HIPOTESIS ENVIRONMENTAL KUZNETS CURVE:
SEBUAH PANDANGAN HUBUNGAN ANTARA PERTUMBUHAN EKONOMI
DENGAN KUALITAS LINGKUNGAN
ENVIRONMENTAL KUZNETS CURVE HYPOTHESIS:
A VIEW OF THE RELATIONSHIP BETWEEN ECONOMIC GROWTH
AND ENVIRONMENTAL QUALITY
Citrasmara Galuh Nuansa1 dan Wahyu Widodo2
1
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro
2
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro Email : [email protected]
ABSTRACT
Economic activity, both production and consumption process, can not be separated from the environment. Therefore, economic activity is a major component of economic growth will affect the quality of the environment. The empirical relationship between economic growth and environmental quality has long been a fundamental debate in the economic environment. Many studies have been conducted to determine the effect and the relationship of economic growth on environmental quality. The study tested the hypothesis Environmental Kuznets Curve (EKC). This paper will explain the hypothesis Environmental Kuznets Curve (EKC) based on the literature and previous studies by using descriptive method. EKC hypothesis describes the relationship between economic growth and environmental degradation form inverted U-shape curve. This indicates that the quality of the environment will decrease with rising economic growth of a country, and then reached a certain point the quality of the environment will be gradually improved. However, this hypothesis is not always evident, since each country has the characteristics of different development.
Keywords : Environmental Kuznets Curve, Economic Growth, Environmental Quality
ABSTRAK
Aktivitas ekonomi, baik proses produksi maupun konsumsi, tidak dapat dipisahkan dari lingkungan. Oleh sebab itu, aktivitas ekonomi yang merupakan komponen utama pertumbuhan ekonomi akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan. Hubungan empiris antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan telah lama menjadi perdebatan fundamental dalam ekonomi lingkungan. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh dan hubungan pertumbuhan ekonomi terhadap kualitas lingkungan. Penelitian tersebut menguji hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC). Makalah ini akan menjelaskan hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) berdasarkan literatur dan penelitian-penelitian terdahulu dengan menggunakan metode deskriptif. Hipotesis EKC menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan yang membentuk kurva U-terbalik. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas lingkungan akan menurun seiiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara, lalu sampai pada suatu titik tertentu kualitas lingkungan akan berangsur-angsur membaik. Namun demikian, hipotesis ini tidak selalu terbukti, karena tiap negara memiliki karakterisitik pembangunan yang berbeda-beda.
Kata Kunci : Environmental Kuznets Curve, Pertumbuhan Ekonomi, Kualitas Lingkungan
1. PENDAHULUAN
Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi suatu hal yang sangat penting untuk diterapkan mengingat adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di berbagai negara pada beberapa tahun ini. Dalam pembangunan berkelanjutan, terdapat tiga pilar utama yang perlu diperhatikan, yaitu aspek ekonomi, aspek lingkungan, dan aspek sosial (Hopwood, O brien, & Giddings, 2002). Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu langkah potensial untuk mengatasi permasalahan dan tantangan kehidupan untuk generasi sekarang dan yang akan datang (Hopwood, Mellor, & O brien, 2005). Dengan adanya pembangunan berkelanjutan, diharapkan dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, meningkatkan kualitas lingkungan hidup, serta membaiknya tata kelola pembangunan berkelanjutan.
Namun, pada kenyataannya faktor ekonomi masih mendominasi apabila dibandingkan dengan faktor lingkungan dan sosial (Hopwood et al., 2002). Pola pembangunan yang diterapkan oleh beberapa negara di dunia ini masih berfokus pada pertumbuhan ekonomi semata. Pada umumnya, proses pembangunan yang dilaksanakan di setiap negara merupakan suatu upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Hal ini terbukti dengan adanya permasalahan lingkungan yang dirasakan oleh penduduk dunia, seperti meningkatnya gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.
Gas rumah kaca, termasuk gas CO2, merupakan sumber penyebab pemanasan global. Indonesia sendiri
termasuk dalam daftar sepuluh besar penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia, yaitu sebesar 1,76 % (World Resources Institute, 2015). Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa sumber emisi gas rumah kaca di Indonesia sebagian besar berasal dari alih fungsi lahan dan hutan, yakni sebesar 61,5 %.
Gambar 1. Sumber Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Tahun 2012 (World Resources Institute, 2015)
Alih fungsi lahan dan hutan merupakan akibat dari pembukaan lahan untuk kegiatan industri, pertambangan, dan lainnya. Maka, dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi tak luput dari tuntutan kebutuhan ekonomi dan pembangunan.
Lalu, bagaimana hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kualitas lingkungan di suatu wilayah atau negara? Apakah aktivitas ekonomi akan selalu memperburuk kualitas lingkungan?
2. METODE
Dalam makalah ini digunakan metode deskriptif untuk menjelaskan hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) berdasarkan literatur dan penelitian-penelitian terdahulu.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan empiris antara aktivitas ekonomi dan kualitas lingkungan telah banyak dibahas oleh para ahli. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh pendapatan per kapita sebagai indikator pertumbuhan ekonomi negara, dengan kualitas lingkungan. Penelitian ini menghasilkan suatu hipotesis yang disebut dengan
Environmental Kuznets Curve (EKC).
Gambar 2. Environmental Kuznets Curve (Panayotou, 1993)
Hipotesis EKC pertama kali digunakan oleh Grossman & Krueger (1991) dalam studinya mengenai hubungan antara pendapatan per kapita dengan kualitas lingkungan sebagai akibat dari perdagangan bebas di Amerika Utara. Dalam penelitiannya dihasilkan kurva berbentuk U-terbalik. Selanjutnya oleh Panayotou (1993) kurva berbentuk U-terbalik ini disebut sebagai Kurva Kuznets karena bentuk kurva ini mirip dengan hasil studi Kuznets (1955) yang menunjukkan hubungan antara pendapatan per kapita dengan ketidakmerataan.
Kurva berbentuk U-terbalik ini (lihat Gambar 2) menunjukkan bahwa pada awal tahap pembangunan akan menimbulkan degradasi lingkungan karena dalam tahap ini pembangunan mengandalkan energi yang murah yaitu energi yang tidak terbarukan. Hal ini menunjukkan bahwa saat itu belum ada tuntutan terhadap produk ramah lingkungan. Kenaikan pendapatan per kapita akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya degradasi lingkungan sampai pada titik tertentu. Di mana pada titik ini merupakan titik balik karena adanya suatu tuntutan atau permintaan terhadap produk ramah lingkungan, sehingga pada tahap selanjutnya degradasi lingkungan akan turun secara perlahan yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu memasukkan unsur lingkungan sebagai bagian dari aktivitas pembangunan (Waslekar, 2014).
3.1 Data yang dibutuhkan
Dalam penelitian untuk menguji hipotesis EKC, digunakan data cross section, data time series atau dapat juga data panel. Data cross section yaitu data yang diambil dari beberapa unit (misalnya individu, rumah tangga, perusahaan, dsb) pada satu titik waktu. Misalnya, data emisi CO2 pada bulan April 2016 untuk 10 negara. Jika data diambil pada suatu
periode tertentu disebut dengan data time series. Contohnya data emisi CO2 Indonesia periode 1990-2015. Data panel
adalah data yang diambil dari berbagai unit pada suatu periode waktu. Data ini merupakan gabungan dari data cross
section dan data time series. Misalnya, data emisi CO2 periode 1990-2015 untuk 5 negara ASEAN (Ariefianto, 2012).
3.2 Model yang digunakan
Model yang digunakan ialah model ekonometrika, yang merupakan penggabungan dari ilmu ekonomi, matematika, dan statistika. Secara umum, rumus hipotesis EKC adalah sebagai berikut:
𝑡= 𝑡+ 𝛽 𝑥𝑡+ 𝛽 𝑥𝑡 + 𝛽 𝑥𝑡 + 𝜏 𝑡+ 𝑡
di mana 𝑡 adalah variabel yang menggambarkan kualitas lingkungan, 𝑥𝑡 adalah variabel yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi, dan 𝑡 adalah variabel lain yang dianggap dapat mempengaruhi kualitas lingkungan. Sedangkan
𝑡 adalah konstanta; 𝛽 , 𝛽 , dan 𝛽 adalah koefisien regresi; dan 𝑡 adalah faktor error.
Perbedaan nilai koefisien regresi menunjukkan hubungan antara kualitas lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. Jika 𝛽 > 0, 𝛽 < 0, dan 𝛽 > 0, maka mengindikasikan hubungan antara keduanya berbentuk kurva N. Jika 𝛽 < 0, 𝛽 > 0, dan 𝛽 < 0 maka kurva akan berbentuk N-terbalik. Jika 𝛽 > 0 dan 𝛽 = 𝛽 = 0 maka mengindikasikan hubungan yang terbentuk adalah linier. Jika 𝛽 > 0, 𝛽 > 0, dan 𝛽 = 0 maka hubungannya akan berbentuk kurva U. Jika 𝛽 > 0, 𝛽 < 0, dan 𝛽 = 0 maka akan terbentuk kurva U-terbalik, di mana hubungan ini sesuai dengan hipotesis EKC (Akpan & Chuku, 2011).
3.3 Variabel yang digunakan
Dari berbagai penelitian, variabel yang digunakan sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi ialah pendapatan per kapita (per capita Gross Domestic Product (GDP)). Dalam papernya, Panayotou (1993) menyatakan bahwa GDP merupakan suatu pendekatan yang menunjukkan tingkat pertumbuhan atau perkembangan suatu negara. Pada negara dengan tingkat pendapatan yang rendah, kontribusi sektor industri pada GDP kecil (lebih kecil daripada pertanian), sektor yang mendominasi adalah agroprocessing dan light assembly. Pada negara dengan tingkat pendapatan menengah, kontribusi GDP didominasi oleh sektor heavy steel, pulp and paper, semen, dan industri kimia. Sementara itu, pada negara dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi, sektor industri berbasis teknologi seperti mesin dan elektronik yang lebih mendominasi. Emisi yang ditimbulkan dari proses industri berbanding lurus dengan jumlah industri yang ada. Pada tingkat perkembangan negara selanjutnya, kontribusi sektor industri kimia, industri berat terhadap GDP mulai menurun seiiring dengan meningkatnya sektor teknologi informasi dan jasa pelayanan. Hal ini menimbulkan hubungan terbalik antara emisi (kualitas lingkungan) dengan pertumbuhan ekonomi.
Banyak peneliti yang menggunakan emisi CO2 sebagai variabel yang menjadi tolok ukur kualitas lingkungan. Hal
ini disebabkan emisi CO2 merupakan sumber utama gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global.
Pemanasan global merupakan sebuah isu lingkungan yang telah menjadi permasalahan dunia, yang dibuktikan dengan adanya Protokol Kyoto. Dengan meratifikasi protokol ini, maka negara tersebut berkomitmen untuk mengurangi emisi karbondioksida dan gas rumah kaca lainnya.
Peneliti yang menggunakan variabel emisi CO2 sebagai indikator degradasi lingkungan dalam jurnalnya, misalnya
Shahbaz, Dube, Ozturk, & Jalil (2015), Al-mulali, Saboori, & Ozturk (2015), Jalil & Mahmud (2009), Alam, Murad, Noman, & Ozturk (2016), Bölük & Mert (2015), dan Akpan & Chuku (2011).
Selain emisi CO2, beberapa penelitian menggunakan variabel lain sebagai variabel yang menunjukkan degradasi
lingkungan, yang dalam pemodelan ini menjadi variabel tidak bebas (dependent variable). Misalnya, menggunakan variabel deforestasi seperti yang dilakukan oleh Koop & Tole (1999) terhadap 76 negara berkembang. Dalam penelitian Paudel, Zapata, & Susanto (2005) di wilayah Louisiana, digunakan polutan air limbah (nitrogen (N), fosfor (P), dan oksigen terlarut (DO)) sebagai variabel tidak bebasnya. Sementara itu, di Cina, Song, Zheng, & Tong (2008) menggunakan variabel tidak bebas berupa limbah padat, limbah cair, dan gas (emisi) per kapita.
Namun, menurut Al-Mulali, Weng-Wai, Sheau-Ting, & Mohammed (2014), jejak ekologis (ecological footprint) merupakan sebuah tolok ukur yang lebih merepresentasikan degradasi lingkungan. Jejak ekologis menggambarkan dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan, yang dinyatakan sebagai jumlah lahan yang dibutuhkan untuk penggunaan sumber daya alam. Selain itu, jejak ekologis juga menggambarkan daya dukung lingkungan suatu wilayah.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Oleh sebab itu, jejak ekologis dianggap lebih merepresentasikan degradasi lingkungan bila dibandingkan dengan variabel lain (emisi atau deforestasi).
Telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam pemodelan ekonometrika ini tedapat variabel lain yang dianggap dapat mempengaruhi degradasi lingkungan. Dalam berbagai penelitian, pada umumnya digunakan variabel pendukung seperti populasi, kepadatan penduduk suatu negara, atau pertumbuhan penduduk (growth of population), rasio keterbukaan perdagangan (trade openness ratio), konsumsi energi (energy consumption), dan penanaman modal asing (foreign direct investment).
3.4 Hasil penelitian pembuktian hipotesis EKC
Penelitian yang dilakukan untuk menguji hipotesis EKC memberikan hasil yang yang berbeda-beda. Hasil penelitian yang membuktikan adanya hipotesis EKC memperlihatkan adanya upaya negara yang bersangkutan untuk mengurangi dampak aktivitas ekonomi terhadap lingkungan. Namun, apabila tidak terbukti, maka hipotesis EKC dapat digunakan sebagai masukan dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan di negara tersebut.
Dalam pengujian hipotesis EKC terhadap 93 negara yang dikategorikan berdasarkan tingkat pendapatannya, Al-Mulali et al. (2014) menunjukkan bahwa hipotesis EKC terbukti pada negara dengan tingkat pendapatan menengah ke atas dan negara dengan tingkat pendapatan tinggi, tetapi tidak terbukti di negara berpendapatan rendah dan menengah ke bawah.
Hasil yang beragam pada berbagai penelitian menunjukkan bahwa kondisi dan karakteristik pembangunan negara tidak sama. Kondisi negara berkembang dengan negara maju adalah yang paling jelas perbedaannya. Pada negara berkembang, dengan tingkat pendapatan menengah ke bawah dan tingkat pendapatan rendah, pertumbuhan ekonomi sedang dalam tahap permulaan, sehingga kerusakan lingkungan akan meningkat. Di sisi lain, negara yang sudah maju, akan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi energi dan menciptakan energi terbarukan, sehingga kualitas lingkungan akan membaik. Dengan kata lain, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan akan membentuk kurva U-terbalik, sesuai dengan hipotesis EKC. Namun, pemanfaatan teknologi ini tidak mudah dilakukan oleh negara berkembang karena faktor biaya yang tinggi.
Hal ini menimbulkan ketidakadilan antara negara maju dan negara berkembang dalam kaitannya menjaga kualitas lingkungan, dikarenakan saat ini negara maju dan negara berkembang mengalami tahapan pembangunan yang berbeda. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kebijakan internasional yang mengimbau negara maju untuk membantu negara berkembang dalam menjaga kualitas lingkungan di negaranya, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan dunia.
4. KESIMPULAN
Hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan membentuk kurva U-terbalik. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas lingkungan akan menurun seiiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara, lalu sampai pada suatu titik tertentu kualitas lingkungan akan berangsur-angsur membaik.
Membaiknya kualitas lingkungan tidak terlepas dari kebijakan yang diambil oleh suatu negara. Negara tidak hanya fokus terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhatikan lingkungan dan kesejahteraan rakyatnya, seperti yang dituangkan dalam prinsip pembangunan berkelanjutan.
Selain kebijakan terhadap perlindungan lingkungan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam, perlu diterapkan pula kebijakan mengenai energi, misalnya tentang penggunaan energi terbarukan dan pemanfaatan energi secara efisien. Sebagai alternatif, dapat juga diterapkan kebijakan carbon tax yang bertujuan untuk mengurangi emisi CO2 sehingga industri dapat berinisiatif untuk menggunakan green technology dan menerapkan prinsip produksi bersih.
5. DAFTAR PUSTAKA
Akpan, U. F., & Chuku, A. (2011). Economic Growth and Environmental Degradation in Nigeria: Beyond The Environmental Kuznets Curve. Munich Personal RePEc Archive Paper, (31241).
Al-mulali, U., Saboori, B., & Ozturk, I. (2015). Investigating the environmental Kuznets curve hypothesis in Vietnam.
Energy Policy, 76, 123–131. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2014.11.019
Al-Mulali, U., Weng-Wai, C., Sheau-Ting, L., & Mohammed, A. H. (2014). Investigating the environmental Kuznets curve (EKC) hypothesis by utilizing the ecological footprint as an indicator of environmental degradation. Ecological
Indicators, 48, 315–323. https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2014.08.029
Alam, M. M., Murad, M. W., Noman, A. H. M., & Ozturk, I. (2016). Relationships among carbon emissions, economic growth, energy consumption and population growth: Testing Environmental Kuznets Curve hypothesis for Brazil, China, India and Indonesia. Ecological Indicators, 70, 466–479. https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2016.06.043 Ariefianto, M. D. (2012). Ekonometrika; Esensi dan Aplikasi dengan Menggunakan Eviews. Jakarta: Erlangga.
Bölük, G., & Mert, M. (2015). The renewable energy, growth and environmental Kuznets curve in Turkey: An ARDL approach. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 52, 587–595. https://doi.org/10.1016/j.rser.2015.07.138 Grossman, G. M., & Krueger, A. B. (1991). Environmental Impacts of a North American Free Trade Agreement. National
Bureau of Economic Research Working Paper Series, No. 3914(3914), 1–57. https://doi.org/10.3386/w3914
Hopwood, B., Mellor, M., & O brien, G. (2005). Sustainable development: mapping different approaches. Sustainable
Development, 13, 38–52.
Hopwood, B., O brien, G., & Giddings, B. (2002). Environmnent, economy and society: Fitting them together into sustainable development. Sustainable Development, 10, 187--196. https://doi.org/10.1002/sd.199
Jalil, A., & Mahmud, S. F. (2009). Environment Kuznets curve for CO 2 e issio s : A coi tegratio a alysis for Chi a.
Energy Policy, 37(12), 5167–5172. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2009.07.044
Koop, G., & Tole, L. (1999). Is there an environmental Kuznets curve for deforestation? Journal of Development
Economics, 58(1), 231–244. https://doi.org/10.1016/S0304-3878(98)00110-2
Kuznets, S. (1955). Economic growth and income inequality. The American Economic Review, 45(1), 1–28. https://doi.org/10.2307/2118443
Panayotou, T. (1993). Empirical tests and policy analysis of environmental degradation at different stages of economic
development. ILO Working Papers. Retrieved from http://ideas.repec.org/p/ilo/ilowps/292778.html
Paudel, K. P., Zapata, H., & Susanto, D. (2005). An Empirical Test of Environmental Kuznets Curve for Water Pollution.
Environmental & Resources Economics, 31, 325–348. https://doi.org/10.1007/s10640-005-1544-5
Shahbaz, M., Dube, S., Ozturk, I., & Jalil, A. (2015). Testing the Environmental Kuznets Curve Hypothesis in Portugal.
International Journal of Energy Economics and Policy, 5(2), 475–481.
So g, T., Zhe g, T., & To g, L. 2008 . A e pirical test of the e viro e tal Kuz ets curve i Chi a : A pa el cointegration approach. China Economic Review, 19, 381–392. https://doi.org/10.1016/j.chieco.2007.10.001 Waslekar, S. S. (2014). World Environmental Kuznets Curve and The Global Future. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 133, 310–319. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.04.197
World Resources Institute. (2015). Infographic: What Do Your Country s Emissions Look Like? | World Resources Institute. Retrieved November 6, 2016, from http://www.wri.org/blog/2015/06/infographic-what-do-your-countrys-emissions-look
TANYA JAWAB
1. Octianne Dj (Poltek STT Bandung)
Variabel apa yang paling berpengaruh terhadap kualitas lingkungan dalam kaitannya dengan hipotesis EKC? Jawaban :
Untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh, maka data-data harus dianalisis lebih dahulu. Karena pada kajian ini belum ada proses analisis data, maka saat ini belum bisa diketahui variabel apa yang paling berpengaruh. Variabel yang paling berpengaruh terhadap kualitas lingkungan, tentunya akan tergantung dengan kondisi negara yang bersangkutan serta kombinasi variabel yang digunakan dalam pemodelan ekonometrikanya.
2. Erwin B (Undip)
Lingkup penelitian apakah dilakukan secara nasional atau provinsi? Rekomendasinya dalam bentuk saran kebijakan secara umum atau termasuk juga evaluasi thd kebijakan carbon tax
Jawaban :
Lingkup penelitian dilakukan secara nasional karena faktor ketersediaan data. Rekomendasi penelitian berupa kebijakan pembangunan secara umum dan rekomendasi ini tentunya tergantung dari hasil penelitian, apakah hipotesis ini terbukti atau tidak