• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan, dan kekaryaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan, dan kekaryaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. 1"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis, suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara yang kompleks dan plural. Berbagai masyarakat ada di sini. Namun Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang teguh adat ketimuran yang terkenal sopan dan sifat kekeluargaan yang tinggi.

Di Indonesia, aturan mengenai perkawinan tidak saja dipengaruhi oleh adat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai macam ajaran agama, seperti agama Hindu, Budha, Kristen serta agama Islam. Adanya beragam pengaruh di dalam masyarakat tersebut mengakibatkan, terjadinya banyak aturan yang mengatur masalah perkawinan. ”Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekaryaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat”.1

“Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah. Hal demikian nampak dari penjelasan umum (2) dari Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 serta di Indiesche Staats

1

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, CV.Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 2

(2)

Regeling (IS) yaitu Pasal 163 Peraturan Ketatanegaraan Hindia”.2 “Pasal tersebut menjelaskan perbedaan golongan penduduk dalam tiga macam, yaitu golongan Eropa (termasuk Jepang), golongan Pribumi (Indonesia) dan golongan Timur Asing, kecuali yang beragama Kristen”.3 Peraturan tersebut antara lain adalah Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken

S.1898 No. 158).

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada tanggal 2 Januari Tahun 1974 dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Oktober 1975, maka telah terjadi unifikasi (penyatuan hukum) dalam hukum perkawinan, sehingga peraturan-peraturan mengenai perkawinan yang sebelumnya ada menjadi tidak berlaku lagi, sejauh telah diatur dalam undang-undang perkawinan ini.

Perkawinan yang telah dilangsungkan oleh suami isteri selain membawa konsekuensi dalam pergaulan hidup di masyarakat juga membawa konsekuensi dalam hukum keperdataan, di antaranya adalah pengaturan mengenai harta benda suami isteri, baik yang diperoleh sebelum perkawinan sebagai harta bawaan dan harta bersama yaitu harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan.

“Dalam sebuah perkawinan masyarakat Indonesia sejak dahulu mengenal adanya pencampuran harta perkawinan. Para calon suami isteri tidak meributkan

2

Ibid, hal. 4 3

(3)

mengenai harta masing-masing pihak. Asas saling percaya dan memahami pasangan menjadi landasan dalam penyatuan harta perkawinan”.4

Sejak berlangsungnya perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita, maka seketika itu harta yang mereka peroleh menjadi harta bersama, sebagaimana diatur dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sejak berlangsungnya perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita, maka seketika itu harta yang mereka peroleh menjadi harta bersama. Namun apabila para pihak menginginkan harta tersebut dipisahkan satu sama lain, maka dapat dibuat suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian kawin.

Dalam perundang-undangan Indonesia, ketentuan harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 35 ayat (1) tersebut dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama suami dan istri diikat dalam perkawinan.

Perkembangan sistem dan tatanan nilai dalam kehidupan masyarakat yang terjadi pada akhir-akhir ini, membawa dampak pada sendi kehidupan masyarakat, termasuk dalam lingkungan kecil keluarga. Perubahan yang terjadi selanjutnya dalam pola pikir adalah, semakin beragamnya keinginan untuk dianggap sama dan setingkat tanpa membedakan gender.

Seiring dengan adanya emansipasi wanita maka kaum wanita memiliki kedudukan yang sama dengan pria baik dalam bidang pendidikan maupun pekerjaan

4

Wongbanyumas, Perjanjian Kawin Menurut KUH Perdata, http: // fatahilla. blogspot. Com /2008/06/perjanjian-kawin-menurut-kuh-perdata.html, dikutip tanggal 23 Januari 2010

(4)

sehingga pada masa sekarang telah banyak wanita yang memiliki pekerjaan serta penghasilan sendiri. Bahkan penghasilan mereka juga dapat melebihi penghasilan kaum pria.

Semakin tingginya pendidikan kaum wanita pada masa sekarang ini, tentu saja mengakibatkan berubahnya pola pikir mereka dalam mengelola keuangan serta dalam melaksanakan perkawinannya. Seorang wanita dengan penghasilan yang baik akan berusaha untuk melindungi hartanya dari hal-hal yang dapat mengakibatkan kerugian kepadanya. Misalnya apabila calon suami yang akan dinikahinya memiliki sifat boros atau penjudi yang dapat merugikan calon isterinya. “Apabila para pihak menginginkan harta tersebut dipisahkan satu sama lain, maka dapat dibuat suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian kawin.” 5

“Pada mulanya keberadaan perjanjian kawin di Indonesia kurang begitu populer dan kurang mendapat perhatian, karena mengadakan perjanjian kawin mengenai harta antara calon suami isteri dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sesuatu hal yang kurang pantas dan dapat dianggap menyinggung satu sama lainnya”.6

Lembaga perjanjian kawin, sebenarnya merupakan lembaga hukum perdata barat. Keberadaan lembaga ini mulai dapat diterima oleh masyarakat, seiring adanya

5

http://www.akta-online.com/main/index.php?option=com_content&view= article&id= 70: pentax-k200d-with-18-55mm-lens-&Itemid=27, Akta Perjanjian Kawin/Perjanjian Pra-Nikah, dikutip tanggal 2 Desember 2009

6

(5)

kemajuan di berbagai bidang dan adanya tata nilai individualisme yang telah merasuk dalam sistem kehidupan masyarakat Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya tidak mustahil perjanjian perkawinan menjadi suatu kebutuhan yang mutlak yang sekiranya perlu mendapatkan pemikiran sejak awal, sebab perkembangan bidang perkawinan menyimpang dari pola yang ditetapkan sehingga munculnya perkembangan baru akan senantiasa aktual dan kadang menimbulkan polemik (pro dan kontra). Hal tersebut merupakan kewajaran mengingat bidang hukum perkawinan termasuk bidang perdata sosial yang bersifat sensitif dan konflik. 7

Di sisi lain budaya praktis menjadi bagian dari gaya hidup, yang kemudian mempengaruhi sikap pemikiran untuk menimbang secara untung dan rugi secara materi pada saat memasuki jenjang perkawinan, termasuk di dalamnya mengenai pandangan terhadap harta kekayaan suami istri sebagai akibat dari perkawinan. “Dalam kaitan dengan hak yang sama antara suami isteri dalam peran publik maupun privat, maka hak yang sama ini dalam pelaksanaannya merupakan pilihan bagi calon pasangan suami isteri untuk diambil atau tidak.”8

Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan tidak secara tegas memberikan definisi mengenai perjanjian perkawinan, pasal tersebut secara tegas hanya menyatakan, bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis, yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

7

Yunanto, Peraturan Harta Perkawinan Dengan Perjanjian Kawin, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Nomor 9 Fakultas Diponegoro, Semarang, 1993, hal. 14

8

Endang Sumiarni, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan (Kajian Kesetaraan Jender Melalui Perjanjian Kawin), Wonderful Publishing Company : Yogyakarta, 2004, hal. 115

(6)

Konsep perjanjian kawin pada awalnya berasal dari hukum perdata barat yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memperluas ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perjanjian kawin. Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur hubungannya dengan pihak ketiga, misalnya apabila terjadi hutang piutang antara suami atau isteri dengan pihak ketiga, maka hanya harta dari pihak yang memiliki hutang yang dapat membayar hutang tersebut. Pihak ketiga dalam hal ini misalnya pihak bank ataupun pihak lain yang memberikan piutang kepada suami atau isteri tersebut.

Dalam Pasal 139 KUH Perdata disebutkan:

Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini.

Bila dibandingkan maka KUH Perdata hanya membatasi dan menekankan perjanjian kawin tidak hanya pada persatuan harta tetapi juga tentang pengurusan dan pembagian harta, sedangkan dalam UU Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat.

Perjanjian kawin umumnya dilakukan sebelum kedua mempelai mengikat janji dalam sebuah pernikahan, isinya bisa berbagai macam. Dari masalah pembagian harta kekayaan yang menjadi milik calon suami atau isteri (harga gono-gini) atau

(7)

harta bawaan masing-masing pihak jika terjadi perceraian atau kematian. Dahulu perjanjian kawin belum terlalu sering dilakukan oleh masyarakat yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Seringkali sebagai pasangan yang hendak menikah merasa sungkan untuk membuat perjanjian kawin sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Akan tetapi, pada masa sekarang dimana perempuan juga telah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, telah banyak yang melakukan perjanjian kawin sebelum dilangsungkannya perkawinan.

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan untuk mengadakan beberapa penyimpangan dari ketentuan undang-undang yang mengatur tentang harta kekayaan perkawinan. Perjanjian kawin ini berguna bagi pihak perempuan antara lain :

1. Bila terjadi perceraian, maka perjanjian ini akan memudahkan dan mempercepat proses penyelesaian permasalahan. Karena harta yang diperoleh masing-masing sudah jelas diatasnamakan sendiri.

2. Harta yang diperoleh istri sebelum menikah, harta bawaan, harta warisan ataupun hibah, tidak tercampur dengan harta suami.

3. Adanya pemisahan hutang, memperjelas siapa yang bertanggung jawab menyelesaikannya. Perjanjian ini akan melindungi istri dan anak, bila suatu hari suami memiliki hutang yang tidak terbayar. Maka harta yang bisa diambil oleh kreditur hanyalah harta milik pihak yang berhutang.

4. Isteri akan terhindar dari kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam arti fisik maupun psikis. Istri bisa mengembangkan kemampuannya dengan bekerja serta menuntut ilmu. Kesenjangan umumnya terjadi akibat salah satu pasangan mendominasi, sehingga terjadi perasaan direndahkan dan terkekang. 5. Bagi istri yang memiliki perusahaan sendiri, ia bisa bekerjasama dengan suami karena tidak ada penyatuan harta dan kepentingan, bukan pihak yang terafiliasi lagi.9

9

http://www.akta-online.com/main/index.php?option=com_content&view= article&id= 70: pentax-k200d-with-18-55mm-lens-&Itemid=27, Ibid

(8)

Bagi pihak laki-laki, dilakukannya perjanjian kawin ini untuk melindungi hartanya, misalnya isterinya bersifat boros, atau berjudi sehingga akan menghabiskan harta pencarian calon suami.

Akibat perkawinan dilangsungkan maka perjanjian kawin seketika itu akan mengikat kedua belah pihak, isinya dapat mengenai masalah persatuan harta bawaan atau pemisahan harta kekayaan di antara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan.

Perjanjian kawin, atau perjanjian pra nikah (huwelijke voorwaarden) adalah suatu Perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau isteri secara otentik di hadapan Notaris, yang menyatakan bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka masing-masing dalam perkawinan mereka kelak (Pasal 139 juncto Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dengan dibuat dan ditandatanganinya Perjanjian ini, maka harta mereka, baik itu berupa harta yang mereka bawa sebelum mereka menikah, maupun pendapatan yang mereka peroleh setelah mereka menikah kelak telah diatur oleh mereka masing-masing.

Bilamana dibuat perjanjian perkawinan akan timbul 3 (tiga) kemungkinan : 1. Tetap ada harta persatuan jika yang diperjanjikan hanya menyenai pengurusannya 2. Terjadi harta campuran terbatas

(9)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :

1. Apa yang menjadi latar belakang dibuatnya perjanjian kawin sebelum nikah ? 2. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kawin terhadap masing-masing pihak

sesudah menikah ?

3. Bagaimana akibat hukum dengan adanya perjanjian perkawinan atas harta dalam perkawinan apabila terjadi perceraian?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui latar belakang dibuatnya perjanjian kawin sebelum nikah. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kawin terhadap masing-masing pihak

sesudah menikah .

3. Untuk mengetahui akibat hukum dengan adanya perjanjian perkawinan atas harta dalam perkawinan apabila terjadi perceraian .

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

(10)

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang Hukum Perkawinan serta menambah khasanah perpustakaan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan pada masyarakat khususnya yang akan melaksanakan pernikahan, sehingga lebih mengetahui apa dan bagaimana perjanjian kawin itu serta manfaatnya. Selain itu juga dapat memberi masukan bagi para notaris, akademisi, pengacara, mahasiswa.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, baik di Magister Ilmu Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Tinjauan

Yuridis Terhadap Akte Perjanjian Kawin Pasangan Suami/Isteri Yang Akan Menikah”. Dengan demikian penelitian ini adalah asli sehingga dapat

dipertanggungjawabkan kemurniannya karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.10 “Teori berfungsi untuk

10

(11)

menerangkan atau menjelaskan mengapa gajala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran”.11

Menurut M. Solly Lubis bahwa :

Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.12

Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.

Dalam penelitian ini, teori hukum yang dipakai adalah teori keadilan.

Aristoteles membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya di dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equality

before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan

11

J.J.J. M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, Univesitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.

12

(12)

pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.13

Apabila dikaitkan dengan perjanjian perkawinan yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut.

Di Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila diperhatikan defenisi perkawina ini, pada negara lain tidak dijumpai pengertian dengan nilai falsafah perkawinan yang demikian.

13

http://tubiwityu.typepad.com/blog/2010/02/teori-hukum.html, Teori Hukum, diakses tanggal 23 Juli 2010

(13)

Jika ditinjau pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dengan pengertian perkawinan pada hukum barat, perkawinan pada hukum barat diartikan sebagai suatu persetujuan (marriage is a form of contract). Kontrak perkawinan menurut hukum barat merupakan perhubungan hukum antara 3 pihak yaitu calon suami, calon isteri dan negara.

Menurut M. Yahya Harahap, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal dimana :

a. “Suami isteri saling bantu-membantu serta saling lengkap melengkapi. b. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk

pengembangan kepribadian itu suami-isteri harus saling bantu-membantu. c. dan tujuan terakir yang dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah

keluarga bahagia yang sejahtera sprituil dan material”.14

Salah satu syarat untuk tetap hidup manusia membutuhkan makanan, minuman dan pakaian. Untuk mendapatkan makanan dan pakaian, orang butuh pekerjaan. Bekerja menghasilkan upah dan dari upah dibelikan makanan pakaian dan keperluan lainnya, dengan kata lain manusia membutuhkan harta kekayaan yang dapat digunakan suami isteri untuk keperluan hidup mereka. Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang harta benda dalam perkawinan diatur oleh pasal 35, 36, dan 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, yaitu :

a. Harta bawaan, hadiah dan warisan. b. Harta bersama suami isteri, dan

c. Bila terjadi perceraian, harta diatur menurut hukumnya masing-masing, ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.

14

(14)

Di Indonesia berlaku dua sistem peraturan tentang harta benda perkawinan, yang satu sama lain berhadapan secara diam artinya berseberangan satu sama lain yakni Hukum Islam dan Hukum BW.

Hukum Islam menganggap kekayaan suami dan isteri masing-masing terpisah satu dengan lainnya. Harta benda milik masing-masing pihak pada waktu perkawinan dimulai tetap menjadi milik masing-masing. Jadi konsekuensinya menurut hukum Islam, status harta benda seorang perempuan tidak berubah dengan adanya perkawinan. Sedangkan dalam Hukum BW, sebaliknya menganggap sebagai pokok pangkal bahwa apabila suami isteri pada waktu akan melakukan pernikahan tidak mengadakan perjanjian pisah harta di antara mereka maka akibat dari perkawinan itu adalah percampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan milik mereka bersama dan masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah separuhnya.15

Tentang perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII KUH Perdata (BW) pasal 139 s/d 154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak/yang membuatnya apabila terjadi perkawinan. Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menentukan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum.

Undang- undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur perjanjian perkawinan pada satu pasal saja yaitu pasal 29 yang menentukan : “Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

15

(15)

Berbicara mengenai perjanjian kawin, tidak terlepas dari keberadaan harta perkawinan. Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 35 dikatakan apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Pada dasarnya harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami isteri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami isteri dan anak-anaknya di dalam satu “somah” (serumah) di dalam satu rumah tangga keluarga kecil (“gezin” Belanda) dan satu rumah tangga keluarga besar (“familie” Belanda) yang setidak-tidaknya dari satu rumah tangga kakek atau nenek.16

Antara harta perkawinan yang disebut harta keluarga dengan harta kerabat, tidak dapat begitu saja dipisahkan oleh karena masyarakat adat itu ada yang bersendikan kekerabatan (kerukunan kerabat) kebapakan atau keibuan dan yang bersendikan kekeluargaan (kerukunan keluarga) semata-mata. Begitu pula ada suami isteri yang hanya bertanggung-jawab atas kehidupan dengan anak-anaknya saja, tetapi ada juga suami isteri yang tidak semata-mata terikat bertanggung jawab atas kehidupan anak-anak tetapi juga kemenakan.

16

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 156

(16)

Harta perkawinan itu dapat kita golongkan dalam beberapa macam, masing - masing:

1. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan, yaitu “harta bawaan”.

2. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “harta penghasilan”.

3. Harta yang diperoleh /dikuasai suami dan isteri bersama-sama selama perkawinan, yaitu “harta pencaharian”.

4. Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan”.17

Berdasarkan asal-usulnya, harta yang diperoleh suami isteri dapat dibedakan dalam empat macam.

1. Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami isteri baik yang diterima sebelum kawin maupun selama perkawinan statusnya sama, yakni tetap milik masing-masing. Ketentuan tentang hal tersebut telah diatur dalam Pasal 35 ayat 2. Pada pasal dan ayat tersebut dijelaskan harta bawaan dari masing-masing suami isteri han harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah pengawasan masing-masing sepanjang kedua belah pihak tidak menentukan lain atau tidak membuat kesepakatan lain.

2. Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka kawin. Implikasi hukumnya masih berkaitan dengan penjelasan Pasal 35 ayat 2 tersebut, yaitu harta yang diperoleh sebagai hasil usaha sendiri, tetap dikuasai masing-masing. 3. Harta yang diperoleh saat perkawinan atau karena pernikahan. Harta jenis

ini diperoleh ketika menikah, ada yang menjadi milik isteri, ada yang menjadi milik suami, dan ada yang menjadi milik keduanya. Selain itu, ada pula yang menjadi milik orang tua mempelah pengantin dan ada pula yang dibagi-bagikan ke sanak keluarga. Dalam hal ini perlu adanya pemilahan yang jelas tentang kepemilikan harta tersebut. Namun yang terpenting dalam hal ini adalah mahar atau mas kawin.

4. Harta yang diperoleh selama perkawinan, selain dari hibah khusus untuk salah seorang dari suami isteri dan selain harta warisan. Harta dalam kategori ini didapat selama suami dan isteri terikat oleh perkawinan. Harta ini dikuasai bersama oleh suami isteri dan harta inilah yang disebut harta bersama. Sesuai dengan namanya, harta ini tidak dibagi selama suami dan isteri berada dalam ikatan perkawinan. Harta ini sama-sama mereka

17

(17)

manfaatkan hasilnya dan dibagi apabila mereka bercerai, baik cerai hidup ataupun cerai mati.18

Menurut Yahya Harahap bahwa berdasarkan Pasal 35 tersebut nampak jelas bahwa harta benda dalam perkawinan dibedakan menjadi dua macam.

1. harta bersama yaitu harta yang diperoleh sejak perkawinan dilangsungkan dan tetap berlaku selama suami dan isteri dalam ikatan perkawinan, harta inilah yang sering disebut harta gono gini. Istilah tersebut sebenarnya muncul dari bahasa jawa. Gono artinya suami dan gini artinya isteri. Harta gono gini berarti harta yang dimiliki bersama suami isteri dan apabila terjadi perceraian di kemudian hari, maka harta tersebut dibagi dengan perolehan masing-masing 50%, karena harta tersebut dimiliki bersama. Kecuali jika ada perjanjian yang menentukan lain sebelum perkawinan berlangsung.

2. harta pribadi yaitu harta yang diperoleh masing-masing suami isteri dalam bentuk warisan, hibah, hadiah baik yang diperoleh sebelum perkawinan atau sesudahnya atau harta yang diperoleh dari kerja keras suami atau isteri sebelum perkawinan.19

Apabila melihat peraturan yang mengatur tentang harta perkawinan, dapat dikaji dalam Pasal 35 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

a. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.

Selanjutnya Pasal 36 ayat 1 mengatur mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 36 ayat 2

18

Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, Gema Insani, Jakarta, 2003, hal. 12 19

(18)

mengatur bahwa mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

“Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu”.20

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) diatur masalah harta bersama dalam perkawinan. Pasal 119 KUH Perdata menyatakan bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki isteri. Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139-154 KUH Perdata. Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, Pasal 128 KUH Perdata menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.

20

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Djambatan : Jakarta, 1973, hal 56

(19)

Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, menentukan sebagai berikut:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Dari ketentuan dalam Pasal 29 tersebut diketahui bahwa perjanjian perkawinan itu harus dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan karena untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan bagi pihak ketiga setelah perkawinan berlangsung.

“Apabila suatu perjanjian kawin telah diadakan, maka perjanjian ini tidak boleh diubah selama perkawinan berlangsung kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Perjanjian perkawinan juga harus diadakan sebelum pernikahan dan harus mulai berlaku pada waktu pernikahan itu dilakukan”.21

Menurut Subekti :

21

(20)

Pada umumnya seorang yang masih di bawah umur, yaitu belum mencapai usia 21 tahun, tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya. Tetapi untuk membuat suatu perjanjian kawin, oleh undang-undang diadakan peraturan pengecualian. Seorang yang belum dewasa dalam perjanjian kawin diperbolehkan bertindak sendiri tetapi ia harus dibantu (bijgestan) oleh orang tua atau orang-orang yag diharuskan memberikan izin kepadanya untuk menikah. Apabila pada waktu membuat perjanjian itu salah satu pihak ternyata belum mencapai usia yang diharuskan oleh undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah.22

Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat dengan akta notaris. Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu (Pasal 147 KUH Perdata). Selanjutnya menurut UU Perkawinan Pasal 29 ayat 4, perjanjian perkawinan dapat diubah berdasarkan kesepakatan bersama, asalkan tidak merugikan pihak ketiga, yaitu pihak-pihak di luar mereka yang terkait.

Perjanjian yang dibuat di hadapan Notaris mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, sehingga Notaris dalam melaksanakan jabatannya berfungsi membantu terbentuknya hukum perjanjian antara para pihak.

Perjanjian kawin yang bersifat notaril ini harus memuat : a. Atas persetujuan / kehendak bersama

b. Secara tertulis

c. Disahkan oleh pegawai pencatatan nikah

d. Tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.

22

(21)

Perjanjian ini berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan dilekatkan pada akta surat nikah dan merupakan bagian tidak terpisahkan dengan surat nikah. “Pada dasarnya selama perkawinan berlangsung perjanjian kawin tidak dapat dirubah, kecuali jika ada persetujuan kedua belah pihak dan perubahan itu tidak merugikan kepentingan pihak ketiga”.23

“Isi perjanjian perkawinan dapat bermacam-macam, misalnya dalam perjanjian tersebut ditentukan bahwa tidak akan ada barang-barang bergerak ataupun tidak bergerak yang menjadi milik bersama. Selain itu dapat juga diperjanjian akan ada beberapa bagian kekayaan yang menjadi milik bersama. Dalam perjanjian seperti ini ditentukan barang-barang bergerak ataupun tidak bergerak apa yang akan menjadi milik bersama”.24

Dari perjanjian perkawinan yang merupakan campuran kekayaan secara terbatas (beperkte gemeenschap van goederen) ada 2 (dua) macam yang diatur dalam KUH Perdata yaitu :

1. campuran keuntungan dan kerugian (gemeenschap van winst en verlies)

2. campuran bunga dan hasil kekayaan (gemeenschap van vruchten en

inkomstens).25

Campuran keuntungan dan kerugian maksudnya bahwa suatu perjanjian perkawinan, yang menghendaki supaya tidak semua kekayaan dari suami dan isteri dicampur menjadi satu milik bersama, melainkan hanya sebagian dari kekayaan itu, yaitu segala keuntungan yang didapat oleh masing-masing suami dan isteri selama

23

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Publishing, Jakarta, 2002, hal.30

24

Wirjono Prodjodikoro, Op cit, hal. 117-118 25

(22)

perkawinan berlangsung yang merupakan hasil kekayaan dari pekerjaan masing-masing. Sedangkan yang dimaksud dengan ada kerugian bersama, yaitu apabila kekayaan masing-masing pada waktu putus perkawinan, menjadi berkurang dari semula.

Campur bunga dan hasil kekayaan dalam KUH Perdata hanya diatur dalam Pasal 164 yang menentukan bahwa apabila dijanjikan campuran bunga dan hasil kekayaan, maka tidak ada campuran kekayaan secara bulat dan juga tidak ada campuran keuntungan dan kerugian. Lazimnya perjanjian perkawinan berupa campuran bunga dan hasil kekayan ini dianggap sebagai campuran keuntungan saja, sedangkan kerugian-kerugian yang diderita oleh suami atau isteri harus dipikul oleh mereka masing-masing.

Perjanjian perkawinan telah mengatur masalah kepemilikan akan harta dalam perkawinan, maka sebagai konsekuensinya adalah para pihak akan mengatur hartanya masing-masing selama perkawinan berlangsung. Dengan demikian, seandainya ada hutang yang dibuat salah satu pihak, tidak membebani pihak lainnya untuk melunasinya, maksudnya jika suami berhutang kepada pihak ketiga maka suamilah yang bertanggung jawab melunasinya dan pihak ketiga tidak dapat melakukan tagihan kepada istri. Demikian sebaliknya. Apabila perjanjian perkawinan dicabut atau dibatalkan oleh para pihak selama perkawinan berlangsung, maka berlakulah ketentuan-ketentuan harta bersama dalam perkawinan.

Jika dilihat dari kedua macam perjanjian kawin di atas, maka terdapat beberapa pokok pikiran sebagai berikut :

(23)

1. perpisahan harta benda dalam perkawinan. Perpisahan antara bedna yang dibawa dalam perkawinan dengan yang diperoleh selama perkawinan.

2. barang yang sudah ada saat perkawinan dilangsungkan tetap menjadi milik pribadi sedangkan yang diperoleh dalam perkawinan menjadi milik bersama. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam campur laba rugi suami istri memikul kerugian bersama-sama. Sedangkan dalam campur hasil dan pendapatan, isteri tidak dapat dituntut untuk hutang-hutang yang dibuat suami.

2. Konsepsional

“Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.26 “Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum”.27

“Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operational (operational

26

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397 27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Seuatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7

(24)

definition)”.28 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghidarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut : 1. “Perjanjian kawin adalah Perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau isteri

secara otentik sebelum pernikahan di hadapan Notaris, yang menyatakan bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka masing-masing dalam perkawinan mereka kelak”.29

2. Akta adalah surat sebagai alat pembuktian tertulis.

3. Akta Notariel adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris menurut Pasal 1870 KUH Perdata dan Pasal 165 (Rbg 285) HIR yang mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta doktrin-doktrin. Dalam penelitian ini penelitian hukum normatif bertujuan untuk meneliti aturan-aturan mengenai perjanjian kawin.

28

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 10

29

(25)

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu “suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya”.30

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statue approach). “Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani”.31

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer.

Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primernya yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum tentang perjanjian kawin.

c. Bahan Hukum Tertier

30

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 10 31

(26)

Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.

Untuk lebih mengkokohkan data, dalam analisanya diambil informasi dari informan yang terdiri dari notaris dan pasangan calon suami isteri yang membuat perjanjian kawin.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara (interview guide).

4. Analisis Data

“Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.32 Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.

32

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2002, hal. 101.

(27)

“Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum terlulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.33

Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.34

33

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 25 1 34

Bambang Sunggono, Meto de Penelitian Hu ku m, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hal. 106

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan perancangan dan simulasi dapat ditarik kesimpulan bahwa pada pengukuran pengaruh HTL dan ETL terhadap struktur blue OLED menggunakan BFE sebagai

Majelis ta‟lim digolongkan sebagai pendidikan nonformal, sedangkan sekolah atau madrasah sebagai pendidikan formal (baca lembaga pendidikan).Fungsi dan Peranan

Leboh lanjut, konsep komunikasi nonverbal dalam CMC yang diaplikasikan pada masa physical distancing pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa interaksi sosial masih tetap bisa

SMPN 24 Padang telah mengembangkan kegiatan lingkungan yang berbasis partisipatif diantaranya: a) Memelihara dan merawat gedung dan lingkungan sekolah oleh warga sekolah

Apabila ditinjau keterkaitan transisi demografi dengan struktur usia penduduk, Adioetomo dan Omas (2011) menjelaskan bahwa penurunan fertilitas akan menurunkan proporsi

Telur penggerek batang tebu raksasa Phragmatoecia castaneae (Lepidoptera: Cossidae) diletakkan secara berkelompok di permukaan bawah daun pucuk yang mati atau pada daun tua

Metoda simulasi yang dilakukan menghasilkan suatu pemecahan masalah yang berhasil dalam mencari jumlah mesin yang tepat untuk mencapai target produksi yang diharapkan

Selain itu, penanaman modal yang semakin meningkat yang dilakukan oleh pemerintah maka ketersediaan barang publik juga aka n meningkat dan akan mendorong peningkatan