• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aku langsung menyelipkan undangan pesta itu ke bawah bantal saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Aku hanya diam, menunggu suara ketukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Aku langsung menyelipkan undangan pesta itu ke bawah bantal saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Aku hanya diam, menunggu suara ketukan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PROLOG

lex menundukkan kepalanya, rahangnya mengeras karena gelisah. Dia hanya diam di tempatnya selama menunggu apa yang akan dikatakan Ratu. Kekacauan kali ini jelas memerlukan jalan keluar yang berbeda dari biasanya. Dia harus melawan kaumnya sendiri dan tidak satu pun penyihir Burdeoux sekutu yang mampu menandingi kemampuan sihir musuhnya.

“Kita harus memanggil Sang Penyelamat.”

Alex mendongak saat mendengar suara Ratu. “Memanggilnya?” tanya Alex ragu. Sudah sangat lama sejak Sang Penyelamat dilenyapkan entah ke mana oleh musuh mereka.

“Hanya dia yang bisa.” Ratu meyakinkan.

Alex mengangguk pelan, “Jika memang itu yang harus dilakukan.” Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya di samping singgasana Ratu. Hanya ada mereka berdua di sana, yang berarti Ratu sudah memutuskan bahwa Alex yang harus memanggil Sang Penyelamat.

“Hati-hati.” pesan Ratu tegas saat Alex membungkuk untuk memberi hormat. “Kau akan merasakan energinya saat Sang Penyelamat ada di dekatmu.” tambah sang Ratu ketika Alex sudah menegakkan tubuh.

Pemuda itu mengangguk, kemudian berbalik. Dia siap menjalankan tugasnya memanggil Sang Penyelamat.

(2)

PESTA

aru kali ini Ayah ikut campur dalam urusan

remaja-ku. Dengan segala macam rayuan, Ayah

berusaha membujukku untuk datang ke pesta ulang tahun Kate. Alasannya sederhana, Ayah sedang ingin berdua saja dengan Ibu. Yang benar saja! Alasan konyol macam apa itu?

“Tidak ada yang mengerti topik pembicaraanku, Yah.” Aku sudah kehabisan alasan untuk menolak. “Aku datang ke pesta itu atau tidak, tidak akan ada bedanya.”

“Tentu saja berbeda. Kau bisa tahu rasanya menjadi remaja seusiamu.”

Aku cemberut. “Aku tahu rasanya jadi remaja seusiaku.” kataku ketus, kemudian meninggalkan Ayah di ruang tengah.

Dengan langkah terseok-seok karena kesal, aku masuk ke kamar. Aku menjatuhkan diri ke atas kasur dan berguling dari ujung satu ke ujung lainnya, mengubur kepalaku di bawah timbunan bantal. Tanpa melihat, tanganku menyapu permukaan kabinet di samping kasur untuk meraih undangan pesta Kate yang masih tertutup rapi.

Aku memandangi kertas di tanganku. Kertas berwarna merah tua dengan tulisan bertinta emas. Aku tidak pernah menyukai acara semacam ini sejak dulu. Sebuah pesta di mana semua teman-teman sekolahku akan ada di sana dan membicarakan hal-hal yang sama sekali tidak kumengerti.

(3)

Aku langsung menyelipkan undangan pesta itu ke bawah bantal saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Aku hanya diam, menunggu suara ketukan kedua.

“Julia.” Aku langsung bangkit dari tempat tidurku saat mendengar suara Ibu.

Suara klik pelan terdengar saat aku memutar kuncinya dan memutar gagang pintu. Aku bisa melihat Ibu saat daun pintunya mengayun terbuka. Ibu tampak sangat bahagia. Bibirnya membentuk senyuman lebar yang tidak biasa.

“Helena sudah menunggumu di bawah.” Ibu berusaha mengulum senyumnya, tapi aku bisa melihat pancaran kebahagiaan di matanya.

“Helena? Bukankah sudah kubilang...”

“Julia, tidak baik membiarkan tamu menunggu.” Ibu memotong protesku.

Aku sangat yakin Ibu yang meminta Helena datang menjemputku agar aku tidak punya alasan lagi untuk menolak datang ke pesta itu. Tentu saja, Ibu sangat bersemangat begitu tahu ada pesta yang harus aku hadiri. Selama ini Ibu selalu memaksaku untuk bersosialisasi dan mengikuti acara-acara semacam ini agar tidak mengurung diri seharian di kamar dan terjebak dengan tumpukan buku-buku sains itu.

Aku memutar bola mataku, “Aku tidak memiliki baju yang cocok untuk acara semacam itu.”

Aku berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar, membiarkan pintu di belakangku tetap terbuka agar Ibu bisa masuk. Aku baru akan duduk di

(4)

pinggiran kasur, saat tiba-tiba Ibu menggandeng dan menyeretku keluar kamar.

“Ibu sudah menyiapkan semuanya untukmu.” kata Ibu, lebih bersemangat daripada aku.

Aku hanya pasrah saat Ibu menarikku, kemudian mendudukkanku di tempat tidurnya. Ibu memilah-milah pakaian di dalam lemarinya. Jika yang Ibu maksud dengan sudah menyiapkan semuanya berarti aku harus memakai salah satu gaun lama miliknya, aku benar-benar akan kabur dari rumah ini.

Pandanganku menjelajahi seisi kamar Ibu. Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali aku masuk ke kamar ini, saat itu Ayah dan Ibu sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang sangat penting. Warna pastel pada temboknya sudah mulai memudar. Pandanganku terpaku pada foto yang ada di meja rias Ibu. Sebuah foto hitam putih, ada Ibu yang tertawa bahagia, Ayah yang terlihat bingung, dan aku yang masih berumur dua tahun duduk di pangkuan Ayah dan memandanginya dengan tatapan memohon.

“Ternyata kau hanya ingin sebotol susu.”

Aku mengalihkan pandanganku dari foto hitam putih itu pada Ibu.

“Foto itu,” Ibu menoleh sekilas dan menunjuk foto itu dengan dagunya. “kau hanya meminta botol susu dan butuh waktu hampir dua jam bagi kami untuk mencari tahu apa yang kau inginkan.”

Aku hanya tersenyum sekilas. Aku sama sekali tidak memiliki memori tentang hari itu.

(5)

“Terkadang, aku sendiri tidak tahu apa yang aku inginkan.” gumamku pelan. Cukup pelan sampai Ibu tidak mendengarnya.

Mataku melanjutkan penjelajahannya. Aku mengamati barang-barang yang memenuhi meja rias Ibu selain foto hitam putih itu. Ibu memiliki satu set alat rias yang cukup lengkap. Beberapa bedak dibiarkan berada di luar kotak, mungkin itu kosmetik yang paling sering Ibu gunakan. Ada sebuah kotak hitam kecil di samping kotak rias. Terlalu kecil untuk sebuah kotak make-up dan terlalu besar untuk sebuah bedak.

Tanpa sadar, tangan kananku terulur dan menyentuh kotak hitam itu. Bagian luarnya terbuat dari kulit yang lembut. Aku meraihnya dan mengamati kotak itu dari dekat. Ada sebuah kunci kecil di bagian depan kotak itu, aku memutarnya dan tutup kotak itu langsung terbuka. Ada sebuah kalung di dalamnya. Kalung rantai berwarna perak dengan gantungan batu berwarna biru tua. Ada sesuatu yang berkilau dari batu biru itu. Aku menyentuh batu itu, sensasi dingin langsung merayapi ujung jariku. Aku langsung mengangkat jemariku, sensasi dingin itu masih menggelenyar di tanganku.

“Oh!” Ibu memekik kaget dan langsung melemparkan gaun yang berhasil ditemukannya di dalam lemari. Ibu mengambil kotak itu dari tanganku dengan panik.

“Maaf...aku...maaf.” Aku tidak menemukan alasan yang tepat.

(6)

“Kau menemukannya.” ucap Ibu pelan, hampir berupa bisikan. Jemarinya mengusap batu kalung itu.

“Menemukannya?” Aku membeo.

Bahu Ibu melorot, dia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya lagi dengan cepat. “Kau tidak seharusnya menemukan kalung ini sekarang.” katanya lemah.

Aku hanya menatapnya, menuntut penjelasan. “Ini seharusnya jadi hadiah ulang tahunmu. Sekarang kau mengacaukan kejutannya.”

“Maaf.” Aku merasa bersalah telah mengacaukan rencana Ibu untuk mengejutkanku. Tapi, Ibu benar-benar membuatku terkejut tadi. Aku sempat berpikir Ibu akan memarahiku karena menyentuh kalung itu.

Ibu hanya tersenyum, kemudian mengeluarkan kalung itu dari kotaknya. Ibu membuka kuncinya, lalu memasangkan kalung itu ke leherku. Batu kalung itu terasa sangat dingin. Aku bisa merasakan ada sensasi dingin yang menjalar ke seluruh tubuhku.

“Terima kasih. Kalung ini sangat cantik.” Aku menyentuh batu biru yang menggantung di leherku. “Safir?”

“Batu Burdeoux.” kata Ibu mantap.

Aku hanya mengangkat sebelah alisku. Aku sudah membaca cukup banyak ensiklopedia untuk tahu nama-nama batuan yang biasa dijadikan perhiasan. Dan aku belum pernah mendengar nama batu yang seperti itu.

Ibu mengibaskan tangannya sambil lalu, “Hanya sebuah batu yang belum terlalu populer.”

(7)

Aku hanya mengangkat bahuku sekilas, aku tidak terlalu peduli dengan nama batu itu, aku hanya penasaran dengan sensasi dingin yang dipancarkan batu itu. Tapi, aku rasa aku bisa mencari tahu tentang itu nanti.

“Sudahlah, lagi pula kalung itu akan terlihat sangat cocok dengan gaunmu.”

Ibu memungut gaun yang tadi dilemparnya. Sebuah gaun berwarna biru tua berlengan pendek bergelombang. Ada sebuah pita besar warna hitam pada bagian pinggangnya. Bagian bawah gaun itu sedikit mengembang, tapi tetap terlihat minimalis. Ibu benar-benar menyiapkannya.

Aku langsung ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Gaun itu terasa sangat pas di tubuhku. Ibu tersenyum saat aku keluar dari kamar mandi. Ibu menarik kursi pendek di depan meja riasnya dan memberi isyarat padaku untuk duduk. Aku menurut saja saat Ibu mengatur rambutku, mengangkat sedikit bagian di sisi kanan dan menjepitnya dengan sirkam perak. Aku membuka mata saat Ibu selesai dengan wajahku. Aku hanya diam saat melihat pantulan diriku di cermin. Aku hampir tidak mengenali orang dalam cermin itu.

“Kau sudah siap bertemu pangeranmu sekarang.” Ibu berbisik sambil menepuk bahuku pelan.

Aku langsung mendongak, “Pangeran?” “Evan, Ibu tahu.”

Aku hanya menatap Ibu untuk menuntut penjelasan dari mana Ibu bisa mendapatkan nama itu.

(8)

Aku sudah menyembunyikannya mati-matian selama ini. Ibu hanya mengedikkan bahu sekilas.

“Helena sudah menunggumu.” ***

Tepat seperti dugaanku, aku memang tidak pernah cocok dengan acara semacam ini. Baru lima menit sejak kami datang, Helena sudah berhasil membaur dengan tamu-tamu lain, sedangkan aku terjebak di sudut ruangan bersama pelayan yang sibuk menuangkan sirup warna-warni dan menyajikan kue kering. Aku sudah mencoba untuk bicara pada beberapa orang, tapi tidak ada yang benar-benar tertarik membicarakan teori gravitasi Newton atau semacamnya. Sekumpulan gadis di sini membicarakan dua topik paling populer di sekolah: John si kapten basket dan gaun terbaik untuk pesta prom senior bulan depan.

Bukannya aku tidak tahu segala detail tentang hal itu, aku hanya...kurang tertarik. Apa sih menariknya John yang selalu memasukkan bola ke dalam ring dengan gaya yang itu-itu saja? Dia sangat tidak kreatif! Tapi, tetap saja banyak sekali gadis yang mengelu-elukan namanya setiap kali dia berhasil memasukkan bola. Tapi, tidak satu pun dari mereka yang mengenal Randy yang hanya berperan sebagai pemain cadangan. Menurutku, Randy punya potensi yang sama besarnya dengan John jika dia diberi kesempatan untuk main dalam pertandingan.

Dan masalah gaun untuk prom. Omong-omong, aku berencana untuk tidak datang ke acara itu meskipun ini tahun seniorku di sekolah. Aku selalu

(9)

heran kenapa para gadis populer itu terlalu serius memikirkan gaun untuk acara prom. Acara itu hanya berlangsung satu malam! Untuk apa menghabiskan banyak uang untuk sebuah acara yang hanya berlangsung satu malam?

Aku mengedarkan pandanganku ke seisi ruangan. Pandanganku terhenti pada sosok yang sejak tadi aku tunggu. Evan ada di sana, sedang membicarakan sesuatu dengan beberapa temannya. Evan mengenakan tuksedo hitam yang membuatnya tampak seperti seorang pangeran sungguhan. Mata cokelatnya terlihat sangat cemerlang saat dia tertawa. Aku hanya diam. Memangnya perubahan apa yang bisa aku lakukan sekarang? Datang ke pesta semacam ini tidak akan membuatku cukup berani untuk menyapanya lebih dulu.

Aku hanya memandangi Evan dari jauh. Beberapa kali aku meneguk sirup untuk mengalihkan pandanganku. Aku nyaris tersedak saat melihat tangan kirinya menggandeng seseorang. Seorang gadis cantik yang memakai gaun warna merah muda. Rambutnya ikal dan dihiasi permata yang berkelap-kelip di sela-sela rambutnya.

Aku hanya menatap kedua tangan yang saling bertaut itu, berharap mataku bisa benar-benar menyorotkan sinar laser atau semacamnya agar mereka berhenti bergandengan tangan. Sisi jahat dalam diriku benar-benar berkuasa saat ini. Aku terus memikirkannya.

“Ah!” Aku tersentak saat tiba-tiba gadis itu berteriak dan melepaskan tangan Evan. Gadis itu

(10)

mengibas-ngibaskan tangannya seperti tersengat sesuatu.

“Tanganmu panas sekali!” kata gadis itu panik. Aku menggeleng untuk mengumpulkan kembali konsentrasiku. Itu hanya kebetulan. Mungkin saja tangan Evan berkeringat dan kebas. Mungkin Evan sedang demam dan suhu tangannya ikut meningkat. Ada banyak kemungkinan lain selain aku berhasil membuat tangan Evan memanas. Alasan yang mana pun jauh lebih masuk akal.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Depkes RI (2000) ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan senyawa kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan

Hal tersebut berdasarkan Perbup Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Sragen Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pembentukan Unit Perlayanan Terpadu Penanggulangan

Menurut pandangan teologia manusia pada hakekatnya diciptakan oleh Sang Kuasa dengan kemampuan yang baik. Manusia mampu membentuk berbagai struktur dunia yang diperlukan

Untuk memaksimalkan fungsi tempat sampah dan pemisahan sampah sesuai jenisnya, berikut ini alternatif desain yang diajukan: menambahkan tulisan jenis sampah yang dimaksud

Di antara sumber alternatif ini yang tergolong besar adalah pembakaran batu bara, asap dari pabrik-pabrik yang mengolah senyawa timbal alkil, timbal oksida, peleburan biji timbal

Sebagai langkah penyempurnaan RPI2JM Bidang PU/Cipta Karya Kabupaten Pacitan ini akan dilanjutkan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan yang ada pada

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Zuliarti (2008), Pengaruh Kapasitas Sumber Daya Manusia,Pemanfaatan Teknologi Informasi, Dan Pengendalian Intern Akuntansi

aspek ini menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan dalam pembelajaran ini tergolong baik, dan menunjukkan adanya kesetujuan untuk menerapkan strategi PAILKEM dengan