• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA. Departemen Hukum Pidana FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA. Departemen Hukum Pidana FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Hukum Pidana

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI

TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA

Oleh : TRIANA PUTRIE VINANSARI NIM : 080200096

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Jurnal Hukum Pidana

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI

TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA

Oleh : TRIANA PUTRIE VINANSARI NIM : 080200096

Departemen Hukum Pidana

Mengetahui Menyetujui

Ketua Departemen Hukum Pidana Editor

(Dr. M. Hamdan, S.H, MH) (Liza Erwina, S.H, M.Hum ) NIP: 195703261986011001 NIP: 196110241989032002

(3)

ABSTRAKSI

Triana Putrie Vinansari

Grasi merupakan salah satu upaya yang dapat diajukan oleh terpidana kepada Presiden untuk meminta pengampunan atau pengurangan hukuman kepada Presiden. Tidak semua terpidana dapat mengajukan grasi, melainkan harus memenuhi syarat yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Permohonan grasi yang diajukan belum tentu akan mendapat persetujuan dari Presiden. Sebelum memberikan keputusan, Presiden harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung terlebih dahulu. Permasalahan yang dikaji dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia” adalah mengenai apakah yang menjadi alasan dasar pemberian grasi dan bagaimana pengaturan mengenai grasi dalam hukum positif di Indonesia.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penulisan yuridis-normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dan ditujukan kepada peraturan-peraturan tertulis dan penerapan dari peraturan perundang-undangan atau norma-norma hukum positif yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

Alasan pemberian grasi kepada terpidana adalah karena faktor kemanusiaan dan faktor keadilan. Faktor kemanusiaan dimaksudkan kepada terpidana yang mengalami sakit parah atau kepada mereka yang telah membuktikan dirinya berubah menjadi baik, dinilai sebagai bentuk penghargaan atas perubahan tersebut. Faktor keadilan dimaksudkan kepada mereka yang mencari keadilan atas putusan yang dirasa kurang adil dipidanakan padanya.

Peraturan perundang-undangan mengenai grasi telah diatur dalam Undang-Undangnya tersendiri yaitu UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 Tentang Grasi ada perubahan dengan adanya wewenang baru yang diberikan kepada Menteri Hukum dan HAM dalam meneliti dan melaksanakan pengajuan grasi, telah ditetapkan pembatasan jangka waktu pengajuan grasi yaitu 1 tahun. Diharapkan perlu adanya kebijakan dalam Undang-Undang Grasi untuk mempertimbangkan secara arif dan bijaksana permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana seperti pelaku tindak pidana korupsi.

(4)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum adalah keseluruhan norma-norma yang hidup, berkembang, dan berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah dan larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat. Hukum dibuat dengan tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu orang-orang dan untuk menciptakan ketertiban, rasa aman dan nyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum harus diperundangkan oleh negara dan pengaturannya harus jelas dan tegas sehingga dalam pelaksanaannya dapat tercapai kepastian hukum.

Negara sebagai organisasi sosial yang terkuat dan tertinggi, maka hanya negara saja yang memegang hak penegakan hukum pidana baik dalam hak untuk menuntut pidana terhadap barang siapa yang telah diduga melanggar aturan pidana yang telah dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang maupun hak untuk menjalankan pidana terhadap barangsiapa yang oleh negara telah

dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana atas kesalahannya itu1. Penegakan hukum

pada dasarnya bertujuan untuk mengamankan hasil-hasil pembangunan serta meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat yang berkeadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sehingga rakyat merasa diayomi dan dilindungi hak-haknya.

Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan dalam Pasal 28 D bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Perwujudan dari Pasal 28 D

1

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal 151

(5)

UUD 1945 ini memungkinkan setiap orang tidak terkecuali para pelaku pidana untuk bisa mendapatkan perlakuan yang baik, adil, dan kepastian hukum dalam proses hukum yang mereka jalani. Mulai dari para tersangka memiliki hak-hak asasinya tersendiri hingga sampai berubah status menjadi terdakwa dan terpidana tetap memiliki hak-hak sesuai peraturan yang berlaku.

Setiap orang yang terlibat dalam suatu kasus hukum memiliki hak-haknya dalam menjalani proses pencarian kebenaran materil. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur hak-hak seseorang baik kedudukan statusnya sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa/terpidana. Hak untuk segera diperiksa, hak untuk melakukan pembelaan, hak untuk mendapatkan bantuan hukum adalah beberapa hak yang disebutkan dalam KUHAP.

Proses dimuka pengadilan berguna untuk memperoleh suatu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekhilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum. Jadi, upaya hukum merupakan upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu keputusan.

Setiap terdakwa diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum, baik yang berupa upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP

(6)

maupun upaya hukum diluar KUHAP. Upaya hukum adalah hak yang diberikan hakim kepada para pihak dalam suatu perkara untuk dapat tidak setuju dengan

suatu putusan pengadilan2. Upaya hukum biasa yaitu berupa pengajuan banding

ke Pengadilan Tinggi dan pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, adalah upaya yang ditempuh terdakwa ketika putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila putusan sudah berkekuatan hukum tetap, terpidana masih mempunyai kesempatan mengajukan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa. Upaya ini diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, dimana upaya hukum biasa tidak dimungkinkan lagi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa diatur tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

Tidak hanya itu, upaya yang dapat dilakukan terdakwa ada juga yang diatur di luar KUHAP antara lain grasi, amnesti, dan abolisi. Dasar hukum grasi, amnesti, dan abolisi termuat dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi:

(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung

(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat

2

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh

(7)

Grasi, amnesti, dan abolisi merupakan hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara dalam bidang yudikatif. Grasi, amnesti dan abolisi juga dapat dimasukkan sebagai dasar penghapus penuntutan maupun dasar penghapus pemidanaan.

Grasi sangat dibutuhkan dalam pemerintahan suatu Negara karena dapat meminimalisasi beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people.

Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya bisa saja terjadi. Grasi dapat dikatakan merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi alasan pemberian grasi terhadap terpidana?

2. Bagaimanakah pengaturan hukum pemberian grasi terhadap terpidana dalam hukum positif di Indonesia?

II. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan dalam skripsi adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dan ditujukan kepada

(8)

peraturan-peraturan tertulis dan penerapan dari peraturan-peraturan perundang-undangan atau norma-norma hukum positif yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas. B. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder ini berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum primer, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas

(autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas:3

1) Peraturan perundang-undangan;

2) Catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan;

3) Putusan Hakim;

Peraturan perundang-undangan di bidang grasi antara lain Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum yang terdapat

3

(9)

dalam buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan hakim.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berupa data yang diperoleh melalui internet.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis melalui literatur atau dari bahan-bahan kepustakaan serta dokumen-dokumen yang berkaitan seperti buku bacaan, peraturan perundang-undangan, majalah, internet, pendapat sarjana, dan bahan-bahan kuliah lainnya yang berkaitan erat dengan permasalahan dalam skripsi ini.

D. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode analisis data kualitatif normatif yaitu analisis data yang didasarkan kepada peraturan-peraturan yang berlaku sebagai norma hukum positif dan data-data lainnya yang kemudian diolah dan diuraikan secara sistematis sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

(10)

III. HASIL PENELITIAN A. Tinjauan Umum Mengenai Grasi

1. Pengertian Grasi

Ditinjau dari sudut bahasa, istilah “grasi” berasal dari bahasa Latin, yaitu gratia yang berarti pengampunan.

J.C.T Simorangkir berpendapat bahwa grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau

bentuk hukuman itu4.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi defenisi grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Sedangkan Satochid Kertanegara memberikan pendapat bahwa grasi atau pengampunan adalah merupakan juga hal yang dapat menggugurkan hak untuk

melaksanakan hukuman5.

Sama halnya dengan pendapat Utrecht yang menyatakan bahwa grasi termasuk ke dalam alasan gugurnya melaksanakan hukuman di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, grasi yaitu menggugurkan menjalani hukuman

atau sebagian hukuman6.

4

J.C.T Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 58

5

Satochid, Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Dua, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun, hlm. 304

6

Utrecht, Ringkasan Sari Hukum Kuliah Hukum Pidana II, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1987, hlm. 206

(11)

2. Alasan Dasar Pemberian Grasi

Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai grasi tidak

menyebutkan secara eksplisit alasan-alasan yang digunakan agar seseorang dapat diberikan grasi. Dalam konsiderans huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi menyebutkan bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, bahwa grasi yang diberikan kepada terpidana harus mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan UUD.

Secara tersirat ketentuan Pasal 6A UU No. 5 Tahun 2010 tentang grasi menyebutkan alasan pemberian grasi adalah demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan.

Menurut Utrecht, ada 4 (empat) alasan pemberian grasi yaitu sebagai berikut:

a. Kepentingan keluarga dari terpidana; b. Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat;

c. Terpidana menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

d. Terpidana berkelakuan baik selama berada di Lembaga Permasyarakatan

dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya;7

7

(12)

Utrecht mendasari alasan-alasan pemberian grasi berdasar faktor internal yang terdapat dalam diri pribadi terpidana.

Menurut J.E. Sahetapy, alasan yang memungkinkan Presiden untuk

memberikan grasi adalah sebagai berikut8:

a. Bila seorang terhukum tiba-tiba menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan;

b. Hakim adalah seorang manusia yang mungkin saja khilaf atau ada perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh hakim pada waktu mengadili si terdakwa;

c. Perubahan ketatanegaraan atau perubahan kemasyarakatan sedemikian rupa misalnya ketika Soeharto dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan Reformasi, maka kebutuhan grasi tiba-tiba terasa mendesak, terlepas dari kasus Abolisi dan Amnesti;

d. Bila terdapat ketidakadilan yang begitu mencolok misalnya sehabis revolusi atau peperangan;

Menurut Satochid Kartanegara, alasan-alasan pemberian grasi yaitu9:

1. Untuk memperbaiki akibat dari pelaksanaan undang-undang itu sendiri yang dianggap dalam beberapa hal kurang adil, misalnya apabila dengan dilaksanakannya hukuman terhadap orang itu, akan mengakibatkan keluarganya akan terlantar, atau apabila terhukum sedang mempunyai penyakit yang parah.

8

JE. Sahetapy, Mekanisme Pengawasan atas Hak-Hak Presiden, http://wawasanhukum.blogspot.com/2007/06/mekanisme-pengawasan-atas-hak-hak.html diakses pada 15 Desember 2003

9

(13)

2. Demi untuk kepentingan Negara

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa alasan yang dijadikan dasar pemberian grasi adalah karena faktor keadilan dan faktor kemanusiaan. Faktor keadilan yaitu jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan dilihat dari keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan dirinya telah berubah menjadi lebih baik, maka grasi juga dapat diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Alasan pemberian grasi yang telah ditentukan secara normatif adalah kemanusiaan dan keadilan tetapi untuk kasus korupsi, narkotika, atau tindak pidana khusus lainnya sungguh sangat tidak wajar bila kepada mereka diberikan grasi. Seperti dalam kasus Syaukani dan Corby, banyak pertanyaan yang timbul dari pemberian grasi keduanya yang belum dapat terjawab karena memang tidak ada diatur secara tertulis dalam undang-undang grasi. Dengan alasan sakit, sebenarnya siapakah yang ditunjuk secara resmi untuk menentukan sakit atau tidaknya terpidana, apakah dokter yang memeriksa memang sudah ditentukan secara independen. Pertanyaan lainnya siapa pula yang berhak menentukan alasan

pengajuan permohonan grasi. Oleh karena banyak kejanggalan dan

ketidakwajaran dalam pemberian grasi kepada terpidana extra ordinary crime hendaknya pengaturan mengenai alasan pemberian grasi terhadap terpidana tersebut harus diperketat.

(14)

Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor: B-18/Ep.1/I/1999 tertanggal 7 Januari 1999 mengenai perihal Penyusunan, Pengiriman dan Distribusi Risalah Pertimbangan Grasi menyebutkan bahwa untuk menyusun risalah pertimbangan grasi yang argumentatif harus memuat substansi yang meliputi:

1. Pertimbangan obyektif yang menyetujui atau tidak menyetujui permohonan grasi terpidana yang didukung dengan analisis dan argumentasi yang mantap;

2. Analisis dan argumentasi tersebut berkenaan dengan: berat ringannya kesalahan terpidana, tinjauan viktimologis terhadap akibat-akibat yang timbul baik terhadap pidana maupun masyarakat, pandangan dan penilaian terhadap berat ringannya pidana yang dijatuhkan;

3. Berbagai aspek positif/negatif baik terhadap terpidana maupun masyarakat bila permohonan grasi dikabulkan atau ditolak;

4. Status terpidana dan pelaksanaan pidana a. Pidana yang dijatuhkan telah dijalani/belum

b. Ada tidaknya penundaan pelaksanaan pidana sehubungan dengan permohonan grasi tersebut

c. Sementara menunggu keputusan grasi, apakah terdakwa ditahan atau dikeluarkan dari tahanan atau sejak semula terpidana tidak ditahan d. Lain-lain penjelasan yang dipandang relevan dengan permohonan grasi

(15)

3. Bentuk-Bentuk Grasi

Bentuk-bentuk grasi (pengampunan) yang diberikan Presiden yaitu berupa: a. Peringanan atau perubahan jenis pidana seperti dari pidana mati menjadi

pidana seumur hidup dan sebagainya, b. Pengurangan jumlah pidana, atau c. Penghapusan pelaksanaan pidana B. Syarat-Syarat Pemohon Grasi

Pihak-pihak yang ingin mengajukan permohonan grasi kepada Presiden harus memenuhi syarat yaitu:

1. Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

2. Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi: a) pidana mati;

b) pidana penjara seumur hidup;

c) pidana penjara peling rendah 2 (dua) tahun;

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi adalah antara lain sebagai berikut:

1. Terpidana

Pasal 6 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 menyebut terpidana berada dalam urutan pertama untuk mengajukan permohonan grasi.

(16)

Dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan juga bahwa kuasa hukum dapat mengajukan permohonan grasi dan terpidana harus memberi surat kuasa khusus terlebih dahulu kepada kuasa hukumnya untuk mewakilinya mengajukan grasi.

3. Keluarga Terpidana

Keluarga terpidana juga dapat mengajukan permohonan grasi. Tidak seperti kepada kuasa hukum, keluarga dapat mengajukan tanpa harus surat kuasa melainkan ada syarat lainnya yaitu terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari terpidana. Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud keluarga terpidana yaitu:

a) Istri atau suami, b) Anak kandung,

c) Orang tua kandung, atau d) Saudara kandung terpidana.

Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana mati tanpa persetujuan terpidana dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati.

4. Menteri Hukum dan HAM

Pasal 6A UU No. 5 Tahun 2010 memberi wewenang kepada Menteri Hukum dan HAM untuk meneliti dan melaksanakan pengajuan permohonan grasi. C. Prosedur Tata Cara Pengajuan Permohonan Grasi

Prosedur pengajuan permohonan grasi dimulai dengan pemberitahuan hak mengajukan grasi kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. Pengajuan grasi dapat diajukan oleh

(17)

terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun.

Pengajuan permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana dan sitandatangani sendiri oleh terhukum atau atas namanya kepada Presiden. Pengajuan permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali dan diberikan batasan waktu yaitu paling lama diajukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama (Pengadilan Negeri) untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan salinannya dapat disampaikan terpidana melalui Kepala Lemabaga Permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. Setelah itu Kepala Lembaga Permasyarakatan menyampaikan permohonan grasi kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.

Prosedur penyelesaian permohonan grasi yaitu dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi maka pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.

Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung harus mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan Presiden dapat

(18)

berupa penerimaan dan penolakan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.

Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden. Salinan Keputusan Presiden disampaikan kepada:

a) Mahkamah Agung;

b) Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama; c) Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan d) Lembaga Permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. D. Pengaturan Grasi Dalam Hukum Positif Di Indonesia

1. Sejarah Penerapan Grasi

Pemberian grasi telah dikenal dan diberlakukan sejak lama yaitu di pada abad ke-18 di zaman kerajaan absolut di Eropa. Pada mulanya grasi merupakan hadiah atau anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan pengampunan kepada orang yang dijatuhi hukuman. Tindakan pengampunan ini didasarkan kepada kemurahan hati raja yang berkuasa. Raja dipandang sebagai sebagai sumber dari kekuasaan termasuk sumber keadilan dan hak mengadili sepenuhnya berada di tangan raja.

Di Indonesia, pengaturan mengenai prosedur acara permohonan grasi sudah ada sejak masa penjajahan Hindia Belanda yang mana telah diatur dalam satu peraturan perundang-undangan tersendiri yaitu Gratieregeling yang termuat dalam Staatsblad 1933 No. 22 dan pada masa penjajahan Jepang pengaturan

(19)

mengenai grasi termuat dalam Osamu/Sei/Hi/No. 1583 hanya untuk permohonan grasi atas keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan biasa (sipil).

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan grasi diatur dalam pasal 14 ayat (1) UUD Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.

Pada tanggal 1 Juli 1950 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi, Lembaran Negara 1950 No. 40, yang mulai

berlaku pada tanggal 6 Juli 1950. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang

Permohonan Grasi yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat kini dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat saat itu maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 pun masih banyak memiliki kelemahan sehingga dilakukan revisi (perubahan) terhadap beberapa ketentuan dan terbentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010.

2. Grasi dalam UUD 1945

Ketentuan mengenai grasi didalam Undang-Undang Dasar 1945 diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

3. Grasi dalam KUHP

Ketentuan mengenai grasi juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu dalam pasal 33 a. Pasal 33 a menyatakan bahwa : “Jika dimasukkan permohonan ampun oleh orang yang mendapat hukuman kurungan, yang ada dalam tahanan sementara, atau oleh orang lain dengan persetujuan

(20)

siterhukum maka tempo dihari memasukkan permohonan dan hari keputusan Presiden tentang permohonan tersebut, tidak terhitung sebagai tempo hukuman, kecuali jika dengan memperhatikan keadaan tentang hal itu, Presiden menetapkan dalam keputusannya, bahwa tempo tadi sama sekali atau sebagiannya dihitung sebagai tempo hukuman”.

4. Grasi dalam KUHAP

Selain diatur dalam KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pun mengatur mengenai hak grasi ini, yaitu diatur dalam Pasal 196 ayat (3). Pasal 196 ayat (3) KUHAP berbunyi:

“Segera setelah putusan, hakim ketua sidang wajib memberitahukan terdakwa tentang haknya, yaitu: menerima dan menolak putusan, mempelajari putusan, meminta grasi, mengajukan banding dan lain-lain”

E. UNDANG-UNDANG MENGENAI GRASI

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 terdiri dari 15 (lima belas) pasal yang berisi mengenai persyaratan dan mekanisme tata cara pengajuan serta penyelesaian permohonan grasi. Persyaratan yang diatur adalah grasi dapat diajukan oleh semua terpidana yang dijatuhi hukuman yang tidak dapat diubah lagi. Baik yang dijatuhi hukuman mati, penjara, kurungan, tutupan dan hukuman kurungan serta denda dapat mengajukan grasi, dan hukuman tersebut dapat dilakukan penundaan atas pelaksanaannya apabila dimohonkan oleh si terhukum untuk tidak dijalankan. Permohonan grasi dapat diajukan oleh pihak lain selain terpidana tanpa persetujuan terpidana, kecuali terhadap hukuman mati, pihak lain

(21)

yang mengajukan permohonan grasi harus mendapat persetujuan dari si terhukum. Permohonan grasi dapat diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari mulai hari setelah keputusan menjadi tetap. Sedangkan yang dijatuhi hukuman mati dapat memajukan grasi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.

Dalam UU No. 3 Tahun 1950 tidak menetapkan jangka waktu Presiden harus memberikan keputusannya atas suatu permohonan grasi. Keputusan Presiden atas permohonan grasi dengan segera diberitahukan oleh Menteri Kehakiman kepada pegawai yang diwajibkan menjalankan kehakiman dan kepada yang berkepentingan (Pasal 11 UU No. 3 Tahun 1950). Kemudian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 ini dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

Alasan penggantian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 menurut konsiderans huruf b UU No. 22 tahun 2002, karena UU No. 3 Tahun 1950, dibentuk berdasarkan konstitusi RIS, 31 Januari 1950. Oleh karena itu dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat. Alasan itu, dikemukakan lagi pada alinea kedua Penjelasan Umum. Dikatakan, selain UU No. 3 Tahun 1950 bersumber dari Konstitusi RIS serta tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku sekarang, substansinya pun tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002

Undang Nomor 22 Tahun 2002 ini menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 2002 maka UU No. 3 Tahun 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang No.

(22)

22 Tahun 2002 terdiri dari atas enam Bab, dan 17 (tujuh belas) pasal, mengatur mengenai ketentuan Umum, Ruang Lingkup permohonan dan pemberian grasi, serta Tata Cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi, dan ketentuan lain-lain.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010

Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 hanya terdiri dari 2 (dua) pasal. Pasal 1 menyebutkan mengenai beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 yang diubah. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga seluruhnya berbunyi menjadi:

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.

(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.

(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali

Penjelasan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan pembatasan pengajuan permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan menghindari pengaturan yang diskriminatif.

Perubahan ketentuan UU No. 22 tahun 2002 lainnya yaitu dengan penyisipan 1 (satu) pasal diantara Pasal 6 dan Pasal 7 yaitu Pasal 6A.

(23)

(1) Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan dibidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 untuk mengajukan permohonan grasi.

(2) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 6A ayat (1) dan menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden.

Perubahan berikutnya mengenai penetapan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun suatu permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 7 ayat (2)). Ketentuan Pasal 10 juga diubah mengenai jangka waktu Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulisnya kepada Presiden yang dalam UU No. 22 Tahun 2002 ditentukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, kini diubah menjadi paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara.

Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 menetapkan untuk menyisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A diantara Pasal 15 dan Bab IV yang menyatakan bahwa permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasarkan Pasal 15 UU No. 22 Tahun 2002 diselesaikan paling lambat 22 Oktober 2012. Kepada terpidana mati yang belum mengajukan permohonan grasi berdasarkan UU No. 22 tahun 2002, jangka waktu 1 (satu) tahun yang dimaksud pasal 7 ayat (2) dihitung sejak UU ini mulai berlaku.

(24)

Undang-Undang yang saat ini berlaku dalam pengaturan grasi di Indonesia adalah UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010.

F. Perbandingan Undang Nomor 22 Tahun 2002 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Grasi

Perbandingan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi adalah sebagai berikut:

1) Batasan Pengajuan Permohonan Grasi

Undang-Undang No. 22 tahun 2002 dalam Pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa pengajuan permohonan grasi tidak terbatas dengan syarat tertentu. Sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 menetapkan batasan pengajuan permohonan grasi hanya satu kali.

2) Jangka waktu Pengajuan Grasi

Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 menetapkan tidak adanya jangka waktu pengajuan grasi, sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 menetapkan jangka waktu pengajuan grasi dibatasi sampai satu tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

3) Kewenangan Menteri Hukum dan Ham

Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tidak mengatur adanya wewenang Menteri Hukum dan Ham dalam Proses pengajuan grasi, sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 menetapkan ketentuan baru yaitu memberikan kewenangan kepada Menteri Hukum dan Ham untuk memproses pengajuan permohonan grasi.

(25)

4) Jangka waktu Pemeriksaan oleh Mahkamah Agung

Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 menetapkan jangka waktu Mahkamah Agung untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden adalah 3 (tiga) bulan sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 menetapkan percepatan dalam hal pemeriksaan permohonan grasi yaitu menjadi 30 (tiga puluh) hari.

G. Penerapan Pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 Tentang Grasi

Penerapan pemberlakuan Undang-Undang mengenai grasi meskipun telah dilakukan beberapa ketentuan perubahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tidak melepas masih adanya pro dan kontra dalam penyelenggaraan pemberian grasi khususnya kepada terpidana yan melakukan tindak pidana extra ordinary seperti tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika. Misalnya: Kasus pemberian grasi kepada Syaukani Hasan Rais (terpidana kasus korupsi) dari segi yuridis adalah sah karena diberikan dengan alasan kemanusiaan yaitu sakit parah dan dianggap tidak mampu menjalani masa hukuman.

Grasi dapat diajukan oleh semua terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terbatas dalam putusan pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara minimal 2 (dua) tahun tanpa mempersoalkan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana.

Kontroversi terhadap pemberian grasi kepada Syaukani karena beliau merupakan terpidana korupsi. Korupsi adalah perbuatan yang berbahaya. Bahaya korupsi yaitu merintang kemajuan sosial, ekonomi dan politik, sumber daya

(26)

masyarakat dialokasikan tidak efisien, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga politik, produktivitas menurun, efisiensi administratif berkurang, merusak/mengurangi legitimasi tahanan politik dan mengganggu pembangunan ekonomi yang berakibat pada ketidakstabilan politik, lemahnya infrastruktur, system pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial. Dalam mengabulkan permohonan grasi yang terkait pidana korupsi dan narkotika, diharapkan adanya pertimbangan khusus. Pertimbangan khusus tersebut diharapkan dapat memperbaiki substansi hukum agar lebih efektif, serta untuk menjawab tuntutan masyarakat dan lebih memberikan perlindungan kepada masyarakat yang merasa keadilannya terusik, terkait dengan keberadaan narapidana yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat atau menimbulkan banyak korban.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian penulisan skripsi ini, dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Alasan yang dijadikan sebagai dasar pemberian grasi adalah faktor kemanusiaan dan faktor keadilan. Faktor keadilan yaitu jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan dilihat dari keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan dirinya telah berubah menjadi lebih baik, maka grasi juga dapat

(27)

diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Grasi diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara. Sebelum memberikan keputusan permohonan grasi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Presiden tidak dapat menggunakan wewenang tersebut secara sewenang-wenang, tetapi terbatas dalam hal-hal yang benar-benar beralasan penting dan harus dengan pertimbangan baik dari segi yuridis dan dari segi keadilan. Pemberian grasi juga tidak boleh melemahkan atau merugikan perundang-undangan dan pengadilan.

2. Perundang-undangan yang mengatur mengenai grasi yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi telah memperbaharui beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi. Perbedaan UU No. 22 Tahun 2002 dengan UU No. 5 Tahun 2010 yaitu antara lain:

1) UU No. 22 Tahun 2002 tidak mengatur mengenai jangka pembatasan waktu untuk mengajukan grasi sedangkan dalam UU No. 5 Tahun 2010 telah diatur bahwa jangka waktu untuk mengajukan grasi dibatasi menjadi 1 tahun setelah putusannya telah memperoleh keputusan hukum tetap. 2) UU No. 22 Tahun 2010 memberikan jangka waktu kepada Mahkamah

(28)

bulan sedangkan dalam UU No. 5 Tahun 2010 dilakukan percepatan jangka waktu menjadi 30 (tiga puluh) hari.

3) UU No. 22 Tahun 2002 mengatur bahwa pengajuan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali dan ada pengecualian dapat diajukan kembali dengan syarat pernah diajukan namun ditolak atau dikabulkan dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun dari penolakan atau pengabulan grasi sebelumnya. Sedangkan UU No. 5 Tahun 2010 menetapkan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.

4) UU No. 5 Tahun 2010 menetapkan ketentuan baru untuk memberikan wewenang kepada Menteri Hukum dan HAM untuk meneliti dan melaksanakan proses pengajuan permohonan grasi kepada Presiden. B. Saran-saran

1. Perlu adanya kebijakan untuk mempertimbangkan secara arif dan bijaksana terhadap pemberian grasi kepada terpidana pelaku korupsi dan narkotika. 2. Diharapkan Presiden dapat memberikan pengabulan grasi dengan dasar alasan

pertimbangan yuridis secara jelas, tegas dan dapat dipertanggungjawabkan

serta memperhatikan terpenuhinya rasa keadilan masyarakat atas

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.

Ashiddiqe, Jimly. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta.

Bangun, Zakaria. 2007. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Penerbit: Bina Media Perintis. Medan.

Berharap Pada 560. 2011. Catatan Kinerja DPR 2009-2010. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Bonger, W.A. 1977. Pengantar Tentang Kriminologi. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 2. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Hamzah dan Irdan Dahlan, A. 1987. Upaya Hukum dalam Perkara Pidana. PT. Bina Aksara. Jakarta.

Harahap, Yahya. 2009. Keputusan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Sinar Grafika. Jakarta.

Hartanti, Evi. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta.

Kansil dan Christine S.T. Kansil, C.S.T. 2001. Latihan Ujian Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Kartanegara, Satochid. Tanpa Tahun. Hukum Pidana Bagian Dua. Balai Lektur Mahasiswa. Jakarta.

Lamintang,PAF. 1984. Hukum Penitentier Indonesia. CV. Armico. Bandung.

M.P. Pangaribuan, Luhut. 2002. Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat. Penerbit Djambatan. Jakarta.

(30)

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. PT ALUMNI. Bandung.

Simorangkir, JCT. 2004. Kamus Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.

Utrecht, 1987. Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana II. Pustaka Tinta Mas. Surabaya

Zulfa, Eva Achjani. 2010. Gugurnya Hak Menuntut. Ghalia Indonesia. Bogor.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1995 tentang Grasi

Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi memberikan definisi grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau

Sesuai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan UU Nomor 05 Tahun 2010 perubahan dari UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Presiden dalam memberikan grasi memperhatikan

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terlihat bahwa, Pengaturan Kewenangan Presiden dalam pemberikan Grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan

Dalam konsiderans huruf b dan huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi menyebutkan

“Menimbang, bahwa Pasal 32 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan Putusan Mahkamah

Pemberian Grasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi dan untuk mengetahui implikasi

Pemberian Grasi oleh Presiden kepada terpidana perlu dibatasi, seperti yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Selanjutnya menurut Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Alas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, dalam jangka waktu paling lambat