1 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
THPGV-0 memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan
PGV-0 dan vitamin E dilihat dari nilai IC50 THPGV-0, PGV-0, dan vitamin E
secara berurutan yaitu 29,19 ; 64,56 ; 47,87 µM (Ritmaleni dan Simbara, 2010).
THPGV-0 menjadi pilihan sebagai antioksidan karena aktivitas antioksidan yang
lebih poten dibandingkan PGV-0 dan vitamin E dengan aksinya menangkap
radikal bebas (Simbara, 2009). Keberadaan gugus fenolik pada THPGV-0
menyebabkan aktivitas antioksidan yang kuat. Penangkapan radikal bebas
dilakukan oleh radikal fenoksi dimana radikal H akan menangkap radikal bebas
sehingga terjadi stress oksidatif (Dundar dan Aslan, 2000).
THPGV-0 memiliki sifat semi polar serta berat molekul yang rendah (356
g/mol), sehingga sesuai untuk penghantaran secara topikal karena suatu zat dapat
digunakan secara topikal apabila memiliki berat molekul dibawah 500 g/mol.
Berat molekul yang kecil masih memungkinkan untuk suatu zat masuk menembus
lapisan kulit dan dapat beraktivitas di jaringan yang dituju, sedangkan berat
molekul yang besar akan susah untuk menembus lapisan kulit. Pada penelitian ini,
THPGV-0 diformulasikan dalam bentuk krim dengan mempertimbangkan faktor
kenyamanan terhadap pengguna yaitu tidak berminyak dan penetrasi zat yang
Krim merupakan suatu sediaan yang mengandung dua fase tidak saling
campur yaitu minyak dan air (Nairn, 2000). Dalam pencampurannya dibutuhkan
suatu pengemulsi agar dihasilkan suatu sediaan yang homogen dan stabil hingga
sediaan tersebut tidak digunakan oleh konsumen (Lachman dkk., 1994). Krim
dipilih sebagai penghantar THPGV-0 karena sifatnya yang semi polar sehingga
dapat larut pada fase minyak. Fase air sebagai medium dispers membantu dalam
mendorong senyawa THPGV-0 agar mampu berpenetrasi ke dalam kulit.
Pemilihan tipe krim minyak dalam air (m/a) terkait dengan kenyamanan pengguna
karena sifatnya mudah menyebar pada permukaan kulit, tidak lengket, tidak kasar,
mudah dicuci, dan dapat mengabsorpsi air.
Konsistensi merupakan faktor penting pada penampilan suatu sediaan
krim. Konsistensi berhubungan terhadap kemudahan penggunaan suatu sediaan,
kemudahan krim pada saat diambil dari wadah, serta kemudahan pengaplikasian
pada kulit (Sinko, 2006). Konsistensi krim yang terlalu kental akan berdampak
pada ketidaknyamanan saat digunakan, sedangkan konsistensi krim yang terlalu
encer berpengaruh terhadap efektivitas obat kurang optimal dikarenakan daya
lekat krim yang terlalu cepat (Allen, 2002).
Pada penelitian ini, asam stearat dan setil alkohol digunakan sebagai
thickening agent. Asam stearat fungsinya sebagai thickening agent dengan meningkatkan konsistensi sediaan krim hingga mencapai konsistensi tertentu
(Allen, 2005). Setil alkohol sebagai thickening agent mampu meningkatkan
menjadi lebih maksimal (Unvala, 2005). Viskositas memiliki peranan penting
dalam kestabilan sifat fisik sedian krim karena viskosistas yang stabil maka umur
sediaan menjadi lebih lama, kenyamanan pada saat digunakan dan efektivitas obat
yang maksimal dapat tercapai (Lachman dkk., 1994).
Berdasarkan uraian diatas, dilakukan optimasi asam stearat 3-5% dan setil
alkohol 2-4% menggunakan metode Simplex Lattice Design untuk mengetahui
komposisi asam stearat dan setil alkohol sebagai thickening agent pada formula
krim THPGV-0. Metode ini dipilih karena memiliki kelebihan yaitu praktis, cepat,
validitas dapat diketahui dengan melakukan verifikasi pada formula yang
memiliki respon paling optimum (Armstrong dan James, 1996).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah komposisi asam stearat dan setil alkohol sebagai thickening
agent dalam formula krim THPGV-0 dengan sifat fisik optimum menggunakan metode Simplex Lattice Design?
2. Bagaimanakah sifat fisik formula optimum krim THPGV-0 selama 4
minggu penyimpanan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui komposisi asam stearat dan setil alkohol sebagai
thickening agent dalam formula krim THPGV-0 untuk menghasilkan sifat fisik optimum.
2. Untuk mengetahui sifat fisik formula optimum krim THPGV-0 selama 4
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai formula
optimum krim THPGV-0 menggunakan kombinasi asam stearat dan setil alkohol
sebagai thickening agent dalam menghasilkan sifat fisik optimum menggunakan
metode Simplex Lattice Design.
E. Tinjauan Pustaka 1. Tetrahidropentagamavunon-0
Senyawa kurkuminoid banyak ditemukan di dalam rhizoma
temulawak dan kunyit. Temulawak dan kunyit memiliki salah satu
senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai obat yaitu kurkumin.
Kurkumin merupakan senyawa non toksik dan memiliki bioavalibilitas
yang rendah sehingga kadar kurkumin dalam darah rendah dan aktivitas
biologis hilang dalam tubuh (Majeed dkk., 1995).
Kurkumin secara in vivo mengalami metabolisme yang
menghasilkan metabolit aktif berupa dihidrokurkumin dan
tetrahidrokurkumin befungsi dalam memediasi aktivitas antioksidan
(Majeed dkk., 1995).
Tetrahidrokurkumin memiliki aktivitas antioksidan lebih besar
dibandingkan kurkumin secara in vitro (Sugiyama dkk., 1996).
Tetrahidrokurkumin di dalam tubuh menghasilkan metabolit aktif
berupa THPGV-0. THPGV-0 memiliki aktivitas antioksidan lebih poten
dibandingkan PGV-0 dan vitamin E ditunjukkan dari nilai IC50 THPGV-0,
(Ritmaleni dan Simbara, 2010). Nilai IC50 menunjukkan konsentrasi
senyawa uji yang dapat menangkap radikal bebas sebesar 50% (Swastika
dkk., 2013). Nilai antioksidan berbanding terbalik dengan aktivitas
antioksidan, semakin kecil nilai IC50 maka aktivitas antioksidan semakin
poten (Simbara, 2009). Aktivitas antioksidan dapat pula ditunjukkan dari
gugus fenolik yang berada pada senyawa kurkumin beserta analognya
(Venkatessan dkk., 2000).
Gugus fenolik terdiri dari cincin aromatik yang mengandung gugus
hidroksi. Pada umumnya disebut sebagai radikal fenoksi yang bersifat
oksidatif, sehingga pada saat ada radikal bebas mendekat maka radikal H
akan segera menangkap radikal bebas dan terjadi stress oksidatif (Dundar
dan Aslan, 2000). Aktivitas antioksidan diperkuat dengan adanya gugus
metoksi yang berperan sebagai pendonor elektron. Kemampuan
mendonorkan elektron berpengaruh terhadap semakin banyak radikal
bebas yang dapat ditangkap oleh senyawa kurkumin dan analognya
(Majeed dkk., 1995).
2. Krim
Krim merupakan sediaan setengah padat yang mengandung satu
atau lebih bahan terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai
(Allen, 2002). Krim mengandung air tidak kurang dari 60% dan ditujukan
untuk penggunaan topikal (Hidayatu dan Karim, 2013).
Krim adalah tipe emulsi yang mengandung dua cairan yang tidak
satu campuran yang homogen dengan salah satu cairan menjadi fase
dispersi dan cairan tersebut terdispersi dalam medium dispersi (Mitsui,
1997).
Emulsi memerlukan lebih dari 1 zat pengemulsi yang bertujuan
untuk menstabilkan emulsi agar tidak terjadi coalesence dan cairan
terpisah. Zat pengemulsi menciptakan kestabilan maksimum yang ditandai
dengan terbentuknya lapisan tipis yang kompleks pada antar muka
(Lachman dkk., 1994).
Pemilihan emulsi untuk penggunaan secara topikal berdasarkan
kemudahan untuk dicuci, memiliki derajat elegansi tertentu, dan dapat
mengontrol penampilan, viskositas, dan derajat kekasaran pada pembuatan
formulasi (Lachman dkk., 1994).
Emulsi terbentuk dengan adanya bantuan energi dari luar seperti
alat pengendap, vibrasi ultrasonic, atau suhu panas yang membantu dalam
pemecahan ikatan antar molekul suatu cairan, sehingga akan
meningkatkan lapisan permukaan pada fase internal (Allen, 2002).
Pembuatan emulsi dapat melalui dua cara yaitu kondensasi atau dispersi.
Pada umumnya pembuatan emulsi menggunakan metode dispersi (Mitsui,
1997).
Krim pada umumnya digunakan untuk pemakaian luar, minyak
dalam air (m/a), atau kosmetik. Krim sering digunakan sebagai pelembab
luka (Allen, 2002). Krim dapat berfungsi sebagai pelindung kulit yang
baik, pelembut kulit, dan bahan pembawa obat untuk kulit.
Krim memiliki dua tipe antara lain minyak dalam air (m/a) dan air
dalam minyak (a/m). Masing – masing krim tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Krim tipe minyak dalam air (m/a) sering
digunakan sebagai vanishing cream atau sediaan kosmetik dikarenakan
sifatnya yang lunak sehingga mudah menyebar rata di permukaan kulit,
mudah dicuci dengan air, tidak lengket karena kandungan minyak yang
lebih sedikit dibandingkan kandungan air, tidak menyebabkan kulit
berminyak, dan tidak menyumbat pori-pori (Mollet dan Grubenmann,
2001). Krim tipe m/a jika digunakan pada kulit maka akan terjadi
penguapan dan peningkatan konsentrasi dari obat yang larut dalam air
sehingga mendorong penyerapannya ke dalam jaringan kulit (Hidayatu
dan Karim, 2013). Krim tipe air dalam minyak (a/m) digunakan sebagai
cold cream karena memberikan efek dingin dan dapat memperlambat penguapan air. Krim tipe a/m memiliki sifat antara lain mudah kering dan
rusak yang dapat disebabkan oleh perubahan suhu maupun komposisi,
mudah lengket karena kandungan minyak yang lebih besar dibandingkan
kandungan air, mudah pecah, susah dicuci dengan air, tidak mengabsorpsi
air (Mollet dan Grubenmann, 2001).
Syarat krim yang baik yaitu stabil secara fisika. Hal yang
mempengaruhi kestabilan suatu emulsi antara lain umur sediaan, suhu,
Krim tidak stabil secara fisika maka emulsi akan kembali menjadi 2 fase
yang terpisah. Emulsi tidak stabil secara fisika jika fase dispers selama
pendiaman membentuk agregat yang akan naik ke permukaan atau turun
ke dasar, sehingga akan terbentuk lapisan pekat dari fase dispers (Ansel,
2010). Gejala ketidakstabilan krim dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Creaming
Creaming terjadi ketika tetesan-tetesan fase dispers memisah karena gravitasi yang kemudian membentuk dua lapisan.
Tetesan dalam bentuk tunggal sehingga belum menyebabkan
emulsi pecah. Emulsi pada keadaan tersebut dapat didispersi
kembali melalui penggojogan perlahan. Lapisan pertama terdiri
dari tetesan fase dispers yang lebih banyak dari lapisan emulsi,
sedangkan lapisan kedua terdiri dari sisa tetesan lainnya. Creaming
terjadi pada sediaan semipadat fase m/a dengan fenomena
sedimentasi karena fase dispers besar sehingga kerapatan lebih
besar daripada medium dispers (Eccleston, 2000).
b. Cracking
Cracking terjadi ketika penggabungan tetesan-tetesan fase dispers dan pemisahan menjadi satu lapisan. Cracking memiliki
sifat irreversible karena lapisan pelindung pada struktur tetesan
fase dispers tidak ada lagi. Pada kejadian ini dibutuhkan emulgator
tambahan dan pemrosesan dengan alat yang sesuai untuk produksi
c. Flokulasi
Flokulasi terjadi sebelum, selama, dan sesudah
pembentukan krim. Flokulasi sebagai agregasi reversible dari
tetesan fase dispers dan dipengaruhi oleh muatan pada permukaan
bulatan yang teremulsi. Flokulasi dari tetesan emulsi dapat terjadi
hanya bila pembatas mekanik cukup untuk mencegah
menggumpalnya tetesan. Viskositas bergantung pada flokulasi
yang menahan gerakan partikel-partikel dan menghasilkan jaringan
yang agak kaku (Lachman dkk., 1994).
d. Inversi
Inversi terjadi dengan berubahnya tipe emulsi minyak
dalam air (m/a) menjadi air dalam minyak (a/m) atau sebaliknya.
Formulasi suatu sediaan krim dengan tipe emulsi secara umum
meliputi proses peleburan dan proses emulsifikasi. Komponen minyak
(susah larut dalam air) dilelehkan di atas penangas air pada suhu 70-75°C.
Larutan berair (mudah larut dalam air) dipanaskan pada suhu 70-75°C.
Larutan berair secara perlahan ditambahkan ke dalam komponen minyak
yang telah dilelehkan dengan pengadukan konstan menggunakan
pengaduk mekanik. Suhu dipertahankan selama 5-10 menit untuk menjaga
kristalisasi dari lilin, kemudian campuran perlahan-lahan didinginkan
dengan pengadukan secara terus-menerus hingga mengental (Ansel, 2010).
Quality control (QC) merupakan faktor penting dalam suatu produksi obat karena erat kaitannya dengan kualitas produk. Produk
dinyatakan berkualitas apabila memenuhi persyaratan yang diterapkan.
Quality control suatu sediaan yang berbentuk emulsi meliputi penampilan (bau dan warna), assay, degradasi produk, pH, viskositas, microbial limits,
kandungan pengawet, dan ukuran partikel (Niazi, 2004). Pada penelitian
dilakukan kontrol kualitas meliputi organoleptis (bau, bentuk, dan warna),
viskositas, pH, daya sebar, dan daya lekat. Kontrol organoleptis untuk
mengetahui kondisi sediaan krim secara visual, kontrol viskositas untuk
mengetahui kemampuan suatu sediaan mengalir dari wadah, kontrol pH
untuk mengetahui kesesuaian dengan pH kulit erat kaitannya dengan iritasi
pada kulit, kontrol daya sebar untuk mengetahui kemampuran penyebaran
krim pada kulit agar obat dapat terdistribusi merata, dan kontrol daya lekat
untuk mengetahui efektivitas obat.
3. Monografi Bahan
a. Tetrahidropentagamavunon-0
THPGV-0 merupakan metabolit aktif dari senyawa
tetrahidrokurkumin (THC) dengan rumus empirik C12H24O5 dan
berat molekul 356 g/mol. THPGV-0 berbentuk serbuk putih, larut
dalam etanol pada suhu 25°C dan tidak larut dalam air, serta
memiliki rentang titik lebur 122,2-123,4°C (Simbara, 2009).
THPGV-0 memiliki aktivitas antioksidan lebih baik dibandingkan
PGV-0 dan vitamin E dilihat dari nilai IC50 secara berurutan yaitu
THPGV-0, PGV-0, dan vitamin E yaitu 29,19 ; 64,56 ; 47,87 µM
O H3CO
HO
OCH3
OH
Gambar 1. Struktur Tetrahidropentagamavunon-0 (Ritmaleni dan Simbara, 2010)
b. Asam stearat
Asam stearat merupakan asam lemak jenuh yang diperoleh
dari lemak hewani dan minyak yang dimasak (Kodeks Kosmetika
Indonesia, 1993). Asam stearat memiliki rumus empirik C18H36O2
dan berat molekul 284,47 g/mol. Asam stearat berbentuk serbuk
putih keras, putih atau kuning pucat, agak mengkilap, kristal padat
atau putih atau kekuningan, sedikit berbau, dan mirip lemak lilin.
Asam stearat memiliki titik leleh 69-70°C. Asam stearat larut
dalam benzena, karbon tetraklorida, kloroform, eter, etanol 95%,
heksan, propilen glikol, serta tidak larut dalam air. Dalam sediaan
topikal, asam stearat digunakan sebagai emulsifying agent,
solubilizing agent, peningkat stabilitas, dan thickening agent. Pada sediaan krim, asam stearat digunakan pada konsentrasi 1-20%.
Asam stearat dinetralkan menggunakan agen pembasa atau
trietanolamin agar tidak mengiritasi kulit sehingga dapat digunakan
dalam preparasi sediaan krim (Allen, 2005).
O OH Gambar 2. Struktur Asam stearat (Allen, 2005)
c. Setil alkohol
Setil alkohol memiliki rumus empirik C16H34O dengan
berat molekul 242,44 g/mol. Setil alkohol memiliki karakteristik
berupa serpihan putih, licin, granul atau kubus putih, bau khas
lemah, rasa lemah. Setil alkohol memiliki titik leleh 45-52°C , larut
dalam etanol 95% dan eter serta kelarutannya dapat meningkatkan
suhu, tidak larut dalam air. Penggunaan setil alkohol pada sediaan
farmasi sangat luas, yaitu sebagai coating agent, emulsifying agent
(2-5%), stiffening agent (2-10%), emolient (2-5%), water
absorption (5%). Pada sediaan krim, setil alkohol digunakan sebagai emolien dan pengemulsi pada rentang 2-5% karena dapat
meningkatkan stabilitas, konsistensi, dan memperbaiki tekstur dari
krim. Setil alkohol stabil pada suasana asam, basa, cahaya, dan
udara. Setil alkohol tidak stabil dengan adanya agen pengoksidasi
yang kuat (Fronzi dan Sarsfield, 2005).
OH
Gambar 3. Struktur Setil alkohol (Fronzi dan Sarsfield, 2005)
d. Vaselinum album
Vaselinum album merupakan campuran hidrokarbon
setengah padat yang diperoleh dari minyak bumi dan telah
diputihkan. Vaselinum album memiliki bentuk massa lunak,
dilebur serta dibiarkan dingin tanpa diaduk. Vaselinum album tidak
larut dalam air dan etanol 95%, larut dalam eter P, kloroform P,
dan eter minyak tanah P (Depkes, 2014). Vaselinum album
memiliki daya lekat yang tinggi sehingga sering digunakan pada
sediaan krim dan lotio (Mitsui, 1997). Fungsi vaselinum album
sebagai emolient dan basis pada sediaan krim maupun salep
(Kibbe, 2005).
e. Parafin cair
Parafin cair memiliki nama lain diantaranya liquid
petrolatum, paraffin oil, dan lain-lain (Owen, 2005). Parafin cair adalah campuran hidrokarbon cair yang diperoleh dari minyak
tanah dan dapat mengandung stabilisator yang cocok (Kodeks
Kosmetika Indonesia, 1993). Parafin cair memiliki karakteristik
transparan, tidak berwarna, cairan berminyak yang kental tanpa
fluoresensi pada cahaya, tidak berasa, dan tidak berbau ketika
dingin, berbau minyak ketika dipanaskan. Parafin cair praktis tidak
larut dalam etanol 95%, gliserin, dan air, larut dalam aseton,
benzena, kloroform, karbon disulfida, eter, dan petrolatum eter.
Parafin cair memiliki fungsi antara lain sebagai emolient, pelarut,
dan pembawa minyak. Pada penggunaan secara topikal sering
digunakan sebagai emolient untuk sediaan emulsi (1-32%), lotions
f. Propilen glikol
Propilen glikol dengan struktur empirik C3H8O2 memiliki
berat molekul 76,09 g/mol. Propilen glikol memiliki karakteristik
berupa cairan bening, tidak berwarna, kental, hampir tidak berbau,
dan memiliki rasa manis sedikit tajam menyerupai gliserol.
Propilen glikol memiliki sifat higroskopis sehingga perlu dikemas
dalam wadah tertutup rapat, terlindung cahaya, tempat sejuk, dan
kering. Penggunaan propilen glikol pada umumnya sebagai
pengawet, antimikroba, disinfektan, humectant, plasticizer,
penstabil, dan pelarut. Propilen glikol pada penggunaannya sebagai
humectant pada rentang antara 10-20%. Propilen glikol larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin, dan air serta tidak larut
dalam minyak. Pada penggunaan secara topikal, propilen glikol
memiliki sifat iritasi yang minimal yaitu kurang dari 10%
meskipun lebih mengiritasi daripada gliserin (Owen dan Weller,
2005).
H3C
OH OH
Gambar 4. Struktur Propilen glikol (Owen dan Weller, 2005)
g. Xanthan gum
Xanthan gum adalah gum alami yang merupakan hasil dari
fermentasi glukosa dengan Xanthomones campestris. Xanthan gum
merupakan polisakarida yang terdiri dari D-glukosa, D-manosa,
Xanthan gum memiliki fungsi sebagai stabilizing agent, peningkat
viskositas, thickening agent, dan emulsifying agent. Xanthan gum
memiliki karakteristik larut dalam air hangat maupun dingin serta
stabil pada pH 3-12. Xanthan gum menghasilkan karakteristik
stabil secara maksimum pada pH 4-10 dan suhu 10-60°C (Singh,
2005).
h. Trietanolamin
Trietanolamin adalah campuran basa terdiri dari
2ʹ2ʹ2ʺ-nitrilotrietanol (CH2OHCH2)3N bersama dengan
2,2-iminobisetanol dan sejumlah kecil 2-aminoetanol (Kodeks
Kosmetika Indonesia, 1993). Trietanolamin dengan struktur
empirik C6H15NO3 dengan berat molekul 149,19 g/mol.
Trietanolamin memiliki karakteristik berupa cairan kental, tidak
berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip amonia, dan
higroskopik. Trietanolamin memiliki fungsi sebagai agen
pengemulsi dan pembasa. Trietanolamin akan membentuk garam
yang larut dalam air dan memiliki karakteristik sabun dengan asam
lemak yang lebih tinggi. Secara umum penggunaan trietanolamin
pada sediaan topikal sebagai pembentuk emulsi. Penggunaan
trietanolamin pada sediaan topikal memiliki rentang antara 2-4%.
Penggunaan dibawah rentang akan mengakibatkan pemisahan pada
fase air untuk sediaan semipadat. Trietanolamin di simpan pada
sejuk serta kering karena trietanolamin memiliki sifat pada saat
terpapar cahaya atau udara dapat mengalami perubahan fisik
menjadi berwarna coklat (Goskonda dan Lee, 2005).
N
OH
HO OH
Gambar 5. Struktur Trietanolamin (Goskonda dan Lee, 2005)
i. Metil paraben
Metil paraben (nipagin) dengan struktur empirik C8H8O3
memiliki berat molekul 152,15 g/mol. Metil paraben memiliki
karakteristik berbentuk kristal, tidak berwarna, dan tidak berbau.
Fungsi utama dari metil paraben adalah pengawet, antimikroba
pada sediaan kosmetika, produk makanan, dan formulasi
farmasetika. Metil paraben dalam penggunaannya dapat digunakan
secara tunggal maupun dikombinasikan dengan anggota paraben
lain maupun agen antimikroba. Sifatnya sebagai antimikroba pada
spektrum luas dan pada pH dengan rentang besar. Efektifitas dari
pengawet dapat ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol
2-5% atau menggunakan kombinasi dengan paraben lain seperti
propil paraben dengan jumlah metil paraben 0,18% dan propil
paraben 0,02%. Penggunaan metil paraben secara umum untuk
sediaan topikal berada pada rentang 0,02-0,3%. Metil paraben pada
sediaan semipadat seperti krim yang memiliki fase minyak dan
metil paraben yang susah larut dalam minyak (Johnson dan Steer,
2005).
O O CH
3
OH
Gambar 6. Struktur Metil paraben (Johnson dan Steer, 2005)
j. Propil paraben
Propil paraben (nipasol) dengan struktur empirik C10H12O3
memiliki berat molekul 180,20 g/mol. Propil paraben memiliki
karakteristik berwarna putih, kristal, dan tidak berbau. Penggunaan
propil paraben pada umumnya sebagai pengawet, antimikroba pada
sediaan kosmetika, produk makanan maupun formulasi
farmasetika. Aktivitas propil paraben sebagai antimikroba
spektrum luas dan efektif untuk pH dengan rentang yang besar.
Propil paraben dalam penggunaannya sebagai pengawet memiliki
rentang antara 0,01-0,6%. Penggunaan propil paraben sebagai
pengawet pada formula farmasetika dapat dikombinasikan dengan
metil paraben dengan jumlah propil paraben 0,02% dan metil
paraben 0,1%. Pada sediaan krim yang memiliki fase minyak dan
fase air menjadikan propil paraben sebagai pengawet pada fase
minyak dikarenakan sifatnya yang mudah larut dalam minyak
HO
O O
Gambar 7. Struktur Propil paraben (Johnson dan Steer, 2005)
k. Akuades
Akuades merupakan cairan jernih, tidak berwarna, dan
tidak berbau. Akuades pada umumnya digunakan sebagai pelarut
karena harganya relatif murah, tidak toksik, dan tidak mengiritasi
pada penggunaan eksternal (Winfield dan Richards, 2004).
4. Simplex Lattice Design
Optimasi merupakan metode untuk memperoleh interpretasi data
secara matematis (Armstrong dan James, 1996). Kombinasi bahan dalam
formulasi dibuat sedemikian rupa sehingga data eksperimen dapat
digunakan untuk memprediksi respon dengan cara yang sederhana dan
efisien (Bolton dan Bon, 2010).
Simplex Lattice Design (SLD) merupakan metode paling sederhana yang digunakan untuk mengetahui suatu formula dengan
berbagai komposisi bahan yang berbeda. Metode ini biasa digunakan
untuk mengoptimasi campuran dalam bahan sediaan padat, semipadat,
atau untuk mengoptimasi pelarut baik pada campuran biner atau lebih.
Metode SLD dapat digunakan untuk memprediksi profil respon campuran
bahan pada berbagai variasi komposisi bahan yang berbeda, dimana profil
tersebut digunakan untuk memprediksi perbandingan komposisi campuran
Hasil penelitian digunakan untuk persamaan polinomial yang
digunakan untuk memprediksi profil respon (Bolton dan Bon, 2010).
Hubungan fungsional antara respon sebagai variabel tergantung dengan
komposisi bahan sebagai variabel bebas dapat dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut :
Y = β1X1 + β2X2 + β1.2X1.2...(1)
Keterangan :
Y = respon
X1 dan X2 = fraksi dari setiap komponen
β1 dan β2 = koefisien regresi dari X1 dan X2
β1.2 = koefisien regresi dari X1.2
Koefisien diketahui dari perhitungan regresi dan Y adalah respon
yang diinginkan. Apabila nilai X1 ditemukan, maka nilai X2 dapat dihitung.
Penentuan formula optimum didapatkan dari respon total yang paling
besar. Respon total dihitung dengan rumus :
R total = R1 + R2 + R3 + Rn...(2)
R1, R2, dan R3 merupakan respon dari masing-masing sifat fisik
sediaan. Dari persamaan respon total tersebut akan diperoleh formula
optimum. Verifikasi dilakukan pada formula yang memiliki respon paling
F. Landasan Teori
Asam stearat memiliki sifat sebagai thickening agent (Allen, 2005). Asam
stearat dapat meningkatkan konsistensi krim sehingga viskositas krim yang
dihasilkan tidak terlalu encer karena akan berpengaruh terhadap pengaplikasian
pada kulit dan absorpsi obat yang kurang maksimal ke dalam kulit. Asam stearat
pada rentang 3-5% mampu meningkatkan daya sebar (Dewi, 2012). Setil alkohol
memiliki sifat sebagai thickening agent (Fronzi dan Sarsfield, 2005). Setil alkohol
perannya sebagai thickening agent membantu dalam peningkatan konsistensi
karena sifatnya sebagai bahan pengeras (Unvala, 2005). Setil alkohol pada rentang
2-4% mampu meningkatkan konsistensi krim (Dewi, 2012).
Asam stearat dan setil alkohol pernah digunakan oleh Dini dan Anita
(2015) untuk menghasilkan sediaan skin cream yang baik secara fisik pada
perbandingan konsentrasi asam stearat dan setil alkohol yaitu 3:7, 4:6, dan 1:9.
Penambahan setil alkohol dalam jumlah yang lebih tinggi mampu meningkatkan
konsistensi krim menjadi lebih tinggi (Dini dan Anita, 2015). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) kombinasi asam stearat 3-5% dan
setil alkohol 2-4% memberikan pengaruh baik terhadap sifat fisik suatu krim.
Ditunjukkan dengan peningkatan konsistensi krim pada penambahan setil alkohol
dan peningkatan daya sebar pada penambahan asam stearat.
Kondisi sifat fisik suatu krim selama penyimpanan sangat penting
diketahui, hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi produk selama digunakan
selama penyimpanan dilakukan selama 4 minggu penyimpanan pada suhu kamar
25-30°C.
G. Hipotesis
1. Komposisi asam stearat 3-5% dan setil alkohol 2-4% sebagai thickening
agent dapat menghasilkan formula krim THPGV-0 dengan sifat fisik optimum .
2. Sifat fisik formula optimum krim THPGV-0 baik selama 4 minggu