9 BAB II
TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1 Profitabilitas
1.1. Definisi dan Ruang Lingkup
Besarnya laba yang diperoleh perusahaan dapat di lihat dari tingkat profitabilitasnya. Dengan kata lain, profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba selama periode tertentu (Munawir, 2014: 33). Profitabilitas dapat digunakan untuk evaluasi efektivitas pengelolaan perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi (Kasmir, 2019: 198). Menurut (W.Zimmerer & M. Scarborough, 2009), profitabilitas merupakan rasio yang menunjukkan seberapa efisien pengelolaan perusahaan.
Efektif dan efisien mempunyai arti yang berbeda. Efisien diartikan sebagai “mampu mengasilkan hasil yang diinginkan dengan sedikit pengorbanan (dalam hal waktu atau modal yang digunakan). Sedangkan efektif diartikan sebagai “mampu menghasilkan hasil yang diinginkan terlepas dari waktu yang diperlukan atau modal yang digunakan”. Apabila perusahaan berhasil mencapai tujuannya, dalam hal ini memperoleh laba, maka perusahaan dapat dikatakan efektif, namun belum tentu efisien. Perusahaan dapat dikatakan efisien apabila mampu menghasilkan laba yang banyak dengan modal yang sedikit atau dalam waktu yang singkat.
Rasio profitabilitas memiliki manfaat tidak hanya bagi pihak manajemen, tetapi juga bagi pihak di luar perusahaan, terutama pihak-pihak yang memiliki hubungan atau kepentingan dengan perusahaan. Tujuan penggunaan rasio profitabilitas menurut Kasmir (2019: 199-200), yaitu : a) Mengetahui besarnya laba yang diperoleh perusahaan dalam satu
b) Mengetahui posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang
c) Mengetahui perkembangan laba dari waktu ke waktu
d) Mengetahui besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri e) Mengetahui produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan
1.2.Faktor yang Mempengaruhi
Menurut (Zaroni, 2019: 13), ada dua faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya profitabilitas (return on asset), yaitu laba dan aset. a) Laba
Merupakan selisih antara penjualan dengan biaya total. b) Aset
Aset yang digunakan untuk menghitung return on asset adalah aset yang digunakan untuk penjualan. Aset-aset tersebut di antaranya kas, piutang, persediaan, dan aset tetap.
1.3.Faktor yang Dipengaruhi a) Struktur Modal
Mardiyanto (2009: 258) mendefinisikan struktur modal sebagai komposisi dan proporsi utang jangka panjang dan ekuitas (saham preferen dan saham biasa) yang ditetapkan perusahaan.
b) Audit Delay
Audit delay adalah rentang waktu penyelesaian audit yang di ukur dari tanggal penutupan tahun buku sampai dengan tanggal diterbitkannya laporan audit (Suparsada & Putri, 2017).
c) Kebijakan dividen
Kebijakan dividen merupakan seluruh kebijakan manajerial yang dilakukan untuk menetapkan berapa besar laba bersih yang
dibagikan kepada pemegang saham dan berapa laba bersih yang tetap di tahan untuk cadangan investasi tahun depan (Mardiyanto, 2009: 4). d) Saham
Menurut (Rahardjo, 2006: 4), saham adalah surat berharga yang merupakan instrumen bukti kepemilikan atau penyertaan dari individu atau institusi dalam suatu perusahaan.
1.4.Indikator Pengukuran Profitabilitas
Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur rasio profitabilitas menurut Hery (2016: 193-198) adalah sebagai berikut : a) Gross Profit Margin (GPM)
Digunakan untuk mengukur presentase laba kotor atas penjualan bersih (Hery, 2016: 195)
GPM = Laba kotor
Penjualan bersih x 100%
b) Net Profit Margin (NPM)
Digunakan untuk mengukur presentase laba bersih atas penjualan bersih (Hery, 2016: 199).
NPM = Laba bersih bersih
Penjualan bersih x 100%
c) Return On Asset (ROA)
Dalam penelitian ini, rasio profitabilitas yang akan diteliti adalah
Return On Asset (ROA). Alasan peneliti memilih Return On Asset
adalah karena rasio ini menghitung profitabilitas dari keseluruhan aktiva yang digunakan oleh perusahaan, sehingga lebih mewakili untuk mengukur tingkat profitabilitas suatu perusahaan. Menurut Hery (2016: 193), return on asset mengukur profitabilitas dari segi penggunaan aset dalam menghasilkan laba bersih. Dengan kata lain, ROA digunakan untuk mengukur besarnya kontribusi dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset untuk menghasilkan laba bersih. Sedangkan
menurut Zaroni (2019: 13), return on asset menngukur profitabilitas dari hasil return perusahaan atas penggunaan aset yang menghasilkan penjualan. Aset atau aktiva yang dimaksud adalah keseluruhan harta perusahaan, baik modal sendiri maupun modal yang bersumber dari luar perusahaan.
Menurut model Du Pont, ROA dihitung dari presentasi laba bersih dan perputaran total aset (Harahap, 2016: 335). Presentasi laba bersih dapat di lihat pada laporan laba/rugi. Sedangkan perputaran total aset dapat di lihat pada laporan neraca. Oleh karena itu, Return On Asset di hitung dengan rumus berikut :
ROA = 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 x 𝑁𝑒𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 x 100% = 𝑁𝑒𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡 x 100% d) Return On Equity
Digunakan untuk mengukur presentase laba bersih atas total ekuitas (Hery, 2016: 194).
ROE= Laba bersih
T𝑜𝑡𝑎𝑙 ekuitas x 100%
e) Operating Profit Margin
Digunakan untuk mengukur presentase laba operasional atas penjualan bersih (Hery, 2016: 197).
Laba Per Lembar Saham = Laba saham biasa
Saham biasa yang beredar x 100%
2 Capital Adequacy Ratio (CAR) 2.1.Definisi dan Ruang Lingkup
Untuk menjalankan operasinya, setiap perusahaan memiliki berbagai kebutuhan terutama modal agar perusahaan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Modal selalu dibutuhkan untuk membiayai kegiatan operasional perusahaan, baik modal jangka pendek maupun jangka panjang.
Modal juga diperlukan untuk melakukan ekspansi atau perluasan usaha atau investasi baru. Artinya, di dalam sebuah perusahaan harus selalu tersedia modal dalam jumlah tertentu sehingga tersedia saat dibutuhkan (Kasmir, 2019: 152).
Modal bank terdiri dari dua macam, yaitu modal inti dan modal pelengkap. Modal inti merupakan modal sendiri dan tercantum dalam posisi ekuitas. Sedangkan modal pelengkap merupakan modal pinjaman dan cadangan revaluasi aset serta cadangan penyisihan penghapusan aset produktif (Hery, 2019: 166).
a. Modal inti
1) Modal di setor
Modal yang secara efektif di setor oleh pemiliknya . 2) Agio saham
Selisih lebih setoran modal yang diperoleh bank sebagai akibat harga saham yang melebihi nilai sahamnya.
3) Cadangan umum
Cadangan yang di bentuk dari penyisihan laba di tahan atau dari laba bersih dan mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sesuai ketentuan pendirian atau anggaran dasar setiap bank.
4) Cadangan tujuan
Bagian laba setelah dikurangi pajak yang dibersihkan untuk tujuan tertentu dan telah disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota.
5) Laba ditahan
Saldo laba bersih setelah dikurangi pajak dan tidak dibagikan atas keputusan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota.
6) Laba tahun lalu
Laba bersih tahun-tahun sebelumnya setelah dikurangi pajak dan penggunaannya belum ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota.
7) Laba tahun berjalan
Laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi perkiraan utang pajak.
8) Bagian kekayaan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan
Modal inti yang dimiliki anak perusahaan setelah dikompensasikan dengan nilai penyertaan bank pada anak perusahaan tersebut.
b. Modal pelengkap
1) Cadangan revaluasi aset tetap
Cadangan yang terbentuk dari selisih penilaian kembali aset tetap dan telah disetujui oleh Direktorat Jenderal Pajak.
2) Cadangan penghapusan aset yang diklasifikasikan
Cadangan ini terbentuk dengan membebani laba rugi tahun berjalan yang dimaksudkan untuk menampung kerugian yang mungkin akan timbul karena tidak kembalinya sebagian atau seluruh aset produktif.
3) Modal kuasi
Modal yang didukung instrumen atau warkat yang memiliki sifat seperti modal atau utang.
4) Pinjaman subordinasi
Pinjaman ini memiliki syarat sebagai berikut : (a) ada perjanjian tertulis antara bank dengan pemberi pinjaman; (b) telah disetujui oleh Bank Indonesia; (c) telah di bayar penuh dan tidak di jamin
oleh bank yang bersangkutan; (d) pelunasan sebelum waktu yang telah ditentukan harus mendapat persetujuan dari Bank Indonesia.
Menurut Hery (2019: 146), Capital Adequacy Ratio adalah rasio untuk mengukur kecukupan modal bank sebagai penunjang aset yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya risiko kredit. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/10/PBI/2004 menetapkan standar untuk rasio CAR sebesar 8%. Rasio modal adalah presentase modal bank terhadap ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko). ATMR adalah nilai total masing-masing aktiva bank setelah dikalikan masing-masing bobot risiko aktiva tersebut. Aktiva yang risikonya paling rendah diberi bobot 0% dan aktiva yang risikonya paling tinggi diberi bobot 100% (Umam, 2013: 251). Masing-masing bobot pada aktiva tersebut didasarkan pada golongan nasabah, penjamin, atau sifat barang jaminan. Perhitungan ATMR dilakukan untuk memantau seberapa besar eksposur risiko suatu bank yang berasal dari pengelolaan asetnya, seperti penyaluran kredit dan pembelian aset keuangan lainnya. Bank dengan aset yang lebih besar kemungkinan eksposur terhadap risiko (ATMR) lebih kecil dari pada bank dengan aset yang yang rendah.
Capital Adequacy Ratio (CAR) menjadi indikator untuk menilai
apakah sebuah bank telah memiliki modal yang cukup dan cadangan untuk memikul berbagai risiko yang mungkin akan timbul (Rivai et al., 2013: 465). Risiko-risiko tersebut seperti risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, dan risiko penarikan dana. Risiko likuiditas merupakan risiko yang terjadi karena bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh dana dari sumber dana lain. Risiko pasar terjadi karena adanya perubahan variabel pasar, seperti; suku bunga, nilai tukar, harga ekuitas dan komoditas, sehingga nilai portofolio atau aset yang dimiliki bank menurun.
Risiko kredit terjadi akibat kegagalan pihak lain seperti debitur dan nasabah dalam memenuhi kewajiban kepada pihak bank sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati. Risiko penarikan dana disebabkan oleh deposan (nasabah yang menyimpan dananya di bank dalam bentuk deposito) bila laba yang diterima lebih rendah dari tingkat return yang diberikan oleh rival kompetitornya.
2.2.Faktor yang Mempengaruhi
Menurut Veithzal et al., (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kecukupan modal atau capital adequacy ratio adalah sebagai berikut :
a. Jenis asset serta besarnya risiko pada asset tersebut
Meliputi asset yang tercantum maupun tidak tercantum dalam neraca.
b. Kualitas asset atau tingkat kolektibilitas
Untuk menghitung kualitas dari setiap asset agar diketahui seberapa besar kemungkinan diterima kembali dana yang ditanamkan pada aset tersebut.
c. Total aset suatu bank
Bank yang memiliki aset yang besar tidak menjami masa depan dari bank tersebut. Karena setiap aset telah memiliki bobot risikonya masing-masing.
2.3.Faktor yang Dipengaruhi a. Tingkat penyaluran kredit
Besarnya nilai CAR akan meningkatkan kemampuan bank dalam hal finansial termasuk mengantisipasi kerugian yang ada. Semakin besar CAR maka akan meningkatkan kemampuan bank dalam penyaluran kredit (Triwidodo, 2019).
b. Harga saham
Minat investor untuk berinvestasi terhadap perusahaan menurun ketika CAR meningkat. Capital adequacy ratio yang meningkat mengakibatkan deviden atau pun tanggungan atas pinjaman yang wajib di bayar perusahaan kepada pihak terkait semakin tinggi. Sehingga berpengaruh terhadap berkurangnya laba yang diperoleh perusahaan untuk membayar pengembalian yang diharapkan oleh investor. Harga saham akan menurun apabila banyak investor yang tidak berminat untuk berinvestasi terhadap perusahaan (Purnamasari et al., 2017).
2.4.Indikator Pengukuran Capital Adequacy Ratio (CAR) Secara matematis CAR dirumuskan :
CAR = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐵𝑎𝑛𝑘
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑇𝑀𝑅 x 100%
3 Non-Performing Financing (NPF) 3.1.Pengertian dan Ruang Lingkup
Penyaluran dana berupa kredit yang diberikan pihak bank kepada nasabah memiliki kemungkinan risiko yang akan timbul. Risiko ini di sebut dengan risiko kredit, yaitu tidak tertagihnya kredit yang telah diberikan. Bank menggolongkan kredit menjadi dua, yaitu kredit performing dan
non-performing. Kredit performing merupakan kredit yang tidak bermasalah.
Sedangkan kredit non-performing merupakan kredit bermasalah karena terdapat tunggakan (Ismail, 2010: 124). Kredit non-performing ini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
a. Kurang lancar
Merupakan kredit yang sudah mengalami tunggakan. Kredit dikatakan kurang lancar ketika pengembalian pokok pinjaman dan
bunganya mengalami keterlambatan pembayaran melebihi 90 hari sampai dengan kurang dari 180 hari (Ismail, 2010: 124).
b. Diragukan
Merupakan kredit yang mengalami keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga antara 180 hingga 270 hari (Ismail, 2010: 125).
c. Macet
Merupakan kredit yang menunggak melebihi 270 hari (Ismail, 2010: 125).
Rasio keuangan pada bank syariah yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit atau pembiayaan bermasalah adalah non-performing
financing (Fitriana & Oetomo Widi, 2016). Kredit bermasalah akan
menyebabkan bank mengalami kerugian, karena tidak diterimanya kembali dana yang telah disalurkan. Artinya, bank kehilangan kesempatan mendapat bunga, yang berakibat pada penurunan pendapatan (Ismail, 2010; 125). Bank Indonesia menetapkan aturan besarnya non-performing financing (NPF) yang baik adalah di bawah 5%.
Non-performing financing dibagi menjadi dua jenis, yaitu non-performing financing nett dan non-non-performing gross. Perbedaan dari kedua
npf ini adalah npf gross tidak memperhitungkan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), yaitu cadangan kerugian yang di bentuk untuk mengantisipasi adanya pembiayaan bermasalah. Sedangkan npf nett memperhitungkan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Dalam penelitian ini, npf yang digunakan adalah npf gross karena peneliti ingin melihat kerugian yang ditanggung oleh bank umum syariah akibat kredit bermasalah tanpa menghitung pencadangan yang dilakukan. Menurut
(Ismail, 2010: 125-126), ada beberapa faktor penyebab kredit bermasalah yang berasal dari internal bank dan eksternal bank, diantaranya :
a. Faktor Internal Bank
1) Analisis yang dilakukan oleh pejabat bank kurang tepat, sehingga tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam kurun waktu selama jangka waktu kredit. Misalnya, kredit yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga nasabah tidak mampu membayar angsuran yang melebihi kemampuan.
2) Terjadi kolusi antara pejabat bank yang menangani kredit dengan nasabah, sehingga bank memutuskan kredit yang tidak seharusnya diberikan.Misalnya, bank melakukan over taksasi terhadap nilai agunan.
3) Kurangnya pengetahuan penjabat bank terhadap jenis usaha debitur, sehingga tidak dapat melakukan analisis kredit dengan tepat dan akurat.
4) Campur tangan terlalu besar dari pihak terkait, misalnya komisaris, direktur bank sehingga petugas tidak independen dalam memutuskan kredit
5) Kelemahan dalam melakukan pembinaan dan monitoring kredit debitur.
b. Faktor Eksternal Bank
1) Unsur kesengajaan yang dilakukan nasabah
a) Nasabah dengan sengaja tidak membayar angsuran kepada pihak bank, karena nasabah tersebut tidak memiliki keinginan dalam memenuhi kewajibannya.
b) Debitur melakukan ekspansi terlalu besar, menyebabkan dana yang dibutuhkan terlalu besar. Hal ini akan berdampak terhadap keuangan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan modal kerja.
2) Unsur ketidaksengajaan
a) Debitur mau melaksanakan kewajibannya sesuai kesepakatan, akan tetapi kemampuan perusahaan sangat terbatas, sehingga tidak dapat membayar angsuran.
b) Perusahaan tidak dapat bersaing dengan pasar, sehingga volume penjualan menurun dan perusahaan merugi.
c) Perubahan kebijakan dan peraturan pemerintah yang berdampak pada usaha debitur.
d) Bencana alam yang dapat menyebabkan kerugian debitur. Tingkat kesehatan bank akan semakin membaik jika rasio NPF semakin rendah pula, hal ini karena minimnya kredit atau pembiayaan yang gagal bayar. Gagal bayar pada suatu bank merupakan sinyal negatif yang akan mempengaruhi tingkat likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas bank tersebut. Hal tersebut dikarenakan dana yang digunakan sebagian besar berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yang bisa saja di tarik sewaktu-waktu, dan bank harus bisa memenuhi permintaan penarikan tersebut (Ovami, 2017). Dana pihak ketiga merupakan dana bank yang bersumber dari masyarakat, baik perorangan maupun badan usaha yang diperoleh dengan menggunakan berbagai instrumen produk simpanan yang dimiliki bank. Oleh karena itu, dana ini termasuk dalam kelompok paying liability. Agar bank bisa mendapat dana tersebut, maka bank harus menjaga kepercayaan masyarakat bahwa dana yang di simpan akan aman dalam arti bahwa dana tersebut dapat di tarik sesuai syarat-syarat yang telah diperjanjikan dan disetujui oleh kedua belah pihak, dan bunga dibayarkan tepat pada waktunya. Adapun yang termasuk dalam dana pihak ketiga yaitu giro, deposito berjangka, tabungan, dan dana sementara (Leon & Ericson, 2008: 33-35).
3.2.Faktor yang Mempengaruhi a. BI Rate
BI Rate adalah alat utama operasi pasar BI dalam mengelola kebijakan moneter (Hardanto, 2006: 46).
b. Produk domestik bruto (PDB)
Menurut (Sukrino, 2013: 34), produk domestik bruto diartikan sebagai nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan di dalam negera dalam satu tahun tertentu.
c. Financing to Deposit Ratio (FDR)
Financing to Deposit Ratio merupakan rasio antara pembiayaan
bermasalah yang diberikan oleh bank dari Dana Pihak Ketiga (Rofi’ah & A’yun, 2019).
d. Kurs
Kurs adalah jumlah satuan mata uang yang harus diserahkan untuk mendapatkan satu satuan mata asing (Septiana, 2016: 163).
e. Sertifikat Bank Indonesia Syariah
Merupakan surat berharga di dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berjangka waktu pendek berdasarkan prinsip syariah (Fauzan & Siagian, 2016: 1158).
3.3.Faktor yang Dipengaruhi a. Laba/rugi bank
Laba merupakan jumlah pendapatan setelah dikurangi total biaya yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan tersebut, seperti biaya operasi dan pajak. Apabila perusahaan tidak menghasilkan pendapatan tersebut, maka perusahaan mengalami kerugian.
b. Bad debt ratio
Adalah semua aktiva milik bank karena suatu sebab terjadi gangguan usaha debitur mengalami kerugian dalam cash flow yang menyebabkan kesulitan membayar utang beserta bunganya.
c. Biaya pencadangan penghapusan kredit
Merupakan biaya cadangan yang disiapkan pihak bank untuk menghadapi terjadinya risiko kerugian akibat penanaman dana dalam aset produktif.
3.4.Indikator Pengukuran Non-Performing Financing (NPF)
Non-Performing Financing di ukur dengan perbandingan antara
kredit bermasalah terhadap total kredit yang diberikan (Almunawwaroh & Marliana, 2018). Secara matematis NPF dirumuskan:
NPF = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 X 100%
B. Kerangka Pikir dan Hipotesis
Berdasarkan penelitian terdahulu dan tinjauan pustaka yang telah diuraikan sebelumnya, maka kerangka pikir dalam penelitian ini adalah adanya indikator dalam perusahaan perbankan yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR) dan
Non-Performing Financing (NPF) yang mempunyai pengaruh terhadap profitabilitas
perbankan. Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio yang mencerminkan modal sendiri dari perusahaan untuk menghasilkan laba. Modal yang cukup memungkinkan bank untuk bisa terus menjalankan kegiatan operasionalnya, khususnya dalam periode ekonomi yang sulit. Jumlah modal bank akan mempengaruhi laba yang diperoleh (N. V. Sari, 2017).
Bank ketika menyalurkan kredit akan dihadapkan pada risiko.
Non-Performing Financing (NPF) merupakan indikator dari risiko kredit (pembiayaan
bank) (Almunawwaroh & Marliana, 2018). Bank meyalurkan kredit kepada debitur dengan tujuan agar debitur dapat mengembalikan seluruh pinjamannya sesuai batas waktu yang telah ditentukan. Akan tetapi, hampir tidak ada bank yang semua kreditnya lancar. Hal ini akan menimbulkan kerugian pada bank karena dana yang telah disalurkan maupun pendapatan bunga tidak dapat dikembalikan oleh debitur yang akan menyebabkan penurunan profitabilitas (S. P. Sari, 2018).
Profitabilitas dalam penelitian ini di nilai dari rasio Return On Asset (ROA). Rasio ini digunakan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki. Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat di lihat pada gambar berikut :
Gambar 2.1. : Kerangka Pikir Penelitian
1. Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) Terhadap Profitabilitas (Return On
Asset)
Untuk terus bisa menjalankan kegiatan operasionalnya, bank tentu saja harus mempunyai modal yang cukup. Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio untuk menilai tingkat kecukupan modal yang dimiliki bank.
Capital Adequacy Ratio Return On Asset H1 H2 Non-Performing Financing
Semakin besar rasio ini maka semakin besar pula kesempatan bank untuk memperoleh laba maksimal (Maulidatul Hasanah, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh (Fitriana & Oetomo Widi, 2016) memaparkan hasil bahwa CAR mempunyai pengaruh yang positif terhadap profitabilitas perbankan syariah di Bursa Efek Indonesia. Artinya, semakin tinggi tingkat CAR maka tingkat profitabilitas yang diperoleh juga akan semakin tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh (Simatupang & Franzlay, 2016), (Almunawwaroh & Marliana, 2018), (Widyarti & H, 2019) juga memaparkan hasil bahwa CAR mempunyai pengaruh yang positif terhadap profitabilitas.
H1 : Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Capital Adequacy Ratio dengan profitabilitas (Return On Asset)
2. Pengaruh Non-Performing Financing (NPF) Terhadap Profitabilitas (Return
On Asset)
Non-Performing Financing (NPF) merupakan indikator kinerja keuangan
perbankan khususnya bank syariah yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit. Menurut ketetapan Bank Indonesia, yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan, dan macet. Dampak dari NPF adalah menurunnya tingkat bagi hasil yang dibagikan kepada pemilik dana (Fitriana & Oetomo Widi, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh (Maulidatul Hasanah, 2017) memaparkan hasil bahwa NPF berpengaruh negatif dan signifikan terhadap profitabilitas ROA. Semakin tinggi NPF maka kualitas pembiayaan suatu bank akan semakin buruk, yang akan mempengaruhi tingkat profitabilitas bank tersebut. Pembiayaan bermasalah mengakibatkan bank tidak dapat menghasilkan keuntungan, sehingga profitabilitas yang diproksikan dengan ROA akan mengalami penurunan karena tidak ada keuntungan yang diperoleh bank dari kegiatan usahanya. Penelitian yang dilakukan oleh (Inayatillah & Subardjo, 2017) dan (Rahmah, 2018) juga menunjukkan hasil bahwa
H2 : Terdapat pengaruh yang negatif dan signifikan antara Non-Performing Financing dengan profitabilitas (Return On Asset)