• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanggungjawab Umum Nafisah Aliyah. Editor Fakhri Abdul Gaffar Balqis Nurul Ilma Naili Izzah Ramadhani Rizma Zuhdiyah Mafaza

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penanggungjawab Umum Nafisah Aliyah. Editor Fakhri Abdul Gaffar Balqis Nurul Ilma Naili Izzah Ramadhani Rizma Zuhdiyah Mafaza"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

3 Penanggungjawab Umum

Nafisah Aliyah Editor Fakhri Abdul Gaffar

Balqis Nurul Ilma Naili Izzah Ramadhani Rizma Zuhdiyah Mafaza

Desain & Layout Alief Fathan Kontributor Senior Mahkamah Mahdi Lc., M.A Dr. Sugeng Hariyadi., Lc., M.A

Ziaul Haq, Lc.

Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M. Penulis

Kru Majalah La-Tansa 2018-2019 Diterbitkan oleh Komunitas Majalah La-Tansa

Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Darussalam Gontor Cabang Kairo

(4)

4

Kata Pengantar…….……….……….. 7 Sekapur Sirih……….……….. 10 Dekontruksi Syariat;

Memahami Pasak Kontruksi Syariat.……..……… 17

Dekontruksi Syariat Islam…..……….. 20 Dekonstruksi Paradigma Sunnah oleh Orientalis... 28 Mendekonstruksi Syariat Islam;

Memberi Konsep Baru al-Quran dan Sunnah?... 35 Perbedaan Ijtihad Maqshidi dan

Ijtihad Semantik Dari Sisi Epistemologi…………... 40

Penumpang Gelap………...……… 48

Sejarah Awal Istilah Ahlusunnah wal Jama’ah…… 49 Kedudukan Al-Azhar………. 50 Wahabi, Salafi, dan Kaum Ekstrim Kontemporer. . 54 Penumpang Gelap………. 57 ASWAJA……….… 62 Dasar-Dasar Akidah Ahlusunnah wal Jama’ah….. 65

(5)

5

Manhaj Akidah Ahlusunnah wal Jama’ah………. 66

Ulama-ulama Pengikut Akidah Al-Asy’ariyah…… 67

Eksistensi Ahlussunnah Waljamaah Sebagai Salah Satu Pilar Manhaj Al-Azhar…..…… 68

Kepingan yang Hilang…….……….….…...… 76

Tasawuf; Sejarah dan Perkembangannya……..…. 76

Tasawuf Sebagai Implementasi Nilai-Nilai Keislaman………. 84

Menelaah Tasawuf Tanpa Guru, Mungkinkah?... 90

Entitas Moral dalam Peradaban; Kepingan yang Hilang... 96

Sang Pencari Jati Diri……….…. 101

Tuduhan kepada Imam Al-Ghazali……….. 107

Sepercik Hikmah Al-Ghazali………. 108

Esensi Tasawuf Dalam Kehidupan………... 109

Restorasi Ruh………...……….………… 115

Obat Permasalahan Umat yang Tertinggal……… 120

Restorasi Ruh Islam; Seba gai Obat Peradaban…. 122 Agama dalam Kacamata Restorasi Ruh Peradaban………. 128

(6)

6

Ruh yang Ditanam Kiai;

Sebagai Figur Sekaligus Pendidik……… 134 Inqaz al-Iman; Restorasi Ruh ala Said Nursi……… 139 Restorasi Ruh dalam Beragama……….. 145 Pemugaran Manhaj Azhar Dalam Konsep Kekinian Bagi Pelajar Asing……….159

(7)

7 Ilmu menduduki tempat yang agung. Dalam al-Qur’an kata ilmu dan derivasinya disebut berulang kali dan menempati posisi kedua setelah kata tauhid. Dalam Ṣahih Bukhȃrȋ, Kitȃb al-‘ilm diletakkan bersandingan dengan Kitȃb al-imȃn. Dalam ilmu mantiq, ilmu memiliki salah satu makna berupa malakah atau suatu ketangkasan dan pengetahuan yang luas.

Dalam prosesnya, ilmu tidak bisa dipisahkan dari aktifitas berpikir yang diakomodir oleh otak. Selain untuk mengimbangi arus dinamika kehidupan, tanpa berpikir seseorang akan kehilangan unsur terpenting penciptaan yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lain. Dalam hal ini, berpikirnya seseorang yang memiliki pengaruh internal dan eksternal yang baik berbeda dengan mereka yang tidak demikian. Begitu pula dengan berpikirnya orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu.

Produk pemikiran orang berilmu yang paling nyata adalah tulisan, karena dengan tulisan ia tidak hanya mengikat wujud kasat mata dari refleksi ilmu tapi

(8)

8

juga memberikan pendapat dan menyalurkan intelektualitasnya. Maka dari itu sejarah keemasan Islam tidak luput dari gerakan literasi, sebutlah tokoh literasi pertama dalam Islam yaitu Zaid bin Tsabit, sekretaris rasulullah SAW yang berperan dalam penulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian disusul beberapa ulama yang mempunyai karya-karya besar seperti Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hanbali, Imam Maliki, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina dan masih banyak lagi.

Tak heran di lembaga pendidikan manapun, baik klasik maupun komtemporer selalu digencarkan gerakan keilmuan seperti menulis, membaca, meneliti, menulis serta berdiskusi. Jika semangat literasi tersebut sejalan dengan semangat para ulama terdahulu yang bermakna sebagai adabiyyat, maka literasi seharusnya berfungsi untuk menegaskan sebuah kebenaran dan menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Maka dari itu kebenaran dan keberanian dalam beropini dibutuhkan agar kebenaran tak tergeser oleh kemungkaran. Terlebih kepiawaian dalam beropini hendaknya hadir di kalangan akademisi muda karena merekalah yang punya andil paling besar dalam berfikir, membaca dan menulis. Untuk mencapai hal ini diperlukan sebuah wadah yang berfungsi menaungi dan membiasakannya.

(9)

9 Oleh karenanya saya turut berbangga dengan pencapaian Majalah Latansa tahun ini karena telah hadir dengan tema-tema menarik ; Dekontruksi Syariah Islam, Penumpang Gelap, Kepingan yang Hilang, Restorasi Ruh, sebagai salah satu pengisi dalam semangat berliterasi Islami yang positif. Dengan adanya kumpulan opini yang disadur dari tema-tema positif tersebut, besar harapan bahwa jiwa-jiwa kritis yang telah dilahirkan majalah Latansa tidak akan mati meskipun tongkat kepengurusan berganti.

Menurut pendek saya, majalah Latansa dengan segala karya di dalamnya adalah sebuah perayaan yang tidak boleh usai setelah pencapainnya, karena selama masih ada nafas kehidupan dunia entah dengan kebatilan atau tidak, opini-opini penggugah dari para mahasiswa di negri kinanah ini akan memberi pandangan tersendiri dan akan masih sangat dibutuhkan terlebih di fase dimana kebenaran menjadi bias jika tidak diperjuangkan. Selamat!

Lutfia Muflihah

(10)

10

Kesempurnaan kepribadian seseorang nyatanya berbanding lurus dengan keseimbangan peran hati dan akal. Urgensitas diantara keduanya (peran hati dan akal) menjadi penentu pola hidup seseorang tersebut, baik secara individu maupun bermasyarakat. Terlebih melihat kondisi sekarang, hampir tidak terlihat keseimbangan peran diantara keduanya. Salah satu faktor mendasar, yakni krisisnya pemahaman sekaligus praktek merasionalkan hati dan meng-intuisi-kan akal. Padahal, hakikat keseimbangan inilah justru akan membentuk jembatan pengantar pada kesempurnaan jiwa yang utuh sesuai harapan ajaran Islam (Islam, iman dan ihsan).

Menanggapi kalimat ‘merasionalkan hati dan meng-intuisi-kan akal’, nyatanya jarang sekali masyarakat

(11)

11 memahaminya, lebih-lebih mengaplikasikan dalam kehidupan. Oleh karena itu, sebelum mengupas lebih jauh mari kita pahami terlebih dahulu makna ’rasio’ dan ‘intuisi’, serta apa yang menjadikan dua kata ini identik dengan akal dan hati.

Ditinjau dari segi bahasa makna rasio adalah nalar, pemikiran menurut akal sehat, atau akal budi. Berawal dari sini, dapat diartikan bahwa manusia yang berasio adalah mereka yang berkemampuan menggunakan akal dengan baik, berkemampuan dalam memahami, menyimpulkan serta berpikir secara (masuk akal) logis. Lantas dari pemahaman makna di atas, tidak heran jika kata ‘rasio’ sering diidentikkan dengan kerja akal. Melalui aktivitas -kerja- akal, kita tidak hanya sekedar dapat memikirkan segala hal yang bersifat fisik, melainkan juga hal-hal yang bersifat ghaibiyat (metafisika). Menurut para filosof, sebenarnya hakikat dunia dibagi menjadi dua, yakni alam shoghir dan alam kabir. Alam shaghir adalah istilah sebagaimana alam dunia semestinya, yakni dunia

(12)

12

nyata dimana tempat semua ciptaan-Nya dihidupkan atas kendali-Nya. Sedang makna dari alam kabir, merupakan dunia hasil dari pemikiran setiap individu. Dunia yang luas dan tak terbatas, sesuai dengan kebebasan akal dalam membentuknnya. Perihal inilah yang sekaligus menjadi bukti akan aktivitas kerja akal manusia.

Selanjutnya adalah intuisi. Intuisi dapat kita artikan suatu bentuk pemahaman yang diperoleh secara langsung, tanpa perantara, tanpa rentetan dalil dan susunan kata, serta tanpa melalui langkah-langkah logika satu demi satu. Jika rasio kita anggap sebagai pola kerja akal, maka intuisi bisa kita sebut dengan bisikan hati atau gerakan hati. Dari adanya gerakan hati inilah yang akan mencerminkan kepribadian seseorang secara murni. Ditinjau dari segi keilmuwan Islam menyangkut tentang pembahasan akhlak, akhlak yang baik merupakan manivestasi gerakan hati yang terbentuk secara spontanitas. Artinya, dalam melakukan hal yang dikehendaki, si pelaku tidak membutuhkan untuk

(13)

13 berpikir dan merenung terlebih dahulu. Contoh simpelnya, seperti seseorang yang spontan membantu nenek menyebrang di jalan. Dan seketika itu juga spontan terlihat cerminan akhlak murni kepribadiannya.

Dari pengertian dua kata di atas, mari kita tarik ke dalam urgensitas relasi rasio dan intuisi dari segi pandang Islam. Tidak diragukan, bahwa Islam sangat menjunjung peran antar keduanya (akal dan hati). Dari semua sumber ajaran Islam juga telah ditekankan, bahwa seorang muslim hakiki bukanlah yang sekedar mengedepankan perihal hati (kerohanian), melainkan juga mengedepankan akal layaknya dari segi keilmuwan. Bukanlah makna dari seorang muslim jikala sekedar menyibukkan dirinya dengan mengaji atau beribadah. Maka jika memang begitu fenomena yang terjadi sekarang, sepertinya sejarah dan khazanah Islam yang lampau sangat perlu diulas sekaligus menjadi asupan wajib generasi Islam saat ini.

(14)

14

Menukil salah satu nasehat ulama Islam, Imam Ghazali menjelaskan bahwa akal dan hati tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain, sebagaimana substansi-substansi sebuah mesin yang saling berkesinambungan. Hubungan antara akal dan hati inilah yang sejatinya mampu menunjukkan kepada kebenaran. Awalnya pendirian ini bermula dari suatu pemahaman bahwa dimensi jiwa (nafs) merupakan hasil dimensi psikis kemanusiaan yang dimotori oleh akal (‘aql) dan hati (qalb).

Prinsip ini juga membuktikan bahwa ajaran Islam telah didesain sebegitu kokoh dengan pondasi mendasar akan kandungan ajarannya yang sesuai, baik dari segi ras, tempat, maupun zaman. Berbeda dengan pandangan Barat yang sebatas mengedepankan akal tanpa memerhatikan peran hati. Lebih-lebih mereka telah menuhankan akalnya sendiri. Alhasil, jiwa yang terbentuk akan selalu dalam keadaan ketidak puasan, kurang dan terus haus akan materi duniawi.

(15)

15 Kembali melihat krisinya kondisi sekarang, rupanya Barat telah memainkan permainannya demi terbukanya peluang dan kesempatan apapun untuk menggerogoti pondasi Islam, baik secara internal maupun eksternal. Telah banyak usaha-usaha yang mereka gagas dalam mempengaruhi ajaran syariat Islam. Katakan saja layaknya permasalahan hermeunetika yang tengah marak saat ini, juga permalasahan-permasalahan lainnya yang membuka celah khazanah Islam hingga jauh dari kaidah-kaidah dasarnya (al-Quran, sunnah, ijma dan qiyas). Dari adanya fenomena ini, pun tidak dipungkiri jika memunculkan imbas yang lumayan serius. Misalnya telah banyak bermunculan gerakan teroris, bentuk upaya gerakan orientalis dan semacam kelompok radikal lainnya yang menutupi dirinya untuk menjadi penumpang gelap ajaran Islam yang shohih, yakni Ahlusunnah wal Jamaah.

Dari penjelasan singkat di atas, wajib bagi kita sebagai generasi umat Islam untuk saling membuka akal

(16)

16

dan hati. Dengan bercermin pada sejarah, bermuhasabah mengintropeksi kesalahan, serta membenahi kepingan-kepingan ajaran Islam yang telah hilang. Perihal inilah nantinya yang akan mempertemukan suatu individu seorang muslim kepada kesempurnaan jiwanya – kamaliyah insaniyah-. Yakni jiwa yang kembali hidup, pulih dan utuh. Dan dari sempurnanya jiwa tersebut tentu sebagai modal terbentuknya Islam yang utuh.

Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa karya tulis kru latansa 18-19, yang telah dirangkai sebaik mungkin hingga membantu pembaca untuk memahami rentetan perihal Islam yang dibutuhkan saat ini, terutama mengenai kesempurnaan jiwa (nafs) seorang muslim. Berangkat dari pemahaman rasio dan intuisi, sekaligus dilanjut argumen-argumen penunjang di dalamnya, menjadi harapan besar penulis kepada setiap pembaca agar dapat merestorasi ulang ruh yang ada pada dirinya, baik secara lahiriah maupun batiniah.

(17)

17 Apabila seorang arsitek ingin membuat sebuah bangunan yang kompleks dan megah, maka fondasi merupakan hal pertama yang harus menjadi perhatiannya. Dalam menentukan sebuah fondasi tentulah harus memahami aspek geologi dari tanah di mana bangunan itu akan berdiri. Jika bangunan itu berdiri di atas pasir pantai maka fondasi ceker ayam yang digunakan. Begitupula dalam berijtihad dan memahami syariat, seyogyanya kita mengenali pasak yang sesuai dalam kontruksi syariat Islam.

Peradaban Islam, ialah sebuah rangkaian komponen sejarah, seni budaya, khazanan keilmuan, etika dan laku-laku seorang muslim. Peradaban Islam adalah peradaban teks. Apa yang pernah dicapai saat

(18)

18

umat Islam memimpin hamir dua pertiga bagian bumi pada masa lalu bersumber dari pemahaman atas teks al-Quran dan Sunnah. Sekilas keduanya merupakan landasan final dan statis. Namun, nilai-nilai peradaban tersebut selalu bias diperbarui, dikembangkan dan diilhami sedemikian hingga ia mampu mengiringi langkah umat manusia, karena ia dinamis. Untuk mengekstrasi dan mengejawantahkan nilai-nilai tersebut dibutuhkan sosok generasi muslim yang juga dinamis. Tidak cukup demikian, generasi ini kini mesti memahami apa saja ranah agama yang dinamis untuk dipisahkan dari ranah-ranah tetap yang tidak bias diganggu gugat.

Dalam mengekstrak nilai-nilai yang terdapat dalam al-Quran dan sunnah, Islam telah memiliki metode pembacaan teks yang kompleks jauh sebelum Barat menggunakan hermeneutik sebagai pisau analisis dalam membaca Bibel. Dalam Usul Fikih secara garis besar ijtihad dalam memahami teks terdiri dari dua macam; ijtihad semantik dan ijtihad maqosid. Seluruh metode yang telah terumuskan oleh ulama terdahulu bersumber utama dari al-Quran dan sunnah. Maka apabila terjadi dekontruksi paradigma dari dua sumber tersebut maka secara perlahan syariat akan terdekontruksi.

Filsuf Barat mengganti logika Aresto dengan logika positifisme. Logika positifisme sekarang juga

(19)

19 dikritik dan memunculkan filsafat post modernisme. Jika logika positifisme bergerak dalam ranah eksperimental, maka logika post modernisme bergerak dalam ranah bahasa. Dan kebenaran disini dilihat dari simbol-simbol bahasa.

Turunannya adalah aliran strukturalis, dekonstruksi dan hermeneutika. Logika post modernism lalu ditarik oleh Arkoun untuk mengkaji kitab suci. Arkoun adalah seorang filsuf muslim asal al-Jazair yang tinggal di Prancis dan sekarang berkebangsaan Prancis. Filsafat postmodernisme ini, bisa dilawan dengan logika ilmu ushul fikih dengan dua piranti penting yaitu ilmu semantik dan ilmu maqashid. Sementara filsafat Barat modern bisa dilawan dengan ilmu kalam dan logika eksperimental (istiqra) kaum muslim.

Persoalan yang mendasar sesungguhnya berada dalam ranah epistem, sehingga melawan berbagai aliran Barat modern tadi harus paham epistem dan struktur epistem. Artinya, kita mesti paham benar dua logika penting yaitu logika Barat dan Islam. Diantara ulama yang banyak menyerang filsafat Barat, seperti Baqir Shadr dari Syiah. Dari kalangan sunni ada Syekh al-Azhar Ahmad Tayyib, Muhammad Qurub, Sayyid Qutub, Al-Maududi, Muhammad Iqbal dan Muhammad Abduh. Begitu juga dengan ulama-ulama yang menyerang

(20)

20

filsafat post modernism seperti Dr. Salim Abu Ashi, yang juga termasuk salah seorang ulama al-Azhar. Adapun ulama-ulama nusantara, seperti bapak Adian Husaini rupanya juga bergerak di ranah worldview.

Maka hal yang dibutuhkan adalah pengembangan metodologi alternatif itu, kongritnya yakni dengan mengembangkan ijtihad semantik dan ijtihad maqashidi. Ijtihad semantik penting untuk mengkritisi filsafat dekonstruksi dan strukturalis, sementara ijtihad maqashidi penting untuk mengkritisi hermeunetika. Dengan ini kita tahu, bahwa ulama kita terdahulu telah mewariskan kekayaan intelektual yang luar biasa. Namun, sebelum dapat menelurkan metodologi tersebut, menjadi hal yang disayangkan bahwa banyak dari kita belum memahami dan mengetahuinya. Ibarat dalam ijtihad semantik sangat dibutuhkan adalah penguasaan ilmu nahwu, sharaf, balaghah dan ilmu-ilmu alat lainnya. Maka sudah sewajibnya bagi pelajar dan sebagai penerus generasi selanjutnya, untuk memahami betul pasak dan struktur yang membangun ijtihad itu secara kompleks.

Dekontruksi Syariat Islam

Dunia Islam mengalami krisis yang cukup lama, sangat kompleks dan menggerogoti hampir seluruh

(21)

21 aspek kehidupan. Meski berbagai upaya telah dilakukan, layaknya para reformis datang silih berganti, namun nyatanya keadaan umat masih jauh dari yang diharapkan. Menjelang akhir abad keempat hijriah, berbagai mazhab pemikiran dalam disiplin ilmu, seperti fikih, teologi, usul fikih dan tafsir mengalami pengkristalan. Sejak saat itu dikatakan aktifitas ijtihad di kalangan kaum muslim mengalami stagnasi.

Sikap fanatisme mulai muncul dan mengental ketika bertaklid, berkutat pada pendapat dan pandangan pendahulunya. hingga menimbulkan konflik horizontal dan melemahkan integrasi umat. Ketika itu ada pendapat yang mengatakan pintu ijtihad telah tertutup. Pendapat ini lahir sebagai respon atas sebagian fukaha yang menjadikan prinsip ijtihad untuk melayani kepentingan penguasa. Atas nama ijtihad mereka mengeluarkan pendapat yang bertolak belakang dengan prinsip dasar Islam. Adapun slogan tertutupnya pintu ijtihad dilakukan untuk mencegah hal tersebut, meskipun dalam kenyataannya tak seorangpun ulama yang mengakui tertutupnya pintu ijtihad.

Islam, meskipun dipaksa untuk mensekulerkan dirinya, tetap saja akan bertahan pada prinsip ajarannya. Akan tetapi nyatanya, upaya ini tidak pernah berhenti bahkan disinyalir semakin gencar. Bukan sekedar

(22)

orang-22

orang orientalis, namun oleh para tokoh intelektual dan sarjana muslim, seperti Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Khalafallah, Khalil Abd al-Karim, Abdullah Ahmed Na’em, Abdul Karim Shoroush dan beberapa pemikir lain. Di antara para tokoh yang menjadi garda terdepan dalam sekulerisasi Islam adalah teolog Yahudi dan Kristen. Para pemikir ini justru malah memberikan justifikasi religiositas atas sekulerisasi.

Usaha yang sama dilakukan oleh beberapa intelektual muslim Indonesia, disebut lokomotif ‘Gerakan Pembaharuan Pemikiran’ oleh Nurcholish Madjid, yang menyatakan sekulerisasi tidak kontradiksi dengan ajaran Islam. Bahkan disamakan dengan tauhidisasi yang oleh Prof. Rasyidi dikatakan sebagai sebuah definisi yang arbitrery. Nurcholis berargumentasi bahwa sekulerisasi adalah sebuah proses desakralisasi, menduniawikan nilai yang sepatutnya duniawi dan membebaskan manusia dari tendensi untuk mensakralisasikannya. Atas dasar ini ia lantas menyamakannya dengan tauhidisasi yang menantang bid’ah dan khurafat. Sepintas argumentasi ini tampak rasional, namun penelitian selanjutnya membutikan sebaliknya. Memang benar tauhid meniscayakan desakralisasi selain Allah Swt , akan tetapi sebagaimana yang diungkap oleh Prof. Naquib Al-Attas: “Islam did not completely deprive nature of spiritual

(23)

23 significance for it sees in Creation, in the heaven and the earth and what lies between. in everything in the farthest horizon and in our very selves – the Signs of God. (Lihat, Syed. Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993). Oleh sebab itu menyamakan sekulerisasi dengan tauhidisasi adalah sebuah absurditas intelektual.

Perubahan adalah sunatullah yang tidak mungkin dihindari. Seiringan dengan perubahan itu, banyak problem kemanusiaan yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Syariat Islam yang bersifat suci, absolut, permanen, yang diyakini berasal dari Allah Swt , saat ini berhadapan dengan problematika yang terus hangat diperdebatkan dalam diskursus hukum Islam kontemporer. Dalam ranah pemikiran Islam, persoalan ini bukanlah hal baru. Islam telah bersentuhan dengan pelbagai budaya dan peradaban. Ia beradaptasi dan mengadopsi tanpa mengubah esensi.

Menanggapi masalah ini para ulama dan pemikir Islam terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, mengingkari adanya perubahan dalam hukum Islam yang ada, karena menganggap hukum yang sudah ada cukup dan tetap. Mereka tidak membedakan antara ruang ibadah dan muamalat, tidak memandang adanya rasio dibalik sebuah hukum. Kaum Zahiri adalah kelompok

(24)

24

yang paling kuat mengusung ide ini. Mereka melihat modernisasi sebagai upaya penghancuran Islam. Kedua, kelompok yang berusaha mengkompromikan hukum Islam dengan perubahan. Mereka tidak menolak adanya perubahan hukum Islam selama tidak bertentangan dengan ide, institusi dan nilai pokok syariat Islam. Ketiga, mereka yang terlalu memberikan penekanan pada aspek realitas dan mengabaikan tuntutan teks. Mereka berusaha memberikan reinterpretasi dan re-thinking terhadap beberapa aspek kunci dalam tradisi Islam, meninggalkan apa yang diangap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan mengambil apa yang dianggap relevan saja, dan berusaha untuk tetap royal terhadap etos, tujuan dan nilai-nilai quran yang kekal.

Kelompok ketiga ini semakin lantang terdengar dalam wacana pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Mereka bukan hanya mengkritik, mengecam dan mendiskreditkan Islam, namun juga melempar tuduhan sinis, menggambarkan hukum Islam begitu kejam dan sadis, menuduh hukum Islam otoritatif, dikonstruksi untuk melayani kepentingan fukaha atau penguasa. Syariat Islam digambarkan bersifat koersif, menolak perbedaan, memberangus keberagaman dan membungkam kebebasan berfikir. Mereka mengaitkan fikih Islam bersifat teosentris, fatalistik dan konservatif.

(25)

25 Bukan hanya ditujukan untuk menunjukkan kepatuhannya pada Tuhan, melainkan sebagai batu loncatan untuk membentuk kekuasaan baru yang berpusat pada otoritas tunggal. Hal ini disebabkan oleh perangkat epistemologi tekstualis yang hanya berkutat pada tafsir teks bukan tafsir realitas. Mereka tidak rela menjadikan al-Quran sebagai tolak ukur kebenaran, juga tidak rela al-Quran dijadikan sebagai sesuatu yang final. Mereka juga menjadikan Imam Syafi’i sebagai kambing hitam. Mereka menuduh ulama yang agung ini sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kebekuan dan stagnasi, bukan hanya dalam pemikiran fikih Islam, tapi juga pemikiran Islam secara keseluruhan. Mereka beranggapan, “Kita lupa Imam Syafi’i memang arsitek ushul fikih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fikih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fikihnya, para pemikir fikih muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya.” (Lihat Mun’im Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama, Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004)

Ketergantungan fikih pada teks-teks keagamaan sesungguhnya tidak bisa dikategorikan sebagai aib metodologis. Hal itu bertujuan untuk menjaga

(26)

26

objektivitas hukum. Suatu hukum yang tidak mempunyai rujukan hanya akan menimbulkan keonaran, karena setiap orang akan memberikan hukum sesuai dengan kepentingannya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia misalnya, dijadikan rujukan pengacara dan hakim untuk menyelesaikan kriminalitas. Setiap keputusan akan merujuk ke teks tersebut. Jika gagal menemukan pijakan tekstualnya, akan mengakibatkan hukum tidak bisa diterapkan.

Hukum Islam tidak sekaku yang dikira sebagian orang, membuta tuli tergantung pada teks dan mengabaikan realitas objektif di depan mata. Fikih Islam memiliki nilai fleksibilitas sendiri. Mengadopsi dan beradaptasi dengan lingkungan apa saja. Fikih Islam memiliki mekanisme tersendiri dalam berubah, sesuai waktu dan tempat ataupun adat istiadat setempat selama tidak melanggar prinsip dasar syariat Islam. Seperti halnya teks-teks eksplisit al-Quran yang tidak mengandung multi interpretasi atau dinamakan qat’i al-tsubut wa al-dilalah. Oleh karena itu, hukum haramnya gibah dan bohong, wajibnya salat, zakat, puasa, haramnya riba, hukum nikah dan talak, hukum hudud dan qisas, rajam terhadap pezina, dan lain-lain tidak bisa berubah, meskipun waktu dan tempat berubah.

(27)

27 Belakangan ini, hukum-hukum yang qat’i al-tsubut wa al-dilalah ingin dirubah oleh pemikir Islam, karena berpendapat hukum tersebut sudah kehilangan relevansinya dengan masyarakat saat ini. Atas keyakinan inilah kemudian muncul konsep persamaan gender yang dimana pengusungnya gencar menyerang penafsiran hukum Islam dan tafsir klasik berkaitan dengan wanita. Selain itu, masalah kepemimpinan rumah tangga, hukum warisan juga sering menjadi objek kecaman. Dalam hukum publik, Abdullah Ahmad Na’em, intelektual dari Sudan, merupakan tokoh yang paling keras menentang hukum publik Islam, dan masih banyak lagi contoh yang dapat dikemukakan untuk menunjukkan usaha gigih sebagian pemikir muslim hari ini untuk mendekonstruksi bangunan dasar hukum Islam.

Tidak dapat dinafikan banyak aspek fikih Islam klasik yang perlu di perbaharui, hari ini ijtihad merupakan keperluan yang sangat mendesak dan perlu segera dilakukan. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan dan perubahan yang terjadi sehingga menimbulkan persoalan-persoalan baru yang tidak ada padanannya dalam kitab-kitab klasik. Namun demikian, perlu ditekankan bahwa tidak semua hukum Islam itu perlu dirubah. Hukum-hukum yang dikategorikan sebagai qat’i al-tsubut wa al-dilalah dianggap final dan tidak perlu

(28)

28

dirubah. Hukum tersebut sudah di format sedemikian rupa sesuai dengan fitrah manusia yang juga tidak berubah. Jika hukum-hukum yang dalam kategori ini dirubah, maka akan terjadi kekacauan dan kebinasaan, karena melanggar fitrah manusia itu sendiri yang merupakan nature of law.

Dekonstruksi Paradigma Sunnah oleh Orientalis

Islam telah memiliki metode pembacaan teks yang kompleks jauh sebelum Barat menggunakan hermeneutik sebagai pisau analisis dalam membaca Bibel. Dalam Usul Fikih secara garis besar ijtihad dalam memahami teks terdiri dari dua macam; ijtihad semantik dan ijtihad maqosid. Seluruh metode yang telah terumuskan oleh ulama terdahulu bersumber utama dari al-Quran dan sunnah. Maka apabila terjadi dekontruksi paradigma dari dua sumber tersebut maka secara perlahan syariat akan terdekontruksi.

Dalam konteks sumber ajaran Islam, sunnah menempati posisi kedua terpenting setelah al-Quran dalam menetapkan hukum Islam. Sunnah datang sebagai penjelas, perinci dan penguat hukum yang ada dalam al-Quran. Melihat urgensi sunnah dan perannya yang esensial dalam Islam, tidak mengherankan jika kalangan yang tidak senang pada Islam berupaya dengan gigih

(29)

29 mencari kelemahannya, walaupun dengan cara mengada-ada.

Tujuannya adalah untuk menggoyahkan kepercayaan umat Islam pada sunnah ini. Sebab mereka memahami betul bahwa jika sunnah dapat disingkirkan dari kehidupan umat Islam, maka otomatis Islam tidak akan dapat tegak. Jika sunnah Nabi Saw sudah dapat mereka sisihkan terbukalah peluang untuk menyimpangkan al-Quran dan memahaminya menurut selera masing-masing.

Kalangan yang paling berkepentingan dengan masalah ini di zaman modern adalah kaum orientalis. Sebelum penulis berbicara lebih lanjut mengenai beberapa syubhat terhadap sunnah yang dilontarkan oleh orientalis, ada baiknya kita mengetahui beberapa metodelogi mereka dalam mengkaji Islam terkhusus al-Sunnah al-Nabawi yang dikutip dari analisa Prof.Dr. Musthafa Al-Siba’i (Lihat, Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri al-Islami, 2010: 178) tentang metedologi orientais. Ciri khas analis mereka di antaranya, sebagai berikut:

a. Berprasangka buruk dan salah mengerti tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan Islam, baik tujuan dan motifnya.

b. Berprasangka buruk terhadap tokoh-tokoh Islam, ulama dan pembesar-pembesar Islam.

(30)

30

c. Memperlakukan informasi (teks) ilmiah menurut kemauan mereka sendiri.

d. Memutarbalikkan teks dengan sengaja. Jika tidak menemukan celah-celah untuk diselewengkan, mereka mendistorsi makna yang ada.

e. Menggunakan referensi semaunya untuk dijadikan sumber nukilan, misalnya menjadikan buku-buku sastra sebagai rujukan untuk mengetahui sejarah hadits dan literatur sejarah untuk menentukan sejarah fikih.

Dari segi metodologi, mereka telah memiliki prakonsepsi yang merupakan doktrin agama mereka yang tertanam bahwa al-Quran bukan kalam Allah Swt dan Muhammad bukan Rasul Allah Swt. Akibatnya, penelitiannya hanya diarahkan untuk mendukung asumsinya saja, bukan ingin mencari kebenaran tapi pembenaran. Banyak dari kajian-kajian orientalisme yang terkait erat dengan kepentingan negara-negara tertentu, bersifat politis, bisnis, strategis dan lain sebagainya.

Setelah sepak terjang orientalis untuk membuat keraguan terhadap al-Quran mengalami kegagalan, tidak menunjukan pengaruh yang signifikan di kalangan kaum Muslim, orientalis Barat mencoba membidik sumber Islam kedua, sunnah. Orientalis pertama yang menyebarkan keraguan terhadap hadits ialah Goldziher,

(31)

31 Yahudi Hongaria yang di kalangan Islamolog Barat dianggap sebagai orang yang paling banyak mengetahui hadits. Rasa kagum orientalis terhadap Goldziher terletak pada keberaniannya mengkritik, memunculkan keraguan terhadap hadits, serta melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak pernah terdengar dikalangan muhadditsun (ulama-ulama hadits) selama berabad-abad. Sebelum menelaah secara substansial pandangan-pandangan Goldziher, terlebih dahulu kita kemukakan sekilas metodologi kritik muhadditsun dalam upaya memelihara keotentikan hadits Nabi Saw dan meletakan kerangka metodologi ilmiah guna membersihkan hadits dari berbagai kemungkinan pemalsuan;

a. Melacak isnad (matarantai) hadits, setelah Rasulullah Saw wafat, para sahabat tidak pernah meraguka hadits yang mereka dengar dari sahabat lainnya. Namun sejak terjadinya fitnah sahabat dan tabi’in, mulai berhati-hati dalam meriwayatkan hadits (Hammam Abdurahmman, 1987: 56-57) b. Otentifikasi (Tausiq) hadits, metode ini sebagai

salah satu metode untuk melacak kebenaran suatu hadits, telah diuji sejak masa sahabat dan tabi’in. Orang-orang yang menemukan hadits dapat mengkaji ulang kepada sahabat, Tabi’in atau pun

(32)

32

para imam. Otentifikasi itu tidak sebatas sanad tetapi juga isi atau matan hadits.

c. Metode Jarh wa Ta’dil (KritikRawi). Metode kritik rawi haditss ebagai orang jujur atau pendusta, merupakan metode efektif yang membersihkan hadits Nabi Saw dari berbagai pemalsuan orang-orang yang berkedok sebagai perawi. Dengan metode inilah para ulama bisa membedakan hadits shahih dengan dha’if.

Di atas telah kita deskripsikan metodologi muhadditsun dalam membentengi hadits Nabi Saw, sehingga tak satu pun celah yang dapat ditembus. Sekarang kita mencoba untuk mengkaji sejauh mana kebenaran tuduhan Goldziher terhadap hadits.

Pertama, Goldziher menuduh bahwa bagian terbesar dari hadits adalah catatan sejarah tentang hasil kemajuan yang dicapai Islam dalam bidang agama, politik dan sosial pada dua abad pertama hijrah. Tuduhan itu secara historis dan de facto tidak beralasan bahwa Rasullah Saw meninggalkan setelah “merumahkan” al-Quran dan sunnah Nabi Saw. Hal ini secara eksplisit ditegaskan al-Quran, “Pada hari ini kusempurnakan untukmu agamamu, kucukupkan atasmu nikmat-Ku dan Aku ridha bagimu Islam sebagai agama.” [Q.S al-Ma’idah 5: 3]. Untuk mengetahui sejauh mana matangnya Islam

(33)

33 sejak periode pertama, cukup dilihat kesiapan Umar bin Khatab menangani urusan dua imperium terbesar saat itu; Persia dan Romawi. Umar mampu menjalankan roda pemerintahan bahkan dengan sistem yang lebih sempurna dan adil dari Kisra dan Kaisar.

Kedua, Goldziher menuduh bahwa Ahlu Bait sengaja membuat hadits untuk mendiskreditkan dan menjatuhkan Umawiyyah, dan begitu pula sebaliknya. Tidak bisa kita pungkiri keutamaan para sahabat Nabi Muhamad Saw, hingga dalam hal ini Syi’ah melebih-lebihkannya memuja Ahlu Bait sampai menjatuhkan sahabat lainnya. Dari sini mereka mulai memalsukan hadits untuk menjatuhkan beberapa sahabat lainnya dan juga mendiskreditkan Umawiyyah dan pendukung mereka.

Disinilah menjadi akar permasalahan, bahwa Goldziher menukil sumber dari golongan Syi’ah, Khawarij dan yang mengikuti paham menyimpang lainnya secara latah. Sejarah mencatat tokoh Syi’ah, Ibnu Abil Hadid mengatakan bahwa Syi’ahlah yang pertama mendustakan hadits, dan muncul Goldziher menuduh ulama-ulama yang tsiqoh, semisal Sa’id bin Musyaab, Atho’ bin Rabah, Imam Zuhri, yang memulai dengan tindakan-tindakan pemalsuan itu. (Musthafa Sibai’i, 2010: 190)

(34)

34

Ketiga, sasaran tuduhan Goldziher diarahkan kepada imam terbesar dalam sunnah pada zamannya, Imam Zuhri. Goldziher menuduh Zuhri diperalat oleh dinasti Umawi karena kedekatannya dengan khalifah. Alasan seperti itu tidaklah cukup untuk menyimpulkan tuduhan yang diarahkan padanya. Seperti diriwayatkan Ibnu Asakir dengan sanadnya dari Imam al-Syafi’I, bahwa khalifah Hisyam bin Abdul Malik bertanya pada Sulaiman bin Yasar tentang tafsir ayat 11 surat an-Nur, “Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar tentang berita bohong, baginya azab yang besar.” Siapakah orang yang dimaksud? Sulaiman menjawab. “Abdullah bin Ubay bin Salul.” Hisyam berkata, “Anda Bohong, dia adalah Ali bin Abi Thalib” Musthafa Sibai’i mengomentari dalam bukunya (2010:190) bahwa ucapannya tidak serius, dia hanya menguji keberanian mereka dalam mempertahankan kebenaran. Lalu Sulaiman berkata, “Amirul mukminin lebih tahu yang diucapkan”. Kemudian Imam Zuhri tiba dan Hisyam mengulangi pertanyaanya. Zuhri menjawab, “Dia adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.” Hisyam kembali mengatakan jawaban sebelumnya. Namun Imam Zuhri tetap bersikeras terhadap kebenaran dan menentang apa yang dikatakan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.

(35)

35 Riwayat tersebut melihatkan bagi kita kedekatan Imam Zuhri dengan penguasa dinasti Umawi tidak menjadikan dia lembek dalam menyampaikan kebenaran apalagi berdusta. Maka tuduhan yang mendasari Goldziher terhadap Imam Zuhri hanyalah asumsi yang tidak bersifat objektif. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Goldziher menukil dari sumber yang tidak bisa dipercaya dalam keilmuan Islam. Ia menukil dari sumber Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah dan kelompok inkaru sunnah lainnya.

Dekonstruksi paradigma sunnah sebagai sumber otentik yang dilakukan oleh orientalis akan berdampak buruk terhadap dekonstruksi hukum Islam. Maka menjaga kerangka berfikir secara lurus dan objektif memandang sunnah dengan pisau metodologi ulama Islam terdahulu sangatlah penting bagi kita, untuk mendapatkan pemahaman yang benar mengenai agama Islam.

Mendekonstruksi Syariat Islam; Memberi Konsep Baru al-Quran dan Sunnah?

Bagaimana jika dekonstruksi syariat harus dimuali dengan pembaharuan konsep pada al-Quran dan sunnah? Tentu akan menjadi sebuah masalah kontroversial yang akan mengundang banyak pendapat

(36)

36

dan dalih dari berbagai kalangan dan sudut pandang. Mayoritas, pastilah memilih bergabung di kubu kontra atas pernyataan tersebut, dan yang berada di kubu pro sudah bisa dipastikan adalah kaum-kaum orientalis dan oknum-oknum pembenci Islam.

Pada abad ini, upaya-upaya membangkitkan kembali syariat hukum Islam menjadi sorotan menarik di berbagai kalangan. Bermula dari asumsi “Islam pernah berjaya pada masanya” yang memberi sebuah kesimpulan bahwa saat ini Islam sedang jatuh, terjajah, atau tersekularisasi dan sebagainya. Juga pendapat para penegak hukum bahwa syariat Islam sudah tidak relevan dengan era modern dan bentuk syariat yang didasari oleh ushul fiqh klasik tidak lagi bisa mengakomodir kebutuhan umat Islam untuk bisa bersaing di era yang terus berkembang.

Upaya mendekonstruksi syariat tersebut, tidak akan pernah terwujud jika pemahaman dan cara pandang umat muslim terhadap al-Quran dan sunnah tidak dirubah. Hal ini karena al-Quran dan sunnah merupakan dua sumber pokok dalam penetapan syariat. Untuk itu, dalam mewujudkan perubahan syariat yang dicita-citakan, para pelaku dekonstruksi syariat mau tidak mau harus memberikan konsep baru atas al-Quran

(37)

37 dan sunnah yang sudah pasti sangat bertolak belakang dengan kesepakatan mayoritas ulama Islam selama ini.

Sebelum membahas lebih dalam siapa oknum di balik ‘pemberian konsep baru al-Quran dan sunnah’, mari kita ingat kembali konsep kedua landasan hukum dalam Islam tersebut. al-Quran adalah pokok dari semua syariat yang ada dalam Islam, dan tepatnya menempati kedudukan pertama. Kitab suci tersebut bersifat konseptual, perintah, larangan, dan lain sebagainya. Sedangkan sunnah, ada banyak sudut pandang yang mendefinisikannya. Bagi ahli hadist, sunnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani), atau tingkah laku Nabi Muhammad Saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Sementara ahli fikih memandang sunnah sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw baik ucapan, maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan. Meski berbeda pada definisi, tapi ahli hadits dan ahli fikih tetap sepakat memandang sunnah termasuk wahyu. Sunnah

juga berfungsi sebagai penjelas

(mubayyin), perinci (mufaṣṣil), dan

penjabar (mufarri’) dari hal-hal pokok dalam al-Qur’an. Muhammad Zuhri menyatakan, jika al-Qur’an bersifat konseptual, maka sunnah bersifat praktis; layaknya seperti shalat.

(38)

38

Lantas, siapakah yang dengan beraninya memberi konsep baru pada al-Quran dan sunnah? Sebagai contoh konkrit, penulis menyebut Muhammad Syahrur. Yang mana Syahrur adalah seorang muslim kelahiran Damaskus yang berupaya memberi konsep baru pada sunnah untuk melahirkan hukum-hukum baru yang ia anggap relevan dengan kondisi ummat Islam saat ini. Dengan teori yang ia tawarkan yang disebut teori hudud, dan ia ‘berhasil’ memberi syariat-syariar baru. Namun, tak banyak dari tokoh-tokoh besar Islam yang menerimanya, bahkan mereka menolak serta-merta.

Dalam bukunya, Dekonstraksi Syariat(2009), Abdullah Ahmed al-Na’im juga memberi sebuah perubahan besar dalam syariat, namun tidak dengan teori hudud. Na’im lebih fokus pada tiga masalah besar yang bersifat universal; Civil Liberties, Human Rights and International Law (Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam). Tiga masalah ‘besar’ tersebut lahir atas riset dan penelitian lama Naim. Menurutnya, menjatuhkan berbagai hukuman syariah terhadap warga negara non-muslim tanpa dikehendaki mereka, jelas-jelas merupakan pelanggaran hak asasi mereka. Oleh karena itu penerapan hukum syariat harus dibatasi hanya pada ummat Islam saja. Menghubungkan penerapan hukum

(39)

39 pidana dengan agama memunculkan kesulitan-kesulitan praktis yang serius dalam pelaksanaan kehidupan masyarakat global dewasa ini. Pendekatan Abdullah al-Naim adalah dia membahas kompleksitas tugas memindahkan kalimat-kalimat dalam teks wahyu ke dalam hukum pidana kontemporer. Dia menunjukkan suatu apresiasi terhadap fakta bahwa pada saat ini seseorang tidak bisa memutar kembali jarum sejarah hukum. Kebangkitan kembali hukum syariat tidak terjadi di ruang hampa, tetapi dalam lingkungan dimana lembaga dan karakteristik sistem hukum Barat sudah berakar begitu dalam. Sehingga suatu prinsip yang dibangkitkan kembali harus dimasukkan kedalam skema-skema yang melibatkan berbagai katagori dan format Barat.

Lalu, perlukah mendekonstruksi konsep Al-Quran dan sunnah untuk mendekonstruksi syariat Islam? Menurut penulis, tentu tidak; al-Quran tetaplah al-Quran. Dan al-Quran selalu relevan untuk perkembangan zaman. Siapa yang harus menyesuaikan? al-Quran yang menyesuaikan dengan zaman, atau sikap manusianya yang harus menyesuaikan dengan al-Quran? Manusialah yang harus membatasi diri dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam al-Quran. Tetap mengikuti perkembangan zaman tentu wajib, namun tidak keluar

(40)

40

dari ketetapan-ketetapan tekstual yang tertulis di dalam kitab suci tersebut sudah menjadi hal yang mendasarmelebhi kewajiban. Begitu juga dangan sunnah, suatu halyang tidak perlu untuk kita rubah akan konsep-konsep yang telah disepakati oleh ulama.

Perbedaan Ijtihad Maqshidi dan Ijtihad Semantik Dari Sisi Epistemologi

Selain perbedaan dari sisi teks dan konteks, antara ijtihad semantik dan ijtihad maqashidî juga mempunyai perbedaan dari sisi epistemologi. Jika semantik menggunakan epistemologi bayan (penjelasan), maka maqashid menggunakan epistemologi burhan (bukti). Yang dimaksudkan dengan epistemologi bayan adalah bahwa sumber ilmu pengetahuan atau rumusan kaedah yang muncul, bertitik tolak dari bahasa dengan berbagai cabangnya. Bahasa adalah titik sentral ilmu pengetahuan. Di antara ciri-cirinya adalah menjadikan logika dan filsafat bahasa sebagai tumpuhan dan interpretasi dalam struktur pemikiran, memandang sesuatu secara partikular (juzîyat), menggunakan qiyas bayan dengan syarat utama asal, cabang, hukum dan illat. Kesimpulan hukum yang dihasilkan bersifat zanni, karena bertumpu pada illat yang zanni.

(41)

41 Sementara itu, ilmu maqashid bertumpu pada epistemologi burhan (bukti). Pendekatan burhan bertolak dari logika Aristetolian, dengan konsep qiyas Aresto, sistem kajian deduktif dan induktif. Qiyas Aristo juga mempunyai 4 syarat, yaitu muqadimah sughra, muqadimah kubra, rabit dan natijah. Muqadimah sughra harus berasal dari premis yang benar dan perkara yang bersifat aksiomatis. Oleh karenanya hasilnya bersifat qat’i. Ciri-cirinya, ia rasional, bertumpu pada premis yang benar, melihat persoalan dari global menuju partikular, lebih mementingkan makna dan penelitian empiris (istiqrâ). Epistemologi burhan biasa dipakai oleh filsuf, saintifik, dan sebagian kalangan ulama ushul fikih. Memang maqashid syariah tidak menggunakan qiyas Aresto yang bertumpu pada premis mayor dan minor. Namun ia bertitik tolak dari sisi makna.

Selain itu, maqashid syariat memulai persoalan dari yang paling global, lalu dari persoalan global itu, perlahan-lahan dispesifikasikan sesuai dengan tema bahasan. Maqashid syariah memulai kajian dari persoalan yang sangat umum, menuju persoaan yang khusus. Maqashid syariah juga berpijak dari makna yang sifatnya qat’i sehingga diharapkan hasilnya pun sifatnya qat’I, pun akan terbentuk juga titik temu antara ilmu maqashid dengan mantik Aresto.

(42)

42

Jika dalam ilmu mantik ada istilah kuliyatul khamsah, maka Imam Syathibi sebagai bapak ilmu maqashid, dalam kitab Muwafaqat menggunakan istilah kuliyah al-khamsah. kuliyah al-khamsah baik pada mantik Aresto maupun pada ilmu maqashid, sama-sama digunakan untuk memberikan klasifikasi atas suatu perkara agar mudah diidentifikasi. Contoh praktis terkait perbedaan epistemologi dari ijtihad semantik dan maqashidi, dapat dilihat dari sampel berikut ini: ا وومقاو ةوصلا . Kalimat tersebut terdiri dari lafal ا ومقاو dan ةوصلا. Para ulama lantas melihat bahwa lafal ا ومقاو merupakan fii’l amr (kata perintah) untuk banyak orang. Dalam bahasa Arab, fii’l amr mengandung arti wajib, atau sesuatu yang harus dilakukan.

Apalagi jika fii’l amr itu terdapat indikator (qarinah) yang menunjukkan bahwa mereka yang tidak melaksanakan suatu perintah, maka akan mendapatkan siksa atau murka. Kecuali jika fii’l amr tersebut terdapat indikasi lain, jika tidak dilakukan tidak mengapa. Maka ia sekadar anjuran saja. Dari penelitian terkait fii’l amr di atas, lantas para mujtahid membaca teks tadi, kemudian mengambil satu kaedah yaitu: وت اصا لاا لا وب لا اوديف وملاا ونف ق Kata perintah menunjukkan makna wajib kecuali ada indikasi lain.

(43)

43 Jadi hasil yang diperoeh dalam ijtihad semantik, seperti melihat kewajiban shalat sebagai perkara partikular dan independen. Karena memang secara teks bahasa, tidak lebih dari itu. Prinsipnya, shalat adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim. Ilmu maqashid juga melihat bawha shalat hukumnya wajib dengan melihat dari sisi makna teks di atas. Bedanya adalah bawa ilmu maqashid bukan sekadar melihat kewajiban saja secara partikular. Ia masuk dalam persoalan yang lebih umum dan substansi yaitu hifz al-din atau menjaga agama.

Shalat, merupakan satu dari sekian ibadah yang harus dikerjakan oleh setiap insan muslim untuk menjaga agar agama selalu eksis. Bila shalat tidak dikerjakan, maka ada yang timpang dalam urusan agama. Selain itu, meninggalkan shalat juga akan menimbulkan mudarat kepada dirinya baik di dunia maupun akhirat. Contoh lainnya sebagai berikut: Firman Allah Swt:

ذَااااااُاذَّ اَ اااااَ ل َّ ليَِوذ ذلۖاااااََّ ذِحاااااُمذلَََّّۖاااااااَعَطَوذلۖااااَََّيذِحاااااُمذَعااااااََُُليِذِحاااااَِّوَّلذَاوُتااااانيِذَّلاااااَعَطَو

ذلََُّۖللبَاقذلاُاذَعاََُُليِذِحَِّوَّلذَاوُتنيِذَاُاذَّ اَ َ ل َّ ليَِوذ ُ اَ ُالؤَّ ليِ

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula

(44)

44

bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu” (Qs. Al-Maidah[5]: 5] Perhatikan lafal berikut: Secara jelas, Allah Swt. Menghalalkan umat Islam menikahi Kitabiyyah yang muhshanat dari kalangan ahli kitab baik Yahudi ataupun Nasrani.

Apalagi dalam ayat di atas secara jelas menggunakan kata وو ِح Jika kita menggunakan ijtihad semantik maka hukum menikahi wanita Yahudi dan Nasrani yang muhsanat adalah boleh. Fatwa ini berlaku di berbagai negara baik Timur Tengah, Eropa maupun Amerika. Namun apakah hukum ini berlaku di Indonesia? Ternyata tidak. Para ulama besar di Indonesia mengharamkan laki-laki Muslim menikahi wanaita Nasrani dan Yahudi. Mengapa? Kita lihat ciri khas ijtihad maqashidî: bergerak dari konteks, lalu teks lalu kesimpulan hukum. Konteks di Indonesia, ternyata berbeda dengan konteks di Timur Tengah, Eropa atau Amerika. Di Indonesia, terjadi kristenisasi luar biasa. Salah satu sarana kristenisasi adalah dengan melakukan nikah beda agama. Jadi pernikahan ini, kebanyakan sekadar jebakan agar pasangan pindah ke agama lain. Ini berarti membahayakan bagi eksistensi agama suami.

(45)

45 Ditambah lagi dengan kristenisasi yang luar biasa. Umat Kristen melakukan berbagai macam cara untuk memurtadkan umat Islam. Pernikahan ini mencari sarana efektif bagi mereka untuk mengkristenkan umat Islam. Dalam maqashid syariah disebutkan bahwa menjaga agama hukumnya wajib. Segala perbuatan yang kiranya bisa melunturkan keberagamaan harus dicegah. Pernikahan antar agama ini menjadi sarana efektif untuk meluturkan keberagamaan seseorang. Untuk itu ia juga harus dicegah. Selain itu, kita menggunakan kaedah sad- dzariah yaitu menutup pintu kemudaratan. Artinya, mencegah adanya pernikahan beda agama yang sangat berpotensi untuk dijadikan sarana seseorang keluar dari agama Islam perlu ditutup rapat-rapat. Ditambah kaedah lain, yaitu لاوووصملا ووو ب صووو ب جاووو م اوووسايملا ءرد ‘menangkal mafsadah harus didahulukan daripada untuk mendapatkan suatu maslahat’. Menikah dengan kitabîyah ini menimbulkan mafsadah bagi eksistensi agama. Sementara agama telah masuk dalam kebutuhan primer syariat atau yang ddisebut dengan al-dharuriyat. Meski ia mengandung maslahat, namun jika ditimbang antara maslahat dengan mafsadahnya jauh lebih banyak mafsadahnya. Untuk itu, maka pernikahan beda agama ini harus di tutup. Apakah ini tidak menyalahi hukum agama? Apakah merubah fatwa ini diperbolehkan?

(46)

46

Jawabnya adalah kaedah berikut, seperti yang dinyatakan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqiin:

دئِحعيِوذ اي يِوذلِحملاِوذة َالاِوذة ازلاِذيرغِذبسبحذاهفلاُخِوذىحُفيِذيرغِ

Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat. Melihat kaedah tadi, maka perubahan fatawa ini tidak dianggap menyalahi hukum syariat.

Bahkan ia sendiri bagian dari hukum syariat. Hal itu karena hukum syariat selalu melihat maslahat hamba. Seperti pernyataan Ibnul Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqîn mengatakan, “Landasan dan pondasi hukum syariat adalah maslahat hamba baik di dunia maupun di akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya rahmah, semuanya mengandung maslahat, dan semuanya mengandung hikmah. Semua persoalan yang keluar dari jalur keadilan menuju kezaliman, dari rahmah kepada sebaliknya, dari maslahat menuju mafsadat, dan dari hikmah menuju kesia-siaan, maka itu bukan lagi bagian dari syariat, meski itu sudah ditakwil”. Dalam kitabnya, Ibnu Abdussalam dalam kitab Qawaid al-Ahkam berkata, “Mendahulukan maslahat ( dengan kemungkinan besar

(47)

47 akan didapatkan) dari mafsadah yang kemungkinan kecil akan muncul, merupakan perbuatan baik yang terpuji. Menutup mafsadah yang kemungkinan besar akan muncul, dari maslahat yang kemungkinan kecil akan muncul itu perbuatan baik dan terpuji”. Jadi, inilah yang menjadi alasan mengapa pernikahan dengan wanita Kristen di Indonesia di haramkan.

(48)

48

Manusia merupakan kholifah di muka bumi ini. Seperti yang dituliskan dalam firman Allah Swt “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Lahir dalam keadaan Islam dan iman adalah suatu nikmat yang luar biasa agungnya, terlebih dengan kesadaran untuk bersandar kepada perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw. Sebagai makhluk pilihan yang dianugerahi kesempurnaan akal, serta diamanahkan untuk menjaga dan memimpin dunia, sudah kewajiban bagi kita mempelajari dan menguasai apa yang Rasulullah Saw ajarkan, baik urusan duniawi maupun ukhrowi. Bagaimana kita hidup dalam rel-rel yang telah Allah Swt tetapkan, sunnah-sunnah Rasulullah Saw, dan kesepakatan para ulama terdahulu.

(49)

49 Al-Azhar, telah nyata menjadi mencusuar pondasi penyebaran eksistensi ajaran Islam oleh ribuan umat muslim di dunia. Terlebih membawa peran dalam mempertahankan dan menyebarkan nilai-nilai Islam akan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Sudah tak terhitung berapa banyak ombak menerjang, dan berapa banyak peluru mengintai, atas Izin Allah Swt, Al-Azhar tetap mampu melahirkan ulama dan cendikiawan penerus risalah Islam.

Sejarah Awal Istilah Ahlusunnah wal Jama’ah

Istilah Ahlusunnah wal Jama'ah telah ada sejak dahulu. Jika ditelisik lebih jauh, ada beberapa pendapat tentang awal mula lahirnya istilah 'Ahlussunah wal Jama’ah'. Pertama, istilah ini awalnya diikrarkan langsung oleh Rasulullah Saw. Dalam hadits tentang pecahnya umat menjadi 73 golongan. Saat ditanya siapakah golongan yang selamat, beliau menjawab "Ahlusunnah wal Jama’ah, yakni yang mengikuti ajarannku dan para sahabat. Kedua, istilah tersebut baru saja dilafalkan pasca Rasuullah Saw wafat, tepatnya oleh Ibnu Abbas Ra, seorangulama tafsir dari kalangan sahabat Nabi. Saat menafsirkan surat al-Imran yang berbunyi, "Yauma Tabyaddu Wujuhun wa Taswaddu Wujuh..." Ibnu Abbas menegaskan, "Adapun orang yang putih wajahnya

(50)

50

mereka adalah Ahlusunnah wal Jama’ah dan yang hitam muram adalah pengikut bid'ah dan kesesatan." Dan yang ketiga, hijrah. Dengan salah satu bukti manuskrip surat milik al-Ma'mun, Khalifah keenam Abasiyyah serta perkataan sejumlah ulama pada masa tersebut. Dari ketiga pendapat di atas, pendapat terakhirlah yang banyak diunggulkan oleh para sejarawan. Sebab periode tabi'in merupakan masa di mana mencuaknya berbagai paham menyimpang dari ajaran agama Islam. Khususnya saat tersebarnya paham Mu’tazilah, yang langsung dimotori oleh pemuka negara. Karenanya, istilah 'Ahlusunnah wal Jama’ah' sering dijadikan sebagai pembeda antara pengikut sunnah dan pelaku bid'ah.

Kedudukan al-Azhar

Universitas al-Azhar yang hingga detik ini terkenal dengan asas wasathiyyah-nya dalam bermazhab, rupanya pernah menjadi pusat peradaban dan perkembangan paham Syi'ah(!) Bahkan, pada masa awal didirikannya, al-Azhar pernah melarang murid-muridnya mempelajari mazhab selain Syi'ah.

Setelah satu tahun masuknya dinasti Fathimiyyah, awal sejarah didirikannya masjid al-Azhar. Masjid ini didirikan, sebagai bentuk simbol besar kekuasaan Fathimiyyah dan masuknya Syi’ah pada masa itu. Pusat

(51)

51 kekuasaan dinasti Fathimiyyah di Kairo yang dibangun oleh Panglima Jauhar al-Shiqly meliputi kawasan masjid Azhar, Jamaliyah, Husainiyyah, Bab al-Sya’riyyah, Moski el-Ghuriyyah, dan Bab el-Khalq.

Dinasti yang dipimpin pada masa panglima Jauhar al-Shiqly dan pada zaman Kholifah Muiz li-Dinillah inilah yang merubah nama al-Mansuri menjadi Al-Qohiroh (kota Kairo saat ini). Pada tahun 1358 H dibangunnya masjid Azhar selama 2 Tahun 3 bulan oleh Panglima Jauhar al-Shiqly. Adapun maksud didirkannya masjid ini adalah pusat penyebaran Syi’ah di Kairo. Salah satu faktornya; Syi’ah telah menjadi mazhab resmi di kalangan mereka pada masa tersebut. Terdapat 3 pendapat memaknai arti dari kata Azhar, yang pertama diambil dari nama putri Nabi Muhammad yaitu Fatimah Azzahra, yang kedua Azhar yang berarti mengkilau atau bersniar dan yang ketiga Azhar dengan maksud untuk mendapat kejayaan.

Adanya halaqoh dan majelis ilmu dimulai dari dinasti ini. Majelis ilmu pertama yang diadakan oleh Qadi al-Qudat (Hakim Agung) Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Nu’man, yang membahas tentang fikih Syi’ah dalam kitab al-Iqtisar pada bulan Shafar 365 H/ Oktber 975 ini, merupakan kitab dari karangan ayahnya sendiri Ibnu Hayyun. Dan halaqoh inilah yang nantinya menjadi

(52)

52

cara tercepat dalam penyebaran mazhab Syi’ah di Mesir pada masa itu.

Setelah Muiz li-Dinillah meninggal, dinasti beralih dibawah kepemimpinan putranya yang bernama al-Aziz Billah, untuk memperluas dakwah Syi’ah di Kairo. Diangkatnya 37 ulama Syi’ah untuk mengisi majelis-majelis di masjid al-Azhar pada umumnya. Namun pada 3 Muharram 567 M/ September 1171H dinasti ini resmi gugur setelah kemenangan yang diraih oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Sholahuddin Yusuf bin Ayyub.

Salahuddin al-Ayyubi dibawah pimpinan Mahmud al-Zanki, meminta agar tidak ada lagi pengucapan kata Fatimiyah baik dalam keseharian maupun khutbah dalam sholat Jumat; untuk membersihkan dan memberantas baik nama maupun jejak peninggalan Fathimiyyah. Adapun beberapa upaya yang ada sebagai; pertama, melarang kepada seluruh Muslimin untuk mengadakan sholat Jum’at di masjid Al-Azhar selama 98 tahun, Peraturan ini ditegaskan dari fatwa Hakim Agung Abdul Malik bin Dirbas. Dari sini maka sholat Jumat salalu dilaksanakan di Masjid al-Hakim bi al-Amrillah. Selain bertujuan utama memberantas Syi’ah juga ukuran masjid ini lebih besar dari masjid al-Azhar. Kedua, dengan tidak menerima kembali bantuan apapun yang sebelumnya

(53)

53 didapatkan pada masa dinasti Fathimiyyah, yang sebelumnya digunakan membantu pembangunan masjid al-Azhar juga kelangsungan halaqah di al-Azhar. Ketiga, dengan didirikannya instansi pendidikan, guna mengembalikan kembali akidah sebagaimana yang diajarkan dalam Ahlu Sunnah wal Jama’ah, hingga meresmikan dan menyebarkan ajaran Sunni di Kairo. Instansi pendidikan ini dintaranya; madrasah Nasiriyah dan madrasah Nasiriyah Salahiyah yang mengajarkan mazhab Syafi’i, madrasah Quhmiyah yang mengajarkan mazhab Maliki, madrasah Suyufiyah yang mengajarkan mazhab Hanafi. Dengan cara ini, maka Syi’ah tidak lagi diminati dan tidak dipelajari di kurikulum al-Azhar.

Pun Azhar mulai menjamah ranah univertsitas dengan mengubah sistem pendidikannya pada masa Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996 M) yang merupakan khalifah kelima dari dinasti Fathimiyyah. Perubahan ini dipelopori proposal menteri Ya'qub bin Killis yang juga menjadi pengarah untuk pengajar kala itu, sebelum mengajar di al-Azhar dengan sistem perkuliahan. Untuk pembagian ruang belajar, kala itu al-Azhar memiliki 4 majelis yang dibedakan dari materi dan peserta didiknya. Yang pertama adalah kelas umum. Majelis ini dapat diikuti seluruh pelajar muslim. Materi yang diajarkan adalah Tafsir dan Ulum al-Qur'an. Kelas kedua

(54)

54

diperuntukkan pelajar muslim yang berminat untuk membahas permasalahan Islam secara spesifik dengan bimbingan tutor di dalamnya. Kelas ketiga dinamakan Daar al-Hikmah. Majelis ini dikhususkan bagi calon muballigh. Selain untuk pelajar, kelas ini juga dibuka untuk masyarakat umum pada saat itu. Terakhir adalah kelas non formal, yang diperuntukkan bagi pelajar muslimah yang ingin mempelajari ilmu ke-Islaman.

Wahabi, Salafi, dan Kaum Ekstrim Kontemporer.

Hingga detik ini, masih banyak sekali kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan Ahlusunnah, meski jelas-jelas di dalamnya banyak ajarannya yang menyimpang. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Ahlusunah merupakan pengikut Rasulullah Saw dengan pemahaman para salaf al-sholih –dalam artian orang-orang yang disebutkan Nabi Muhammad Saw sebagai kaum terbaik dari umatnya yang hidup hingga 300 H- karena empat imam besar fikih termasuk dalam generasi salaf al-sholih ini, sehingga pemahamanannya akan agama masih murni dan belum tercampur oleh syubhat dan aliran-aliran yang melenceng (dari Islam).

Namun, tidak sedikit ditemukan bahwa istilah salafi disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Mereka mengaku menisbatkan

(55)

55 dirinya kepada generasi salaf al-sholih, sebatas menjadikan kedok untuk menutupi ekstremnya pemahaman yang dibawanya. Salafi bukanlah sebuah mazhab layaknya Hanafi, juga bukan kelompok terorganisasi seperti IM (Ikhwanu-l-Muslimin). Di zaman modern ini, pemahaman yang -katanya- merujuk pada generasi salaf al-sholih diperbaharu oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di Jazirah Arab. Pada gerakan Abdul Wahab ini, memiliki karakter khusus seperti memerangi segala bentuk syirik dan khurafat, menyerukan kemurnian tauhid, serta melindungi tauhid dari segala noda. Selain itu, Ia juga ingin membebaskan umat setelah terkurung dalam bid’ah zaman kemunduran dan tidak mengikuti salaf. Ia juga memerangi penafsiran terhadap ayat-ayat maupun hadits-hadits tentang berbagai sifat Allah Swt. Inilah yang menjadi akar dari aliran salafi nantinya.

Setelah itu, doktrin wahabiyah dibangkitkan kembali oleh Abdul Aziz bin Saud pada awal abad ke-20 yang menggabungkan dirinya pada pemberontakan militan wahabi yang dikenal dengan ikhwan, pada awal kemunculan Arab Saudi. Meskipun disertai dengan tatanan Negara Arab Saudi, Wahabisme tetap merupakan doktrin yang terbatas pengaruhnya hingga pertengahan tahun 1970-an, ketika harga minyak

(56)

56

melonjak tajam bersama dengan penarikan Arab Saudi yang agresif, secara dramatis berpengaruh pada penyebaran wahabisme di dunia Islam. Diantara wujud ekstrem yang ditebarkan oleh sekte ini adalah sistem takfiri, yakni minset mengkafirkan, membid’ahkan, dan mensyirikkan semua orang yang tidak sepemahaman dengan cara mereka mengerjakan ibadah dalam agama Islam. Serta mengklaim bahwa yang mereka lakukan adalah semata untuk pemurnia tauhid (akidah).

DR. Ahmad Abdur Rohim Al-Sayih dalam bukunya Khatr al-Wahabiyah ‘alal Ummat al-Islamiyah, menulis bahwa sejumlah fatwa dan ideologi Wahabi merupakan penghinaan terhadap Islam, dengan mengkafirkan pengikut mazhab Islam yang lain dan meremehkan pendapat para ulama besar yang bertentangan dengan pendapat pendiri mazhab mereka. Apa yang terkandung dari pendapat mereka menunjukkan bahwa Wahabi adalah bentuk baru dari gerakan Khawarij yang muncul pada awal Islam. Sehingga para pakar dan ulama menyatakan bahwa Wahabi telah memakai cara dakwah dan pemikiran ekstrem yang mengkafirkan dan menafikan yang lain. Tentunya hal ini dapat mengecam keamanan dan perdamaian seluruh negara Islam karena membangkitkan pemikiran terorisme dan meningkatnnya arus kriminalitas. Layaknya

(57)

pemikiran-57 pemikiran yang mendorong -anak muda- Islam untuk mudah mengkafirkan, menteror masyarakat dan pemerintah karena kurangnya pandangan dan keilmuan yang luas akan agama, atau malah hanya disebabkan dengan hal-hal yang remeh dan sepeleh.

Penumpang Gelap

Setelah mengetahui bahwasanya istilah Ahlussunnah terindikasi pada suatu kelompok khusus — sebagaimana dijelaskan pada sub bab sebelumnya— maka akan muncul beberapa pertanyaan, yakni; kepada siapakah hakikatnya kelompok ini dinisbatkan? Apakah semua kelompok mengaku dirinya sebagai Ahlussunnah? Atau hanya sebagian saja? Dan yang paling penting, siapakah ‘penumpang gelap’ yang dimaksud dalam judul besar kali ini?

Definisi akidah Aswaja, ialah golongan yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw. Syekh Sa’id Fudah, seorang pakar ilmu Kalam kontemporer asal Syria, dalam tulisannya yang berjudul “Ahlussunnah wal Jama’ah, Asy’ari Al-Syafi’i,” menyebutkan bahwasanya hanya ada dua kelompok yang mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah pada saat ini. Pertama, adalah pengikut Imam

(58)

58

Abu Hasan al-Asy’ari (Asya’irah). Kedua, pengikut Ibnu Taimiyah atau yang sering disebut taimiyyin. Lebih lengkapnya beliau berkata:

“Ketahuilah, bahwasanya diskursus pembahasan ‘kepada siapa istilah Ahlussunnah dinisbatkan’ tidak melibatkan banyak kelompok. Sebab kelompok seperti Syiah tidak mengakui dirinya sebagai Ahlussunnah. Begitupun Muktazilah, Zaidiyyah, ataupun kelompok lainnya, melainkan hanya dua kelompok, yaitu Asya’irah dan Taimiyyin. Dua kelompok inilah yang masih ‘diperdebatkan’ dalam hal penisbatan istilah Ahlussunnah, khususnya di era modern ini.” (alhara2.net)

Jika ditelusuri, titik perdebatan antara kedua kelompok inipun sebenarnya ada pada dua hal. Yang pertama, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Fudah, terletak pada perkara yang berkaitan dengan zat Allah Swt, khususnya pemahaman yang menjasmanikan Allah Swt (tajsîm) dan menyerupakannya-Nya seperti makhluk (tasybîh), sebagaimana gagasan Ibnu Taimiyyah dan pengikutnya. Adapun yang kedua adalah sikap dalam memahami prinsip keagamaan. Mari kita simak komparasi singkat antara dua kelompok dengan dua perbedaan ini.

Pertama, dalam memahami ayat mutasyâbihat, yakni yang bersangkutan dengan zat Allah Swt,

(59)

59 kalangan Asyâ’irah kerap mengikuti metode para sahabat dan tabi’in –para generasi salaf– yang senantiasa menyucikan Allah Swt dari seluruh sifat makhluk dan seluruh kekurangan-Nya. Mereka tidak menafikan sifat tersebut, akan tapi mempercayainya. Namun itu semua dalam batasan ‘percaya’, tidak mem-bagaimanakan, juga tidak menyerupakan yang kerap dikenal dengan metode tafwîdh dan ta’wîl.

Maka ketika memahami ayat istawâ, misalnya, Asyâ’irah berpendapat bahwasanya bukan artinya Allah Swt itu bersemayam di atas ‘arsy, sebagaimana makhluk yang membutuhkan tempat. Jika Allah Swt di ‘arsy berarti ‘arsy itu mempunyai sifat qadîm seperti Allah Swt. Sebab yang berkaitan dengan qadîm ia pun (‘arsy) juga disifati demikian. Dan itu mustahil, sebab tidak mungkin ada dua qadîm. Namun jika ‘arsy itu hâdis lantas di mana keberadaan Allah Swt sebelum adanya ‘arsy (?).

Dalam ayat ini, Ummu Salamah Ra. (w. 64 H), salah seorang sahabat Nabi berkata: “Mem-bagaimanakan kata ‘ístawâ’ terhadap Allah Swt itu tidak masuk akal. Akan tetapi ‘istiwa’ itu dapat diketahui. Mengakuinya adalah bentuk iman, sebab mengingkarinya adalah kekufuran,” (al-Kaif Ghair Ma’qûl, wa Istiwâ’ Ghair Majhûl, wa Iqrâr bihi Imân, wa al-Juhûdu bihi Kufrun). Dalam riwayat lain, seorang tabi’in

(60)

60

bernama Daud bin Ali pernah memperingati seseorang yang mengatakan bahwa Allah Swt berada di atas ‘arsy sebagaimana yang difirmankan. Ia pun berkata, “laisa hâzâ ma’nâhu, innamâ ma’nâhu ‘istawlâ’” (lihat Allalaka’i, Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl al-Sunnah: 150)

Pendapat ini diikuti oleh sejumlah pemuka ulama salaf dan khalaf, seperti Imam Malik, Bukhari, Thabari, Qurtubi, Ghazali, Subki, dll. Ini berarti apa yang dikatakan oleh Asya’irah memang sejalan dengan ajaran sahabat. Jika yang masyhur di kalangan umat Muslim metode tafwidh adalah milik salaf, ternyata terdapat sebagian sahabat dan tabi’in pula yang melakukan ta’wil. Sebagai contoh, Ibnu Abbas kala menafsirkan kata ‘yad’ dalam (yad Allâhi maghlûlah) ia tidak mengatakan itu adalah tangan sebagai anggota tubuh Allah Swt (jarîhah), akan tetapi sebagai makna majaz, yakni pelit, bakhil dan menahan pemberian-Nya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/111) Hal ini pun dapat menjawab sebagian kelompok yang menentang ta’wil dengan alasan tidak mengikuti al-Qur`an secara tekstual.

Namun hal itu semua berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyyah dan pengikutnya. Dalam ayat istiwa mereka mengatakan bahwa Allah Swt benar-benar duduk dan bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Lebih jelasnya ia berkata, “Dalam ayat tersebut (istiwa) dapat diketahui

Referensi

Dokumen terkait

permukaan mineral. =ada umumnya dapat dikatakan baha semakin tinggi kelembaban relati# udara) maka partikel akan mempunyai si#at konduktivitas yang tinggi. *ari hasil

Untuk pengujian titik 5 ke 5 menunjukkan hasil pengukuran ohmmeter sebesar 7Ω sehingga dapat diketahui bahwa antara titik tersebut terdapat koneksi, sedangkan

Selain itu, dengan adanya karya foto esai ini diharapkan dapat mengupas secara fotografis dengan foto yang akan menggambarkan proses pembuatan saka sehingga menimbulkan

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pengembangan Ilmu Komunikasi dan ilmu jurnalistik pada umumnya, dan memberi wawasan yang lebih

Setelah dilakukan rekayasa pemodelan dengan memperlebar penampang saluran yang semula lebar dasarnya 100 m menjadi 200 m, menurunkan elevasi dasar mulut sudetan

Penelitian ini disimpulkan bahwa dari 51 balita terdapat pengasuh pernah mendapatkan informasi petugas dan teratur penimbangan balita sebanyak 76,5%, pengetahuan

Melaksanakan pengkajian keperawatan berupa pengkajian dasar pada keluarga Melaksanakan pengkajian keperawatan berupa pengkajian dasar pada individu Melaksanakan analisis