu perselisihan atau perjuangan yang timbul akibat terjadinya ancaman

(11)

keseimbangan antara perasaan, pikiran, hasrat, dan perilaku seseorang. Konflik terjadi akibat adanya pertentangan pada situasi keseimbangan yang terjadi pada diri individu ataupun pada tatanan yang lebih luas, seperti antar–individu, antar-kelompok, atau antar–masyarakat (Arwani, 2006). Marquis & Huston (2010) mendefinisikan konflik sebagai perselisihan internal atau ekternal akibat adanya perbedaan gagasan, nilai, atau perasaan antara dua orang atau lebih.

Walton dalam Winardi (2001) mengatakan konflik timbul apabila terdapat ketidaksesuaian paham pada sebuah situasi sosial mengenai persoalan-persoalan substansi dan atau antagonisme emosional. Konflik-konflik substansi biasanya berpusat pada ketidakcocokan dengan tujuan-tujuan dan alat-alat. Konflik-konflik emosional mencakup perasaan marah, ketidaksenangan, perasaan takut, penolakan, dan benturan-benturan kepribadian.

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa konflik adalah suatu kondisi yang ditimbulkan karena adanya perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang antara individu yang saling berinteraksi yang dimulai dari dalam individu itu sendiri, antarkelompok dan antarorganisasi.

3.2 Kategori Konflik

Marquis & Huston (2010) mengatakan ada tiga kategori konflik yang utama : intrapersonal, interpersonal, dan interkelompok. (1) Konflik intrapersonal : konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan ini merupakan masalah internal untuk mengklarifikasi nilai dan keinginan dan konflik yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetensi peran (Nursalam, 2009). Bagi manajer, konflik intrapersonal dapat disebabkan oleh berbagai area

(12)

tanggung jawab yang terkait dengan peran manajemen (Marquis & Huston, 2010). (2) Konflik interpersonal : konflik terjadi antara dua orang atau lebih dimana nilai, tujuan dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara konstan berinteraksi dengan orang lain, sehingga ditemukan perbedaan–perbedaan (Nursalam, 2009). Ruang lingkup ini sangat tidak terbatas, konflik bisa terjadi antara atasan dengan bawahan secara individu dalam suatu perusahaan (Bachtiar, 2004). (3) Konflik interkelompok : konflik yang terjadi antara dua atau lebih dari kelompok orang, departemen, atau organisasi. Sumber konflik ini adalah hambatan dalam mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), serta keterbatasan prasarana (Marquis & Huston, 2010). Konflik interkelompok menyebabkan tugas koordinasi dan integrasi kegiatan-kegiatan tugas menjadi sulit (Winardi, 2007).

3.3 Penyebab Konflik

Konflik dapat terjadi karena manusia mempunyai sifat yang terbagi dalam kuadran yaitu : (1) dominasi (dominance), sifat yang paling mendasar dalam diri manusia yang dapat menimbulkan konflik. Dominasi muncul karena manusia ingin mempertahankan kehidupan pribadi dan sosialnya dimata orang lain atau ingin menguasai orang lain agar menuruti keinginannya yang tujuannya untuk mencapai kepuasan diri. (2) Kepengaruhan (persuasiveness), hal ini terjadi jika seseorang berusaha mempengaruhi orang lain agar mau menuruti apa yang dipengaruhkan kepadanya, jika pengaruh tersebut membawa dampak negatif pada dirinya maka akan terjadi konflik. (3) Keteguhan hati (steadiness), merupakan cerminan sikap egois dalam diri manusia, yang bila bersentuhan dengan

(13)

kepentingan dan harga diri manusia lain bisa menimbulkan konflik dan (4) kepatuhan (compliance), diartikan sebagai kepatuhan seseorang terhadap nilai-nilai dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya. Jika ada karyawan yang tidak patuh sedangkan karyawan yang lain sudah patuh akan memicu timbulnya konflik (Bachtiar, 2004).

Beberapa alasan yang paling umun yang menyebabkan terjadinya konflik di lingkungan kerja yaitu : kompetisi diantara kelompok, beban kerja yang meningkat, peran ganda, ancaman identitas profesional dan lingkungan, ancaman keamanan dan keselamatan, sumber daya yang kurang, budaya yang berbeda, dan kondisi ruangan (Tappen, 2004).

Arwani (2006) mengatakan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik diantaranya perilaku yang menentang, stress, kondisi ruangan, kewenangan dokter-perawat, keyakinan, ekslusifisme, kekaburan tugas, kekurangan sumber daya, proses perubahan, imbalan dan masalah komunikasi. Berikut ini uraian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut : a. Perilaku menentang, sebagai bentuk dari ancaman terhadap suatu dialog, dapat

menimbulkan gangguan protokol penerimaan untuk berinteraksi dengan orang lain. Perilaku ini dapat berupa verbal dan nonverbal. Terdapat tiga macam perilaku menentang, yaitu : competitive bomber yang dicirikan perilaku yang mudah menolak, menggerutu dan menggumam, mudah untuk tidak masuk kerja, dan merusak secara agresif yang disengaja. Tipe perilaku menentang kedua adalah martyred acomodation, yang ditunjukkan dengan penggunaan kepatuhan semu atau palsu dan kemampuan bekerjasama dengan orang lain,

(14)

namun sambil melakukan ejekan dan hinaan. Tipe perilaku menentang ketiga adalah avoider, yang ditunjukkan dengan pengghindaran kesepakatan yang telah dibuat dan menolak untuk berpartisipasi.

b. Banyaknya stressor yang muncul dalam lingkungan kerja seseorang menimbulkan terjadinya stress. Stres dapat mengakibatkan tekanan fisik maupun tekanan mental hal ini akan mudah memicu terjadinya konflik.

c. Kondisi ruangan yang terlalu sempit atau tidak kondusif untuk melakukan kegiatan–kegiatan rutin dapat memicu terjadinya konflik. Hal yang memperburuk keadaan dalam ruangan dapat berupa hubungan yang monoton atau konstan diantara individu yang terlibat di dalamnya, terlalu banyaknya pengunjung pasien dalam suatu ruangan atau bangsal mampu memperparah kondisi ruangan yang mengakibatkan terjadinya konflik.

d. Kewenangan dokter–perawat yang berlebihan dan tidak saling mengindahkan usulan–usulan di antara mereka, juga dapat mengakibatkan munculnya konflik. Dokter yang tidak mau menerima umpan balik dari perawat, atau perawat yang merasa tidak acuh dengan saran–saran dari dokter untuk kesembuhan klien yang dirawatnya, dapat memperkeruh suasana.

e. Perbedaan nilai atau keyakinan antara satu orang lain dengan yang lainnya dapat menyebabkan terjadinya konflik. Perawat begitu percaya dengan persepsinya tentang pendapat kliennya sehingga menjadi tidak yakin dengan pendapat yang diusulkan oleh profesi atau tim kesehatan lainnya. Keadaan ini akan semakin kompleks jika perbedaan keyakinan, nilai, dan persepsi telah melibatkan pihak di luar tim kesehatan yaitu keluarga pasien.

(15)

f. Ekslusifisme yaitu adanya pemikiran bahwa kelompok tertentu memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan kelompok lain.

g. Kekaburan tugas atau peran ganda yang disandang seseorang (perawat) dalam bangsal keperawatan sering mengakibatkan konflik. Seorang perawat yang berperan lebih dari satu peran pada waktu yang hampir bersamaan masih merupakan fenomena yang jamak ditemukan dalam tatanan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun komunitas.

h. Kekurangan sumber daya manusia sering memicu terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam suatu tatanan organisasi.

i. Proses perubahan yang terlalu cepat atau proses perubahan yang terlalu lambat dapat memunculkan konflik. Individu yang tidak siap dengan perubahan memandang perubahan sebagai suatu ancaman.

j. Imbalan jika dikaitkan dengan pembagian yang tidak merata antara satu orang dengan orang lain dapat menyebabkan munculnya konflik. Pemberian imbalan yang tidak didasarkan atas pertimbangan profesioanal sering menimbulkan masalah yang pada akhirnya menimbukan suatu konflik.

k. Masalah komunikasi, penyampaian informasi yang tidak seimbang, hanya orang tertentu yang diajak berbicara oleh manajer, penggunaan bahasa yang tidak efektif, dan penggunaan media yang tidak tepat sering berujung terjadinya konflik.

3.4 Proses Konflik

Proses konflik ada enam tahapan yaitu : pertama, kondisi yang mendahului, konflik yang dipersepsi, konflik yang dirasakan, perilaku yang dinyatakan,

(16)

penyelesaian atau penekanan konflik, dan penyelesaian akibat konflik (Filley dikutip dari Monica 1998). Kondisi yang mendahului merupakan penyebab terjadinya konflik (tahap kedua). Kondisi yang ada di antara pihak yang terlibat atau di dalam diri dapat menyebabkan terjadinya konflik. Tahapan ketiga konflik akan dipersepsikan adalah konflik intelektual dan sering melibatkan isu serta peran. Konflik ini dikenali secara logis dan tidak melibatkan perasaan orang lain yang terlibat konflik. Konflik yang dirasakan ketika konflik melibatkan emosi. Emosi yang dirasakan antara lain rasa bermusuhan, takut, tidak percaya dan marah. Konflik ini mungkin juga dipersepsikan bukan dirasakan, karena orang juga dapat merasakan konflik tetapi tidak mengetahui masalahnya (Marquis & Huston, 2010). Pada tahapan keempat konflik akan dimanifestasikan ataupun ada perilaku yang dinyatakan seperti agresif, pasif, asersif, persaingan, debat, atau beberapa individu memecahkan konflik. Langkah selanjutnya (tahap lima) yang dilakukan terhadap terjadinya konflik adalah perilaku untuk menyelesaikan atau menekan konflik tersebut. Perilaku tersebut dapat berupa perjanjian di antara yang terlibat atau kadang melakukan tindakan penaklukan salah satu pihak. Suatu penyelesaian masalah dengan cara memuaskan semua orang yang terlibat di dalamnya dengan prinsip win–win solution. Pada tahap terakhir dalam proses konflik adalah akibat konflik. Konflik akan selalu menimbulkan dampak negatif dan positif. Jika konflik dikelola secara baik, orang yang terlibat di dalam konflik akan percaya ia akan diberlakukan secara adil. Jika konflik tidak terselesaikan akan menimbulkan konflik yang lebih besar dari konflik yang utama (Nursalam, 2009).

(17)

3.5 Strategi Penyelesaian Konflik

Seorang pemimpin bertugas mengenali manajemen konflik atau strategi penyelesaian masalah yang paling tepat untuk setiap situasi. Pilihan strategi yang tepat tergantung pada banyak variabel, misalnya situasi itu sendiri, kekuatan atau status pihak yang terlibat dan kedewasaan orang yang terlibat dalam konflik (Marquis & Huston, 2010). Ada beberapa strategi yang digunakan dalam penyelesain konflik yaitu kompromi atau negosiasi, kompetisi, akomodasi, smoothing, menghindar, dan kolaborasi (Nursalam, 2009).

a. Kompromi atau negosiasi : suatu strategi penyelesaian konflik dimana semua yang terlibat saling menyadari dan sepakat pada keinginan bersama. Penyelesaian strategi ini sering diartikan sebagai lose–lose situation kedua unsur yang terlibat menyepakati hal yang telah dibuat (Nursalam, 2009). Kompromi bekerja menuju kepuasan parsial, semua pihak mencari sebuah solusi yang dapat diterima dan bukan yang optimal dengan demikian tidak ada pihak yang menang maupun kalah secara mutlak (Winardi, 2007). Strategi ini dapat dilakukan ketika tujuan-tujuannya penting, ketika pihak lawan dengan persamaan kekuasaan sepakat untuk mencapai tujuan bersama. Strategi ini dapat dilakukan dengan tujuannya untuk mencapai penyelesaian sementara untuk isu-isu yang kompleks, untuk mencapai solusi yang bijaksana, dan sebagai cadangan ketika gaya kolaborasi dan kompetisi tidak berhasil (Rivai, 2003).

b. Kompetisi : strategi ini dapat diartikan sebagai win–lose penyelesaian konflik. Penyelesaian ini menekankan bahwa hanya ada satu orang atau kelompok yang

(18)

menang tanpa mempertimbangkan yang kalah. Akibat negatif dari strategi ini adalah kemarahan putus asa dan keinginan untuk memperbaiki di masa mendatang (Nursalam, 2009). Strategi ini sering digunakan apabila keputusan-keputusan cepat dan desisif diperlukan sekali misalnya dalam situasi darurat dan persoalan-persoalan penting (Rivai, 2003).

c. Akomodasi : strategi ini digunakan untuk memfasilitasi dan memberikan wadah untuk menampung keinginan pihak yang terlibat konflik. Dengan cara ini dimungkinkan terjadi peningkatan kerjasama dan pengumpulan data–data yang akurat dan signifikan untuk pengambilan suatu kesepakatan bersama (Arwani & Supriyanto, 2006). Strategi ini bertujuan untuk memelihara kerjasama, membangun penghargaan sosial bagi isu-isu berikutnya, meminimalkan kerugian, keharmonisan dan stabilitas dipandang lebih penting, dan memberi kesempatan kepada bawahan berkembang dengan belajar dari kesalahan (Rivai, 2003)

d. Smoothing : strategi ini sering digunakan manajer agar seseorang mengakomodasikan atau bekerjasama dengan pihak lain. Smoothing terjadi ketika satu pihak dalam konflik berupaya untuk memuji pihak lain atau berfokus pada hal yang disetujui bersama, bukan pada perbedaan. Pendekatan ini tepat digunakan pada perselisihan yang kecil (Marquis & Huston, 2010). e. Menghindar : semua pihak yang terlibat dalam konflik menyadari masalah

yang dihadapi tetapi memilih untuk menghindar atau tidak menyelesaikan masalah (Nursalam, 2009). Strategi ini biasanya dipilih jika isu tidak gawat

(19)

atau bila kerusakan yang potensial tidak akan terjadi dan lebih banyak menguntungkan (Swanburg, 2000).

f. Kolaborasi : strategi ini merupakan strategi win–win solution, dalam kolaborasi kedua belah pihak menentukan tujuan bersama dan bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan, karena keduanya meyakini akan tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan dan masing–masing pihak yang terlibat meyakininya (Nursalam, 2009).

4. Gambaran Umum RSUP H. Adam Malik Medan 4.1 Sejarah Singkat RSUP H. Adam Malik Medan

Pada tahun 1990, RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit umum kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Tahun 1991, diangkat sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No.502/Menkes/SK/IX/1991. RSUP H. Adam Malik juga sebagai pusat rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau.

RSUP H. Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan rawat jalan sedangkan untuk pelayanan rawat inap baru dimulai tanggal 2 Mei 1992. Pada tanggal 11 Januari 1993 secara resmi Pusat Pendidikan Fakultas Kedokteran USU Medan dipindahkan ke RSUP H. Adam Malik sebagai tanda dimulainya Soft Opening. Kemudian diresmikan oleh Bapak Presiden RI pada tanggal 21 Juli 1993.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan NO. 280/KMK.05/2007 dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan dengan NO. 756/Menkes/SK/VI/2007

(20)

tepatnya pada Juni 2007 RSUP H. Adam Malik telah berubah status menjadi Badan Layanan Umum (BLU) bertahap dengan tetap mengikuti pengarahan-pengarahan yang diberikan oleh Ditjen Yanmed dan Departemen Keuangan untuk perubahan status menjadi BLU (Badan Layanan Umum) Penuh.

Untuk mewujudkan hal ini pemberdayaan dan kemandirian instalasi dan SMF (Satuan Medis Fungsional) sehingga produktif dan efisien, dan dilakukan penyesuaian Organisasi yang didukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 244/Menkes/Per/III/2008 tentang Organisasi dan tata kerja RSUP H. Adam Malik Medan tanggal 11 Maret 2008.

RSUP H. Adam Malik adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Departemen Kesehatan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, wajib melaksanakan Sistem Pelaporan Rumah Sakit. Sistem Pelaporan Rumah Sakit sangat ditentukan oleh Sistem Pencatatan Data yang dilakukan di masing-masing unit kerja.

4.2 Visi dan Misi RSUP H. Adam Malik Medan

Visi RSUP H. Adam Malik adalah “Menjadi pusat rujukan pelayanan kesehatan pendidikan dan penelitian yang mandiri dan unggul di Sumatera tahun 2015”.

Visi tersebut diwujudkan melalui Misi RSUP H. Adam Malik yaitu : 1. Melaksanakan pelayanan kesehatan yang paripurna, bermutu dan terjangkau. 2. Melaksanakan pendidikan, pelatihan serta penelitian kesehatan yang

(21)

3. Melaksanakan kegiatan pelayanan dengan prinsip efektif, efisien, akuntabel dan mandiri.

4.3 Kedudukan

RSUP H. Adam Malik adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Departemen Kesehatan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan. RSUP H. Adam Malik dipimpin oleh seorang kepala yang disebut direktur utama.

4.4 Tugas Pokok

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 244/MENKES/PER/III/2008 tanggal 11 Maret 2008 tentang organisasi dan tata kerja RSUP H. Adam Malik Medan mempunyai tugas untuk menyelenggarakan upaya penyembuhan dan pemulihan secara paripurna, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan secara serasi, terpadu dan berkesinambungan dengan upaya peningkatan kesehatan lainnya serta melaksanakan upaya rujukan.

4.5 Fungsi

Dalam melaksanakan tugas RSUP H. Adam Malik Medan menyelenggarakan fungsi : pelayanan medis, pelayanan dan asuhan keperawatan, penunjang medis dan non medis, pengelolaan sumber daya manusia, pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang profesi kedokteran dan pendidikan kedokteran berkelanjutan, pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan lainnya, penelitian dan pengembangan, pelayanan rujukan, dan administrasi umum dan keuangan.

(22)

4.6 Struktur Organisasi

Struktur Organisasi RSUP H. Adam Malik berdasarkan Surat Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 244/MENKES/PER/III/2008 tanggal 11 Maret 2008 sebagai berikut :

Susunan organisasi RS PPK BLU adalah sebagai berikut : 1. Direktorat Medik dan Keperawatan

2. Direktorat Sumber Daya Manusia dan Pendidikan 3. Direktorat Keuangan

4. Direktorat Umum dan Operasional 5. Unit-unit Non Struktural

Setiap direktorat dipimpin oleh direktur yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada direktur utama.

4.7 Gambaran Umum Instalasi Rawat Inap Terpadu A (Rindu A)

Direktorat medik dan keperawatan yang terdiri dari bidang pelayanan medik, bidang pelayanan keperawatan, bidang pelayanan penunjang, kelompok jabatan fungsional, dan instalasi. Instalasi terdiri dari instalasi rawat jalan, instalasi rawat gawat darurat, instalasi rawat inap terpadu A dan instalasi rawat inap terpadu B. Instalasi rawat inap terpadu A terdiri dari 7 ruang rawat inap yaitu RA-1 khusus penyakit dalam/interna wanita, RA-2 khusus penyakit dalam/interna pria, RA-3 khusus penyakit paru, RA-4 terbagi dua yaitu RA-4N khusus penyakit neurologi dan RA-4BS untuk pasien khusus bedah saraf, RA-5 khusus THT dan mulut dan RA-6 VIP A. Setiap ruangan dipimpin oleh seorang kepala yang disebut kepala ruangan.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun ada saja sejumlah masalah pelanggan yang tidak dapat diselesaikan dengan sukses, organisasi yang memiliki tim dengan posisi terbaik, menggunakan alat terbaik,

Pengujian yang dilakukan pada siswa dengan MOS = 4.4, menunjukan bahwa pada “Aplikasi Tes Psikologi Online Berbasis Web untuk Menunjang Keputusan Kelas Peminatan Studi Kasus

Dari pembahan yang cukup panjang dalam artikel ini mengenai pemberhentian kepala daerah maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pemberhentian kepala daerah dan

Artinya secara parsial terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel bebas ( ) yaitu berupa Keberhasilan Diri, Toleransi Akan Resiko, Kebebasan Dalam

Contoh : Sebuah kursi dapat dianggap sebagai sistem, dimana kursi ini Contoh : Sebuah kursi dapat dianggap sebagai sistem, dimana kursi ini terdiri dari elemen-elemen yaitu kaki,

Vokasi Kini: Masa Depan Dunia Film dan Penyiaran 10.30-11.00 Panduan Pembelajaran di TA 2020/2021 di Masa Pandemi COVID-19 (RR) Beranda Pak RT: PSBB dan Remaja Beranda Pak RT:

Hasil pengujian menunjukkan bahwa titrator semi otomatis memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat membaca nilai potensial setiap detik, larutan yang dibutuhkan untuk

Laba-laba yang terdapat pada dua lokasi yaitu Suaka Margasatwa dan Hutan Lindung Muara Angke, Jakarta ditemukan sebanyak 21 famili dan 32 genus.. Famili Ordo