I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di
Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda
diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Sudarto
menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda.1
Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan
hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan
kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut
dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering
berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya tidak adil
(unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.
1
2
Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan
dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)
2012 yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan
dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara bangsa Indonesia. Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan
sebagai perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Penjelasan Umum RKUHP 2012 juga menyatakan bahwa Penyusunan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan
KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya
merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha
tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung
pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan
pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang
dalam masyarakat.
Berkaitan dengan penetapan sanksi pidana yang masih menempatkan pidana mati
sebagai pidana yang terberat. Kritik atas masih dipertahankannya pidana mati bagi
pelaku ini didasarkan atas pelanggaran terhadap konstitusi dimana dalam UUD
Amandemen Kedua, secara tegas dinyatakan tentang jaminan atas hak hidup dan
3
karena itu, pembaharuan hukum pidana, dalam hal ini berkaitan dengan stelsel pidana
dalam RKUHP 2012, harus dilandasi dengan tujuan pemidanaan. Mengetahui maksud
dan capaian tentang tujuan pemidanaan akan menunjukkan paradigma negara
atas perlindungan dan jaminan keadilan dan perlindungan hak asasi warga
negaranya.
Stelsel pidana atau susunan pidana, yang dijadikan dasar penjatuhan pidana bagi
pelaku yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan sangat penting bagi suatu
Negara yang mengakui hak asasi manusia. Stelsel pidana yang diatur dalam KUHP
sudah tidak tepat lagi untuk terus diberlakukan dan dikenakan kepada pelaku tindak
pidana. Oleh karenanya, perlu dilakukan peninjauan terhadap stelsel pidana yang ada
dalam KUHP, dan itu telah dilakukan dalam RKUHP 2012, dimana stelsel pidananya
lebih beragam dan berorientasi kepada perlindungan hak asasi manusia. Persoalan yang
lain adalah dalam KUHP yang berlaku sekarang ini tidak diatur tentang tujuan dan
pedoman pemidanaan, padahal kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat penting
sebagai panduan bagi hakim dalam memutuskan suatu pidana bagi pelaku kejahatan.
Stelsel pidana dalam KUHP itu diatur dalam Pasal 10 sebagai berikut:
a. Pidana Pokok: 1. pidana mati, 2. pidana penjara, 3. pidana kurungan, 4. denda,
5. pidanan tutupan.
b. Pidana Tambahan:
4
Akibat dari tidak adanya rumusan tujuan pemidanaan ini menyebabkan banyak
sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang tidak konsisten dan tumpang
tindih. dalam KUHP sebagaimana dikatakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief:
Hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan. Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidaknya mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi.2
Masalah pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang
dianggap paling baik, paling tepat, paling patut, paling berhasil atau efektif
merupakan masalah yang tidak mudah. Dilihat dari sudut politik kriminil, maka
tidak terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat,
justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan
ditetapkan.3
Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP 2012, jika dibandingkan dengan
KUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa perubahan mendasar. Bagian
mengenai pemidanaan diantaranya berisi tentang tujuan pemidanaan, pedoman
pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi
pelaku tindak pidana. Pengaturan ini lebih lengkap dibandingkan dengan ketentuan
dalam KUHP yang berlaku saat ini.
2
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung. Hlm. 95.
3
5
RKHUP 2012 menganut sistem pemidanaan dua jalur (double track system) dimana di samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment), dapat juga dikenakan berbagai tindakan (treatment). Selain itu, dalam jenis-jenis pemidanaan dalam RKUHP 2012 ini juga bertambah dengan adanya pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial yang merupakan bagian dari pidana pokok, jenis
tindak pidana yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam KUHP Indonesia.
Adanya beberapa perubahan yang mendasar tersebut, ternyata dalam RKUHP 2012
masih mengatur beberapa ketentuan yang selama ini menjadi kontroversi,
misalnya ketentuan tentang hukuman mati. Di samping itu, RKUHP 2012 juga
memasukkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pemidanaan (denda) adat
yang mempunyai rumusan tidak rinci dan sangat tergantung pada putusan hakim.
RKUHP 2012 sejak awal terlihat tidak cukup konsisten dalam menentukan tujuan
pemidanaan dan penetapan sanksi-sanksinya. Berkaitan dengan sistem sanksi dalam
RKUHP 2012 yang tentunya mempunyai perbedaan jika dibandingkan dengan
bentuk pengaturan stelsel pidana di dalam KUHP yang berlaku sekarang,
memungkinkan di dalam RKUHP 2012 akan menentukan stelsel pidana yang lebih
maju dan lebih baik, sehingga tujuan pokok dari pemidanaan dapat tercapai.
Beranjak dari uraian pada latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti
tentang stelsel pidana dan kemudian membahasnya lebih lanjut melalui bentuk skripsi
yang berjudul “Perbandingan Stelsel Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
6
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Untuk menguraikan dan menganalisis lebih lanjut dalam bentuk pembahasan yang
bertolak dari latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini
adalah :
a. Bagaimanakah perbandingan stelsel pidana menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) 2012 ?
b. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pembaharuan stelsel
pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012?
2. Ruang Lingkup
Mengingat stelsel pidana merupakan suatu kajian yang sangat luas maka penulis
membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini pada lingkup kajian ilmu hukum
pidana. Ruang lingkup substansi dibatasi hanya pada pembahasan mengenai
perbandingan stelsel pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012. Lokasi
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui perbandingan stelsel pidana menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) 2012
b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perkembangan pembaharuan
stelsel pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
2. Kegunaan penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis dan praktis sebagai
berikut :
a. Secara Teoritis
Secara teoritis penulisan skripsi ini diharapkan dapat dipergunakan untuk
memperkaya serta lebih dapat mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang ilmu hukum pidana pada umumnya dan lebih jelas lagi mengenai stelsel
pidana yang berkaitan dengan jenis-jenis sanksi pada khususnya.
b. Secara Praktis
Secara praktis, menjadi bahan masukan bagi kalangan praktisi hukum, khususnya
yang bergerak dalam bidang penyelenggaraan peradilan pidana dan kemasyarakatan
8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Menurut Soerjono Soekanto4, bahwa kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang
sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau acuan yang
merupakan cara untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang
dianggap relevan oleh peneliti. Dalam kerangka teoritis ini, penulis akan melakukan
identifikasi data yang akan menjadi pengantar bagi penulis dalam menjawab
permasalahan skripsi yang penulis angkat. Hal ini selaras dengan pendapat Soerjono
Soekanto yang menyatakan bahwa kerangka teori adalah konsep atau acuan yang
pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang
dianggap relevan oleh peneliti.
Menurut G.Guitens Burgoins, (yang dikutip dari Barda Nawawi Arief)5, study komparatif ataupun perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan dalam ilmu hukum. Istilah Studi Komparatif ataupun Perbandingan
Hukum bukanlah suatu ilmu hukum, akan tetapi melainkan hanya suatu metode studi,
suatu metode yang digunakan untuk meneliti sesuatu, suatu cara bekerja, yakni
perbandingan. Apabila hukum itu terdiri atas element ataupun seperangkat peraturan,
maka nampak jelas bahwa hukum perbandingan (vergelijkende recht) itu tidak ada. Metode untuk membanding-bandingkan aturan hukum dari berbagai sistem hukum
4
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Hlm. 125.
5
9
tidak berdampak pada perumusan-perumusan aturan yang berdiri sendiri. Studi
Komparatif ataupun Perbandingan Hukum sebagai metode mempunyai kandungan
arti bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek
atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu sering digunakan istilah metode studi
komparatif ataupun perbandingan hukum. Studi komparatif hukum pidana harus
dipahami dengan menggunakan metode fungsional, kritis, realistis dan tidak dogmatis
serta sangat diperlukan dalam proses pembaharuan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto (dalam Barda Nawawi Arief) dalam mempelajari studi
komparatif ataupun perbandingan hukum ada tiga metode dan tidak dapat dipisahkan
karena sangat berkaitan antara satu sama lainnya, akan tetapi hanya dapat dibedakan
yaitu :
1. Metode sosiologis yaitu untuk meneliti hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosialnya.
2. Metode sejarah yaitu untuk meneliti perkembangan hukum.
3. Metode studi komparatif ataupun perbandingan hukum yaitu untuk membandingkan berbagai tertib hukum dari bermacam-macam masyarakat.6
Ketiga metode tersebut saling mengisi dan melengkapi dalam mengembangkan
penelitian hukum. Namun menurut Konrad Zweigert dan Kurt Siehr (dalam Barda
Nawawi arief), studi komparatif hukum ataupun perbandingan hukum modern
menggunakan metode kritis, realistis dan tidak dogmatis :
1. Kritis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum sekarang tidak mementingkan perbedaan-perbedaan ataupun persamaan-persamaan dari berbagai tata hukum (legal orders) semata-mata sebagai fakta, akan tetapi yang dipentingkan ialah apakah penyelesaian secara hukum ataupun sesuatu masalah itu relevan, dapat dipraktekan. Adil dan kenapa penyelesaiaanya demikian.
6
10
2. Realistis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum bukan saja meneliti perundang-undangan, keputusan peradilan dan doktrin, akan tetapi semua motif yang nyata menguasai dunia, yaitu yang bersifat etis,psikologis,ekonomis dan motif-motif lain yang berasal dari kebijakan legislatif.
3. Tidak dogmatis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum tidak hendak terkekang dalam kelakuan dogma,meskipun dogma mempunyai fungsi sistematisasi, akan tetapi dogma dapat mengaburkan dan menyerongkan pandangan dalam menemukan “penyelesaian hukum yang lebih baik.7
Jadi studi komparatif hukum menggunakan pendekatan fungsional, karena akan
mempertanyakan apakah fungsi suatu norma atau pranata dalam masyarakat tertentu,
dan apakah dengan demikian fungsi itu dipenuhi dengan baik atau tidak. Dengan
demikian secara ideal dapat diadakan ramalan, apakah norma itu perlu
dipertahankan,dihapus atau diubah. Disamping itu juga apabila di lihat dari
kepentingan teori hukum umum atau jurisprudence atau “general theory of law”,
studi komparatif hukum juga mempunyai kegunaanya. Sejarah perkembangan atau
pertumbuhan suatu klasifikasi yang dikenal oleh berbagai sistem hukum,relativitas
karakter yang dimiliki konsep-konsep, kondisi sosial politik dari suatu lembaga.
Namun disisi lain Sudarto berpendapat bahwa kegunaan studi komparatif hukum
mencakupi beberapa hal, yakni:
1. Unifikasi hukum. 2. Harmonisasi hukum.
3. Mencegah adanya chauvinisme hukum nasional. 4. Memahami hukum asing, dan
5. Pembaharuan hukum.8
7
ibid. Hlm. 12.
8
11
Unifikasi hukum adalah kesatuan hukum sebagaimana telah diwujudkan dalam
konvensi hak cipta 1886 dan general postal convention, 1984 dan konvensi internasional lainnya. Perkembangan mengenai terhadap perbandingan hukum yang
dimulai sejak tahun 1990 menunjukkan perubahan tujuan yaitu dari tujuan hendak
mencapai unifikasi hukum kemudian hanya merupakan upaya mempersiapkan tujuan
uniformasi azas-azas umum dari berbagai sistem hukum. Harmonisasi hukum
terdapat dienam pasaran bersama Eropa tersebut dapat menentukan
pedoman-pedoman. Yang dimaksud dengan mencegah chauvinisme hukum nasioanal, bahwa dengan mempelajari hukum asing dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai
hukum nasional yang berlaku. Sedangkan memahami hukum asing disini tampak
jelas jika dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1) sub ke 2 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, yakni Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
bagi warga negara yang diluar Indonesia melakukan salah satu perbuatan yang oleh
suatu peraturan perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan
sedangkan menurut peraturan perundang-undangan dimana kejahatan itu dilakukan
diancam dengan pidana.
Bagi pembaharuan hukum nasional harus diartikan bahwa dengan mempelajari
perbandingan hukum terutama pembentuk undang-undang dan juga hakim dapat
mengetahui proses terjadinya suatu asas-asas hukum tertentu dalam sistem hukum
asing atau setidak-tidaknya dapat diketahui cara sistem hukum bekerja, sehingga
pembentuk undang-undang dan hakim dapat mengambil manfaat dari bekerjanya
12
Teori yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan stelsel pidana dalam RKUHP 2012 adalah teori alasan perkembangan
pembaharuan hukum pidana.
Menurut Sudarto9 ada 3 (tiga) alasan mengapa perlu memperbaharui KUHP yaitu:
1. Sudut Politik
Negara Republik Indonesia yang sudah merdeka adalah wajar mempunyai
KUHP-nya, yang diciptakannya sendiri. KUHP yang diciptakan sendiri bisa dipandang
sebagai lambang (simbol) dan merupakan kebanggaan dari suatu negara yang telah
merdeka dan melepaskan diri dari suatu negara yang telah merdeka dan melepaskan
diri dari kungkungan penjajahan politik.
2. Sudut Sosiologis
Pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik suatu
bangsa dimana hukum itu berkembang. Ini berarti bahwa nilai-nilai sosial dan
kebudayaan dari bangsa itu mendapat tempat dalam pengaturan dihukum pidana.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan lembaga pembinaan hukum nasional
pada tahun 1973 di tiga daerah, yaitu Aceh, Bali dan Manado, dapat diketahui masih
banyak keinginan keinginan dari sebagian masyarakat yang belum tertampung dalam
KUHP sekarang.
9
13
3. Sudut Praktek Sehari-hari
Tidak banyak orang yang menyadari sekarang ini, bahwa teks resmi dari KUHP ini
adalah tetap teks yang ditulis dalam bahasa Belanda. Teks yang tercantum dalam
KUHP yang disusun oleh Moeljatno dan R. Soesilo dan lain-lain itu merupakan
terjemahan belaka, dan bukan terjemahan resmi yang disahkan oleh undang-undang.
2. Konseptual
Soerjono Soekanto menyatakan, bahwa kerangka konseptual adalah suatu kerangka
yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan
kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.10. Berikut ini akan
diuraikan konsep-konsep yang digunakan dalam penulisan skripsi sebagai berikut:
a. Perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan dalam ilmu
hukum. Istilah Studi Komparatif ataupun Perbandingan Hukum bukanlah suatu
ilmu hukum, akan tetapi melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode yang
digunakan untuk meneliti sesuatu, suatu cara bekerja, yakni perbandingan.11
b. Stelsel Pidana
Stelsel pidana adalah susunan pidana yang ada dalam Pasal 10 KUHP, yang
berkaitan dengan jenis- jenis pidana (strafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat) , dan pelaksanaan pidana (strafmodus).12
10
Soerjono Soekanto. opcit. Hlm. 132.
11
Barda Nawawi Arief. opcit. Hlm. 4
12
14
c. Kitab Undang –Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang –Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah kodifikasi hukum pidana
yang mengatur, menetapkan, merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana
dan aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana.13
d. Rancangan KUHP
Rancangan KUHP adalah rancangan undang-undang hukum pidana yang berisikan
tentang sebuah hukum pidana nasional baik yang mengatur ketentuan umum,
kejahatan, pelanggaran, dan lain sebagainya.14
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini, penulis membaginya kedalam V (lima) Bab
secara beruntun dan saling berhubungan sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Berisikan latar belakang dari pembentukan RKUHP 2012 khususnya tentang stelsel
pidana, memuat permasalahan tentang bentuk pengaturan stelsel pidana dalam
RKUHP 2012 dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan stelsel pidana
dalam Rancangan KUHP 2008. Memuat ruang lingkup penulisan, tujuan penelitian,
kegunaan penulisan, kerangka konseptual serta sistematika penulisan.
13
Tri Andrisman. 2007. Hukum Pidana. Unila Press. Bandar Lampung. Hlm. 34
14
15
II. TINJAUN PUSTAKA
Berisikan tinjaun pustaka tentang teori-teori pemidanaan dan sitem pemidanaan
dalam rancangan KUHP 2012 berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan .
III. METODE PENELITIAN
Pada bab ini dikemukakan cara yang dilakukan penulis dalam penelitian skripsi ini,
yang meliputi pendekatan masalah, penentuan sumber dan jenis data, penentuan
narasumber, pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisikan mengenai karakteristik narasumber, perbandingan stelsel pidana menurut
Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan pembaharuan stelsel pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RKUHP) 2012.
V. PENUTUP
Bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban permasalahan
berdasarkan dari hasil penulisan dan saran yang berkaitan dengan masalah yang akan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Pemidanaan
Secara singkat sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau
penjatuhan pidana. Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem pemidanaan) itu
dapat dilihat dari dua sudut yaitu :
1. Sudut Fungsional
Sistem pemidanaan dari sudut bekerjanya/ berfungsinya/ prosesnya, dapat diartikan
sebagai :
a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/
operasionalisasi/ konkretisasi pidana.
b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana
hukum pidana ditegakan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang
dijatuhi sanksi (hukum) pidana.1
Berdasarkan penjelasan diatas, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem
penegakan hukum pidana yang terdiri dari subsistem hukum pidana materil/
substantif, subsistem pidana formal, dan subsistem hukum pelaksanaan pidana.
1
17
Ketiga subsistem merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin
hukum pidana dioperasionalkan/ ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu
subsistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan
sistem pemidanaan fungsional atau sistem pemidanaan dalam arti luas.
2. Sudut Norma-Substantif
Hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif, sistem pemidanaan dapat
diartikan sebagai :
a. Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan.
b. Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/
penjatuhan dan pelaksanaan hukum pidana.
Berdasarkan uraian di atas, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan yang
ada di dalam KUHP maupun undang-undang diluar KUHP, pada hakikatnya
merupakan satu-kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari aturan umum dan
aturan khusus. Aturan umum terdapat didalam Buku I KUHP dan aturan khusus
terdapat di dalam buku II dan Buku III KUHP maupun di dalam undang-undang
khusus diluar KUHP.2
Berdasarkan dimensi sesuai konteks di atas maka dapat dikonklusikan bahwa semua
aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Materiel/Substantif, Hukum
Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan
sistem pemidanaan. Konkretnya, sistem pemidanaan terdiri dari subsistem hukum
2
18
pidana substantif, subsistem hukum pidana formal, dan subsistem hukum
pelaksanaan/eksekusi pidana.
B. Pengertian Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/ dijatuhkan kepada seseorang
yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Pidana ini merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan dalam hukum pidana.
Tujuannya agar dapat menjadi sarana pencegahan umum maupun khusus bagi
anggota masyarakat agar tidak melanggar hukum pidana.Pengertian pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.3
Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan:
Istilah pidana dari kata hukuman (straf) tetapi kata hukuman merupakan istilah yang umum dan konvensional juga mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya digunakan dalam bidang hukum tetapi juga dalam istilah moral, pendidikan, agama, dan sebagainya. Sedangkan istilah pemidanaan berasal dari kata sentence yang artinya pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.4
3
Tri Andrisman, 2007. Hukum Pidana. Unila Press. Bandar Lampung. Hlm. 7.
4
19
Menurut Sudarto pengertian pidana adalah pidana adalah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.5
Sedangkan, menurut Roeslan Saleh (dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief)
menyatakan:
Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan kepada pembuat delik itu.6.
Selanjutnya Van Hamel (dalam P.A.F. lamintang mempertegas pengertian pidana
sebagai berikut:
Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara
sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.7
Berdasarkan definisi tersebut diatas menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief
dapatlah diartikan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagi
berikut:
(1) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
(2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan yang berwenang
5
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto Fak. Hukum Undip. Semarang. Hlm. 9.
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. opcit. Hlm. 2.
7
20
(3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.8
C. Teori-Teori tentang Tujuan Hukum Pidana
Pentingnya pembicaraan mengenai tujuan hukum pidana ini, diilhami oleh
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat di negara Eropa
(Perancis). Di Perancis Sebelum terjadinya Revolusi Perancis (1789), hukum
dilaksananakan secara sewenang-wenang berdasarkan atas kehendak penguasa,
sehingga pada waktu itu tidak ada kepastian hukum (recht onzekerheid).
Revolusi Perancis terjadi karena penguasa sewenang-wenang dalam menjalankan
pemerintahan dan peradilan (sama halnya dengan rezim Orde Baru), yang akhirnya
"memetik buah" ditumbangkan oleh rakyat.
Setelah Revolusi Perancis berhasil, mulailah hukum ditata sesuai dengan
prinsip-prinsip yang menghormati hak asasi manusia (walaupun masih sederhana), dimana
Asas Legalitas telah menjadi Pilar Utama dalam Hukum Pidana Perancis. Berikut ini akan dibicarakan mengenai Tujuan Hukum Pidana, yaitu mengapa hukum pidana
diperlukan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Dalam mempelajari Tujuan Hukum Pidana ada 3 (tiga) aliran yang berusaha
menjelaskan apa tujuan dibentuknya hukum pidana, berdasarkan alam pikiran
masing-masimg aliran pada waktu aliran tersebut diajarkan, yaitu:
8
21
1. Aliran Klasik (Classieke School). 2. Aliran Moderen (Modern School).
3. Aliran Neo-Klasik (Neoclassieke School).9
1. Aliran Klasik
Menurut Aliran Klasik, tujuan hukum pidana adalah: "untuk melindungi
individu/warga masyarakat dari kekuasaan negara/penguasa".
Mengapa Aliran Klasik sampai mencanangkan bahwa tujuan hukum pidana adalah
untuk melindungi individu/warga masyarakat dari kekuasaan negara/penguasa? Hal
ini ada sebab musababnya, yaitu berawal di negara Perancis pada abad ke18, dimana
negara dalam menjalankan pemerintahan dan peradilan bersikap sewenang-wenang
dan hukum dijalankan sesuai dengan kehendak penguasa. Hal itu mencapai
puncaknya ketika terjadi 2 (dua) peristiwa yang menggemparkan rakyat Perancis,
yaitu:
1. Peristiwa Jean Calas; dan
2. Diterbitkannya Buku Beccaria yang berjudul "Dei Delliti e Delle Pene".
1. Peristiwa Jean Calas
Pada tahun 1762 Jean Calas dijatuhi hukuman mati, karena dituduh membunuh
anaknya (Mauriac Calas) yang kedapatan mati dirumah Jean Calas (ayahnya). Dalam
persidangan Jean Calas menyangkal telah membunuh anaknya, karena anaknya itu
9
22
mati disebabkan oleh bunuh diri (gantung diri). Namun, Jean Calas tetap dinyatakan
bersalah telah membunuh anaknya, sehingga dijatuhi hukuman mati.
Pada masa itu, Hukum Pidana belum dikodifikasikan, sehingga dalam praktik
peradilan terjadi ketidakpastian hukum (recht onzekerheid). Apa sebabnya? Karena peraturannya ditentukan atas kehendak dan selera penguasa/raja, sehingga rakyat
tidak tahu secara pasti mana perbuatan yang dilarang, mana yang tidak serta apa jenis
atau ancaman pidananya. Semua ketentuan dan jalannya peradilan semata-mata
ditentukan oleh penguasa. Masyarakat meyakini kebenaran pembelaan Jean Calas
tersebut, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat Perancis.
Dengan dipelopori oleh Voltaire, maka masyarakat menuntut untuk diadakan
Peradilan Ulang (revisi), akhirnya disetujui oleh penguasa Perancis.
Dalam pemeriksaan ulang tersebut, ternyata pembelaan Jean Calas memang benar,
dan anaknya memang mati karena bunuh diri. Tetapi nasi telah menjadi bubur, Jean
Calas telah mati, dengan dipancung lehernya.
2. Diterbitkannya Buku Beccaria: "Dei Delitti e Delle Pene".
Pada waktu yang berdekatan dengan peristiwa Jean Calas (1764), Cesare Beccaria
menerbitkan Buku yang berjudul : "Dei Delliti e Delle Pene" (Kejahatan dan Hukuman). Dalam bukunya tersebut ada pernyataan yang sangat menarik dan
menjadi pedoman bagi perumusan undang-undang pidana di negara-negara yang
23
"Hukum Pidana harus diatur dengan Undang-Undang, yang harus tertulis.
Sehingga hak-hak warga masyarakat dapat dijamin, dan dapat mengetahui
perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan yang diharuskan".
Dengan adanya 2 (dua) peristiwa tersebut, maka puncak ketidakpuasan dan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap kekuasaan raja yang absolut di Perancis
menemui momentumnya, sehingga melahirkan "Revolusi Perancis", yang sukses
menggulingkan rezim absolut pada tahun 1789.
Revolusi Perancis mencapai puncaknya dalam masa pemerintahan Napoleon
Bonaparte, karena segala peraturan hukum yang mengatur masyarakat dituangkan
dalam bentuk perundang-undangan secara tertulis (Kodifikasi). Kodifikasi adalah
menghimpun segala aturan hukum dari bahan hukum tertentu, yang disusun secara
sisematis, lengkap, dan tuntas.10
Sehingga zaman Napoleon ini merupakan zaman ke-Emasan peng-Kodifikasi-an
segala peraturan, misalnya: Code de Commerce (1803); Code Civil (1804); Code de Procedure Civil (1807); Code d'Instruction Criminelle (1808); dan Code Penal (1810).
Khusus untuk Hukum Pidana sebenarnya Code Penal telah dibuat sejak tahun 1791.
Namun, karena dibuat benar-benar untuk melindungi masyarakat dari kekuasaan
negara, sehingga ketentuan-ketentuannya bersifat rigid/kaku, tidak mengenal
perkecualian dalam pemidanaan. Misalnya: Orang gila melakukan tindak pidana,
10
24
tetap harus dipidana, melakukan tindak pidana dalam keadaan darurat tetap harus
dipidana, dan sebagainya.
Oleh karena banyak kelemahan-kelemahan dalam Code Penal 1791, sehingga pada
tahun 1810, Code Penal 1791 dirubah dan diperbaiki dengan memuat alasan-alasan
yang dapat menghapuskan pidana.
2. Aliran Moderen
Menurut aliran Moderen, tujuan hukum pidana adalah: “Untuk melindungi masyarakat dari kejahatan atau memberantas kejahatan”.
Aliran ini disebut pula aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan
menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan
mempengaruhi penjahat secara positif sejauh ia masih dapat diperbaiki. Tokoh utama
dari aliran ini adalah Cesare Lombroso, Enrico Ferri, dan Raffaele Garofalo.
Aliran moderen ini mendapat pengaruh pula dari perkembangan cabang ilmu
pengetahuan yang baru, yaitu: "Kriminologi". Kriminologi adalah "Ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab kejahatan dan upaya penanggulangannya".
Kriminologi ini dapat disebut juga, Ilmu Pengetahuan tentang Penjahat dan
Kejahatan.
Dalam perkembangannya, titik berat perhatian kriminologi bukan lagi pada
"perbuatan", melainkan pada "pembuatnya". Dalam arti, mengkaji mengapa
25
peraturan tersebut dilanggar. Dengan demikian, kajian kriminologi beralih kepada
mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan, mengkaji pidana apa yang
bermanfaat bagi penjahat, dan seterusnya.
Aliran moderen ini berpendapat, bahwa manusia itu dalam melakukan perbuatannya
selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor di luar diri manusia, seperti: faktor biologis
dan lingkungan. Sehingga manusia itu tidak bebas dalam menentukan kehendaknya.
Pandangan yang demikian ini disebut "Paham Determinisme".
Jadi aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif.
Pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat
berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggungjawaban bagi si pembuat lebih bersifat
tindakan perlindungan masyarakat. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi
pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi si pembuat. Di samping
meratakan jalan untuk filsafat individualisasi, aliran moderen juga mempelopori
pembinaan ilmiah terhadap narapidana, yang didasarkan atas penemuan-penemuan,
baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, aliran moderen ini berkembang lagi
menjadi apa yang dikenal dengan Gerakan atau Aliran Perlindungan Masyarakat.
Dalam perkembangannya Aliran Perlindungan Masyarakat ini terbagi menjadi 2 (dua)
26
a. Aliran Perlindungan Masyarakat (Social Defence).
b. Aliran Perlindungan Masyarakat Baru (New Social Defence).11
a. Aliran Perlindungan Masyarakat.
Aliran Perlindunagn Masyarakat dipelopori oleh Fillipo Gramatica, yang menulis
Buku antara lain: "La Lotta Contra La Pena" (Perlawanan terhadap Pemidanaan) dan “Principi di Difesa Sociale” (Prinsip-Prinsip Perlindungan Masyarakat). Dalam
tulisan-tulisannya itu Gramatica menyatakan:
Hukum Perlindungan Masyarakat harus menggantikan Hukum Pidana yang ada. Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.
Hukum perlindungan masyarakat mensyaratkan penghapusan
pertanggungjawaban pidana dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Jadi secara prinsipiil ajaran Gramatica menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana, penjahat, dan pidana.12
b. Aliran Perlindungan Masyarakat yang Baru (New Social Defence)
Aliran ini dipelopori oleh Marc Ancel, menurutnya:
Perlindungan terhadap individu dan masyarakat tergantung kepada perumusan yang tepat dari hukum pidana. Oleh karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, pernilaian hakim yang didasarkan atas konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan.13
11
Muladi. 1992. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung. Hlm. 38.
12
ibid. Hlm. 39.
13
27
Dengan demikian, pada intinya Marc Ancel menyatakan: "Hukum Pidana tidak
perlu ditiadakan, tetapi perlu dirubah ke arah yang lebih manusiawi, dengan
mengutamakan pembinaan atau tindakan/treatment".
3. Aliran Neo Klasik
Aliran ini berkembang pada awal abad ke-19, memiliki basis yang sama dengan
aliran klasik, yaitu kepercayaan pada kebebasan kehendak manusia dalam melakukan
perbuatannya (Paham Indeterminisme). Namun, tidak bebas sepenuhnya, maksudnya:
Walaupun manusia itu bebas menentukan kehendaknya dalam melakukan kejahatan, namun dapat pula dipengaruhi oleh hal-hal lain, misal: patologi, ketidakmampuan bertanggungjawab; penyakit j iwa; dan keadaan-keadaan tertentu. Oleh karena itu, hukuman yang dijatuhkan harus dikombinasikan antara pidana/punishment dengan tindakan/treatment.14
Dengan demikian dalam penjatuhan hukuman tidak semata-mata bersifat pidana, tapi
bisa pula berupa pembinaan/tindakan yang bermanfaat bagi penjahat.
D. Tujuan Pemidanaan
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat beberapa teori yang dianut oleh para
pakar, yang dasar pimikirannya berkisar pada persoalan-persoalan mengapa suatu
kejahatan dikenakan suatu pidana. Teori-teori hukum pidana ini ada hubungan erat
dengan subjektif strafrecht sebagai hak atau wewenang untuk menentukan atau menjatuhkan pidana terhadap pengertian (objectief strafrecht) peraturan hukum
14
28
positif yang merupakan hukum pidana. Untuk itu dikemukakan teori-teori yang
berkaitan dengan tujuan pemidanaan sebagai berikut:
1. Teori Absolut
Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak
boleh tidak tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah
melakukan kejahatan.
Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dengan dijatuhkannya
pidana. Tidak peduli apakah mungkin masyarakat akan dirugikan. Hanya dilihat
ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan. Utang pati nyaur pati, utang lara
nyaur lara, yang berarti si pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya.
Pembalasan oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk memidana
suatu kejahatan, kepuasan hati yang dikejar lain tidak.
2. Teori Relatif
Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti oleh suatu pidana,
untuk itu tidaklah cukup dengan adanya suatu kejahatan melainkan harus
dipersoalkan pula dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat dan bagi si
penjahat itu sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga masa
depan. Maka harus ada tujuan lebih lanjut/jauh daripada hanya menjatuhkan
pidana saja. Dengan demikian teori ini dinamakan juga dengan teori “Tujuan”.
Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari
29
3. Teori Gabungan
Apabila ada dua pendapat yang bertentangan satu sama lainnya biasanya ada
suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Disamping teori absolut dan
teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga dalam hukum
pidana tetapi dilain pihak mengakui unsur prevensi dan unsur memperbaiki
penjahat yang melekat pada tiap pidana. Zeven Bergen menganggap dirinya
masuk golongan ketiga dan menunjuk nama-nama Beling, Binding, dan Markel
sebagai tokoh dari teori gabungan ini.15
Perumusan tentang teori tujuan pemidanaan tersebut sangat bermanfaat untuk
menguji seberapa jauh suatu lembaga pidana itu mempunyai daya guna, dimana
ditentukan oleh kemampuan lembaga pidana tersebut untuk memenuhi pelbagai
tujuan pemidanaan tanpa suatu tujuan dalam menjatuhkan pidana. Di bawah ini akan
diuraikan tujuan pemidanaan secara singkat mengingat hal-hal tersebut harus
diperhitungkan dalam setiap penjatuhan pidana.
Menurut Sudarto, pada umumnya tujuan pemidanaan dapat dibedakan sebagai
berikut:
1. Pembalasan, pengimbalan/retribusi
Pembalasan sebagai tujuan pidana/pemidanaan hal tersebut kita jumpai pada apa
yang dinamakan teori absolut. Menurut penganut faham tersebut, dalam kejahatan
itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang
15
30
hendak dicapai, ada pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan
tuntutan keadilan.
2. Mempengaruhi tingkah laku orang demi perlindungan masyarakat atau untuk
pengayoman. Pidana tidak dikenakan demi pidana itu sendiri melainkan untuk
tujuan yang bermanfaat ialah untuk melindungi masyarakat atau untuk
pengayoman.16
KUHP Indonesia tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, yang ada
hanya aturan pemberian pidana. Berbeda dengan Konsep KUHP yang baru (Konsep
KUHP 2012) yang merumuskan secara tegas mengenai pedoman pemidanaan dalam
Pasal 52 Konsep KUHP 2012 menyatakan:
(1) Dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan :
a. kesalahan pelaku tindak pidana ;
b. motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana ; c. cara melakukan tindak pidana ;
d. sikap batin pelaku tindak pidana ;
e. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana ; f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana ; g. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana ; h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan ;
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban dan atau ; j. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.
Selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa apa yang tercantum
di dalam pasal itu sebenarnya merupakan daftar yang harus diteliti terlebih dahulu,
apabila butir-butir yang tersebut dalam daftar itu diperhatikan maka pidana yang
16
31
dijatuhkan dapat lebih proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat
maupun oleh terpidana.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas jelas terlihat bahwa tujuan pemidanaan
menurut konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHPN) bertolak
dari suatu pandangan filosofis tertentu yaitu filsafat pembinaan (treatment philosophy). Dengan sendirinya, bilamana kita menghubungkan dengan tujuan pemidanaan, maka pembentuk undang-undang saat ini menghendaki pidana sebagai
sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat yaitu untuk melindungi masyarakat
dan untuk pengayom.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan pidana penjara sebagai hukuman, timbulnya
bersamaan dengan sejarah pertumbuhan sistem perlakukan terhadap narapidana serta
bangunan-bangunan fisik yang didirikan dan dipergunakan untuk menampung para
narapidana yang kemudian dikenal dengan nama “bangunan penjara”. Adapun fungsi
dari bangunan penjara tersebut sebagai tempat atau wadah pelaksanaan untuk
memperlakukan narapidana sehingga dapat dikatakan bahwa bangunan penjara
tersebut berfungsi sebagai wadah untuk mendukung “sistem perlakuan” terhadap
narapidana.
Salah satu masalah utama dalam pembaharuan hukum pidana adalah mengenai
masalah pemidanaan yang tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teori-teori
tujuan pemidanaan. Mengenai tujuan pemidanaan di Indonesia, maka harus
32
Indonesia yang bersendikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yakni yang
mendasarkan diri atas keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kehidupan
sosial dan individual.
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa teori integratif tujuan pemidanaan
yang merupakan kombinasi dari berbagai teori tujuan pemidanaan yang dianggap
lebih cocok untuk diterapkan di Indonesia yang tentunya dengan menggunakan
pendekatan sosiologis, idiologis, dan yuridis filosofis, yang dilandasi asumsi dasar
bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan
kehidupan masyarakat. Tujuan pemidanaan adalah untuk merehabilitasi kerusakan
individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari
seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan
mana yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis.17
KUHP yang sekarang berlaku tidak ada perumusan mengenai tujuan pemidanaan, lain
halnya dengan Konsep KUHP 2012, yang dengan tegas memuat perumusan tentang
tujuan dan pedoman pemidanaan. Adapun tujuan pemidanaan sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 51 Konsep KUHP 2012 adalah sebagai berikut :
(1) Pemidanaan bertujuan untuk:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna ;
17
33
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat ;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan pemidanaan merupakan suatu
proses. Sebelum proses ini berjalan peranan hakim sangat penting. Ia mengkonkritkan
sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi
terdakwa dalam kasus tertentu. Pasal ini memuat tujuan ganda yang hendak dicapai
melalui pemidanaan. Seperti yang dikemukakan oleh Muladi dalam tujuan pertama
jelas tersimpul pandangan perlindungan masyarakat.
Tujuan kedua mengandung maksud bukan saja untuk merehabilitasi, tetapi
meresosialisasi terpidana dan mengintegrasikan si terpidana ke dalam masyarakat.
Tujuan ketiga sejalan dengan pandangan hukum adat, dalam arti “reaksi adat” itu
dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan (magis) yang terganggu oleh
perbuatan yang berlawanan dengan hukum adat. Pidana yang dijatuhkan diharapkan
dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan juga mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat. Tujuan keempat bersifat spiritual dicerminkan dalam Pancasila sebagai
dasar negara Republik Indonesia.
Penjelasan Pasal 51 ayat (2) Konsep KUHP 2012 memberi makna kepada pidana
dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun pada hakekatnya pidana itu merupakan
34
manusia. Ketentuan ini akan berpengaruh terhadap pelaksanaan pidana yang secara
nyata akan dikenakan kepada narapidana.
E. Tinjauan tentang Stelsel Pidana
Stelsel pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke- 2
dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 43. Stelsel pidana dalam KUHP dibedakan
menjadi 2 (dua) jenis sanksi, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokok
dan pidana tambahan diatur dalam Pasal 10 KUHP sebagai berikut:
a. Pidana Pokok:
1. pidana mati.
2. pidana penjara.
3. kurungan.
4. denda.
5. pidana tutupan.
b. Pidana Tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu.
2. perampasan barang-barang tertentu.
3. pengumuman putusan hakim.
Stelsel pidana maksudnya adalah susunan pidana yang ada dalam Pasal 10 KUHP.
stelsel pidana ini telah disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946,
35
pidana tersebut dijabarkan dalam pasal-pasal lebih lanjut dalam Buku I Bab II KUHP.
Berikut ini penjelasan mengenai jenis sanksi pidana pokok yang diatur dalam Pasal
10 KUHP:
a. Pidana mati yaitu pidana berupa pencabutan nyawa terhadap terpidana.
Pidana mati hanya dijatuhkan bagi pelaku kejahatan berat saja. Pidana mati dalam
RKUHP 2012 menjadi pidana yang istimewa (khusus), karena hanya dijatuhkan
sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Sebagai pidana khusus dan
upaya terakhir, meskipun putusan pengadilan telah memiliki kekuatan hukum yang
tetap pidana mati dapat ditunda apabila selama masa percobaan 10 (sepuluh tahun)
terdapat hal-hal:
1. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
2. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
3. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting,
4. ada alasan yang meringankan.
b. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan bergerak dari seseorang
terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam suatu lembaga
pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan dan
tata-tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan tersebut, yang dikaitkan
dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan
36
c. Pidana Kurungan
Pidana kurungan adalah pidana yang sama dengan pidana penjara, yaitu berupa
perampasan kebebasan atau kemerdekaan terhadap terpidana, tetapi lebih ringan
sifatnya dari pidana penjara. Misalnya: pidana kurungan yang dapat dijatuhkan
maksimal 1 (satu) tahun, apabila ada pemberatan sekali-kali tidakk boleh melebihi
satu tahun empat bulan. Sedangkan pidana penjara yang dapat dijatuhkan maksimal
15 (lima belas) tahun, jika ada pemberatan bisa diperberat menjadi 20 (dua puluh)
tahun, pidana seumur hidup, bahkan pidana mati.
Apa yang dimaksud pidana kurungan lebih ringan bobotnya daripada pidana penjara?
Karena bagi terpidana/narapidana yang dijatuhi pidana kurungan mempunyai hak
memperbaiki nasibnya di Lembaga Pemasyarakatan, yang dikenal dengan hak
Pistole. Berupa apa saja hak tersebut (Pasal 21 dan 23 KUHP).
d. Pidana Denda
Pidana denda adalah pidana yang mewajibkan kepada terpidana untuk membayar
sejumlah uang kepada negara yang telah ditentukan dalam putusan hakim.
Pidana denda yang diatur dalam KUHP ini sudah tidak sesuia lagi dengan
perkembangan zaman, walaupun telah berkali-kali diadakan perubahan terhadap
jumlah pidana denda yang diancamkan. Menurut penulis, sevbelum terbentuknya
KUHP Baru, sebaiknya Pemerintah segera mengeluarkan Undang-Undang yang
merubah jumlah ancaman pidana denda dalam KUHP tersebut, dengan mencontoh
37
ancaman denda dalam KUHP dapat difungsikan oleh hakim. Tidak seperti sekarang
ini, ancaman pidana denda seakan-akan hanya "hiasan" huruf mati, jarang sekali
difungsikan oleh hakim. Karena memang sudah tidak sesuai atau tidak mempunyai
efek jera atau efek menguntungkan Kas Negara, karena jumlahnya yang terlalu
sedikit.
e. Pidana Tutupan.
Pidana tutupan merupakan suatu pidana pokok yang baru, yang telah dimasukan ke
dalam KUHP tanggal 31 oktober dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1946.
Pidana tutupan dimaksudkan oleh pembentuk UU untuk menggantikan pidana penjara yang
sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku kejahatan pelakunya terdorong oleh
maksud yang patut dihormati, pidana tutupan sebagai salah satu pidana perampasan
kemerdekaan lebih berat dari pidana denda.
F. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012
Pokok pemikiran atau ide dasar penyusunan Rancangan KUHP baru dapat dilihat dari
berbagai sudut/aspek, yaitu dari sudut/ aspek kebijakana pembaharuan hukum
nasional dan dari aspek kesatuan sistem hukum pidana.
Rancangan KUHP di lihat dari sudut/aspek Kebijakan Pembaharuan Hukum
Nasional menurut Barda Nawawi Arief ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
38
a. Penyusunan Rancangan KUHP baru dilatar belakangi oleh kebutuahan dan
tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan atau
pergantian KUHP lama. Jadi berkaitan erat dengan pembaharuan hukum pidana
yang pada hakikatnya juga merupakan bagian dari ide pokok yang lebih besar,
yaitu pembangunan/ pembaharuan sistem hukum nasional.
b. Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya termasuk bidang
politik hukum pidana yang merupakan bagian dan terkait erat dengan politik
hukum pidana, kriminal politik, sosial politik. Jadi, pembaharuan hukum pidana
ini berarti :
(1) Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbahrui
substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegak hukum.
(2) Merupakan bagian dari kebijakan untuk memberantas/ menaggulangi
kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat.
(3) Merupakan bagian dari kebijakan untuk mengatasi masalah sosial dan
kemanusiaan dalam rangka mencapai tujuan nasional.
(4) Merupakan upaya peninjauan dari penilaian kembali pokok-pokok
pemikiran, ide-ide dasar, nilai-nilai sosio-filosofik, dan kebijakan hukum
pidana selama ini. Bukanlah pembahrauan hukum pidana apabila orientasi
nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai
39
Pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada
nilai.
c. Bertolak dari pemikiran diatas, maka penyusunan Rancangan KUHP baru tidak
dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang
berlandaskan pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang di
cita-citakan. Ini berarti, pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga dilatar
belakangi dan bersumber pada ide-ide dasar pancasila yang mengandung
didalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma seperti :
1) Moral Religius
2) Kemanusiaan
3) Kebangsaan
4) Demokrasi
5) Keadilan sosial
d. Di samping bertolak dari ide keseimbangan pancasila, pembaharuan hukum
pidana di Indonesia (khususnya penyusunan Rancangan KUHP baru), dilatar
belakangi oleh ide yang berulang-ulang dinyatakan dalam berbagai forum
seminar nasional maupun internasional, bahwa pembaharuan hukum pidana dan
penegakan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali dan mengkaji
sumber hukum tidak tertulis dari nilai-nilai hukum yang hidup didalam
masyarakat, antara lain dalam hukum agama dan hukum adat.18
18
40
Rancangan KUHP ditinjau atau dilihat dari sudut/aspek kesatuan sistem hukum
pidana adalah:
a. KUHP hanya merupakan suatu bagian/ subsistem dari sistem pemidanaan atau
bagian dari sistem penegakan hukum pidana. Oleh Karen itu, disadari sejak awal
bahwa upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak dapat dilakukan
hanya dengan mengajukan Rancangan KUHP, tetapi juga harus disertai dengan
rancangan/ konsep undang-undang mengenai hukum acara pidana dan konsep/
rancangan undang-undang pelaksanaan pidana.
b. Penyusunan hukum pidana materil/ substantif pada hakikatnya merupakan
penyusunan suatu sistem yang bertujuan dan merupakan bagian dari tahap-tahap
kebijakan fungsionalisasi/ operasionalisasi hukum pidana. Oleh Karena itu, harus
ada keterjalinan atau kesatuan mata rantai antara tahap pembuatnnya dengan
tahap penerapan dan tahap pelaksanaannya.19
19
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan suatu usaha dalam melakukan gerak langkah untuk
mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang akan diteliti. Pendekatan yang
akan dipergunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan yuridis
normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari norma-norma,
doktrin-doktrin, dan asas-asas tentang sistem pemidanaan yang akan diterapkan
dalam hukum pidana di Indonesia dan dasar pemikiran untuk menggunakan sistem
pemidanaan tersebut dalam pembaharuan hukum pidana di indonesia pada rancangan
KUHP.
Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui prinsip-prinsip yang terkandung di dalam
pengaturan stelsel pidana dalam Rancangan KUHP 2012. Selain itu juga untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pembaharuan stelsel
42
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library Research). Data yang digunakan dalam penulisaan ini adalah data sekunder. Data sekunder ini terdiri dari :
1. Bahan hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat.
Dalam penulisan skripsi ini bahan hukum primer adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (UU No. 1 Tahun 1946 tentang Perubahan KUHP yang berlaku di
Indonesia ).
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum
primer.1 Bahan hukum sekunder tersebut adalah buku-buku,, makalah ilmiah,
Rancangan KUHP 2012 dan hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan
dalam skripsi ini.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan
sebagainya.
1
43
C. Penentuan Narasumber
Informan (narasumber) penelitian adalah seseorang yang, karena memiliki informasi (data) banyak mengenai objek yang sedang diteliti, dimintai informasi mengenai
objek penelitian tersebut. Lazimnya informan atau narasumber penelitian ini ada
dalam penelitian yang subjek penelitiannya berupa kasus(satu kesatuan unit), antara
lain yang berupa lembaga atau organisasi atau institusi (pranata) sosial. Di antara
sekian banyak informan tersebut, ada yang disebut narasumber kunci (key informan)
seorang ataupun beberapa orang, yaitu orang atau orang-orang yang paling banyak
menguasai informasi (paling banyak tahu) mengenai objek yang sedang diteliti
tersebut.2
Pentuan narasumber/sampel, penulis menggunakn metode purposive sampling, metode ini disebut sampling bertujuan, artinya memilih sampel berdasarkan penilaian
tertentu karena unsur-unsur atau unit-unit yang dipilih dianggap mewakili populasi.
Penulisan ini digunakan beberapa narasumber yang sangat kompeten di dalam
bidangnya dalam hal ini bidang hukum pidana. Narasumber yang ditentukan dalam
penulisan ini adalah para dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Lampung,
khususnya dosen bagian hukum pidana sebanyak 2 (dua) orang dosen.
2
44
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur pengumpulan data
Untuk melengkapin data guna pengujian hasil penulisan, digunakan prosedur
pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara
mengadakan studi kepustakaan (library Research). Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan penulisan yang dilakukan dengan cara
membaca, mengutip, dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan
perundang-undangan serta bahan bacaan lainnya yang mempunyai hubungan dengan
permasalahan yang akan di bahas.
2. Prosedur Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, selanjutnya adalah pengolahan data, yaitu kegiatan
merapikan dan menganalisi data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan seleksi data
dengan cara memeriksa data yang diperoleh melalui kelengkapannya. Klasifikasi atau
pengelompokan data secara sistematis. Pengelolahan data dilakukan dengan cara
tahapan sebagai berikut :
a. Editing, yaitu pemeriksaan data untuk mengetahui apakah data tersebut sesuai
dengan kebutuhan penelitian.
b. Klasifikasi data, yaitu penempatan data menurut kelompok-kelompok yang sudah
ditetapkan dalam pembahasan.
c. Penyusunan data secara sistematis, yaitu penyusunan data menurut sistem yang
45
d. Interpretasi, yaitu memberikan penjelasan yang gamblang mengenai rumusan
undang-undang agar ruang lingkup norma dapat diterapkan pada peristiwa
tertentu.
E. Analisis Data
Proses analisis untuk menganalisis data yang terkumpul, penulis menggunakan
analisis yang bersifat kualitatif, yaitu menyajikan hasil penelitian dalam bentuk
penjelasan untuk melukiskan kenyataan yang ada agar mempunyai arti dan
kesimpulan untuk menjawab permasalahhan berdasarkan penelitian, analisis data ini
tidak semata-mata bertujuan mengungkapkan kebenaran belaka, tetapi dipakai untuk
memahami kebenaran tersebut berserta latar belakangnya khususnya pembahasan
tentang sistem pemidanaan mengenai sistem sanksi dalam rancangan KUHP. Dalam
mengambil kesimpulan dari analisis tersebut untuk mengambil pengertian dalam
menjawab permasalahan, penulis berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu cara
berfikir dalam mengambil kesimpulan yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan uraian diatas maka perbandingan stelsel pidana dalam KUHP dan RKUHP
2012 yaitu, stelsel pidana di dalam KUHP dan RKUHP itu berbeda, pengaturan tentang
pidana pokok di dalam RKUHP Nasional mengatur tentang jenis pidana baru berupa pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini perlu dikembangkan sebagai
alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara), sebab dengan pelaksanaan
kedua jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah.
Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal
tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Pola
pengelompokan (klasifikasi) jenis sanksi menurut RKUHP di atas, ada kesamaan dengan
KUHP, yaitu menganut double track system (sistem dua jalur pemidanaan) berupa pidana
dan tindakan. Perbedaaan hanya pada tidak dikenalnya pidana kurungan dalam RKUHP,
yang menurut pola KUHP biasanya diancamkan untuk tindak pidana pelanggaran.
2. Faktor yang mempengaruhi perkembangan stelsel pidana dalam Rancangan KUHP 2012,
yaitu: dipandang dari segi politik yaitu pembaharuan hukum pidana khusunya mengenai
stelsel pidana merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan nasional. Dipandang segi sosiologis,
nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia. Selanjutnya dipandang dari segi praktek sehari-hari,
masyarakat mendukung pembaharuan hukum pidana mengenai stelsel pidana menggunakan
Bahasa Indonesia dalam penulisannya. Selain itu, faktor perkembangan stelsel pidana yaitu
pengaruh globalisasi yang merujuk kepada perkembangan dunia yang semakin global.
B. Saran
1. Perlu Kemauan baik (goodwill) dari pemerintah dan DPR untuk secara serius membahas RKUHP dan segera mengundangkan RKUHP untuk menggantikan KUHP yang sudah usang.
2. Masyarakat (Akademisi, LSM, dan Mahasiswa) perlu ikut serta untuk mendorong agar
DAFTAR PUSTAKA
Amirin, Tatang M. 2003. Menyusun Rencana Penelitian. Rajawali. Jakarta. Andrisman, Tri. 2007. Hukum Pidana. Unila Press. Bandar lampung.
Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.
__________________. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Kanter, E.Y dan Sianturi, S.R. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia.dan Penerapannya. Alumni AHM – PTHM. Jakarta.
Lamintang. P.A.F. 1984. Hukum Panintersier Indonesia. Amrico. Bandung. Muladi. 1992. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1994. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
---. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.
Poernomo, Bambang. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Sholehuddin M. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas indonesia Press. Jakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat; Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung.
---. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
---. 1990. Hukum Pidana I. yayasan SudartoFak. Hukum Undip. Semarang.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012.
http://www.google. com/ wikepedia/ KUHP Konsep 2012