• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TENTANG ALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TENTANG ALAM"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TENTANG ALAM

A. Riwayat Hidup dan Karyanya

Fazlur Rahman lahir di Hazara, Pakistan, pada tanggal 21 September 1919 M, dia berasal dari keluarga yang alim atau tergolong taat beragama, dengan menganut Madzhab Hanafi seperti pengakuannya sendiri, keluarganya mempraktikkan lbadah sehari-hari secara teratur. Pada usia sepuluh tahun, ia telah menghafal Al-Quran. Ayahnya, Mawlana Syihab ad-Din, adalah seorang alumnus Dar al-Ulum, sekolah menengah terkemuka di Deoband, India. Di sekolah ini, Syihab ad-Din belajar dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Mawlana Mahmud Hasan (w.1920), yang lebih populer dengan Syekh al-Hind, dan seorang Faqih ternama, Mawlana Rasyid Ahmad Bangohi (w.1905). Meskipun Rahman tidak belajar di Dar al-Ulum, ia menguasai kurikulum Darse Nizami yang ditawarkan lembaga tersebut dalam kajian privat dengan ayahnya. Hal ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam tradisional, dengan perhatian khusus pada fiqih, teologi dealektisatav, ilmu kalam, hadist, tafsir, logika (mantiq) dan filsafat.1

Ketika anak benua Indo Pakistan masih belum pecah ke dalam dua Negara mereka, di sebuah daerah yang kini terbesar di Barat Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan sederet pemikiran liberalnya seperti Syah Waliyullah, Sir Sayyid Amir Ali dan Muhammad Iqbab, latar belakang ini mempengaruhi Fazlur Rahman menjadi pemikir radikal dan liberal dalam peta pembaharuan Islam2

Pada tahun 1933, Rahman dibawa ke India untuk memasuki sekolah modern. Kemudian ia melanjutkan ke Punjab University, dan lulus menyandang gelar B.A. pada tahun 1940 dalam spesialisasi bahasa Arab. Dua tahun setelah itu, tepatnya tahun 1942 Fazlur Rahman memperoleh gelar

1

Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman, Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer, Islamika, Yogyakarta, 2004, hlm. 49.

2

Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan Modernis, Suatu Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1990, hlm. 79-80.

(2)

Master dalam Sastra Arab dan sedang belajar untuk memperoleh gelar Doktoral Lahore, ia diajak oleh Ab A’la al Maududi bergabung dengan Jemaah Islam dengan syarat mau menghentikan studinya, sebab menurut Maududi semakin banyak Fazlur Rahman belajar, kemampuan-kemampuan praktisnya akan semakin beku. Hal ini tidak menjadikan Fazlur Rahman berubah pendirian tetapi menolak ajakan-ajakan tersebut dan tetap memilih untuk melanjutkan studinya.3

Menyadari bahwa mutu pendidikan tinggi Islam di India ketika itu amat rendah, Fazlur Rahman akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Inggris. Keputusan ini termasuk keputusan yang amat berani, sebab pada waktu itu terdapat anggapan bahwa, merupakan hal yang sangat aneh jika seorang muslim pergi belajar Islam ke Eropa dan kalaupun ada yang terlanjur ke sana, maka ia akan amat susah untuk diterima kembali di negara asalnya, bahkan lebih jauh tindakan berani seperti ini kerap pula mengakibatkan penindasan4 keputusan belajar di Eropa didasarkan atas ketidakpuasan terhadap mutu pendidikan Islam di negeri-negeri Islam sendiri.

Pada tahun 1946, ia berangkat ke Oxford University, Inggris. Dalam proses perampungannya di Universitas ini, ia menulis sebuah disertasi tentang psikologi (London: Oxford Uneversity Press, 1952) di bawah bimbingan Prof. Simon Van Den Bergh. Belajar di Oxford University, sebagai lembaga pendidikan yang telah maju di Barat, Rahman berkesempatan mendalami bahasa-bahasa Barat. Jika ditelusuri dari karya-karyanya, tampak bahwa Rahman, setidaknya, menguasai bahasa-bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Arab, Persia, dan Urdu. Penguasaan banyak bahasa ini jelas sangat membantunya dalam upaya menggali dan memperluas wawasan keilmuannya, terutama dalam studi-studi Islam melalui penelusuran literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para Orientalis dalam bahasa-bahasa yang umumnya Eropa.

3

Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 13.

4

(3)

Setelah meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dari Oxford University pada 1950, Rahman tidak langsung pulang ke negerinya, Pakistan, yang baru saja merdeka beberapa tahun dan telah memisahkan diri dari India. Rahman agaknya masih cemas akan fenomena masyarakat negerinya saat itu, yang agak sulit menerima seorang Sarjana Keislaman yang terdidik di Barat. Karenanya, beberapa tahun ia memilih mengajar di Eropa yang dimulainya dengan mengajar bahasa Persia dan Filsafat Islam di Durham University, Inggris, pada tahun 1950-19585. Fazlur Rahman mulai memperlihatkan tingkat kesarjanannya yang tinggi dengan menelorkan beberapa karyanya dalam bidang religio filosofis Islam khususnya pandangan-pandangan religio filosofisnya Ibnu Sina yang amat dikaguminya pada saat mengajar di Universitas Durham, ia merampungkan karya orisinilnya, Prophecy in Islam: Philosofy and Ortodoxy6 namun baru kemudian di terbitkan di London oleh George Allen dan Unwin, Ltd. Pada tahun 1958, sewaktu ia mengajar di McGill University, Kanada. Buku ini merupakan satu-satunya karya orisinil Fazlur Rahman bahwa selama ini sarjana-sarjana modern yang mengkaji pemikiran-pemikiran religio filosofis Islam kurang memperhatikan terhadap masalah-masalah doktrin kenabian. Selanjutnya, atas berbagai pertimbangan, ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associated Professor pada bidang studi Islam di Institute of Islamic Studies Mc Gill University Montreal, Kanada.

Di awal tahun 60-an, Rahman memulai proyek paling ambisius dalam hidupnya, yang kemudian menjadi titik tolak dalam karirnya. Pakistan, di bawah Jenderal Ayyub Khan, mulai memperbaharui usahanya pada pembentukkan politik dan identitas Negara. Dalam pandangan Khan, salah satu unsur untuk membangun kembali semangat nasional adalah memperkenalkan transformasi politik dan hukum. Transformasi itu diharapkan akan membawa Negara kembali pada khittahnya sebagai Negara dengan visi dan ide Islam. Antusiasme Rahman sendiri terhadap masalah ini bisa di

5

Ibid, hlm. 51

6

(4)

buktikan dari kenyataan bahwa ia meninggalkan karir akademiknya yang bergengsi di Kanada demi tantangan yang menghadang di Pakistan. Pada awal Pembentukan Pusat Lembaga Riset Islam (Central Institute Of Islamic Research), ia semula manjadi profesor tamu, dan kemudian menjadi direktur selama satu periode (1961-1968). Di samping sebagai direktur di lembaga ini, Rahman juga bekerja pada Dewan Penasihat Ideology Islam (Adrisory Couna of Islamic Ideology). Lembaga reseach yang dikelola Fazlur Rahman dibentuk dengan tugas menafsirkan Qur’an dalam term-term (istilah-istilah) rasional dan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat yang progresif7. Pada saat itu, posisi penting ini memberinya kesempatan untuk meninjau berlangsungnya pemerintahan dan kekuasaan dari dekat. Bahkan saat-saat itu juga, kata Ibrahim Moosa, menjadi pengalaman paling berharga dalam sejarah hidup seorang Rahman, pada sisi lain, dengan posisi sebagai direktur lembaga riset, Rahman memprakarsai penerbitan Journal of Islamic Studies, yang hingga kini masih terbit secara berkala dan merupakan jurnal ilmiah keagamaan bertaraf Internasional8.

Ketika menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa kini tetap gagasan-gagasan pembaharuan yang dikemukakan Fazlur Rahman selaku direktur Research Islam ataupun sebagai Dewan Penasihat Ideology Islam yang pada waktunya mewakili sudut pandang kalangan modernis, selalu mendapat tantangan keras dari kaum tradisionalis dan fundamentalis ide-ide tentang sunah dan hadist, riba dan bunga bank, zakat, fatwa mengenai kehalalan binatang sembelihan secara mekanis serta lainnya telah menimbulkan kontroversi- kontroversi yang berkepanjangan secara berkala nasional di Pakistan.

Puncak dari tantangan ini meletus ketika dua bab pertama dari karya pertamanya Islam, diterjemahkan kedalam bahasa Urdu dan dipublikasikan pada Jurnal Fikr-u Nazr. Ketegangan ini berlanjut ditambah dengan ketegangan politik antara ulama tradisional dengan pemerintah di bawah

7

Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif neo Modernisme, terj. Taufiq Adnan Amal, Mizan, Bandung, 1990, hlm. 13.

8

(5)

pimpinan Ayyub Khan yang dapat digolongkan modernis. Akhirnya pada saat-saat inilah Rahman merasa terpaksa hengkang dari Pakistan9. Akhirnya ia memutuskan untuk hijrah ke Chicago dan sejak 1970 menjabat sebagai Guru Besar Kajian Islam dalam berbagai aspek pada Departemen of Near Eastern and Civilization, University of Chicago.10 Universitas ini merupakan tempat terakhirnya bekerja, hingga ia wafat. Selama menjadi pengajar di Universitas Chicago, dengan posisi sebagai muslim modern, Rahman telah memberikan banyak kontribusi pada ilmuwan muslim generasinya untuk memberi kepercayaan diri, baik melalui publikasi, konsultasi, dakwah, pengkaderan ilmuwan muda yang datang dari berbagai negara untuk belajar di bawah asuhannya Ahmad Syafi’i Maarif yang pernah menjadi murid Fazlur Rahman selama empat tahun di Chicago memberi komentar sehubungan dengan kepindahan bekas gurunya itu ke Barat. Bila bumi muslim belum peka terhadap himbauan-himbauan, maka bumi lain yang juga bumi Allah telah menampungnya dan dari sanalah ia menyusun dan merumuskan pikiran-pikirannya tentang Islam sejak 1970, dan kesanalah beberapa mahasiswa dari negeri muslim belajar Islam dengannya.11

Di Chicago selain mengajar di Universitas tersebut, Rahman juga sering diminta oleh berbagai pusat studi terkemuka di Barat untuk memberi kuliah atau berpartisipasi dalam seminar-seminar internasional yang berkaitan dengan keislaman.12

Fazlur Rahman merupakan guru besar yang dihormati seorang pendeta Yahudi yang juga berguru kepadanya. Ia amat respek terhadap gurunya, yang kemudian berkomentar: "belum pernah saya betemu guru besar dan sebaik ini", meskipun dalam kuliah-kuliahnya tak jarang melakukan kritik pedas terhadap orang Yahudi. Wawasan keilmuan Fazlur Rahman yang luas juga tampak di dalam mata kuliah yang diberikannya, meliputi pemahaman Qur’an, Filsafat Islam, Taswuf, Hukum Islam, kajian-kajian tentang

9

Ibid, hlm. 53.

10

Fazlur Rahman, op.cit, hlm. 16.

11

Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Pustaka, Bandung, 1984, hlm. viii.

12

(6)

Ghozali, Ibnu Taimiyah, Syah Wali Allah, Iqbal dan lainnya. Fazlur Rahman sangat menguasai Islam historis maupun normatif, ia merupakan sarjana yang berkualitas tinggi dan sekaligus sebagai pemikir Islam yang serius.

The Rocky Feller Memorial Chapel, pernah mengundangnya untuk memberikan ceramah tentang tensi-tensi moral manusia dalam Quran, pada musim semi di tahun 1981, juga diminta pusat studi-studi Yahudi untuk memberikan kuliah masalah sikap Islam terhadap Yudaisme pada Universitas Conneticul di Starrs, demikian juga Universitas PBB pernah mengundangnya uintuk menyampaikan kuliah dalam seminar Perception of Desirable Society, yang diselenggarakan di Bangkok bersama Prof. Sherif Mardin.

Aktifitas Rahman menulis berbagai artikel untuk Jurnal-jurnal ilmiah dan buku-buku suntingan terus dikerjakan, pernah juga menterjemahkan sebuah buku artikel Nanik Kemal, pembaharu Turki dari Bahasa Urdu ke dalam bahasa Inggris, berisi tentang kritik Kemal dan komentar panjangnya terhadap tulisan Ernst Renan. Fazlur Rahman berhasil pula menyelesaikan penulisan buku The Philosophy of Mulla Sadra, yang dalam buku ini berusaha memperkenalkan pemikiran-pemikiran religio filosofis Mulla Sadra, berpijak dari karya monumental itu mengilhami pula untuk menulis sebuah buku Al-Ashfar al-Arbaah sebagai sumbangan besar di bidang kajian perkembangan pemikiran religio filosofis pasca Al-Ghozali. Karya Fazlur Rahman yang kedua dalam periode ini, adalah sebuah buku dengan judul Major Themes of the Qur’an.

Bersama Leonard Bider Fazlur Rahman aktif memimpin sebuah proyek penelitian Islam and Social Change, sebagai hasil penelitian ini tersusunlah sebuah buku yang terbit tahun 1982 dengan judul Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition, buku ini pada mulanya berjudul Islamic Education and Modernity, karena ia memang berbicara tentang pendidikan Islam dan perspektif sejarah dengan al-Quran sebagai

(7)

kriteria penilaian, kemudian oleh penerbit The University of Chicago Press diubah menjadi Islam and Modernity.13

Pada tanggal 26 Juli 1988 dalam usianya yang ke-69, Fazlur Rahman menghembuskan nafas yang terakhir di Chicago, Illinois. Kepergian Sarjana Pemikir Neo-Modernis ini merupakan sebuah kehilangan bagi dunia intelektual Islam kontemporer. Rahman meninggalkan karya-karyanya dalam bentuk buku utuh, artikel-artikel dalam jurnal ilmiah dan buku suntingan, karya-karyanya kebanyakan berbahasa Inggris dan hanya sebagian kecil yang berbahasa Urdu. Diantara karya-karya intelektualnya yang sempat ditulisnya berupa buku-buku antara lain :

1. Avicenna’s Psychology (1952)

2. Prophecy in Islam : Philosophy and Orthodoxy (1958) 3. Islamic Metodology in History (1965)

4. Islam (1966)

5. The Philosophy of Mulla Sadra (1975) 6. Major Themes of the Quran (1980)

7. Islam and Modernity : Transformation of an Intellectual Traditional (1982)

8. Health and Madicine In Islamic Tradition : Change and Identity (1987)14 Sedangkan dalam bentuk artikel ilmiah, tersebar di banyak jurnal baik jurnal lokal (Pakistan) dan internasional, serta yang dimuat dalam buku-buku bermutu dan terkenal. Artikel-artikel yang ditulisnya antara lain :

1. Some Islamic Issues in the Ayyub Khan 2. Islam: Challenges and Opportunities

3. Revival and Reform in Islam: a Study of Islamic Fundamentalism 4. Islam : Legacy and Contemporary Challenges

5. Islam in the Contemporary World 6. Roots of Islamic Neo- Fundamentalism 7. The Muslim World

13

Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, op.cit., hlm. vi.

14

Sibawaihi, loc.cit.

(8)

8. The Impact of Modernity on Islam

9. Islamic Modernism its Scope, Methode an Alternatives 10. Divine Revelation and the Prophet

11. Interpreting the Quran

12. The Quranic Concept of God, the Universe and Man 13. Some Key Ethical Concept of the Quran15

B. Perkembangan Corak Pemikiran Keagamaan Fazlur Rahman

Berdasarkan tulisan-tulisannya, tampaknya Fazlur Rahman hanya mengalami perkembangan minat keagamaan atau corak intelektualitas keagamaan. Paling tidak, perkembangan minat, dan kecenderungan, dimaksud dapat dibagi ke dalam dua kategori: historis dan normatif. Yang dimaksud histories dalam hal ini adalah penelusuran terhadap sejarah Islam tertentu, sementara normatif adalah tawaran ide-ide keagamaan, dalam rangka melahirkan ide-ide normatif baru.

Pada dekade 1950-an, corak intelektualisme Rahman masih diwarnai oleh Islam historis. Pernyataan ini tentu saja di dasarkan atas perkembangan yang tampak dari tulisan-tulisannya. Tetapi, mencermati ide-ide yang dimunculkan dalam karya-karyanya pada masa ini, kajiannya sudah menunjukkan sikap yang kritis-analitis.16 Ada tiga karya terpenting dimaksud, yaitu Avicenna’s Psychology (1952); Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958); dan Avicenna’s De Anima (1959); serta satu antologi (kumpulan tulisan) dari artikel-artikel tentang pemikiran Islam khususnya pemikiran modern Iqbal.17

Karya Prophecy in Islam (1958), misalnya, dilatarbelakangi oleh kurangnya perhatian yang diberikan para sarjana modern terhadap bidang religio-filosofis Islam yang sangat penting tentang doktrin kenabian. Karya

15 Drs. Tafsir, M.Ag., Moral Dalam Al-Qur’an, “Kajian terhadap Pemikiran Fazlur

Rahman”, Tesis, Pascasarjana IAIN Walisongo, Semarang, 1999, hlm. 116.

16

Sibawaihi, op.cit., hlm. 55.

17

Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Suatu Pemikiran Hukum Fazlur Rahman), Mizan, Bandung, 1990, hlm. 13.

(9)

yang lahir pada masa awal perkembangan pemikirannya ini merupakan kajian historis murni dan tidak bersifat interpretative. Demikian juga karya “Ibnu Sina”, dengan jelas mencerminkan aspek kesejahteraan di dalamnya akibat kurangnya perhatian terhadap bidang religio-filosofis Islam ini. Bahkan, pada masa-masa ini, Rahman sebenarnya telah menelaah pemikiran religio-filosofis Islam pada periode modern.18

Rahman mengatakan antara filosof Muslim dan ulama ortodok pada dasarnya dalam posisi yang tidak berbeda ketika menjelaskan pandangannnya tetang proses pewaahyuan kepada Nabi Muhammad. Para filosof seperti Ibnu Sina berteori bahwa Nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasi dirinya dengan intelek aktif, sementara ulama ortodok seperti al-Shahrastani dan Ibnu Khaldun memandang bahwa Nabi mengidentifikasi dirinya dengan malaikat, sementara, Rahman sendiri berpendapat bahwa Nabi mengidentifikasi dirinya dengan Hukum Moral. 19

Pada 1955, misalnya, ia menulis buku tentang perkembangan pemikiran filosofis modern dengan memberi perhatian khusus pada pemikiran Muhammad Iqbal. Dalam tulisannya ini, ia menganggap bahwa sebagian besar upaya intelektual kalangan modernis terpusat pada masalah-masalah hukum dan sosial praktis. Hal ini disebabkan oleh : (1) Pada saat itu kaum Muslim tidak merasa puas dengan peninggalan mazhab hukum Abad Pertengahan. Mereka manganggap peninggalan itu sudah tidak memadahi lagi untuk kondisi modern; (2) Adanya berbagai serangan yang memojokkan dari kalangan Barat terhadap Islam, terutama sekali diarahkan pada pranata-pranata hukum dan sosialnya serta moralitas yang terkandung didalamnya. Menurut Rahman, perhatian para modernis terhadap filsafat moral sangat kecil, atau bahkan tidak ada. Perhatian di bidang ini baru terealisasi pada masa Iqbal, yang dipandang Rahman sebagai "satu-satunya filosof periode modern Islam", melalui karya utamanya The Reconstruction of Religious Thought in Islam.

18

Sibawaihi, loc.cit.

19

(10)

Menurut Rahman, melalui karyanya ini, ada upaya serius dari penulisannya uuntuk memformulasikan metafisika Islam yang baru.20

Perhatian Rahman pada masa-masa awal perkembangan pemikiraannya ini tidaklah terbatas pada aspek religio-filosofis modernisme Islam, sebab ia juga menganalisis secara kritis perkembangan-perkembangan internal Islam periode modern.

Pakistan pada awal perkembangannya adalah ajang kontroversi diantara kaum modernis disatu pihak dengan kaum tradisionalis dan fundamentalis di pihak lain. Situasi demikian sangat kondusif bagi pengembangan pemikiran Rahman, disamping kontaknya yang intens dengan Barat ketika ia menetap di Eropa dan Amerika. Keterlibatan Rahman dalam hal ini ditandai dengan publikasi artikel-artikelnya dalam jurnal Islamic Studies yang dirintisnya mulai Maret 1962 sampai Juni 1963 yang kemudian dibukukan menjadi Islamic Methodology in Historis (1965). Karya ini jelas muncul sebagai upaya untuk memberi definisi "Islam" bagi Pakistan, disamping sebagai respon terhadap kecenderungan “ingkar sunnah” yang berkembang di sana, dan juga sebagai responterhadap situasi kesarjanaan Barat sehubungan dengan konsep Sunnah Nabi dan Evolusi Hadis. Sebagaimana kalangan modernis lainnya, Rahman malihat bahwa kebutuhan reformulasi gagasan politik, moral, dan cita-cita spiritiual Islam, sangat bergantung pada penilikan ulang Hadis. Pemikiran inilah yang kemudian dielaborasi dalam Islamic Methodology, tetapi tentu saja sangat berat diterima oleh kalangan Fundamentalis atau Tradisionalis.21

Karya kedua, Islam (1966), buku yang hingga kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia dan, karya ketiga berupa serangkaian artikel-artikel tahun 1967 yang pernah dipublikasikan dalam jurnal Islamic Studies, seperti Some Reflection on the Reconstruction of Muslim Society in Pakistan; Implementation of the Islamic Consept of State in

20

Sibawaihi, op.cit,, hlm. 55-56.

21

(11)

the Pakistani Milien; dan The Quranic Solution of Pakistan’s Educational Problem.

Persoalan utama umat Islam di Pakistan pada periode kedua adalah mencari identitas Islam. Islam seperti apa yang seharusnya dijadikan pedoman bernegara, bermasyarakat dalam menghadapi tantangan modernisme Pertentangan antara kelompok Muslim tradisionalis, fundamentalis dan modernis dalam mengidentifikasikan Islam semacam ini memaksa Rahman mengedepankan hal studinya.

Pertama, berdasarkan ketiga artikel di atas (1967), Rahman mengagendakan beberapa problem pembangunan, problem pendidikan dan problem kesejahteraan sosial. Kedua, sehubungan dengan upaya pemecahan problem-problem tersebut, maka diperlukan suatu rekronstuksi terhadap masyarakat Muslim Pakistan yang menjamin penyelesaian problem-problem tersebut. Ketiga, upaya rekronstuksi masyarakat Muslim, dan upaya penyelesaian problem-problem tersebut harus didasarkan pada sudut pandang Al-Quran dan Sunnah. Keempat, berbeda dengan yang lain, upaya penyelesaian problem dalam dalam bingkai Quran dan sunnah ini harus melalui suatu metodologi yang tepat; yaitu melalui pendekatan studi kritik-historis, komprehensif, sistematis, dan sosiologis.

Sejak kepindahannya ke Chicago, karya-karya yang ditulisnya sejak 1970, menurut Adnan Amal, mencakup hampir semua kajian Islam normatif ataupun historis, sama dengan ketika ia masih berada di Pakistan. Tiga karya utama adalah The Philosopy of Mulla Sadra (1975), Major Theme of the Quran (1980), dan Islam and Modernity (1982). Dari studi The Philosopy of Mulla Sadra, Rahman menyimpulkan bahwa sisitem filsafat Mulla Sadra sangat kompleks dan orisinal, sekalipun system filsafat ini dikarakterisasi oleh beberapa inkonsistensi dan kontradiksi yang fundamental, lantaran upaya Sadra untuk merekonsiliasikan berbagai pemikiran religio-filosofis Islam, khususnya antara tradisi peripatetic dengan tradisi Ibnu ‘Arabi.

Dalam Major Temes-nya, kendati ciri apologetic Rahman sangat menonjol, karya ini sangat signifikan dalam kajian-kajian ilmiah kontemporer

(12)

mengenai Al-Quran. Melalui karya ini, Rahman berhasil membangun suatu kajian filosofis yang tegar untuk perenungan kembali makna dan pesan Al-Quran bagi kaum Muslim kontemporer antara “ketentuan hukum” dan “perintah moral” atau "ideal moral" Al-Quran.

Konsepsi-konsepsi Rahman yang kritis dan radikal ini tampak secara jelas ketika ia meluncurkan Islam and Modernity-nya. Buku ketiga merupakan kajian kritis terhadap sejarah intelektual dan pendidikan Islam klasik hingga dewasa ini, kemudian penawaran terhadap apa yang disebut paradigma pemikiran neomodernisme serta metodologi studi Islam yang relevan dengan persoalan umat Islam kontemporer.

Mengenai metodologi studi Islam, sebagaimana disinggung di atas, Rahman mengajukan metodologi tafsir al-Quran yang terdiri dari tiga langkah utama (1) mengkaji konteks-konteks historis Al-Quran (pendekatan historis) untuk menemukan makna teks Al-Quran ; (2) membedakan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan Al-Quran; (3) memahami dan menetapkan sasaran Al-Quran dengan memperhatikan secara sepenuhnya latar sosiologisnya.22

Rahman lalu berupaya mengolaborasi terapi dan solusi terhadap krisis tersebut. Tentu saja, dorongan utama yang menyebabkan mengajukan solusi-solusi Islaminya adalah dorongan keagamaan: rasa tanggungjawabnya bagi Islam, umat, dan masa depan mereka di tengah-tengah hiruk-pikuk modernitas dunia dewasa ini.

C. Pokok Pemikiran Fazlur Rahman tentang Alam 1. Pengertian Alam menurut Fazlur Rahman

Alam semesta adalah suatu tatanan, suatu kosmos, dan bekerja dengan hukum-hukum serta potensi-potensi yang diletakkan didalamnya sebagai "perintah {amr, takdir, agensi-agensi malaikat}dari Tuhan".23

22

Fazlur Rahman, op.cit., hlm.192.

23

(13)

Ketika Tuhan menciptakan sesuatu, yakni menghidupkan dan memberinya bentuk lahiriyah, pada waktu yang sama Tuhan juga memperlengkapinya dengan hukum-hukum kehidupannya dan menatanya dengan potensialitas-potensialitas serta dinamika perkembangannya, yang pertama yaitu menghidupkan sesuatu dan memberinya bentuk, disebut khalq. Sedangkan kedua, yaitu melengkapi sesuatu dengan suatu “sifat” atau dinamika perilakunya didefinisikan oleh Al-Qur’an dengan amr yang berarti perintah atau hidayah yang berarti petunjuk tertentu kepadanya sehingga menuruti sebuah pola tertentu dan menjadi sebuah faktor di dalam “kosmos”.24

Dalam sebuah surah yang berasal dari periode Makkah awal, Al-Qur’an mengatakan “sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Agung, yang menciptakan khalaqa yakni memberi bentuk kepada sesuatu dan menyempurnakan (bentuknya) serta yang memperlengkapi (setelah diciptakan) dengan potensialitas(-Nya: Qaddara) dan kemudian memberi petunjuk (huda) (QS. 87: 1-3). Ayat ini merupakan bukti paling mengesankan bahwa dalam bahasa Al-Qur’an, Tuhan ketika Dia menciptakan atau memberi bentuk lahiriyah kepada sesuatu, pada waktu yang sama ia juga melengkapinya dengan konstitusi batin alaminya, hukum dinamika perilaku, yaitu takdirnya yang juga merupakan hidayah-Nya, arah atau tujuan yang ditujunya. Demikian pula bagian Al-Qur’an ini ketika Dia berkata kepada langit dan bumi. “Kami datang dengan kepatuhan yang ikhlas (yakni tidak merendahkan kami)… Kemudian Tuhan mewahyukan kepada setiap lapis langit dengan amr-Nya yang luas (yaitu “takdir”)… dan takdir ini (yang memberikan atauran-aturan dinamis perilaku) adalah oleh yang Maha Kuasa, Tuhan yang Maha Tahu” (QS. 41: 11-12). Ungkapan yang sama, menurut Rahman yakni “Takdir oleh yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Tahu”, digunakan dalam surat Yasin, ayat 39, dimensi revolusi yang tertib dari benda-benda angkasa

24

Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Pustaka, Bandung, 1983 hlm. 36

(14)

digambarkan, yang dikatakan “berenang” dalam orbitnya masing-masing. Lebih lanjut dalam surat an-Naba, ayat 20-23, ungkapan yang sama digunakan setelah melakukan proses evolusioner sperma di dalam rahim wanita. Akhirnya kita simak ayat berikut ini: “Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan memperlengkapinya dengan takdir (yakni predeterminasi karakternya dengan memberinya konstitusi)”. (QS. 25: 2).

Dua hal yang berkaitan erat muncul di sini, pertama kejadian-kejadian di dunia ini tidak pernah dipredeterminasi atau ditetapkan terlebih dahulu oleh Tuhan (atau sesungguhnya oleh kekuatan-kekuatan fisik). Bahwa kejadian A akan timbul pada waktu A, ia masih tetap merupakan kemungkinan terbuka, diantara alternatif-alternatif lainnya yang mungkin hingga ia ditimbulkan secara aktual. Kedua, hal ini disebabkan karena apa yang dideterminasi bukanlah kejadian-kejadian sebagaimana yang disebut di atas, tetapi potensi-potensi, kekuasaan-kekuasaan dan kekuatan-kekuatan. Jadi ditetapkan bahwa oksigen memiliki suatu potensi yang dengannya, bila dicampurkan dengan hidrogen dengan di bawah kondisi tertentu akan menghasilkan air. Apa yang dideterminasi di sini adalah potensi-potensi (takdir) dari oksigen dan hidrogen untuk berubah menjadi air jika dicampurkan di bawah kondisi tertentu. Kejadian aktual dari pencampuran keduanya pada suatu ruang dan waktu tertentu, tidak pernah dipredeterminasi dan tergantung pada sejumlah faktor. Betapapun kenyataan bahwa sesuatu memiliki sifat-sifat terbatas dan bisa diukur, terkadang pun diperluas oleh Al-Qur’an ke dalam pengertian qadr yang lebih jauh sebagai kekuatan. Hal ini disebabkan karena segala sesuatu yang dapat diukur sebagaimana adanya, adalah di dalam pegangan, dan tidak punya kualitas untuk bebas sepenuhnya, atau lebih-lebih tidak patuh kepada hukum. 25

Kekeliruan yang sangat berbahaya untuk beranggapan bahwa alam semesta ini, sebagai suatu tempat yang siap pakai, adalah tempat tinggal

25

Fazlur Rahman, Metode dan Alternatrif Neomodern Islam, (peny.) Taufik Adnan Amal, Mizan, Bandung, 1987, hlm. 76-77

(15)

yang terlebih dahulu dipersiapkan manusia yang diwariskan secara mudah guna dinikmati tanpa kerepotan. Alam semesta seharusnya dapatlah dimanfaatkan melalui suatu pengetahuan yang progresif secara cermat dan juga secara keseluruhan alam semesta eksis bagi manusia dalam rangka membantunya mencapai tujuan akhirnya.26

Kekuasaan Allah terwujud dalam kreatifitas-Nya yang penuh kasih, dengan pengertian bahwa segala sesuatu yang diciptakannya adalah berdasarkan “ukuran dan peraturan”. Perkataan Arab untuk kekuasaan dan ukuran adalah qodar dan perkataan ini dipergunakan Al-Qur’an dalam bentuk jama’nya (qodar) diartikan sebagai “takdir” sebuah kekuatan “mengukur” atau menetapkan hal-hal yang tak dapat dikendalikan oleh manusia, terutama sekali sehubungan dengan kelahiran, rejeki dan mati. Inilah sebuah keyakinan yang pesimis, tetapi keyakinan ini tidak menyatakan bahwa takdir telah menetapkan setiap amal perbuatan.

Perkataan ini lanjut Rahman dipergunakan oleh Al-Qur’an tetapi dengan mengubah konsep takdir yang buta serta tak dapat dielakkan menjadi konsep Tuhan Yang Maha Kuasa yang mempunyai maksud di dalam penciptaannya terhadap segala sesuatu dan yang Maha Pengasih. Tuhan yang Maha Kuasa ini melalui kreatifitasnya yang penuh kasih memberikan “ukuran” kepada setiap sesuatu, memberikan kepada sesuatu itu potensi-potensi tertentu beserta hukum-hukum tingkah lakunya, singkatnya: Tuhan memberikan sifat-sifat tertentu kepada setiap sesuatu. Di satu pihak pemberian ukuran ini menjamin keteraturan alam dan di lain pihak menunjukkan perbedaan terpenting yang tak dapat dihilangkan antara Allah dengan manusia: pemberian ukuran oleh sang Pencipta ini berarti sebuah ketidakterhinggaan di mana tidak ada makhluk yang terukur, betapapun besar dan kekuasaannya, misalnya manusia ikut memiliki ketidakterhinggaan itu secara literal. Sesungguhnya keyakinan

26

(16)

ikut memiliki sifat keterhinggaan inilah yang secara tegas disangkal oleh doktrin syirik Al-Qur’an.27

Dengan demikian, alam merupakan isinya Tuhan dan menunjukkan adanya sesuatu yang melebihi alam, yaitu Dia. Alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang telah digariskan oleh Allah di dalamnya. Allah menciptakan segala sesuatu menurut suatu pola yang secara keseluruhan menghasilkan kosmos (keteraturan), bukannya chaos (kekacauan). Alam merupakan suatu mesin yang besar, kukuh, dan terjalin dengan baik. Tidak ada kesenjangan perpecahan, selalu tepat. Oleh sebab itu, alam bersifat otonom dan tidak autokratis karena alam tidak menciptakan dirinya sendiri.28

Pada setiap sesuatu yang diciptakan, secara Ipso-facto atau oleh bukti penciptaan itu sendiri telah diletakkan didalammnya amr-Nya, yang merupakan hukum wujudnya sendiri dan juga hukum yang membuatnya terintegrasi dalam sebuah sistem. Amr ini, yakni tata tertib atau perintah Tuhan, adalah terus berkelanjutan dan tak pernah berhenti. Sifat dan kandungan amr ditransformasikan, karena dalam hal ini sesungguhnya telah menjadi perintah moral untuk menciptakan tata tertib dalam dunia yang kacau. Kekacauan moral yang aktual adalah akibat dari kenyataan moral yang berakar dalam, yang pengobatannya memerlukan kerjasama Tuhan dengan manusia.29

Sementara Al-Qur’an sedikit demi sedikit menggariskan pandangan dunianya dengan lebih lengkap, maka tertib moral pada manusia sampai pada titik sentral dari kepentingan ilahi dalam sebuah gambaran yang penuh dari suatu tata kosmis yang tidak hanya mengandung sensitivitas religius yang tinggi, tetapi juga memperlihatkan tingkat konsistensi dan koherensi yang mengagumkan.30

27Fazlur Rahman, op.cit, hlm. 18-19 28

Fazlur Rahman, Etika Pengobatan Islam : Penjelajah Seorang Neomordenis, terj. Jazirah Radianti, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 30

29

Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung, 1994, hlm. 38

30

(17)

Hukum-hukum alam mengekspresikan perintah Allah. Tetapi alam tidak aklan dan tidak dapat mengingkari perintah Allah. Selanjutnya alam pun tidak dapat melanggar hukum-hukum alam. Itulah sebabnya mengapa didalam Al-Qur’an keseluruhan alam dikatakan muslim atau menyerah dan mematuhi perintah Allah.

Konsep qadir (yang berkuasa dan yang memberikan ukuran) mau tidak mau melahirkan konsep amr (yang memerintah). Karena setiap sesuatu berada dibawah “ukuran”Nya maka setiap sesuatu berada dibawah perintahNya. Perbedaan pokok diantara manusia dengan alam adalah : jika alam tidak dapat mengingkari perintah Allah, maka manusia dapat mematuhi atau mengingkari perintah Allah kepadanya menurut kehendaknya sendiri. Jadi perintah kepada alam, didalam diri manusia berubah menjadi perintah moral. Dengan demikian manusia memiliki posisi yang unik didalam alam semesta ini. Dan karena keunikan posisinya itu kepada manusia dibebankan tanggung jawab yang unik dan tanggung jawab ini hanya dapat dilaksanakannya melalui taqwa.31

Argumentasi mengenai non-ultimasi alam semesta sering dipergunakan untuk membuktikan bahwa alam semesta ini dapat hancur dan diciptakan kembali dengan tujuan yaitu meminta pertanggungjawaban dari manusia dan penghukuman terhadap diri manusia. Orang-orang yang memandang stabilitas fenomena-fenomena alam semesta sebagai tempat perlindungan yang aman sehingga mereka tidak perlu lagi menerima tanggung jawab moral secara total dan tidak akan diadili di hari kiamat nanti, harus mengetahui bahwa Allah, yang alam semesta ini.adalah petandaNya yang besar, dapat menciptakan bentuk-bentuk eksistensi dan kehidupan yang lain.32

31

Fazlur Rahman, op.cit, hlm. 20

32

(18)

2. Alam Perwujudan Cita-cita Moral

Salah satu fungsi utama dari adanya gagasan tentang Tuhan adalah untuk menjelaskan keteraturan alam semesta bahwa tidak ada pelanggaran hukum dalam jagat raya dan bahwa seluruh kosmos merupakan suatu kesatuan organisasi. Inilah alasan di balik penegasan yang terus menerus terhadap keesaan Tuhan. “sekiranya pada keduanya (yakni langit dan bumi) terdapat Tuhan-tuhan selain Allah yang mempunyai ‘arsy dari apa yang mereka sifatkan. (karena) Allah tidak tanya tentang apa yang diperbuatnya, sementara mereka (Tuhan-tuhan yang lain itu) akan ditanyai”. (Q.S 21:22-23)

Keagungan Tuhan adalah pada setiap sifat yang engkau bayangkan, Dia ada, dan melebihi segala sifat adalah sifat-Nya yang hakiki, kalau tidak demikian, maka syarat-syarat keteraturan tidak dapat dipenuhi.33

Sudah merupakan anggapan umum bahwa Tuhan dalam Islam adalah transenden secara mutlak, dan hal ini terbukti dengan adanya penekanan tegas yang diberikan Islam terhadap ke-Esa-an Tuhan, keagungaNya, kemuliaanNya, dan lain-lain. Pembacaan teliti atas Al-Qur’an akan mengungkapkan bahwa Al-Al-Qur’an menghubungkan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan. Hal ini jelas menunjukan bahwa Tuhan bukan saja yang paling transenden, tetapi juga yang paling imanen. Tentu saja imanensi Tuhan ini sedikitpun tidak berarti bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh alam atau manusia secara nyata dilakukan oleh Tuhan. Tuhan bukanlah saingan atau pengganti bagi manusia atau agen-agen alam dalam menghasilkan efek-efek.34

Manusia adalah makhluk termulia dari seluruh ciptaan Tuhan keseluruhan alam semesta diciptakan baginya dan tunduk kepada Tuhannya. Di antara seluruh makhluk, hanya manusialah yang diperlengkapi dengan moral, kekuatan-kekuatan rasional, karsa bebas, dan dibebani dengan tanggung jawab yang besar serta penting untuk

33

Fazlur Rahman, op.cit, hlm. 69

34

(19)

menundukkan alam dan memanfaatkannya untuk mengabdi pada tujuan-tujuan yang baik. Hal ini melibatkan suatu perjuangan moral menentang kekuatan negatif yang sangat kuat yang disimbolkan sebagai setan.35

Setiap manusia haraus mempertanggungjawabkan segala perbuatanya, sekalipun perbuatan-perbuatan itu disebabkan oleh orang lain. Karena sifat-sifat manusia yang hakiki telah “tertanam” di dalam dirinya, yang kemudian dikokohkan dan dijelaskan oleh para Nabi yang diutus Allah, maka ia akan memberi petunjuk bagi mereka yang mau berjuang demi kebajikan.semua penyimpangan dari sifat normatif manusia yang dilakukan seseorang terhadap orang lain baik perbuatan kejahatan, kedholiman dan aniaya kalau diartikan secara fundamental dan lebih dalam lagi merupakan perbuatannya dirinya sendiri. Hal ini berlaku bagi individu-individu maupun bagi bangsa-bangsa.36

Tujuan manusia yang berkaitan dengan alam semesta adalah mempelajari alam semesa itu sendiri, hukum-hukum susunan batinya sendiri dan proses sejarah, untuk kemudian menggunakan pengetahuan ini demi kebaikan, dan bahwa aktifitas yang memiliki tujuan ini untuk ibadah, atau “pengabdian kepada Tuhan” yang merupakan tujuan penciptaan manusia bahkan tujuan dari penciptaan seluruh makhluk.37

Dengan pemahaman tersebut dapat mengakibatkan manusia kepada suatu pemahaman yang membuatnya mampu menemukan kehadiran-Nya, lalu benar-benar meyakininya sehingga diharapkan menjadi manusia yang beriman.

Sebagai seorang muslim yang taat, Rahman meyakini bahwa eksistensi Tuhan merupakan kebenaran yang sempurna. Ia tidak sekedar meyakini kebenaran kebenaran eksistensinya. Ia meletakkan keyakinanya itu diatas bukti dan argumen yang dapat dipertanggung jawabkan. Untuk membuktikan wujud Allah, Fazlur Rahman berangkat dari keberadaan alam dan jagat raya yang luas dan teratur.

35

Ibid, hlm. 90

36

Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, op.cit, hlm. 37-38

37

(20)

Melalui pemahaman seperti itu seseorang akan sampai kepada kesimpulan yang tidak dapat dibantah lagi mengenai keniscayaan adanya zat yang menciptakan.38

Manusia harus mengembangkan potensi-potensinya sesuai dengan perintah (amr) Allah dengan kemauanya sendiri dan untuk memanfaatkan alam yang secara otomatis adalah muslim, “atau tunduk kepada Allah”.39

Keseluruhan rangkaian ini, penciptaan, pemeliharaan, pemberian petunjuk, pertimbangan, semuanya merupakan manifestasi dari rahmat Allah.40

Pengetahuan yang diberikan manusia merupakan ujian yang menentukan bagi dirinya, apakah ia akan mempergunakan pengetahuan dan kekuatannya untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Dengan meningkatkan pikiran energi kreatif dan kualitas, manusia dapat dimaksimumkan, yang menjadi tujuan hidup manusia. Inilah keadaan kepercayaan (iman), lawannya adalah kufr. Menurut Rahman di dalam Al-Qur’an dijelaskan dengan memberi contoh syetan, karena kesombongannya yang keterlaluan menolak untuk merendahkan dirinya ke depan keunggulan pengetahuan Adam –jadi tidak memenuhi perintah Tuhan– akan tetapi, akibat penonjolan ego yang keterlaluan ini adalah isolasi total syetan dari kekuatan-kekuatan positif alam. Jadi, menghukum mereka dengan keputusasaan yang hebat dan tak terelakan.

Dengan keadaan tengah dari keyakinan, kontrol diri dan kepercayaan ini, dimana manusia layak memperoleh “perlindungan” (taqwa) bagi dirinya, setidak-tidaknya dari kesalahaan yang fatal. Tuhan memberi manusia persepsi yang benar tentang segala sesuatu secara intelektual dan moral, yang di dalam Al-Qur’an sering disebut sebagai “petunjuk” (huda) dan “cahaya” (nur)41

38

Dr. Abu A’la, MA, Dari Neomodernis Ke Islam Liberal, Paramadina, Jakarta, 2003, hlm. 100

39

Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, op cit., hlm. 12

40

Ibid, hlm. 14

41

(21)

Keseimbangan unik yang terjadi karena aksi-aksi moral yang integral inilah yang menurut Rahman dikatakan di dalam Al-Qur’an sebagai takwa. Takwa pada tingkatan tertinggi menunjukan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral; inilah semacam “stabilitas” yang terjadi setelah semua unsur-unsur yang positif diserap masuk ke dalam diri manusia. Perkataan takwa yang biasanya diterjemahkan menjadi “takut kepada Allah” atau ‘kesalehan’. Walaupun tidak salah, pada saat ini kaum muslimin lebih suka menghindari istilah ‘takut kepada Allah’. Akar perkataan taqwa, wqy, berarti “berjaga-jaga” atau melindungi diri dari sesuatu”42

Istilah “takut kepada Allah” dengan pengertian takut kepada akibat-akibat perbuatan sendiri baik akibat-akibat di dunia maupun di akhirat nanti menurut Fazlur Rahman adalah tepat sekali. Dengan perkataan lain, inilah rasa takut yang timbul karena kita menyadari bahwa kita memiliki tanggung jawab dunia akhirat. Rasa takut ini tidak sama dengan rasa takut kepada serigala atau kepada raja yang dhalim dan semena-mena.

Menurut Fazlur Rahman cara terbaik mendefinisikan takwa adalah dengan mengatakan bahwa jika “perbuatan” adalah aksi manusia , maka penilaian yang riil serta efektif dan kriteria maka penilaian terhadap perbuatan tersebut ‘berada di luar dirinya”. Demikian juga sehubungan dengan perbuatan yang dilakukan secara kolektif oleh sesuatu masyarakat, maka penilaian dan kriteria penilaian terhadap perbuatan tersebut berada di luar masyarakat tersebut. Konsep takwa dapat dijelaskan dengan istilah “hati nurani”, jika obyek hati nurani ini berada di luarnya. Itulah sebabnya berkenaan dengan respon manusia terhadap realitas tertinggi dapat dikatakan jika cinta adalah inti ajaran Kristen, maka “hati nurani” adalah inti-inti ajaran Islam; jika menurut Kristen cinta adalah cinta bapa kepada anak, maka menurut Islam cinta adalah keadilan yang penuh kasih. Jadi di dalam konteks argumentasi ini takwa berarti kekokohan di dalam

42

(22)

tensi moral atau di dalam “batas-batas yang telah ditetapkan Allah”’ dan tidak menggoyahkan keseimbangan diantara tensi-tensi tersebut atau “melanggar” batas-batas tersebut. Dengan demikian amal perbuatan manusia memiliki kualitas yang menyebabkan ia harus beribadah kepada Allah.43

Keseluruhan amal perbuatan manusia hendaknya berdasarkan takwa yang akan mencegahnya dari perbuatan yang melampaui batas; bahkan seandainya ia terlanjur melampaui batas maka taqwa segera membuatnya bertaubat dan mengembalikan keseimbangan di dalam dirinya. Seorang manusia mungkin dapat mewujudkan ambisi pribadinya untuk memperoleh kesejahteraan, tetapi efek-efek yang bermanfaat dari usahanya itu mungkin hanya terbatas kepada dirinya sendiri dan tidak mendatangkan kebaikan atau keburukan kepada manusia-manusia lainnya.

Jika untuk merealisasikan ambisi itu orang-orang lain mendapat kesusahan, maka perbuatannya sama sekali tidak dikehendaki Allah itu adalah yang kufr atau “yang menolak kebenaran”; jika untuk tujuan sendiri, maka perbuatan itu adalah perbuatan khusran atau “yang merugi”. Seseorang dapat melakukan perbuatan yang heroik, untuk “bangsanya sendiri” tetapi yang bertentangan dengan “prinsip-prinsip keadilan” dan melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah; perbuatan seperti ini pun bersumber dari jiwa yang kufr karena bertentangan dengan hal-hal yang dikehendaki Allah bagi manusia dan tujuan-tujuan yang sesungguhnya dari manusia itu sendiri.44

Manusia dianjurkan untuk selalu beribadah karena dengan ibadah ini adalah untuk kepentingan manusia sendiri, bukan untuk kepentingan Allah: “Kebajikan yang dilakukan seseorang adalah untuk dirinya sendiri sedang kejahatan yang dilakukannya akan merugikan dirinya sendiri”. Ketika manusia terbenam dalam penipuan diri sendiri penting untuk “disadarkan” kepada sifatnya yang asli, untuk mempertanggungjawabkan

43

Ibid, hlm. 44

44

(23)

amal perbuatannya kepada Allah, agar dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berarti karena di dalam kesadaran itulah terletak nasibnya dan hal-hal yang dimaksudkan Allah bagi manusia. Adanya pengetahuan empiris menurut Fazlur Rahman tidak akan ada artinya jika tidak menjaga persepsi batin manusia mengenai keadaannya, potensi-potensinya, resiko-resiko yang dihadapinya sebagai manusia, dan nasibnya di akhirat nanti.

Oleh karena itu Al-Qur’an menekankan hal-hal yang penting mengenai tiga macam pengetahuan manusia: Yang pertama adalah pengetahuan mengenai alam yang telah dibuat Allah tunduk kepada manusia, atau sains-sains alamiah. Yang kedua adalah pengetahuan sejarah (dan geografi) Al-Qur’an senantiasa mendesak manusia untuk “berjalan di muka bumi” sehingga dapat menyaksikan apa yang telah terjadi kepada kebudayaan-kebudayaan di masa lampau dan mengapa kebudayaan tersebut dapat bangkit dan runtuh. Yang ketiga adalah pengetahuan mengenai dirinya sendiri karena “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di dalam cakrawala (alam eksternal) dan di dalam diri-diri mereka sendiri sehingga mereka dapat memahami kebenaran”.45

Mengetaui maksud dari suatu pertanda, selain akal pikiran, seseorang harus mempunyai suatu disposisi tertentu, yaitu kesanggupan beriman.46 Iman merupakan permasalahan hati, penyerahan diri seseorang yang tegas kepada Tuhan dan Rasul-Nya serta memperoleh kedamaian dan keamanan dan benteng terhadap gangguan. Iman merupakan masalah hati nurani, dan bermuara dalam tindakan. Al-Qur’an selalu menggandengkan iman dengan amal saleh. Amal-amal saleh yang tidak berakar di dalam iman adalah tidak ada apa-apanya.47

Jika sebagian atau hampir semua manusia tidak dapat terbujuk untuk beriman kepada Allah dengan menyaksikan proses-proses alam

45

Ibid, hlm.51

46

Dr. Abu A’la, MA, op.cit, hlm. 101

47

(24)

yang biasa, maka Allah dapat menyimpangkan, menekan, atau meniadakan kehebatan atau efisiensi sebab-sebab alamiah tersebut. Pertanda-pertanda seperti banjir, topan, gempa bumi, hujan lebat di daerah-daerah gersang, merupakan tanda-tanda yang jelas dan biasanya terjadi jika suatu kaum telah melakukan kesesatan-kesesatan secara keterlaluan dan tidak dapat dikembalikan kepada jalan yang benar. Tanda-tanda tersebut tidak bertentangan dengan hukum alam tetapi merupakan keajaiban-keajaiban yang dapat dikatakan sebagai “tanda-tanda peringatan” atau “tanda-tanda historis”.48

Menurut Fazlur Rahman Al-Qur’an berulangkali membuat pernyataan-pernyataan mengenai alam dan fenomena-fenomena alam walaupun pernyataan-pernyataan ini menghubungkan alam dengan Allah, dengan manusia, ataupun dengan keduanya. Pernyataan-pernyataan ini umumnya menggambarkan kekuasaan serta kebesaran Allah yang tak terhingga dan menyerukan agar manusia beriman kepada-Nya, atau menggambarkan belas kasihan-Nya yang tak terhingga dan menyerukan agar manusia bersyukur kepada-Nya.

Tujuan Al-Qur’an pada hakekatnya adalah melejitkan dan memaksimalkan energi moral manusia. Jadi, Al-Qur’an tidak menyangkal potensi manusia atau pun potensi Allah. Dari sudut pandang Al-Qur’an, Allah, alam dan manusia seluruhnya merupakan prinsip sebab akibat yang efektif. Hanya saja, masing-masing menduduki tingkatan sebab-akibat yang berbeda. Awan menyebabkan hujan, Allah menciptakan hujan terutama untuk keuntungan manusia, dan manusia memanfaatkan hujan dan sumber daya alam lain untuk tujuan yang baik.49

Bila Allah menciptakan sesuatu maka kepadanya dia memberikan kekuatan atau hukum tingkah laku yang di dalam Al-Qur’an dikatakan “petunjuk”, “perintah”, atau “ukuran” dan dengan hukum tingkah laku ini dimaksudkan agar ciptaan-Nya dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya

48

Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, op.cit., hlm. 101-102

49

Fazlur Rahman, Etika Pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernisme, op.cit., hlm. 34.

(25)

yang lain di dalam semesta ini. Jika sesuatu ciptaan melanggar hukum-hukum-Nya dan melampaui ukurannya maka alam semesta ini kacau, Al-Qur’an menurut Fazlur Rahman sering mengemukakan tata alam yang sempurna ini tidak hanya sebagai bukti mengenai adanya Allah tetapi juga sebagai bukti mengenai keesaan-Nya.50 Konsep pemberian ukuran berarti hanya Allah sajalah yang menciptakan hukum-hukum alam. Namun bukan berarti bahwa manusia tidak dapat menemukan dan memanfaatkan hukum-hukum alam tersebut. Al-Qur’an menyerukan kepada kita untuk menemukan hukum-hukum alam dan memanfaatkan penemuan-penemuan tersebut untuk kesejahteraan manusia.

Allah telah menciptakan hukum-hukum tertentu sehingga sperma dapat menyuburkan telur dan setelah beberapa lamanya barulah menjadi bayi dalam kandungan. Al-Qur’an berkata: “Demikianlah Kami menentukan (hukum-hukum ini) dan sesungguhnya Kami adalah pemberi ukuran yang sebaik-baiknya”. (QS. 77: 23). Pernyataan Al-Qur’an ini tidak berarti bahwa manusia tidak dapat menemukan hukum-hukum yang mengatur perkawinan diantara sperma dengan telur yang pada temperatur tertentu beserta materi-materi dan kondisi-kondisi tertentu menghasilkan bayi yang sempurna dan memanfaatkan pengetahuannya mengenai hukum-hukum tersebut misalnya untuk menciptakan bayi tabung. Banyak orang beranggapan bahwa perbuatan ini berarti berlomba-lomba dengan Tuhan, mencoba ikut campur di dalam karya-karya-Nya dan ikut memiliki sifat ketuhanannya yang dikeluarkan disini, lanjut Rahman, bukanlah manusia yang mencoba untuk menggantikan alam atau meniru Tuhan, karena al-Qur’an sendiri telah mendorong untuk berbuat demikian, tetapi sebaliknya yang dikhawatirkan adalah bahwa manusia akan “berlomba-lomba dengan syaitan” untuk merusak alam sehingga melanggar hukum moral.51

50

Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, op.cit., hlm. 97-98.

51

(26)

Sementara tujuan hidup manusia adalah untuk “mengabdi” kepada Allah atau memperkembangkan potensi-potensinya sesuai dengan perintah (amr) Allah dengan kemauannya sendiri dan untuk memanfaatkan alam (yang secara otomatis adalah muslim, atau tunduk kepada-Nya).52 Alam adalah merupakan sebuah kosmos atau tatanan yang berkembang, dan penciptaan alam bukan suatu permainan yang sia-sia tetapi harus ditanggapi serius, manusia harus mempelajari hukum-hukumnya, yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan dan menjadikannya sebagai panggung aktivitas yang punya tujuan.53 Alam semesta ini diciptakan menurut hukum-hukum dan pola-pola teratur serta manusia ditantang untuk menemukan hukum-hukum ini dan menempatkan pola-pola ini sehingga ia bisa menaklukan alam serta mamanfaatkannya, tidak sebagai pencarian yang sia-sia, tetapi menciptakan kebajikan di dalamnya serta menundukannya kepada aktivitas-aktivitas yang punya tujuan. Seluruh ciptaan dipersembahkan kepada manusia yang mungkin berhasil mengeksploitasikan untuk suatu tujuan yang baik.54

Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus mempunyai cara-cara memadai untuk memperoleh nafkah dan untuk “menemukan jalan yang benar”. Jadi Tuhan yang di dalam kelimpahan kasih-Nya menciptakan alam dan manusia, di dalam kasih-Nya yang tiada berkeputusan itu telah memberikan kepada manusia kesadaran dan kemauan yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan dan memanfaatkan pengetahuan dan kekuatannya untuk kebaikan atau kejahatan untuk “keuntungan atau kerugian” dan untuk “memperbaiki atau merusak dunia”. Inilah ujian yang terberat : masalah terpenting bagi manusia adalah : apakah ia dapat mengemudikan sejarah ke tujuan yang baik atau apakah ia akan menyerah kepada sejarah.55

52

Ibid., hlm. 12.

53

Fazlur Rahman, op.cit., hlm. 75.

54

Ibid., hlm. 79-80.

55

(27)

Sebagaimana pembahasan sebelumnya dimana konsep takdir dalam pandangan Fazlur Rahman dipahami sebagai sebuah ukuran/keterhinggaan juga dipahami sebagai kekuatan/hukum tingkah laku ini dimaksudkan agar ciptaan selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain. Dapat disimpulkan disini bahwa fungsi takdir secara umum adalah untuk menjamin keteraturan alam semesta, dan lain pihak untuk menunjukan perbedaan yang terpenting antara Allah dan manusia dengan ciptaan-Nya. Dengan adanya takdir itu proses alam berkembang secara teratur menurut dinamika perilaku dan perkembangannya sebab kalau tidak ada takdir maka dunia akan kacau. Dengan takdir itu manusia ditantang untuk menemukan hukum-hukum alam dan mengembangkan potensi-potensi (takdir) yang ada dalam dirinya dan memanfaatkan penemuan-penemuan itu untuk kesejahteraan manusia. Namun pada tingkat manusia pengertian ini berbeda kalau takdir hampir tidak memiliki fungsi kecuali pada tingkat fisik atau psiko fisikal, maka amr mendapatkan kepentingan yang tinggi sebab ia diisi dengan kepentingan moral.

Dengan kata lain manusia berbeda dari makhluk lainnya karena dia memiliki pengetahuan kreatif dan ilmiah mengenai benda-benda (eksakta) mengenai susunan batinnya (ilmu kejiwaan) dan menganai perilaku luar manusia sebagai proses yang berjalan terus dalam masa (ilmu kesejahtaraan). Karena hal-hal inilah manusia berbeda dari ciptaan-ciptaan Allah yang lain seperti malaikat dan jin.

Ketika Allah hendak menciptakan Adam untuk menegakkan “kekhalifahan di atas bumi”, malaikat-malaikat mengajukan protes dan berkata: “Apakah engkau hendak menempatkan seseorang yang akan berbuat aniaya di atas bumi dan yang akan menumpahkan darah, sedangkan kami selalu memuji kebesaran dan kesucian-Mu?” Allah tidak menyangkal tuduhan mereka terhadap manusia itu tetapi Dia menjawab” “Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui”. Kemudian Dia membuat kompetisi diantara para malaikat tersebut dengan Adam: Siapakah diantara mereka yang lebih luas pengetahuannya. Kepada para

(28)

malaikat tersebut Allah memerintahkan agar mereka menyebut nama dari berbagai hal (menjelaskan sifat-sifat dari hal-hal tersebut). Para malaikat tersebut tidak sanggup tetapi Adam sanggup. Keterangan ini memiliki pengetahuan yang kreatif. Selain itu Allah menyuruh malaikat-malaikat tersebut bersujud untuk menghormati Adam. Semuanya mengakui keunggulan Adam kecuali salah seorang diantara mereka yang oleh Al-Qur’an dikatakan dari bangsa jin, yang menyatakan dirinya lebih mulia daripada Adam. Ia mengingkari perintah Allah untuk menghormati Adam dan oleh karena itu ia menjadi syetan. Jadi syetan melalui karirnya secara bersamaan dengan Adam; syetan dan Adam adalah seusia. Mengenai syetan ini Al-Qur’an tidak menyatakannya sebagai sebuah prinsip anti Tuhan (walaupun tak dapat diragukan lagi bahwa syetan memberontak terhadap Allah dan dialah yang mewujudkan sifat pemberontakan ini), tetapi sebagai sebuah kekuatan anti manusia yang terus menerus berusaha untuk menyesatkan manusia dari jalan “lurus” yang harus ditempuhnya sehingga ia terperosok kepada tingkah laku yang sesat.

Fakta moral yang tertanam inilah yang merupakan tantangan abadi manusia dan yang membuat hidupnya sebagai perjuangan moral yang tak berkesudahan. Di dalam perjuangan ini Allah berpijak kepada manusia asalkan ia melakukan usaha-usaha yang diperlukan.56

Ketika para malaikat memprotes Tuhan dan memintanya agar tidak menciptakan manusia, “yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di bumi”, Tuhan yang menerima kritikan ini secara terselubung, menolak permintaan mereka dan berfirman: “Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Kemudian para malaikat diminta untuk menyebut benda-benda dan ketika mereka mengakui ketidaksanggupan mereka untuk melakukannya, Adam berhasil memberitahukan “nama-nama” benda; lalu Allah berkata kepada malaikat. “Bukankah sudah aku katakan bahwa Aku lebih mengetahui (mengapa Aku ciptakan manusia)?”.

56

(29)

Hal di atas merupakan suatu keistimewaan karakteristik manusia yang membedakannya dari makhluk lain adalah kapasitasnya untuk “memberi nama-nama” kepada benda-benda, yang menunjukkan kapasitas untuk menemukan sifat-sifat benda, hubungan timbal balik dan hukum-hukum perilakunya. Ketika menamakan sesuatu itu batu, pohon atau elektron, juga mengetahui sesuatu mengenai perilakunya, bisa mengetahuinya lebih banyak dan bisa meramalkannya. Dengan kata lain, manusia berbeda dari makhluk lainnya karena dia memiliki pengetahuan kreatif ilmiah mengetahui benda-benda (ilmu eksakta) mengenai susunan batinya (ilmu kejiwaan), dan mengenai perilaku luar manusia sebagai suatu proses yang berjalan terus dalam masa (ilmu kesejarahan).57

Secara garis besar argumentasi mengenai regularitas (keteraturan) alam semesta seringkali dipergunakan untuk membuktikan kegunaan alam semesta ini bagi manusia. Alam semesta ini ada untuk dimanfaatkan manusia demi tujuan-tujuannya, sedang tujuan terakhir manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah, bersyukur kepada-Nya, dan menyembah Dia saja. Faedah alam yang mengabdi pada manusia dan alam yang dapat digali oleh manusia dinyatakan di dalam beberapa ayat:

Dialah yang menciptakan segala sesuatu di bumi untukmu (atau: telah menciptakan apa-apa yang di bumi untuk kamu sekalian) (QS. 2: 29).

Walaupun menggambarkan kekuasaan Allah, namun tujuan utama dari ayat-ayat di atas ini adalah untuk memperlihatkan bagaimana Allah menggunakan kekuasaan-Nya itu untuk kebaikan manusia. Manusia disilahkan untuk memanfaatkan kesempatan ini untuk kebaikan, bukan “untuk berbuat aniaya di atas bumi”. Inilah sebuah ucapan yang sering diulangi oleh Al-Qur’an. Penciptaan alam semesta dilakukan dengan sungguh-sungguh, bukan dengan sia-sia atau untuk main-main: “Kami tidak menciptakan langit dan bumi beserta segala sesuatu yang berada di dalamnya dengan sia-sia, seperti pandangan orang-orang yang

57

(30)

mengingkari Allah atau orang-orang yang tidak bersyukur” (38: 27). Alam semesta ini adalah karya besar dari yang Maha Kuasa, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital manusia.

Manusia diciptakan agar ia berbuat kebaikan di atas bumi, tidak memandang dirinya sebagai Tuhan, dan tidak merasa bahwa dia dapat menciptakan dan meniadakan hukum moral sekehendak hatinya untuk tujuan-tujuannya yang dangkal dan egois. Inilah perbedaan hukum alam dengan hukum moral jika hukum alam harus dipergunakan dan dimanfaatkan, maka hukum moral harus dipatuhi dan diabdi karena Allah berfirman: “Apakah kalian mengira Kami menciptakan manusia untuk main-main dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada kami (untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kalian di atas bumi)?” (23: 115).58

58

Referensi

Dokumen terkait

Dan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa reaksi dengan adanya reaksi harga saham yang ditunjukkan dengan adanya nilai penerbitan obligasi, nilai jatuh tempo,

• Segala bentuk modifikasi dokumen PDF yang sudah ditanda tangani secara digital, termasuk menggabungkan halamannya dengan PDF lain atau memisahkan halaman tertentu

Akan tetapi kita diingatkan oleh Firman Tuhan agar kita tetap percaya mutlak bahwa Tuhan adalah Tuhan yang baik dan Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.. Kepercayaan Abraham

Parasit dapat kalikan dengan pembagian aseksual (fisi / membelah membelah atau internal yang pemula / endogen) atau reproduksi seksual (pembentukan gamet dan atau internal yang

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti pada saat pengambilan data di tempat penelitian menemukan bahwa stres akademik yang dialami remaja disebabkan oleh banyaknya

Pada penelitian lainnya disebutkan juga bahwa tidak terjadi laringospasme pada grup pasien (sampel semuanya sebanyak 60 pasien, terdiri dari 2 grup) yang dilakukan ekstubasi

Tidak ada perbedaan rerata persentase asupan gizi menurut tingkat pendidikan, kemungkinan karena setiap pasien mendapatkan makanan yang sama dari rumah sakit dan mendengarkan

Kemampuan guru Akuntansi di SMA Negeri Kabupaten Rembang dalam memilih materi pembelajaran remedial secara keseluruhan dalam kategori baik, dan dalam hal ketepatan