• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Winardi (2001) dan Hasibuan (1996) istilah motivasi (motivation)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Winardi (2001) dan Hasibuan (1996) istilah motivasi (motivation)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Motivasi

2.1.1 Pengertian Motivasi

Menurut Winardi (2001) dan Hasibuan (1996) istilah motivasi (motivation) berasal dari bahasa latin yakni movere, yang berarti “dorongan” atau “menggerakan”. Kata dasar motivasi adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan agar dapat bekerja secara optimal untuk mencapai serta mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang mau dan rela mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang ditentukan (Siagian, 2003). Sedangkan Harold Koontz dalam Hasibuan (1996), menambahkan bahwa motivasi mengacu pada dorongan dan usaha untuk memuaskan kebutuhan atau pencapaian suatu tujuan.

Gibson et.al (1996), menyatakan bahwa motivasi sebagai suatu dorongan yang timbul pada atau di dalam diri seorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Oleh karena itu, motivasi dapat berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan atau kegiatan.

(2)

Berdasarkan pada beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah kondisi yang menggerakan atau mendorong seseorang untuk memuaskan kebutuhan dan mencapai tujuan.

2.1.2 Teori Motivasi

Menurut Gibson et.al. (1996), teori motivasi dikelompokan pada 2 (dua) kategori :

1. Teori Kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor dalam diri seseorang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain) dan menghentikan (stop) perilaku.

2. Teori Proses (Process Theory) menguraikan dan menganalisis bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.

Lebih lanjut Gibson et.al. (1996), mengelompokkan teori motivasi sebagai berikut :

1. Teori Kepuasan terdiri dari :

a. Teori Hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow b. Teori Dua Faktor dari Frederick Herzberg

c. Teori ERG (Existence, Relatednes, Growth) dari Alderfer d. Teori Kebutuhan dari McClelland

2. Teori Proses terdiri dari : a. Teori Harapan

(3)

c. Teori Keadilan

Lebih jelas berikut ini dipaparkan teori tentang motivasi yang dikemukakan di atas sebagai berikut :

a. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow

Teori ini dikemukakan oleh Abraham Maslow tahun 1943. Teori ini menyatakan bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki atau urutan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut di definisikan sebagai berikut :

1. Fisiologi (Phisiological Needs), antara lain kebutuhan makanan, minuman, tempat tinggal, dan bebas dari sakit (disebut kebutuhan paling dasar).

2. Keamanan, Keselamatan (Safety and Security Needs), antara lain bebas dari ancaman diartikan sebagai aman dari peristiwa atau lingkungan yang mengancam. 3. Rasa Memiliki, sosial dan cinta (Belongingness, Sosial and Love) antara lain

persahabatan, afiliasi, interaksi, dan cinta.

4. Harga Diri atau Penghargaan (Esteem), antara lain status, titel, promosi, pengakuan dan perhatian.

5. Aktualisasi Diri (Self Actualization), antara lain memenuhi kebutuhan diri sendiri dengan cara maksimal menggunakan kemampuan, keahlian, dan potensi.

Teori Maslow mengasumsikan bahwa manusia akan berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih mendasar (kebutuhan fisiologi) sebelum mengarahkan perilaku untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Teori ini juga didasarkan atas anggapan bahwa menusia memiliki keinginan untuk berkembang dan maju.

(4)

b. Teori Dua Faktor dari Herzberg

Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Menurut teori ini ada dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau instrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik, yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang (Siagian, 2003).

c. Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer

Menurut teori ERG dari Clayton Alderfer, ada 3 (tiga) kebutuhan pokok manusia yaitu: 1).Existence (eksistensi); Kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-faktor keberadaan materil dasar seperti makanan, air, udara (kebutuhan psikologis dan keamanan). 2).Relatednes (keterhubungan); Kebutuhan yang dimiliki untuk memelihara hubungan antar pribadi (kebutuhan sosial dan penghargaan). 3).Growth (pertumbuhan); Kebutuhan intrinsik untuk perkembangan pribadi (kebutuhan aktualisasi diri).

Berbeda dengan teori Maslow, teori ERG tidak berasumsi bahwa terdapat sebuah hirarki yang kaku dimana seseorang harus memenuhi kebutuhan tingkat rendah terlebih dahulu sebelum naik ke tingkat selanjutnya. ERG menunjukan bahwa

(5)

seseorang bisa mengusahakan kebutuhan pertumbuhan meskipun kebutuhan dasar dan hubungan belum terpenuhi (Robbins, 2008).

d. Teori Kebutuhan dari McClelland

Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut Mc.Clelland dalam Hasibuan (1996), adalah :

1. Kebutuhan Akan Prestasi (Need for Achievement).

Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang maksimal. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan memperoleh pendapatan yang besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

2. Kebutuhan Akan Kekuasaan (Need for Power)

Kebutuhan akan kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang, yang dapat merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Ego seseorang yang ingin lebih berkuasa dari orang lain dapat menimbulkan persaingan. Persaingan ini oleh manajer dapat ditumbuhkan secara sehat dalam memotivasi bawahannya agar dapat lebih termotivasi untuk bekerja lebih giat.

(6)

3. Kebutuhan Akan Afiliasi (Need for Affiliation)

Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang. Karena kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah bekerja seseorang yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta.

e. Teori Harapan (Expectancy Theory)

Teori harapan ini dikemukan oleh Victor H. Vroom. Teori ini berpendapat bahwa orang-orang atau petugas akan termotivasi untuk bekerja atau melakukan hal-hal tertentu jika mereka yakin bahwa dari prestasinya itu mereka akan mendapatkan imbalan besar. Seseorang mungkin melihat jika bekerja dengan giat kemungkinan adanya suatu imbalan, misalnya kenaikan gaji, kenaikan pangkat dan inilah yang menjadi perangsang seseorang dalam bekerja dengan giat.

f. Teori Modifikasi Perilaku (Operant Conditioning)

Teori ini berasumsi bahwa perilaku pegawai dapat dibentuk dan diarahkan kearah aktivitas pencapaian tujuan. Teori modifikasi perilaku sering disebut dengan istilah-istilah lain seperti : behavioral modification, positive reinforcement dan skinerian conditioning. Menurut Siagian (2003) perilaku seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekuensi eksternal dari perilaku, artinya berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu atau bahkan pengubah perilaku. Dalam hal ini berlakulah “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa seseorang cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekuensi yang menguntungkan

(7)

dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi yang merugikan.

g. Teori Keadilan (Equity Theory)

Teori motivasi ini didasarkan pada asumsi bahwa pegawai akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, apabila ia diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya. Keadilan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang, dalam hal ini atasan harus bertindak adil terhadap semua bawahannya bukan atas dasar suka atau tidak suka serta pemberian kompensasi atau hukuman harus berdasarkan atas penilaian yang objektif dan adil (Hasibuan, 1996).

Dari pembahasan tentang berbagai teori motivasi maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah keseluruhan daya penggerak atau tenaga pendorong baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri yang menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas dalam menjalankan tugas untuk mencapai tujuan.

Pada penelitian ini digunakan teori motivasi dua faktor yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg, yang mengemukakan ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik, yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang.

(8)

2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Motivasi

Faktor motivasi dikelompokan menjadi dua, yang pertama disebut faktor intrinsik dan yang kedua adalah faktor ekstrinsik.

Faktor-faktor motivasi dua faktor Herzberg dalam Meliala (2011) yang mengutip pendapat Hasibuan (2005), yang disebut faktor intrinsik meliputi :

1) Tanggung Jawab (Responsibility)

Setiap orang ingin diikutsertakan dan ingin diakui sebagai orang yang berpotensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar.

2) Prestasi yang Diraih (Achievement)

Setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya.

3) Pengakuan Orang Lain (Recognition)

Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompensasi.

4) Pekerjaan itu Sendiri (The Work it Self)

Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai,

(9)

merupakan faktor motivasi, karena keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi.

5) Kemungkinan Pengembangan (The possibility of growth)

Karyawan hendaknya diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya misalnya melalui pelatihan-pelatihan, kursus dan juga melanjutkan jenjang pendidikannya. Hal ini memberikan kesempatan kepada karyawan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya yang akan mendorongnya lebih giat dalam bekerja.

6) Kemajuan (Advancement)

Peluang untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang pegawai dalam melakukan pekerjaan, karena setiap pegawai menginginkan adanya promosi kejenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalaman dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik.

Sedangkan yang berhubungan dengan faktor ketidakpuasan dalam bekerja menurut Herzberg dalam Luthans (2003), dihubungkan oleh faktor ekstrinsik antara lain :

1). Gaji

Tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem

(10)

kompensasi yang realitis dan gaji bila digunakan dengan benar akan memotivasi pegawai.

2). Keamanan dan Keselamatan Kerja

Kebutuhan akan keamanan dapat diperoleh melalui kelangsungan kerja. 3). Kondisi Kerja

Dengan kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh peralatan yang memadai, karyawan akan merasa betah dan produktif dalam bekerja sehari-hari.

4). Hubungan Kerja

Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh suasana atau hubungan kerja yang harmonis antara sesama pegawai maupun atasan dan bawahan.

5). Prosedur Perusahaan

Keadilan dan kebijakasanaan dalam mengahadapi pekerja, serta pemberian evaluasi dan informasi secara tepat kepada pekerja juga merupakan pengaruh terhadap motivasi pekerja.

6). Status

Merupakan posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota kelompok dari orang lain. Status pekerja memengaruhi motivasinya dalam bekerja. Status pekerja yang diperoleh dari pekerjaannya antara lain ditunjukkan oleh klasifikasi jabatan, hak-hak istimewa

(11)

yang diberikan serta peralatan dan lokasi kerja yang dapat menunjukkan statusnya.

2.1.4 Perangsang Motivasi

Azwar (2010) mengemukakan bahwa perangsang (insentive) motivasi adakalanya dibutuhkan atau perlu agar seseorang bersedia melakukan hal-hal seperti yang diharapkan. Perangsangan motivasi ini dibedakan atas dua macam yaitu :

a. Perangsang Positif

Perangsang Positif (positive incentive) ialah imbalan yang menyenangkan yang disediakan untuk karyawan yang berprestasi. Rangsangan positif ini banyak macamnya, antara lain hadiah, pengakuan, promosi dan ataupun melibatkan karyawan tersebut pada kegiatan yang bernilai gengsi yang lebih tinggi.

b. Perangsangan Negatif

Perangsangan negatif (negative incentive) ialah imbalan yang tidak menyenangkan berupa hukuman bagi karyawan yang tidak berprestasi dan ataupun yang berbuat tidak seperti yang diharapkan. Perangsangan negatif ini antara lain denda, teguran, pemindahan tempat kerja (mutasi) dan ataupun pemberhentian.

2.1.5 Manfaat Motivasi

Arep dan Tanjung (2003), menyatakan bahwa manfaat motivasi yang terutama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang

(12)

termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang ditetapkan dan dalam skala waktu yang ditentukan serta orang akan senang melakukan pekerjaannya.

Sesuatu yang dikerjakan dengan adanya motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang melakukannya. Orang pun akan merasa dihargai atau diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi untuk menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi.

2.2 Karakteristik Individu

Karakteristik individu merupakan faktor yang menggerakkan dan memengaruhi prilaku dan prestasi kerja. Menurut Gibson (1996) dan Sunarto (2003), karakteristik individu meliputi Umur, Jenis kelamin, Lama kerja dan Pendidikan. Lebih jelas, berikut ini akan dipaparkan karekteristik individu tersebut :

1. Umur

Umur adalah lamanya hidup dihitung sejak dilahirkan hingga saat ini. Umur berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan. Berdasarkan Lubis (2009) yang mengutip pendapat Ericson (1950), umur usia produktif pada usia dewasa muda (20-40 tahun), usia dewasa matang (40-60 tahun) pada usia ini diharapkan usia telah mapan dan tingkat kedisiplinan terhadap pekerjaan baik, dan usia lanjut pada usia > 60 tahun.

(13)

Robbins (2008) mengungkapkan bahwa ada kualitas positif pada pekerja yang berusia tua, meliputi pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan karakteristik individu yang dibedakan antara laki-laki/pria dan perempuan/wanita yang dilihat secara fisik. Sunarto (2003) mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan analisis dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas, atau kemampuan belajar. Sementara studi psikologis telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada wanita dalam memiliki pengharapan untuk sukses.

3. Lama Kerja

Lama kerja merupakan masa atau lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Lama kerja diekspresikan sebagai pengalaman kerja (Sunarto, 2003). Lebih lanjut, Soekidjo (2005) menyatakan bahwa pengalaman adalah guru yang baik, oleh sebab itu pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau cara untuk memperoleh pengetahuan seperti pengalaman pribadi.

4. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang berlangsung seumur hidup dalam rangka mengalihkan pengetahuan oleh seseorang kepada orang lain.

(14)

Pendidikan dapat bersifat formal, akan tetapi dapat bersifat non formal. Pendidikan yang bersifat formal ditempuh melalui tingkat-tingkat pendidikan, mulai dari sekolah taman kanak-kanak hingga bagi sebagian orang pendidikan di lembaga pendidikan tinggi, terjadi di ruang kelas dengan program yang pada umumnya bersifat “structured”. Dipihak lain, pendidikan yang sifatnya non formal dapat terjadi di mana saja karena sifatnya yang “ unstructured”. Pada kedua situasi pendidikan itu, pengalihan pengetahuan dan ketrampilan tetap terjadi (Siagian, 1992)

Sasaran pendidikan bukan hanya pengalihan pengetahuan dan ketrampilan saja, akan tetapi pembinaan watak (character building), yang dimaksudkan antara lain untuk mengembangkan kemampuan berfikir secara rasional, mengembangkan kemampuan analisis, mengembangkan kepekaan terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai etika, menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya bekerja sama dengan orang lain dalam rangka membina kehidupan. Jadi jelaslah bahwa pendidkan memainkan peran yang sangat penting dalam pembentukan perilaku (Siagian, 1992).

2.3 Kepatuhan

Kepatuhan (compliance) berasal dari kata patuh yang berarti suka menurut, taat pada perintah, aturan, dan disiplin. Selanjutnya, kepatuhan adalah taat atau tidak taat pada perintah, aturan atau disiplin (Ridwan, 2012).

Kelman dalam Sarwono (1997) mengemukakan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian

(15)

internalisasi. Kepatuhan dapat didasarkan karena ingin menghindari hukuman/sangsi, atau ingin memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran. Kepatuhan seperti ini adalah kepatuhan sementara. Sedangkan kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan dimana seseorang memahami makna, dan mengerti akan pentingnya suatu tindakan atau suatu keadaan.

2.4 Dokter

2.4.1 Profesi Dokter

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa dokter adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun diluar negeri yang diakui Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Meliala (2011) yang mengutip pendapat Iswandari (2006), strategi WHO yang dikenal dengan sebutan Five Stars Doctor dimana setiap dokter diharapkan dapat berperan :

a. Sebagai health care provider yang bermutu, berkesinambungan dan komprehensif dengan mempertimbangkan keunikan individu, berdasarkan kepercayaan dalam jangka panjang.

b. Sebagai decision maker yang mampu memilih teknologi yang tepat dengan pertimbangan etika dan biaya.

(16)

c. Sebagai communicator yang mampu mempromosikan gaya hidup sehat melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) serta memberdayakan masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

d. Sebagai community leader, yang mampu memperoleh kepercayaan, membangun kesepakatan tentang kesehatan serta berinisiatif meningkatkan kesehatan bersama. e. Sebagai manager yang mampu menggerakkan individu dan lingkungan demi

kesehatan bersama dengan menggunakan data yang akurat.

2.4.2 Hak Dokter

Menurut Hanafiah dan Amir (2008), dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran mempunyai hak, antara lain :

1. Melakukan praktik dokter setelah memperoleh Surat Izin Dokter dan Surat Izin Praktik (SIP).

2. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga tentang penyakitnya.

3. Bekerja sesuai standar profesi.

4. Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum, agama, dan hati nuraninya.

5. Mengakhiri hubungan dengan seorang pasien jika menurut penilaiannya kerja sama pasien dengannya tidak berguna lagi, kecuali dalam keadaan darurat.

6. Menolak pasien yang bukan bidang spesialisasinya, kecuali dalam keadaan darurat atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya.

(17)

7. Hak atas kebebasan pribadi (privacy) dokter. 8. Hak atas ketentraman bekerja.

9. Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter. 10. Menerima imbalan jasa.

11. Menjadi anggota perhimpunan profesi. 12. Hak membela diri.

2.4.3 Kewajiban Dokter

Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa kewajiban dokter adalah :

1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

2. Merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. 3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga

setelah pasien itu meninggal dunia.

4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin pada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.

5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. 6. Meminta persetujuan pada setiap melakukan tindakan kedokteran, khusus untuk

(18)

dimintakan setelah dokter menjelaskan tentang : diagnosa, tujuan tindakan, alternatif tindakan, risiko tindakan, komplikasi dan prognose.

7. Membuat catatan rekam medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien.

8. Memenuhi hal- hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.

9. Bekerjasama dengan profesi dan pihak lain yang terkait secara timbal balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

10. Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik dokter.

11. Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter.

12. Dokter yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter pengganti.

13. Wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya dalam memberikan pelayanan kesehatan.

14. Wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter dan kode etik kedokteran Indonesia.

2.4.4 Obat

Kebijakan Obat Nasional (KONAS) menyatakan bahwa obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,

(19)

pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Sedangkan menurut Tjay dan Rahardja (2002), obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit berikut gejalanya. Dalam pengertian umum, obat adalah substansi yang melalui efek kimianya membawa perubahan dalam fungsi biologik.

Idris (2008), mengemukakan bahwa secara internasional obat hanya dibagi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

a. Obat Paten

Merupakan obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.

b. Obat Generik

Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik (generik = nama zat berkhasiatnya). Obat generik dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik berlogo dan generik bermerek. Obat generik berlogo (OGB) yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat

(20)

berkhasiatnya dan mencantumkan logo generik pada kemasan obat, sedangkan obat generik bermerek yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.

2.4.4.1 Obat Generik

Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non-Proprietary Names (INN) yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik merupakan obat yang masa patennya sudah habis, sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalti. Selanjutnya, obat generik adalah program pemerintah Indonesia yang bertujuan memberikan alternatif obat bagi seluruh lapisan masyarakat, dengan kualitas obat yang terjamin, serta harga yang terjangkau. Obat generik biasanya dikenal dari logo yang menjadi ciri khasnya, dikenal sebagai Obat generik Berlogo (OGB). Logo OGB adalah lingkaran hijau bergaris putih dengan tulisan “generik” di bagian tengah lingkaran. Logo OGB tersebut menunjukan bahwa obat generik telah lulus uji kualitas, khasiat, dan keamanan. Garis-garis putih menunjukkan obat generik dapat digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat (Purwatiningtiyas, 2012).

OGB diluncurkan pemerintah Indonesia sejak tahun 1989. Kualitas obat generik tidak perlu diragukan lagi. Baik OGB, obat bermerek, maupun obat yang dipatenkan, mengandung zat aktif atau komponen utama yang sama. OGB telah memenuhi berbagai persyaratan sebagaimana obat yang dipatenkan.

(21)

Persyaratan-persyaratan tersebut di antaranya mengikuti aturan pembuatan obat internasional, memenuhi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang telah ditentukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, dan lolos uji bioavailabilitas atau bioekivalensi (BA/BE) untuk menjamin obat generik setara dengan obat yang dipatenkan. Jadi, dalam hal kualitas, OGB sama baiknya dengan obat yang dipatenkan maupun obat generik bermerek. OGB mempunyai kelebihan dari segi harga yang terjangkau. Jika dibandingkan dengan obat yang dipatenkan maupun teman sejawatnya, yaitu obat bermerek, OGB menempati posisi harga yang paling murah karena harga jual OGB tidak memerlukan biaya penelitian dan biaya promosi OGB tidak setinggi obat yang dipatenkan. Di samping itu, kesederhanaan kemasan OGB juga menjadikannya lebih murah jika dibandingkan obat bermerek. Kemasan OGB hanya berupa kemasan sederhana dengan logo OGB. Pengemasan OGB hanya bertujuan untuk melindungi obat di dalamnya (Purwatiningtyas, 2012).

Jadi, beberapa hal yang perlu dipahami tentang OGB adalah kualitasnya yang tidak perlu diragukan lagi, dan OGB mempunyai kelebihan dari segi harga yang terjangkau.

2.4.4.2 Kebijakan Obat Generik

Menurut Depkes RI (2000), Kebijakan obat generik merupakan kebijakan untuk memudahkan akses masyarakat terhadap obat yang mutunya terjamin dengan harga terjangkau. Agar upaya pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka kebijakan tersebut mencakup komponen-komponen berikut :

(22)

1. Produksi obat generik dengan Cara Produksi Obat yang baik (CPOB). 2. Pengendalian mutu obat generik secara ketat.

3. Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan. 4. Peresepan berdasarkan atas nama generik, bukan nama dagang.

5. Penggantian (substitusi) dengan obat generik diberlakukan di unit-unit pelayanan kesehatan.

6. Informasi dan komunikasi mengenai obat generik bagi dokter dan masyarakat luas secara berkesinambungan.

7. Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat generik secara berkala.

2.4.4.3 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah mengemukakan beberapa ketentuan yang berhubungan dengan penulisan resep obat generik, sebagai berikut :

1. Pasal 2 menyatakan bahwa Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, Pemerintah Daerah wajib menyediakan obat generik untuk kebutuhan pasien rawat jalan dan rawat inap dalam bentuk formularium.

2. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa Dokter yang bertugas di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis.

(23)

3. Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa Dokter dapat menulis resep untuk diambil di Apotek atau di luar fasilitas pelayanan kesehatan dalam hal obat generik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.

4. Pasal 7 menyatakan bahwa Apoteker dapat mengganti obat merek dagang/obat peten dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.

5. Pasal 8 menyatakan bahwa Dokter di Rumah Sakit atau Puskesmas dan Unit pelaksana Teknis lainnya dapat menyetujui pergantian resep obat generik dengan obat generik bermerek/bermerek dagang dalam hal obat generik tertentu belum tersedia.

6. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dapat memberikan peringatan lisan atau tertulis kepada dokter, tenaga kefarmasian dan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. 7. Pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa Peringatan lisan atau tertulis sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dan apabila peringatan tersebut tidak dipatuhi, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dapat menjatuhkan sanksi administratif kepegawaian kepada yang bersangkutan.

Selanjutnya, Peraturan tersebut mengharapkan dokter mematuhi peraturan dan meresepkan obat generik agar semua lapisan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan

(24)

obat dengan harga terjangkau dan mutu terjamin serta dapat memperbaiki derajat kesehatan masyarakat. Pemerintah juga mengharapkan agar penggunaan obat generik dapat mencapai 80%-90% di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah (Kemenkes 2010). Adapun kepatuhan dokter merupakan suatu perilaku dokter dalam mentaati ketetapan peraturan Menteri Kesehatan dalam hal meresepkan obat generik.

2.4.5 Resep

2.4.5.1 Pengertian Resep

Menurut Depkes RI (2000), resep merupakan dokumen legal, sebagai sarana komunikasi profesional dari dokter dan penyedia obat untuk memberikan obat kepada pasien sesuai dengan kebutuhan medis yang ditentukan. Selanjutnya Jas (2005) mengemukakan bahwa resep adalah permintaan tertulis dari dokter kepada apoteker pengelola apotek untuk memberikan obat jadi atau meracik obat dalam bentuk tertentu sesuai dengan keahliannya, takaran dan jumlah obat sesuai dengan yang diminta, kemudian menyerahkannya kepada pasien.

2.4.5.2 Penulisan Resep

Penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan dokter dalam memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep sesuai dengan kebutuhan, sekaligus permintaan secara tertulis kepada apoteker di apotek agar obat diberikan sesuai permintaan. Pihak apoteker berkewajiban melayani secara cermat, memberi informasi terutama yang menyangkut dengan penggunaan dan mengkoreksinya bila

(25)

terjadi kesalahan dalam penulisan. Dengan demikian pemberian obat lebih rasional, artinya tepat, aman, efektif dan ekonomis (Jas, 2005).

Berdasarkan Ridwan (2012) yang mengutip pendapat Yenis (1999), penulisan resep yang rasional yang berarti penggunaan obat secara rasional, merupakan komponen dari tujuan penggunaan obat yang tercantum dalam Kebijakan Obat Nasional. Penggunaan obat secara rasional adalah pasien yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dosis sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu, untuk periode waktu yang cukup dan dengan biaya yang serendah-rendahnya.

Beberapa faktor yang memengaruhi penulisan resep (Daniel, 2001) : 1. Sistem Suplai Kesehatan (Health Supply System)

Faktor yang memengaruhi sistem meliputi suplai obat yang tidak dapat dipercaya, jumlah obat yang terbatas/tidak mencukupi, obat-obat yang kadaluarsa dan tersedianya obat-obat yang tidak tepat/tidak sesuai. Inefisiensi dalam sistem tersebut menimbulkan ketidakpercayaan oleh dokter dan pasien.

2. Penulis Resep / Dokter (Prescriber)

Faktor internal dan eksternal memengaruhi dokter dalam menuliskan resep. Pengetahuan dokter tentang obat dapat mempengaruhi penulisan resep obat, dimana pengetahuan didapat dari pendidikan dasar yang membentuk sikap. Kurangnya pendidikan berkelanjutan (Continuing education), keahlian untuk mendapatkan informasi baru yang lebih banyak didapat dari sales obat bukan

(26)

berdasarkan Evidence based mempengaruhi penulisan resep obat. Faktor eksternal seperti jumlah pasien yang banyak, atau tekanan untuk menuliskan resep dari pasien atau salesmen obat/pabrik obat serta peraturan rumah sakit yang terikat dengan Permenkes (Formularium Rumah Sakit).

Faktor karakteristik dan kondisi kerja memengaruhi penulisan resep dokter per individu. Dibedakan atas karakteristik dokter yang bersifat non professional seperti umur, jenis kelamin, kepribadian (termasuk perilaku) dan karakteristik profesional seperti pendidikan dan pengalaman kerja.

3. Farmasi (Dispenser)

Pemberian informasi mengenai obat khususnya kepada dokter mempengaruhi penulisan resep, hal ini berkaitan dengan pendidikan. Informasi dapat diberikan secara aktif melalui pelayanan informasi obat atau pasif misalnya melalui bulletin atau newsletter. Peran farmasi juga terlihat mulai dari perencanaan, pengadaan dan pendistribusian obat di rumah sakit.

4. Pasien/Masyarakat

Pengetahuan, kepercayaan pasien/masyarakat terhadap mutu dari suatu obat dapat mempengaruhi pasien dalam menggunakan obat dan karena adanya interaksi pasien dengan dokter juga akan memengaruhi dokter dalam menuliskan resep.

Industri Farmasi dikatakan mempunyai pengaruh yang kuat dalam penulisan resep baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung dilakukan dengan iklan seperti melalui kalender detailmen, eksibisi obat, sampel obat.

(27)

Secara tidak langsung seperti bantuan penelitian medis, bantuan untuk jurnal ilmiah, bantuan dan pengorganisasian pelatihan medis. Faktor-faktor yang disebutkan di atas berbeda pengaruhnya untuk setiap dokter pada kondisi-kondisi tertentu dan bersifat kompleks. Karena itu intervensi yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas peresepan obat haruslah dimulai dengan mengerti terlebih dahulu pada masalah perilaku.

2.5 Landasan Teori

Menurut Kelman dalam Sarwono (1997), perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian internalisasi. Salah satu aspek yang turut menentukan perilaku individu dalam hal ini kepatuhan adalah motivasi. Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang mau dan rela mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang ditentukan (Siagian, 2003). Herzberg dalam Hasibuan (2005), mengemukakan bahwa motivasi terdiri dari 2 (dua) faktor meliputi Faktor Intrinsik yaitu : tanggung jawab, prestasi yang diraih, pengakuan orang lain, pekerjaan itu sendiri, kemungkinan pengembangan, kemajuan. Sedangkan Faktor Ektstrinsik meliputi : gaji, keamanan dan keselamatan kerja, kondisi kerja, hubungan kerja, prosedur perusahaan dan status.

(28)

Selanjutnya, karakteristik individu merupakan faktor yang menggerakkan atau memengaruhi perilaku individu meliputi Umur, Jenis kelamin, Lama kerja dan Pendidikan (Gibson, 1996).

Kepatuhan dokter dalam menulis resep obat generik pada pasien umum rawat jalan di Rumah Sakit Haji Medan mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.

Karakteristik Individu dan Motivasi Sikap dan Perilaku

Karakteristik Individu • Umur • Jenis Kelamin • Lama Kerja • Pendidikan Motivasi Intrinsik

• Pekerjaan Itu Sendiri • Tanggung Jawab • Prestasi yang Diraih • Pengakuan Orang Lain • Kemungkinan Pengembangan • Kemajuan Ekstrinsik • Prosedur Kerja • Imbalan • Kondisi Kerja • Hubungan Kerja

• Keamanan dan Keselamatan Kerja • Status • Kepatuhan • Identifikasi • Internalisasi

(29)

Sumber : Kelman dalam Sarwono (1997), Herzberg dalam Hasibuan (2005), Luthans (2003),dan Gibson (1996)

2.6 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori di atas, maka kerangka konsep penelitian ini adalah :

Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)

Karakteristik Individu 1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Lama Kerja 4. Pendidikan Motivasi Intrinsik

1. Pekerjaan itu Sendiri 2. Tanggung Jawab 3. Prestasi yang Diraih 4. Pengakuan Orang Lain

Ekstrinsik

1. Prosedur Kerja 2. Imbalan

3. Kondisi Kerja 4. Hubungan Kerja

Dari gambar kerangka konsep di atas, dapat dilihat bahwa variabel independen pada penelitian ini adalah Karakteristik Individu (umur, jenis kelamin, lama kerja, pendidikan), motivasi terdiri dari motivasi intrinsik (Pekerjaan itu sendiri, Tanggung jawab, Prestasi yang diraih, dan Pengakuan orang lain) dan motivasi

Kepatuhan Dokter Menulis Resep Obat

Generik

(30)

variabel dependennya adalah kepatuhan dokter dalam menulis resep obat generik pada pasien umum rawat jalan di Rumah Sakit Haji Medan.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Oalam tulisan ini dilakukan studi analisis biaya pembangkitan listrik dengan pembangkit KL T -40 Pembangkit ini merupakan pembangkit kecil berdaya 3~ Mwe tiap

Manajer Investasi dapat menghitung sendiri Nilai Pasar Wajar dari Efek tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif dan

Rencana jangka panjang dari kegiatan pengabdian masyarakat ini melalui kegiatan pelatihan untuk peningkatan rasa ingin tahu kemampuan keterampilan serta semangat belajar

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan kadar garam yang semakin tinggi pada daging kerbau mempengaruhi konsentrasi serta profil protein hal ini

Hasil ekstrak dan infusa daun jati (Tectona grandis L.S) yang didapatkan dilakukan pengujian skrining fitokimia yaitu alkaloid, flavanoid, tanin, saponin,

Di kota Padang pada bulan Juni 2015, 5 (lima) kelompok pengeluaran memberikan andil/sumbangan inflasi antara lain; kelompok bahan makanan sebesar 0,73 persen,

Pengujian pengaruh logam Pb terhadap kada klorofil dilakukan menggunakan uji kenormalan, uji homogenitas dan uji hipotetsi (ANAVA) dua arah. Uji hipotesis

!alam menentukan apakah suatu pos mempunyai man$aat lebih dari ,* 7dua belas8 bulan" suatu entitas harus menilai man$aat ekonomik masa depan yang dapat diberikan oleh pos