• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novita Simbolon 1. Institut Agama Kristen Negeri Tarutung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Novita Simbolon 1. Institut Agama Kristen Negeri Tarutung"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 Novita Simbolon, Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung, Indonesia

Email: nsimbolon054@gmail.com

15 |

Pengaruh Disiplin Rohani Keluarga Kristen terhadap Tingkah

Laku Anak Usia 10-11 Tahun Pada Jemaat Gereja HKBP

Paronan Nagodang Ressort Laguboti Tahun 2020

Novita Simbolon1

1Institut Agama Kristen Negeri Tarutung

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh disiplin rohani keluarga Kristen terhadap tingkah laku anak usia 10-11 Tahun Pada Jemaat gereja HKBP Paronan Nagodang Ressort Laguboti Tahun 2020. Penelitian ini menggunakan penelitian Sampel dengan jumlah sampel 31 orang. Uji coba dilakukan kepada 31 responden di luar sampel, yaitu di Gereja HKBP Paronan Nagodang Ressort Laguboti. Uji validitas instrument dengan menggunakan rumus koefisien korelasi product moment Pearson diperoleh semua angket valid. Dari hasil uji signifikan hubungan, diperoleh bahwa 𝑟ℎi𝑡𝑢𝑛g > Nilai 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 8,174 > 2,045 dengan demikian dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variable X dan Variabel Y yaitu hubungan yang signifikan antara Disiplin Rohani Keluarga Kristen dengan Tingkah Laku Anak Usia 10-11 Tahun. Dari uji koefisien determinasi diperoleh 𝑟2 = 0,697 dari nilai determinasi (𝑟2) dapat diketahui persentase pengaruh Disiplin Rohani Keluarga Kristen terhadap Tingkah Laku anak Usia 10-11 Tahun Pada Jemaat Gereja HKBP Paronan Nagodang Ressort Laguboti Tahun 2020 adalah : 𝑟2𝑥 100% = 0,698𝑥100% = 69,8%. Dari hasil hipotesa diperoleh nilai 𝐹ℎi𝑡𝑢𝑛g sebesar 65,64 dan jika dikonsultasikan dengan 𝐹ℎi𝑡𝑢𝑛g=65,64, maka 𝐹ℎi𝑡𝑢𝑛g > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 65,64> 4,17. Maka dari ketentuan tersebut 𝐻0 ditolak dan 𝐻𝑎 diterima yaitu terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Disiplin Rohani Keluarga Kristen terhadap Tingkah Laku anak Usia 10-11 Tahun Pada Jemaat Gereja HKBP Paronan Nagodang Ressort Laguboti Tahun 2020.

Kata kunci : disiplin rohani, tingkah laku anak usia 10-11 tahun

Abstract

This study aims to determine the magnitude of the influence of Christian family spiritual discipline on the behavior of children aged 10-11 years at the HKBP Paronan Nagodang Ressort Laguboti church in 2020. This study used a sample study with a sample size of 31 people. The trial was carried out on 31 respondents outside the sample, namely in the HKBP Paronan Nagodang Ressort Laguboti Church. Test the validity of the instrument using the Pearson product moment correlation coefficient formula. All questionnaires are valid. From the results of the significant relationship test, it is found that there is a significant relationship between the X variable and the Y variable, namely a significant relationship between the Spiritual Discipline of the Christian Family and the Behavior of Children aged 10-11 Years. From the test of the coefficient of determination obtained from the value of determination (it can be seen that the percentage of the influence of the Spiritual Discipline of the Christian Family on the Behavior of Children aged 10-11 Years in the HKBP Paronan Nagodang Ressort

(2)

Laguboti Church in 2020 is:%. From the results of the hypothesis a value of 65.64 is obtained and if it is consulted with = 65.64, it is 65.64> 4.17. Therefore, this provision is rejected and accepted, namely that there is a positive and significant influence between the Spiritual Discipline of the Christian Family on behavior. The behavior of children aged 10-11 years at the HKBP Paronan Nagodang Ressort Laguboti Church congregation in 2020.

Keywords: spiritual discipline, behavior of children aged 10-11 years

PENDAHULUAN

Disiplin rohani adalah aktivitas manusia untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan rohaninya yang dibangun dan dilatih secara berulang ulang hingga menjadi kebiasaan. Disiplin Rohani membawa kita pada suatu hubungan yang dekat dengan Tuhan. Sebagai orang Kristen, kita harus sunguh-sungguh hidup dalam Tuhan dengan menerapkan disiplin rohani. Melatih diri lewat berdoa, saat teduh dan bersekutu merupakan cara untuk membangun disiplin rohani sehingga tercipta relasi yang erat denganNya. Disiplin rohani diperoleh seorang anak pertama sekali dari lingkungan keluarga.

Dampak yang dihasilkan apabila disiplin rohani tidak diterapkan pada anak maka rasa tidak percaya diri, rendah diri akan muncul dalam diri anak dan akan menyebabkan anak akan bersikap semaunya. Anak juga akan kesulitan mengikuti setiap aturan baik di rumah, masyarakat maupun di sekolah karena tidak ada disiplin rohani yang diterapkan orangtua di rumah. Dan Anak akan kesulitan mengontrol emosinya karena tak pernah belajar bagaimana mengontrol emosi dari keluarganya. Menurut BS. Sidjabat (2008:149) bahwa “bersama-sama ke gereja untuk beribadah menanamkan kesan komunitas atau umat orang percaya dan gereja bagi anak”. Di gerejalah anak melihat bagaimana kedua orangtuanya menghormati Allah, berdoa, bernyanyi, mendengarkan khotbah, mengikuti pemahaman Alkitab dan memberi persembahan. Di gereja pula anak mengamati bagaimana orangtua menyapa oranglain sebagai saudara seiman.

Yang dimaksud disini adalah pentingnya peran orangtua dalam membentuk disiplin anak, orangtua yang menjadi dasar bagi seorang anak dalam pengenalan rohani. Keluarga merupakan tempat anak dalam melewati masa-masa pertumbuhannya baik dari segi fisik, emosi, rohani dan sosial. Keluarga Kristen merupakan sebuah keluarga yang menjadikan Kristus sebagai fondasi dan dasar yang kuat dalam keluarganya. Keluarga Kristen yang

(3)

menjadikan Kristus sebagai fondasi utama dalam keluarganya haruslah melaksanakan disiplin rohani. Seluruh firman Allah baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memerintahkan dan menjelaskan bahwa orangtua yang percaya kepada Yesus bertanggung jawab untuk mengajarkan anak-anak sejak kecil tentang kehidupan rohani kepada Allah, pekerjaanNya dan perintahNya (Ul 6:7; 11:19; Ef 6:4; 2 Tim 3:15). Tuhan Allah menetapkan bahwa setiap orangtua patut menunaikan tugas tersebut dengan penuh komitmen dan ketulusan hati. Panggilan utama orangtua adalah membesarkan anak-anak mereka di dalam iman kepada Tuhan.

Secara umum disiplin rohani menyangkut 3 hal yaitu berdoa, membaca firman Tuhan dan melakukan ibadah baik ibadah di rumah, sekolah dan juga gereja. Dalam melakukan disiplin rohani, orangtua harus melatih anak untuk terbiasa melakukan disiplin rohani. Samuel Tarigan (2013 :183) mengatakan “disiplin rohani ini mencakup doa pribadi setiap hari, membaca Alkitab secara konsisten dan sistematis, menghancurkan kebanggaan dan kesombongan, pelayanan, ibadah pribadi dan bersama, menggunakan waktu secara bijaksana, membina hubungan baik dengan setiap orang”. Disiplin rohani berdoa merupakan salah satu disiplin yang harus diterapkan orangtua kepada anak, doa adalah media kita untuk berkomunikasi dengan Tuhan, melalui doa kita dapat menyampaikan rasa syukur dan permohonan kita kepada Tuhan. Orangtua harus mengajarkan kepada anak bahwa doa dapat mempererat hubungan kita dengan Tuhan.

Millard J. Erickson (1990: 525) mengatakan bahwa “Allah tidak bertindak bila manusia tidak memainkan peranannya”. Maka, sangatlah penting bagi anak-anak Tuhan untuk berdoa, karena tanpa doa hasil yang diharapkan tidak akan terjadi. Menurut Pengamatan Penulis selama tinggal di daerah Pardinggaran yang merupakan lokasi yang mayoritas jemaat gereja HKBP Paronan Nagodang bahwa banyak tingkah laku anak yang tidak menunjukkan tingkah laku yang kristiani dengan baik. Sering anak mengucapkan kata-kata yang kurang sopan saat bertengkar dengan temannya, sering lupa membawa Alkitab atau buku kidung pujian saat mengikuti ibadah sekolah minggu, kurang mau mengikuti ibadah sekolah minggu, sering absen saat mengikuti latihan natal, paskah dan keagamaan lainnya, bersikap malu-malu dan bahkan tidak mau saat disuruh berdoa ke depan pada saat sekolah minggu, dan jarang mengikuti ibadah sabtu ceria anak di sekolah minggu serta anak sering

(4)

melakukan tindakan yang tidak disukai oleh temannya dan menyebutkan nama orangtua secara sembarangan saat bertengkar dengan anak yang lain sehingga anak menganggap bahwa orangtua sebaya dengannya. Salah satu penyebab tingkah laku anak yang tidak baik tersebut adalah karena faktor kurangnya disiplin rohani di dalam keluarga yang menjadi tempat belajar anak pertama sekali.

Sidjabat (2008:142) menyatakan bahwa “jika menyangkut masalah rohani keluarga kristen, suami atau ayah dalam keluarga berperan sebagai imam. Sebagaimana fungsi imam, suami mengarahkan anak-anaknya “datang: dan mengenal Allah”. Disamping itu, sang suami juga berperan untuk “memperkenalkan” Allah kepada Anaknya. Agar tugas keimanan itu tercapai, maka orangtua harus menciptakan lingkungan atau suasana yang baik dan mendidik, kemudian menegakkan disiplin yang penuh kasih. Maksudnya adalah di dalam keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Upaya untuk tetap mengajak anak mengenal Allah ini harus pula menjadi gaya hidup dari orang tua baik di rumah maupun di luar rumah

ketika bersama dengan anaknya. Selanjutnya, penulis Amsal menasihatkan orangtua

untuk membimbing anaknya ke jalan yang benar dan tepat bagi anak itu sesuai dengan terang kehendak Pencipta, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak menyimpang dari jalan itu (22:6), artinya disini ada jalan atau cara yang unik bagi setiap anak di dalam mendidiknya. Hal ini perlu mendapat perhatian dari orangtua. Oleh sebab situasi di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas dan melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Disiplin Rohani Keluarga Kristen terhadap Tingkah Laku Anak Usia 10-11 Tahun Pada Jemaat Gereja HKBP Paronan Nagodang Ressort Laguboti”.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian Disiplin Rohani

Dalam kehidupan sehari-hari isitilah disiplin dikaitkan dengan keadaan tertib dan teratur. Istilah Disiplin Rohani sudah dikenal luas di kalangan orang-orang percaya. Secara umum disiplin rohani dipahami sebagai praktek atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka membangun relasi dan komunikasi dengan Tuhan secara pribadi. Untuk melatih diri membutuhkan disiplin. Fitzhugh Dodson (1991:1) mengatakan bahwa “disiplin adalah

(5)

mengajar, bila kita mendisiplinkan anak-anak, kita sebetulnya sedang mengajar mereka dua hal yaitu melakukan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik”. Senada dengan itu Hurlock (2011:81) mengatakan bahwa “disiplin sebagai suatu proses dari latihan atau belajar yang bersangkut paut dengan pertumbuhan dan perkembangan”. Sidjabat (2011; 147) mengatakan bahwa “disiplin mengarah kepada kesediaan belajar agar kita memiliki hati murid, tepatnya hati yang selalu bersedia mengalami dan membawa perubahan (disiple)”. 1 Timotius 4:8 mengatakan “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun hidup yang akan datang”. Sebagaimana dalam latihan badani diperlukan disiplin, dalam hal rohanipun kita memerlukan disiplin dalam melakukan latihan-latihan.

Nur Kholis (2010; 577) mengatakan bahwa “disiplin rohani adalah upaya manusia dalam berproses yang membawa pada transformasi manusia itu sendiri dan membawa pada relasi dengan memberi ruang bagi Roh Allah untuk mengajar (Yoh 16:13)”. Burns Jim (2007;126) mengatakan bahwa “Disiplin rohani adalah nilai yang kita junjung yang bersifat fleksibel dan mampu membuat kita menyesuaikan diri tanpa kehilangan identitas, visi dan misi kehidupan yang diwarnai oleh kasih karunia, kebenaran dan hikmat Tuhan”. Kelli Mahoney dalam tulisannya tentang Spiritual Discipline (Jurnal Theologi Aletheia Vol. 18 No.10, Maret 2016) mengatakan bahwa disiplin rohani sebagai sebuah latihan pikiran dan emosi untuk mendekatkan diri kepada Allah, Karena itu disiplin rohani sebagai upaya atau sarana untuk menumbuh kembangkan sifat karakter serta pola perilaku yang berkaitan dengan kerohanian yang menolong seseorang bertumbuh menuju kepada kedewasaan rohani dan mengalami pembaharuan seara holistik, yang diwujudnyatakan lewat perubahan dalam pikiran, perasaan, dan karakter yang secara bertahap menjadi nyata di dalam perilaku nyata. Alkitab memberikan keterangan mengenai pibadi-pribadi yang karena kedisiplinannya berhasil. Misalnya tokoh Daniel yang muda itu beserta rekan rekannya Sadrakh, Mesakh dan Abednego ketika terbuang ke Babel. Daniel dan kawan-kawan itu memiliki ketetapan hati untuk berdisiplin dalam hal makanan, minuman kerena terkait dengan aturan kepercayaan Ibrani yang dipelajari dari orangtuanya (Dan 1:8;9-17). Mereka berketetapan hati untuk belajar, hormat dan berserah diri kepada Tuhan. Richard J. Foster (2014; 10) mengatakan bahwa disiplin rohani tidaklah sukar, disiplin rohani tidak perlu memiliki pengetahuan tinggi

(6)

mengenai teologi untuk mempraktikkan disiplin-disiplin itu. Syarat utama adalah rindu akan Allah “seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allahku. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup” (Mazmur 42:2,3).

Patrick Morley (2009;140) mengatakan bahwa “disiplin rohani seperti mengecat logam berkarat dengan cat yang baru, tekad saja tidak cukup kecuali itu keluar dari keyakinan,

diekspresikan sebagai penyerahan sejati kepada Tuhan Yesus dan bertujuan untuk lebih

mengandalkan Kristus dan belajar mempercayai Yesus sebagai Tuhan”. Sijabat (2011:171) mengatakan bahwa “agar kualitas rohani bertambah baik, kita harus berupaya memelihara dan menumbuhkan disiplin rohani, ada 3 hal yang dapat menumbuhkan rohani kita yaitu melalui aktivitas doa, melalui nyanyian dan pujian kepada Tuhan serta melalui pembacaan dan perenungan firman Tuhan”. Senada dengan itu, Samuel Tarigan (2013:183) mengatakan bahwa “disiplin rohani ini mencakup doa pribadi setiap hari, membaca Alkitab secara konsisten dan sistematis, menghancurkan kebanggaan dan kesombongan, pelayanan, ibadah pribadi dan bersama, menggunakan waktu secara bijaksana, membina hubungan baik dengan setiap orang”.

Dari Pendapat di atas, maka Penulis menyimpulkan bahwa disiplin Rohani adalah aktivitas manusia untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan rohaninya yang dibangun dan dilatih secara berulang ulang hingga menjadi kebiasaan. Disiplin Rohani membawa kita pada suatu hubungan yang dekat dengan Tuhan. Sebagai orang Kristen, kita harus sunguh-sungguh hidup dalam Tuhan dengan menerapkan disiplin rohani. Melatih diri lewat berdoa, membaca firman Tuhan dan beribadah merupakan cara untuk membangun disiplin rohani sehingga tercipta relasi yang erat denganNya.

Disiplin Rohani dalam Berdoa

Yesus memberikan teladan tentang pentingnya disiplin dalam doa. Dia senantiasa berdoa artinya bercakap-cakap dengan BapaNya bahkan mengambil waktu khusus di tempat sunyi dan mundur dari pekerjaan sehari-hari (Mrk 1:35; 6:46). Kitab Injil menunjukkan kepada kita bahwa Yesus bangun jauh sebelum fajar dan pergi ke suatu tempat sunyi untuk berdoa. Paulus juga menekankan untuk “Tetaplah berdoa”( 1 Tes 5:17). Doa merupakan inti

(7)

pertemuan dan hubungan kita dengan Allah. Tanpa doa tidak ada hubungan bersama, tidak ada komunikasi dan tidak ada pertumbuhan secara rohani. Marjorie L. Thompson (2001; 80) menyatakan bahwa “doa pribadi setiap anggota keluarga yang dilaksanakan setiap hari adalah penting bagi keseluruhan hidup kerohanian keluarga, atas dasar inilah keluarga bertumbuh sesuai dengan rancangan Allah”.

Doa perlu diperagakan dan diajarkan dalam cara-cara yang sangat sederhana di rumah. Karena kita adalah manusia-manusia rohani. Doa sama pentingnya dengan nafas kita. Salah satu bentuk kebiasaan doa adalah doa biologis. Anak-anak yang senang bicara biasanya merasa nyaman dengan melakukan doa dialogis. Doa dialogis membantu anak-anak dan orang dewasa mengerti bahwa doa tidak memerlukan kata-kata dan kalimat yang khusus, doa dialogis adalah cara berkomunikasi sederhana yang menyentuh hati Allah. Doa bermanfaat bagi orangtua dalam membantu anak- anak mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka kepada anggota keluarga lainnya.

Disiplin Rohani dalam Ibadah

Disiplin Rohani dalam ibadah melalui bernyanyi dan memuji Tuhan juga sangat penting dalam kehidupan kita. Menyanyi dan memberikan pujian merupakan satu cara kita mengekspresikan sikap, perasaan, dan pikiran kita kepada Tuhan. Paulus menasihatkan jemaat di Kolose untuk melakukan perkara itu (kol 3:15-16). Sri Lestari (2012; 168) menyatakan bahwa semua orang tua mengajarkan beribadah kepada anak sesuai dengan harapan yang mereka miliki yakni anak-anaknya menjadi anak yang mempunyai tingkah laku baik.

Dari keluarga yang taat dalam beribadah, orangtua terlebih dahulu memberikan contoh pada anak dalam melaksanakan ibadah, baru kemudian menasehati anak melakukannya. Nasihat tersebut juga diikuti dengan pemantauan dan control terhadap pelaksanaan ibadah yang dilakukan anak. Apabila anak belum melakukan ibadah ketika waktunya tiba, orangtua mengingatkan anak agar segera menunaikan ibadah.

(8)

Disiplin Rohani dalam membacadan merenungkan Firman Tuhan

Yesus berkata “Yang berbahagia adalah mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya (Luk 11:28)”. Jadi kita perlu membaca dengan cermat untuk mendengarkan hal yang disampaikan Alkitab supaya menjadi renungan pikiran dan hati. Alkitab berbicara

bahwa kejadiannya merupakan pekerjaan roh Kudus melalui para penulis atau

pengarang. Prosesnya sangat panjang. Roh itulah yang membimbing, menuntun, mengarahkan mereka dalam penulisan meskipun kepribadian dan kreativitas mereka dalam gaya penulisan tidak dipadamkan (2 Petrus 1:20). karena itu seluruh Alkitab dapat dipercaya sebagai sabda Allah yang tertulis. Tidak ada pesan yang salah dalam Alkitab. Seluruh isi Alkitab berguna untuk mengajar, menyatakan kesalahan dan mendidik ruang dalam kebenaran. Salah satu contoh orantgua yang menerapkan disiplin rohani ditengah- tengah keluarganya yaitu ibu dari dari Timotius yaitu Eunike Timotius merupakan anak yang berasal dari budaya atau agama yang berbeda. Timotius tumbuh besar di kota Listra sebagai anak dari wanita Yahudi Eunike ( 2 Tim 1:5).

Upaya Keluarga Kristen dalam Membentuk Disiplin Rohani Anak

Menurut Marjorie L. Thompson (2001; 80) menyatakan bahwa “keluarga merupakan suatu konteks tempat kita belajar dengan cara yang paling praktis dan konkret untuk mengasihi orang-orang lain”. Dalam keluarga kita saling terikat oleh janji kehidupan, hubungan darah, atau komitmen pribadi yang utuh yang dinyatakan dalam suatu pengadopsian. Mempraktikkan kasih dalam keluarga bukanlah hal yang mudah, keluarga dituntut untuk berupaya secara terus- menerus. Sidjabat (2013; 180) mengatakan bahwa “jika orangtua sungguh-sungguh mengasihi anaknya, mereka juga harus mendisiplinkan anaknya, kasih tanpa disiplin mengakibatkan munculnya rasa sentimen atau ketidakpedulian”. Karena kasihnya, ada juga orangtua yang tidak tegas menetapkan aturan- aturan yang harus dipatuhi anak demi pembentukan sikapnya.

Burns Jim (2007;107) mengatakan bahwa “anak-anak membutuhkan disiplin tetapi mereka

juga memerlukan kata-kata penguatan. Artinya orangtua harus memberitahukan dan

memberi petunjuk cara melakukan hal-hal yang benar .Dari uraian pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa upaya keluarga Kristen dalam membentuk disiplin rohani anak yaitu melalui :

(9)

1. Orangtua harus penuh tanggung jawab dan tegas dalam mendisiplinkan rohani anak serta menerapkan kasih dalam penerapan disiplin keluarga pada anak.

2. Orangtua memberikan pengasuhan fisik, emosional, mental dan rohani kepada anak 3. Orangtua mendisiplinkan anak dengan penuh kasih karena kasih tanpa disiplin

mengakibatkan munculnya rasa sentimen atau ketidakpedulian. Pengertian Tingkah Laku

Menurut Poerwadarminta yang dikutip dalam Pasaribu (2015:84-85) mengatakan bahwa “tingkah laku merupakan perangai atau kelakuan, termasuk juga perbuatan maupun budi bahasa seseorang yang nampak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari”. Menurut Uno yang dikutip oleh Pasaribu (2015:85) “tingkah laku sama dengan perilaku, dan tingkah laku berasal dari kata tingkah dan laku”. Laku berarti perbuatan, kelakuan, cara menjalankan atau berbuat. Tingkah lakuatau perilaku adalah tindakan atau perbuatan yang digerakkan oleh kerangka moral tertentu. Menurut Uno yang dikutip oleh Pasaribu (2015:85) mengemukakan bahwa “tingkah laku sama dengan perilaku dan tingkah laku berasal dari kata tingkah dan laku”.

Senada dengan itu, menurut Walgito yang dikutip oleh Pasaribu (2015:85) “tingkah laku atau perilaku adalah aktivitas-aktivitas yang tidak timbul dengan sendirinya, tetapi juga akibat dari rangsangan yang mengenainya”.

Karakteristik Tingkah laku anak usia 10 - 11 Tahun

Tahap usia ini disebut juga sebagai usia kelompok (gangage) dimana anak mulai mengalihkan perhatian dan hubungan intim dalam keluarga ke kerjasama antar teman dan sikap-sikap terhadap kerja atau belajar. Sementara itu Kristianto (2006:92) menyatakan bahwa “Pertumbuhan anak pada usia 9-11 tahun ini secara fisik masih kelas 4-6 sudah berlimpah energi, mereka aktif dan tidak pernah lelah. Mereka memiliki kesehatan yang luar biasa dan senang bermain di luar rumah”. Pada usia ini, pengaruh lingkungan menjadi lebih luas, teman- teeman bertambah. Anak harus memahami alasan-alasan sesuatu perbuatan dilarang dan tidak boleh dilakukan. Orangtua harus menjelaskan alasan-alasan sesuatu perbuatan yang dilarang dengan mengajak berpikir bersama. Pada waktu berbicara dengan anak harus memperhatikan persiapan pada anak artinya anak tidak lagi merasa kesal, kecewa atau ditekan dan juga pada orangtua tidak lagi dikuasai oleh emosi kemarahan.

(10)

Menurut Prof. Dr. Singgih Gunarsa (1991:64-65) bahwa seorang anak dapat belajar untuk bertingkah laku melalui beberapa cara yaitu :

1. Melalui pengajaran langsung atau melalui instruksi-instruksi, dimana anak diajarkan untuk mengenal dan mematuhi aturan- aturan yang diberikan oleh orangtua atau orang lain yang mempunyai otoritas. Melalui apa yang telah dipelajari anak di rumah atau pada situasi tertentu, diharapkan anak dapat menerapkannya juga pada situasi lain yang lebih luas, yang tidak diawasi sekalipun.

2. Melalui identifikasi, karena seorang anak cenderung mengindentifikasikandiri dengan seorang tokoh atau model misalnya orangtuanya, maka anak cenderung mencontoh tingkah laku tersebut. Seringkali hal ini terjadi secara tidak disadari. Anak yang umumnya mengidentifikasi diri dengan orangtua, apabila ia sering melihat orangtuanya berbicara kasar maka anak cenderung meniru tingkah laku ini.

3. Melalui proses coba salah, anak belajar mengembangkan tingkah lakunya dengan

mencoba-coba suatu tingkah laku. Anak melihat apakah dengan ia bertingkah laku tertentu, lingkungan akan menerimanya atau menolaknya. Tingkah laku yang

mendatangkan pujian dari lingkungannya akan dikembangkan oleh anak sementara terhadap tingkah lakunya yang mendatangkan hukuman, anak mencari dan mencoba

tingkah laku lain yang kirangnya bisa diterima.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkah laku

Menurut Collins dan Fontenelle (1992:62-64) mengatakan bahwa ada 3 faktor yang memengaruhi tingkah laku sisiwa yaitu orangtua, keteladanan guru dan teman sebaya. Dari pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa ada 3 faktor yang memengaruhi tingkah laku anak, alasan penulis menyimpulkan bahwa ada 3 faktor yang memengaruhi tingkah laku siswa adalah karena ketiga faktor ini sudah mencakup pendapat para ahli di atas. Ketiga faktor tersebut adalah lingkungan keluarga, Lingkungan sekolah dan Lingkungan masyarakat.

Ciri-ciri Tingkah Laku anak Kristen

Seorang anak yang dibesarkan di keluarga Kristen diharapkan memiliki tingkah laku Kristiani. Tingkah laku Kristiani artinya memiliki tingkah laku yang meneladani Yesus yang diwujudkan dalam kehidupan sehari- hari. Disiplin rohani keluarga Kristen diharapkan mampu memengaruhi tingkah laku anak dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa yang menjadi indikator tingkah laku anak Kristen adalah pendapat Scanders. Alasan penulis memilih pendapat Scanders adalah karena kriteria tingkah laku

(11)

anak tersebut lebih sering nampak dalam kehidupan sehari-hari anak usia 8-11 tahun. Adapun indikator tingkah laku anak Kristen tersebut yaitu :

1. Bijaksana

Poerwadarminta (1996;138) mengatakan bahwa “Bijaksana berarti selalu menggunakan akal budinya (pengalaman/pengetahuannya)”. Orang yang bijaksana sebelum bertindak terlebih dahulu berpikir dengan matang sehingga tindakan yang dihasilkan tidak menyimpang dari aturan yang ada, orang yang bijaksana akan tahu mana yang dapat dilakukan Dari nas tersebut penulis menyimpulkan bahwa orang yang bijaksana tidak hanay mendengar Firman Tuhan tetapi juga melakukan Firman tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

2. Sopan

Poerwadarminta (1996;960) mengatakan bahwa “sopan berarti memiliki rasa hormat”. Sopan memiliki tata krama. Sikap sopan dapat ditunjukkan oleh anak misalnya dari segi bahasa yang ia gunakan. Sunarto dan Hartono (2002:138) mengatakan bahwa “perkembangan bahasa anak dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat tempat ia tinggal”.

3. Berani

Poerwadarminta (1996;124) mengatakan bahwa “berani adalah sifat batin (hati) yang tidak takut menghadapi bahaya”. Berani juga berarti mempertahankan dan memperjuangkan yang dianggap benar. Orang yang mempunyai keberanian akan mampu bertindak tanpa dibayangi rasa takut. Tuhan Yesus juga menekankan betapa pentingnya memiliki jiwa pemberani.

4. Rendah hati

Menurut Poerwadarminta (1996;124) bahwa “rendah hati berarti tidak sombong”. Menurut penulis rendah hati merupakan sikap yang mau mengakui bahwa masih ada orang lain yang lebih baik daripada dia. Orang- orang yang rendah hati akan selalu menghormati siapapun tanpa melihat umur, jabatan maupun kedudukan. Hal ini dapat kita lihat dalam 1 Petrus 5:5 “demikian jugalah kamu, hai orang- orang muda, tunduklah kepada orang- orang yang tua. Dan kamu semua, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati”.

5. Sabar

Poerwadarminta (1996;424) mengatakan bahwa “Sabar berarti tidak lekas marah, tidak patah hati, dan tidak putus asa”. Ciri-ciri orang yang sabar adalah tahan menghadapi cobaan, tidak cepat marah, tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu dan sebagainya. Elisabeth B.Hurlock (2012; 154) mengatakan bahwa “anak-anak usia 8- 11 tahun atau usia akhir masa kanak- kanak mengungkapkan amarahnya dalam bentuk , murung, menggerutu dan berbagai ungkapan kasar”.

6. Setia

Poerwadarminta (1996;936) mengatakan bahwa “setia berarti tetap dan teguh hati, patuh dan taat”. Ciri-ciri yang setia adalah berpegang teguh janji , pendirian, patuh, taat tetap menjalankan tugas, tetap menepati janji dan sebagainya.

7. Bertanggungjawab

Menurut Poerwadarminta (1996;1014) mengatakan bahwa “bertanggung jawab berarti berkewajiban menanggung dan memikul tugas yang diberikan kepadanya”. Mohamad

(12)

Mustari, Ph.D. (2014;25) mengatakan bahwa di rumah, apabila kita bisa mencontohkan diri kita sebagai orang yang bertanggung jawab, anak-anak pun akan meniru kita dan mereka tidak akan ada masalah dalam menjalani tanggung jawab mereka.

KESIMPULAN DAN SARAN

Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk mempelajari dan melatih disiplin rohaninya. Dengan demikian, orangtua mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mendidik anak-anaknya untuk semakin dewasa baik secara jasmani maupun secara rohani. Sejak dini, anak harus dilatih dalam membangun disiplin rohani. Namun, ada juga orangtua yang justru membiarkan anaknya dan memberikan kebebasan tanpa menerapkan pola disiplin rohani di dalam kehidupan anaknya.

Dalam hal ini, orangtua harus menjadi peran utama dalam melaksanakan disiplin rohani kepada anak. Menurut Hutabarat (2006;26) bahwa “Tingkah laku yang diharapkan adalah tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan ajaran agama yang positif seperti mengasihi sesame, taat/patuh, rajin beribadah dan suka menolong”. Menurut Douma (2010;78-80) mengatakan bahwa ada beberapa contoh tingkah laku yang sesuai dengan gaya hidup Kristen yaitu :

1. Seorang Kristen percaya kepada Allah yang dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari dan kepercayaan itu dinyatakan dalam beberapa bentuk yang khas yaitu dengan merayakan hari minggu sebagai hari yang khusus, selalu berdoa dan mengucap syukur, membaca Alkitab dan menyampaikan mazmur- mazmur.

2. Seorang Kristen memiliki kesopanan dalam bertutur kataseperti tidak menggunakan nama Allah dengan sembarangan, tidak akan berkata kasar, ramah tamah dan tidak berbicara kotor.

3. Seorang Kristen tahu bahwa ia selalu mencari kerajaan Allah (Mat 6:33). Artinya bahwa dalam praktek sehari-hari ia lebih memilih melakukan kehendak Tuhan daripada yang lain.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: Rineka Cipta.

Burns, Jim. 2007. Mantap Berperan Sebagai Orangtua. Yogyakarta: Gloria Graffa.

Collins, dkk. 1992. Mengubah Perilaku Siswa (Suatu pendekatan Positif). Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Douma, J. 2010. Kelakuan Yang Bertanggung Jawab. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Fitzhugh Dodson. 1991. Mendisiplinkan Anak dengan Kasih Sayang. Jakarta: Bpk Gunung Mulia.

Abinego. 1992. Doa menurut Kesaksian Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gunarsa. 2000. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, Dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung

Mulia.

Gunarsa D. Singgih dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa. 1991. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Handoko, Martin. 2010. Bimbingan dan Konseling. Jakarta, Gramedia Pustaka.

Homrighausen dan Enklaar. 2011. Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hutabarat, Oditha. 2006. Pedoman Untuk Guru. Bandung: BMI.

Hurlock B, Elisabeth. 2012. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. J. Richard Foster. 2014. Tertib Rohani. Malang: Gandum Mas.

Kelli Mahoney. Spiritual Discipline. Jurnal Theologi Aletheia Vol. 18 No.10, Maret 2016. Nur Kholis Setiawan. 2010. Meniti Kalam Kerukunan 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga. Jakarta: Kencana.

Mustari Mohammad, Ph.D., 2014. Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan. Jakarta: Grafindo Persada.

Morley, Patrick. 2009. Kebiasaan Agar Tumbuh dalam Kristus. Malang: Gandum Mas. Nana Syaodih Sukmadinata. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

(14)

Pasaribu, A.G. 2015. Aplikasi Kompetensi Guru Pendidikan Agama Kristen yang Alkitabiah. Medan: Mitra.

Poerwadarminta, W,J,S. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Santrock, W. 2007. Jhon. Perkembangan Anak. Jakarta. Erlangga.

Sidjabat B.S. 2011. Membangun Pribadi Unggul. Yogyakarta: Andi. Sidjabat B.S. 2008. Membesarkan Anak dengan Kreatif. Yogyakarta: Andi. Sudjana, Nana. 2016. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono, 2013. Metode penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Thompson, L. Marjorie. 2001. Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan. Jakarta: Bpk Gunung

Referensi

Dokumen terkait

Tentukan point (pergerakan/perubahan point) yang terjadi selama tick 1 sampai tick tertinggi yang kita tentukan, misal pointnya adalah 0.3 maka ini berarti jika pada tick ke 4 atau

Pada pemeriksaan RT-PCR untuk deteksi virus Dengue-3 pada nyamuk yang diin- feksi secara intrathorakal, terdapat variasi dalam volume RNA virus yang digunakan dan juga

Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan untuk berobat jalan di Provinsi Jawa Barat adalah status pekerjaan dan pendapatan

Berdasarkan Tabel 3 diketahui pengaruh teknik relaksasi benson terhadap pemenuhan kebutuhan tidur pada lanjut usia di di Pos Pelayanan POSYANDU Lansia Srikandi

Hasil dari penelitian menganalisis Investment Opportunity Set, Sales Growth, Kebijakan Hutang terhadap Kebijakan Dividen pada perusahaan yang terdaftar di Indeks LQ45 tahun

(1) Kepala Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a mempunyai tugas memimpin, mengoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan otonomi daerah di bidang

Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui pemberian terapi maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma termasuk glukokortikosteroid oral dan

Seperti yang telah diuraikan pada Bab I tentang tujuan yang ada dalam penelitian yaitu untuk mendeskripsikan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII pada materi