• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP ISLAM TENTANG KEHIDUPAN MANUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP ISLAM TENTANG KEHIDUPAN MANUSIA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP ISLAM TENTANG KEHIDUPAN MANUSIA

(Suatu Kajian Melalui Filsafat Islam)

DRS. ABDUL KADIR, M.Si

WIDYAISWARA MADYA - BKPP PEMERINTAHAN ACEH ABSTRAK

Artikel ini dengan judul Konsep Islam Tentang Kehidupan Manusia: Suatu

Kajian Melalui Filsafat Islam. Artikel ini mencoba mengupas serta mengkaji konsep Islam tentang manusia, serta apa tujuan hidup manusia di dunia dan dalam menggapai kehidupan abadi di akhirat kelak melalui Filsafat Islam.

Satu hal terpenting yang harus diingat dan diimplementasikan oleh manusia

selama hidup di dunia adalah tiap-tiap manusia mempunyai pandangan terhadap hidup ini, asal mula kejadiannya, kemana ia akan pergi, kehidupannya kembali terhadap keabadian kebaikan dan keburukan.

Islam pada dasarnya tidak mengenala adanya perbedaan antara sesama

manusia kecuali atas dasar ketakwaan kepada Allah dan kebaikan prilaku dalam kehidupan. Islam memandang sesama manusia adalah sama. Dengan prinsip itu Islam membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap individu penuntut ilmu, peneliti, pemikir dan pekerja di bidang ilmu pengetahuan tidak peduli ia apakah berasal dari kalangan kaum terhormat maupun dari kaum budak. Di pihak lain, Islam juga tidak memandang manusia dari segi pikirannya saja atau dari segi kejiwaannya saja sehingga melupakan segi jasmaninya. Sebaliknya, Islam memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani.

(2)

A. Pendahuluan

Kata Islam, menurut pandangan umum yang berlaku, biasanya mempunyai

konotasi dengan dan diartikan sebagai “Agama Allah”. Agama artinya jalan. Agama Allah, berarti jalan Allah, yaitu jalan menuju kepada-Nya dan bersumber daripada-Nya. Allah adalah Tuhan seru sekalian alam, Tuhan menciptakan, menguasai, mengatur alam semesta ini. Tuhan yang mengembangkan alam beserta segala isinya, serta mengarahkan perkembangannya. Tuhan yang menjadi sumber dan tempat kembalinya segala sesuatu.

Islam adalah agama Allah yang berarti Islam adalah jalan menuju kepada Allah

dan yang bersumber daripada-Nya.1 Manusia hidup di alam dan menjadikan alam

sekitar kehidupannya sebagai sumber hidup dan kehidupannya. Bahkan manusia menjadi bagian dari alam sekitarnya. Tetapi manusia bukanlah merupakan bagian dari alamnya sebagaimana bagian-bagian alam lainnya manusia merupakan bagian alam yang aktif. Manusia mendapatkan dan mengambil kebutuhan hidupnya dari alam sekitarnya dan mangolahnya sedemikian rupa sehingga sesuai dan memadai dengan kebutuhannya, bahkan manusia memiliki kemampuan untuk mengubah dan menyesuaikan alam sekitarnya menurut dan sesuai dengan kehidupan hidupnya. Manusia berbudaya dan membudayakan alam lingkungannya untuk mendapatkan kehidupan yang baik, enak dan nyaman.

1. Hubungan Tauhid dengan Ilmu Pengetahuan

Dari segi unsur-unsur kebudayaan, agama merupakan universal cultural,

artinya terdapat disetiap di daerah kebudayaan di mana saja masyarakat dan kebudayaan itu berada. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Dengan kata lain, setiap kebudayaan memiliki fungsi. Konsekuensinya setiap yang tidak berfungsi akan hilang atau sirna. Karena sejak dulu hingga sekarang dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti ia mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat

1

(3)

Perintah yang sangat mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam adalah mengesakan Tuhan dan cegahan melakukan tindakan syirik. Tauhid adalah syirik adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, meskipun antara yang satu dengan

yang lainnya sangat berbeda.2

2. Tuhan Sebagai Suatu Zat Yang Personal

Tuhan adalah masalah pokok dalam setiap agama dan filsafat. Agama tanpa

kepercayaan kepada Tuhan tidak disebut agama. Begitu juga filsafat, pembahasan filsafat yang pertama kali muncul adalah masalah metafisika, yaitu dari mana asal usul alam dan apa zat yang menjadi dasar alam. Sebagian filosof Yunani berpendapat bahwa alam berasal dari satu unsur atau gabungan dari beberapa unsur alam. Thales mengatakan bahwa alam berasal dari air, sedangkan Anaximenes berpendapat bahwa alam berasal dari apeiron (sesuatu yang tidak terbagi) dan Anaximandros mengatakan bahwa alam berasal dari udara. Empedokles yang datang kemudian berpendapat bahwa alam terdiri atas gabungan empat unsur yang

pokok, yaitu: udara, air, api, dan tanah.3

3. Fitrah: Esensi Kesadaran Spritual

Manusia banyak membicarakan benih munculnya rasa keagamaan dalam jiwa

manusia itu sendiri, dilator belakangi ada yang menyebutkan karena dari rasa takut atau sebaliknya rasa kagum, sesuatu yang ditimbulkan dan bersumberkan dari kesadaran spiritual manusia. Kesadaran semacam ini tiada lain adalah Din Fitrah. Para penstudy agama-agama dari kalangan Islam, seperti Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa Din al-Fitrah merupakan religion naturalis (agama

alamiah).4

B. Pembhasan

Konsep Islam tentang sejarah, ada yang berwujud dan bermotifkan fisik kebendaan (metarialisme historis), juga ada yang berwujud non fisik (idealism). Begitu

2

Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubaro, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 14-15.

3

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 195.

4

Adeng Mukhtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer suatu Refleksi Keagamaan Yang Dialogis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 172-173.

(4)

juga dalam hal gerak sejarah dalam Islam, mekanisme dan faktor yang menggerakan terjadinya suatu peristiwa sejarah, tidak mungkin dengan serta merta hanya mempertimbangkan fisik dhahiriyahnya, tetapi harus diungkapkan pula hal-hal yang berkenaan dengan kontekstual dari sejarah.

Dalam memperoleh pengetahuan (epistemologi) sejarah dalam Islam, yang

lebih urgen adalah dengan memahami konteks sejarah, disamping teks atau fisik sejarah itu. Karenanya, seseorang peneliti sejarah, untuk sampai pada suatu kesimpulan tentang peristiwa yang menjadi focus kajiannya, hendaknya menganalisis paling tidak tiga tahap sebagai berikut:

 Menilai analisis dari data empiric  Menginternalisasi secara logis

 Memamfaatkan pola penalaran dalam analisis sejarah.5

Ketiga pendekatan yang saling terkait itu tentu saja dijalankan secara berurutan

ketika melakukan kajian atas tradisi.

Aqidah Tauhid dan prinsip kesatuan (wahdaniyah) adalah aqidah dan prinsip

dasar yang melandasi mentalitas muslim. Aqidah ini bila diambil dengan kesadaran pemahaman menurut indikasi-indiksai dan pantulan-pantulannya dalam wujud dan kehidupan, maka ia mengharuskan kesatuan penciptaan, kesatuan kehidupan kesatuan manusia dan kesatuan hakikat. Kesatuan ini mengharuskan adanya tujuan penciptaan

dan wujud.6

Untuk memahami cara performan akal muslim tidak cukup hanya dengan

membahas kerangka pemikiran dan metodologi ini saja, juga tidak cukup dengan memahami landasan-landasan yang menjadi tumpuan saja. Tetapi juga harus mengetahui konsep-konsep yang mendasari cara kerja pemikiran dan gerak metodologi ini yang merupakan segi amal dan prakteknya.

Salah satu cirri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah

penekanannya terhadap masalah ilmu (sains). Al-Qur’an dan al-Sunnah mengajak

5

Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam, (Djogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hal. 138-143 6

Abdul Hamid Abu Sulayman, Krisis Pemikiran Islam, (Jakarta: Media Dakwah, 1994), hal. 208-209.

(5)

kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi. Masalah ilmu-ilmu yang dianjurkan Islam, telah merupakan pokok penting yang mendasar sejak pertama Islam: apakah ada bentuk ilmu khusus yang harus dicari?. Sebagian ulama besar Islam hanya memasukkan cabang-cabang ilmu yang lain, mereka menyerahkan kepada masyarakat untuk menentukan ilmu mana yang paling esensial untuk memelihara dan

menyejahterakan diri mereka.7

Konsekuensi alamiah dari konsep Kant tentang kausalitas tidak bisa tidak

membawa dia menyusun corak etika yang rasional sementara konsepsi al-Ghazali tentang kausalitas menuntun dia merumuskan etika religious atau mistik. Menggambarkan etika Kant sebagai “Rasional” tidaklah mengatakan bahwa Kant menentang persoalan metafisika Tradisional, seperti pendirian umum para filosof positivistic. Faktor yang paling dilupakan dalam studi etika Kant meskipun dengan corak rasionalitasnya, yakni ketergantungannya terhadap rasio untuk memilih dan menentukan jenis pilihan etis dalam membimbing kehidupan seseorang adalah kemampuannya menyisihkan ruang bagi keimanan yaitu ruang bagi eksistensi Tuhan, imortalitas dan kebebasan. Dia mengklaim bahwa etika rasional tidak memiliki dasar jika tidak mempostulasikan imortalitas dan eksistensi Tuhan. Postulat ini membantu

menyelesaikan kesulitan yang dihadapi rasio dalam dialektika rasio praktis murni.8

Di lain pihak al-Ghazali dengan corak konsepsi spesifiknya tentang kausalitas,

menemukan lebih banyak kesulitan untuk memiliki strategi yang baik dalam menetapkan kemampuan tersembunyi dari rasio manusia. Kesulitan ini bertambah ketika memusatkan perhatian pada konsepsi al-Ghazali tentang etika yang bercorak mistik. Dalam corak etika ini, peran Rasul tidak dibutuhkan secara optimal.

Manusia yang merupakan salah satu atom yang mengisi dunia ini dengan

kemampuan dirinya semata-mata tidak mungkin mengetahui sebab keberadaan dan tujuan hidupnya serta apa yang baik bagi dirinya. Karena itu Allah tidak membirkannya tersia-sia. Malainkan ia membekalinya dengan akal yang menunjukkan

7

Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 39-40.

8

M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 86-87.

(6)

jalan kebaikan. Dengan akal pemberian Tuhan manusia berusaha untuk mengenal alam dan kedudukkannya di dalam serta tujuan yang harus dicapainya. Hal ini telah menghasilkan warisan kemanusiaan, sebelum masa-masa kenabian yang berupa aturan-aturan pendapat dan ide-ide tentang agama masyarakat alam dan segi pengetahuan yang lain.

Hanya saja, akal bisa tersesat dan memang sering tersesat ketika berusaha

untuk mengetahui apa yang ada di luar kemampuannya, khususnya alam tertinggi dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Karena itu filsafat-filsafat ketuhanan yang dihasilkan oleh bangsa dan generasi-generasi yang tidak mendapatkan cahaya wahyu Tuhan, di timur Yunani dan lain-lain. Semuanya terasa menggelikan sebab mereka menjadikan manusia balikan hewan dan benda mati sebagai Tuhan dan mengajarkan bahwa Tuhan-tuhan saling mendengki dan menyerang untuk merebutkan dunia yang

fana ini.9

Ilmu adalah setiap saat diucapkan dan dari waktu ke waktu diajarkan, namun

tampaknya tidak banyak dilakukan pembahasan mengenai ilmu sendiri. Rupanya apa pengertian ilmu dengan sendirinya difahami tanpa memerlukan keterangan lebih lanju, tetapi apabila memberikan rumusan lebih tepat dan cermat mengenai pengertian ilmu,

barulah orang akan merasa bahwa hal itu tidak begitu mudah.10 Hal ini sebetulnya

telah terlihat dalam penyebutan istilah ilmu pengetahuan yang demikian lazim dalam masyarakat termasuk dunia perguruan tinggi yang sesungguhnya merupakan suatu penyebutan yang kurang tepat dan kurang cermat. Istilah ilmu pengetahuan merupakan suatu pleonasme yakni pemakaian lebih daripada satu perkataan yang sama artinya. Untuk pengertian yang dicakup kata Inggris science cukupkanlah disebut ilmu tanpa penambahan perkataan pengetahuan.

Nilai-nilai pembaharuan modernisasi islam mempunyai pengaruh besar dalam

kehidupan umat Islam, sehingga akibat gerakan pembaharuan yang dicetuskan dan diperjuangkan oleh pembaharu yang tersiar dikalangan Negara-negara Islam, maka tumbuhlah rasa kesadaran bagi umat Islam untuk mengikuti gerakan pembaharuan

9

Muhammad Yusuf Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, (Jakarta: Rajawali, 1988), hal. 8.

10

(7)

tersebut sehungga menimbulkan suatu kebangkitan dunia Islam baik dalam bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, politik sekaligus tumbuh gerekan menentang penjajahan. Kebangkitan dunia Islam tersebut dilatarbelakangi oleh adanya Negara Islam satu demi satu jatuh ke tangan bangsa barat yang giat menyebarkan agama Kristen pada abad 18-19 M. Umat Islam mulai sadar betapa berat penderitaan yng

dialami di bawah penjajahan orang Kristen.11 Maka mulailah mengintropeksi diri

dalam segala aspek kehidupan, bidang agama, politik, sosial, budaya, ekonomi dan lain-lainnya.

Salah satu contoh mengenai pembaharuan dalam Islam dibidang filsafat, yakni

Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam yang menyanjungnya, ia memang satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa barat pada abad pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islamnya Alferd Gulaume: “sebagian besar filsafat Aritoteles sedikitpun tidak dapat member pengaruh di Barat karena kitabnya tersembunyi entah di mana dan sekiranya ada sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan tidak digemari orang karena peperangan yang merajalela disebelah timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aritoteles disertai dengan

penerangan dan keterangan yang luas.12

Perbedaan pemikiran dalam perjalanan perkembangan teologi Islam timbul

karena beragam pemikiran dalam memahami Al-Qur’an. Pemahaman itu sendiri bersifat relatif dan tergantung pada kualitas kemampuan pemikir. Bagi kaum rasional, akal mempunyai kedudukan tinggi, berdaya besar dan kuat. Lain halnya dengan pemikiran kaum tradisional. Bagi mereka akal hanya mempunyai daya kecil, lemah dan rendah. Bagaimanapun, kedudukan akal dan peran wahyu dalam pemikiran al-Razi merupakan suatu persoalan yeng perlu dicarikan jalan pemecahannya agar

11

A. Munir, Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,1994), hal. 147.

12

(8)

mendapatkan suatu rumusan, di pihak manakah ia menempatkan diri sebagai orang pemikir tradisional ataukah sebagai pemikir rasional.

Permasalahan akal wahyu dalam konsep teologi Islam, menurut kaum rasional

atau kaum tradisional, berkaitan dengan konsep keberadaan konsep dan pemahaman seseorang secara menyeluruh tentang Tuhan dan hubungan manusia yang bersifat

transenden.13

Plato (427-348 SM) yang belum sampai meyakini adanya Tuhan dan baru

tingkat mencari sesuatu yang abadi sebagai pencipta pertama dari alam ini mengatakan, bahwa filsafat adalah mencari hakikat kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382-322 SM) yang lebih menitik beratkan penyelidikannya kepada pembagian ilmu filsafat menerangkan, bahwa filsafat adalah semacam ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran ilmu-ilmu metafisika, logika, retotika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Selain itu juga mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang mencari kebenaran yang pertama, segala yang maujud dan ilmu tentang

segala yang ada yang menunjukkan adanya penggerak pertama.14

Dalam filsafat Islam Al-Kindilah yang mempelajari secara mendalam

mengenai filsafat Aristoteles pada hari-hari pertama zaman kejayaan Islam. Dan dia berkesimpulan bahwa yang maujud dan hakiki itu tidak lain adalah satu yang tunggal yaitu Allah. Selanjutnya Al-Kindi berusaha meluruskan dan menjelaskan pandangan Aristoteles, sehingga pahamnya itu lebih mendekati paham Plato, dengan menyatakan bahwa Allah adalah sebagai pencipta pertama dari segala yang maujud. Al-Kindilah orang pertama yang dapat mendekatkan paham filsafat dengan keyakinan agama.

Konsep-konsep teologis yang pokok, yang diuraikan secara garis besar dalam

al-Qur’an, banyak hal sama dengan terdapat dalam agama yahudi dan Kristen. Dalam bagian ini akan dibatasi pada empat konsep yang paling penting: Allah, pencipta, manusia dan hari perhitungan. Sebagaimana dengan agama luhur lainnya. Segala sesuatu dalam Islam berpusat pada kenyataan utama yaitu Allah. Pertama-tama Allah

13

Safir Iskandar, Falsafah Kalam Kajian Teodisi Filsafat Teologis Fakhr al-Din al-Razi, (Nanggroe Aceh Darussalam: Nadia Fondation, 2003), hal. 67-68.

14

Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf Dirasah Islamiyah IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 109-110.

(9)

itu bukan benda dank arena itu tidak terlihat.15 Bagi orang Arab hal ini tidak menimbulkan keraguan akan kebenaran-Nya, karena mereka tidak pernah belajar, seni menganggap segala sesuatu tidak ada kecuali apa yang dapat dilihat. Al-Quran tidak memperkenalkan dunia Arab dengan dunia rohaniah yang tidak kelihatan. Apa yang dilakukan Al-Quran melalui pembaharuan adalah memusatkan segala yang bersifat ilahi pada Tuhan suatu kehendak pribadi yang meliputi seluruh alam raya dengan kekuasaan dan rahmat-Nya. Subangan Islam yang tidak terlupakan bagi agama Arab adalah monoteisme.

Setiap manusia, dengan menyadari kejadiannya tentu mempunyai pengertian

bahwa di dunia ini ada Zat Yang Maha Esa yang mengaturnya, yang tidak mungkin menyerupai dengan alam yang ada ini dalam segala sifat-sifat-Nya. Zat Yang Maha Esa itu tidaklah merupakan benda jisim, bukanlah sesuatu yang melekat, tidak dapat

dibatasi dan tidak membutuhkan tempat.16 Kadang-kadang manusia berkata: kalau

tauhid (menngesakan Tuhan) itu merupakan suatu fitrah (kejadian semula) maka para manusia tentu tidak berbeda aqidah dan kepercayaannya dan tidak pula berbeda dengan Yuham mereka.

 Aktualisasi Potensi Insani

Manusia terakhir di dunia telah dilengkapi dengan berbagai unsur yang

sekaligus merupakan potensi yang sangat penting bagi diri dan kehidupan. Secara garis besar, manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Manusia telah dibekali dengan berbagai potensi, berupa indra, akal pikiran, dan hati. Potensi yang lain adalah kejahatan dan takwa yang Allah ilhamkan kepadanya.

Potensi apapun yang ada dalam setiap insan, masing-masing mempunyai

fungsi. Masing-masing dapat tumbuh dan berkembang, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, baik dengan sengaja (ditumbuhkembangkan) maupun secara alami.

Ketika dilahirkan ke dunia, manusia dalam keadaan tidak mengetahui apapun.

Ibnu Khaldun (1986) mengatakan bahwa semula, manusia hanyalah materi belaka,

15

Huston Smith, Agama-agama manusia, (Jakarta: Yayasan Obor, 2004), hal. 269-270.

1

6

(10)

karena ia tidak mengetahui apapun, ia tadinya merupakan segumpal darah dan daging. Kemudian dengan segala potensinya menusia berusaha mengembangkan diri, sehingga akan keberadaan dirinya di alam semesta ini dan bersikap secara konsekuen sesuai dengan pengetahuannya, ia akan menjadi makhluk yang bersyukur, mensyukuri bahwa

semuanya adalah pemberian Allah SWT.17

 Akal Teoritis dan Akal Praktis

Maksud pembagian tersebut adalah bahwa akal menusia mempunyai dua

macam pemahaman. Adakalanya pekerjaan akal manusia mempunyai sesuatu yang telah ada, atau dengan kata lain, apa yang harus diketahui. Yang demikian itu dinamakan akal teoritis. Kadang pula pemahaman akal berkaitan dengan apa yang

harus dilakukan, seperti adil, dan jujur, bagian ini disebut dengan akal praktis.18

Kita peratikan di sini, bahwa filsafat Kant ditujukan untuk mengkaji akal

teoritis dan akal praktis dan pengaruh keduanya dalam pandangan dan kehidupan manusia. Penelitian sampai pada kesimpulan, bahwa akal teoritis tidak berperan sifnifikan. Bagian inti dari akal adalah akal praktis karena keterikatannya dengan intuisi. Kant berpendapat, bahwa intuisi atau akal praktis adalah sekumpulan hukum apriori yang tertanam dalam fitrah manusia yang tidak diperoleh melalui indera maupun ladang percobaan.

Tantangan utama pembaruan pemikiran Islam adalah bagaimana tidak

menjadikan Islam sebagai sekedar sebagai agama yang mengurus masalah-masalah legal formal, bahkan fikhiyah-fikhiyah yang nanti akan cendrung pada dasarnya ideologisasi Islam yang sejatinya Islam akan tampil lebih manipulatif dan menegangkan. Model-model otoritarianisme dalam beragama sudah seharusnya menjadi perhatian bersama untuk segera diubah menuju model keberagaman yang lebih apresiatif atas perbedaan pendapat dan mazhab yang dianut. Sebab jika terjadi pemutlakan atas pemahaman keislaman, sebenarnya akan menjadikan Islam semakin terpuruk dalam kerangka ideologis yang kurang memerhatikan dimensi transformatif. Bagaimana caranya agar gerakan pembaruan Islam dapat tersebar dan diterima

17

Abu Azmi Azizah, Bagaimana Berpiki Islami, (Surakarta: Era Internedia, 2002), hal. 31-32

18

(11)

masyarakat Islam secara luas, membutuhkan pengamatan dan kajian-kajian yang lebih

memadai.19 Di sinilah perlunya sebuah sebuah keberlangsungan yang mampu

mengusung tema-tema actual dari Islam itu sendiri.

Gerakan pembaruan pemikiran memang membutuhkan waktu lama dan

hasilnya jauh di masa depan, tatkala hal itu terjadi, kita bisa saja sudah melupakan apa yang pernah dipikirkan dan dikerjakan sebelumnya.

Dari pemikiran yang mulai membuka wacana tafsir ini, lalu berkembanglah

secara liberal usaha mentransformasikan tradisi, tetapi tetap menggunakan metodologi hermeneutis klasik Islam yang dikenal wacana Islam klasik. Dasar-dasar liberal para ahli Islam ini diambil dari wacana liberal Islam klasik. Dalam mereka melakukan penafsiran Al-Quran misalnya mereka menggunakan perbedaan yang sudah lama diterima kalangan ahli Al-Quran atas adanya Al-Quran atas adanya ayat-ayat Al-Quran yang jelas dan pasti dan mutasyabihat yang sulit ditangkap maknanya secara lansung. Sebenarnya penafsiran ayat-ayat yang mutasyabihat ini melatih kalangan Islam liberal

itu untuk mengasah kemampuan mencari makna yang terdalam Al-Quran itu sendiri.20

Peran wahyu dalam ajaran Islam sangatlah penting, Al-Quran bagi muslim

merupakan kumpulan simpul-simpul perkataan Tuhan dalam bahasa yang dapat dipahami manusia dalam usaha mewujudkan suatu realitas ideal kehidupan manusia, menuju satu bentuk tatanan atau pranata sosial dan sistem kemasyarakatan kea rah kehidupan yang lebih baik, yaitu adanya unsur etika dan moralitas. Melalui petunjuk wahyu manusia dapat mencari dan mengarahakan kehidupannya pada sasaran

kebenaran, menuju pola dan jalan yang lebih baik.21 Karena melalui kontemplasi dan

intruksi agama, kesadaran bathin manusia dalam mencari kebenaran yang sejati akan dapat terwujud. Hakikat kebenaran agama adalah satu-satunya kebenaran sejati.

Manusia membutuhkan sebuah strategi intelektual baru untuk mendekati

gagasan tentang wahyu dalam tradisi muslim dan tradisi-tradisi kaya lainnya yeng

19

Zuly Qodir, Pembaruan Pemikiran Islam wacana dan Aksi Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 44-46.

20

Rachman, Budhy Munawar, Islam Pluralis wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 557-558.

2 1

Irwandar, Dekontruksi Pemikiran Islam Idealitas Nilai dan Realitas Empiris, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Press, 2003), hal. 66.

(12)

berkembang dan mengalami stratifikasi budaya dan praktik ideologis selama berabad-abad. Dalam mengembangkan strategi baru ini, kita harus secara hati-hati menguji sumber-sumber tradisional dengan maksud untuk pertama-pertama, menghilangkan konsep sentral mengenai ortodoks. Para sejarawn modern mengetahui dengan persis pertentangan dan persaingan ini, tapi mereka tidak melihat konsekuensinya jika seseorang mendekati fenomena wahyu di luar batas-batas pemakaian arbitrer dan interpretasi yang telah dibuat yang dinyatakan oleh masing-masing kelompok yang

mengklaim monopoli atas ortodoks agama.22

Manusia pada dasarnya tidak menciptakan arti “ex nihilo” dari ketiadaan. Di

dalam berpikir, ia masih mengarahkan diri kepada apa yang telah ada di sana. Ketika ia menamai benda-benda, ia berusaha untuk menangkap aspek-aspek kenyataan yang ada di sana sebelum mengatakannya. Ini berarti bahwa pikiran menemukan dan tidak

menciptakan apa yang nyata.23

Masyarakat modern percaya pada kemampuan rasio dan pendekatan ilmiah.

Namun, di sini kita membicarakan soal agama. Sementara dasar agama lebih banyak berkaitan dengan perasaan dan keyakinan daripada rasio. Perasaan dan keyakinan berlainan dengan rasio yang mempunyai tendensi dogmatis. Ajaran-ajaran agama oleh pemeluknya dirasakan dan diyakini mesti benar, sesungguhnya ajaran-ajaran itu terkadang berlawanan dengan rasio. Perasaan dan keyakinan juga banyak bersifat subjektif dan kurang bersifat objektif. Selanjutnya agama banyak dan erat hubungannya dengan hal-hal yang bersifat imateri dan yang tak dapat ditangkap dengan panca indra. Sementara itu pembahasan ilmiah pada umumnya dapat dipakai dengan baik hanya dalam lapangan yang bersifat materi. Mungkin bicara tentang tujuan hidup beragama lebih tepat dilakukan oleh orang yang tidak menganut agama apapun. Orang yang demikian akan dapat melepaskan diri dalam pembahasan dan uraiannya. Dari keyakinan-keyakinan dan dogma-dogma yang ada dalam agama. Tetapi orang tidak terikat pada suatu agama tegasnya orang tidak percaya dengan

22

Muhammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 101-103

23

(13)

agama juga mempunyai prasangka dan pendapat yang terkadang merupakan keyakinan

tertentu terhadap pada agama pada umumnya.24

Dalam berbagai literature, khususnya di bidang filsafat dan antropologi

dijumpai berbagai pandangan para ahli tentang hakikat manusia. Sastraprateja.

Missal nya mengatakan: bahwa manusia adalah makhluk yang histeris. Hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata – mata datum. Hakikat manusia hanya dapat di lihat dalama perjalanan sejarah nya, dalam dalam sejarah bangsa manusia. Sastraprateja lebih lanjut mengarahkan, bahwa apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian anthropological constants yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap anthropological constants yang dapat di tarik dari pengalamat sejarah umat manusia, yaitu (1) relasi manusia dengan kejasmanian, alam, dan lingkungan ekologis; (2) keterlibatan dengan sesma; (3) keterikatan dengan struktur sosial dan institusional; (4) ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat; (5) hubungan timbale balik antara teori dan praktis; (6) kesadaran religious dan para religious. Keenam anthropological constants ini merupakan suatu sintesis dan masing-masing

saling berpanguruh satu dengan lainnya.25

Hidup menurut konsep Islam bukan hanya kehidupan duniawi ini saja, tetapi

berkelanjutan sampai kehidupan ukhrawi(di dalam akhirat nanti). Hidup di dunia ini merupakan amsa bakti dan kehidupan di akhirat erat sekali hubungannya dengan kualitas hidup di dunia ini. Apa yang dipetik akhirat adalah hasil tanaman di dunia, amal baik akan terbalas baik dan amal buruk akan terbalas buruk. Pandangan dan prinsip ini menampilkan perilaku sebagai akhlak muslim. Manusia muslim sadar benar bahwa hidup di dunia ini merupakan terminal dari perjalanan hidup manusia yang panjang mulai dari alam arwah, alam arham , alam dunia, alam barzakh dan terakhir

alam akhirat.26 Di alam dunia ini manusia mengemban tugasnya dan disini ia

menentukan pilihannya, apakah angin mengjadi penghuni surga atau menjadi penghuni neraka.

2

4

Harun nasution, Islm Rasional Gagasan Dan Pemikiran, ( Bandung:Mizan, 1998) hal.

25

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hal 28

2

6

(14)

Perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh Islam, baik dalam bidang politik, sosial dan peradaban adalah karena Islam selaku agama telah mengajarkan tiga nilai baru:

 Islam mengajarkan adanya kehidupan akhirat yang bersinambungan dengan kehidupan duniawi. Ajaran ini mendidik pengikutnya untuk mengatur hidup di dunia mencapai di akhirat bahwa hidup tidak selesai di dunia tetapi ada imbalannya di akhirat yang baik atau buruk.

 Islam mengajarkan pemeluknya bertanggung jawb atas nasibnya sendiri di akhirat. Kepercayaan ini mendorong pemeluknya untuk selalui menghayati dan mengamalkan norma-norma hukum dan tuntunan akhlak yang benar sebagaimana yang diajarkan kapada setiap individu.

 Islam mengajarkan aturan-aturan hidup bermasyarakat dan bernegara dalam cakrawala kehidupan solidaritas umat Islam sedunia. Umat manusia tidak dikotak-kotak dan terbagi-bagi dalam suku bangsa. Tetapi derajat mereka tergantung pada

ketinggian keimanannya.27

Tiga hal baru tersebut mendorong manusia untuk menetapkan tiga hal dasar,

yaitu bagaimana hidup yang benar, berpikir dan mengamalkan dengan benar dan bagaimana mengorganisasikan seseuatu yang benar.

Pengemabangan kualitas sumber daya manusia adalah melalui pendidikan.

Secara teoritik dan empirik, pendidikan alat yang sangat fungsional dalam upaya pembentukkan manusia yang berkualitas, yang mampu mandiri dan memberikan dukungan bagi perkembangan masyarakat, dan berpengaruh dalam peningkatan mutu kehidupan dan mengangkat martabat bangsa. Melalui pendidikan diharapkan seseorang dapat meningkatkan kualitas berpikir, kualitas moral, kualitas pengabdian. Pendidikan juga memiliki kontribusi yang cukup tinggi bagi produktivitas Nasional. Berbagai penelitian di seluruh Negara maju maupun Negara berkembang telah

27

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 2

(15)

membuktikan bahwa peningkatan pendidikan mempunyai implikasi positif dan

signifikasi terhadap peningkatan pendapatan Nasional.28

Pada setiap ilmu terdapat serangkaian proposisi yang saling berhubungan. Dalam kenyataannya, sasaran pendek dan motivasi belajar serta mengajar ilmu itu adalah menganalis proposisi-proposisi tersebut dan membuktikan keberlakuan predikat pada subjek ilmu itu. Jadi, pada setiap ilmu subjek diasumsikan mewujudkan perbagai predikatnya bisa dibuktikan sebagai bagian atau contoh individual dari subjek tersebut. Karena itu, sebelum berurusan dengan pemaparan dan penguraian masalah suatu ilmu maka perlu mengenali hal-hal sebagai berikut:

a. Keapaan (Mahiyyah) dan konsep subjek. b. Keberadaan subjek,

c. Prinsip-prinsip untuk memecahkan berbagai persoalan ilmu.29

Hal-hal tersebut adakalanya swanyata tidak memerlukan penjabaran dan

penghayatan sehingga tidak ada kesulitan sama sekali dan adakalanya pengetahuan mengenai hal-hal ituperlu dijabarkan dan dibuktikan.

Secara umum ilmu berarti tahu, ilmu itu adalah pengetahuan. Seseorang yang

banyak ilmunya bisa dikatakan sebagai ilmuan, Ulama ahli pengetahuan dan lain

sebagainya.30 Pada dasarnya pengetahuan mempunyai tiga kriteria yaitu: adanya suatu

sistem gagasan dalam pikirin, persuaian antara gagasan itu dengan benda-benda sebenarnya dan adanya keyakinan dengan persesuian itu. Kebanyakkan orang memperoleh pengetahuan dari pengalaman yang diperoleh melalui indra yang ia miliki. Dengan indranya ia mengenal hal-hal yang ada di sekitarnya.

Islam pada dasarnya tidak mengenal adanya perbedaan diantara sesama

manusia kecuali atas dasar ketakwaan kepada Allah dan kebaikan perilaku dalam kehidupan. Islam memandang sesame manusia adalah sama. Orang Arab tidak lebih utama daripada bukan orang Arab. Perbedaan manusia hanya di dasarkan pada besar kecilnya takwa. Dengan prinsip itu Islam membuka kesempatan seluas-luasnya kepada

28

Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), hal 162.

29

Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 40-41

30

(16)

setiap penganut ilmu, peneliti, pemikir dan pekerja di bidang ilmu pengetahuan tidk peduli ia apakah berasal dari kalangan kaum terhormat maupun dari kaum budak. Di pihak lain, Islam juga tidak memandang manusia dari segi pikirannya saja atau dari segi kejiwaannya saja sehingga melupakan segi jasmaninya. Sebaliknya, Islam

memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani.31

Transformasi kebudayaan atau peradaban telah menunjukkan adanya fluktuasi

serta perkembangan dan pergeseran nilai-nilai transormatifnya, baik secara berurut dari budaya sensasi, rasional, hingga sampai pada yang ideal maupun transformasi yang ketiga babakannya itu berjalan sekaligus. Selain itu, transformasi kebudayaan pun telah membuktikan adanya titik balik pandangan dari yang sifatnya sektoral-spesifik dan tidak jarang mengandung kebenaran yang saling bertentangan (antara berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi) hingga pendekatan (antara berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi) hingga pendekatan pengembangan, pemeliharaan dan pemamfaatan ilmu dan teknologi tersebut dengan pendekatan

integralistik.32

Renaisans Italia telah menyaksikan kelahiran pengetahuan, kebudayaan, dan

gaya klasik. Oleh karena itu, istilah Renaisans telah diperluas pengertiannya hingga mencakup berbagai kebangkitan dan periode budaya restorasi klasik. Renaisans Barat (seperti Carolingian, Ottonian abad ke-12 Bizamtium) telah berkembang dalam pengertian yang telah diperluas tersebut. Ada tanda-tanda sangat jelas bahwa fenomena serupa juga ditemukan pada lingkungan budaya peradaban Islam, yang pada abad ke-10 M menikmati kembali warisan klasik dan kebangkitan kembali kebudayaan pada umumnya. Agaknya mustahil bagi kita untuk melakukan secara detail antara

Renaisans Islam disatu pihak dan Renaisans barat di pihak lain.33 Kitapun tampaknya

tidak perlu melakukan hal tersebut jika hanya membuktikan bahwa renaisans semacam itu pernah terjadi. Akan tetapi, sedikit penelitian untuk melihat perbedaan dan persamaan antara kedua renaisans tersebut tetap perlu dilakukan.

3 1

Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal. 157.

32

Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 87

33

Joel L. Kraemer, Renaisans Islam Kebangkitan Intelektual dan Budaya pada abad Pertengahan, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 23-24.

(17)

Hingga batas-batas tertentu, khususnya dalam beberapa aspek pokok, Renaisans Islam sebenarnya banyak memiliki kesamaan dengan Renaisans abad ke-12 M. keduanya sangat menekankan pentingnya warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani kuno dengan pengecualian bahwa renaisans Italia lebih memfokuskan pada tradisi retorik dan literer warisan tersebut.

Dalam logika dikenal istilah kesalahan argumentasi karena kerancuan

menggunakan bahasa atau kekeliruaan berfikir bila logika mengajarkan kepada kita teknik berpikir kritis, strategems adalah teknik berpikir tidak kritis. Salah satu contoh strategems adalah perluasan. Di sini orang memperluas cakupan argument lebih dari bukti yang ada. Sudah disepakati manasia adalah makhluk yang berakal. Sudah banyak filosof yang membahas hakikat akal. Orang boleh berdebat dan berbeda pendapat tentang apa yang disebut akal., tetapi semua setuju akal adalah alat berfikir. Dalam perkembangan peradaban, manusia menemukan cara-cara berfikir yang benar yang mereka sebut dengan logika. Tidak setiap berpikir itu logis, tidak jarang apa yang

disebut rasional sebenarnya hanyalah rasionalisasi.34

Alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar atau fitrah manusia tersebut

harus tumbuh kembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberi kebebasan untuk berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut. Namun demikian, dalam pertumbuhan dam perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari adanya batas-batas tertetu, yaitu adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam, hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat ataupun manusia itu sendiri. Di samping itu, pertumbuhan dan perkembangan alat-alat potensial dan fitrah manusia juga harus dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosiokultural, sejarah dan faktor-faktor temporal. Dalam ilmu pendidikan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan itu ada lima macam yang saling berkaitan den berpengaruh antara satu faktor dengan faktor yang

34

Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 135-136.

(18)

lainnya, yaitu faktor tujuan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan dan lingkungan.35 Karena itulah maka minat bakat dan kemampuan skill dan sikap manusia yang diwujudkan dalam kegiatan ikhtiarnya dan hasil yang dicapai dari kegiatan ikhtiarnya tersebut bermacam-macam.

Apakah benar manusia di dunia ini mempunyai makna dan tujuan? Ataukah

sesungguhnya hidup ini terjadi secara kebetulan belaka tanpa makna apapun dan tanpa tujuan sama sekali? Pertanyaan serupa itu telah menyibukan para pemikir sejak masa lampau yang jauh ketika manusia mulai belajar merenungkan hakikat dirinya sendiri, sampai pada zaman mutakhir ini ketika manusia dengan kamajuan teknologinya mencoba mencari “teman” sesame makhluk hidup cerdas di planet atau sistem bintang atau galaksi yang lain, yang telah diketahui jagad raya tanpa terbilang banyaknya. Pembahasan tentang persoalan makna dan tujuan hidup ini bisa dibuat dengan melompat kepada kesimpulan yang telah diketahui secara umum dan mantap di kalangan orang-orang muslim. Yaitu bahwa tujuan hidup manusia ialah “bertemu” dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dalam ridha-Nya. Sedangkan makna hidup manusia didapatkan dalam usaha penuh kesungguhan untuk mencapai tujuan itu

melalui iman kepada Tuhan dan beramal kebajikan.36

Tetapi jika dikehendaki garis argument dengan maksud memantapkan

kesimpulan itu maka perlu pendekatan kepada persoalan melalui jalan nalar mungkin juga empiris dengan melihat pokok-pokok permasalahan yang menjadi isu sentral makna dan tujuan hidup.

1. Ajaran Islam mendorong berfisafat

Agama Islam member penghargaan yang tinggi terhadap akal, tidak sedikit

ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan dan mendorong manasia supaya banyak berpikir dan menggunakan akalnya. Di dalam Al-Quran dijumpai perkataan yang berakar dari kata ‘aql (akal) sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja

aktif, seperti ‘aqaluh, ta’qilun, na’qil, ya’ailuha dan ya’qilun.37

35

Muhaimin, Suti’ah, Nur Ali, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) , hal. 19.

3

6

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), hal. 18-19.

37

(19)

Semua bentuk ayat-ayat tersebut mengandung anjuran, dorongan bahkan perintah agama manusia banyak berpikir dan menggunakan akalnya. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam menganjurkan, mendorong dan bahkan memerintah kepada pemeluknya supaya berfisafat.

Di samping itu, anjuran dan dorongan untuk berfisafat dapat dipahami dari

pengertian kata ayat itu sendiri erat kaitannya dengan perbuatan berpikir. Arti asal dari kata adalah tanda. Sebagaimana diketahui bahwa tanda itu menunjukkan kepada sesuatu yang terletak di belakang tanda itu. Baik secara filosofis maupun ilmiah untuk mengetahui arti yang terletak di belakangnya.

2. Ilmu, Filsafat dan Agama (Suatu Perbandinga)

Manusia adalah makhluk berpikir, berpikir adalah bertanya, bertanya adalah

mencari jawaban dan mencari jawaban adalah mencari kebenaran, mencari jawaban tentang sesuatu berarti mencari kebenaran tentang sesuatu itu. Mencari jawaban tentang hidup misalnya adalah mencari kebenaran tentang hidup. Dengan demikian pada akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran.

Cara manusia mencari dan menemukan kebenaran ada tiga macam, yaitu

dengan agama, filsafat dan dengan ilmu pengetahuan. Antara satu dengan lainnya mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung.

Titik persamaan antara ketiga-tiganya adalah bahwa baik agama, filsafat

maupun ilmu setidak-tidaknya bertujuan atau berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran agama, dengan wataknya sendiri, memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanya manusia. Baik tentang Tuhan, manusia maupun alam (yang belum atau tidak dijawab oleh ilmu pengetahuan, dengan wataknya atau metodenya sendiri pula, mencari kebenaran tentang alam dan termasuk di dalamnya manusia). Teori atau filsafat pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan tentang sumber-sumber pengetahuan tempat bahan-bahannya diperoleh. Sumber-sumber itu menurut epistemology, Islam tidak lain adalah indra, akal dan hati

(intuisi).38

38

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal.18.

(20)

Titik perbedaaan antara ketiga-tiganya adalah bahwa agama bersumber dari wahyu Allah, sehingga kebenaran mutlak, sedangkan filsafat dan ilmu pengetahuan bersumberkan ra’ju (akal, budi dan rasio) manusia, sehingga keberanaran nisbi (relatif) disamping itu, manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban) tentang berbagai masalah asasi dari kitab suci, kodifikasi firman Ilahi untuk manusia dari atas bumi ini, filsafat

menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (menggambarkan atau

mengelanakan) akal budi secara radikal, integral, dan universal, tidak merasa terikat oleh ikatan tertentu. Dan ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan riset, empiri (pengalaman dan eksperiment).

Adapun titik singgung ketiga-tiganya adalah bahwa tidak semua masalah yang

dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu itu terbatas, dalam arti terbatas oleh subjek (penyidikan), objeknya (objek material atau objek formal dan oleh metodologinya). Tidak semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh ilmu kemudian dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat, karena jawaban filsafat sifatnya spekulatif dan juga alternatif, sedangkan agama memberikan jawaban tentang berbagai masalah asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan dan yang dipertanyakan namun tidak terjawab secara bulat oleh filsafat. Kita menggunakan satu kata untuk mengartikan sekaligus realitas dan kebenaran secara umum.

Fakta ini sendiri memiliki arti penting dalam mengantar manusia memahami

kebenaran, tidak hanya sebagai sifat dari suatu pernyataan, kepercayaan dan penilaian

tetapi juga sebagai sifat dari hakikat realitas.39

Di dalam aliran al-Maturidi hubungan antara Tuhan dengan manusia dalam

kitab al-Tauhid al-Maturidi dan juga dalam karya lainnya Ta’wilat Al-Quran, secara panjang lebar membahas berbagai aspek persoalan ini kehendak daya (kekuasaan), takdir dan fungsi kreatif Tuhan, kebijakkan Tuhan dan eksistensi kejahatan (sesuatu yang buruk) di dunia ini, kebebasan manusia dan dasar kewajiaban agama serta tanggung jawab manusia dan lain-lain.

39

(21)

Dalam masalah-masalah tersebut al-Maturidi tidak sepaham dengan jabariyyah, Mu’tazilah dan dalam beberapa hal itu pun tidak sependapat dengan Asy’ariyyah. Membantah determanansi Jabariyyah, dia mengatakan bahwa hubungan antara Tuhan dengan alam fisik. Allah telah member manusia akal, daya untuk membedakan antara benar dan salah, dan kemampuan untuk berpikir, meresa, menghendaki, memutuskan, dan sebagai pembibingnya Dia mengutus para Rasul dengan membaca kitab. Manusia cendrung dan mengarahkan pikirannya pada sesuatu yang dia pandang bermamfaat bagi dirinya, menjauhkan dirinya dari apa yang menurut pikirannya akan merugikannya, memilih alternatif untuk menentukan mana yang akan dilakukan dan ini dilakukan dengan menggunakan akalnya. Manusia menurut pikirannya pula bertanggung jawab untuk mendapatkan balasan baik atau buruk dari hasil perbuatanya itu. Ketika dia berpikir, berkehendak, bercendrungan, memilih dan berbuat dia selalu memandang dirinya benar-benar merdeka, tidak pernah berpikir atau merasa ada paksaan kepada dirinya untuk berbuat apapun. Kesadaran akan adanya kemerdekaan ini tegas al-Maturidi adalah suatu realita dan mengingkari akan mengakibatkan manusia menyangkal segenap ilmu pengetahuan manusia. Dengan mengutip ayat Al-Quran al-Maturidi juga mengungkapkan bahwa perbuatan yang diperintahkan atau yang dilarang oleh Allah sudah dijabarkan kepada manusia dan barus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Ini membuktikan secara jelas bahwa Allah telah menganugerahi manusia untuk bebas memilih serta memberikan daya untuk melakukan perbuatan. Mengingkari kebebasan ini berarti yang bertanggung jawab atas segenap perbuatan manusia hanyalah Allah dan Dia pula yang menanggung siksa dan derita akibat dari dosa yang manusia lakukan, akan tetapi di Hari Kiamat yang dihukum itu ternyata manusia sebagai balasan atas perbuatannya sendiri. Jika tidak demikian, berarti mustahil, sebab ditegaskan di dalam Al-Quran, bahwa Allah itu

Maha Bijaksana, Maha Adil dan Maha Penyayang.40

Namun bagaimana caranya merekonsiliasikan kebebasan manusia dengan

kehendak, kekuasaan, ketentuaan dan otoritas Tuhan atas segala tindakan manusia

40

M. M. Syarif, Aliran-aliran Filsafat Islam Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Thawawiyyah, Zhahiriyyah, Ihwan al-Shafa, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2004), hal. 110-112.

(22)

sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Quran itu? Kreasi hanyalah kepunyaan Allah segala tindakan manusia baik maupun buruk adalah dikehendaki ditentukan dan diciptakan oleh-Nya.

Seruan pada keimanan, Tauhid dan ketakwaan kepada Allah membuahkan

seruan lain yang melengkapinya yaitu meyakini bahwa manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya. Dimuliakan dijadikan khalifah di muka bumi. Bahwa semua yang ada di bumi merupakan kenikmatan yang diciptkan Allah untuk sekalian manusia kemudian kenikmatan itu disempurnakan secara lahir dan bathin. Dan bahwa, telah diutus kepada mereka para Rasul dengan membawa kitab-kitab. Selanjutnya Allah juga mengajari pandai berbicara menunjukinya jalan yang lurus dan mengajarkannya apa-apa yang belum diketahuinya. Dan sesungguhnya Allah mulai menciptakan jenis manusia dari satu bapak yaitu Adam. Dengan kekuasaan-Nya, dihembuskan roh dari-Nya lalu para malaikat diperintahkan untuk sujud kepada Adam. Tidak hanya itu manusia diistimewakan dengan ilmu akhirnya iblis pun diusir dan segolongan Malaikat karena pembangkangan atas perintah bersujud kepada Adam dari

Tuhan-Nya.41

Sesungguhnya Islam telah meninggikan derajat manusia hingga ke posisi yang

tinggi dengan dijadikan-Nya sebagai Khalifah di muka bumi memakmurkannya dan diberikan amanat yang pernah dikemukakan kepada langit dan bumi serta gunug-gunug maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya yaitu amanat tanggung jawab dan tugas-tugas keagamaan. Islam tidak melihat kepada manusia sebagai hewah evolutif yang berkembang dari fase terendah hingga ke fase-fase berikut nya. Tetapi manusia adalah makhluk yang di ciptakan secara distingtif guna membawa risalahnya di muka bumi memakmurkannya dan mengimplementasikan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban sebagai khalifah di muka bumi. Adapun dalam penciptaannya Allah telah membentuknya dari dua unsure pokok unsure tanah dan unsure ruh. Demikian ini, agar mampu menjalankan perannya dimana para malaikat merasa berat untuk melakukannya. Di sini lah tiupan dari ruh Allah yang telah di masukkan kepada manusia di samping asal ciptaannya dari unsure

4 1

(23)

tanah dari kulit terluar manusia. Manusia bukan binatang, tetapi justru hewan-hewan dan segala jenis makhluk hidup di darat dan di air ciptakan allah untuk kepentingan manusia. Manusia juga bukan Dewa atau Tuhan sebagaimana pendapat sebagian filosuf Barat yang menuhankan manusia mengangkat derajatnya melebihi kapasitas dan kemampuan yang sebenarnya.

Kreatifitas dan prestasi-prestasi yang telah di hasilkan dalam sains dan teknologi serta revolusi-revolusi yang telah berhasil mengubah kisi simplisitas, sehingga dunia manusia pun dapat menikmati hal-hal yang pernah diimpikan sebelumnya semua itu tidak lain karena karunia berkat karunia Allah semata. Islam dengan seluruh aturan-aturan hukum dan pesan-pesan moralnya senantiasa menjaga fitrah manusia, kemuliaan, kebebasan, kehormatan dan hak-haknya.

Islam juga menjaga kehormatan manusia, kehormatan darahnya, dirinya, dan hartanya. Kehidupan manusia adalah hal suci, yang memiliki kedudukan agung di sisi allah, maka di larang membunuh tanpa alas an yang benar.

Bahkan, Islam memuliakan kehidupan hewan, dengan melarang untuk membunuhnya kecuali dengan benar. Rasulullah bersabda, “Seorang wanita masuk neraka lantaran kucing yang di tahannya ingga mati. Dia tidak pernah memberinya makan dan tidak juga melepaskannya agar bisa makan serangga-serangga tanah.

Selain mencegah kejahatn atau jiwa manusia, islam melarang penganiayaan atas fisik atau anggotanya dengan memukul atau menyakiti. Melarang manusia supaya tidak menodai harga diri dana nama baik orang lain. Termasuk menghina, mencela, dan ghibah menyebut (aib) orang lain yang dibenci olehnya baik orang itu hadir atau tidka di tempat, walaupun (aib) itu benar adanya semuanya dilarang Islam.

Untuk mencegah agar hal-hal di atas tidak sampai terjadi maka disinilah

pentingnya pola pemikiran ilmu agama sebagai benteng bagi kita, khususnya ilmu pendidikan Islam. Pembaruan pemikiran Islam tampak bahwa focus reaksi banyak ditujukan pada istilah gagasan sekularisasi. Memang istilah sekulirisasi bagi

kebanyakan orang dirasakan sebagai sesuatu yang asing dalam khasanah keislaman.42

42

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran Dan Aksi Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 65-66.

(24)

Dalam literatul kependidikan Islam, seorang guru bisa disebut ustadz,

mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris dan mu’addib.43 Kata “ustadz” biasa

digunakan untuk memanggil seorang professor. Ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk kemitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Seseorang dikatakan professional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tuganya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharuhi model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya pada masa depan.

Kata Mu’allim berasal dari kata dasar ‘ilm yang berarti menangkap hakikat

tertentu. Dalam setiap ‘ilm terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliah. Ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang diajarkannya, serta memperjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang diajarkannya, serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya dan berusaha membangkitkan siswa untuk mengamalkannya. Allah mengutus rasul-Nya antara lain agar beliau mengajarkan (ta’alim) kandungan al-Kitab dan al-Hikmah, yakni kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang mendatangkan mamfaat dan menampik madlarat. Ini mengandung ilmu pengetahuan dan al-hikmah atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupannya yang bisa mendatangkan mamfaat dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi madlarat. Guru matematika misalanya, akan berusaha mengajarkan hakikat matematika, yaitu mengajar nilai kepastian dan ketetapan dalam mengambil sikap dan tindakan dalam kehidupannya, serta dilandasi oleh pertimbangan dan perhitungan yang mantap. Guru matematika bukan sekedar mengajarkan rumus-rumus (transfer ilmu) matematika, tetapi juga bagaimana rumus-rumus itu terinternalisasi (terhayati) dalam kehidupan peserta didik untuk selanjutnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan amaliah yang

43

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 209-210.

(25)

matematis. Dengan demikian, seorang guru dituntut untuk sekaligus melakukan “transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta amaliah (implementasi”.

Kata “Murabbiy” berasal dari kata dasar “Rabb”, Tuhan adalah sebagai Rabb

al-‘alamin dan Rabb al-Nas, yakni yang menciptakan mengatur dan memelihara alam seisinya termasuk manusia. Manusia sebagai khalifahnya diberi tugas untuk menumbuhkembangkan kreatifitasnya agar mampu mengkreasi, mengatur dan memelihara alam seisinya. Dilihat dari pengertian ini, maka tugas guru adalah sekaligus dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.

Pengajaran konsep pada tingkat sekolah dasar sampai tingkat sekolah

menengah atas belum perlu dilakukan. Mereka belum pertlu memahami konsep untuk sampai ke kemampuan membuat konsep dang pengajaran konsep untuk memahami konsep adalah pengajaran yang amat sulit. Karena itu, belum perlu membuat lesson plan khusus untuk mengajarkan konsep untuk tinkat sekolah dasar hingga menengah

atas cukup disatukan dengan pengajaran prinsip.44

Tatkala anda mengajarkan prinsip (dalam agam Islam), anda tentu akan

memulainya dengan menjelaskan konsep-konsep yang dikandung oleh prinsip-prinsip itu. Jika anda akan mengajarkan prinsip hukum shalat, sebelum anda mengajarkan ruku-rukun dan shalat. Untuk kepentingan ini anda cukup mengambil (menggunakan) definisi ruku dan definisi shalat yang sudah ada.

Pemahaman dan pembuatan konsep dapat diajarkan di perguruan tinggi. Pada

study Islam tingkat tinggi memang sudah waktunya diadakan latihan memahami dan membuat konsep. Lesson plan untuk dapat dibuat dengan memilih cara keempat, ketiga, kedua, atau kesatu seperti yang dijelaskan di atas. Cara keempat paling mudah, cara kesatu paling rumit. Cara keemapat adalah deduksi langsung, cara ketiga ialah deduksi tidak langsung, cara kedua ialah membandingkan dan cara kesatu ialah mereduksi cirri objek.

44

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 113.

(26)

Namun pendidikan permulaan merupakan sebuah unit yang cukup untuk diri sendiri dan tidak ada hubungan organisi antara pendidikan permulaan tersebut dengan pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan menganggap pendidikan permulaan sebagai suatu dasar untuk melengkapi sistematik pada pelajaran yang lebih tinggi merupakan sebuah fenomena modern dan dalam sistem pada masa pertengahan, maka tujuannya terutama untuk mengembangkan setinggi mungkin kapasitas-kapasitas intelektual sejumlah orang terpilih yang memiliki karir pendidikan berbeda dengan mereka yang dimaksudkan hanya untuk pendidikan permulaan. Sejak masa-masa permulaan Islam, terdapat dua tipe pendidikan yang lain, yang berdampingan dengan pendidikan permulaan dan lebih tinggi itu. Yang satu, yaitu pendidikan sekolah istana, yang didirikan untuk para putra mahkota dengan maksud untuk membentuk mereka menjadi penguasa-penguasa pada masa depan. Hal itu meliputi pendidikan keagamaan, namun menitik beratkannya pada pidato, kepustakaan dan lain-lain dan diatas semuanya itu pada “sifat-sifat keperkasaan”. Tipe pendidikan kedua dapat disebut sebagai pendidikan orang dewasa yang diberatkan kepada orang banyak, tidak terlalu banyak untuk tujuan mengajar mereka kepandaian membaca dan menulis seperti mangajarkan

Al-Quran dan keimanan.45 Dari sinilah kemudian sekolah-sekolah memberikan

pelajaran yang lebih tinggi tumbuh melalui halaqah-halaqah atau “lingkaran-lingkaran” para murid yang mengerumuni seorang guru tertentu.

Sesuai perkembangan masyarakat yang semakin dinamis sebagai akibat

kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi informasi, maka aktualisasi nilai-nilai Al-Quran menjadi sangat penting, karena tanpa aktualisasi kitab suci ini, umat Islam akan menghadapi kendala dalam upaya internalisasi nilai-nilai Qurani sebagai upaya pembentukan pribadi umat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas,

maju dan mandiri.46

Secara normatif, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi nilai-nilai

Al-Quran dalam pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang harus dibina dan dikembangkan oleh pendidikan.

45

Fazlur Rahman, Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 287-288.

4

6

Said Agil Husin Al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 7-8.

(27)

Pertama, dimensi spiritual, yakni iman, takwa dan akhlak mulia (yang tercermin dalam ibadah dan mu’amalah). Dimensi spiritual ini tersimpul dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak merupakan alat control psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak, manusia akan berada dengan kumpulan hewan dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam kehidupannya. Rasulullah SAW merupakan sumber akhlak yang hendaknya diteladani oleh orang mukmin. Seperti sabdanya “Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Pendidikan akhlak dalam Islam tersimpul dalam prinsip “berpegang teguh pada

kebaikan serta menjauhi keburukan dan kemungkaran” berhubungan erat dengan upaya mewujudkan tujuan dasar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundukan, dan beribadah kepada Allah SWT. Pendidika akhlak menekankan pada sikap, tabiat dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memperhatikan budi pekerti anak dengan baik, karena akhlak ini merupakan implikasi dan cerminan dari kedalaman tauhid kepada Allah SWT.

Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung

jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dimensi ini secara universal menitikberatkan pada pembentukan kepribadian muslim sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan faktor dasar (bawaan) dan faktor ajar (lingkungan dan

miliu) dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman.47

Dalam pembicaraan orientalisme sebagai satu jenis sumber dalam penulisan

sejarah Islam, perlu mendapat perhatian serius. Untuk memudahkan pemahaman istilah ini, dalam penguraiannya dibanding langsung dengan Oksidentalisme. Keduanya merupakan istilah yang dikontraskan dari dua kutub yang saling berbeda orientalisme berasal dari dua kutub yang saling berbeda. Orientalisme berasal dari kata Inggris “orient” yang berarti Timur, yaitu occident yang berarti Barat, negeri Barat. Menurut Nurcholis Madjid, kedua istilah tidak mempunyai realitas makna yang

47

Said Agil Husin Al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 7-8.

(28)

objektif, kecuali jika dibatasi sebagai cara pengenalan arah angin yang nisbi, sebab sesuatu yang ada di Barat dan di Timur, dengan sendirinya tergantung kepada kedudukan orang yang memandangnya. Orientalisme adalah orang yang menekuni

dunia timur.48 Siapa saja yang mengajar menulis atau melakukan penyelidikan tentang

dunia timur baik bidang antropologi, sosiologi, sejarah, budaya, filosofi atau menyangkut kebahasaan, baik secara spesifik maupun umum. Malah teks-teks baik berupa buku dan berbagai tulisan lainnya yang dijadikan dasar dan sumber kajian tentang timur juga dimaknakan dengan orientalis. Oksidentalis adalah orang-orang yang menekuni dunia barat, baik bahasa, budaya, adat istiadat dan tradisi, agama dan kepercayaan, serta ilmu-ilmu dengan metodologi yang telah berhasil dimunculkan, terutama dalam dua decade atau kurun terkhir.

Masalah pembukuan Islam, khususnya untuk periode kontemporer sampai saat

ini, masih merupakan bidang kajian yang belum banyak digarap di Indonesia. Memang semacam survey pendahuluan atau laporan jurnalistik pernah dimuat beberapa media massa, semacam Panji masyarakat atau Tempo. Biasanya, soal perbukuan Islam dikemukakan secara selintas oleh majalah-majalah seperti ini dalam kaitannya dengan kecendrungan perkembangan Islam secara keseluruhan dalam masa akhir-akhir ini.

Padahal, studi-studi rintisan pernah dilakukan oleh sarjana colonial seperti Van

Den Berg (1886), yang melakukan survey atas buku-buku yang digunakan di kalangan pesantren di Jawa dan Madura. Selanjutnya Van Bruinessen (1990) melakukan survey pula atas kitab-kitab kuning yang dipakai di lingkungan pesantren dalam masa-masa

lebih akhir.49 Tetapi kedua studi ini, tentu saja tidak mencakup pembahasan tentang

perkembangan literature atau khususnya perbukuan Islam secara keseluruhan, apa lagi dalam kaitannya dengan kecendrungan intelektualisme Islam di Indonesia di masa kontemporer ini.

Usaha yang kelihatannya cukup serius untuk melacak perkembangan

perbukuan Islam di Indonesia secara lebih komprehensif dilakukan Yayasan

48

Misri A. Muchsin, Studi Islam Kawasan Sejarah Sosial Politik dan Demokratisasi, (Ar-Raniry Press Banda Aceh NAD, 2004), hal. 7-8.

49

Azyumardi Azra, Islam Reformis Dinamika Intelektual dan Gerakan, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1999), hal. 215-216.

(29)

Masagung, dengan mendaftar semua buku Islam yang terbit sejak tahun 1945 sampai akhir 1980-an.

C. KESIMPULAN

Manusia hidup di alam dan menjadikan alam sekitar kehidupannya sebagai

sumber hidup dan kehidupannya. Bahkan manusia menjadi bagian dari alam sekitarnya. Tetapi manusia bukanlah merupakan bagian dari alamnya sebagaimana bagian-bagian alam lainnya manusia merupakan bagian alam yang aktif. Manusia mendapatkan dan mengambil kebutuhan hidupnya dari alam sekitarnya dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga sesuai dan memadai dengan kebutuhannya, bahkan manusia memiliki kemampuan untuk mengubah dan menyesuaikan alam sekitarnya menurut dan sesuai dengan kehidupan hidupnya. Manusia berbudaya dan membudayakan alam lingkungannya untuk mendapatkan kehidupan yang baik, enak dan nyaman.

(30)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam,Jakarta: Bumi Aksara, 2004

Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Amsal Bakhtiar,Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Adeng Mukhtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer suatu Refleksi Keagamaan Yang Dialogis, Bandung: Pustaka Setia, 2005.

Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam, Djogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002. Abdul Hamid Abu Sulayman, Krisis Pemikiran Islam, Jakarta: Media Da’wah, 1994. Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran, Bandung: Mizan, 1998

M. Amin Abdullah. Antara Al-Ghazali dan Kant Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan 2002.

Muhammad Yusuf Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, Jakarta: Rajawali, 1988. The Liang Gie. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1996.

A. Munir. Sudarsono. Aliran Modern dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang: Toha putra, 1993.

Safir Iskandar, Falsafah Kalam Kajian Teodisi Filsafat Teologis Fakhr al-Din al-Razi, Nanggroe Aceh Darussalam: Nadia Fondation, 2003.

Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf Dirasah Islamiyah IV, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor, 2004. Abdul Aziz Syawisy, Islam Agama Fitrah, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Abu Azmi Azizah, Bagaimana Berpikir Islami, Surakarta: Era Intermedia, 2002 Murtadha Muthahari, Filsafat Moral Islam, Jakarta: Al-Huda, 2004.

(31)

Zuly Qodir, Pembaruan Pemikiran Islam wacana dan Aksi Islam Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Ranchman, Budhy Munawar, Islam Pluralis wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Irwandar, Dekontruksi Pemikiran Islam Idealitas Nilai dan Realitas Empiris, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Press, 2003.

Mohammad Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Kenneth T. Gallagher, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1998. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Kaelany HD, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2005.

Muhammad Thelhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Lantabaro Press. 2005.

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. Muhaimin, et al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2005. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003. Juhaya S. Praja, Alran-Aliran Filsafat dan Etik, Bogor: Kencana, 2003.

Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani, 1995.

Joel L. Kraemer, Renaisans Islam Kebangkitan Intelektual dan Budaya pada abad Pertengahan, Bandung: Mizan, 2003.

Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 2004.

(32)

Muhaimin, Suti’ah, Nur Ali, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003.

Syed Muhammad Naquid Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, Bandung: Mizan, 1995. M. M. Syarif, Aliran-Aliran Filsafat Islam Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah,

Thawawiyyah, Zhahiriyyah, Ihwan al-Shafa, Bandung: Nuansa Cendekia, 2004.

Yusuf Al-Qaradhawi, Retorika Islam, Jakarta: Khalifa, 2004.

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Fazlur Rahman, Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Said Agil Husin Al-Munawar, Aktualsasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Misri A. Muchsin, Studi Islam Kawasan Sejarah Sosial Politik dan Demokratisasi, Ar-Raniry Press Banda Aceh NAD, 2004.

Azyumardi Azra, Islam Reformis Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya formulasi matematis pada model AHP dilakukan dengan menggunakan suatu matriks, misalkan dalam suatu subsistem operasi terdapat n elemen operasi, yaitu

Rantai dingin (cold chain) adalah cara menjaga agar vaksin dapat digunakan dalam keadaan baik atau tidak rusak sehingga mempunyai kemampuan atau efek kekebalan pada

Penelitian dibatasi pada potensi siswa yang lebih besar pada keterampilan seni tari daripada pembelajaran akademik dan penerapan metode drill belum digunakan dalam

Masing-masing parameter memiliki 3 level dan pada penelitian ini menggunakan metode ANOVA untuk menganalisis data hasil percobaan dan optimasi kekasaran minimum

Individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal, yang meyakini bahwa ia memiliki kendali atas perisitiwa dalam hidupnya melalui kemampuan ( ability )

Perkembangan e-commerce di Indonesia semakin pesat dan semakin popular dikalangan masyarakat. Hal ini didorong dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia. E-commerce

Berdasarkan hasil skoring dari akumulasi tingkat keberlanjutan dari lima aspek (infrastruktur, lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan) dimana tidak berkelanjutan

Hasil perbandingan momen tumpuan dan lapangan dengan menggunakan strip method, PBI 71, dan FEM dapat dilihat pada Tabel 4 dan secara grafik diagram momen dapat dilihat pada