• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN STELSEL PIDANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RKUHP) 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN STELSEL PIDANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RKUHP) 2012"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda

diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Sudarto

menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda.1

Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan

hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan

kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut

dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering

berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya tidak adil

(unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.

1

(9)

2

Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari

nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan

dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)

2012 yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan

dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan

bernegara bangsa Indonesia. Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan

sebagai perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik

Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi

manusia. Penjelasan Umum RKUHP 2012 juga menyatakan bahwa Penyusunan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan

KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya

merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha

tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung

pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan

pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang

dalam masyarakat.

Berkaitan dengan penetapan sanksi pidana yang masih menempatkan pidana mati

sebagai pidana yang terberat. Kritik atas masih dipertahankannya pidana mati bagi

pelaku ini didasarkan atas pelanggaran terhadap konstitusi dimana dalam UUD

Amandemen Kedua, secara tegas dinyatakan tentang jaminan atas hak hidup dan

(10)

3

karena itu, pembaharuan hukum pidana, dalam hal ini berkaitan dengan stelsel pidana

dalam RKUHP 2012, harus dilandasi dengan tujuan pemidanaan. Mengetahui maksud

dan capaian tentang tujuan pemidanaan akan menunjukkan paradigma negara

atas perlindungan dan jaminan keadilan dan perlindungan hak asasi warga

negaranya.

Stelsel pidana atau susunan pidana, yang dijadikan dasar penjatuhan pidana bagi

pelaku yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan sangat penting bagi suatu

Negara yang mengakui hak asasi manusia. Stelsel pidana yang diatur dalam KUHP

sudah tidak tepat lagi untuk terus diberlakukan dan dikenakan kepada pelaku tindak

pidana. Oleh karenanya, perlu dilakukan peninjauan terhadap stelsel pidana yang ada

dalam KUHP, dan itu telah dilakukan dalam RKUHP 2012, dimana stelsel pidananya

lebih beragam dan berorientasi kepada perlindungan hak asasi manusia. Persoalan yang

lain adalah dalam KUHP yang berlaku sekarang ini tidak diatur tentang tujuan dan

pedoman pemidanaan, padahal kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat penting

sebagai panduan bagi hakim dalam memutuskan suatu pidana bagi pelaku kejahatan.

Stelsel pidana dalam KUHP itu diatur dalam Pasal 10 sebagai berikut:

a. Pidana Pokok: 1. pidana mati, 2. pidana penjara, 3. pidana kurungan, 4. denda,

5. pidanan tutupan.

b. Pidana Tambahan:

(11)

4

Akibat dari tidak adanya rumusan tujuan pemidanaan ini menyebabkan banyak

sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang tidak konsisten dan tumpang

tindih. dalam KUHP sebagaimana dikatakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief:

Hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan. Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidaknya mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi.2

Masalah pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang

dianggap paling baik, paling tepat, paling patut, paling berhasil atau efektif

merupakan masalah yang tidak mudah. Dilihat dari sudut politik kriminil, maka

tidak terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat,

justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan

ditetapkan.3

Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP 2012, jika dibandingkan dengan

KUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa perubahan mendasar. Bagian

mengenai pemidanaan diantaranya berisi tentang tujuan pemidanaan, pedoman

pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi

pelaku tindak pidana. Pengaturan ini lebih lengkap dibandingkan dengan ketentuan

dalam KUHP yang berlaku saat ini.

2

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung. Hlm. 95.

3

(12)

5

RKHUP 2012 menganut sistem pemidanaan dua jalur (double track system) dimana di samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment), dapat juga dikenakan berbagai tindakan (treatment). Selain itu, dalam jenis-jenis pemidanaan dalam RKUHP 2012 ini juga bertambah dengan adanya pidana

pengawasan dan pidana kerja sosial yang merupakan bagian dari pidana pokok, jenis

tindak pidana yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam KUHP Indonesia.

Adanya beberapa perubahan yang mendasar tersebut, ternyata dalam RKUHP 2012

masih mengatur beberapa ketentuan yang selama ini menjadi kontroversi,

misalnya ketentuan tentang hukuman mati. Di samping itu, RKUHP 2012 juga

memasukkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pemidanaan (denda) adat

yang mempunyai rumusan tidak rinci dan sangat tergantung pada putusan hakim.

RKUHP 2012 sejak awal terlihat tidak cukup konsisten dalam menentukan tujuan

pemidanaan dan penetapan sanksi-sanksinya. Berkaitan dengan sistem sanksi dalam

RKUHP 2012 yang tentunya mempunyai perbedaan jika dibandingkan dengan

bentuk pengaturan stelsel pidana di dalam KUHP yang berlaku sekarang,

memungkinkan di dalam RKUHP 2012 akan menentukan stelsel pidana yang lebih

maju dan lebih baik, sehingga tujuan pokok dari pemidanaan dapat tercapai.

Beranjak dari uraian pada latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti

tentang stelsel pidana dan kemudian membahasnya lebih lanjut melalui bentuk skripsi

yang berjudul “Perbandingan Stelsel Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)

(13)

6

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Untuk menguraikan dan menganalisis lebih lanjut dalam bentuk pembahasan yang

bertolak dari latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini

adalah :

a. Bagaimanakah perbandingan stelsel pidana menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(RKUHP) 2012 ?

b. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pembaharuan stelsel

pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012?

2. Ruang Lingkup

Mengingat stelsel pidana merupakan suatu kajian yang sangat luas maka penulis

membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini pada lingkup kajian ilmu hukum

pidana. Ruang lingkup substansi dibatasi hanya pada pembahasan mengenai

perbandingan stelsel pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012. Lokasi

(14)

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui perbandingan stelsel pidana menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(RKUHP) 2012

b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perkembangan pembaharuan

stelsel pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)

2. Kegunaan penulisan

Hasil penulisan ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis dan praktis sebagai

berikut :

a. Secara Teoritis

Secara teoritis penulisan skripsi ini diharapkan dapat dipergunakan untuk

memperkaya serta lebih dapat mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya di

bidang ilmu hukum pidana pada umumnya dan lebih jelas lagi mengenai stelsel

pidana yang berkaitan dengan jenis-jenis sanksi pada khususnya.

b. Secara Praktis

Secara praktis, menjadi bahan masukan bagi kalangan praktisi hukum, khususnya

yang bergerak dalam bidang penyelenggaraan peradilan pidana dan kemasyarakatan

(15)

8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Menurut Soerjono Soekanto4, bahwa kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang

sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau acuan yang

merupakan cara untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang

dianggap relevan oleh peneliti. Dalam kerangka teoritis ini, penulis akan melakukan

identifikasi data yang akan menjadi pengantar bagi penulis dalam menjawab

permasalahan skripsi yang penulis angkat. Hal ini selaras dengan pendapat Soerjono

Soekanto yang menyatakan bahwa kerangka teori adalah konsep atau acuan yang

pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang

dianggap relevan oleh peneliti.

Menurut G.Guitens Burgoins, (yang dikutip dari Barda Nawawi Arief)5, study komparatif ataupun perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan dalam ilmu hukum. Istilah Studi Komparatif ataupun Perbandingan

Hukum bukanlah suatu ilmu hukum, akan tetapi melainkan hanya suatu metode studi,

suatu metode yang digunakan untuk meneliti sesuatu, suatu cara bekerja, yakni

perbandingan. Apabila hukum itu terdiri atas element ataupun seperangkat peraturan,

maka nampak jelas bahwa hukum perbandingan (vergelijkende recht) itu tidak ada. Metode untuk membanding-bandingkan aturan hukum dari berbagai sistem hukum

4

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Hlm. 125.

5

(16)

9

tidak berdampak pada perumusan-perumusan aturan yang berdiri sendiri. Studi

Komparatif ataupun Perbandingan Hukum sebagai metode mempunyai kandungan

arti bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek

atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu sering digunakan istilah metode studi

komparatif ataupun perbandingan hukum. Studi komparatif hukum pidana harus

dipahami dengan menggunakan metode fungsional, kritis, realistis dan tidak dogmatis

serta sangat diperlukan dalam proses pembaharuan hukum.

Menurut Soerjono Soekanto (dalam Barda Nawawi Arief) dalam mempelajari studi

komparatif ataupun perbandingan hukum ada tiga metode dan tidak dapat dipisahkan

karena sangat berkaitan antara satu sama lainnya, akan tetapi hanya dapat dibedakan

yaitu :

1. Metode sosiologis yaitu untuk meneliti hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosialnya.

2. Metode sejarah yaitu untuk meneliti perkembangan hukum.

3. Metode studi komparatif ataupun perbandingan hukum yaitu untuk membandingkan berbagai tertib hukum dari bermacam-macam masyarakat.6

Ketiga metode tersebut saling mengisi dan melengkapi dalam mengembangkan

penelitian hukum. Namun menurut Konrad Zweigert dan Kurt Siehr (dalam Barda

Nawawi arief), studi komparatif hukum ataupun perbandingan hukum modern

menggunakan metode kritis, realistis dan tidak dogmatis :

1. Kritis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum sekarang tidak mementingkan perbedaan-perbedaan ataupun persamaan-persamaan dari berbagai tata hukum (legal orders) semata-mata sebagai fakta, akan tetapi yang dipentingkan ialah apakah penyelesaian secara hukum ataupun sesuatu masalah itu relevan, dapat dipraktekan. Adil dan kenapa penyelesaiaanya demikian.

6

(17)

10

2. Realistis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum bukan saja meneliti perundang-undangan, keputusan peradilan dan doktrin, akan tetapi semua motif yang nyata menguasai dunia, yaitu yang bersifat etis,psikologis,ekonomis dan motif-motif lain yang berasal dari kebijakan legislatif.

3. Tidak dogmatis, karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum tidak hendak terkekang dalam kelakuan dogma,meskipun dogma mempunyai fungsi sistematisasi, akan tetapi dogma dapat mengaburkan dan menyerongkan pandangan dalam menemukan “penyelesaian hukum yang lebih baik.7

Jadi studi komparatif hukum menggunakan pendekatan fungsional, karena akan

mempertanyakan apakah fungsi suatu norma atau pranata dalam masyarakat tertentu,

dan apakah dengan demikian fungsi itu dipenuhi dengan baik atau tidak. Dengan

demikian secara ideal dapat diadakan ramalan, apakah norma itu perlu

dipertahankan,dihapus atau diubah. Disamping itu juga apabila di lihat dari

kepentingan teori hukum umum atau jurisprudence atau “general theory of law”,

studi komparatif hukum juga mempunyai kegunaanya. Sejarah perkembangan atau

pertumbuhan suatu klasifikasi yang dikenal oleh berbagai sistem hukum,relativitas

karakter yang dimiliki konsep-konsep, kondisi sosial politik dari suatu lembaga.

Namun disisi lain Sudarto berpendapat bahwa kegunaan studi komparatif hukum

mencakupi beberapa hal, yakni:

1. Unifikasi hukum. 2. Harmonisasi hukum.

3. Mencegah adanya chauvinisme hukum nasional. 4. Memahami hukum asing, dan

5. Pembaharuan hukum.8

7

ibid. Hlm. 12.

8

(18)

11

Unifikasi hukum adalah kesatuan hukum sebagaimana telah diwujudkan dalam

konvensi hak cipta 1886 dan general postal convention, 1984 dan konvensi internasional lainnya. Perkembangan mengenai terhadap perbandingan hukum yang

dimulai sejak tahun 1990 menunjukkan perubahan tujuan yaitu dari tujuan hendak

mencapai unifikasi hukum kemudian hanya merupakan upaya mempersiapkan tujuan

uniformasi azas-azas umum dari berbagai sistem hukum. Harmonisasi hukum

terdapat dienam pasaran bersama Eropa tersebut dapat menentukan

pedoman-pedoman. Yang dimaksud dengan mencegah chauvinisme hukum nasioanal, bahwa dengan mempelajari hukum asing dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai

hukum nasional yang berlaku. Sedangkan memahami hukum asing disini tampak

jelas jika dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1) sub ke 2 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, yakni Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku

bagi warga negara yang diluar Indonesia melakukan salah satu perbuatan yang oleh

suatu peraturan perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan

sedangkan menurut peraturan perundang-undangan dimana kejahatan itu dilakukan

diancam dengan pidana.

Bagi pembaharuan hukum nasional harus diartikan bahwa dengan mempelajari

perbandingan hukum terutama pembentuk undang-undang dan juga hakim dapat

mengetahui proses terjadinya suatu asas-asas hukum tertentu dalam sistem hukum

asing atau setidak-tidaknya dapat diketahui cara sistem hukum bekerja, sehingga

pembentuk undang-undang dan hakim dapat mengambil manfaat dari bekerjanya

(19)

12

Teori yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan stelsel pidana dalam RKUHP 2012 adalah teori alasan perkembangan

pembaharuan hukum pidana.

Menurut Sudarto9 ada 3 (tiga) alasan mengapa perlu memperbaharui KUHP yaitu:

1. Sudut Politik

Negara Republik Indonesia yang sudah merdeka adalah wajar mempunyai

KUHP-nya, yang diciptakannya sendiri. KUHP yang diciptakan sendiri bisa dipandang

sebagai lambang (simbol) dan merupakan kebanggaan dari suatu negara yang telah

merdeka dan melepaskan diri dari suatu negara yang telah merdeka dan melepaskan

diri dari kungkungan penjajahan politik.

2. Sudut Sosiologis

Pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik suatu

bangsa dimana hukum itu berkembang. Ini berarti bahwa nilai-nilai sosial dan

kebudayaan dari bangsa itu mendapat tempat dalam pengaturan dihukum pidana.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan lembaga pembinaan hukum nasional

pada tahun 1973 di tiga daerah, yaitu Aceh, Bali dan Manado, dapat diketahui masih

banyak keinginan keinginan dari sebagian masyarakat yang belum tertampung dalam

KUHP sekarang.

9

(20)

13

3. Sudut Praktek Sehari-hari

Tidak banyak orang yang menyadari sekarang ini, bahwa teks resmi dari KUHP ini

adalah tetap teks yang ditulis dalam bahasa Belanda. Teks yang tercantum dalam

KUHP yang disusun oleh Moeljatno dan R. Soesilo dan lain-lain itu merupakan

terjemahan belaka, dan bukan terjemahan resmi yang disahkan oleh undang-undang.

2. Konseptual

Soerjono Soekanto menyatakan, bahwa kerangka konseptual adalah suatu kerangka

yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan

kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.10. Berikut ini akan

diuraikan konsep-konsep yang digunakan dalam penulisan skripsi sebagai berikut:

a. Perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan dalam ilmu

hukum. Istilah Studi Komparatif ataupun Perbandingan Hukum bukanlah suatu

ilmu hukum, akan tetapi melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode yang

digunakan untuk meneliti sesuatu, suatu cara bekerja, yakni perbandingan.11

b. Stelsel Pidana

Stelsel pidana adalah susunan pidana yang ada dalam Pasal 10 KUHP, yang

berkaitan dengan jenis- jenis pidana (strafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat) , dan pelaksanaan pidana (strafmodus).12

10

Soerjono Soekanto. opcit. Hlm. 132.

11

Barda Nawawi Arief. opcit. Hlm. 4

12

(21)

14

c. Kitab Undang –Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang –Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah kodifikasi hukum pidana

yang mengatur, menetapkan, merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana

dan aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana.13

d. Rancangan KUHP

Rancangan KUHP adalah rancangan undang-undang hukum pidana yang berisikan

tentang sebuah hukum pidana nasional baik yang mengatur ketentuan umum,

kejahatan, pelanggaran, dan lain sebagainya.14

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini, penulis membaginya kedalam V (lima) Bab

secara beruntun dan saling berhubungan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang dari pembentukan RKUHP 2012 khususnya tentang stelsel

pidana, memuat permasalahan tentang bentuk pengaturan stelsel pidana dalam

RKUHP 2012 dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan stelsel pidana

dalam Rancangan KUHP 2008. Memuat ruang lingkup penulisan, tujuan penelitian,

kegunaan penulisan, kerangka konseptual serta sistematika penulisan.

13

Tri Andrisman. 2007. Hukum Pidana. Unila Press. Bandar Lampung. Hlm. 34

14

(22)

15

II. TINJAUN PUSTAKA

Berisikan tinjaun pustaka tentang teori-teori pemidanaan dan sitem pemidanaan

dalam rancangan KUHP 2012 berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan .

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini dikemukakan cara yang dilakukan penulis dalam penelitian skripsi ini,

yang meliputi pendekatan masalah, penentuan sumber dan jenis data, penentuan

narasumber, pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisikan mengenai karakteristik narasumber, perbandingan stelsel pidana menurut

Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012, dan faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan pembaharuan stelsel pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (RKUHP) 2012.

V. PENUTUP

Bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban permasalahan

berdasarkan dari hasil penulisan dan saran yang berkaitan dengan masalah yang akan

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Pemidanaan

Secara singkat sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau

penjatuhan pidana. Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem pemidanaan) itu

dapat dilihat dari dua sudut yaitu :

1. Sudut Fungsional

Sistem pemidanaan dari sudut bekerjanya/ berfungsinya/ prosesnya, dapat diartikan

sebagai :

a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/

operasionalisasi/ konkretisasi pidana.

b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana

hukum pidana ditegakan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang

dijatuhi sanksi (hukum) pidana.1

Berdasarkan penjelasan diatas, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem

penegakan hukum pidana yang terdiri dari subsistem hukum pidana materil/

substantif, subsistem pidana formal, dan subsistem hukum pelaksanaan pidana.

1

(24)

17

Ketiga subsistem merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin

hukum pidana dioperasionalkan/ ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu

subsistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan

sistem pemidanaan fungsional atau sistem pemidanaan dalam arti luas.

2. Sudut Norma-Substantif

Hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif, sistem pemidanaan dapat

diartikan sebagai :

a. Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan.

b. Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/

penjatuhan dan pelaksanaan hukum pidana.

Berdasarkan uraian di atas, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan yang

ada di dalam KUHP maupun undang-undang diluar KUHP, pada hakikatnya

merupakan satu-kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari aturan umum dan

aturan khusus. Aturan umum terdapat didalam Buku I KUHP dan aturan khusus

terdapat di dalam buku II dan Buku III KUHP maupun di dalam undang-undang

khusus diluar KUHP.2

Berdasarkan dimensi sesuai konteks di atas maka dapat dikonklusikan bahwa semua

aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Materiel/Substantif, Hukum

Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan

sistem pemidanaan. Konkretnya, sistem pemidanaan terdiri dari subsistem hukum

2

(25)

18

pidana substantif, subsistem hukum pidana formal, dan subsistem hukum

pelaksanaan/eksekusi pidana.

B. Pengertian Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/ dijatuhkan kepada seseorang

yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Pidana ini merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan dalam hukum pidana.

Tujuannya agar dapat menjadi sarana pencegahan umum maupun khusus bagi

anggota masyarakat agar tidak melanggar hukum pidana.Pengertian pidana adalah

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu.3

Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan:

Istilah pidana dari kata hukuman (straf) tetapi kata hukuman merupakan istilah yang umum dan konvensional juga mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya digunakan dalam bidang hukum tetapi juga dalam istilah moral, pendidikan, agama, dan sebagainya. Sedangkan istilah pemidanaan berasal dari kata sentence yang artinya pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.4

3

Tri Andrisman, 2007. Hukum Pidana. Unila Press. Bandar Lampung. Hlm. 7.

4

(26)

19

Menurut Sudarto pengertian pidana adalah pidana adalah penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat

tertentu.5

Sedangkan, menurut Roeslan Saleh (dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief)

menyatakan:

Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan

sengaja ditimpakan kepada pembuat delik itu.6.

Selanjutnya Van Hamel (dalam P.A.F. lamintang mempertegas pengertian pidana

sebagai berikut:

Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan

oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara

sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang

pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu

peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.7

Berdasarkan definisi tersebut diatas menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief

dapatlah diartikan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagi

berikut:

(1) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

(2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan yang berwenang

5

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto Fak. Hukum Undip. Semarang. Hlm. 9.

6

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. opcit. Hlm. 2.

7

(27)

20

(3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.8

C. Teori-Teori tentang Tujuan Hukum Pidana

Pentingnya pembicaraan mengenai tujuan hukum pidana ini, diilhami oleh

peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat di negara Eropa

(Perancis). Di Perancis Sebelum terjadinya Revolusi Perancis (1789), hukum

dilaksananakan secara sewenang-wenang berdasarkan atas kehendak penguasa,

sehingga pada waktu itu tidak ada kepastian hukum (recht onzekerheid).

Revolusi Perancis terjadi karena penguasa sewenang-wenang dalam menjalankan

pemerintahan dan peradilan (sama halnya dengan rezim Orde Baru), yang akhirnya

"memetik buah" ditumbangkan oleh rakyat.

Setelah Revolusi Perancis berhasil, mulailah hukum ditata sesuai dengan

prinsip-prinsip yang menghormati hak asasi manusia (walaupun masih sederhana), dimana

Asas Legalitas telah menjadi Pilar Utama dalam Hukum Pidana Perancis. Berikut ini akan dibicarakan mengenai Tujuan Hukum Pidana, yaitu mengapa hukum pidana

diperlukan untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Dalam mempelajari Tujuan Hukum Pidana ada 3 (tiga) aliran yang berusaha

menjelaskan apa tujuan dibentuknya hukum pidana, berdasarkan alam pikiran

masing-masimg aliran pada waktu aliran tersebut diajarkan, yaitu:

8

(28)

21

1. Aliran Klasik (Classieke School). 2. Aliran Moderen (Modern School).

3. Aliran Neo-Klasik (Neoclassieke School).9

1. Aliran Klasik

Menurut Aliran Klasik, tujuan hukum pidana adalah: "untuk melindungi

individu/warga masyarakat dari kekuasaan negara/penguasa".

Mengapa Aliran Klasik sampai mencanangkan bahwa tujuan hukum pidana adalah

untuk melindungi individu/warga masyarakat dari kekuasaan negara/penguasa? Hal

ini ada sebab musababnya, yaitu berawal di negara Perancis pada abad ke18, dimana

negara dalam menjalankan pemerintahan dan peradilan bersikap sewenang-wenang

dan hukum dijalankan sesuai dengan kehendak penguasa. Hal itu mencapai

puncaknya ketika terjadi 2 (dua) peristiwa yang menggemparkan rakyat Perancis,

yaitu:

1. Peristiwa Jean Calas; dan

2. Diterbitkannya Buku Beccaria yang berjudul "Dei Delliti e Delle Pene".

1. Peristiwa Jean Calas

Pada tahun 1762 Jean Calas dijatuhi hukuman mati, karena dituduh membunuh

anaknya (Mauriac Calas) yang kedapatan mati dirumah Jean Calas (ayahnya). Dalam

persidangan Jean Calas menyangkal telah membunuh anaknya, karena anaknya itu

9

(29)

22

mati disebabkan oleh bunuh diri (gantung diri). Namun, Jean Calas tetap dinyatakan

bersalah telah membunuh anaknya, sehingga dijatuhi hukuman mati.

Pada masa itu, Hukum Pidana belum dikodifikasikan, sehingga dalam praktik

peradilan terjadi ketidakpastian hukum (recht onzekerheid). Apa sebabnya? Karena peraturannya ditentukan atas kehendak dan selera penguasa/raja, sehingga rakyat

tidak tahu secara pasti mana perbuatan yang dilarang, mana yang tidak serta apa jenis

atau ancaman pidananya. Semua ketentuan dan jalannya peradilan semata-mata

ditentukan oleh penguasa. Masyarakat meyakini kebenaran pembelaan Jean Calas

tersebut, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat Perancis.

Dengan dipelopori oleh Voltaire, maka masyarakat menuntut untuk diadakan

Peradilan Ulang (revisi), akhirnya disetujui oleh penguasa Perancis.

Dalam pemeriksaan ulang tersebut, ternyata pembelaan Jean Calas memang benar,

dan anaknya memang mati karena bunuh diri. Tetapi nasi telah menjadi bubur, Jean

Calas telah mati, dengan dipancung lehernya.

2. Diterbitkannya Buku Beccaria: "Dei Delitti e Delle Pene".

Pada waktu yang berdekatan dengan peristiwa Jean Calas (1764), Cesare Beccaria

menerbitkan Buku yang berjudul : "Dei Delliti e Delle Pene" (Kejahatan dan Hukuman). Dalam bukunya tersebut ada pernyataan yang sangat menarik dan

menjadi pedoman bagi perumusan undang-undang pidana di negara-negara yang

(30)

23

"Hukum Pidana harus diatur dengan Undang-Undang, yang harus tertulis.

Sehingga hak-hak warga masyarakat dapat dijamin, dan dapat mengetahui

perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan yang diharuskan".

Dengan adanya 2 (dua) peristiwa tersebut, maka puncak ketidakpuasan dan

ketidakpercayaan masyarakat terhadap kekuasaan raja yang absolut di Perancis

menemui momentumnya, sehingga melahirkan "Revolusi Perancis", yang sukses

menggulingkan rezim absolut pada tahun 1789.

Revolusi Perancis mencapai puncaknya dalam masa pemerintahan Napoleon

Bonaparte, karena segala peraturan hukum yang mengatur masyarakat dituangkan

dalam bentuk perundang-undangan secara tertulis (Kodifikasi). Kodifikasi adalah

menghimpun segala aturan hukum dari bahan hukum tertentu, yang disusun secara

sisematis, lengkap, dan tuntas.10

Sehingga zaman Napoleon ini merupakan zaman ke-Emasan peng-Kodifikasi-an

segala peraturan, misalnya: Code de Commerce (1803); Code Civil (1804); Code de Procedure Civil (1807); Code d'Instruction Criminelle (1808); dan Code Penal (1810).

Khusus untuk Hukum Pidana sebenarnya Code Penal telah dibuat sejak tahun 1791.

Namun, karena dibuat benar-benar untuk melindungi masyarakat dari kekuasaan

negara, sehingga ketentuan-ketentuannya bersifat rigid/kaku, tidak mengenal

perkecualian dalam pemidanaan. Misalnya: Orang gila melakukan tindak pidana,

10

(31)

24

tetap harus dipidana, melakukan tindak pidana dalam keadaan darurat tetap harus

dipidana, dan sebagainya.

Oleh karena banyak kelemahan-kelemahan dalam Code Penal 1791, sehingga pada

tahun 1810, Code Penal 1791 dirubah dan diperbaiki dengan memuat alasan-alasan

yang dapat menghapuskan pidana.

2. Aliran Moderen

Menurut aliran Moderen, tujuan hukum pidana adalah: “Untuk melindungi masyarakat dari kejahatan atau memberantas kejahatan”.

Aliran ini disebut pula aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan

menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan

mempengaruhi penjahat secara positif sejauh ia masih dapat diperbaiki. Tokoh utama

dari aliran ini adalah Cesare Lombroso, Enrico Ferri, dan Raffaele Garofalo.

Aliran moderen ini mendapat pengaruh pula dari perkembangan cabang ilmu

pengetahuan yang baru, yaitu: "Kriminologi". Kriminologi adalah "Ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab kejahatan dan upaya penanggulangannya".

Kriminologi ini dapat disebut juga, Ilmu Pengetahuan tentang Penjahat dan

Kejahatan.

Dalam perkembangannya, titik berat perhatian kriminologi bukan lagi pada

"perbuatan", melainkan pada "pembuatnya". Dalam arti, mengkaji mengapa

(32)

25

peraturan tersebut dilanggar. Dengan demikian, kajian kriminologi beralih kepada

mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan, mengkaji pidana apa yang

bermanfaat bagi penjahat, dan seterusnya.

Aliran moderen ini berpendapat, bahwa manusia itu dalam melakukan perbuatannya

selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor di luar diri manusia, seperti: faktor biologis

dan lingkungan. Sehingga manusia itu tidak bebas dalam menentukan kehendaknya.

Pandangan yang demikian ini disebut "Paham Determinisme".

Jadi aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif.

Pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat

berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggungjawaban bagi si pembuat lebih bersifat

tindakan perlindungan masyarakat. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi

pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi si pembuat. Di samping

meratakan jalan untuk filsafat individualisasi, aliran moderen juga mempelopori

pembinaan ilmiah terhadap narapidana, yang didasarkan atas penemuan-penemuan,

baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.

Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, aliran moderen ini berkembang lagi

menjadi apa yang dikenal dengan Gerakan atau Aliran Perlindungan Masyarakat.

Dalam perkembangannya Aliran Perlindungan Masyarakat ini terbagi menjadi 2 (dua)

(33)

26

a. Aliran Perlindungan Masyarakat (Social Defence).

b. Aliran Perlindungan Masyarakat Baru (New Social Defence).11

a. Aliran Perlindungan Masyarakat.

Aliran Perlindunagn Masyarakat dipelopori oleh Fillipo Gramatica, yang menulis

Buku antara lain: "La Lotta Contra La Pena" (Perlawanan terhadap Pemidanaan) dan “Principi di Difesa Sociale” (Prinsip-Prinsip Perlindungan Masyarakat). Dalam

tulisan-tulisannya itu Gramatica menyatakan:

Hukum Perlindungan Masyarakat harus menggantikan Hukum Pidana yang ada. Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.

Hukum perlindungan masyarakat mensyaratkan penghapusan

pertanggungjawaban pidana dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Jadi secara prinsipiil ajaran Gramatica menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana, penjahat, dan pidana.12

b. Aliran Perlindungan Masyarakat yang Baru (New Social Defence)

Aliran ini dipelopori oleh Marc Ancel, menurutnya:

Perlindungan terhadap individu dan masyarakat tergantung kepada perumusan yang tepat dari hukum pidana. Oleh karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, pernilaian hakim yang didasarkan atas konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan.13

11

Muladi. 1992. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung. Hlm. 38.

12

ibid. Hlm. 39.

13

(34)

27

Dengan demikian, pada intinya Marc Ancel menyatakan: "Hukum Pidana tidak

perlu ditiadakan, tetapi perlu dirubah ke arah yang lebih manusiawi, dengan

mengutamakan pembinaan atau tindakan/treatment".

3. Aliran Neo Klasik

Aliran ini berkembang pada awal abad ke-19, memiliki basis yang sama dengan

aliran klasik, yaitu kepercayaan pada kebebasan kehendak manusia dalam melakukan

perbuatannya (Paham Indeterminisme). Namun, tidak bebas sepenuhnya, maksudnya:

Walaupun manusia itu bebas menentukan kehendaknya dalam melakukan kejahatan, namun dapat pula dipengaruhi oleh hal-hal lain, misal: patologi, ketidakmampuan bertanggungjawab; penyakit j iwa; dan keadaan-keadaan tertentu. Oleh karena itu, hukuman yang dijatuhkan harus dikombinasikan antara pidana/punishment dengan tindakan/treatment.14

Dengan demikian dalam penjatuhan hukuman tidak semata-mata bersifat pidana, tapi

bisa pula berupa pembinaan/tindakan yang bermanfaat bagi penjahat.

D. Tujuan Pemidanaan

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat beberapa teori yang dianut oleh para

pakar, yang dasar pimikirannya berkisar pada persoalan-persoalan mengapa suatu

kejahatan dikenakan suatu pidana. Teori-teori hukum pidana ini ada hubungan erat

dengan subjektif strafrecht sebagai hak atau wewenang untuk menentukan atau menjatuhkan pidana terhadap pengertian (objectief strafrecht) peraturan hukum

14

(35)

28

positif yang merupakan hukum pidana. Untuk itu dikemukakan teori-teori yang

berkaitan dengan tujuan pemidanaan sebagai berikut:

1. Teori Absolut

Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak

boleh tidak tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah

melakukan kejahatan.

Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dengan dijatuhkannya

pidana. Tidak peduli apakah mungkin masyarakat akan dirugikan. Hanya dilihat

ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan. Utang pati nyaur pati, utang lara

nyaur lara, yang berarti si pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya.

Pembalasan oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk memidana

suatu kejahatan, kepuasan hati yang dikejar lain tidak.

2. Teori Relatif

Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti oleh suatu pidana,

untuk itu tidaklah cukup dengan adanya suatu kejahatan melainkan harus

dipersoalkan pula dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat dan bagi si

penjahat itu sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga masa

depan. Maka harus ada tujuan lebih lanjut/jauh daripada hanya menjatuhkan

pidana saja. Dengan demikian teori ini dinamakan juga dengan teori “Tujuan”.

Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari

(36)

29

3. Teori Gabungan

Apabila ada dua pendapat yang bertentangan satu sama lainnya biasanya ada

suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Disamping teori absolut dan

teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga dalam hukum

pidana tetapi dilain pihak mengakui unsur prevensi dan unsur memperbaiki

penjahat yang melekat pada tiap pidana. Zeven Bergen menganggap dirinya

masuk golongan ketiga dan menunjuk nama-nama Beling, Binding, dan Markel

sebagai tokoh dari teori gabungan ini.15

Perumusan tentang teori tujuan pemidanaan tersebut sangat bermanfaat untuk

menguji seberapa jauh suatu lembaga pidana itu mempunyai daya guna, dimana

ditentukan oleh kemampuan lembaga pidana tersebut untuk memenuhi pelbagai

tujuan pemidanaan tanpa suatu tujuan dalam menjatuhkan pidana. Di bawah ini akan

diuraikan tujuan pemidanaan secara singkat mengingat hal-hal tersebut harus

diperhitungkan dalam setiap penjatuhan pidana.

Menurut Sudarto, pada umumnya tujuan pemidanaan dapat dibedakan sebagai

berikut:

1. Pembalasan, pengimbalan/retribusi

Pembalasan sebagai tujuan pidana/pemidanaan hal tersebut kita jumpai pada apa

yang dinamakan teori absolut. Menurut penganut faham tersebut, dalam kejahatan

itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang

15

(37)

30

hendak dicapai, ada pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan

tuntutan keadilan.

2. Mempengaruhi tingkah laku orang demi perlindungan masyarakat atau untuk

pengayoman. Pidana tidak dikenakan demi pidana itu sendiri melainkan untuk

tujuan yang bermanfaat ialah untuk melindungi masyarakat atau untuk

pengayoman.16

KUHP Indonesia tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, yang ada

hanya aturan pemberian pidana. Berbeda dengan Konsep KUHP yang baru (Konsep

KUHP 2012) yang merumuskan secara tegas mengenai pedoman pemidanaan dalam

Pasal 52 Konsep KUHP 2012 menyatakan:

(1) Dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan :

a. kesalahan pelaku tindak pidana ;

b. motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana ; c. cara melakukan tindak pidana ;

d. sikap batin pelaku tindak pidana ;

e. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana ; f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana ; g. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana ; h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan ;

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban dan atau ; j. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa apa yang tercantum

di dalam pasal itu sebenarnya merupakan daftar yang harus diteliti terlebih dahulu,

apabila butir-butir yang tersebut dalam daftar itu diperhatikan maka pidana yang

16

(38)

31

dijatuhkan dapat lebih proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat

maupun oleh terpidana.

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas jelas terlihat bahwa tujuan pemidanaan

menurut konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHPN) bertolak

dari suatu pandangan filosofis tertentu yaitu filsafat pembinaan (treatment philosophy). Dengan sendirinya, bilamana kita menghubungkan dengan tujuan pemidanaan, maka pembentuk undang-undang saat ini menghendaki pidana sebagai

sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat yaitu untuk melindungi masyarakat

dan untuk pengayom.

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan pidana penjara sebagai hukuman, timbulnya

bersamaan dengan sejarah pertumbuhan sistem perlakukan terhadap narapidana serta

bangunan-bangunan fisik yang didirikan dan dipergunakan untuk menampung para

narapidana yang kemudian dikenal dengan nama “bangunan penjara”. Adapun fungsi

dari bangunan penjara tersebut sebagai tempat atau wadah pelaksanaan untuk

memperlakukan narapidana sehingga dapat dikatakan bahwa bangunan penjara

tersebut berfungsi sebagai wadah untuk mendukung “sistem perlakuan” terhadap

narapidana.

Salah satu masalah utama dalam pembaharuan hukum pidana adalah mengenai

masalah pemidanaan yang tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teori-teori

tujuan pemidanaan. Mengenai tujuan pemidanaan di Indonesia, maka harus

(39)

32

Indonesia yang bersendikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yakni yang

mendasarkan diri atas keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kehidupan

sosial dan individual.

Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa teori integratif tujuan pemidanaan

yang merupakan kombinasi dari berbagai teori tujuan pemidanaan yang dianggap

lebih cocok untuk diterapkan di Indonesia yang tentunya dengan menggunakan

pendekatan sosiologis, idiologis, dan yuridis filosofis, yang dilandasi asumsi dasar

bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan

kehidupan masyarakat. Tujuan pemidanaan adalah untuk merehabilitasi kerusakan

individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari

seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan

mana yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis.17

KUHP yang sekarang berlaku tidak ada perumusan mengenai tujuan pemidanaan, lain

halnya dengan Konsep KUHP 2012, yang dengan tegas memuat perumusan tentang

tujuan dan pedoman pemidanaan. Adapun tujuan pemidanaan sebagaimana yang

dirumuskan dalam Pasal 51 Konsep KUHP 2012 adalah sebagai berikut :

(1) Pemidanaan bertujuan untuk:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna ;

17

(40)

33

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat ;

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan pemidanaan merupakan suatu

proses. Sebelum proses ini berjalan peranan hakim sangat penting. Ia mengkonkritkan

sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi

terdakwa dalam kasus tertentu. Pasal ini memuat tujuan ganda yang hendak dicapai

melalui pemidanaan. Seperti yang dikemukakan oleh Muladi dalam tujuan pertama

jelas tersimpul pandangan perlindungan masyarakat.

Tujuan kedua mengandung maksud bukan saja untuk merehabilitasi, tetapi

meresosialisasi terpidana dan mengintegrasikan si terpidana ke dalam masyarakat.

Tujuan ketiga sejalan dengan pandangan hukum adat, dalam arti “reaksi adat” itu

dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan (magis) yang terganggu oleh

perbuatan yang berlawanan dengan hukum adat. Pidana yang dijatuhkan diharapkan

dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan juga mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat. Tujuan keempat bersifat spiritual dicerminkan dalam Pancasila sebagai

dasar negara Republik Indonesia.

Penjelasan Pasal 51 ayat (2) Konsep KUHP 2012 memberi makna kepada pidana

dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun pada hakekatnya pidana itu merupakan

(41)

34

manusia. Ketentuan ini akan berpengaruh terhadap pelaksanaan pidana yang secara

nyata akan dikenakan kepada narapidana.

E. Tinjauan tentang Stelsel Pidana

Stelsel pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke- 2

dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 43. Stelsel pidana dalam KUHP dibedakan

menjadi 2 (dua) jenis sanksi, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokok

dan pidana tambahan diatur dalam Pasal 10 KUHP sebagai berikut:

a. Pidana Pokok:

1. pidana mati.

2. pidana penjara.

3. kurungan.

4. denda.

5. pidana tutupan.

b. Pidana Tambahan:

1. pencabutan hak-hak tertentu.

2. perampasan barang-barang tertentu.

3. pengumuman putusan hakim.

Stelsel pidana maksudnya adalah susunan pidana yang ada dalam Pasal 10 KUHP.

stelsel pidana ini telah disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946,

(42)

35

pidana tersebut dijabarkan dalam pasal-pasal lebih lanjut dalam Buku I Bab II KUHP.

Berikut ini penjelasan mengenai jenis sanksi pidana pokok yang diatur dalam Pasal

10 KUHP:

a. Pidana mati yaitu pidana berupa pencabutan nyawa terhadap terpidana.

Pidana mati hanya dijatuhkan bagi pelaku kejahatan berat saja. Pidana mati dalam

RKUHP 2012 menjadi pidana yang istimewa (khusus), karena hanya dijatuhkan

sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Sebagai pidana khusus dan

upaya terakhir, meskipun putusan pengadilan telah memiliki kekuatan hukum yang

tetap pidana mati dapat ditunda apabila selama masa percobaan 10 (sepuluh tahun)

terdapat hal-hal:

1. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;

2. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;

3. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting,

4. ada alasan yang meringankan.

b. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan bergerak dari seseorang

terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam suatu lembaga

pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan dan

tata-tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan tersebut, yang dikaitkan

dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan

(43)

36

c. Pidana Kurungan

Pidana kurungan adalah pidana yang sama dengan pidana penjara, yaitu berupa

perampasan kebebasan atau kemerdekaan terhadap terpidana, tetapi lebih ringan

sifatnya dari pidana penjara. Misalnya: pidana kurungan yang dapat dijatuhkan

maksimal 1 (satu) tahun, apabila ada pemberatan sekali-kali tidakk boleh melebihi

satu tahun empat bulan. Sedangkan pidana penjara yang dapat dijatuhkan maksimal

15 (lima belas) tahun, jika ada pemberatan bisa diperberat menjadi 20 (dua puluh)

tahun, pidana seumur hidup, bahkan pidana mati.

Apa yang dimaksud pidana kurungan lebih ringan bobotnya daripada pidana penjara?

Karena bagi terpidana/narapidana yang dijatuhi pidana kurungan mempunyai hak

memperbaiki nasibnya di Lembaga Pemasyarakatan, yang dikenal dengan hak

Pistole. Berupa apa saja hak tersebut (Pasal 21 dan 23 KUHP).

d. Pidana Denda

Pidana denda adalah pidana yang mewajibkan kepada terpidana untuk membayar

sejumlah uang kepada negara yang telah ditentukan dalam putusan hakim.

Pidana denda yang diatur dalam KUHP ini sudah tidak sesuia lagi dengan

perkembangan zaman, walaupun telah berkali-kali diadakan perubahan terhadap

jumlah pidana denda yang diancamkan. Menurut penulis, sevbelum terbentuknya

KUHP Baru, sebaiknya Pemerintah segera mengeluarkan Undang-Undang yang

merubah jumlah ancaman pidana denda dalam KUHP tersebut, dengan mencontoh

(44)

37

ancaman denda dalam KUHP dapat difungsikan oleh hakim. Tidak seperti sekarang

ini, ancaman pidana denda seakan-akan hanya "hiasan" huruf mati, jarang sekali

difungsikan oleh hakim. Karena memang sudah tidak sesuai atau tidak mempunyai

efek jera atau efek menguntungkan Kas Negara, karena jumlahnya yang terlalu

sedikit.

e. Pidana Tutupan.

Pidana tutupan merupakan suatu pidana pokok yang baru, yang telah dimasukan ke

dalam KUHP tanggal 31 oktober dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1946.

Pidana tutupan dimaksudkan oleh pembentuk UU untuk menggantikan pidana penjara yang

sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku kejahatan pelakunya terdorong oleh

maksud yang patut dihormati, pidana tutupan sebagai salah satu pidana perampasan

kemerdekaan lebih berat dari pidana denda.

F. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012

Pokok pemikiran atau ide dasar penyusunan Rancangan KUHP baru dapat dilihat dari

berbagai sudut/aspek, yaitu dari sudut/ aspek kebijakana pembaharuan hukum

nasional dan dari aspek kesatuan sistem hukum pidana.

Rancangan KUHP di lihat dari sudut/aspek Kebijakan Pembaharuan Hukum

Nasional menurut Barda Nawawi Arief ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

(45)

38

a. Penyusunan Rancangan KUHP baru dilatar belakangi oleh kebutuahan dan

tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan atau

pergantian KUHP lama. Jadi berkaitan erat dengan pembaharuan hukum pidana

yang pada hakikatnya juga merupakan bagian dari ide pokok yang lebih besar,

yaitu pembangunan/ pembaharuan sistem hukum nasional.

b. Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya termasuk bidang

politik hukum pidana yang merupakan bagian dan terkait erat dengan politik

hukum pidana, kriminal politik, sosial politik. Jadi, pembaharuan hukum pidana

ini berarti :

(1) Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbahrui

substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegak hukum.

(2) Merupakan bagian dari kebijakan untuk memberantas/ menaggulangi

kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat.

(3) Merupakan bagian dari kebijakan untuk mengatasi masalah sosial dan

kemanusiaan dalam rangka mencapai tujuan nasional.

(4) Merupakan upaya peninjauan dari penilaian kembali pokok-pokok

pemikiran, ide-ide dasar, nilai-nilai sosio-filosofik, dan kebijakan hukum

pidana selama ini. Bukanlah pembahrauan hukum pidana apabila orientasi

nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai

(46)

39

Pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang

berorientasi pada kebijakan dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada

nilai.

c. Bertolak dari pemikiran diatas, maka penyusunan Rancangan KUHP baru tidak

dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang

berlandaskan pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang di

cita-citakan. Ini berarti, pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga dilatar

belakangi dan bersumber pada ide-ide dasar pancasila yang mengandung

didalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma seperti :

1) Moral Religius

2) Kemanusiaan

3) Kebangsaan

4) Demokrasi

5) Keadilan sosial

d. Di samping bertolak dari ide keseimbangan pancasila, pembaharuan hukum

pidana di Indonesia (khususnya penyusunan Rancangan KUHP baru), dilatar

belakangi oleh ide yang berulang-ulang dinyatakan dalam berbagai forum

seminar nasional maupun internasional, bahwa pembaharuan hukum pidana dan

penegakan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali dan mengkaji

sumber hukum tidak tertulis dari nilai-nilai hukum yang hidup didalam

masyarakat, antara lain dalam hukum agama dan hukum adat.18

18

(47)

40

Rancangan KUHP ditinjau atau dilihat dari sudut/aspek kesatuan sistem hukum

pidana adalah:

a. KUHP hanya merupakan suatu bagian/ subsistem dari sistem pemidanaan atau

bagian dari sistem penegakan hukum pidana. Oleh Karen itu, disadari sejak awal

bahwa upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak dapat dilakukan

hanya dengan mengajukan Rancangan KUHP, tetapi juga harus disertai dengan

rancangan/ konsep undang-undang mengenai hukum acara pidana dan konsep/

rancangan undang-undang pelaksanaan pidana.

b. Penyusunan hukum pidana materil/ substantif pada hakikatnya merupakan

penyusunan suatu sistem yang bertujuan dan merupakan bagian dari tahap-tahap

kebijakan fungsionalisasi/ operasionalisasi hukum pidana. Oleh Karena itu, harus

ada keterjalinan atau kesatuan mata rantai antara tahap pembuatnnya dengan

tahap penerapan dan tahap pelaksanaannya.19

19

(48)
(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan suatu usaha dalam melakukan gerak langkah untuk

mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang akan diteliti. Pendekatan yang

akan dipergunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan yuridis

normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari norma-norma,

doktrin-doktrin, dan asas-asas tentang sistem pemidanaan yang akan diterapkan

dalam hukum pidana di Indonesia dan dasar pemikiran untuk menggunakan sistem

pemidanaan tersebut dalam pembaharuan hukum pidana di indonesia pada rancangan

KUHP.

Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui prinsip-prinsip yang terkandung di dalam

pengaturan stelsel pidana dalam Rancangan KUHP 2012. Selain itu juga untuk

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pembaharuan stelsel

(50)

42

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library Research). Data yang digunakan dalam penulisaan ini adalah data sekunder. Data sekunder ini terdiri dari :

1. Bahan hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat.

Dalam penulisan skripsi ini bahan hukum primer adalah Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (UU No. 1 Tahun 1946 tentang Perubahan KUHP yang berlaku di

Indonesia ).

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan

hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum

primer.1 Bahan hukum sekunder tersebut adalah buku-buku,, makalah ilmiah,

Rancangan KUHP 2012 dan hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan

dalam skripsi ini.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan

sebagainya.

1

(51)

43

C. Penentuan Narasumber

Informan (narasumber) penelitian adalah seseorang yang, karena memiliki informasi (data) banyak mengenai objek yang sedang diteliti, dimintai informasi mengenai

objek penelitian tersebut. Lazimnya informan atau narasumber penelitian ini ada

dalam penelitian yang subjek penelitiannya berupa kasus(satu kesatuan unit), antara

lain yang berupa lembaga atau organisasi atau institusi (pranata) sosial. Di antara

sekian banyak informan tersebut, ada yang disebut narasumber kunci (key informan)

seorang ataupun beberapa orang, yaitu orang atau orang-orang yang paling banyak

menguasai informasi (paling banyak tahu) mengenai objek yang sedang diteliti

tersebut.2

Pentuan narasumber/sampel, penulis menggunakn metode purposive sampling, metode ini disebut sampling bertujuan, artinya memilih sampel berdasarkan penilaian

tertentu karena unsur-unsur atau unit-unit yang dipilih dianggap mewakili populasi.

Penulisan ini digunakan beberapa narasumber yang sangat kompeten di dalam

bidangnya dalam hal ini bidang hukum pidana. Narasumber yang ditentukan dalam

penulisan ini adalah para dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Lampung,

khususnya dosen bagian hukum pidana sebanyak 2 (dua) orang dosen.

2

(52)

44

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur pengumpulan data

Untuk melengkapin data guna pengujian hasil penulisan, digunakan prosedur

pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara

mengadakan studi kepustakaan (library Research). Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan penulisan yang dilakukan dengan cara

membaca, mengutip, dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan

perundang-undangan serta bahan bacaan lainnya yang mempunyai hubungan dengan

permasalahan yang akan di bahas.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya adalah pengolahan data, yaitu kegiatan

merapikan dan menganalisi data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan seleksi data

dengan cara memeriksa data yang diperoleh melalui kelengkapannya. Klasifikasi atau

pengelompokan data secara sistematis. Pengelolahan data dilakukan dengan cara

tahapan sebagai berikut :

a. Editing, yaitu pemeriksaan data untuk mengetahui apakah data tersebut sesuai

dengan kebutuhan penelitian.

b. Klasifikasi data, yaitu penempatan data menurut kelompok-kelompok yang sudah

ditetapkan dalam pembahasan.

c. Penyusunan data secara sistematis, yaitu penyusunan data menurut sistem yang

(53)

45

d. Interpretasi, yaitu memberikan penjelasan yang gamblang mengenai rumusan

undang-undang agar ruang lingkup norma dapat diterapkan pada peristiwa

tertentu.

E. Analisis Data

Proses analisis untuk menganalisis data yang terkumpul, penulis menggunakan

analisis yang bersifat kualitatif, yaitu menyajikan hasil penelitian dalam bentuk

penjelasan untuk melukiskan kenyataan yang ada agar mempunyai arti dan

kesimpulan untuk menjawab permasalahhan berdasarkan penelitian, analisis data ini

tidak semata-mata bertujuan mengungkapkan kebenaran belaka, tetapi dipakai untuk

memahami kebenaran tersebut berserta latar belakangnya khususnya pembahasan

tentang sistem pemidanaan mengenai sistem sanksi dalam rancangan KUHP. Dalam

mengambil kesimpulan dari analisis tersebut untuk mengambil pengertian dalam

menjawab permasalahan, penulis berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu cara

berfikir dalam mengambil kesimpulan yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat

(54)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan uraian diatas maka perbandingan stelsel pidana dalam KUHP dan RKUHP

2012 yaitu, stelsel pidana di dalam KUHP dan RKUHP itu berbeda, pengaturan tentang

pidana pokok di dalam RKUHP Nasional mengatur tentang jenis pidana baru berupa pidana

pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini perlu dikembangkan sebagai

alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara), sebab dengan pelaksanaan

kedua jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah.

Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal

tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Pola

pengelompokan (klasifikasi) jenis sanksi menurut RKUHP di atas, ada kesamaan dengan

KUHP, yaitu menganut double track system (sistem dua jalur pemidanaan) berupa pidana

dan tindakan. Perbedaaan hanya pada tidak dikenalnya pidana kurungan dalam RKUHP,

yang menurut pola KUHP biasanya diancamkan untuk tindak pidana pelanggaran.

2. Faktor yang mempengaruhi perkembangan stelsel pidana dalam Rancangan KUHP 2012,

yaitu: dipandang dari segi politik yaitu pembaharuan hukum pidana khusunya mengenai

stelsel pidana merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan nasional. Dipandang segi sosiologis,

(55)

nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia. Selanjutnya dipandang dari segi praktek sehari-hari,

masyarakat mendukung pembaharuan hukum pidana mengenai stelsel pidana menggunakan

Bahasa Indonesia dalam penulisannya. Selain itu, faktor perkembangan stelsel pidana yaitu

pengaruh globalisasi yang merujuk kepada perkembangan dunia yang semakin global.

B. Saran

1. Perlu Kemauan baik (goodwill) dari pemerintah dan DPR untuk secara serius membahas RKUHP dan segera mengundangkan RKUHP untuk menggantikan KUHP yang sudah usang.

2. Masyarakat (Akademisi, LSM, dan Mahasiswa) perlu ikut serta untuk mendorong agar

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Amirin, Tatang M. 2003. Menyusun Rencana Penelitian. Rajawali. Jakarta. Andrisman, Tri. 2007. Hukum Pidana. Unila Press. Bandar lampung.

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

__________________. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Kanter, E.Y dan Sianturi, S.R. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia.dan Penerapannya. Alumni AHM – PTHM. Jakarta.

Lamintang. P.A.F. 1984. Hukum Panintersier Indonesia. Amrico. Bandung. Muladi. 1992. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1994. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

---. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

Poernomo, Bambang. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Sholehuddin M. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas indonesia Press. Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

(57)

Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat; Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung.

---. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

---. 1990. Hukum Pidana I. yayasan SudartoFak. Hukum Undip. Semarang.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012.

http://www.google. com/ wikepedia/ KUHP Konsep 2012

(58)

Referensi

Dokumen terkait

Wisnu Aditya Hartono, C.100100094, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Tahun 2016 , Judul: “ STUDI KOMPARASI PENGATURAN ZINA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG

Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah bahan hukum primer yang berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dan Thailand Criminal Code

pelaku pembunuhan tersebut tidak dapat di hukum.. Sumber Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Biasa dalam Bentuk Pokok berdasarkan KUHP dengan Hukum Pidana Islam. 1. Sumber Hukum

Pada kasus pembunuhan ini KUHP memberikan ancaman hukuman bagi pelakunya dengan pidana penjara.. paling lama tujuh tahun. Sanksi pidana pembunuhan ini jauh lebih

e) Ahli Prof. Bahwa ahli hanya akan mengemukakan masalah teknis yuridisnya. Pasal 134 KUHP itu tentulah asalnya masih dari Wetboek van Strafrecht Voor NederlanIndie

• Berbeda dengan KUHP yang menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok, RUU KUHP menempatkan pidana mati sebagai pidana yang paling terakhir dijatuhkan untuk

Pengaturan hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam KUHP Nasional mentransformasikan sistem hukum pidana Indonesia menjadi monodualistik, dengan adanya dua sumber pemidanaan yang

Perbandingan asas legalitas KUHP dengan asas legalitas undang-undang hukum pidana beberapa