• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan yang terutama dipengaruhi oleh perubahan penutupan lahan/vegetasi dan penggunaan lahan tanpa memperhatikan kaidah konservasi. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah DAS yang membutuhkan prioritas penanganan (DAS kritis)

yaitu dari 22 pada tahun 1984, meningkat menjadi 282 pada Tahun 20051. Pada

tahun 2009, dari sejumlah DAS kritis tersebut, telah ditetapkan 108 DAS yang akan

mendapat prioritas penanganan2

Sub DAS Keduang yang berada di wilayah hulu salah satu DAS prioritas yaitu DAS Bengawan Solo merupakan sub DAS yang terdegradasi. Suatu DAS dikatakan terdegradasi atau mengalami kekritisan apabila ada penurunan potensi produksi lahan, perubahan watak hidrologi dan penurunan peluang ekonomi (Paimin et.al., 2006). Penelitian yang dilakukan Suyana (2009) menunjukkan bahwa lahan di wilayah Sub DAS Keduang sudah mengalami degradasi dengan berbagai tingkatan mulai dari ringan sampai berat. Degradasi lahan yang diakibatkan erosi di Sub DAS Keduang berpengaruh buruk pada wilayah on-site (penurunan produktivitas lahan dan pendapatan petani, serta terjadinya lahan kritis) maupun wilayah off-site (sedimentasi

.

1 Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun

2004-2009

2

Keputusan Menteri Kehutanan No.: SK. 328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014

(2)

2 waduk, banjir, dan kekeringan). Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Wonogiri (2011), luas lahan kritis di wilayah Sub DAS Keduang sebesar 13,30% (5.284 ha), dan lahan potensial kritis

yaitu 40,04% (15.912 ha) dari seluruh luas wilayah Sub DAS Keduang3 seluas

39.736,29 ha. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa lahan kritis di Sub DAS

Keduang sudah relatif besar4

Upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi DAS sebenarnya sudah dimulai sejak lama, antara lain melalui Proyek Inpres Penghijauan dan Reboisasi yang dimulai pada tahun 1976/1977 (Nawir et.al., 2008). Namun berdasarkan data DAS prioritas, upaya tersebut tampaknya belum dapat dikatakan berhasil. Hal ini terjadi karena permasalahan DAS seperti erosi, sedimentasi, lahan kritis, banjir, kekeringan . Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) menunjukkan bahwa setiap tahun Sub DAS Keduang menyumbangkan sedimentasi terbesar ke Waduk Gajah Mungkur yaitu 1.218.580 m3 atau sekitar 38%

dari total sedimen sebesar 3.178.510 m3 yang berasal dari 5 sub DAS besar (termasuk

Sub-DAS Keduang yang merupakan sub DAS terluas) dan beberapa sub DAS kecil (Ditjen SDA, 2007). Oleh karena itu, melalui Inpres No. 5 tahun 2008 dalam kebijakan rehabilitasi lahan, Sub DAS Keduang ditetapkan sebagai fokus untuk kegiatan Pilot Project pengelolaan DAS Terpadu.

3 Instruksi Menteri Kehutanan No: INS.3/Menhut-II/2009 dengan Lampiran Surat Edaran No :

SE.02/V-SET/2009 tentang Penetapan Wilayah Kerja BPDAS

4

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.61/Menhut-II/2014 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(3)

3 dan lain sebagainya sering dipandang sebagai masalah fisik semata, sehingga pendekatan teknologi selalu diandalkan untuk memecahkannya (Dixon dan Easter, 1986; Putro et.al., 2003). Masalah sosial yang menyangkut manusia sebagai pengelola DAS seringkali kurang mendapat perhatian. Padahal, manusia memiliki karakteristik yang berpengaruh, baik langsung maupun tidak langsung terhadap karakteristik fisik DAS. Sebaliknya karakteristik manusia juga dipengaruhi oleh karakteristik alam sekitarnya. Dalam perjalanannya, kedua komponen tersebut saling membentuk satu dengan yang lainnya (Lovelace dan Rambo, 1986; Putro et.al., 2003; Paimin et.al., 2004).

Adanya hubungan timbal balik antara kondisi fisik dan kondisi masyarakat dalam DAS, mengakibatkan masalah DAS tidak dapat diselesaikan hanya dengan mempertimbangkan faktor fisik semata. Keberhasilan pengelolaan DAS tidak hanya membutuhkan pemahaman mengenai sumber daya dan proses alam, tetapi juga pertimbangan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi penggunaannya (Lovelace dan Rambo, 1986), sehingga pendekatan top-down dalam pengelolaan DAS yang mengabaikan local community dan farmer incentives pada umumnya gagal (Dixon dan Easter, 1986). Penelitian yang dilakukan pada beberapa desa di Sub DAS Keduang menunjukkan bahwa perilaku masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan lahan dan konservasi akan berpengaruh terhadap erosi yang dihasilkan (Rahayu, 2007; Indrawati et.al., 2009). Oleh karena itu, peran serta dan kemandirian masyarakat merupakan elemen penting dalam pengelolaan DAS terutama untuk DAS

(4)

4 skala paling kecil (DAS mikro), karena masyarakat akan lebih mudah terlibat secara langsung dalam pengelolaan DAS skala kecil.

Banyak program pemerintah untuk pengelolaan DAS dengan melibatkan masyarakat telah dilakukan di wilayah Sub DAS Keduang. Program-program yang dilaksanakan antara lain Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA), Konservasi DAS Hulu, Pengembangan Usahatani Konservasi Lahan Terpadu (PUKLT), dan pembangunan Areal Model DAS Mikro (MDM). Dalam program-program tersebut, pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu elemen kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan

program5

Konsep pemberdayaan masyarakat intinya adalah memampukan dan memandirikan masyarakat yang menekankan pada otonomi pengambilan keputusan

. Hal tersebut sejalan dengan mandat dari Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS yang mencantumkan pasal-pasal tentang pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS yaitu pasal 61 sampai 63. Bahkan pada tahun 2014, Menteri Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.17/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Pengelolaan DAS. Hal tersebut menunjukkan pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS.

5

Kesepakatan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Pertanian No. PKS.10/Menhut.V/2007; No. 06/PKS/M/2007; No. 100/TU.210/M/5/2007 tentang Rehabilitasi DAS Kritis untuk Konservasi Sumber Daya Lahan dan Air; Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 70/Menhut-II/2008 Tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan; Peraturan Dirjen RLPS Departemen Kehutanan No. P.15/V-SET/2009 tentang Pedoman Pembangunan MDM; dan Pedoman Teknis Konservasi DAS Hulu TA. 2009 dari Direktorat Pengelolaan Lahan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian.

(5)

5 oleh masyarakat (Wrihatnolo dan Dwijowiyoto, 2007). Dalam pelaksanaannya, kadang pemberdayaan masyarakat tidak atau belum berjalan. Hal itu terjadi karena adanya anggapan bahwa masyarakat lemah, kurang memiliki kemampuan, dan tidak tahu bagaimana memperbaiki nasibnya, sehingga bantuan material dan pendekatan pembangunan yang berasal dari luar dirasa lebih tepat (Kartasasmita, 1997). Hal tersebut juga terjadi di Sub DAS Keduang. Penelitian yang dilakukan oleh Pramono et.al. (2009) menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah lebih banyak dilakukan dengan pemberian bantuan antara lain berupa bibit, pupuk dan subsidi. Bentuk bantuan tersebut kadang kurang sesuai dengan kondisi fisik dan kebutuhan masyarakat setempat. Akibatnya bukan saja upaya pemberdayaan masyarakat yang gagal tetapi upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah juga gagal, karena kegiatan sering tidak berlanjut setelah bantuan usai.

Beberapa program yang dilaksanakan di Sub DAS Keduang, seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dan GN-KPA, juga belum dapat dikatakan berhasil (Pudjianto, 2009). Hal ini dikarenakan species yang digunakan pada umumnya dipilih oleh instansi pemerintah sehingga tidak menimbulkan rasa memiliki, dan tidak dapat meningkatkan kemampuan serta kesadaran masyarakat

untuk mendukung pelaksanaan program (Nawir et.al., 2008). Demikian pula dengan

(6)

6

dilaksanakan di sembilan desa dan pada tahun 2013 sudah dilaksanakan di 23 desa6

Meskipun penelitian-penelitian tersebut sudah mengindikasikan belum berhasilnya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS, tetapi belum memberikan informasi detail tentang tingkat keberdayaan masyarakat. Penelitian Pramono et.al. (2009) dan Nawir et.al. (2008) lebih diarahkan untuk mengevaluasi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan secara fisik, serta partisipasi masyarakat dalam kegiatan yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Adapun penelitian Pudjianto (2009) lebih diarahkan untuk melihat tingkat atau tipologi partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air. Selain itu, sampai saat ini evaluasi yang dilakukan terhadap program-program pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan DAS (RHL, GN-KPA, MDM dan PUKLT) lebih difokuskan pada realisasi kegiatan fisik antara lain penanganan bibit, persiapan lahan, realisasi penanaman, dan prosen tumbuh tanaman, serta administrasi kelembagaan seperti pembentukan organisasi, rencana kerja (RDK/RDKK) dan kelengkapan buku . Hasil penelitian menunjukkan bahwa GN-KPA yang dilaksanakan di wilayah Sub DAS Keduang belum merupakan program partisipatif, karena partisipasi masyarakat masih tergolong rendah terutama pada tahap perencanaan dan evaluasi. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat seharusnya adalah meningkatkan kapasitas anggota masyarakat (Pudjianto, 2009).

6

Keputusan Bupati Wonogiri No. 286 Tahun 2013 tentang Penetapan Lokasi Pelaksanaan GNKPA di Sub DAS Keduang Kabupaten Wonogiri

(7)

7 administrasi, sedangkan evaluasi khusus terhadap kegiatan pemberdayaan masyarakat belum dilakukan. Kenyataan tersebut menunjukkan perlunya dilakukan evaluasi

khusus terhadap pemberdayaan masyarakat dalam program-program pemerintah

untuk pengelolaan DAS.

Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS bukanlah suatu hal yang mudah. Hal itu disebabkan hasil atau manfaat pengelolaan DAS baru dapat dirasakan dalam jangka panjang, dan dengan adanya hubungan hulu hilir dalam suatu DAS, manfaat pengelolaan DAS tidak hanya dirasakan oleh pelaku kegiatan (on-site) tetapi juga oleh masyarakat di tempat lain (off-site). Selain itu, berdasarkan penguasaannya, sumber daya dalam DAS bisa dikelompokkan menjadi sumber daya yang dikuasai oleh negara dan yang dikuasai oleh rakyat baik secara individu atau komunitas, sehingga pengelolaannya memerlukan keputusan bersama dan tindakan bersama

(collective action)baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antar masyarakat.

Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa keputusan bersama akan lebih mudah dicapai dan tindakan bersama (collective action) akan lebih mudah dilakukan apabila ada modal sosial struktural serta modal sosial kognitif (Krishna and Uphoff, 2002; Grootaert dan Bastelaer, 2002a; Maridi, 2012; Suwarto, 2012). Bahkan Dahal dan Adhikari (2008) menyatakan bahwa modal sosial yang merujuk pada trust, norms dan networks, memainkan peran vital dan menentukan keberhasilan atau kegagalan dari collective action. Hasil-hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa modal sosial perlu dipertimbangkan ketika menyusun rencana pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS.

(8)

8 Namun demikian, berdasarkan peraturan dan pedoman yang berkaitan dengan pengelolaan DAS, elemen modal sosial belum benar-benar dijadikan sebagai salah satu dasar pertimbangan untuk penyusunan rencana pengelolaan DAS termasuk pemberdayaan masyarakatnya. Selama ini penyusunan rencana rehabilitasi lahan dan rencana pengelolaan DAS didasarkan pada: 1) kondisi biofisik antara lain iklim, topografi, tanah, penggunaan lahan, lahan kritis, erosi, sedimentasi, dan hidrologi; 2) kondisi sosial ekonomi antara lain kependudukan, penguasaan lahan, pendapatan, tekanan penduduk, kepedulian individu terhadap upaya konservasi tanah dan air, sarana prasarana dan konflik pemanfaatan sumber daya; serta 3) kelembagaan formal

dan informal7

7

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 26/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; Peraturan Dirjen RLPS Departemen Kehutanan No. P.15/V-SET/2009 tentang Pedoman Pembangunan MDM; Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.37/Menhut-V/2010 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan; Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

. Walaupun dalam beberapa peraturan sudah memasukkan sebagian data modal sosial seperti keberadaan dan penegakan aturan, serta kerjasama antar anggota masyarakat melalui data kelembagan formal dan informal, hal tersebut belum tertuang dalam rencana pengelolaan DAS yang disusun. Demikian juga untuk implementasi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS yang pada umumnya lebih difokuskan pada pemberian subsidi dan bantuan fisik, dan bahkan kadang bentuknya juga sama untuk beberapa daerah tanpa mempertimbangkan modal sosial masyarakat.

(9)

9

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada, permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian ini berkaitan dengan pengelolaan DAS mikro di Sub DAS Keduang yaitu:

1. Bagaimana implementasi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS mikro di Sub DAS Keduang?

2. Bagaimana peran modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan DAS mikro di Sub DAS Keduang?

3. Bagaimana merumuskan strategi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS mikro di Sub DAS Keduang?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi serta mendeskripsikan implementasi pemberdayaan masyarakat

dalam pengelolaan DAS mikro di wilayah Sub DAS Keduang.

2. Mengidentifikasi modal sosial masyarakat dan perannya dalam pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan DAS mikro di wilayah Sub DAS Keduang.

3. Merumuskan strategi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS mikro di wilayah Sub DAS Keduang.

(10)

10

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pihak baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dalam tataran teoritis, manfaat penelitian ini adalah:

1. Memperkaya pengetahuan dan pemahaman tentang modal sosial, serta perannya baik dalam pemberdayaan masyarakat maupun pengelolaan DAS pada skala mikro.

2. Memberikan informasi bagi penelitian lain yang serupa sehingga dapat melakukan penyempurnaan untuk kemajuan pengetahuan tentang modal sosial serta pemberdayaan masyarakat khususnya dalam pengelolaan DAS mikro.

Dalam tataran praktis, manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan masukkan bagi para pihak tentang pentingnya pendekatan pengelolaan DAS dalam skala mikro

2. Memberikan masukan bagi para pihak dalam merencanakan dan melakukan evaluasi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam pengelolaan DAS mikro.

3. Memberikan informasi bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan sistem pemberian bantuan kepada masyarakat serta strategi pemberdayaan masyarakat yang lebih efektif, khususnya dalam pengelolaan DAS mikro.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai teknologi AJAX yang dibahas pada artikel ini akan menggunakan contoh website (subdomain) pada Universitas Matana yang akan digunakan oleh para

Membantu dalam perancangan pengukuran kinerja dari sistem SDM dengan konsep HR Scorecard untuk mengetahui ukuran kontribusi yang digunakan sebagai indikator pencapaian

Below is a generic list of subjects offered by the Faculty of Cultural Sciences in the February to June semester.. The list for the coming semester will only be available after

Gambar 9 Grafik jitter tanpa background traffic Gambar 10 Grafik jitter dengan background traffic Gambar 9 dan gambar 10 adalah hasil pengukuran yang didapat untuk

Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa pelayanan tingkat desa di Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan yang menyatakan “Baik” apabila diklasifikasikan berdasarkan jenis

13 Ibnu Nujaim, al Asyabah wa al Nazhaír, Dar al Fikr, Damascus, h.115.. di jabarkan di bawah ini: 1) Penjelasan terhadap kaidah pertama, ”Segala urusan tergantung dari pada

(3) Pelaksanaan program pengembangan SDM (Guru) telah berjalanan sesuai dengan perencanaan, dan (4) Pengawasan dalam pelaksanaan program pengembangan SDM (Guru) di dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah terdapat peningkatan relevansi nilai informasi akuntansi yang diproksikan dengan pengaruh relevansi nilai laba, nilai