• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN OLEH BANK SEBAGAI KREDITOR SEPARATIS DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN OLEH BANK SEBAGAI KREDITOR SEPARATIS DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN OLEH BANK SEBAGAI KREDITOR SEPARATIS DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR A. Pengertian Eksekusi

Istilah eksekusi dalam bahasa Indonesia disebutkan pelaksanaan putusan. Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara yang juga merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara.74 Jadi eksekusi itu adalah tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata juga eksekusi ini dapat pula diartikan menjalankan putusan pengadilan, yang melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela, eksekusi dapat dilakukan apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap.75

Eksekusi tersebut ada 2 (dua) bentuk yakni:76

1. Eksekusi riil adalah yang hanya mungkin terjadi berdasarkan putusan pengadilan untuk melakukan suatu tindakan nyata atau rill yang :

a. Telah memperoleh kekuatan hukum tetap b. Bersifat dijalankan terlebih dahulu c. Berbentuk provisi dan

d. Berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan

2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas bentuk akta yang gunanya untuk melakukan pembayaran sejumlah uang yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap berupa:

a. Grosse akta pengakuan hutang

74

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian Dan

Eksekusi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hal. 119

75

Ibid

76

(2)

b. Grosse akta hipotik c. Grosse akta verband

Grosse akta tidak perlu dibuktikan keabsahannya sehingga harus dianggap benar apa yang tercantum didalamnya, kecuali ada bukti lawan.77

B. Bank sebagai Kreditur Separatis

Semaraknya konflik hutang piutang tidak lepas dari krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 lalu yang mana krisis tersebut telah mengacaukan seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia dan akibatnya sampai sekarang ini masih terasa, dampak krisis tersebut sangat dirasakan oleh pelaku bisnis yang mana dengan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS mengakibatkan nilai bayar melambung tinggi, sehingga biaya produksi dan biaya operasional menjadi meningkat. Terlebih bagi pengusaha yang memiliki kewajiban untuk mengembalikan hutang-hutangnya dalam bentuk valuta asing, dengan meningkatnya nilai dollar tersebut secara otomatis hutang-hutang terhadap kreditur asing menjadi membengkak luar biasa sehingga debitur menjadi tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Dengan berhentinya operasional perusahaan dampak lain adalah dunia perbankan, dengan lesunya usaha maka kredit terhadap lembaga perbankan sebagai pendukung dana ikut tersendat, bahkan banyak pula yang macet. Sebelum krisis moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau

non-performing loans yang memprihatinkan, yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor

riil karena krisis moneter tersebut. Lembaga keuangan yang dikenal dengan nama

77

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal. 89

(3)

bank sudah barang tentu bukan merupakan lembaga yang asing lagi bagi masyarakat di Indonesia sebab lembaga ini mempunyai spesifikasi tersendiri yaitu oleh undang-undang yang mengaturnya dan oleh Pemerintah diberi kewenangan untuk mengumpulkan dana masyarakat dengan jumlah nasabah mencapai ribuan orang, sehingga bank disebut pula sebagai lembaga perantara (financial intermediary) yang mengerahkan dana masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dalam masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit untuk dipergunakan sebagai modal di bidang produksi dan jasa, guna meningkatkan kegiatan perekonomian yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Atas dasar bidang usaha tersebut maka bank mempunyai peran yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu wajar bila perbankan wajib melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit berdasarkan sekurang-kurangnya ada empat pertimbangan penting yaitu:

1. Usaha bank dilakukan dengan menggunakan modal yang berasal dari dana masyarakat yang dihimpunnya oleh karena itu kepentingan masyarakat atas keselamatan dananya perlu dijaga kelangsungannya.

2. Peran yang strategis dari perbankan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

3. Lembaga perbankan adalah lembaga kepercayaan, sekali kepercayaan hilang maka akan sulit untuk meperolehnya kembali.

(4)

4. Kegiatan pemberian kredit merupakan porsi terbesar dari kegiatan bank sedang pemberian kredit itu sendiri sangat beresiko.

Untuk lebih memastikan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dibidang perkreditan, bank diwajibkan untuk memiliki dan menerapkan suatu pedoman perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip perbankan/syariah, sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, ketentuan ini diatur dalan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 dan Surat Edaran Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan Dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum.

Kebijaksanaan perkreditan bank antara lain meliputi:

1. Analisa yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitor.

2. Tidak adanya conflict of interest antara bank dan debitor, terutama debitor pihak yang terkait dengan bank dan debitor besar lainnya.

3. Proses analisa kredit bertumpu pada profesionalisme serta integritas pejabat perkreditan.

4. Penerapan pengendalian intern perkreditan.

C. Pengertian Pailit

Menurut M. Hadi Shubhan:

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dan usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang

(5)

akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh hutang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kredit. 78

Menurut Kartono:

Kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia, tetapi apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, disanalah baru terasa baginya apa artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain kepailitan mempengaruhi credietwaardigheid nya dalam arti yang merugikannya, ia tidak akan mudah mendapatkan kredit.79

Menurut Retnowulan Susanto:

Kepailitan itu sebagai suatu prosedur pembayaran hutang dalam rangka merealisasikan ketentuan pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang tanggung jawab debitur terhadap perikatan – perikatan yang dilakukan krediturnya.80

Pada saat ketentuan peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening) Stb 1905-217 jo 1906-348 diberlakukan, dalam prakteknya masih sangat sedikit para pihak yang ada pada saat itu mempergunakan lembaga dan peraturan kepailitan untuk menyelesaikan persoalan utang piutangnya81 karena Indonesia tidak memiliki perangkat hukum yang sanggup mengakomodir kebutuhan yang menyangkut kepailitan kemudian keluarlah Undang-undang kepailitan yang merupakan pengganti dari peraturan Kepailitan (faillissement verordening) stb 1905-217 jo 1906-348 yang telah diubah dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) Nomor 1 tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi undang undang Nomor 4 tahun

78

M. Hadi Subhan, Op.cit., hal. 1

79

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1999), hal. 42

80

Bernadette Waluyo, Kepailitan Dan PKPU, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 1

81

Munir Fuady, Hukum Pailit 1998, Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1 (selanjutnya disebut Munir Fuady 2).

(6)

1998. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang nomor 4 tahun 1998 yang selanjutnya pada tanggal 18 Oktober 2004 disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, para pihak seperti bersemangat untuk mencoba penyelesaian utang piutang dengan menggunakan lembaga kepailitan, dengan pengertian bahwa lembaga kepailitan ini akan dapat menyelesaikan permasalahan utang piutang mereka dengan prosedur yang serba cepat.82

Perubahan kemudian dilakukan atas ketentuan pranata hukum yang digunakan dalam penyelesaian utang piutang dengan lembaga kepailitan ini. Hal ini disebabkan karena peraturan kepailitan sebagai produk hukum nasional warisan zaman penjajahan Belanda dirasakan sudah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan mekanisme penyelesaian utang piutang.

Untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan lembaga peradilan yang dapat menampung upaya penyelesaian utang piutang melalui lembaga kepailitan maka pada tahun 1998 dibentuk pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan kemudian menyusul Pengadilan Niaga Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar pada tahun 1999. Kepailitan mempunyai tujuan: 83

a. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur di antara para krediturnya. Tujuan dari kepailitan ini merupakan perwujudan dari jaminan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH perdata.84 82 Ibid 83 Ibid 84

Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi: Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan dan pasal 1132 KUH Perdata berbunyi: Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan Barang-barang-Barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukuan.

(7)

Menjamin agar pembagian harta debitur kepada para krediturnya sesuai dengan azas pari passu dibagi secara proporsional. Dengan demikian kepailitan dengan tegas memberikan perlindungan kepada kreditur konkuren.

b. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan pailit, debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus, memindahtangankan harta kekayaannya yang berubah status hukumnya menjadi harta pailit.

Dalam hal mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur maka kreditur harus memenuhi pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan yang menyatakan bahwa : a. Debitur harus mempunyai 2 (dua) kreditor atau lebih

b. Dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Utang yang dimaksud disini adalah utang pokok dan bunganya sehingga yang dimaksud dengan utang disini adalah dalam kaitannya dengan hubungan hukum pinjam-meminjam uang atau kewajiban untuk membayar sejumlah uang sebagai salah satu bentuk khusus dan berbagai bentuk perikatan pada umumnya.85 Utang yang timbul dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang bisa berupa perbuatan yang sesuai dengan undang-undang bisa pula perbuatan yang melanggar hukum.86 Suatu utang dikatakan telah jatuh tempo ketika waktu tersebut telah sesuai dengan jangka waktu yang sudah diperjanjikan atau terdapat hal-hal lain dimana utang tersebut dapat ditagih sekalipun belum jatuh tempo.

85

M. Hadi Subhan, Op.cit., hal. 88-89

86

(8)

Utang yang belum jatuh tempo dapat ditagih dengan menggunakan

acceleration clause atau acceleration provision atau percepatan jatuh tempo dan

default clause.87 Setiawan membedakan acceleration clause dengan default clause,

acceleration clause memberikan hak kepada kreditur untuk mempercepat jangka

waktu jatuh tempo dari utang, jika kreditur merasa dirinya tidak aman (deems itself

insecure) oleh karena itu acceleration clause lebih luas daripada default clause yang

digunakan apabila kreditur memandang bahwa hal tersebut perlu dilakukan meskipun utang belum jatuh tempo.88

Kreditur dapat mempercepat jatuh tempo utang debitor dalam hal terjadi event

oh default artinya telah terjadi sesuatu atau tidak dipenuhinya sesuatu yang

diperjanjikan oleh debitur dalam perjanjian kredit sehingga menyebabkan kreditur mempercepat jatuh tempo. Selanjutnya Setiawan mengatakan bahwa untuk menggunakan acceleration clause harus disertai adanya good faith. Adapun yang dimaksud dengan good faith adalah adanya reasonable evidence dan bukti tersebut tidak harus berupa putusan pengadilan.89

Tahapan/Proses kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian dari mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subjek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori

87

Ibid, hal. 91

88

Setiawan, “Konsep-konsep Dasar serta Pengertian Kepailitan”, Varia Peradilan Nomor

156, 1998, hal. 91

89

(9)

dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitur dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu kepailitan sering diindentikkan sebagai penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditur.90

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utangnya tersebut kepada para krediturnya. Sehingga bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitor, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitur tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy).91

Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas

creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan

(vermogensrechts). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki

90

Ibid, hal. 2

91

Ricardo Simanjuntak, Esensi Pembuktian Sederhana, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal. 55-56

(10)

debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur.92 Sedangkan prinsip pari

passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan

bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.93

Lembaga kepailitan ini diharapkan berfungsi sebagai lembaga alternatif untuk penyelesaian kewajiban-kewajiban debitur terhadap kreditur secara lebih efektif, efisien dan proporsional. Jadi pailit merupakan suatu keadaan dimana seorang debitur tidak mempunyai kemampuan lagi untuk melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada kreditor dan pernyataan pailit atas debitur tersebut harus dimintakan pada pengadilan. Pengertian kepailitan yang diberikan oleh undang-undang, tercantum dalam ketentuan pasal 1 Undang-Undang Kepailitan yaitu kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Dalam Undang-Undang kepailitan dijelaskan yang dimaksud dengan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.94

92

Kartini Mulyadi, dalam Rudy A. Lontoh, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 168

93

Ibid

94

Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443, pasal 1 angka 2

(11)

Menurut Mariam Darus Badrulzaman:

Kreditur adalah pihak yang aktif sedangkan yang berpiutang atau debitur adalah pihak pasif. Seorang debitur harus selamanya diketahui oleh karena seorang tertentu tidak dapat menagih dari sesorang yang tidak dikenal. Lain halnya dengan kreditur boleh merupakan sesorang yang tidak diketahui.95

Namun dalam kepailitan, keberadaan atau eksistensi dari kreditur adalah syarat mutlak dengan alasan sebagai berikut:

a. Karena pasal 2 ayat 1 mensyaratkan adanya concersus creditorium yaitu debitur setidaknya memiliki lebih dari dua kreditur, dalam hal ini pemohon pailit harus dapat membuktikan bahwa debitur juga memiliki kreditur lain dengan jumlah minimal 2 orang.

b. Kehadiran kreditur atau wakilnya yang sah sangat penting untuk menentukan diterima tidaknya rencana perdamaian yang diajukan debitur dalam rapat kreditur.96 Jika jumlah kreditur yang hadir tidak mememuhi ketentuan maka quorum suara tidak terpenuhi.

Keberadaan kreditur konkuren dan separatis sangat mutlak terutama dalam prosedur penundaan kewajiban pembayaran utang untuk menghindari timbulnya kreditur fiktif dalam menentukan diterima tidaknya perdamaian yang diajukan debitur.97

Pasal 1132 KUH Perdata telah mengisyaratkan bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari para kreditor-kreditor lainnya. Dengan adanya kalimat dalam pasal 1132 KUH

95

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra Adityabakti, 1991), hal. 3 (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman 3)

96

Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443, Pasal 152 dan 228

97

Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443, Pasal 281 huruf a dan b

(12)

Perdata yang bunyinya kecuali apabila diantara para kreditur lainnya maka terdapat kreditur-kreditur tertentu yang oleh undang-undang diberikan kedudukan yang lebih tinggi daripada kreditor lainnya. Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa terdapat beberapa jenis kreditur yaitu:

1. Kreditur Konkuren

Dalam lingkup kepailitan yang dapat digolongkan sebagai kreditur konkuren (unsecured creditor) adalah kreditur yang piutangnya tidak dijamin dengan hak kebendaan (security right in rem) dan sifat piutangnya tidak dijamin sebagai piutang yang diistimewakan oleh Undang-Undang.98 Kreditor ini harus berbagi dengan para kreditor lainnya secara proporsional atau disebut juga pari passu, yaitu menurut perbandingan besarnya tagihan masing-masing dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Pembayaran terhadap kreditur konkuren adalah ditentukan oleh kurator.99

2. Kreditur Preferen

Kreditur preferen termasuk dalam golongan secured creditors karena semata-mata sifat piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan pembayarannya. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen berada diurutan atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors lainnya. Utang

98

Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443, Pasal 189 ayat 3.

99

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 103 (selanjutnya disebut Munir Fuady 3)

(13)

debitur pada kreditur preferen memang tidak diikat dengan jaminan kebendaaan tapi undang-undang mendahulukan mereka dalam hal pembayaran.100

3. Kreditur Separatis Menurut Munir Fuady:

Dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditur tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti ia dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit yang umumnya.101

Menurut Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan bahwa sebagai kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki hak preferen dan kedudukannya sebagai kreditur separatis.102

Kreditor separatis dapat menjual dan mengambil sendiri hasil dari penjualan objek jaminan. Bahkan jika diperkirakan hasil penjualan atas jaminan utang itu tidak menutupi seluruh utangnya maka kreditor separatis dapat memintakan agar terhadap kekurangan tersebut dia diperhitungkan sebagai kreditor konkuren. Sebaliknya apabila hasil dari penjualan jaminan utang melebihi utang-utangnya maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada debitor.

Ketiga kreditur ini tidak kehilangan kewenangannya untuk mengajukan permohonan kepailitan atas debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar.103 Ketiga kreditur tersebut diakui eksistensinya. Dalam Undang-undang kepailitan Belanda tidak terdapat keraguan terhadap hak kreditur separatis dan preferen untuk mengajukan kepailitan, hal ini juga dikemukakan oleh Abdul Hakim

100

Dalam kepailitan, ongkos kepailitan dan upah kurator dimasukkan sebagai tagihan preferen yang didahulukan pembayarannya atas tagihan kreditur konkuren. Lihat Pasal 18 ayat 5 Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443.

101

Munir Fuady 1,Op.cit., hal. 105

102

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 17 (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman 4)

103

J. Djohansjah dalam Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan Dan

(14)

Garuda Nusantara yang menyambung pendapat dari Polak bahwa kreditur-kreditur tersebut tidak kehilangan kewenangannya untuk mengajukan permohonan kepailitan atas debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar.104

4. Kreditur pemegang hak istimewa

Kreditur pemegang hak istimewa (privilege) yang oleh undang-undang diberi kedudukan didahulukan semata-mata karena sifat piutangnya, baik dari kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Lebih lanjut pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata menyatakan bahwa hak agunan kebendaan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi terhadap hak istimewa (privilege) kecuali tidak dengan tegas ditentukan lain oleh undang-undang 105 artinya dalam mengambil pelunasan dari hasil penjualan benda-benda milik debitor yang diletakkan hak jaminan, dan ada kreditor pemegang hak istimewa dan sisanya diambil oleh kreditor konkuren.

Kedudukan para kreditur separatis dengan jelas diatur dalam pasal 55 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan dalam pasal 55 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini konsisten dengan ketentuan perundangan lain yang mengatur

104

Ibid

105

Undang-Undang membedakan 2 kelompok hak istimewa yaitu piutang yang diistimewakan atas benda-benda tertentu (benda yang ditentukan secara khusus) seperti biaya perkara, upah tukang, biaya menyelamatkan barang-barang dan lain-lain, dan piutang yang diistimewakan atas semua benda milik debitur (benda debitur pada umumnya) seperti biaya penguburan, biaya pengobatan, tagihan sekolah, dan lain-lain sehingga 2 kelompok itu disebut juga dengan istilah

(15)

tentang parate executie dari pemegang hak jaminan atas kebendaan seperti hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia. 106

Berdasarkan hukum kepailitan kreditur yang dapat digolongkan sebagai kreditor separatis yang piutangnya dijamin dengan security right in rem adalah kreditur pemegang hak yang terdiri dari:

a. Hak Tanggungan, pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

b. Gadai, pasal 1150 KUH Perdata.

c. Fidusia, Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

d. Kreditur yang memiliki hak retensi atas suatu barang dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004.

Pemilik keempat hak ini dilindungi secara super preferen dan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.107 Pemegang keempat hak ini dianggap berdiri sendiri (separatis).108 Kedudukan kreditur separatis sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistemewakan lainnya.109

Kedudukan kreditur separatis diatur dalam 2 (dua) tahap yaitu Kedudukan Kreditur Separatis Pada Periode Pra Pailit dengan jelas diatur dalam pasal 55

106

Pasal 244 ayat 1 dan 246 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaaa Kewajiban Pembayaran Utang semenatara tidak berlaku bagai kreditur separatis dan pasal 55, 57 dan 58 berlaku mutatis mutandis dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

107

Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Baru Untuk Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 78

108

Ibid

109

(16)

Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan dalam pasal 55 ini konsisten dengan ketentuan perundangan lainnya yang mengatur tentang parate executie dari pemegang hak jaminan atas kebendaan seperti hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia.110 dan Kedudukan Kreditur Separatis Periode Pasca Pernyataan Pailit mengacu pada pasal 55 dan 244 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu kreditur berada diluar dari kepailitan debiturnya karena sifat jaminan piutang yang dimilikinya memberi hak untuk mengeksekusi sendiri barang jaminan guna pelunasan piutangnya.

Selama penangguhan berlangsung segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan dan baik kreditur maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohon sita atas benda yang menjadi agunan. Bandingkan dengan utang piutang yang tidak dijamin dengan hak tanggungan, jika debitor cidera janji eksekusi dilakukan melalui gugatan perdata menurut hukum acara perdata yang berlaku. Penyelesaian utang piutang yang bersangkutan melalui acara ini memerlukan waktu, karena pihak yang dikalahkan di tingkat pengadilan negeri bisa mengajukan banding, kasasi, bahkan masih terbuka kesempatan untuk minta peninjauan kembali.

Menurut Boedi Harsono, ciri khas dari hak tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah adalah bahwa hak tanggungan mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

110

Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, LN Nomor 131 tahun 2004, TLN Nomor 4443, Pasal 244 ayat 1 dan 246

(17)

Pasal 20 ayat 1 memberi kemudahan hukum pada kreditor pemegang hak tanggungan dalam hal debitor cidera janji yaitu

1. Hak untuk atas kekuasaan sendiri menjual objek hak tanggungan yang disebut dalam pasal 6. Hal ini dapat dilaksanakan jika didukung oleh janji yang disebut dalam pasal 11 ayat 2 huruf e, yang dalam bahasa belanda dikenal sebagai beding

van eigenmachtige verkoop, Jika debitor cidera janji pemegang hak tanggungan

dapat langsung minta pada kantor lelang negara untuk menjual dalam pelelangan umum objek hak tanggungan yang bersangkutan, dan mengambil dari hasilnya sebagian atau seluruhnya untuk pelunasan piutangnya dengan hak mendahulu dari pada kreditor kreditor lain, ini tata cara yang paling singkat dan paling mudah. 2. Kreditor tidak perlu mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi hak tanggungan belum ada, yang ada sekarang adalah peraturan eksekusi hipotik. Ketentuan khusus mengenai eksekusi hipotik diatur dalam pasal 224 Het Herziene

Indonesisch Reglement dan Pasal 258 Rechtsreglement Buitengewesten. Selama

peraturan khusus tersebut mengenai eksekusi hak tanggungan yang dimaksud belum ada untuk sementara dipergunakan ketentuan eksekusi hipotik yang dikenal dengan istilah “parate executie”

D. Hak Kreditor Separatis Dalam Pelelangan Eksekusi Hak Tanggungan

Berdasarkan pasal 12A Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan maka bank umum sebagai kreditor dapat membeli dalam pelelangan umum objek hak

(18)

tanggungan tersebut, bahkan penyerahan agunan secara sukarela berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan kreditor dapat membeli agunan tersebut. Pembelian tersebut baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan dengan syarat agunan yang dibeli tersebut wajib dicarikan (dijual) secepatnya. Kreditur harus mempunyai alas hak untuk melakukan eksekusi tersebut yaitu dengan sita eksekutorial. Pelelangan ini dapat diikuti oleh seluruh warga negara Indonesia yang cakap hukum.

E. Akibat Eksekusi Hak Tanggungan

Akibat eksekusi hak tanggungan maka perikatan yang berkaitan dengan pemberian hak tanggungan, yaitu akta pemberian hak tanggungan dan sertipikat hak tanggungan menjadi berakhir. Demikian pula apabila hasil eksekusi hak tanggungan itu telah cukup untuk melunasi hutang debitor maka perikatan melalui perjanjian kredit juga telah berakhir pula.

Berdasarkan pasal 1381 KUH Perdata/BW perikatan dapat hapus: 1. Karena pembayaran

2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan 3. Karena pembaharuan hutang

4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi 5. Karena pencampuran hutang

6. Karena pembebasan hutangnya

7. Karena musnahnya barang yang terutang 8. Karena kebatalan atau pembatalan

9. Karena berlakunya suatu syarat batal yang diatur dalam bab kesatu buku ini 10. Karena lewatnya waktu hal mana akan diatur dalam bab tersendiri.

(19)

Dengan hapusnya perikatan maka kreditur akan mengeluarkan surat roya dan dengan dasar surat roya inilah dan sertipikat hak tanggungan pembeli akan memohon pencabutan hak tanggungan di kantor pertanahan setempat.

F. Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Hak Tanggungan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam undang-undang Kepailitan dikenal adanya tiga golongan kreditur salah satunya adalah kreditur separatis yaitu kreditur pemegang hak jaminan seperti halnya pemegang hak tanggungan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT) oleh karena itu putusan pernyataan pailit pada debitur tidak mempunyai pengaruh terhadap pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak tanggungan dianggap sebagai kreditur istimewa. Berdasarkan azas yang melekat pada hak tanggungan maka hak utama sebagai kreditur preferen memberikan kedudukan untuk didahulukan pelunasan utangnya dibandingkan dengan kreditur lain. Hak tanggungan juga memberikan hak separatis kepada pemegang hak tanggungan dalam arti kreditur dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri hasil penjualan benda debitur.

Dalam prinsip pari pasu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan debitur pailit tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara para krditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran

(20)

tagihannya. 111 Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitur untuk melunasi hutang-hutangnya terhadap kreditur secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan secara sama rata. Jika dalam prinsip paritas creditorium bertujuan untuk memberikan keadilan kepada semua kreditur tanpa pembedaan kondisinya terhadap harta kekayaan debitur kendatipun harta kekayaan debitur tersebut tidak berkaitan langsung dengan transaksi yang dilakukan maka prinsip pari passsu prorate parte memberikan keadilan kepada kreditur dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditur yang memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapat porsi pembayaran piutangnya dari debitur lebih besar dari kreditur yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya. Seandainya kreditur disamaratakan kedudukannya tanpa melihat besar kecilnya piutang maka akan menimbulkan suatu ketidakadilan sendiri. Ketidakadilan pembagian secara

paritas creditorium dalam kepailitan akan muncul ketika harta kekayaan debitur pailit

lebih kecil dari jumlah utang-utang debitur. Seandainya harta kekayan debitur pailit lebih besar dari jumlah seluruh utang-utang debitur maka penerapan prinsip pari

passu prorate parte menjadi kurang relevan. Demikian pula penggunaan lembaga

hukum kepailitan terhadap debitur yang memiliki aset lebih besar dari jumlah seluruh utang-utangnya adalah tidak tepat dan kurang memiliki relevansinya. Selanjutnya kepailitan akan terjadi apabila aktiva lebih kecil dari pada passiva. Kepailitan adalah sarana untuk menghindari perebutan harta debitur seteleh debitur tidak lagi memiliki

111

Kartini Muljadi, Actio Paulina dan Pokok-pokok tentang pengadilan Niaga, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 300

(21)

kemampuan untuk membayar utang-utangnya. Sebaliknya pula kepailitan digunakan untuk melindungi kreditur yang lemah terhadap kreditur yang kuat dalam memperebutkan harta debitur. Sehingga pada hakikinya prinsip pari passu prorate

parte adalah inheren dengan lembaga kepailitan itu sendiri. 112

Penggunan prinsip paritas creditorium yang dilengkapi dengan prinsip pari

passu prorate parte dalam konteks kepailitan juga masih memiliki kelemahan jika

antara kreditor tidak sama kedudukannya karena ada sebagian kreditur memegang hak jaminan kebendaan dan/atau kreditur yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh undang-undang.

Apabila kreditur yang memegang jaminan kebendaan disamakan dengan kreditor yang tidak memegang jaminan kebendaan adalah bentuk sebuah ketidakadilan. Bukankah maksud adanya lembaga jaminan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang hak jaminan tersebut. Jika pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditur pemegang hak tanggungan dengan kreditur yang tidak memiliki jaminan kebendaan maka adanya lembaga hukum jaminan tidak ada fungsinya sama sekali. Demikian pula dengan kreditur yang oleh undang-undang diberikan keistimewaan yang berupa hak preferensi dalam pelunasan piutangnya jika kedudukan disamakan dengan kreditur yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka untuk apa undang-undang melakukan pengaturan terhadap kreditur-kreditur tertentu dapat memiliki kedudukan istimewa dan karenanya memiliki preferensi dalam pembayaran terhadap piutang-piutangnya.

112

(22)

Ketidakadilan seperti ini diberikan jalan keluar dengan adanya prinsip structured

prorate.113

Kreditur yang berkepentingan terhadap debitur tidak hanya kreditur konkuren saja melainkan juga kreditur pemegang hak jaminan kebendaan seperti hak tanggungan atau yang sering disebut kreditur separatis dan kreditur yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan atau yang dalam hukum kepailitan tersebut kreditur preferen. Memang kreditur separatis sudah memegang jaminan hak tanggungan dan dapat mengeksekusi jaminan hak tanggungan yang dipegangnya seolah –olah tidak terjadi kepailitan, akan tetapi kreditur pemegang hak tanggungan (separatis) tersebut masih memiliki kepentingan yang berupa sisa tagihan yang tidak cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta kepentingan mengenai keberlangsungan usaha debitur. 114

Dengan demikian perlindungan kreditur pemegang hak tanggungan dalam hukum kepailitan adalah sebagai kreditur separatis yang didalam ketentuan pasal 55 undang-Undang Kepailitan mempunyai hak jaminan atas hak tanggungan itu seolah-olah terjadi kepailitan pada debitur. Selain itu juga sebelum terjadinya kepailitan maka kreditur pemegang hak tanggungan ini juga berkesempatan untuk melakukan pailit terhadap debitur pemberi hak tanggungan tersebut.

113

Ibid, hal. 31

114

(23)

Selanjutnya terhadap debitor pailit juga bisa dikenakan ketentuan pidana Ketentuan pidana mengacu pada KUHP yang tersebar dalam beberapa ketentuan yang berkaitan dengan kepailitan atas perbuatan-perbuatan sebagai berikut:115

1. Tidak mau hadir atau memberikan/tidak memberikan keterangan yang menyesatkan dalam proses pemberesan pailit (Pasal 226 KUHP).

2. Perbuatan debitor pailit yang merugikan kreditor (Pasal 396 KUHP).

3. Perbuatan debitor memindahtangankan harta sehingga merugikan para kreditor dan menyebabkan pailit (pasal 397 KUHP).

4. Perbuatan direksi atau komisaris perseroan yang menyebabkan kerugian perseroan baik sebelum atau setelah pailit. (Pasal 398 dan 399 KUHP).

5. Perbuatan menipu oleh debitor pailit kepada para kreditor (Pasal 400 KUHP). 6. Kesepakatan curang antara debitor pailit dengan kreditor dalam rangka penawaran

perdamaian kepailitan (Pasal 401 KUHP).

7. Tindakan debitor pailit yang mengurangi hak-hak kreditor (Pasal 402 KUHP). 8. Perbuatan direksi perseroan terbatas yang bertentang dengan anggaran dasar

(Pasal 403 KUHP).

Kriteria pidana yang harus dipenuhi yakni dalam pasal 396 KUHP (bangkrut sederhana)

1. Pengeluaran-pengeluarannya yang melewati batas kehidupan sehari-hari terlalu boros atau

2. Meminjam uang/modal dengan bunga yang tinggi padahal diketahui bahwa hal itu tidak menolong kepailitannya.

3. Tidak dapat memperlihatkan secara utuh tanpa perubahan-perubahan (coretan-coretan atau tulisan-tulisan) sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 KUHD.

Sedangkan dalam kepailitan terjadi karena kecurangan dalam pasal 397 KUHP yakni: 116

1. Ada tiga macam perbuatan:

a. Mengarang perbuatan yang tidak pernah ada b. Tidak membukukan suatu pendapat

c. Menyisihkan atau menarik suatu barang dan budel

115

Ibid, hal 183-184

116

(24)

2. Tindakan melepas suatu barang dari budel secara cuma-cuma atau dengan terang-terangan dibawah harga.

3. Tindakan berupa apa saja, menguntungkan salah seorang kreditor. 4. Tindakan berupa penyimpangan dari ketentuan pasal 6 KUHD.

Kepailitan bukanlah suatu kriminalitas, meskipun nantinya dalam proses kepailitan akan dimungkinkan adanya kejahatan kepailitan subjek hukum yang dinyatakan pailit tidak mutatis mutandis memenuhi unsur tindakan pidana, Misalnya suatu perseroan terbatas yang dinyatakan pailit tidak mutatis mutandis organ-organ perseroan terbatas tersebut dapat dipidana atas pailitnya perseroan tersebut. Kepailitan adalah berkaitan dengan proses pemberesan harta kekayaan debitor untuk membayar utang-utangnya. Dengan demikian subjek hukum yang telah dinyatakan pailit tidak sama dengan bahwa ia telah melakukan sebuah tindakan criminal . Untuk dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur dan kriteria sebagaimana yang diatur dalam KUHP tersebut diatas.117

117

Referensi

Dokumen terkait

Metode analisis yang digunakan adalah studi pustaka yang dilakukan dengan mempelajari buku-buku yang dapat menunjang penulisan skripsi ini dan studi lapangan dilakukan

Dalam kajian ini, pengukuran yang dilakukan ialah di antara hubungan tahap kompetensi dengan tahap kesediaan guru bukan opsyen TMK di daerah Kulaijaya untuk melaksanaan

Oleh itu, kajian ini dijalankan bertujuan untuk melihat elemen-elemen pengajaran guru berdasarkan Modul Pentaksiran Berasaskan Sekolah(MPBS) dalam sesi amali di

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang tercantum dalam Undang-undang KUP dan peraturan

Dari data di atas dapat dilihat bahwa setiap tahunnya jumlah wajib pajak badan yang menggunakan e-filling di KPP Pratama Medan Petisah mengalami peningkatakan

1) Demokrasi atau pemerintahan rakyat yang digunakan oleh pemerintah Indonesia adalah sistem pemerintahan rakyat yang dijiwai dan dituntun oleh nilai-nilai

Dari percobaan yang telah dilakukan dan perhitungan yang telah didapatkan, dapat diketahui bahwa nilai panjang gelombang dari warna merah menuju warna ungu

Sikap Tanggung jawab, peduli sesama, dan menghargai orang lain yang terdapat dalam kumpulan cerpen Guruku Superhero merupakan contoh dari nilai moral hubungan manusia