BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Prestasi Akademik
1. Pengertian prestasi akademik
Menurut pendapat Djamarah (2002) tentang pengertian prestasi adalah “hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok”. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak melakukan suatu kegiatan. prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, yang menyenangkan hati, yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja, baik secara individual maupun secara kelompok dalam bidang kegiatan tertentu. Dari beberapa pengertian prestasi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa prestasi adalah bukti dari suatu hasil kegiatan yang dapat dicapai baik individu maupun kelompok dalam bidang kegiatan tertentu.
Menurut Sobur (2006) prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar. Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang terstandar. Prestasi akademik juga dapat diartikan istilah untuk menunjukkan suatu pencapaian tingkat keberhasilan tentang suatu tujuan, karena suatu usaha belajar telah dilakukan oleh
seseorang secara optimal (Naam, 2009). Menurut Chaplin (1997) mengemukakan bahwa prestasi akademik adalah suatu keberhasilan yang khusus dari seseorang dalam melaksanakan tugas akademik.
2.Faktor Internal yang Mempengaruhi Prestasi Akademik
a. Faktor Kesehatan Fisik
Menurut Djamarah (2002) seseorang yang mengalami kelemahan fisik baik karena sakit maupun cacat di mana saraf sensoris dan motoriknya terganggu dapat mengakibatkan rangsangan yang diterima melalui indera tidak dapat diteruskan ke otak dengan baik. Kondisi ini dapat menyebabkan mahasiswa tertinggal dalam pelajarannya.
b. Intelegensi
Menurut Djamarah (2002), intelegensi seseorang mempengaruhi potensi orang tersebut untuk menyelesaikan pendidikannya dan potensi itu sesuai dengan tingkatan IQ yang dimilikinya, semakin tinggi IQ seseorang maka semakin baik pula potensinya. Dengan melalui ujian saringan masuk perguruan tinggi yang demikian ketat persaingannya secara praktis sebenarnya mahasiswa sudah terseleksi dalam hal aspek intelegensinya. Namun kenyataan menunjukkan masih cukup besar kendala bagi mahasiswa untuk mendapatkan prestasi yang baik. Intelegensi bukan satu-satunya yang menentukan prestasi akademik mahasiswa.
c. Motivasi
Menurut Purwanto (2004), motivasi adalah sesuatu yang mengarahkan dan membangkitkan suatu tingkah laku pada manusia baik dari diri sendiri yakni berupa kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa cinta, penghargaan maupun dari orang lain. Setiap mahasiswa memiliki motivasi yang berbeda-beda untuk berprestasi.
d. Minat
Minat merupakan rasa suka dan ketertarikan terhadap sesuatu yang muncul dari dalam diri sendiri tanpa ada yang menyuruh. Minat tidak dibawa sejak lahir melainkan diperoleh kemudian melalui proses pembelajaran terhadap hal yang diminati. Menurut Djamarah (2002) minat yang besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar dalam mencapai ataupun memperoleh benda atau tujuan yang diinginkan. Timbulnya minat belajar disebabkan oleh berbagai hal, antara lain karena keinginan yang kuat untuk menaikan martabat atau memperoleh pekerjaan yang baik serta ingin hidup senang dan bahagia. Minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya minat yang kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah.
e. Kepribadian
Pribadi yang seimbang sangat mempengaruhi proses belajar, pribadi yang seimbang dapat menciptakan kesehatan mental dan ketenangan emosi yang dapat mendorong keberhasilan dalam belajar. Menurut Purwanto (2004) tiap-tiap orang
mempunyai sifat-sifat kepribadiannya masing-masing yang berbeda dengan orang lain. Ada orang memiliki sikap keras hati, berkemauan keras, tekun dalam segala usahanya, halus perasaannya dan sebaliknya. Sifat-sifat kepribadiannya dapat mempengaruhi sampai manakah hasil belajar yang dapat dicapai oleh orang tesebut.
f. Fisiologis
Menurut Djamarah (2002) kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpegaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan segar jasmaninya akan lain cara belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan. Anak-anak yang kekurangan gizi memiliki kemampuan belajar yang di bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi. Mereka lekas lelah, mudah mengantuk, dan sukar menerima pelajaran.
3. Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Prestasi Akademik a. Keadaan keluarga
Suasana dan keadaan keluarga yang bermacam-macam mau tidak mau turut menentukan bagaimana dan sampai dimana belajar dialami dan dicapai oleh seseorang. Selain itu ada kemampuan keluarga untuk meberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam belajar turut memegang peranan penting (Purwanto, 2004).
b. Guru dan cara mengajar
guru, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan bagaimana cara guru itu mengajarkan pengetahuan itu kepada anak-anak didiknya turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai anak (Purwanto, 2004).
c. Alat-alat pelajaran
Menurut Purwanto (2004) institusi yang cukup memiliki alat-alat dan perlengkapan yang diperlukan untuk belajar ditambah dengan cara mengajar yang baik oleh guru atau dosen, dan kecakapan pengajar dalam menggunakan alat-alat itu akan mempermudah dan mempercepat belajar seseorang.
d. Motivasi sosial
Jika seseorang mendapatkan motivasi sosial dari lingkungan sekitarnya, maka akan timbul keinginan dan hasrat belajar yang lebih baik Motivasi sosial dapat berasal dari orang tua, guru, tetangga, sanak saudara, dan teman sebaya (Purwanto, 2004).
e. Lingkungan dan kesempatan
Menurut Purwanto (2004) anak yang berasal dari keluarga yang baik, memiliki intelegensi yang baik, bersekolah di suatu sekolah yang keadaan guru-gurunya dan alat-alat yang baik, belum tentu dapat belajar dengan baik. Masih ada faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya. Seperti jarak antara rumah dan sekolah yang cukup jauh sehingga cukup melelahkan untuk berangkat sekolah.
f. Kurikulum
Menurut Djamarah (2002) kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan unsur substansial dalam pendidikan. Tanpa kurikulum kegiatan belajar mengajar tidak dapat berlangsung, sebab materi apa yang harus guru sampaikan dalam suatu pertemuan kelas belum guru programkan sebelumnya. Itulah sebabnya, untuk semua mata pelajaran, setiap guru memiliki kurikulum untuk mata pelajaran yang dipegang dan diajarkan kepada anak didik. Setiap guru harus mempelajari dan menjabarkan isi kurikulum ke program yang lebih rincidan jelas sasarannya, sehingga dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar mengajar yang telah dilaksanankan.
4. Perhitungan Prestasi Akademik Mahasiswa
Prestasi akademik pada mahasiswa tergantung oleh angka indeks prestasi yang ditentukan pada setiap akhir semester. Indeks Prestasi Semester (IPS) dihitung berdasarkan jumlah beban kredit yang diambil dalam satu semester dikalikan dengan bobot prestasi tiap-tiap mata kuliah kemudian dibagi dengan jumlah beban kredit yang diambil (Universitas Sumatera Utara, 2010). IPS dapat diukur dengan menggunakan rumus:
IPS = Σ (K X N) ΣK
K = Jumlah SKS setiap mata kuliah yang tercantum dalam KRS pada semester yang bersangkutan.
N = Bobot prestasi setiap mata kuliah.
Sedangkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang digunakan sebagai alat ukur prestasi akademik pada penelitian ini adalah indeks prestasi yang dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan beban kredit yang diambil mulai dari semester 1 sampai semester terakhir, dikalikan dengan bobot prestasi tiap-tiap mata kuliah kemudian dibagi dengan beban kredit yang diambil. (Universitas Sumatera Utara, 2010). IPK dapat dihitung dengan rumus:
IPK = Σ (K X N) ΣK
K = Jumlah SKS semua mata kuliah yang dijalani mulai dari semester 1 sampai dengan yang terakhir.
N = Bobot prestasi setiap mata kuliah.
Perhitungan Indeks Prestasi dan Indeks Prestasi Kumulatif dilakukan oleh bagian pendidikan Fakultas. Klasifikasi Indeks Prestasi Kumulatif dapat dikelompokkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Tabel 1. Kategorisasi Indeks Prestasi Akademik
NO KATEGORI INDEKS PRESTASI
AKADEMIK
1 Memuaskan 2,00 ≤ x ≤ 2,75
2 Sangat Memuaskan 2,76 ≤ x ≤ 3,50
3 Cumlaude 3,51 ≤ x ≤ 4,00
Sumber: Buku Peraturan akademik Program Sarjana Universitas Sumatera Utara (2010)
B. Adversity Quotient
1. Pengertian Adversity quotient
Adversity quotient menurut Stolz (2000) adalah kecerdasan menghadapi
kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami. Nashori (2007) berpendapat bahwa adversity quotient adalah kemampuan individu untuk menggunakan kecerdasannya dalam mengarahkan, mengubah cara berfikir serta perilakunya ketika menghadapi tantangan, hambatan ataupun kesulitan yang dapat menyengsarakan dirinya
Menurut bahasa, kata adversity quotient berasal dari bahasa inggris, yaitu kemalangan atau kegagalan. Dalam bahasa Indonesia, adversity quotient bermakana kesulitan atau kemalangan yang dapat diartikan sebagai kondisi ketidakbagiaan, kesulitan maupun ketidak beruntungan. Kata adversity dalam konteks psikolo diartikan sebagai tantangan dalam kehidupan. (Reni Akbar Hawadi, 2002)
Menurut Stolz (2000), tingkat adversity quotient menentukan kesuksesan dalam menjalani kehidupan. adversity quotient diwujudkan dalam tiga bentuk yaitu:
a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan
b. Ukuran dalam mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan c. Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang dalam
Maka, dapat disimpulkan bahwa adversity quotient adalah kemampuan individu untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala macam kesulitan sampai menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi hambatan dan rintangan dengan mengubah cara berfikir dan sikap terhadap kesulitan tersebut.
2.Dimensi – dimensi Adversity Quotient
Adversity quotient secara umum dapat diungkap melalui empat dimensi yang oleh
Stoltz (2000) dikenal dengan CO2RE, meliputi: a. Control (C)
Dimensi ini mempertanyakan tentang seberapa besar kendali yang individu rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Individu yang memiliki skor control yang tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang skor control-nya lebih rendah. Mereka yang memiliki AQ yang lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara orang-orang yang AQ nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada dimensi control merasa bahwa peristiwa-peristiwa buruk berada di luar kendali dan hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk mencegahnya atau membatasi kerugiannya. Individu yang rendah kemampuan pengendaliannya sering menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan.
b. Origin dan Ownership (O2)
Dimensi ini mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan itu. Dimensi origin berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang skor origin-nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut. Sedangkan individu yang skor origin-nya tinggi cenderung menganggap sumber kesulitan berasal dari orang lain atau dari luar. Individu yang skor ownership-nya tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, bertanggungjawab terhadap kesulitan dan mampu belajar dari kesalahan. Sedangkan individu yang skor ownership-nya rendah cenderung tidak mengakui masalah dan menuding orang lain.
c. Reach (R)
Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Individu yang skor reach-nya rendah cenderung membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan. Sedangkan individu yang skor reach-nya tinggi cenderung membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.
d. Endurance (E)
Dimensi ini mempertanyakan berapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Individu yang skor endurance-nya rendah menganggap kesulitan dan/atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama dan menganggap peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Sedangkan Individu yang skor endurance-nya tinggi menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinan terjadi lagi.
1. Faktor Pembentuk Adversity Quotient
Faktor pembentuk adversity quotient menurut Stolz (2000) adalah sebagai berikut:
a. Daya Saing
Stolz (2000) berpendapat bahwa adversity quotient yang rendah disebabkan karena tidak adanya daya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi.
b. Produktivitas
ketika menghadapi kesulitan. Artinya, respon konstruktif yang diberikan seseorang dalam kesulitan akan membantu meningkatkan kinerja dan produktivitas yang tinggi.
c. Motivasi
Stolz (2000) menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat akan menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan masalah dengan menggunakan kapasitas diri serta segenap kemampuan.
d. Mengambil resiko
Seseorang dengan adversity quotient yang tinggi akan lebih berani dalam mengambil resiko dan terus berkembangan dalam zona ketidaknyamanan. Hal ini akan membuat respon terhadap masalah menjadi lebih konstruktif
e. Perbaikan
Seseorang dengan adversity quotient tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah konkrit, yaitu dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain dalam kehidupan
Orang yang merespon masalah dengan baik, akan lebih mudah untuk tetap bertahan dan tidak mudah menyerah ketika menghadapi masalah baru
g. Belajar
Orang-orang yang merespon seara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan anak yang berpola pikir pesimistik.
2. Tiga Tingkatan kesulitan
Stolz (2000) mengklasifikasikan tantangan atau kesulitan menjadi tiga dan menggambarkan ketiganya dalam bentuk piramida:
Gambar 1. Tiga Tingkatan Kesulitan (Stolz (2000): hal.51)
Stolz menyatakan bahwa kesulitan pada individu menjadi hal yang paling utama dan mendasar untuk ditinjau, dari segi biologis dan psikologis individu, dan bagaimana kualitas individu menambah atau mengurangi intensitas kesulitan. Lalu Sekolah dan institusi pendidikan menjadi tantangan yang didapatkan dari
lingkungan sampai pada akhirnya bagaimana pelajar pada umumnya mendapatkan kesulitan pada prestasinya disebabkan dua kesulitan sebelumnya. Untuk mengatasi kesulitan dalam prestasi maka kesulitan di tingkat institusi pendidikan dan individu harus dihadapi terlebih dahulu.
3. Karakter Manusia Berdasarkan Tinggi Rendahnya Adversity Quotient
Dengan menganalogikan pada pendakian gunung, Stoltz (2000) membagi orang-orang dalam pendakian itu dalam tiga golongan, yaitu quitter, camper dan
climber.
a. Quitter
Quitter adalah orang yang berhenti dan tidak mencoba untuk mendaki.
Mereka adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti. Mereka menolak kesempatan untuk mendaki. Mereka mengabaikan, menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.
b. Camper
Camper adalah orang-orang yang pergi untuk mendaki tetapi tidak
seberapa jauh mereka berhenti dan memilih untuk menetap di situ dan tidak meneruskan pendakiannya karena telah merasa nyaman, aman dan mungkin takut akan hal yang terjadi jika mereka terus mendaki. Orang tipe
ini akan puas pada suatu keadaan dan tidak mencoba untuk terus berkembang.
c. Climber
Climber merupakan orang-orang yang seumur hidup digunakan untuk
mendaki. Mereka selalu terus menerus maju dengan memikirkan kemungkinan-kemungkinan serta tidak membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental dan hambatan lainnya menghalangi pendakiannya. Dalam konteks, orang tipe ini akan mengembangkan dirinya seiring dengan masalah yang ada dan terus belajar dari masalah.
C. Unit Kegiatan Mahasiswa USU Society for Debating
USU Society For Debating (USD) adalah salah satu unit kegiatan mahasiswa yang aktif di Universitas Sumatera Utara. Orientasi utama dari kegiatan mahasiswa ini adalah debat bahasa Inggris. USD resmi terbentuk pada tahun 2010, namun dalam perkembangannya baru saja memiliki secretariat dan kepengurusan organisasi dan program latihan. Tujuan utama dari Unit Kegiatan Mahasiswa ini adalah sebagai bentuk organisasi yang dapat mewadahi mahasiswa yang memiliki kemampuan dan minat dalam berdebat, serta meraih prestasi di kancah lokal, regional, nasional, maupun internasional.
USD dipimpin oleh seorang ketua yang disebut sebagai president. Dibantu oleh sekretaris dan bendahara, ketiga orang ini disebut sebagai pengurus utama. Kemudian dalam internal USD sendiri ada 5 departemen yang masing-masing
berperan dalam kegiatan pelatihan debat dan pengembangan organisasi secara keseluruhan. Secara struktur, USD juga memiliki advisor yang memberikan arahan dan nasihat pada setiap acara yang akan diselenggarakan USD.
Untuk mengadakan kegiatan dan mengikuti perlombaan, adalah hal yang wajar USD selalu berintegrasi dengan pihak rektorat, dan selalu berkoordinasi dalam setiap kegiatan. USD juga sering diberikan amanah dalam mengatur acara ataupun turut ikut serta dalam berbagai kepanitiaan.
Berdebat menjadi salah satu fokus utama dari USD, seperti yang disadur dari DIKTI mengenai kegiatan debat bahasa Inggris, Lomba debat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris antarperguruan tinggi telah menjadi bagian penting dalam kompetisi perguruan tinggi di dunia. Lomba debat ini menuntut keterampilan berbahasa Inggris dan berargumentasi. Keterampilan berbahasa Inggris yang baik akan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berinteraksi dengan masyarakat internasional. Sedangkan keterampilan atau kemahiran dalam berargumentasi akan meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk membuat keputusan berdasarkan analisis yang logis dan faktual.
D.Hubungan antara Adversity Quotient dengan Prestasi Akademik Pada UKM USU Society for Debating
Anggota USD, berdasarkan beberapa pernyataan sebelumnya, menerima tantangan yang relatif lebih besar dan lebih intens daripada UKM lain di USU. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, yang pertama adalah proses seleksi
yang ketat sebelum mengikuti lomba, baik untuk lokal maupun internasional. Anggota yang baru saja mengikuti UKM ini tentu saja tidak mudah untuk langsung mengikuti lomba. Belum lagi mereka harus bersabar dalam menghadapi senior yang cenderung lebih mampu dalam berdebat karena pengalaman. Yang kedua, Maslow (2009) menyatakan bahwa setiap individu pada dasarnya akan selalu bersaing untuk mencapai aktulisasi dirinya. Sehingga masalah yang dihadapi anggota salah satunya adalah tingginya persaingan untuk dapat berpartisipasi dan aktualisasi diri dalam lomba.
Menurut Sobur (2006) prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar. Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang terstandar. Salah satu aspek dari adversity quotient adalah belajar (Stolz, 2000). Hal ini menegaskan bahwa untuk memiliki adversity quotient yang baik seseorang harus belajar dan memenuhi tuntutan untuk memperkaya pengetahuan.
Setiap mahasiswa pada dasarnya merasa tertekan dengan tuntutan akademik. Apa yang terjadi pada anggota USD adalah kesulitan mereka dalam membagi perhatian mereka dalam mengikuti lomba dan tetap mengejar tuntutan akademis. Padahal prestasi akademik adalah indikator baku atas prestasi
prestasi yang baik. Namun dengan keikutsertaan dalam UKM ini, dan dengan intensitas lomba yang ada, maka adversity quotient yang merupakan kemampuan dalam menghadapi masalah akan sangat dibutuhkan.
Menurut stolz (2000) ada 3 golongan orang yang memiliki adversity
quotient. Anggota USD yang tergolong quitter adalah mereka yang beranggapan
bahwa berdebat dan berorganisasi itu rumit, membingungkan, dan bikin pusing saja. Ketika mereka menemukan sedikit kesulitan dalam menyelesaikan masalah mereka menyerah dan berhenti tanpa dibarengi usaha sedikitpun. Hal ini akan berpengaruh pada saat mereka menemukan kesulitan dalam membagi waktu dan mempelajari hal baru dalam perkuliahan. Pada saat menghadapi kesulitan mereka akan cenderung lepas kontrol dan masalah tersebut menjadi suatu kesulitan di aspek kehidupan individu tersebut. Ketahanan (endurance) mereka juga cenderung rendah dan selalu ingin menyerah ketika diberikan tugas ataupun menghadapi ujian.
Anggota USD yang tergolong camper adalah mereka yang tak mau mengambil risiko yang terlalu besar dan merasa puas dengan kondisi atau keadaan yang telah dicapainya saat ini. Ia pun kerap mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang akan didapat. Orang tipe ini cepat puas atau selalu merasa cukup berada di posisi tengah. Orang camper merasa cukup senang dengan ilusinya sendiri tentang apa yang sudah ada, dan mengorbankan kemungkinan untuk melihat atau mengalami apa yang masih mungkin terjadi. Mereka tidak memaksimalkan usahanya walaupun peluang dan kesempatannya ada. Tidak ada
usaha untuk lebih giat belajar. Dalam organisasi debat, siswa camper tidak berusaha semaksimal mungkin, mereka berusaha sekedarnya saja. Mereka berpandangan bahwa tidak perlu menjadi juara, yang penting jadi anggota organisasi, tidak perlu meraih banyak prestasi. Prestasi akademik pun tidaklah perlu menjadi yang terbaik bagi mereka. Mereka tidak memberikan usaha maksimal ketika mengerjakan tugas dan ketika menghadapi ujian. Mereka juga menganggap bahwa IPK adalah sesuatu yang relatif dan tidak menjadi indicator kesuksesan seseorang.
Tipe climber adalah mereka yang mempunyai tujuan atau target. Untuk mencapai tujuan itu, ia mampu mengusahakan dengan ulet dan gigih. Tak hanya itu, ia juga memiliki keberanian dan disiplin yang tinggi. Lalu ditengah organisasi, mereka yang bertipe climber juga merasa tertantang dalam materi perkuliahan dan berusaha membagi waktu. Ibarat orang bertekad mendaki gunung sampai puncak, ia akan terus mencoba sampai yakin berada di puncak gunung. Bila ada masalah, maka mereka yang bertipe ini akan mengontrol agar masalah tersebut tidak mempengaruhi aspek kehidupan mereka yang lain, dan mereka memiliki ketahanan yang baik ketika menghadapi tantangan. Tipe inilah yang tergolong memiliki AQ yang baik.
D. Hipotesis
Dalam penelitian ini diajukan satu hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya. Adapun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu: