• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. Proses Negosiasi Identitas Kekristenan Dalam Ritual Kampetan di Watu Pinawetengan Minahasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV. Proses Negosiasi Identitas Kekristenan Dalam Ritual Kampetan di Watu Pinawetengan Minahasa"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

66

BAB IV

Proses Negosiasi Identitas Kekristenan Dalam Ritual Kampetan di Watu

Pinawetengan Minahasa

4.1. Pendahuluan

Individu atau kelompok tertentu yang melakukan kegiatan budaya bahkan ritual kampetan di Watu Pinawetengan ini mengkonsepkan atau meposisikan diri mereka dalam identitas kekristenan tetapi juga budaya sebagai identitas diri bahkan sosial mereka. Hal ini yang dapat dikatakan sebagai bentuk negosiasi yang mereka lakukan terhadap diri atau kelompok mereka sendiri. Menjadi satu keunikan tersendiri bagi mereka apabila dapat memposisikan diri atau identitas mereka baik dalam kepercayaan kekristenan mereka saat ini tetapi juga budaya yang ada. Apa bila kita melihat sepintitas, bentuk identitas kekristenan dan budaya yang mereka miliki bukanlah negosiasi melainkan sebuah kenyataan. Tapi, menjadi persoalannya adalah ritual kampetan yang dilakukan merupakan bagian dari ritual kekristenan atau kepercayaan dahulu orang Minahasa. Jelasnya, ritual kampetan ini juga sering dikatakan sebagai ritual kepercayaan kekristenan suku Minahasa. Hal ini yang menimbulkan perdebatan sampai sekarang mengenai, apakah masih bisa kita melakukan ritual ini atau tidak. Persoalan inilah yang menjadi daya tarik sebagai bentuk negosiasi dalam proses penyesuaian identitas orang Minahasa.

Kepercayaan orang Minahasa zaman dahulu, memang sangat kental dengan budaya. Hal tersebut tentu membawah orang Minahasa pada kepercayaan-kepercayaan turun-temurun dari nenek moyang. Pelaksanaan atau perwujudan kepercayaan ini, dilakukan dalam bentuk ritual-ritual. Tentunyanya, pemujaan

(2)

67 yang tecipta dalam ritual berfokus pada allah yang mereka kenal dan sapah dalam bahasa daerah khususnya Minahasa. Keberadaan ini menunjukan bukti kuat identitas orang Minahasa akan budaya yang beriringan dengan kepercayaannya. Lintas masa semakin berkembang dan budaya berjumpa dengan injil. Bagi masyarakat Minahasa, menjadi bagian dari injil adalah satu hal yang wajar sebab, dari segi ajaran injil ditemukan banyak kesamaan dengan kepercayaan orang Minahasa.

Setelah masyarakat Minahasa dapat menerima dan memegang identitas mereka sebagai makhluk sosial berkekristenan maka perlahan kepercayaan mula-mula itu mula-mulai hilang. Namun, beberapa diantara masyarakat seperti yang telah diuraikan sebelumnya terus melakukan dan melestarikan budaya lama mereka dengan melakukan ritual-ritual. Berbagai pandangan timbul dan yang paling menonjol mengatakan bahwa pelaksanaan ritual ini adalah bagian dari pemujaan atau kepercayaan kepada allah lain. Hal ini yang kemudian dalam ritual disertakanlah pembacaan alkitab didalamnya. Bagi orang-orang yang terlibat ritual menjelaskan bahwa, ini bagian dari bentuk negosiasi yang diambil untuk menunjukan bahwa meski kekristenan kini menjadi bagian identitas mereka tapi budaya tidak akan hilang juga dalam identitas diri orang Minahasa.

4.2. Ritual Kampetan: Model Komunikasi Sejak Dahulu Kepada Para Leluhur

Pelaksanaan ritual kampetan merupakan bagian dari budaya Minahasa yang hadir sejak zaman dahulu dan dihidupkan kembali sebagai wujud mengingat keberadaan leluhur masyarakat bahkan merayakan perjumpaan mereka kembali

(3)

68 dengan nenek moyang dalam bentuk ritual. Kata lainnya adalah menghidupkan kembali masa yang pernah dilalui atau kembali berkomunikasi dengan leluhur mereka. Tentunya pelaksanaanya berdasarkan tata cara ritual dilakukan dalam bentuk aksi atau tindakan. Dalam tindakan inilah tercipta suatu perjumpaan dan komunikasi. Ritual itu bagian dari sarana komunikasi manusia yang

pelaksanaannya tentu menggunakan bahasa dan tindakan.1

Dalam pelaksanaannya, ritual dilakukan dengan tindakan yang bersifat

formal2 dengan memperhatikan tatanan bahasa yang digunakan. Bahasa Minahasa

yang beragam menjadi bahasa utama dalam pelaksanaan ritual tentunya disesuaikan dengan bahasa yang dipahami pelaku-pelaku ritual. Hal ini menjadi penting sebagai wujud komunikasi antara pelaku ritual. Rappaport secara jelas mengatakan bahwa pelaksanaan ritual menjadi wadah komunikasi manusia selain aksi atau tindakan. Kesatuan antara tindakan dan bahasa menjadi media penyampaian pesan yang akan disampaikan. Dalam ritual juga menjadi dasar

timbulnya kekristenan atau kepercayaan.3 Pesan dalam pelaksanaan ritual

Kampetan berkaitan dengan penguatan atau arahan kepada pelaku, apa yang harus dilakukan dalam kehidupan dan kata-kata penyembuh yang dipercaya dapat menyembuhkan sakit yang sedang diderita. Dari pelaksanaan ritual ini juga, kepercayaan masyarakat Minahasa dihidupkan. Mereka percaya bahwa ada kekuatan dari sang opo yang dapat memberikan mereka kekuatan, mengarahkan bahkan memberikan kesembuhan melalui transfigurasi pada tonaas.

1 Roy A. Rappaport, Ritual and Religion in The Making of Humanity, (Cambrige University Press, 1999), 24

2 Penggunaan kata formal sebagai penegasan bahwa dalam pelaksanaan ritual dilakukan sesuai dengan tata cara pelaksanaan, menggunakan semua perlengkapan yang disediakan.

(4)

69 Memang apabila kata-kata dan kesembuhan diperoleh masyarakat, hal itu mengarahkan mereka semakin percaya kepada apa yang dilakukan dalam pelaksanaan ritual tersebut. Inilah yang memang dialami para masyarakat Minahasa zaman dahulu sebagai bentuk tradisi budaya memohonkan kesembuhan dan meminta arahkan kepada roh leluhur. Para pelaku yang terbiasa dengan keadaan tersebut, tentunya akan menjadikan ini bagian dari melestarikan budaya sebagai bentuk warisan leluhur Minahasa. Pelaku-pelaku ini adalah mereka yang terus berkembang dari belum masuknya injil di tanah Minahasa sampai saat ini. Komunikasi yang mereka bangun dengan para leluhur terbentuk dari setiap ritual yang lakukan. Hal ini tetap bertahan dan tidak dapat ditolak karena bersifat sama dengan kepercayaan yang dimiliki orang Minahasa saat ini. Contoh komunikasi yang terjadi dalam pelaksanaan ritual kampetan yakni persoalan penyembuhan. Pelaku ritual yang memohonkan kesembuhan akan melakukan perbicangan melalui bahasa bahkan simbol yang akan diberikan oleh tonaas yang datang dari opo. Apa yang harus ia lakukan, ia makan, harus sesuai dengan apa yang dikatakan tonaas. Rappaport memberikan pendapatnya bahwa, ritual memberikan pesan moral apakah nanti pelaku dapat melakukan apa yang diperintahkan atau

tidak.4 Mengutip penjelaskan Durkheim tentang pengertian kesadaran kolektif

yaitu aturan-aturan yang berada di luar kontrak, tetapi memungkinkan diadakannya kontrak-kontrak sosial yang mengikat dan menentukan sah tidaknya suatu kontrak. Aturan-aturan yang berada di luar kontrak inilah yang disebut Durkheim dengan collective consciousness atau kesadaran kolektif. Dua sifat dalam kesadaran kolektif, yaitu sifat exterior dan constraint. Sifat exterior yang

4

(5)

70 termasuk di dalamnya adalah kesadaran kolektif yang berada di luar kesadaran individu manusia dan yang masuk pada individu tersebut dalam perwujudannya adalah aturan-aturan moral, aturan-aturan kekristenan, aturan-aturan baik dan buruk , luhur dan mulia dan lain sebagainya. Aturan-aturan tersebut akan tetap ada sekalipun yang bersangkutan sudah tidak ada lagi. Sedangkan dalam sifatnya yang constraint, kesadaran kolektif tersebut memiliki daya memaksa terhadap individu. Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat terhadap kesadaran kolektif, akan mengakibatkan adanya sanksi-sanksi hukuman terhadap anggota masyarakat yang bersangkutan, atau dapat dikatakan bahwa kesadaran kolektif itu adalah suatu konsensus anggota masyarakat yang mengatur hubungan sosial diantara

anggota masyarakat yang bersangkutan.5 Demikian juga pelaksanaan ritual

kampetan dalam hal yang menyangkut persoalan pribadi atau bahkan keluarga, disampaikan pelaku ritual kepada tonaas dan menciptakan komunikasi antar sesama harus dilaksanakan sesusai dengan perintah tonaas. Muncul sifat kesadaran kolektif yang berasal dari aturan kepercayaan guna melihat aturan baik buruknya tindakan individu. Saling terikat dengan sifat kesadaran kolektif lainnya yang bersifat memaksa, apa bila individu tidak melaksanakan pesan berdasarkan aturan maka akibatnya apa yang diharapkan tidak terlaksana sebagai wujud dari sanksi terhadap individu. Oleh sebab itu, komunikasi dan aksi dalam ritual kampetan menjadi hal penting. Komunikasi-komunikasi seperti inilah yang ditimbulkan dalam pelaksanaan ritual kampetan sampai sekarang. Hal ini terus menjadi sesuatu yang menarik bagi sebagian masyarakat pemerhati budaya. Rappaport memberikan perhatian juga terhadap pelaksanaan ritual sebagai

5

Moch. Masykur Fuadz A, Eksistensi Sunda Wiwitan (Eksistensi Sunda Wiwitan pada Anggota Suku Baduy di Jakarta) (Surabaya: UNAIR e-journal, 2014), 3

(6)

71 komunikasi yang tidak sembarangan. Ada susunan liturgis yang harus dilalui untuk menciptakan satu ritual yang bukan hanya sekedar pertunjukan. Menjadi lengkap satu bentuk ritual dengan adanya liturgis yang sesuai maka pesan demi pesan sebagai bentuk komunikasi akan semakin nampak. Ada pesan yang dapat secara langsung disampaikan melalui kode atau simbol dari pelaku bahkan ada yang hanya dapat dilihat bedasarkan sifat spiritual atau dari alam yang Rappaport

sendiri menyebutnya dengan kanonik.6

Penulis menemukan dan berpendapat bahwa pesan-pesan yang dapat dikodekan dan tidak dapat dikodekan ada dalam ritual kampetan serta mengandung unsur spritual yang dalam. Pesan yang disimbolkan tentunya secara langsung segera terlihat sesuai dengan keberadaan pelaku ritual saat itu. Tapi, pesan yang tidak dapat dikodekan mampu dibaca oleh tonaas hanya dengan melihat atau bergenggaman tangan dengan pelaku-pelaku ritual lainnya. Penulis sendiri menjadi bagian dalam komunikasi pesan kanonik ini pada masa penelitian. Tidak ada kode atau simbol yang disampaikan penulis, tapi sang tonaas dapat membaca bahkan mengetahui apa yang sedang terjadi dalam kehidupan penulis. Hal ini juga terjadi pada pelaku ritual lainnya yang tidak menyampaikan kode.

4.3. Simbol Bukan Sekedar Simbolis

Rappaport menjelaskan bahwa, dalam ritual penggunaan simbol penting

sebagai cara untuk memaknai pesan yang dikomunikasikan.7 Simbol-simbol

dalam pelaksanaan ritual kampetan bukan sekedar atribut dalam ritual melainkan masing-masing memiliki makna. Simbol-simbol dalam penemuan lapangan

6 Rappaport, Ritual and Religion, 54 7

(7)

72 ditandai dengan bahasa yakni komunikasi para pelaku ritual dalam bahasa setempat. Selain bahasa, simbol lainnya yaitu atribut-atribut. Pakaian berwarna merah serta sesajen memiliki arti luas bagi para pelaku ritual. Merah warna kekuatan orang Minahasa yang dari dahulu identik dipakai oleh para penari Kabasaran dalam berperang sedangkan sesajen yang diberikan adalah bagian dari aturan atau syarat yang sudah ditentukan dalam pelaksanaan ritual. Oleh sebab itu, bagian simbol ini tidak hanya hadir sekedar simbol tapi, pemaknaan di dalamnya sangatlah kuat.

Simbol utama yang mendasari bukan sekedar simbol yakni Watu Pinawetengan itu sendiri. Pada hasil penelitian telah dijelaskan keberadaan Watu Pinawetang di Minahasa. Jika dianalisa lebih mendalam, Watu Pinawetangan sejak dahulu merupakan tempat musyawarah bahkan orang Minahasa sering melakukan ritual kepercayaan zaman dahulu di tempat tersebut. Masyarakat secara kelompok hadir di sana dan menciptakan apa yang menjadi kepercayaan mereka. Dari hal ini, timbul kepercayaan secara masal masyarakat Minahasa zaman dahulu. Melihat keadaan inilah maka terciptalah satu tatanan antara masyarakat dan kepercayaan atau kekristenan. Mengutip konsepsi Emile Durkheim mengenai masyarakat sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial, dalam pengertian ini maka masyarakat bagi Durkheim adalah struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral. Jika demikian, pandangan ini adalah bentuk struktural dalam memahami kekristenan dan masyarakat. Durkheim mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan

(8)

73 ekuilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain. Hal ini telah mendorong para

antropolog melihat fungsi kekristenan dalam masyarakat yang seimbang8.

Berangkat dari pemahaman Emile Durkheim mengenai kekristenan. Durkheim mendefinisikan kekristenan dari sudut pandang yang sakral (sacred). Ini berarti kekristenan adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang dimana semua orang tunduk kepadanya atau sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiaannya. Dari definisi Durkheim ini, terlihat yang menjadi kata kunci adalah komunitas. Konsep Durkheim tentang kekristenan, juga tidak terlepas dari argumentasinya tentang kekristenan sebagai bagian dari fakta sosial. Artinya, Durkheim mempunyai pandangan bahwa fakta social jauh lebih fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Teori-teori yang dikemukakan Durkheim tentang kekristenan dilandaskan pada hasil penelitian antropologi terhadap kehidupan masyarakat primitif Aborigin di benua Australia. Tujuannya

untuk melihat pemaknaan totem dikalangan masyarakat suku Aborigin9. Hal ini

menimbulkan pandangan mengenai totemisme terjadi dalam ritual kampetan di watu pinawetengan.

Totemisme adalah suatu sistem agamis yang di dalam benda-benda tertentu, khususnya binatang dan tumbuhan, dipandang sebagai hal yang sakral dan sebagai lambang klan. Durkheim memandang totemisme sebagai bentuk kekristenan yang paling sederhana dan paling primitif, dan dia percaya totemisme

8

Digilib.uinsby.ac.id>konsep.dasar.kekristenan.emile.dukheim, diakses pada hari selasa 01 Oktober 2019

9 Digilib.uinsby.ac.id>konsep.dasar.kekristenan.emile.dukheim, diakses pada hari selasa 01 Oktober 2019

(9)

74 terkait dengan bentuk sederhana, yang serupa dengan organisasi sosial, yakni klan. Totem ini merupakan pusat ritus atau upacara kekristenan dari orang-orang sederhana tersebut, dalam hal ini adalah anggota masyarakat pedalaman Australia. Para individu yang mengalami energi kekuatan sosial yang dipertinggi pada saat berkumpulnya klan, mengusahakan penjelasan untuk keadaan tersebut. Durkheim berpendapat bahwa, berkumpul itu sendiri adalah penyebab yang nyata, tetapi sekarang pun, orang enggan menghubungkan kekuatan tersebut dengan

kekuatan-kekuatan sosial10. Totem berfungsi mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah

bersama-sama dan menjadikannya suatu kesatuan.11 Totem bukan hanya bersifat

individu, tetapi juga ragam. Benda-benda atau sesuatu yang aneh seperti

binatang-binatang atau objek tertentu, dapat dijadikan sebuah totem dalam klan12.

Demikian Durkheim menjelaskan:

Certainly in most cases the object that serve as totem belong to either the plant or the animal kingdom, but chiefly to the letter. Inanimate things are used much more rarely. Of more than five hundred totemic names recorded by Howitt from among the tribes of south-estern Australia, less than forty are names outside of the plant or animal kingdoms: among these are clouds, rain, hail, ice, moon, sun, wind, autumn, summer, winter, certain stars, thunder, fire, smoke, water, red ochre, sea. Noteworthy is the very limited place given to heavenly bodies and, more generally, to the great of cosmic phenomena that were to have such great success in the course of religious development. We have seen that the totem is normally not an individual but a species or variety: it is not this particular kangaroo or crow, but the kangaroo or the emu in general...13

10 George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir

Post (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 171-172

11 Pip Jones, Liza Bradbury, Shaun Le Boutillier, Pengantar Teori-Teori Sosial, (Jakarta: Obor, 2016), 97

12 Emile Durkheim Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, Translated by Carol Cosman (New York: Oxford University Press, 2001), 88

(10)

75 Leluhur atau nenek moyang dari individu atau kelompak dapat juga dijadikan totem. Dalam keadaan ini, totem tidak diberi nama atau species dari

sesuatu yang riil, tapi dengan sesuatu yang murni bersifat mistis14. Dapat

dipahami selanjutnya bahwa dari totem individu, menjadi satu totem yang sama dalam klan sebagai idenditas kolektif. Sesama individu terikat bukan hanya berdasarkan garis keturunan keluarga atau marga tetapi karena memiliki totem yang sama.

Hal-hal tersebut, cukup menjelaskan bahwa Watu Pinawetengan tidak sekedar simbol tapi menjadi totem bagi masyarakat Minahasa. Dari ragam subetnis, masyarakat Minahasa disatukan dalam keberadaan satu totem yang sama. Hasil penelitian ditemukan, bukan hanya satu subetnis saja yang datang melakukan ritual di Watu Pinawetengan tapi, semua masyarakat dapat mengambil bagian di dalamnya. Leluhur juga menjadi bagian dari totem masyarakat Minahasa karena, ritual kampetan ada bagian dari ritual pemangilan roh leluhur yang bertransfigurasi dengan pemimpin ritual. Masyarakat pelaku ritual pada akhirnya akan semakin memaknai ritual karena adanya hal yang dipercayai atau dianggap sakral.

4.4. Budaya dan Kepercayaan Sebagai Identitas Serta Perekat Sosial Masyarakat

Satu keputusan tegas penulis ambil untuk menempatkan identitas Minahasa pada budaya dan kepercayaan. Tindakan-tindakan budaya yang diperlihatkan oleh masyarakat Minahasa jelasnya menunjukan sikap identitas

(11)

76 masyarakat. Bukan hanya Manguni yang begitu melekat dengan Minahasa, tapi tindakan nyata dalam budaya menjadi kekuatan juga bagi masyarakat. Ritual kampetan ini bagian dari bentuk tindakan budaya mencirikan identitas masyarakat. Dua unsur inilah yang dapat diangkat sebagai wujud identitas bagi masyarakat karena hal ini terus berjalan beriringan dalam tatanan sosial masyarakat Minahasa. Menjawab tujuan dari tesis ini, mengapa orang Minahasa sudah punya kepercayaan Injil bahkan kekristenan-kekristenan lainnya masuk tapi masih tetap melakukan sikap budaya dalam hal ini ritual kampetan ?

Identitas, satu alasan masyarakat terus melestarikannya bahkan tidak dapat mematikannya. Terlebih bagi masyarakat pelaku-pelaku ritual, tanpa menimbang-nimbang mereka terus menjadi pemerhati bahkan berusaha tetap menghidupkan identitas ini. Burke dan Stets dalam teorinya menerangkan bahwa identitas itu dapat diartikan pada masa individu ada dalam peran dalam masyarakat. Bukan

hanya terjadi dalam lingkup keluarga tapi secara menyeluruh.15 Ini berarti terjadi

secara langsung setiap harinya dalam tatanan sosial masyarakat baik dalam budaya dan kekristenan yang penulis sebut sebagai kepercayaan. Memaknai hal ini, ritual kampetan yang bersifat budaya menjadi identitas pelaku ritual sebagai masyarakat yang memposisikan diri pada satu peran dalam lingkup sosialnya.

Bukti sejarah Minahasa menguatkan bahwa, ritual menjadi bagian identitas orang Minahasa sejak zaman nenek moyang. Sebelum melakukan kegiatan bercocok tanam, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan ritual doa memohonkan kiranya sang opo memberkati. Selanjutnya hal yang sama dilakukan

15 Peter J. Burke dan Jan E. Stets, Identity Theory, (New York: Oxford University Press, 2009), 58

(12)

77

pada waktu panen, pada waktu marambak16 dilakukan dengan proses ritual doa

bersama. Ritual-ritual ini bukan hanya dilaksanakan di Watu Pinawetangan saja, melainkan ditempat yang sesuai dengan apa yang akan diritualkan. Masa ritual-ritual ini dilakukan, masyarakat masih pada kepercayaan suka Minahasa. Doa dan ibadah syukur dilakukan dalam bentuk ritual yang tersusun secara liturgis. Ritual-ritual besar bermasyarakat barulah dilaksanankan di pusat pelaksnaan Ritual-ritual yakni Watu Pinawetengan. Proses pemilihan pimpinan daerah, dilakukan dalam bentuk ritual, rapat-rapat pimpinan masyarakat dimulai dengan ritual agar mendapatkan persetujuan dari para leluhur. Penulis berpikir bahwa, hal ini sangat jelas bahwa identitas Minahasa memang melekat pada budaya terlebih pada pelaksanaan ritual-ritual.

Keberlangsungan budaya terus terjadi sampai beberapa penginjil hadir di tanah Minahasa. Sebelumnya, budaya sudah berjumpa dengan keadaan penjajahan bangsa luar. Budaya masih terus hidup meskipun sudah dipengaruhi pemahaman dari luar. Sampai pada keberadaan kepercayaan masyarakat Minahasa dibentuk oleh pemahaman injil. Hingga pada masa zending Ridel dan Schwarz tahun 1934, masyarakat Minahasa sudah mengenal Injil dan mejadi bagian dalam pekabaran injil di Minahasa. Sampai pada akhirnya, budaya hampir saja lenyap tapi dipercaya masih ada. Budaya yang hampir lenyap diakibatkan ada pemahaman bahwa, apabila masih melakukan sikap budaya terlebih ritual sama halnya dengan percaya kepada allah lain. Watu Pinawetengan yang zaman injil hampir terlupakan, ditemukan kembali oleh para penerus pekabar injil yakni anak-anak Ridel dan Schwarz. Selanjutnya, mereka menegaskan bahwa ini adalah bentuk

16 Bahasa toutemboan rumambak yang berarti syukur menempati rumah baru bagi orang Minahasa.

(13)

78 warisan budaya orang Minahasa. Dari hasil yang penulis dapatkan, telah dipaparkan pada bagian hasil penelitian bahwa, dari sinilah kepercayaan Minahasa zaman nenek moyang disama artikan dengan kepercayaan kekristenan Minahasa saat ini. Maka dari sinilah penulis memberikan pemahaman bahwa budaya dan kepercayaan adalah identitas orang Minahasa. Masa dimana budaya dan kepercayaan berjalan bersama sampai saat ini.

Burke dan Stets mengatakan bahwa orang-orang punya identitas lebih dari satu karena masyakarat bukan hanya hidup pada satu kelompok saja, melainkan selalu menempatkan diri pada banyak peran dalam masyarakat. Identitas-identitas

ini mempengaruhi karakteristik sesuai dengan keadaan saat itu.17 Masyakarat

menjadi penentu keberadaan mereka sendiri tergantung pada keadaan atau kondisi. Keadan identitas masyarakat inilah yang penulis maksudkan dalam budaya dan kepercayaan berjalan bersama. Pada saat masyarakat tersebut ada pada lingkup budaya dalam hal ini ritual, identitas diletakan pada keberadaan budaya sebaliknya, ketika berada dalam lingkup kekristenan atau kepercayaan mereka saat ini maka identitas diletakan ikut didalamnya. Hal inilah yang Benwell dan Stokeo sebut dengan reflektif dimana individu atau kelompok mendefinisikan diri mereka sesuai dengan keberadaan sosial saat itu.

Masyarakat pelaku ritual kampetan yang penulis jumpai, begitu jelas menjalankan dua unsur identitas diatas yakni budaya dan kepercayaan. Mereka melakukan hal ini sebagai wujud melestarikan budaya, menjadi bagian dalam keberlangsungan budaya tersebut dengan tidak melupakan kepercayaan mereka saat ini. Demikian sebalik, mereka selalu melibatkan diri pada kepercayaan

17

(14)

79 kekristenan yang dianut saat ini dengan tidak mematikan budaya sebagai identitas diri mereka. Identitas ini menggambarkan adanya identitas pribadi tapi juga identitas sosial. Benwell dan Stokeo menjelaskan bahwa identitas pribadi dan

identitas sosial berbeda.18 Dalam ritual kampetan, kedua identitas ini berbeda tapi

dalam pelaksanaan ritual identitas ini beriringan sebab identitas pribadi masuk dalam identitas sosial. Satu individu memilih untuk menempatkan dirinya pada keadaan identitas sosial masyarakat dalam hal ini Minahasa dengan ritual Kampetan. Identitasnya menjadi identitas sosial namun ada identitas pribadi yang ia bawah meskipun tidak gunakan pada saat itu sepenuhnya yakni kepercayaan kekristenan. Sebaliknya demikian identitas ini berlaku dalam posisi individu diluar identitas sosial budayanya.

Budaya dalam hal ini juga menjadi bagian dari terciptanya kerekatan dalam masyarakat atau perekat sosial. Bounding atau perekat sosial dengan ciri adanya kerekatan yang kuat dalam sistem masyarakat. Perekat sosial atau bounding sendiri merupakan salah satu tipe modal sosial yang dilihat atau timbul

dari segi nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat istiadat.19 Kultur atau budaya

yang terus tercipta dalam pelaksanaan ritual kampetan menjadi kekuatan untuk menciptakan kesatuan atau kerekatan dalam kehidupan sosial masyarakat Minahasa. Selain kultur, pelaku ritual memiliki persepsi yang sama dalam satu kepercayaan yang telah membudaya dalam masyarakat Minahasa. Kepercayaan kuno memang telah tergantikan dengan kekristenan tetapi budaya dan caranya

18

Burke dan Stets, Identity Theory, 25-36 19

Nopa Laura, Rani Dian Sari, Irfandi Setiawan, Herdiyanti M.Si, Peran Modal Sosial

Masyarakat Dalam Pengelolaan Potensi Alam Sebagai Strategi Bertahan Hidup di Dususn Limang Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat, Society Vol. 6, No.2, 9 (Desember 2018),

(15)

80 tidak dihilangkan. Hal ini merupakan bagian dari tradisi yang telah melekat sejak Minahasa kuno dan terus dibawah sampai sekarang. Jika zaman dahulu ini merupakan tradisi leluhur yang menciptakan nilai sosial dalam masyarakat guna keberlangsung kehidupan individu maupun kelompok, kini hal ini juga tetap menciptakan nilai sosial bagi pelaku ritual kampetan saat ini.

Nilai sosial adalah sesuatu yang dianggap berharga oleh masyarakat tentang sesuatu yang diharapkan. Nilai sosial juga merupakan nilai yang dianut oleh masyarakat mengenai hal baik atau buruk yang sangat dipengaruhi oleh

kebudayaan dalam masyarakat.20 Pesan-pesan yang disampaikan dalam ritual

menjadi bentuk tindakan nilai sosial masyarakat pelaku ritual. Ada pesan yang harus dilaksanakan dengan setia misalnya baik atau tidaknya cara hidup yang dilakukan, baik atau tidak penempatan letak rumah dan lainnya yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Oleh pelaku ritual ini sebagai bentuk nilai sosial dalam masyarakat yang telah ada sejak dahulu yang pelaksanaannya dimulai dari ritual ini.

Untuk mencapai hal-hal di atas ada hal yang juga perlu diperhatikan berkaitan erat dengan perekat sosial atau bounding yaitu jembatan sosial atau social bridging. Michael Woolcock mengatakan bahwa social bridging sebagai satu reaksi yang timbul dalam satu ikatan sosial yang memiliki berbagai karakteristik. Hal ini hadir akibat adanya kelemahan yang ada di sekitar sehingga

dengan jembatan sosial ini akan membangun kekuatan dari kelemahan tersebut.21

Pelaksanaan ritual kampetan mendapatkan penolakan bagi masyarakat diluar

20 Yulianthi, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), 29

21 https://idtesis.com/pembahasan-lengkap-modal-sosial-menurut-para-ahli-dan-contoh-tesis-modal-sosial/, diakses pada hari senin 04 November 2019.

(16)

81 pelaku ritual atau masyarakat yang tidak lagi melibatkan diri dalam budaya ritual ini. Sehingga, para pelaku sering kali tidak mau atau segan menunjukan kekuatan yang ada pada diri mereka. Kekuatan dalam hal ini merupakan tindakan melestarikan budaya dalam hal ritual. Hal ini nyatanya terjadi dalam individu atau perorangan. Namun, untuk membangun kelemahan ini maka, ritual kampetan yang dilaksanakan dalam bentuk kelompok secara bersama, mulai berani memperlihatkan keberadaan mereka dalam lingkungan masyarakat dengan harapan dapat diterima dengan baik dari kalangan masyarakat lainya juga oleh pemerintah dan kekristenan. Hal selanjut bisa kita lihat bagaimana caranya hal ini dilakukan dalam bentuk atau model negosiasi.

4.5. Model Negosiasi Identitas Kekristenan Dalam Ritual Kampetan

Budaya dan kepercayaan adalah identitas masyarakat Minahasa, tapi bukan hanya budaya yang diutamakan, kepercayaan juga merupakan identitas penting bagi masyarakat Minahasa. Banyak studi yang telah menemukan bahkan fakta memberikan bukti bahwa Minahasa daerah di Indonesia yang memiliki ragam kekristenan menjadi satu. Sikap ini merupakan sikap toleransi masyarakat yang dikatakan baik bahkan cukup dikenal oleh masyarakat-masyarakat di Negeri ini. Tapi akan sangat disayangkan apabila ada banyak pemahaman yang timbul jika satu individu punya kepercayaan lain selain yang ia memiliki saat ini. Budaya Minahasa khususnya ritual kampetan dikenal dengan ritual kepercayaan suku Minahasa zaman dahulu. Orang lain akan berpikir jika ini terus dilakukan, berarti satu individu tersebut masih percaya kepada roh lain atau bahan dapat dikatakan menganut paham animisme. Hal ini muncul dalam pikiran sebagain orang, karena

(17)

82 ritual ini melibatkan para leluhur bahkan seperti ritual mengundang roh lain dan memuja roh tersebut.

Animisme sendiri berasal dari kata anima, animus (Latin), atau anepos (Yunani). Sedangkan dalam bahasa Sanskerta, disebut prana, dan ruah dalam bahasa Ibrani. Adapun arti dari semua kata tersebut adalah “napas”, “jiwa”, “nyawa”, atau “roh”. Kata ini menjadi kata kunci dalam memahami konsep

kepercayaan animisme.22 Animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan pada

makhluk-makhluk adikodrati yang dipersonalisasikan. Kepercayaan pada roh biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan satu bentuk komunikasi dengan mereka untuk menangkal kejahatan, menghilangkan musibah atau menjamin

kesejahteraan.23

Animisme dapat dikatakan juga sebagai suatu bentuk kekristenan yang mendasarkan diri pada kepercayaan bahwa di sekililing tempat tinggal manusia terdapat berbagai macam roh yang berkuasa, dan yang terdiri dari aktifitas

pemujaan atau upacara untuk memuja roh-roh tersebut.24 Dalam animisme

terdapat banyak ragam kepercayaan. Kepercayaan-kepercayaan tersebut dikelompokkan menjadi empat, yaitu sebagai berikut:

- Kepercayaan dan penyembahan kepada alam.

- Kepercayaan dan penyembahan kepada benda-benda. Masyarakat primitif meyakini bahwa siapa pun yang memakai atau

22 M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Kekristenan-agam, (Yogyakarta: IRCiSod, 2015), 20.

23

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Kekristenan, (Yogyakarta: Kanisius,1995) 67. 24

(18)

83 menggunakan benda-benda yang dianggap memiliki roh tersebut akan terhindar dari malapetaka.

- Kepercayaan dan penyembahan kepada binatang. Binatang-binatang ini dipuja karena dianggap memberikan keselamatan dan manfaat.

- Kepercayaan dan penyembahan kepada roh nenek moyang. Dalam kepercayaan orang primitif, roh orang-orang yang sudah mati diyakini masih hidup dan dapat dimintai pertolongan. Oleh karena itu, mereka melakukan pemujaan dan pemberian sesajen kepada

roh-roh tersebut.25

Pelaksanaan ritual kampetan, memiliki banyak kesamaan dengan dengan penjelasan di atas, tapi roh yang dipuja bukanlah roh leluhur semata atau nenek moyang yang sudah meninggal melainkan opo walian wangko yang berarti Tuhan Allah yang sama dengan Allah yang masyarakat Minahasa kenal saat ini. Persoalan lain dapat hadir saat masyarakat pelaku ritual kampetan mengartikan Opo itu Allah yang sama dengan Allah yang dikenal kekristenan saat ini. Akan muncul pendapat bahwa ini adalah sikap sinkretisme terhadap kekristenan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkretisme berarti paham (aliran) baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham yang berbeda untuk mencari

keserasian, keseimbangan dan sebagainya.26 Dalam hal kekristenan, Berkhof dan

Enklaar merumuskan sinkretisme sebagai mencampur-adukkan

25

Abu Ahmadi, Perbandingan Kekristenan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 42-46. 26 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1314

(19)

84

kekristenan.27 A.M. Hardajana memberikan penjelasannya tentang proses

sinkretisme yakni, dalam perjumpaan kekristenan terjadi apabila perjumpaan itu menghasilkan percampuran isi iman, ajaran, ibadat dan praktik-praktik kekristenan antarkekristenan yang bertemu. Dalam proses sinkretisme kekristenan-kekristenan yang berjumpa saling mengambil alih unsur-unsur penting dalam kekristenan mereka, seperti nama Tuhan, ajaran-ajaran pokok,

bentuk ibadat dan adat kebiasaan dan praktik kekristenan.28

Pada kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia yang berkekristenan apapun tidak lepas untuk mempercayai keyakinan di luar ajaran kekristenan yang dianutnya. Kepercayaan itu timbul seiring dengan kejayaan yang dialami seseorang. Karena ketidakmampuannya menyelesaikan masalah, maka ia mencari jalan keluar yang mungkin dapat menolong, walaupun jalan itu tidak memiliki dasar di dalam kekristenan yang dipeluknya. Keyakinan itu akhirnya diadopsi ke dalam kekristenan yang dipeluknya, maka terjadilah kekristenan yang

sinkretis.29 Terbentuknya gereja di tengah-tengah masyarakat yang menganut

kepercayaan lama menimbulkan suatu kontras antara praktik adat dan praktik gerejawi. Mereka menyatakan diri sebagai warga gereja, tetapi di sisi lain mereka tetap mempertahankan kepercayaan asli. Identitas institusi mereka tetap jelas (kekristenan), namun dalam menghadapi sakit dan malapetaka, mereka memakai

tata berpikir, kepercayaan dan nilai daerahnya.30 Bagi penulis, persoalan

munculnya pemahaman-pemahaman tersebut akan ditolak oleh para pelaku

27 H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 3 28 AM. Hardjana, Penghayatan Kekristenan: Yang Otentik & Tidak tentik, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 103.

29

Akrim Mariyat, Ajaran Sinkretisme di Indonesia, Jurnal Tsaqafah, (Ponorogo, Volume 4 Nomor 1 Zulqa’dah 1428)

30 John Mansford Prior, Daya Hening Upaya Juang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) 102

(20)

85 budaya khusunya ritual. Keberadaan kekristenan dalam lingkup masyarakat Minahasa berdasarkan kerja sama masyarakat adat dalam hal ini yang masih kuat dengan budaya menyetujuih kekristenan hadir di tanah Minahasa. Oleh sebab itu, negosiasilah kata yang tepat bagi keberadaan identitas budaya dan kepercayaan masyarakat pelaku ritual ini.

Ting-Toomey, mengkosepkan negosiasi identitas bagian dari proses komunikasi dimana individu dalam situasi budaya mendukung citra diri yang

diinginkan.31 Pelaku ritual Kampetan melakukan hal ini dengan mendukung citra

dirinya sebagai satu individu bahkan kelompok dengan identitas budaya yang mereka miliki. Ting-Toomey juga mejelaskan bahwa sesungguhnya hal ini secara tidak sadar bahkan sadar manusia sudah lakukan pada saat berada pada keadaan budaya yang membentuk identitas mereka. Bukanlah satu kesalahan bila terjadi proses negosiasi ini dalam identitas kekristenan pada masyarakat pelaku ritual kampetan. Kepercayaan mereka juga sejak awal berangkat dari budaya yang mereka miliki. Hingga pada akhirnya, saat kekristenan hadir bahkan penggunaan bahasa resmi Negara diketahui masyarakat maka, pelaksanaan ritual dicampur dengan pengunaan bahasa Indonesia dan penambahan atribut kekristenan yakni alkitab. Inilah yang disampaikan salah narasumber penulis bahwa, ritual ini sama dengan ibadah kekristenan lainnya tapi yang berbeda adalah tempatnya dan sebagian bahasa dan cara.

31 Stella Ting-Toomey, Communicating Across Culture, (New York: The Guilford Press, 1999), 39

(21)

86 Kalau dilihat, kekristenan terlebih kepercayaan Kristen di Minahasa juga menjadikan budaya sebagai bagian dalam pelaksanaan ritual kekristenan mereka. Penulis berikan contoh liturgi ibadah gerejawi dalam hal ini GMIM bahkan KGPM ada saat tertentu menggunakan liturgi bahasa daerah Minahasa dengan penyebutan Tuhan Allah menjadi Opo Wananatas atau Opo Walian Wangko yang artinya menjadi sama dengan liturgi ritual yang digunakan masyarakat sejak zaman dahulu.

Teori negosiasi identitas Ting-Toomey, memberikan beberapa asumsi inti teori negosiasi identitas ini. Ada hal-hal penting yang perlu dilihat bahwa individu

akan mengalami kenyamanan identitas berdasarkan intentraksi dengan sesama.32

Akan terasa lebih nyaman abilah ada respon baik dari kelompok atau adat budaya yang dijumpai. Hal ini benar terjadi dalam pelaksanaan ritual Kampetan. Budaya tidak menolak mereka yang punya identitas institusi kekristenan untuk hadir bahkan ikut serta didalamnya karena identitas budaya mereka sama dengan kepercayaan yang ada. Demikian kepercayaan kekristenan tidak dapat menolak budaya untuk hadir ditengah-tengah keberadaan kekristenan saat ini. Inilah yang dimaksudkan penulis dengan negosiasi identitas.

Budaya dan kepercayaan di Minahasa ada dalam satu ligkaran identitas yang satu sama lain saling bernegosiasi. Apabila identitas budaya hadir ditengah-tengah kepercayaan kekristenan saat ini, maka yang harus dilalui yakni negosiasi identitas. Demikian sebaliknya dengan kepercayaan yang hadir ditengah-tengah budaya. Negoasiasi identitas kekristenan terjadi akibat budaya yang memang tidak dapat dilepas atau sekali lagi penulis katakan tidak dapat dimatikan. Budaya dan

32

(22)

87 Kepercayaan dipisahkan meskipun kepercayaan atau kekristenan adalah bagian dari budaya. Negosiasi indentitas kekristenan ini juga terjadi karena adanya budaya, apabilah tidak ada budaya maka tidak akan terjadi negosiasi identitas tersebut.

Ritual kampetan ada dalam identitas budaya yang dimiliki oleh Minahasa. Budaya ritual kampetan tidak dapat dilepaskan dari identitas masyarakat Minahasa disebabkan karena telah melekat dalam diri atau identitas masyarakat sebagai bentuk penghormatan. Hal ini dikatakan sebagai penghormatan karena nyata dalam pelaksanaanya bukan hanya sekedar formalitas melain memiliki tujuan atau maksud akhir. Maksud tersebut untuk melihat keberadaan hidup pelaku ritual yang diharapkan berjalan sesuai dengan amanat atau pesan dalam pelaksanaan. Oleh sebab itu, ritual kampetan menjadi daya tarik semua masyarakat. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa ini jelas merupakan identitas masyarakat terlebih para pelaku ritual di Minahasa.

Kepercayaan atau penulis katakan sebagai kekristenan adalah pilihan oleh masyarakat Minahasa saat ini. Ragam kekristenan yang hadir di Minahasa, menghentar masyarakat pada pilihan antara menjalakan hal-hal budaya tanpa melemahan kepercayaan saat ini. Satu keputusan yang akan menggambarkan identitas masyarakat dan ditentukan dengan pilihan dari individu sendiri. Masyarakat yang menentukan berjalan dalam identitas budaya serta kekristenan pada akhirnya akan mengambil sikap negosiasi antara identitas. Ritual kampetan sebagai identitas budaya hadir saat individu berada pada kondisi menjalankan budaya. Sebaliknya, kepercayaan terus berjalan ditengah kondisi masyarakat ada dalam keberadaan berkekristenan sesuai dengan kepercayaan mereka.

(23)

88 Satu hal didapati dari hasil penelitian ini yakni bukan percampuran kepercayaan yang ditimbulkan, melainkan bentuk kejelasan negosiasi yang kuat dalam identitas yang dimiliki. Ritual kampetan sebagai budaya menggambarkan satu bentuk identitas sosial masyarakat yang ditentukan oleh identitas pribadi. Maksudnya, pelaku-pelaku ritual adalah satu individu yang hadir dalam struktur sosial masyarakat Minahasa dan menentukan pilihan identitas dalam budaya sehingga dari satu pelaku hadir pelaku-pelaku lainnya menciptakan satu identitas bersama yakni identitas sosial dalam masyarakat yaitu ritual kampetan sebagai budaya. Selajutnya, identitas pribadi lainnya hadir saat individu-individu tidak berada dalam pelaksanaan ritual kampetan melainkan ada dalam pelaksanaan kekristenan atau kepercayaan saat ini. Hal lain dilihat setelah mereka berhadapan dengan keadaan diluar pelaksaan ritual kampetan dan ritual kekristenan saat ini. Hal yang mereka lakukan untuk memperlihatkan identitasnya adalah terus melaksanakan pesan dari ritual kampetan sebagai wujud identitas budaya, tapi mereka tetap percaya pada kekristenan saat ini sebagai bentuk identitas kekristenan. Hal yang penulis temukan bahwa, kesamaan ajaran yang menjadi pesan dalam pelaksanaan ritual kampetan dan kekristenan saat ini terus mereka bawah. Inilah alasannya kekristenan tidak dapat mematikan budaya tapi budaya tidak harus melupakan kekristenan.

4.6. Kesimpulan

Ritual yang sangat jelas ditekankan oleh Rappaport sebagai wujud atau tempat untuk berkomunikasi nyata terjadi pada keberlangsungan ritual kampetan di Watu Pinawetengan Minahasa. Komunikasi yang terjadi bukan hanya pada sesama pelalu tetapi juga leluhur-leluhur orang Minahasa. Komunikasi yang

(24)

89 terjadi menghadirkan pesan-pesan yang sarat makna bagi para pelaku ritual sesuai dengan keberadaan mereka dan bukan hanya sekedar simbol. Pada akhirnya, ritual ini mewujudkan sikap moral kepada pelaku ritual itu sendiri yang harus dilakukan berdasarkan aturan atau pesan yang diberikan.

Pelaksanaan ritual yang dilakukan adalah wujud identitas pelaku ritual yang dinegosiakan dengan keberadaan kepercayaan atau kekristenan yang dianut secara institusi oleh pelaku saat ini. Oleh karena itu, ditemukan bahwa identitas masyarakat Minahasa ada dalam budaya dan kepercayaan yang saling bernegosiasi. Hal inilah penyebabnya mengapa sampai saat ini mereka masih melakukan ritual kampetan dan dengan cara budaya dan kepercayaan berjalan beriringan dan para pelaku membentuk satu proses negosiasi identitas. Proses negosiasi identitas ini, berlaku bagi semua orang yang datang dalam pelaksanaan ritual kampetan atau kata lain bagi semua sub etnis di tanah Minahasa. Pada akhirnya, ritual kampetan ini bukan sekedar memperlihatkan identitas melainkan menjadi perekat sosial masyarakat pelaku ritual dan diupayakan dengan segala kelemahan, untuk berani memperlihatkan identitas mereka secara terbuka kepada semua masyarakat dan diterima dengan baik dalam keberadaan sosial masyarakat Minahasa.

Referensi

Dokumen terkait

hitung butir lebih kecil dari r kritis, maka dalam instrument tersebut dinyatakan tidak valid dan sebaliknya. Hasil uji coba validitas instrument dilakukan pada

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “Analisis Pengaruh Komponen Pembentuk Intellectual Capital terhadap Nilai Pasar pada Perusahaan

Penerapan standar dan interpretasi baru atau revisi berikut yang relevan dengan operasi Perseroan dan entitas anak namun tidak menimbulkan perubahan signifikan terhadap

Dari hasil tersebut d i atas yang dilaporkan oleh beberapa peneliti dapat diasumsikan bahwa semua telur Ascaris yang terdapat dalam tangki dekomposisi aerobik yang

Lingkup pekerjaan ini meliputi seluruh permukaan yang kelihatan seperti yang disebutkan / ditunjuk dalam gambar untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan petunjuk Direksi/ konsultan

Bila visual effect diaplikasikan secara tepat dalam sebuah karya film maupun animasi, maka visual effect tersebut dapat memberikan dampak yang cukup besar bagi penontonnya

Deket Kabupaten Lamongan; adanya adat tersebut dilatar belakangi oleh faktor ekonomi, dikarenakan untuk mengadakan pernikahan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, jika

bahwa visi dan misi Walikota dan Wakil Walikota terpilih perlu dijabarkan dalam tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan pembangunan Daerah dan keuangan Daerah, serta