PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap manusia tidak ada yang sempurna, begitu pula dengan pernikahan, tidak ada pernikahan yang sempurna. Setiap individu yang memiliki pasangan untuk berbagi waktu, harapan, atau kejadian-kejadian bersama dalam suatu pernikahan, pasti akan menghadapi tantangan. Untuk membangun pernikahan yang sukses, pasangan harus memiliki tujuan dan bekerja sama untuk mencapainya. Dalam mencapai tujuan bersama tersebut pasti banyak tantangan yang harus dihadapi, salah satunya adalah konflik yang terjadi saat menjalani suatu hubungan pernikahan( Smith, 2009).
Konflik dalam hubungan pernikahan merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari. Menurut Donohue & Kolt (1992), konflik dalam pernikahan adalah situasi dimana individu-individu yang saling bergantung mengekpresikan perbedaan diantara mereka dalam upaya mencapai kebutuhan dan minat masing-masing. Jika masing-masing individu dalam pasangan merasa ada yang menghalangi keinginan mereka dalam mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai, mereka cenderung menimbulkan suatu konflik. Selain itu, konflik tersebut juga dapat terjadi dikarenakan adanya penyesuaian kecocokan dan keintiman pada pasangan. Menurut Duvall dan Miller (1985), masa awal pernikahan merupakan masa paling berat ketika pasangan yang baru menikah harus menghadapi berbagai proses penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Proses ini pasti melibatkan konflik didalamnya, dan melalui proses ini pasangan dapat mempelajari cara penyelesaian konflik yang efektif, yang dapat bermanfaat bagi mereka yang menjalani kehidupan pernikahan di masa yang akan datang.
Dalam menyesuaikan diri dengan pasangan, persamaan atau perbedaan latar belakang berpengaruh. Latar belakang yang sama dari pasangan suami istri membuat mereka saling memahami nilai-nilai dan minat satu sama lain. Sementara perbedaan latar belakang dan budaya antara keduanya dapat
menyebabkan sering timbulnya kesalahpahaman bahkan rasa tidak percaya pada pasangan (Landis,1970). Berbagai kesalahpahaman yang terjadi diantara pasangan akan mengarah pada timbulnya konflik dalam hubungan pernikahan.
Kesalahpahaman yang terjadi pada masing-masing pasangan bukanlah satu-satunya faktor penyebab konflik dalam pernikahan. Menurut Gotmann, hal-hal yang sering menyebabkan konflik dalam pernikahan meliputi komunikasi, keuangan, anak, seks, tugas di rumah, kecemburuan, dan saudara dari pasangan (Gottman 1979;, Mead et al, 1990, dalam Willmot & Hocker 2001). Menurut Davidson & Moore (1996), hal-hal yang menyebabkan konflik dalam pernikahan adalah seks, keuangan, pengasuhan anak, keluarga besar, teman, aktivitas sosial, dan agama. Selain itu, Davidson & Moore (1996) menambahkan hal-hal yang sering menimbulkan konflik dalam pernikahan yaitu tugas-tugas rumah tangga, pekerjaan, kurang perhatian dan kasih sayang dari pasangan. Masalah lain yang juga mengarahkan timbulnya konflik adalah kehadiran anak sehingga keintiman pasangan menjadi berkurang dan menurunnya tingkat kepuasan pada hubungan pernikahan (Tucker & Aron, 1993; Kantrowitz & Wingert, 1999, dalam Willmot & Hocker, 2001). Dari berbagai penyebab yang telah disebutkan, masalah pekerjaan merupakan salah satu penyebab yang sering menimbulkan konflik (Duffy & Atwater, 2005). Dari hal tersebut dapat bahwa pekerjaan merupakan salah satu sumber terjadinya konflik pada pasangan suami istri. Pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang dimiliki oleh kedua pasangan, artinya suami dan istri sama-sama bekerja.
Di jaman modern seperti sekarang ini kebanyakan dari istri juga bekerja seperti halnya suami. Menurut Kiong (2008) ada beberapa hal yang menjadi alasan istri bekerja. Pertama, secara mental lebih siap jika sesuatu terjadi pada pasangan hidup (meninggal/bercerai/PHK, dll.), karena dengan wanita bisa menghasilkan, setidaknya kehidupan rumah tangga tetap masih bisa berjalan. Kedua, dengan kondisi seorang wanita yang mengetahui bagaimana kondisi di luar rumah, dan bagaimana sulitnya perjuangan hidup, akan membuat pengertian sebagai seorang istri terhadap suami lebih baik, sehingga bisa meminimalkan konflik. Ketiga, dua orang dalam sebuah rumah tangga yang bisa menghasilkan, otomatis secara ekonomi lebih baik karena tidak bisa dipungkiri penyebab
terbesar terjadinya konflik di dalam rumah tangga disebabkan oleh masalah ekonomi. Alasan yang terakhir adalah jika seorang wanita lebih mandiri akan lebih dihargai dan lebih bisa berbagi peran dengan suami. Alasan pasangan suami istri yang bekerja umumnya untuk meningkatkan keuangan atau penghasilan untuk menghidupi keluarga mereka.
Pekerjaan akan berpengaruh terhadap keluarga, sehingga hal ini menjadi salah satu pertimbangan dalam mengambil keputusan menyangkut pekerjaan. Dengan kedua belah pihak bekerja atau mencari nafkah, maka masalah pengambilan keputusan dalam keluarga akan mengalami perubahan. Istri bekerja menuntut keseimbangan pembagian kekuasaan dan hak untuk mengambil keputusan dalam keluarga seiring dengan kontribusinya sebagai pencari nafkah (Bulmstein & Schwartz, 1983; Katz & Perez, 1985; dalam Andini, 2005). Konflik yang sering terjadi pada pasangan suami istri bekerja adalah masalah peranan masing-masing dalam rumah tangga yang meliputi pembagian tugas rumah tangga, pekerjaan istri masalah keuangan, pekerjaan suami, masalah anak dan pengaturan rumah tangga (Hoffman & Nye, 1984). Bila suami dan istri bekerja, intensitas komunikasi mereka biasanya berkurang karena waktu mereka berdua lebih banyak untuk bekerja, hal tersebut juga sering menimbulkan masalah karena kesibukan masing-masing. Setelah pulang ke rumah, mereka biasanya sudah lelah karena pekerjaan mereka sehingga jarang atau sedikit waktu mereka untuk mengobrol atau berdiskusi. Indikasi lain yang dapat menyebabkan konflik jika suami dan istri sama-sama bekerja adalah ketakutan suami terhadap karir istri yang lebih baik dari suami.
Jika konflik sudah terjadi pada suatu hubungan pernikahan, apakah yang harus dilakukan masing-masing individu dalam pasangan untuk mempertahankan hubungan pernikahan? Ada beberapa pilihan yang dapat dilakukan dalam menghadapi konflik yang terjadi. Pertama, melawan konflik dengan percecokkan menggunakan emosi yang tinggi. Kedua, menghindari masalah dan menolak memecahkan situasi konflik. Ketiga, mengajukan suatu resolusi konflik yang mengarahkan kepada perdamaian (Duvall & Miller, 1985). Dari ketiga pilihan tersebut, hal yang baik yang dilakukan adalah melakukan resolusi konflik, agar konflik tidak semakin berkembang dan memberikan dampak buruk terhadap
kelangsungan hubungan pernikahan. Meskipun di sisi lain ada yang berpendapat bahwa ada beberapa konflik yang tidak memerlukan resolusi misalnya konflik yang muncul diluar dari perbedaan cara pandang tidak memerlukan resolusi, tetapi membutuhkan rasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain (www.savvymale.com). Contohnya, perdebatan masalah penentuan tempat rekreasi keluarga. Untuk menyelesaikan perdebatan tersebut hanya diperlukan rasa saling menghargai pendapat masing-masing pasangan dan masalah tersebut tidak perlu dikembangkan menjadi masalah yang lebih rumit.
Resolusi konflik memiliki dampak terhadap suatu hubungan pernikahan. Resolusi atau penyelesaian konflik yang efektif berdampak pada peningkatan keterampilan problem solving, meningkatkan keterampilan komunikasi, meningkatkan derajat pengenalan dan pengertian diantara kedua pasangan, meningkatkan rasa percaya diri satu sama lain, meningkatkan kemampuan adaptasi, meningkatkan kepuasan dan kebahagiaan pernikahan. Sebaliknya, penyelesaian konflik yang tidak efektif memberikan dampak negatif yaitu antara lain, meningkatnya interpersonal distress, menurunnya rasa keberhargaan diri, menurunnya kualitas hubungan positif dengan orang lain, menurunkan kualitas pernikahan yaitu meningkatkan ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan pernikahan, serta dapat menyebabkan perceraian (Killis, 2008).
Kepuasan dalam hubungan pernikahan dapat ditentukan oleh sikap masing-masing pasangan atau proses mereka dalam mengelola konflik. Bahagia atau tidak bahagianya suatu hubungan dapat dilihat dari bagaimana pasangan dapat mengelola konflik yang terjadi diantara mereka (Olson & Olson, 2000 dalam Olson & DeFrain, 2006). Keberhasilan dalam pengelolaan konflik dapat memperkuat ikatan hubungan dan meningkatkan solidaritas dan kohesi antar pasangan. Gotmann mengatakan bahwa pengelolaan konflik yang tidak efektif akan menyebabkan kualitas hubungan yang memburuk dan emotional distress. Metode untuk menghindari atau mengkonfrontasi konflik mempengaruhi tingkat kepuasan dalam pernikahan mereka, dan akhirnya dapat berakibat kearah perpisahan atau perceraian. Dalam waktu yang sama, tingkat kebahagiaan atau ketidakbahagiaan dalam pernikahan mempengaruhi bagaimana mereka berkomunikasi selama konflik berlangsung. Pasangan yang melibatkan dirinya
dalam perilaku positif (konstruktif) dalam resolusi konflik seperti mendengarkan atau berkompromi memiliki kepuasan terhadap hubungan yang lebih baik, sedangkan pasangan yang melibatkan diri dengan perilaku negatif (destruktif) seperti penyerangan, menghindar, ataupun membantah lebih memiliki kepuasan dengan hubungan yang rendah (Bradbury & Karney, 1993; Jacobson & Addis, 1993; Noller & Fitzpatrick, 1992).
Terdapat dua pendekatan dalam penyelesaian konflik atau resolusi konflik yaitu destruktif dan konstruktif (Olson & DeFrain, 2006). Dalam literatur masalah pernikahan, karakteristik dari cara konstruktif antara lain pemecahan masalah, kolaborasi, komunikasi yang efektif, dan atau pengertian dari kedua pasangan (Gottman & Krokoff, 1989; Mackey, Diemer, & O’Brien, 2000). Disisi lain, karakterisitik perilaku dengan cara destruktif antara lain agresi, penolakan, menarik diri, menghindar, dan tindak kekerasan (Christensen & Shenk, 1991; Noller & White, 1990). Terdapat fakta yang menyebutkan bahwa pasangan yang menggunakan cara konstruktif lebih puas terhadap pernikahannya dibandingkan dengan cara destruktif. Pendapat lain juga menyatakan bahwa pasangan yang mengarahkan konflik mereka dengan gaya konstruktif (asertif, kooperatif), menghindari gaya destruktif (agresi, penghindaran), dan memecahkan masalah untuk kepuasan bersama dan melihat kesetaraan, lebih merasa puas dengan hubungan mereka dan tidak ingin bercerai (Weiss & Heyman,1990).
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan diatas,dapat dilihat bahwa terdapat pro dan kontra tentang konflik dan kepuasan pernikahan pada pasangan suami dan istri yang bekerja. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang konflik dalam hubungan pernikahan, khususnya pada pasangan yang keduanya bekerja. Peneliti ingin mengetahui bagaimana cara mereka menghadapi konflik-konflik yang terjadi dalam hubungan pernikahan mereka dan apakah resolusi atau cara penyelesaian konflik-konflik tersebut berhubungan dengan tingkat kepuasan pernikahan mereka pada masa awal pernikahan. Peneliti juga ingin membuktikan pendapat-pendapat atau fakta-fakta yang ada sebelumnya. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ingin peneliti dapatkan, peneliti melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode kuantitatif.
1.2. Permasalahan
1. Bagaimanakah resolusi konflik pada pasangan menikah yang keduanya bekerja?
2. Bagaimanakah tingkat kepuasan pernikahan pada pasangan menikah yang keduanya bekerja?
3. Apakah ada hubungan antara gaya resolusi konflik dengan kepuasan pernikahan pada pasangan menikah yang keduanya bekerja?
1.3. Tujuan
Peneliti melakukan penelitian ini dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui perilaku resolusi konflik yang dimunculkan oleh individu pada pasangan suami dan istri yang keduanya bekerja pada masa awal pernikahan.
2. Mengetahui tingkat kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri yang keduanya bekerja pada masa awal pernikahan.
3. Mengetahui apakah terdapat hubungan antara gaya resolusi konflik dengan kepuasan pernikahan pada pasangan menikah yang keduanya bekerja pada masa awal pernikahan.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis
Manfaat dari penelitian ini secara teoritis yaitu dapat menambahkan hasil-hasil penelitian tentang resolusi konflik dan kepuasan pernikahan yang kemudian akan memperkaya teori tentang resolusi konflik dan hubungannya dengan kepuasan pernikahan.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, diharapakan penelitian ini dapat menjadi acuan untuk konsultasi pernikahan, baik itu untuk tindakan preventif maupun intervensi masalah konflik dan resolusi konflik pada pasangan yang menikah khususnya pada pasangan yang keduanya bekerja. Selain itu, pengetahuan tentang resolusi
konflik dan kepuasan pernikahan dapat diaplikasikan dalam kehidupan pernikahan.
1.5. Sistematika Penulisan
Untuk penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk penulisan yan terdiri dari lima bab dan pada setiap bab memiliki subbab lengkap dengan penjelasannya tentang hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Kelima subbab tersebut yaitu:
1. BAB 1: Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang mengapa ingin meneliti masalah hubungan kepuasan resolusi konflik dengan kepuasan pernikahan, masalah penelitian, tujuan, penelitian, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, dan sistematika penulisan penelitian.
2. BAB 2: Bab ini menguraikan landasan teori atau tinjauan pustaka yang berisi konsep-konsep tentang pernikahan, konflik dalam pernikahan, resolusi konflik, kepuasan pernikahan, pasangan suami istri bekerja dan hubungan antara resolusi konflik dan kepuasan pernikahan.
3. BAB 3: Dalam bab ini terdapat metode penelitian yang dipakai, variabel, masalah penelitian, subjek penelitian, cara pengumpulan data, dan instrumen atau alat ukur yang dipakai, uji coba alat ukur, dan metode pengolahan data. 4. Bab 4: Memaparkan hasil penelitian dan analisis hasil penelitian yang
diperoleh sesuai konsep-konsep yang dipakai.
5. Bab 5: Dalam bab ini, penulis memberikan kesimpulan dari jawaban masalah penelitian, saran untuk penelitian ini, dan diskusi yang berkaitan dengan hal-hal yang telah ditemukan dalam penelitian atau hal-hal-hal-hal yang belum ditemukan berkaitan dengan penelitian.