• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH ISLAM. Wahyu Widiana, Sosok yang Peduli terhadap Hisab Rukyat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH ISLAM. Wahyu Widiana, Sosok yang Peduli terhadap Hisab Rukyat"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH ISLAM

Wahyu Widiana, Sosok yang

Peduli terhadap Hisab Rukyat

(2)

Makalah Islam

Wahyu Widiana, Sosok yang Peduli terhadap Hisab Rukyat

Anisah Budiwati, MSI

(3)

Tidak banyak yang mengetahui, Drs. Wahyu Widiana, MA, ahli falak kelahiran Ciawi, Tasik Malaya ini sebenarnya lahir pada 18 November 1952, meskipun yang lebih banyak ia tuliskan dalam beberapa sumber 18 September 1952. Hal ini terkait dengan kesalahan tulis bulan dengan angka romawi yang seharusnya XI tetapi tertulis IX. Selain itu, namanya pun mengalami perubahan. Pada saat itu ada ketentuan yang mengharuskan nama terdiri dari dua kata yang akhirnya namanya menjadi Wahyu Widiana. Ia adalah putera ke sepuluh dari sebelas bersaudara dari Bapak H. Idris dan Ibu Siti Juhro. Ayahnya adalah seorang wirastawan yang ulet dan ibunya berasal dari keluarga dengan latar agama yang sangat kuat. Ibunyalah yang mengarahkan ia menuntut ilmu dan berkarir di bidang agama.

Ketika kecil selain belajar di SD dan SMP, di siang dan malam hari ia menuntut ilmu di Madrasah. Masa SMA nya dihabiskan dengan berguru di Pondok Pesantren Cipasung asuhan KH. Ilyas Ru’yat, kiyai kharismatik Nahdhatul Ulama. Lulus pesantren, ia diarahkan Ibunya untuk kuliah dan ia memilih fakultas

(4)

Syariah IAIN Yogyakarta. Di kampus tersebut,ia berkenalan dan mulai mendalami ilmu falak. Sebagai persyaratan kelulusan sarjana muda, ia menerbitkan sebuah risalah tentang IIDL dalam hubungan dengan shalat jum’at. Sementara itu, untuk mendapatkan gelar sarjana ia menulis skripsi dalam bidang ilmu falak dengan judul ijtima’ sebagai pedoman dalam menentukan awal bulan qamariyah. Dalam waktu yang sama, terlibat dalam penyusunan kamus istilah ilmu falak yang diterbitkan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama.

Lulus kuliah ia menikah dengan Bu Nina Nurfarah dan dikarunia enam orang anak. Dalam perjalanan berkeluarga, ia dikenal sebagai pemimpin keluarga yang demokratis, membebaskan anak-anaknya untuk memilih sekolah dan pekerjaan. Ia adalah seorang ayah yang selalu menyempatkan waktu berinteraksi dengan keluarga di kala ia mengemban amanah berat abdi negara di birokrat.

Keahliannya di bidang ilmu falak telah ia dalami saat SMA. Ia bersekolah di SMA Paspal (Pasti dan Pengetahuan Alam) dan berguru kepada Endang Afandi, seorang ahli matematika. Selama mengenyam SMA ia

(5)

mempelajari geografi dan ilmu falak. Semenjak ia mengenyam kuliah pun, saat tingkat satu ia belajar ilmu falak dari Sa’adoeddin Djambek dan Abdur Rachim. Abdur Rachim sering memberikannya tugas sampai larut malam. Pada waktu itu ia bersama murid Abdur Rachim yang lain, Oman Fathurahman. Berlanjut ketika selesai dari IAIN Kalijaga, ia belajar kitab Sullamun Nayirain dari seorang Ajengan Khudori, Tasik. Sejak berkarir di Jakarta sampai dengan sekarang, ia tidak pernah lepas dari persoalan hisab rukyat.

Sepak Terjang Abdi Negara

Karir Wahyu Widiana sebagai abdi negara dimulai pada tahun 1978. Kala itu, ia yang berpredikat alumni terbaik Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta hanya ingin menjadi dosen di Yogyakarta. Ia yang pada saat itu sudah menjadi asisten dosen Abdur Rachim hanya bercita-cita menjadi pengajar dan membayangkan memakai sepeda ontel untuk pergi dan pulang. Namun, Tuhan menghendaki lain, ia dilihat Sa’adoeddin Djambek dan Abdur Rahim, gurunya sebagai orang yang memiliki potensi besar. Ia masih teringat surat yang ia simpan di

(6)

buku hariannya, ia membuat judul di buku hariannya;

surat seorang tokoh (Sa’adoeddin Djambek) ke seorang tokoh (Abdur Rahim) yang membicarakan calon tokoh (wahyu widiana). Semenjak itu karirnya melejit dan

menjadikannya tidak hanya menorehkan prestasinya di berada di Badan Peradilan Agama, tetapi ia orang nomor satu yang mengurusi hisab rukyat di Badan Hisab Rukyat Nasional yang pada waktu itu pernah ada di bawah payung Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung.

Awal perjalanan karirnya dimulai ketika ia menjadi pegawai Depag dan diperbantukan di Pengadilan Agama Jakarta Utara sebagai staf. Tiga tahun kemudian, di tempat tugas yang sama, ia diangkat menjadi hakim anggota tidak tetap alias hakim honor. Prestasi yang luar biasa, karena ia bisa dipercaya dalam usia yang sangat muda. Pada tahun 1981 ia diangkat sebagai Kepala Seksi Hisab Rukyat pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Depag. Jabatan itu diembannya selama sepuluh tahun.

Pada tahun 1988-1990 Wahyu Widiana melanjutkan sekolah master dan lulus dari University of

(7)

Michigan. Sepulang ke tanah air, ia naik jabatan. Ia

diangkat menjadi Kasubdit Pertimbangan Hukum Agama dan Hisab Rukyat. Pada waktu itu, SK Kasubdit seharusnya jatuh pada Pak Muhamimin, namun Kasubdit beralih pada dirinya, karena calon kasubditnya meninggal dunia. Lima tahun kemudian, Pak Atho Mudzhar menariknya menjadi Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Namun jabatan ini hanya diembannya selama 8 bulan, yakni Mei-Desember 1996.

Dari Desember 1996 hingga November 1998, Wahyu Widiana mendapat amanat baru sebagai Kepala Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri. Pada November 1998 hingga September 1999, ia beralih tugas menjadi Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan. Kemudian pada periode September 1999-Mei 2000, ia menjadi Staf Ahli Menteri Agama Bidang Kerukunan Umat Beragama. Pada periode 1996-2000, Wahyu Widiana tercatat pula sebagai sekretaris empat Menteri Agama yang berbeda. Keempat menteri tersebut adalah Tarmizi Taher, Quraisy Shihab, Malik Fadjar dan Tolhah Hasan.

(8)

Pada Mei 2000 Wahyu Widiana diangkat menjadi Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama atau bisa disebut Dirbinbapera pada Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Jabatan ini diembannya hingga Juni 2001. Setelah itu terjadi perubahan organisasi dan nomenklatur jabatan. Wahyu Widiana menjadi Direktur Pembinaan Peradilan Agama atau Dirbinpera pada Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Ia menduduki jabatan itu hingga 2005.

Seiring dengan penyatuatapan badan peradilan, di mana Peradilan Agama beralih dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung, sejak tahun 2005 Wahyu Widiana menjadi pejabat eselon I. Ia dilantik sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama alias Dirjen Badilag. Jabatan itu terus diembannya hingga 31 Juli 2012. Terakhir menjabat sebagai Direktur Jendral Badan Peradilan Agama di Mahkamah Agung. Ia dikenal sebagai pelopor Implementasi teknologi di Pemerintahan dan di Peradilan Agama. Layanan peradilan yang ramah

(9)

terhadap kelompok masyarakat miskin merupakan konsep yang ia lakukan selama ini.

Dua hal yang patut dicatat sebagai jejak terpenting sebagai abdi negara, pertama ia berhasil mendorong lembaganya dan PA di seluruh Indonesia menerapkan teknologi informasi sehingga menjadi lebih efisien dan transparan. Kepemimpinan dalam implementasi teknologi informasi ini berbuah penghargaan best of the best bagi PA dalam penilaian terhadap website seluruh pengadilan di tanah air yang dilakukan di The Australian –Indonesia

Partnership for Justice. Ia mendorong pengembangan

sistem informasi administrasi perkara Pengadilan Agama serta sistem informasi manajemen kepegawaian.

Kedua, karya terpenting adalah implementasi dari

konsep justice for the poor, belajar dari masa mudanya, Pengadilan Agama yang tak ramah terhadap orang miskin. Ia membangun sistem agar masyarakat miskin dan pinggiran mendapat layanan hukum yang baik. Bagi masyarakat yang tidak mampu membayar biaya perkara, PA memiliki sistem layanan prodeo yang gratis. Kemudian, bagi mereka yang tidak mampu datang ke

(10)

Pengadilan Agama karena letaknya jauh dan tidak mampu membayar transportasi diadakan program sidang keliling. Dalam hal ini Hakim dan Panitera yang berkeliling mendatangi mereka yang berperkara. Bagi masyarakat yang memerlukan bantuan hukum dan tak mampu untuk membayar pengacara, maka Pengadilan Agama menyediakan layanan pos bantuan hukum. Prestasinya dan ajarannya terlihat jelas di program bantuan hukum di 46 Pengadilan Agama.

Hisab Rukyah di Mata Wahyu Widiana

“Saya bukan ilmuan hisab rukyat, hanya orang

yang mengurus hisab rukyat di birokrat”, tutur Wahyu

Widiana yang rendah hati, ketika ditanya pendapat alasan pentingnya penulisan periodisasi perkembangan hisab rukyat di Indonesia. Hal ini diungkapnya dalam wawancara perkembangan hisab rukyat. Ia selalu mengingatkan akan pentingnya sejarah hisab rukyat dalam kegiatan hisab rukyat di manapun. Ia mengakui bahwa saat ini sudah banyak ilmuan hisab rukyat yang terlibat, yang tidak hanya berlatar belakang fiqh saja, namun astronomi dan keilmuan yang lain.

(11)

Orang terlama di Pemerintahan yang sangat memahami perjalanan hisab rukyat di Indonesia ini juga sangat mengapresiasi kemajuan yang saat ini tengah terjadi. Selain karena anggaran Pemerintahan dalam memajukan hisab rukyat juga memadai, sekarang ini sumber daya manusia di bidang hisab rukyat sangat berkembang. Sekarang sudah banyak lulusan doktor atau profesor yang ahli. Kita bisa lihat juga dari hubungan dengan instansi lain selain Depag yang tentunya semakin meluas. Orang umum sudah mulai belajar tentang ilmu falak. Peserta temu kerja atau BHR pun sekarang anggotanya semakin banyak dan beragam.

Meskipun kemajuan yang sedang terjadi ini adalah sebuah tahapan yang harus dipertahankan, permasalahan dapat bertambah berbanding lurus dengan kemajuan. Sisi positif yang bisa ditangkap dari semakin banyak pihak atau ilmuan dari berbagai ilmu yang diikut sertakan dalam kegiatan hisab rukyat adalah sisi positif dari segi aspirasi atau demokrasi. Namun, semakin banyak orang yang dilibatkan, proses penyatuan sebenarnya akan cenderung lebih sulit. Karena ia menganggap bahwa hisab rukyat

(12)

pada dasarnya adalah kesepakatan. Perbedaan akan timbul dengan banyaknya kran demokrasi yang dibuka. “Upaya dengan banyaknya pihak yang terlibat adalah

sebuah kemajuan, namun untuk penyatuan, terus terang saja sulit. Karena berbeda-beda itu sejak dulu”, tuturnya

di sela pembicaraan.

Kenapa sekarang perbedaan lebih tergaungkan lagi? Ia mengawali pembicaraanya dengan sebuah pertanyaan yang kemudian ia lanjutkan dengan nada jawaban setengah oktaf. “Peran medialah yang

menggaungkan berita perbedaan itu”. Ia mulai bercerita

mengenang sebuah kejadian. Dahulu, ketika sidang isbat akan digelar atau terjadi perbedaan, media televisi jarang merekam sehingga masyarakat tidak tahu. Bahkan selesainya mentri Agama memimpin sidang isbat, selalu repot terkena macet dan naik ojeg untuk hadir ke stadion TVRI. Jadi bukan media televisinya yang datang untuk mencari informasi. Untuk mengantisipasi hal itu, Pemerintah juga pernah beberapa kali pindah ke gedung TVRI untuk sidang isbat.

(13)

Jika melihat zaman sekarang, tentulah berbeda. Sekarang, semua media datang mencari berita. Dengan adanya sidang isbat yang melibatkan banyak asprirasi sebenarnya membuat prosesnya rumit juga. Misalnya pada waktu itu, kondisi awal bulan yang dihadapi dalam kondisi tidak ada masalah, hilal ada di bawah ufuk yang membuat konsekwensi semua pihak dari manapun akan mengistikmalkannya. Namun pada kenyataannya, banyak anggota sidang isbat unjuk tangan berpendapat. Jelas ini juga sangat merepotkan, menampung pendapat yang memerlukan waktu di tengah penantian masyarakat wilayah timur Indonesia yang sudah menunggu-nunggu. Sehingga ia menegaskan lagi pendapatnya bahwa proses untuk penyatuan semakin besar upayanya, tapi bisanya bersatu sangat sulit.

Wahyu Widiana sangat memahami kondisi bagaimana Pemerintah dalam hal ini menteri Agama mengawal masyarakat dalam masalah hisab rukyat. Ia mengakui bahwa asas negara kita berbeda dengan negara yang sudah berlandaskan syariat. Katakanlah di Malaysia, Brunei, jika terdapat perbedaan, maka yang berbeda itu

(14)

tidak diumumkan luas. Kriteria bisa dipaksa oleh negara yang otoriter. Jika mau lihat pendapat Thomas Jamaluddin yang mengusung tiga konsep dalam penyatuan kalender Islam, menurut saya kita baru hanya memenuhi satu kriteria saja, kita baru punya wilayah saja, otoritas dan kriteria belum kita miliki.

Sebenarnya, ada harapan kecil upaya penyatuan hisab rukyat bisa terwujud yaitu dengan teknologi, ujar wahyu widiana. Dulu, jika melihat bulan di siang hari adalah tidak mungkin, namun seiring berkembangnya teknologi, hal itu sekarang bisa dilakukan. Mungkin, hal yang bisa menyatukan itu bisa saja dilakukan jika bulan itu sudah wujud dan ada cara teknologi untuk bisa menembus awan. Meskipun ia memungkiri hal itu tidak mungkin terjadi, namun ia berkeyakinan mungkin saja akan ada keajaiban teknologi.

Wahyu menganalisis bahwa hisab sangat maju dalam soal perhitungan, data dan aplikasi, sementara rukyat tidak secepat seperti hisab. Sehingga salah satu faktor inilah yang membuat sulit untuk disatukan. Saya beranggapan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal

(15)

dan Dzulhijjah memang harus dilakukan oleh yang punya otoritas yaitu pemerintah dalam hal ini menteri agama. Kewenangan Pemerintah haruslah dikedepankan karena hal ini menyangkut orang banyak. Kalo sendiri untuk berbeda ya silakan saja, kalau banyak harus diurus Pemerintah. Bagi mereka yang acuh agar Pemerintah tidak mengurusi hal ini, ia golongkan mereka sebagai kelompok yang berputus asa. Pada dasarnya, semua kesulitan ini bukan berarti membuat kita putus harapan, tandasnya tegas.

Harapan untuk menyatukan hisab rukyat sebenarnya adalah dengan terus menerus mengembangkan ilmu pengetahuan. Upaya penyatuan sudah on the track dengan apa yang dilakukan oleh Bimas Islam dan Direktorat Urais saat ini,apalagi Kasubditnya Dr. Ahmad Izzuddin yang semangat menata melakukan pembakuan dan standardisasi hisab rukyat Indonesia, kiranya sangat bagus dan saya yakin akan berhasil. Ia berharap semakin banyak yang dilibatkan dengan kinerja istiqomah untuk terus dilakukan penyatuan akan semakin terbuka. Ia mengapresiasi ketika ada upaya dengan cara

(16)

mendekatkan anak muda Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama untuk memperoleh titik penyatuan, tetapi ketika di bawa ke pintu organisasinya masing-masing semua mentah dan tidak berubah. Hal ini dimaklumi mengingat bahwa ada perbedaan di dalam masing-masing metode. Pada saatnya regenerasi, para senior ormas masing-masing akan bisa dikembangkan dengan syarat ilmiah dan syariah agar bisa bersatu. Saya tidak sangat pesimis, yang penting kesepakatan.

Saran untuk masyarakat yang dalam perbedaan, wahyu memberikan testimoninya. Kita kembali ke sejauh mana kerukunan antara ormas dan juga ormas dengan pemerintah. Secara umum, Kemenag bisa merangkul, namun jika ada masalah dari kelompok dan mencuat persoalan tentunya akan merugikan. Jika antar ormas atau ormas dan Pemerintah memiliki kesepahaman dan kerukunan tentunya bisa saja direm. Ini sebagai jalan terakhir yang sementara ini bisa kita lakukan dalam beberapa tahun berikutnya jika terjadi perbedaan. Kita sepakat untuk berbeda tapi tidak menimbulkan efek negatif dalam kehidupan sosial.

(17)

Ketika ditanya pengalamannya semasa mengurus hisab rukyat ia berkomentar, “awal mulanya saya kaget,

namun lama kelamaan saya faham”. Ada dua

pengalaman yang bisa disampaikan dalam tulisan ini yaitu ketika ada satu kelompok dalam ilmu falak secara parsial hanya menguasai salah satu metode saja dan tidak belajar dari lainnya menimbulkan keterpaksaan keyakinan. Terkesan ada pemaksaan terhadap keyakinan untuk meyakini secara yakin. Contohnya ketika ada pelapor rukyatul hilal yang menyatakan melihat secara yakin adanya hilal padahal secara ilmu pengetahuan hilal di bawah ufuk. Pada waktu itu kami tolak karena memang tidak berdasar ilmu pengetahuan.

Kejadian lain ketika dunia internasional meremehkan kita. Saat kita memberikan informasi data pengamatan rukyatul hilal di Indonesia, mereka yang terdiri dari ahli astronomi menertawakan kita. Ketinggian hilal dua derajat untuk dapat terlihat itu sangat tidak mungkin. Hampir tidak ada pengalaman hilal dengan ketinggian seperti itu dapat terlihat. Begitu juga dalam acara peringatan 70 tahun teknologi masuk Indonesia, ia

(18)

pernah menjadi pembicara untuk menjelaskan pengamatan rukyatul di Indonesia. Pada waktu itu, ada ahli astronomi yang mengatakan bahwa Menteri agama meremehkan ilmu pengetahuan.

Ketika ditanya bagaimana masa depan ilmu falak, dengan santai ia menjawab bahwa belajar ilmu falak itu ya belajar astronomi, tidak ada dualisme. Sekarang ini di dunia ilmu pengetahuan dan akademis, tidak ada beda antara ilmu falak dengan yang ada di UIN maupun di ITB. Kawan-kawan ITB justru berbagi bahkan mempelajari yang ada di UIN. Hanya di Perguruan Tinggi Islam, ilmu falak masih sebagian dari ilmu fiqh atau masalah keilmuannya belum dikembangkan secara pesat, sepertinya tidak akan semaju dengan keilmuan astronomi yang ada di perguruan tinggi umum. Saya senang di semarang sudah ada jurusan ilmu falak, meskipun tidak semaju yang ada di ITB, itu tidaklah apa-apa, seiring berkembangnya waktu, lambat laun akan maju dan berkembang. Sehingga kedepannya, jurusan ilmu falak sebaiknya harus lebih dikembangkan, mungkin menjadi bagian dari Departemen astronomi.

(19)

Benarkah keputusan Mentri Agama itu dipengaruhi latar belakang Muhammadiyah atau Nahdhatul Ulama? Pertanyaan ini dijawab Wahyu dengan

banyak pengalamannya mengikuti perkembangan sidang isbat. Saya sudah lama sekali mengikuti sidang isbat dan memahami sekali bagaimana persoalan yang terjadi. Meskipun Menteri agama dari Nahdhatul Ulama atau Muhammadiyah, Menteri akan tetap selalu mengedepankan dan mengakomodir demi kemaslahatan umat, jadi bukan berdasarkan latar belakang muhammadiyah atau NU. Contohnya saja, menjelang awal Syawal yang diprediksikan terjadi perbedaan, Menteri khawatir dan mencoba mengupayakan koordinasi ormas, MUI dan upaya-upaya lainnya untuk kepentingan umat. Sehingga keputusan yang diambil hanya demi kemaslahatan umat.

Wahyu memberikan sebuah gambaran. Coba bayangkan jika keputusan Pemerintah itu adalah keputusan ilmiah, di mana kriteria ketinggian hilal secara astronomis itu adalah minimal 4 derajat. Misalnya pada selasa, tanggal 29 Ramadan, ketinggian hilal 4 derajat,

(20)

pada waktu itu ada yang melapor melihat. Karena Menteri dasarnya ilmiah, Menteri agama menolak laporan rukyat dikarenakan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan dan keputusannya adalah mengistikmalkan sehingga awal syawal hari rabu. Di lapangan, Muhammadiyah jelas besok akan mengawali 1 Syawal, PERSIS pun akan sama, dan terlebih Nahdatul Ulama yang melaporkan melihat. Lalu bagaimana masyarakat awam? Tentunya mereka mengikuti yang lebih cepat. Kemudian siapa yang mau mengikuti keputusan Pemerintah? Hal ini menjadi dilema tersendiri. Saya melihat keputusan Pemerintah pada dasarnya bukan dipertimbangkan dari segi ilmiah, tetapi politis yang ingin mempertimbangkan hasil hisab dan laporan rukyat. Sehingga baik menteri agamanya dari ormas manapun saya kira tidak berpengaruh terhadap keputusan 1 Syawal, jadi tidak benar pernyataan yang mengatakan latar belakang mentri agama mempengaruhi hasil keputusan Pemerintah.

Waktu dulu, pernah ada ketika Menteri Agamanya NU, keadaan hilal di bawah ufuk dan Pemerintah menetapkan syawal dan ramadan secara bersamaan yaitu

(21)

sepakat untuk diistikmalkan dan tidak dilakukan rukyat. Namun akhir-akhir ini, menteri mengakomodir kelompok yang mengatakan bahwa rukyat itu ibadah dan akhirnya tetap dilakukan rukyat walau hilal di bawah ufuk. Sehingga sebenarnya selalu terjadi perubahan yang pada akhirnya bisa ditangkap bahwa peran Pemerintah di sini adalah untuk mengakomodir. Obrolan di sore hari itu berkesimpulan bahwa pengalaman Wahyu Widiana menjadi birokrat hisab rukyat mengajarkannya satu hal yaitu untuk menyatukan itu intinya memerlukan

kesepakatan dan ia adalah orang yang tidak pernah putus asa untuk menyatukan perbedaan.

Setelah menyelesaikan masa baktinya di Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, terhitung Juli 2012, ia beraktifitas sebagai dosen ilmu falak di FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu ia juga menjadi konsultan di AIPJ (Australia Indonesia Parthership for Justice) yang mengurusi bidang identitas hukum bagi yang mereka tidak mampu meliputi hak atas akta kelahiran, akta nikah dan akta cerai yang dimaksudkan sebagai prasyarat dalam mewujudkan hak-hak dasar sosial dan ekonomi.

(22)

Sekarang, ia tinggal beserta istrinya Nina Nurfarah di Komplek Depag Blok VII/E.1 Rt 07 Rw 04 No. 1 Pamulang Tangerang Selatan. Ia bisa dihubungi di alamat email wahyuwidiana88@gmail.com dan no HP. 081381934687.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, jika dipandang dari segi teoritis penelitian ini perlu juga dilakukan untuk lebih menyempurnakan model pengambilan keputusan individu dari model Cooper, sedangkan

Perbandingannya dengan Praktek Plea Bargaining Di Beberapa Negara”, Jurnal Cita Hukum Vol 3. Paul Minn West Group.. 3 Dengan demikian, dalam mekanisme sistem plea bargaining

28 tahun 2009 maka pemungutan BPHTB dipungut oleh Pemerintah Kota Semarang yang dimulai per tanggal 1 Januari 2011 diperoleh efektivitas penerimaan BPHTB sebesar

Gaya ini sangat lemah jika dibandingkan gaya antar atom (ikatan ion dan ikatan kovalen). Energi yang dibutuhkan untuk memutuskan gaya van der waals sangat rendah atau mudah

Terima kasih atas kesempatan, kritik dan motivasi yang yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.. Ibu Hudaniah, S.Psi, M.Si selaku Dosen

Dari apa jang tclah dibahas scbclrunnja njata bahwa R dan I- sedapat mungkin lietjii, liarena besar Eo mcmpengaruhi alatz jang clipergu- nakan. tsila tr" harus dipilih

Virtual screening dan docking model FABP belalang kembara mendapatkan senyawa turunan pirimidin, imidazol dan benzodiazol sebagai kandidat senyawa inhibitor yang

Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan produk media Computer Assisted Instructed dengan menggunakan model tutorial yang layak dan efektif dalam proses