• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN DEPLU RI, ASEAN Selayang Pandang, Deplu RI, 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN DEPLU RI, ASEAN Selayang Pandang, Deplu RI, 2007"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tesis ini akan membahas mengenai bagaimana dinamika keamanan antar negara dikawasan Asia Tenggara pada masa pasca Perang Dingin dengan menggunakan analisis security complex, yang melihat pola hubungan antar negara di kawasan ini melalui pattern of amity/enmity-nya. Berakhirnya Perang Dingin membawa dampak bagi dinamika keamanan internasional tidak kecuali di kawasan Asia Tenggara. Salah satu dampak dan pengaruh dari berakhirnya Perang Dingin ini adalah terhadap pola hubungan diantara mereka baik secara bilateral maupun multilateral, jika pada masa Perang Dingin pola hubungan diantara masing-masing negara ini terbagi kedalam persaingan dua kubu yang bertikai pada saat itu yaitu Blok Barat dengan Blok Timur, maka pada saat berakhirnya Perang Dingin maka pembagian tersebut menjadi tidak relevan lagi. Hal tersebut mambuat negara-negara di Asia Tenggara mendefinisikan kembali tentang politik luar negeri mereka serta ancaman-ancaman yang mungkin akan muncul pada saat berakhirnya Perang Dingin. Pendefinisian kembali tersebut sangat penting untuk mereka lakukan guna menghadapi tantangan-tantangan baru yang akan muncul pada era pasca Perang Dingin yang akan sangat berbeda dengan kondisi yang terjadi pada masa Perang Dingin.

Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan regional yang memiliki dinamika keamanan yang kompleks.1 Walaupun telah memiliki organisasi regional yaitu ASEAN yang berdiri sejak tahun 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand,2 kawasan ini tidak terlepas dari konflik maupun kerjasama keamanan yang kemudian berpengaruh bagi

1 Leszek Buszynski, “ASEAN's New Challenges”, Pacific Affairs, Vol. 70, No. 4 (Winter,

1997-1998), University of British Columbia, hal. 555-577.

(2)

2 hubungan antar negara di kawasan baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Dekade 90-an menjadi sebuah dekade yang membuktikan terjadinya perubahan yang besar bagi anggota-anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Awal dekade 90-an membawa ketakutan bahwa ASEAN tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan era baru Pasca Perang Dingin.3

Dalam perspektif keamanan tradisional, kawasan Asia Tenggara masih mempunyai potensi konflik yang besar pasca Perang dingin. Konflik-konflik seperti konflik bilateral antar negara-negara di kawasan, konflik wilayah terutama perbatasan, dan persaingan militer atau perlombaan senjata masih terjadi di kawasan pasca Perang Dingin.4 Bahkan konflik-konflik tersebut semakin menjadi ajang rivalitas antar negara-negara di kawasan setelah kubu sosialis dan kubu kapitalis tidak lagi menjadi penentu utama dalam hubungan internasional di Asia Tenggara. Konflik-konflik tersebut misalnya konflik antara Thailand dan negara tetangganya seperti Myanmar dan Kamboja baik yang bersifat politik maupun perbatasan wilayah masing-masing negara, konflik sisa-sisa persoalan masa lalu antara Malaysia dan Singapura, konflik wilayah perbatasan antar negara Asia Tenggara dan lain sebagainya yang menyebabkan ketidakstabilan kawasan regional ini.5

Menurut Amitav Acharya, ada tiga sumber utama yang menjadi konflik di Asia tenggara yaitu, (a) etnik, tantangan politik dan ideologi bagi keberlangsungan struktur negara dan rejim, terutama dengan trans-boundary spillover effect yang dibawanya, (b) pertikaian perbatasan dan teritorial antar negara, (c) konflik yang berkaitan dengan rivalitas dan/atau intervensi dari kekuatan regional atau ekstra-regional. Eksodus para pengungsi Aceh yang merupakan korban dari pertikaian pemerintah Indonesia dengan GAM menuju Malaysia merupakan salah satu isu sensitif dalam hubungan antara Indonesia-Malaysia. Sementara itu Manila mencemaskan terhadap dukungan yang diberikan oleh negara bagian Sabah, Malaysia terhadap gerakan separatis Moro di Mindanao dan mengakibatkan

3 Alan Collins, The Security Dillemas of Southeast Asia, ISEAS, Singapore, 2000, hal. 1. 4 Ibid., hal. 1.

5 Lihat Bambang Cipto ,”Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap

(3)

3 Filipina berada dalam posisi yang lebih keras dalam klaim mereka terhadap Sabah. Di posisi yang sama kecurigaan Thailand masih terjadi dikarenakan simpati yang diberikan oleh Malaysia terhadap gerakan separatis Muslin di bagian selatan Thailand.6

Selain pemasalahan di atas, kawasan Asia Tenggara juga memiliki pertikaian dalam perbatasan wilayah antar negara di kawasan seperti misalnya antara Malaysia-Singapura mengenai Pulau Batu Puteh (Pedra Branca, permasalahan ini telah dibawa ke Mahkamah Internasional dan dimenangkan oleh Singapura); pertikaian antara Malaysia-Indonesia mengenai Sipadan-Ligitan yang walaupun statusnya telah sah menjadi milik Malaysia tetapi masih menyisakan permasalahan dalam batas wilayah maritim; konflik antara Malaysia-Thailand mengenai perbatasan mereka; konflik Malaysia-Brunei terhadap Limbang; serta permasalahan antara Filipina-Malaysia mengenai Sabah. Selain itu beberapa permasalahan dalam isu maritim masih terjadi seperti misalnya garis batas demarkasi, zona ekonomi eksklusif, hak untuk memacing ikan dan eksploitasi sumber daya alam. Kasus yang lain juga terdapat permasalahan mengenai Laut Cina Selatan yang berpotensi untuk menggangu stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara. Konflik Laut Cina Selatan ini melibatkan beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina, dan juga melibatkan negara lain di luar kawasan sepert Cina dan Taiwan. Semua negara kecuali Brunei telah membangun fasilitas militer mereka di kepulauan tersebut guna menyokong klaim mereka.7

Disamping mengalami ancaman-ancaman di atas, negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga memerlukan kerjasama diantara mereka untuk menjaga kestabilan kawasan. Jika terjadi ketidak stabilan dalam satu negara akan berdampak langsung maupun tidak langsung kepada negara tetangganya seperti misalnya pada saat krisis ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997 yang lalu dimana awalnya

6 Amitav Acharya, Regionalism and Multilateralism: Essays on Cooperative Security in the

Asia-Pacific, Singapore: Eastern Universities Press, 2003, hal. 159.

(4)

4 hanya satu negara yang mengalami perlambatan ekonomi kemudian merambat ke negara tetangga dan akhirnya berdampak hampir menyeluruh pada kawasan Asia Tenggara. Selain melakukan kerjasama bilateral diantara mereka, kawasan Asia Tenggara juga memiliki wadah untuk melakukan kerjasama multilateral dalam wadah ASEAN. Pada dekade 90-an ASEAN telah merangkul seluruh negara di kawasan Asia Tenggara. Organisasi ini tidak jarang menjadi tempat untuk menyelesaikan masalah bersama bagi negara-negara anggotanya. Walaupun diragukan efektifitasnya yang dikarenakan prinsip non-interferrence yang dimilikinya terhadap negara-negara anggota dimana tidak boleh mencampuri urusan-urusan domestik dari masing-masing negara anggota, tetapi secara langsung maupun tidak langsung prinsip tersebutlah yang menyebabkan organisasi tersebut masih berjalan sampai dengan saat ini dan mampu meminimalisir setiap potensi konflik yang mungkin muncul dan dapat mengganggu stabilitas kawasan.

Dari sedikit pemaparan di atas, penulis akan mencoba untuk mengkaji lebih dalam mengenai pola hubungan di Asia Tenggara melalui konsep security complex yang diwarnai oleh pattern of amity and enmity serta distribusi kekuasaan (distribution of power) diantara negara-negara utama atau penting di kawasan. Adapun wujud dari pattern of amity adalah adanya kerjasama yang terjalin diantara negara-negara dalam suatu kawasan regional, dalam hal ini Asia Tenggara, maupun dengan pihak lain yang berada di luar kawasan regional baik dalam tingkat bilateral, multilateral maupun internasional. Sedangkan wujud dari pattern of enmity adalah adanya permusuhan dalam hubungan antarnegara dalam suatu kawasan regional baik itu permusuhan lama maupun permusuhan baru yang belum dapat diselesaikan dan mempengaruhi hubungan antar negara negara dalam kawasan regional.8

Distribusi kekuasaan (distribution of power) di kawasan Asia Tenggara juga menjadi perhatian untuk melihat polaritas dalam kawasan, hal ini dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal, faktor internal meliputi negara-negara dalam

8 Lihat Barry Buzan, People , State & Fear: An Agenda for International Security Studies in the

(5)

5 kawasan, sedangkan faktor eksternal meliputi negara-negara di luar kawasan yang memiliki pengaruh dalam kawasan tersebut.

Penulisan ini bertujuan untuk memahami karakter keamanan regional di Asia Tenggara secara lebih mendalam dengan melihat hal-hal yang membentuk karakter dari struktur keamanan regional di Asia Tengara. Permasalahan ini sangat perlu untuk diteliti dikarenakan terjadinya perubahan yang sangat mendasar dari hubungan antar negara di Asia Tenggara pada masa pasca Perang Dingin, misalnya seperti bagaimana negara-negara tersebut mampu mengolah konflik-konflik yang ada untuk tidak membesar dan mengganggu stabilitas kawasan. Kemudian sangat menarik juga untuk mengetahui bagaimana negara-negara CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam) yang pada masa Perang Dingin Cenderung memiliki kedekatan dengan Blok Timur mampu untuk bekerjasama dengan negara-negara tetangga mereka yang memiliki kedekatan dengan Blok Barat pada masa pasca Perang Dingin ini.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakangan permasalahan di atas, penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut:

”Bagaimana arsitektur dan karakter keamanan regional di Asia Tenggara pasca Perang Dingin? Mengapa dan bagaimana kecenderungan tersebut terjadi?”

C. Review Literatur

Penelitian atau tulisan mengenai keamana di kawasan Asia Tenggara ini pernah ditulis oleh Alan Collins dalam bukunya The Security Dilemmas of Southeast Asia (2000). Dalam buku tersebut Collins mencoba untuk melihat hubungan antar negara anggota ASEAN melalui tiga karakteristik yaitu uncertainty, illusory incompatibility, paradox. Karakter pertama yaitu Uncertainty dimana Collins mengatakan bahwa kurangnya kepastian dalam hubungan antar negara yang bersifat anarkis membuat para negarawan menjadi tidak yakin dengan niatan baik dari para tetangganya. Walaupun pada saat ini mereka percaya pada saat ini negara tetangga tersebut baik kepada mereka, hal tersebut tentu dapat berubah

(6)

6 dimasa depan dan sebagai konsekuensi dari kehati-hatian mereka adalah menrencanakan hal terburuk merupakan rencana yang masuk akal. Ketika suatu kawasan mengalami perubahan yang sangat dramatis, seperti yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada masa pasca Perang Dingin, maka ketidak pastian akan semakin meningkat sehingga membuat para negarawan akan mendefinisikan atau menilai kembali tujuan-tujuan mereka. Hal tersebut tidak berujung pada dilema keamanan (security dilemma) dan kemerosotan hubungan, hal tersebut dapat dikatakan menjadi pertanda hubungan yang baik. Apapun efek yang dimiliki oleh perubahan tersebut, tentu akan semakin meningkatkan level ketidakpastian diantara para pihak yang memiliki kepentingan. Salah satu hal yang menjadi kesimpulan atau akhir dari perang dingin adalah menurunnya keterlibatan dari negara adidaya di kawasan Asia Tenggara seperti misalnya Vietnam yang merubah hubungannya dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang sebelumnya bersifat antagonistik menjadi lebih bersahabat dengan masuk menjadi anggota ASEAN pada tahun 1995.9

Karakteristik kedua yang disampaikan oleh Collins adalah illusory incompatibility. Dalam bukunya tersebut dia mengutip pendapat dari Herbert Butterfield dan John Herz yang mengatakan bahwa inti dari security dilemma adalah sebuah kejadian dimana dua belah pihak yang berkepentingan merasa ketidak cocokan antar kepentingan mereka menjadi nyata, padahal sebenarnya ketidak cocokan adalah ilusi. Menerapkan ini untuk sengketa teritorial memerlukan pemeriksaan lebih dekat dari tujuan para pihak. Adanya sinyal perselisihan dan ketidak cocokan, dan kedua pihak mengklaim wilayah yang sama adalah nyata.10

Sengketa wilayah menjadi salah satu permasalahan yang terjadi di Asia Tenggara dimana masing-masing negara berusaha untuk meningkatkan belanja militernya.

Konflik wilayah atau perbatasan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara misalnya seperti klaim Filipina terhadap wilayah Sabah yang merupakan bagian

9 Collins, The Security Dillemas of Southeast Asia , op.cit. hal. 93. 10 Ibid. Hal. 100.

(7)

7 dari Malaysia, terjadinya kompetisi dalam mengklaim kepulauan Spratley yang melibatkan Vietnam, Brunei, Malaysia dan Filipina; konflik perbatasan antara Indonesia dan Vietnam mengenai garis demarkasi di Kepulauan Natuna; Konflik perbatasan antara Vietnam dan Kamboja11 dan masih banyak konflik yang lainnya.

konflik-konflik perbatasan tersebut menjadi permasalahan yang harus diselesaikan oleh negara-negara di Asia Tenggara.

Karakteristik ketiga oleh Collins adalah paradox. Dalam karakter yang ketiga ini Collins menggambarkan bahwa security dilemma terjadi karena dua hal sebelumnya. Ketidak pastian dari para aktor tersebut membuat mereka melakukan aksi yang, karena keduanya bertindak hanya untuk alsan keamanan, membuat situasi memburuk dengan menciptakan gambaran yang agresif kepada yang lainnya. Dalam hubungan antar-negara tindakan paradoks ini diwujudkan dengan meningkatkan kekuatan militer. Meskipun demikian pembelian peralatan militer tidak secara otomatis memulai terjadinya security dilemma. Jika postur persenjataan dikerahkan secara kasat mata sebagai bentuk pertahanan maka negara lain tidak perlu takut terhadap pengadaan persenjataan mereka selama mereka tidak mampu untuk melakukan aksi ofensif; security dilemma dapat dihindari. Akan tetapi, walaupun jika persenjataan yang telah dimiliki tersebut memiliki tujuan ofensif dan dikerahkan sedemikian rupa untuk menunjukkan kapabilitasnya hal tersebut tidak secara otomatis menunjukkan bahwa security dilemma sedang bekerja. Jika peralatan yang dibeli untuk alasan domestik -modernisasi, internal suppression, prestise, korupsi- bukan karena negara curiga terhadap niat tetangganya, maka pengadaan senjata tidak menunjukkan security delemma sedang berjalan; meskipun hal tersebut dapat menimbulkan kecurigaan dari negara-negara tetangganya dan dapat menimbulkan security dilemma.12

Alasan untuk peningkatan belanja senjata di Asia Tenggara bermacam-macam. Collins dalam bukunya mengutip pendapat Desmond Ball yang menyoroti

11 Ibid. Hal. 102 12 Ibid. Hal. 103.

(8)

8 ada tiga belas faktor yang melatar belakangi peningkatan belanja senjata ini di Asia Tenggara yaitu pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya sumberdaya untuk belanja pertahanan; the requirements of enhanced selfreliance; penarikan fassilitas militer di kawasan ini; kekhawatiran terhadap Jepang dan Cina; konflik regional antar negara di kawasan; untuk melindungi ZEE; semakin meluasnya isu-isu keamanan regional; gengsi; akuisisi terhadap teknologi; korupsi; tekanan pada sisi penawaran; pre-emption of international restraints on arms transfers; dinamika perlombaan senjata.13

Sementra itu Amitav Acharya dalam bukunya yang berjudul Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the problem of regional order (2001) menjelaskan tentang peranan yang dimiliki oleh ASEAN sebagai organisasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam salah satu tulisannya dalam buku tersebut Acharya menjelaskan tentang peranan yang dilakukan oleh ASEAN dalam mengelola hubungan antar negara di kawasan Asia Tenggara. Selain itu juga dijelaskan mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi oleh ASEAN dalam mengelola keamanan mereka misalnya seperti sengketa wilayah dan perlombaan senjata serta bagaimana norma-norma ASEAN berperan dalam mengelola sengketa tersebut. Dua isu utama lain yang dibahas dalam buku ini juga adalah pertama kerjasama ekonomi yang dipandu melalui Jalan ASEAN (ASEAN Way), dan yang kedua adalah kerjasama pertahanan intra-ASEAN yang sampai saat ini dipandu oleh norma bilateralisme. Dua hal tersebut dibahas dalam buku ini untuk melihat bagaimana negara-negara anggota ASEAN mematuhi norma-norma yang telah dibuat bersama tersebut dan di jalankan oleh mereka. selai kedua isu diatas yang berkaitan dengan kepatuhan terhadap norma yang dibuat bersama, isu penting lain yang dibahas dalam buku ini adalah adalah keterkaitan intraregional yang mana nantinya menopang kedua isu yang disebut pertama diatas dan juga sebagai usaha untuk pembentukan identitas bersama ASEAN. Prinsip non interfensi juga menjadi salah satu pokok bahasan dalam buku ini dimana prinsip tersebut menjadi prinsip

(9)

9 utama ASEAN dalam menjalankan fungsinya dari mulai pada saat organisasi ini didirikan hingga pada saat ini.14

Dalam tulisannya ini Acharya lebih menggambarkan mengenai peranan ASEAN dalam dinamika hubungan antar negara di kawasan ini, sedangkan peran ASEAN belum terlalu mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan keamanan di kawasan. Salah satu hal yang menjadi kelemahan ASEAN adalah prinsip non-interference seperti yang sudah dijelaskan di atas. Prinsip ini dapat dikatakan menghambat efektifitas dari organisasi ini untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul untuk dicari jalan penyelesaiannya agar tidak menjadi permasalahan yang lebih besar lagi.

Berbeda dengan dua penulis diatas Barry Buzan dan Gowher Rizvi dalam bukunya yang berjudul “South Asian Insecurity and the Great Powers” membahas mengenai kawasan Asia Selatan. Buzan dan Rizvi melihat bagaimana kawasan Asia Selatan dengan menggunakan konsep regional security. Dalam penelitiannya di buku ini mereka mengatakan bahwa keamanan negara-negara Asia Selatan sangat terikat dalam konteks internasional yang rumit dimana negara-negara tersebut memiliki kontrol yang terbatas. Tetapi meskipun negara-negara lokal tidak dapat mengendalikan lingkungan keamanan yang diciptakan oleh kekuatan besar, penting untuk dicatat bahwa pola independen hubungan keamanan lokal memainkan peran utama dalam membentuk karakter penetrasi eksternal ke wilayah ini.15

Dinamika yang menghasilkan keselarasan dengan kekuatan eksternal menghasilkan baik itu dari tarikan negara lokal dan menekan kekuatan-kekuatan besar. Negara-negara lokal biasanya dimotivasi oleh pertimbangan yang timbul dari persaingan lokal, sementara kekuatan-kekuatan besar terutama didorong oleh persaingan mereka satu sama lain. Kekuatan-kekuatan besar menggunakan perpecahan lokal untuk memfasilitasi masuknya mereka ke daerah meskipun

14 Amitav Acharya, Constructing A Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the

Problem of Regional Order, Routledge, London and New York, 2001, Hal. 128.

15 Barry Buzan and Gowher Rizvi, South Asian Insecurity and the Great Powers, Palgrave

(10)

10 mereka tidak terlalu tertarik pada persaingan lokal sendiri. Struktur internal kompleks Asia Selatan lebih tahan lama dibandingkan pola aliansi eksternal yang saat ini memperkuatnya menurut Buzan dan Rizvi. Bahkan perubahan besar dalam pola aliansi eksternal tidak akan mengubah struktur penting dari kompleks Asia Selatan. Memang, hal tersebut adalah membutuhkan daya tahan struktur lokal yang dapat menjamin kelanjutan dari beberapa pola utama penyelarasan dengan kekuatan eksternal, bahkan jika tidak yang sudah ada. Keselarasan, seperti telah kita lihat, memperkuat struktur penting dari kompleks bawahan dengan menaikkan sumber daya yang tersedia untuk negara-negara lokal, tapi tanpa mengontrol atau mengurangi pola lokal persaingan dan permusuhan.16

Sulit untuk membantah tegas bahwa keterlibatan kekuatan besar di Asia Selatan telah meningkat atau menurun keamanan. Negara-negara yang lebih kecil telah menjadi penerima manfaat paling jelas dalam keselarasan eksternal. Karena negara lokal merupakan pemain kunci dalam pertandingan keselarasan, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka memiliki pengaruh yang cukup atas bagaimana kekuatan eksternal menimpa pada urusan mereka. Tetapi mereka memiliki sedikit kemampuan untuk mengontrol penetrasi eksternal ke wilayah ini karena mereka tidak dapat menyelesaikan persaingan lokal yang menghasilkan permintaan untuk dukungan eksternal. Sebaliknya, kekuatan-kekuatan besar tidak bisa berpengaruh atau mengontrol dinamika keamanan setempat karena mereka bergantung pada itu untuk akses ke wilayah tersebut. Proses persaingan di antara kekuatan-kekuatan besar otomatis memperkuat struktur keamanan lokal yang ada. Setiap usaha untuk membendung penetrasi eksternal dengan membentuk komunitas keamanan setempat harus mengatasi tidak hanya persaingan lokal tapi juga orang-orang global. Apa yang dapat mematahkan siklus adalah jika salah satu atau lebih dari kekuatan besar memutuskan untuk memperluas langsung ke kompleks lokal.17

Kedua penulis ini dalm buku tersebut lebih melihat kepada faktor eksternal yang mempengaruhi hubungan dalam suatu kawasan regional.

16 Ibid. 17 Ibid.

(11)

11

D. Kerangka Konseptual

Konsep regional security dimaksudkan untuk memahami keamanan internasional pada level analisis di tingkat subsistem regional. Konsep ini penting merujuk kekenyataan adanya tingkat otonomi yang relatif tinggi dari hubungan keamanan regional. Walaupun demikian analisis pada level subsistem regional ini tetap diletakkan pada konteks analisis tingkat negara dan tingkat sistemik. Untuk memahami isu keamanan suatu kawasan regional kita dapat menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Barry Buzan. Dalam bukunya yang berjudul People, State and Fear: an Agenda for International Security Studies in the Post Cold War Era,(1991), Buzan berpendapat bahwa keamanan pada dasarnya adalah suatu fenomena relasional (relational phenomenon). Oleh karena itu, keamanan suatu negara dan suatu kawasan tidak dapat difahami tanpa memahami pola hubungan saling ketergantungan keamanan diantara negara-negara kawasan tersebut. 18

Dalam memahami keamanan regional ini maka Buzan menawarkan suatu konsep yang disebutnya sebagai phenomena security complex. Yang dimaksud dengan security complex oleh Buzan didefinisikan sebagai “a group of states whose primary security concern link together sufficiently closely that their national

security cannot realistically be considered apart from one another”.19 Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa konsep security complex ini mencakup aspek persaingan dan juga kerjasama diantara kelompok negara-negara yang terkait. Karakter security complex yang mencakup “interdependence of rivalry as well as that of shared interest” ini selanjutnya oleh Buzan diistilahkan dengan “pattern of

amity and enmity among states”.20

Dalam mendifinisikan regional security, unsur utama yang harus dimasukkan dalam power relations adalah pola dari amity dan enmity antar

18 Buzan, op. cit. Hal. 186-229 19 Ibid. Hal. 190

(12)

12 negara21. Yang dimaksud dengan amity adalah hubungan antar negara yang terjalin berdasarkan mulai dari rasa persahabatan sampai pada ekspektasi (expectation) akan mendapatkan dukungan (support) atau perlindungan satu sama lain. Sedangkan yang dimaksud dengan enmity oleh Buzan digambarkan sebagai suatu hubungan antar negara yang terjalin atas dasar kecurigaan (suspicion) dan rasa takut (fear) satu sama lain. Pattern of amity/enmity ini dapat muncul dan berkembang akibat dari berbagai isu yang tidak dapat difahami hanya dengan melihat distribution of power yang ada diantara negara-negara terkait. Hal ini dikarenankan pattern of amity/enmity dapat muncul dan berkembang akibat dari berbagai hal yang bersifat spesifik seperti sengketa perbatasan, kepentingan yang berkaitan dengan etnik tertentu, pengelompokan ideologi dan warisan sejarah lama, baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif.22

Dalam konteks yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, konsep yang ditawarkan oleh Buzan tersebut dapat digunakan untuk melihat pola hubungan dan saling bergantungan yang terjadi di Asia Tenggara. Pola hubungan yang terjadi di Asia Tenggara dapat dikatakan memiliki hubungan antar negara di kawasan yang cukup dinamis dan kompleks. Dinamika dan kompleksitas dari pola hubungan tersebut dapat dilihat dari pasang surutnya hubungan yang terjadi diantara mereka. Pertikaian dan kerjasama tidak terlepaskan dari pola hubungan yang terjadi diantara negara-negara tersebut. ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara di satu sisi dapat menjadi organisasi yang mewadahi kerjasama diantara negara-negara anggota, tetapi disisi yang lainnya dengan prinsip non-intervensi yang menjadi landasan dalam hubungan internasional di Asia Tenggara menjadi titik lemah yang menyebabkan ASEAN tidak dapat bertindak lebih jauh dalam meredakan setiap konflik yang terjadi diantara negara-negara anggotanya. Akan tetapi dengan keberadaan ASEAN dapat menjadi penghalang bagi konflik yang lebih besar.

21 Lihat Barry Buzan and Ole Wæver, “Regions and Powers: The Structure of Internasional

Security”, New York: Cambridge University Press, hal. 45-51.

(13)

13 Potensi konflik di kawasan Asia Tenggara juga tidak dapat dikatakan kecil. Konflik-konflik tersebut berupa konflik-konflik lama yang masih belum terselesaikan maupun konflik-konflik baru yang seakan konflik-konflik tersebut menemukan salurannya pada saat pasca Perang Dingin. Hal ini menyebabkan pola hubungan yang dinamis diantara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Konflik seperti perselisihan wilayah, baik itu teritorial maupun perbatasan, masih menjadi konflik antar negara. Walaupun konflik-konflik tersebut mampu diredam agar tidak menjadi besar namun potensi konflik-konflik tersebut dapat menjadi semacam batu sandungan yang dapat tiba-tiba muncul menjadi konflik yang lebih besar.

Disaat yang bersamaan kawasan Asia Tenggara juga membutuhkan kerjasama diantara mereka guna menghadapi tantangan-tantangan yang yang akan terjadi dan membutuhkan penyelesaian bersama diantara mereka. Penyelesaian bersama ini sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas kawasan agar tidak terjadi konflik yang lebih besar lagi dan akan sangat mengganggu bagi keamanan di Asia Tenggara.

Cara memahami pergeseran security complex adalah, pertama, dengan melihat pattern of amity and enmity-nya. Kedua, dengan melihat distribusi kekuasaan (distribution of power) diantara negara-negara utama atau penting di kawasan. Dalam menganalisis suatu security complex dari sudut distribusi kekuasaan maka logikanya sama dengan menganalisis polaritas dalam suatu sistem secara keseluruhan. Bedanya pergeseran distribusi kekuasaan dalam subsistem regional dapat terjadi karena faktor internal maupun faktor eksternal. Pergeseran kekuasaan karena faktor internal dapat menyebabkan banyak hal seperti aktor tersebut mengalami disintegrasi (Pakistan 1971) atau mereka malah bisa bersatu (Jerman pasca Perang Dingin). Pergeseran kekuasaan dapat juga terjadi karena tingkat pembangunan suatu negara. Misalnya Jepang di bandingkan dengan negara-negara lain di kawasan. 23

23 Lihat Barry Buzan,”A Framework for Regional Security Analysis” dalam Barry Buzan and

Gowher Rizvi (et. al), “South Asian Insecurity and the Great Power”, New York: Palgrave Macmillan, 1986, hal. 21-27.

(14)

14 Pergeseran kekuasaan karena faktor eksternal dapat mengubah struktur kekuatan local complex dalam 3 hal: (1) Dengan bergabung dalam local complex tersebut. Misalnya dengan ikut membantu militer negara-negara tertentu di kawasan atau menempatkan kekuatan militer di sana. (2) Dengan membentuk aliansi di dalam security complex tersebut. Misalnya apa yang dilakukan oleh AS di Eropa Barat. (3) Atau dengan cara menarik diri dari keterlibatan di suatu security complex seperti yang dilakukan AS ketika keluar dari Perang Vietnam tahun 1973. Namun bisa juga kekuatan eksternal justru berpretensi untuk mempertahankan statusquo. Caranya bisa dengan cara melakukan sesuatu atau juga dengan tidak melakukan perubahan-perubahan yang penting terhadap posisinya di kawasan. 24

The pattern of distribution of power dalam suatu security complex membuka peluang terjadinya alignment dan atau realignment dari negara-negara di kawasan tersebut. Sedangkan the pattern of amity and enmity akan mempengaruhi keseluruhan karakter hubungan dalam suatu kawasan. Pergeseran dalam pattern of hostility dapat terjadi karena perselisihan yang ada berhasil diselesaikan atau karena munculnya perselisihan baru. Jika security complex berlangsung dalam sistem bipolar maka penyelesaiannya akan amat tergantung pada dua negara utama pemegang peran terpenting dalam complex tersebut. Misalnya kasus Asia Selatan. Tetapi dalam suatu security complex yang lebih kompleks, melibatkan lebih dari dua atau tiga kekuatan besar, maka penyelesaian masalah tersebut jauh lebih kompleks dan melibatkan lebih banyak aktor, misal kasus Timur Tengah dan Asia Timur.25

Dalam pola distribusi kekuasaan di Asia Tenggara terjadi pengelompokkan-pengelompokkan yang merupakan peninggalan dari masa Perang Dingin yaitu terdapat kelompok negara CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam) yang merupakan kelompok negara pada masa Perang Dingin lebih berhaluan komunis atau Blok Timur dengan negara lainnya yang mendukung Blok Barat. Menarik untuk mengetahui bagaimana kedua kelompok negara tersebut mampu untuk

24 Ibid. Hal. 21-27. 25 Ibid. Hal. 21-27.

(15)

15 bekerjasama mengembangkan kawasan. Dengan masuknya negara-negara CLMV tersebut menjadi anggota ASEAN hal tersebut menandakan bahwa negaranegara tersebut mampu untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara tetangganya. Sekat-sekat perbedaan diantara mereka yang terjadi pada masa Perang Dingin mampu untuk diminimalisir dan mampu bekerjasama pada masa pasca Perang Dingin ini.

Pembentukan Komunitas ASEAN yang meliputi bidang ekonomi, pertahanan keamanan, dan sosial budaya menandakan bahwa seluruh elemen dari angota-anggota ASEAN mampu untuk bekerjasama. Hal ini menandakan bahwa garis-garis pemisah diantara mereka yang terjadi pada masa Perang Dingin telah melebur dan menjadikan mereka untuk memiliki mimpi bersama guna membentuk komunitas bersama. Walaupun permasalahan-permasalahan diantara mereka masih ada terjadi tetapi hal tersebut merupakan bagian dari dinamika untuk membentuk komunitas bersama. Dinamika tersebut tentu saja akan sangat membantu ASEAN untuk menemukan format yang tepat untuk kesempurnaan komunitas tersebut.

E. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis berargumen sebagai berikut: berakhirnya Perang Dingin membawa dampak yang signifikan terhadap berubahnya struktur politik internasional tidak terkecuali di kawasan Asia Tenggara. Jika selama Perang Dingin kawasan Asia Tenggara tidak terlepas dari pengaruh Blok Barat dan Blok Timur maka pada saat berakhirnya Perang Dingin pengaruh kedua Blok tersebut menjadi tidak relevan lagi seiring kekalahan yang dialami oleh Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet dan memungkinkan negara-negara di Asia Tenggara untuk saling bekerjasama yang selanjutnya disebut faktor amity dalam hubungan antar negara misalnya seperti kerjasama dalam mengelola perbatasan maupun untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dapat mengganggu keamanan di kawasan. Tetapi, di sisi lain konflik-konflik peninggalan masa Perang Dingin masih menjadi sumber masalah dalam hubungan antar negara di Asia Tenggara yang disebut juga dengan faktor enmity seperti misalnya masalah perbatasan yang belum jelas dan menimbulkan konflik

(16)

16 berkepanjangan dan jauh dari selesai. Hal-hal tersebut mengakibatkan pola hubungan antar negara di Asia Tenggara menjadi sangat kompleks.

F. Metodologi Penelitian

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis bertujuan untuk mengambarkan, menelaah serta menganalisa dan mengklarifikasi fenomena yang terjadi seputar objek penelitian sebagai usaha menjawab rumusan masalah. Dalam penelitian ini, metode ini digunakan untuk menjelaskan tentang pola security complex di Asia Tenggara dan selanjutnya untuk menelaah dan menganalisa dampak yang di hasilkan terhadap proses tersebut

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan metode Library Research (Studi Kepustakaan). Penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan (Library Research). Metode Library Research dilakukan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen yang sekiranya bisa dipergunakan untuk mengupas masalah ini berupa teks-teks tertulis dari buku, jurnal, majalah, tabloid, koran, situs-situs resmi milik pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang diakses melalui internet serta sumber-sumber lain yang dianggap relevan. Dengan studi kepustakaan ini penulis berharap nantinya bisa menemukan data-data dan fakta-fakta yang relevan untuk menganalisa permasalahan yang sedang dikaji.

G. Sistematika Penulisan

Tulisan pada Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka konseptual, gagasan utama, metode penelitian dan sistematika penulisan. Pada bab II berisi tentang uraian mengenai dinamika keamanan regional di Asia Tengara pada masa Perang Dingin dengan menguraikan keamanan di Asia Tenggara pada masa sebelum, menjelang, dan setelah pembentukan ASEAN. selain itu juga menguraikan konflik yang terjadi di Asia Tenggara pada masa Perang Dingin seperti konflik di Vietnam dan Kamboja.

(17)

17 Bab III pada tesis ini akan membahas mengenai arsitektur keamanan regional di Asia Tenggara pada masa pasca Perang Dingin dengan melihat beberapa konflik antar negara di Asia Tenggara yang cukup mengganggu relasi antar negara di kawasan seperti misalnya Indonesia-Malaysia, Malaysia-Singapura, dan Thailand-Kamboja serta Konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan beberapa negara ASEAN selain itu juga melihat permasalahan internal yang terjadi di masing-masing negara misalnya seperti Bangsamoro di Filipina dan Pattani di Thailand. Bab IV akan menguraikan bagaimanan keamanan regional di Asia Tenggara dengan melihat pattern of amity/enmity dari konflik dan relasi antar negara yang terjadi di kawasan. Bab V merupakan kesimpulan yang berisi rangkuman pembahasan pada bab-bab terdahulu sekaligus jawaban dan penegasan atas pertanyaan penelitian yang diajukan.

Referensi

Dokumen terkait

Model baru pengesahan ini dapat diterapkan secara online sehingga dalam pelaksanaanya pihak dosen yang mengajukan proposal Hibah Dikti tidak perlu bertemu pihak

Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap pernikahan usia dini pada siswa kelas

Setelah melalui tahap pemisahan khusus untuk gelombang QRS komplek maka akan diperoleh singleton untuk setiap QRS komplek yang muncul, dengan mengukur jarak

koordinat pada sebuah citra digital, menyimpan informasi mengenai intensitas cahaya  warna • Grafika Komputer memproses data menjadi citra,.. proses penggambaran pada

PER 13/MEN/X/2011 tentang Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga

Fasal 7(1) dan 7(2) di dalam perlembagaan ini berkenaan korum dan penangguhan Mesyuarat Agung Tahunan terpakai untuk Mesyuarat Agung Khas, tetapi dengan syarat jika korum

Dalam menggunakan alat pengambilan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut. a) Alat yang dipergunakan untuk mengambil contoh muatan sedimen melayang harus disesuaikan

Mūsų mokslinio tiriamojo darbo tikslas – išvys- tyti informacinės sistemos funkcijas, kad būtų galima prognozuoti elektros sąnaudas išmaniojo būsto sistemoje ir