• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi permasalahan perilaku swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Identifikasi permasalahan perilaku swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 - USD Repository"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENYAKIT ASMA OLEH IBU-IBU DI KOTA YOGYAKARTA DAN

KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2007

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Limdrawati NIM : 048114005

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

“Ingin disembuhkan adalah bagian dari kesembuhan itu sendiri”.

Lucius Annaeus Seneca

Kupersembahkan Karya Kecilku ini

untuk:

Keluargaku tercinta : Papa, Mama,

Adikku Julius, Lia, Devi, Danel,

Aloysius

Edi Kurniawan yang ku kasihi

(5)
(6)
(7)

PRAKATA

Skripsi ini berisi identifikasi permasalahan perilaku swamedikasi

penyakit asma oleh ibu-ibu di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.

Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari anugerah dan berkat dari

Tuhan Yang Maha Esa dan dukungan dari berbagai pihak yang sangat membantu

penulis dalam menyusun skripsi. Terima kasih yang setulus-tulusnya penulis

ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan skripsi ini,

diantaranya:

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah memberikan saran dan kritik yang

membangun serta bersedia meluangkan waktu sebagai dosen penguji.

2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing penulis dalam

penyelesaian skripsi ini. Motivasi, harapan, nasihat dan ilmu yang telah

diberikan menjadi seperti aliran listrik yang selalu menyala: memberikan

terang dan respon positive untuk selalu “sadar”. Ide-ide dan pemikiran

mendalam yang telah di-sharing-kan semakin menyegarkan dan membuka

cakrawala berfikir yang semakin kompleks.

3. Bapak dr. Harimat Hendarwan, M.Kes. yang telah memberikan

bimbingan selama penyusunan skripsi serta bersedia meluangkan waktu

untuk berdiskusi.

4. Bapak Drs. Mulyono, Apt. yang telah memberikan saran dan kritik yang

(8)

5. Program Hibah A3 yang menyelenggarakan proyek penelitian payung.

6. Romo Sunu yang telah memberi semangat dan membantu dalam

pemecahan masalah yang sedang dialami.

7. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt yang selalu memberi semangat dan

motivasi untuk tetap semangat.

8. Ibu Titien dan Ibu Sri Hidayati yang telah memberikan bekal keterampilan

untuk melakukan wawancara dan berkomunikasi yang baik.

9. Br. Agus Mujiyo yang selalu memberiku nasehat dan doa serta saran

dalam menghadapi permasalahan yang muncul dalam berinteraksi dengan

banyak orang.

10. Teman-teman yang berpayung bersama dalam penelitian ini: Yoanna Rissa

Mayasari, Henny Puspitasari, Yosephine Marreta, Fandy Kurniawan,

Alexander Arie, Kartikasari, Ana yang mengalami dan merasakan

asyiknya bekerja sama dalam mewujudkan penelitian ini.

11. Para responden yang telah memberikan bantuan yang sangat berharga

selama pelaksanaan penelitian.

12. Keluarga tercinta: papa, mama, adik-adikku (Julius, Prasilya, Devi,

Danel), akong dan ama, serta semua anggota keluarga besar dari pihak

mama dan papa, terima kasih sekali atas semua doa dan support-nya.

13. Edi Kurniawan yang selalu memberiku semangat, nasehat, cinta kasih,

perhatian, dan selalu membimbingku disaat putus asa, serta selalu

(9)

14. Rosa, Dian Kurniasari (DK), Silvia, Dessy, Ineke, Cicilia, Meidina, Reni

Ismiyati, Filana, Stefani Yuanita, Cin Frengky Cuwondo, Fhery Catur,

Erlin, Amanda, Novi, Lusi Lahrita, Simon, Candra, Yanti Yap

teman-teman angkatan 2004 kelas FKK serta secara khusus kelompok praktikum

A.

15. Penghuni rumah 99999: Bapak dan Ibu Sakijan, Mas Arya, Mbak Ida,

Mbak Kusuma, serta anak-anak semua antara lain Fenny, Meri, Juliana,

Emilia, Debora Sibala, Cordelia, Vivi, Wewen, Lise, Grace, Okta Reni,

Deasy, Lina, Maria, Diana, Tika, Mami Mona, Hani, Nana dan Cicilia

Nina.

16. Penghuni Srigunting No.15: Lidya Yulita (Ling-ling), Amei , Ani, Tika,

Pisca, Desy Natalia (Cacam), Monita, Adhi Kurniawan, Cita atas

keceriaan, semangat dan nasehat.

17. Teman-teman kost Villa Orange: Teddy, Juvendi, Suryanto, Hengki,

Welly, Daniel, Sudarso, William yang telah memberikan bantuan dan

saran untuk penelitian ini.

18. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan

satu persatu.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat seluas-luasnya bagi

para pengguna.Akhir kata, sebagai suatu tulisan, niscaya skripsi ini akan ada

(10)

karena itu kritik dan saran akan sangat bermanfaat untuk perbaikan bagi penulis.

Tuhan memberkati!

Yogyakarta, 25 Januari 2008

(11)

INTISARI

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada saluran pernafasan. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 300 juta penduduk dunia menderita asma. Asma menyebabkan gangguan aktivitas bahkan sampai kematian pada penderitanya. Menurut Informasi Spesialite Obat Indonesia (2006) ada 135 obat asma yang dijual bebas. Berdasarkan suatu penelitian terdapat 48% penggunaan obat bebas untuk mengatasi asma, sehingga perlu diketahui seperti apakah karakteristik pelaku swamedikasi serta apakah permasalahan yang terjadi dalam swamedikasi penyakit asma.

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat modul edukasi yang sesuai kebutuhan untuk meningkatkan kesesuaian pengobatan yang rasional. Teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara pada 38 responden (ibu-ibu) yang didapatkan secara accidental sampling method di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental deskriptif dengan rancangan crosssectional.

Sebesar 26,31% responden berada pada rentang umur 46-50 tahun, menempuh tingkat pendidikan SLTA (31,6%), 66% responden berpenghasilan kurang dari Rp 1.500.000,00, serta 50% responden mempunyai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Permasalahan yang terjadi meliputi, tidak menyadari kerugian dalam swamedikasi (34%), tidak mengetahui jenis asma (90%), pertimbangan memilih obat (61%), tidak mendapatkan informasi obat (92%).

(12)

ABSTRACT

Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways. The World Health Organization (WHO) estimates that there are 300 millions of people in the world who suffer from asthma. Asthma causes the disfunction of the activity even death to the sufferer. According to Informasi Spesialite Obat Indonesia (2006) there are 135 asthma’s medicine sold freely in the market. According to a research, there are 48% of free medicine use to heal asthma, so we need to know what kind of the characteristic of swamedicationer and what’s the problem that happen is asthma’s swamedication.

The aim of this research is to make education modul as needed to increase the rational medication appropriateness. The data taking technic is being done by interviewing 38 respondents (housewife) that is being achieved with accidental sampling method in Yogyakarta and Kulon Progo. This research includes the non- experimental descriptive research with cross sectional design.

The 26,31% of respondents are between the range of age in 46-50 years old, had taken Senior High School education level, 66% of respondents gain money less than Rp 1.500.000 and 50% of respondents profession is a housewife. The problems occur include, the unawareness of disadvantage in swamedication 34%, not knowing the type of asthma 90%, consideration in choosing the medicine 61%, do not get the information about medicine 92%.

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

PRAKATA ... vi

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

SINGKATAN DAN ISTILAH... xix

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 5

C. Keaslian Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian... 6

(14)

BAB II PENELAHAN PUSTAKA ... 8

A. Swamedikasi .... .... ... 8

1. Definisi... 8

2. Perilaku Swamedikasi... 8

3. Keuntungan dan Kerugian ... 10

4. Golongan Obat Untuk Swamedikasi... 12

5. Pemilihan dan Penggunaan Obat Tanpa Resep... 14

6. Peran Apoteker dalam Pengobatan Sendiri... 14

7. Pengobatan yang Rasional ... 15

8. Upaya Peningkatan Kerasionalan Perilaku Swamedikasi ... 16

9. Algoritma Perawatan Sendiri ... 18

B. Sistem Pernapasan... 19

C. Asma ... 21

1. Definisi ... 21

2. Etiologi... 22

3. Patofisiologi... 23

4. Tanda dan Gejala... 24

5. Klasifikasi... 25

6. Penatalaksanaan Asma... 25

D. Perilaku Swamedikasi ... 31

1. Pengetahuan ... 32

2. Sikap ... 33

(15)

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 34

B. Definisi Operasional ... 34

C. Populasi Penelitian... 35

D. Lokasi Penelitian... 35

E. Besar Sampel... 36

F. Subyek Penelitian ... 36

G. Waktu Penelitian ... ... 36

H. Instrumen Penelitian ... ... 36

I. Tata Cara Penelitian ... ... 37

1. Analisis Situasi... 37

2. Pembuatan Instrumen Penelitian... 38

3. Pengumpulan Data... 39

J. Tata Cara Analisis Hasil ... 39

K. Kesulitan Penelitian ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Karakteristik Responden ... 41

B. Pola Perilaku Swamedikasi Penyakit Asma... 44

C. Identifikasi Permasalahan Swamedikasi Penyakit Asma... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN ... 70

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi ··· 10

Tabel II. Klasifikasi Asma ··· 25

Tabel III. Profil Pertanyaan Pedoman Wawancara ··· 37

Tabel IV. Tindakan yang dilakukan bila sakit ringan...44

Tabel V. Pendapat tentang Swamedikasi...45

Tabel VI. Swamedikasi untuk anggota keluarga ··· 46

Tabel VII. Keuntungan Swamedikasi...47

Tabel VIII. Kerugian Swamedikasi... 47

Tabel IX. Penyebab Asma. ··· 49

Tabel X. Tanda dan Gejala Asma ··· 50

Tabel XI. Lama Menderita Asma··· 50

Tabel XII. Golongan obat untuk swamedikasi··· 51

Tabel XIII. Obat yang digunakan dalam swamedikasi ··· 52

Tabel XIV. Informasi obat asma yang ingin diketahui responden··· 53

Tabel XV. Tempat Membeli Obat··· 54

Tabel XVI. Permasalahan tentang pemahaman responden mengenai swamedikasi penyakit asma ··· 54

Tabel XVII. Permasalahan Pengenalan Penyakit Asma ··· 56

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar1. Langkah-langkah pengembangan intervensi··· 17

Gambar 2. Langkah-langkah pengembangan intervensi ··· 17

Gambar3. Algoritma Perawatan sendiri Penyakit Asma di Rumah ··· 18

Gambar 4. Sistem Pernapasan ··· 21

Gambar 5. Bronkus normal dan bronkus pada penderita asma ··· 22

Gambar 6. Patofisiologi asma ··· 24

Gambar 11. Umur Responden ··· 41

Gambar 12. Tingkat Pendidikan Responden ··· 42

Gambar 13. Pendapatan Responden...42

Gambar 14. Pekerjaan Responden ··· 43

Gambar 15. Frekuensi melakukan swamedikasi··· 46

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Karakteristik Responden ··· 70

Lampiran 2. Pedoman Wawancara ··· 73

Lampiran 3. Data Wawancara··· 77

(19)

SINGKATAN DAN ISTILAH

BHR : Bronkial Hiperresponsive

DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta

FEV1 : Forced Expiratory Volume

FIP : Federation International Pharmaceutical

GINA : Global Initiative for Nation Asthma

IRT : Ibu Rumah Tangga

ISAAC : International Study on Asthma and Allergy in Children

MDI : Metered Dose Inhaler

NAEPP : National Asthma Education and Prevention Program

NSAID : Non Steroid Anti Inflamasi Drug

OTC : Over The Counter

OTR : Obat tanpa resep

OWA : Obat Wajib Apotek

PEF : Peak Expiratory Flow

SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

Susenas : Survei sosial ekonomi nasional

Swamedikasi : pengobatan sendiri

WHO : World Health Organization

(20)

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk

obat tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat

dikenali sendiri dan untuk beberapa kondisi kronis yang sudah pernah didiagnosa

oleh dokter (Anonim, 1998).

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan oleh

Departemen Kesehatan RI tahun 1993 menunjukkan beberapa tindakan yang

dilakukan untuk menghadapi penyakit yaitu sebanyak 5% “membiarkan”, 5%

“diobati dengan cara sendiri, 9% “diobati dengan obat tradisional atau jamu”,

63% “memakai obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter”, dan 18% “pergi

ke Puskesmas” (DepKes, 1993). Survei di Amerika Serikat yang menunjukkan

bahwa dalam waktu satu tahun, sebanyak 75% penduduk mengalami gejala atau

merasa menderita sakit. Dari jumlah tersebut, diketahui sebanyak 65%

“mengobati sendiri menggunakan obat bebas”, 25% “pergi ke dokter”, dan 10%

“tidak berbuat apa-apa” (Sartono, 1993). Data hasil survei di atas menunjukkan

tindakan swamedikasi atau mengobati diri sendiri cukup tinggi.

Tindakan swamedikasi (self medication) mempunyai kecenderungan untuk

meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi

Nasional (Susenas) tahun 2001 diperoleh bahwa 77,3% penduduk sakit di

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan swamedikasi sebagai tindakan

(21)

Beberapa faktor yang berperan dalam peningkatan swamedikasi tersebut,

yaitu: pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta

pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit

ringan yang mampu dikenali sendiri, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan

obat-obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR/Obat Tanpa Resep

(OTC/Over The Counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit

ringan atau gejala yang muncul, serta diterimanya pengobatan tradisional sebagai

bagian dari sistem kesehatan (Anonim, 1998).

Suatu penelitian oleh Consumers Healthcare Products Association di

Amerika Serikat menunjukkan populasi wanita dewasa lebih banyak daripada pria

dalam melakukan pengobatan sendiri dan persentase tersebut semakin bertambah

pada wanita dengan semakin bertambahnya umur. Sebanyak 66% wanita saling

memberikan motivasi diantara mereka untuk memahami persoalan kesehatan dan

masalah pengobatannya, hal ini ditemukan pada kelompok pria hanya sebesar

58%. Sebanyak 82% wanita dan 71% pria mengakui menggunakan OTR untuk

mengobati penyakit ringan yang sering mereka alami (Anonim, 2001).

Berdasarkan beberapa penelitian wanita lebih sering memperhatikan kesehatan

dan melakukan swamedikasi, oleh karena itu subyek dalam penelitian ini adalah

ibu-ibu.

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang

dikarakteristikkan dengan peristiwa penyempitan dan obstruksi saluran napas

yang dipicu oleh berbagai sebab. Asma menimbulkan gangguan kualitas hidup

(22)

terasa sesak, masing-masing dari ringan sampai yang mengancam kehidupan

(Kelly dan Sorkness, 2005).

Suatu laporan dari delapan negara Asia-Pasifik yang dilaporkan dalam

Journal of Allergy and Clinical Immunology tahun 2003 menunjukkan, asma

mengganggu kualitas hidup. Dari 3.207 kasus yang diteliti, dampak asma

terhadap kualitas hidup yang terganggu ditunjukkan dari keterbatasan dalam

berekreasi atau olahraga 52,7%, aktivitas fisik 44,1%, pemilihan karier 37,9%,

aktivitas sosial 38%, cara hidup 37,1%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%.

Absen dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami oleh

36,5% anak dan 26,5% orang dewasa seperti gejala-gejala batuk, termasuk batuk

malam dalam sebulan terakhir pada 44-51%, bahkan 28,3% penderita mengaku

terganggu tidurnya paling tidak sekali dalam seminggu (Sundaru, 2004).

Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 300 juta penduduk dunia

menderita asma. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai

180.000 orang setiap tahun. Kondisi ini tidak hanya terjadi di negara berkembang,

tapi juga di negara maju. Prevalensi penyakit ini pun semakin meningkat dari

tahun ke tahun. Di Indonesia, prevalensi gejala asma melonjak dari 4,2% menjadi

5,4%. Jakarta sendiri memiliki prevalensi gejala asma mencapai 7,5% (Stevani,

2007).

Di Indonesia, penelitian pada anak sekolah umur 13-14 tahun dengan

menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in

(23)

meningkat tahun 2003 menjadi 5,2%. Kenaikan ini tentu saja perlu upaya

pencegahan agar prevalensi asma tetap rendah.

Persoalan asma harus ditangani secara serius karena merupakan penyakit

inflamasi kronik saluran napas yang merupakan salah satu penyebab kematian

dan mengurangi produktivitas penyandangnya. Dengan obat dan cara pengelolaan

yang baik, seharusnya asma bukan masalah lagi di Indonesia (Anonim, 2005).

Obat-obatan yang dapat digunakan untuk swamedikasi ada ribuan jenis

dengan berbagai fungsi beredar di pasaran. Menurut Informasi Spesialite Obat

Indonesia (2006) ada 135 obat asma yang dijual bebas. Hasil penelitian Pretet

(1989) di Perancis terdapat 48% penggunaan obat tanpa resep untuk mengobati

penyakit asma yang sedang diderita. Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan

yang sangat tinggi. Salah memilih obat, tentu bisa bahaya (Anonim, 2002).

Permasalahan seputar swamedikasi relatif banyak yang tidak muncul ke

permukaan karena sesuai dengan konsep swamedikasi bahwa tindakan

pengobatan dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa intervensi dan pengawasan

dari tenaga kesehatan. Obat-obat yang digunakan untuk swamedikasi pun

merupakan obat tanpa resep yang dapat diperoleh di warung-warung biasa dan

tidak harus di apotek.

Hasil penelitian tentang swamedikasi yang pernah dilakukan pada

vaginitis di Kota Yogyakarta tahun 2006 (Widayati, 2006) menunjukkan bahwa

terdapat 71% ketidaksesuaian dalam aspek pengenalan penyakit dan 33%

ketidaksesuaian dalam pemilihan obatnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas

(24)

masalah-masalah yang terkait dengan swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu

khususnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.

1. Perumusan Masalah

a. Seperti apa karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit asma di

Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo ?

b. Seperti apa pola perilaku swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu di Kota

Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo ?

c. Apa saja permasalahan yang timbul dalam swamedikasi penyakit asma

oleh ibu-ibu di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai swamedikasi penyakit asma di Kota Yogyakarta dan

Kabupaten Kulon Progo selama ini belum pernah dilakukan, penelitian mengenai

penyakit asma yang pernah dilakukan antara lain, oleh Anitawati (1996),

mengenai “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial Untuk Pasien Rawat Inap di

Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari Selama Tahun 1998”, Kusuma (1998),

mengenai “Kajian Pola Peresepan Obat Asma yang Diberikan pada Pasien Asma

Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2002”,

Nugraha (2002) “Pola Peresepan Obat Penyakit Asma Bronkial pada Pasien

Pediatri di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun

2006”, Chinthia (2002), mengenai “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial

Pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun

1999-2001”, Gibson (2002) mengenai “ Kajian Peresepan Pasien Dewasa Asma

(25)

Yogyakarta Tahun 2000”. Semua penelitian yang pernah dilakukan adalah

mengevaluasi resep yang diberikan kepada pasien, penelitian yang di lakukan

sekarang ini, ingin mengetahui permasalahan yang terjadi dalam melakukan

swamedikasi penyakit asma.

3. Manfaat Penelitian a) Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu kefarmasian khususnya

tentang swamedikasi, serta dapat membantu masyarakat dalam mengobati atau

menangani penyakit asma, sehingga dapat terwujud pengobatan sendiri yang

tepat dan rasional.

b) Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai baseline dalam pengembangan

modul edukasi bagi masyarakat untuk peningkatan kesesuaian swamedikasi

penyakit asma.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui pola perilaku swamedikasi dan permasalahan yang terjadi

dalam swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu di Kota Yogyakarta dan

Kabupaten Kulon Progo sehingga dapat dibuat modul edukasi yang sesuai

kebutuhan dalam peningkatan swamedikasi penyakit asma oleh masyarakat Kota

(26)

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit asma di Kota

Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.

b. Mengetahui pola perilaku swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu di Kota

Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.

c. Mengetahui permasalahan yang timbul dalam swamedikasi penyakit asma di

(27)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Swamedikasi (self-medication)

1. Definisi

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1998, swamedikasi

adalah pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk obat tradisional) oleh

individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri dan

untuk beberapa kondisi kronis yang sudah pernah didiagnosa oleh dokter. Sesuai

dengan pernyataan bersama antara World Self-Medication Industry (WSMI) dan

Federation International Pharmaceutical (FIP), self-medication atau

swamedikasi didefinisikan sebagai penggunaan obat tanpa resep dokter oleh

masyarakat atas inisiatif sendiri (Anonim, 1999). Beberapa pustaka menyebutkan

definisi swamedikasi yang berbeda-beda, tetapi yang sering dipakai secara luas

adalah pengobatan menggunakan obat tanpa resep.

2. Perilaku Swamedikasi

Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tingkat

pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam mengatasi

masalah kesehatan (doctor minded), demografi dan epidemiologi, ketersediaan

pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial

ekonomi (Holt and Hall, 1990).

Covington (2000), menjelaskan bahwa faktor keyakinan dan sikap,

karakteristik demografi, status ekonomi, dan pendidikan atau pengetahuan

(28)

Faktor keyakinan dan sikap meliputi penghargaan terhadap nilai

kesehatan, motivasi dan tanggung jawab untuk mempelajari penyakit yang

diderita dan perawatannya, persepsi tingkat keseriusan penyakit, kecenderungan

dipengaruhi oleh orang lain. Karakteristik demografi meliputi usia, jumlah

keluarga, jenis kelamin dan status sosial ekonomi. Faktor ekonomi meliputi status

ekonomi seseorang, biaya perawatan kesehatan (baik produk maupun pelayanan),

kemudahan untuk mendapatkan produk kesehatan, dan ketersediaan produk

maupun pelayanan. Faktor pendidikan terutama tingkat pendidikan

mempengaruhi pengetahuan dasar seseorang mengenai kondisi kesehatan yang

diderita dan pengobatannya, kemampuan untuk menginterpretasikan informasi

kesehatan, tersedianya informasi yang berguna dari tenaga kesehatan maupun dari

media informasi.

Perilaku swamedikasi ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data

dari Consumers Healthcare Products Association di Amerika tahun 2002

menunjukkan peningkatan penjualan obat tanpa resep dari tahun 1970-2000

(Anonim, 2002). Suatu survei yang pernah dilakukan di Amerika Serikat

menyebutkan bahwa terjadi peningkatan perilaku swamedikasi di kalangan

masyarakat dengan beberapa parameter yaitu: 1) tingkat kepuasan konsumen

terhadap keputusan mereka sendiri dalam mengatasi masalah kesehatannya, 2)

kecenderungan melakukan swamedikasi dengan obat tanpa resep untuk mengatasi

simptom yang dirasakan dan penyakit ringan yang umum diderita, 3) keyakinan

bahwa obat tanpa resep aman digunakan apabila dipakai sesuai petunjuk, 4)

(29)

diubah menjadi tanpa resep, 5) kesadaran membaca label sebelum memilih dan

menggunakan obat tanpa resep, terutama mengenai aturan pakai dan cara pakai

serta efek samping obat (Pal, 2002). Penggunaan obat tanpa resep untuk

swamedikasi menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman, berkualitas

dan memberikan efikasi sesuai yang diharapkan (Holt and Hall, 1990).

3. Keuntungan dan Kerugian

Tabel I. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi

Obyek Keuntungan Kerugian

Kenyamanan dan kemudahan akses

Diagnosis tidak sesuai / tertunda

Tanpa biaya periksa / konsultasi

Pengobatan berlebihan / tidak sesuai

Hemat waktu Kebiasaan menggunakan OTR

Empowerment Adverse Drug Reaction

Ada indikasi yang tak terobati Pasien

Kenaikan biaya berobat Penurunan beban kerja Tidak dapat melakukan

monitoring terapi Farmasis Perannya akan lebih

dibutuhkan di Apotek

Adanya konflik kepentingan antara bisnis dan etika profesi

Pengambil kebijakan Menghemat biaya kesehatan masyarakat Industri Farmasi Meningkatkan profit

pada penjualan obat bebas

-

Swamedikasi untuk gejala atau penyakit ringan dirasakan oleh penderita

memberikan keuntungan, antara lain kepraktisan dan kemudahan melakukan

tindakan pengobatan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah (Rantucci, 1997).

(30)

swamedikasi terhadap penderita, dokter/pelayanan kesehatan, farmasis, pengambil

kebijakan dan industri farmasi dapat dilihat pada tabel I di atas (Sihvo, 2000).

Swamedikasi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan obat

tradisional dan obat tanpa resep yang beredar di masyarakat. Dasar pemilihan

obat tanpa resep untuk swamedikasi adalah pengalaman menggunakan obat

tertentu pada waktu yang lalu atau diberitahu orang lain baik orang tua, tetangga,

maupun teman. Dengan kemajuan yang pesat dalam bidang periklanan, baik

melalui media cetak (surat kabar, majalah, dan sebagainya) maupun media

elektronik (radio dan televisi), produsen obat dengan mudah memasarkan obatnya

sehingga mempermudah konsumen dalam memilih obat bebas.

Dalam menggunakan obat yang dijual bebas ada beberapa masalah yang

harus dihadapi, yaitu: pertama, sebagian obat yang dijual bebas mengandung

campuran beberapa obat yang berkhasiat, sehingga harga obat menjadi mahal;

kedua, karena merupakan campuran beberapa obat berkhasiat maka satu macam

obat dinyatakan dapat digunakan untuk berbagai macam penyakit dan gejala

penyakit; ketiga, karena penggunaan yang bermacam-macam, maka petunjuk

penggunaannya menjadi tidak jelas; keempat, masyarakat menganggap bahwa

pengobatan mandiri cukup aman sehingga pada waktu memerlukan pertolongan

dokter sudah dalam keadaan terlambat; kelima, masyarakat percaya bahwa

pemerintah tidak akan mengizinkan penjualan bebas obat-obat yang merugikan

bagi kesehatan, pada obat-obat tertentu mempunyai efek samping yang dapat

merugikan bagi pengguna sehubungan dengan penyakit yang diderita (Sartono,

(31)

4. Golongan Obat Untuk Swamedikasi

Penggolongan obat di Indonesia terdiri dari 6 golongan yaitu: 1) obat

bebas, 2) obat bebas terbatas, 3) obat wajib apotek (OWA), 4) obat keras, 5)

psikotropika, dan 6) narkotika (Anonim, 1996b). Golongan obat yang dapat

diperoleh tanpa resep dokter adalah obat bebas, bebas terbatas dan OWA, khusus

untuk yang disebut terakhir adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep

dokter hanya oleh apoteker di apotek dan terbatas pada obat keras yang tercantum

dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Obat Wajib Apotek

(Anonim, 1996c).

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan

bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan

berdasarkan pengalaman (Anonim, 1990).

Golongan obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah obat bebas,

bebas terbatas dan OWA (Anonim, 1996c). Golongan obat bebas dapat diperoleh

secara bebas tanpa resep dokter, baik di apotek maupun di toko-toko atau warung.

Obat bebas terbatas juga dapat dibeli tanpa resep dokter, dengan syarat hanya

dalam jumlah yang telah ditentukan dan disertai tanda peringatan (Anonim, 1997).

Menurut SK Menteri Kesehatan RI nomor 6355/Dirjen/SK/1969, ada

enam macam tanda peringatan yang dicantumkan dalam kemasan obat bebas

terbatas sesuai dengan obatnya, yaitu:

1) P.No.1.Awas ! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya di dalam,

(32)

3) P.No.3.Awas ! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan,

4) P.No.4.Awas ! Obat keras. Hanya untuk dibakar,

5) P.No.5.Awas ! Obat keras. Tidak boleh ditelan,

6) P.No.6.Awas ! Obat keras. Obat wasir jangan ditelan.

Menurut SK Menteri Kesehatan R.I. Nomor 347/MENKES/SK/VII/1990,

obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada

pasien di apotek tanpa resep dokter. Dalam melayani pasien yang memerlukan

obat wajib apotek, apoteker diwajibkan untuk memenuhi ketentuan dan batasan

tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam obat wajib apotek yang

bersangkutan. Apoteker di apotek juga diwajibkan membuat catatan pasien serta

obat yang telah diserahkan dan memberikan informasi meliputi dosis dan aturan

pakainya, kontraindikasi, efek samping, dan hal lain yang perlu diperhatikan

pasien (Anonim, 1996).

Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter untuk swamedikasi harus

memenuhi kriteria, yaitu: 1) tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada

wanita hamil, anak di bawah umur 2 tahun dan orang tua di atas umur 65 tahun, 2)

pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada

kelanjutan penyakit, 3) penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat

khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, 4) penggunaannya diperlukan

untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia, 5) obat dimaksud memiliki

rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan

(33)

5. Pemilihan dan Penggunaan Obat Tanpa Resep

Pemilihan dan penggunaan obat-obat tanpa resep atau yang sering disebut

over the counter (OTC) yaitu obat yang tergolong obat bebas dan obat bebas

perlu memperhatikan; pertama, apakah obatnya masih baik atau tidak; kedua,

perhatikan tanggal kadaluarsa (jika ada), apakah sudah lewat atau belum, dan

yang terakhir adalah bacalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh pabrik

dengan baik dalam brosur atau selebaran yang disertakan yang berisi informasi

tentang: indikasi (petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan penyakit),

kontraindikasi (petunjuk kegunaan obat yang tidak diperbolehkan, karena

berlawanan dengan kondisi tubuh penderita), efek samping (efek yang timbul

yang tidak diinginkan karena dapat merugikan atau berbahaya bagi penderita),

dosis obatnya (besarnya obat yang boleh digunakan untuk orang dewasa atau

anak-anak berdasarkan berat badan dan umur anak), waktu kadaluarsa, cara

penyimpanan obat (misalnya harus disimpan di tempat dingin, diluar pengaruh

cahaya dan sebagainya), interaksi obat dengan obat lain yang digunakan dan

makanan yang dimakan (Nasution dan Lubis, 1993).

6. Peran Apoteker dalam Pengobatan Sendiri

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

922/MENKES/PER/X/1993 pasal 15 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam upaya

penggunaan obat yang benar oleh masyarakat, apoteker wajib memberikan

informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan

(34)

swamedikasi maka peran apoteker dalam pemberian informasi obat sangat

mendukung swamedikasi yang rasional.

Dalam pengobatan sendiri, apoteker berperan dalam hal pemberian

informasi, saran dan konseling. Peran ini dapat membantu masyarakat memilih

produk obat yang efektif dan aman. Apoteker yang bekerja di apotek tidak hanya

memberikan informasi obat, namun bisa pula membantu dalam

merekomendasikan obat apa yang sebaiknya dipilih untuk pasien. Apoteker tidak

hanya bertugas untuk menyediakan, menyiapkan dan menyerahkan obat saja,

namun harus menjamin bahwa obat yang diberikan, efektif, aman, dan bermutu

baik serta dengan kebutuhan pasien. Dalam pengobatan mandiri, apoteker juga

berperan dalam hal pemberian informasi penggunaan obat dengan tepat dan

menyarankan agar pasien patuh pada aturan pemakaian obat.

Apoteker sebagai garis depan dari pelayanan kesehatan berkewajiban

untuk membantu pasien dalam mengevaluasi kondisi kesehatannya. Sebagai

langkah awal apoteker dapat menyarankan salah satu diantaranya, tanpa

menggunakan obat apupun, perawatan sendiri atau menyarankan untuk pergi ke

dokter sesuai dengan kondisi yang dialami oleh penderita (Isetts & Brown, 2004).

7. Pengobatan yang Rasional

World Health Organization (WHO) merekomendasikan enam

langkah dalam pengobatan rasional, yaitu menentukan masalah pasien,

menetapkan tujuan pengobatan, memeriksa kerasionalan penggunaan obat yang

(35)

membuat resep, memberi informasi, instruksi dan hal-hal yang perlu diwaspadai

dan terakhir melakukan monitoring (Anonim, 1994).

Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari

berbagai segi. Selain pemborosan dari segi ekonomi, penggunaan obat yang tidak

rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya

meningkatnya efek samping obat, meningkatnya kegagalan pengobatan,

meningkatnya resistensi antimikroba, dan sebagainya. Dampak negatif ini tidak

secara langsung dapat dilihat (Anonim, 2000).

Untuk memenuhi syarat-syarat tersebut dapat dijelaskan beberapa hal

seperti ketepatan diagnosis, ketepatan pemilihan obat, ketepatan penilaian

terhadap kondisi pasien, ketepatan pemberian informasi, dan ketepatan dalam

tindak lanjut (Nasution dan Lubis, 1993).

8. Upaya Peningkatan Kerasionalan Perilaku Swamedikasi

Hubley (1993) membuat rancangan pengembangan intervensi yang

terdiri dari 4 tahapan. Tahapan pengembangan intervensi Hubley kemudian

digunakan oleh World Health Organization (2004) untuk meningkatkan perilaku

swamedikasi yang rasional oleh masyarakat. Peningkatan perilaku swamedikasi

yang rasional memerlukan suatu intervensi. Salah satu bentuk intervensi adalah

edukasi kepada masyarakat (consumer). Berikut ini adalah langkah-langkah

pengembangan intervensi menurut Hubley dan WHO yang digunakan untuk

memberikan edukasi kepada masyarakat sehingga dapat tercipta suatu edukasi

(36)

Gambar 1. Langkah-langkah pengembangan intervensi (Hubley, 1993 )

Step 1

Deskripsi pengunaan obat &

identifikasi permasalahan

Step 2

Prioritas permasalahan

Step 3

Analisis permasalahan & identifikasi solusi

Step 4

Memilih dan merancang

intervensi

Step 7

Monitoring & evaluasi intervensi

Memperbaiki intervensi

Step 6

Melaksanakan intervensi

Step 5

Pretes intervensi

(37)

9. Algoritma Perawatan Sendiri

Nilai keparahan

Ukur PEF : nilai < 50% menunjukkan eksaserbasi berat

Catat gejala dan tanda : derajat batuk, sesak napas, mengi dan sesak di dada berkorelasi dengan keparahan eksaserbasi. Penggunaan otot-otot perut untuk bernapas menunjukkan adanya eksaserbasi berat

Pengatasan awal

• Inhalasi agonis beta -2 aksi pendek

• Pengobatan dilakukan sampai 3 kali 2-4 semprot dengan MDI dengan interval 20 menit atau menggunakan nebulizer

Respon bagus Eksaserbasi ringan

PEF > 80% prediksi, tidak mengi atau napas tidak tersengal-sengal.

Respon terhadap β2- agonis bertahan sampai 4 jam

• Boleh teruskan β2- agonis setiap 3-4jam selama 24-48 jam

• Untuk pasien yang menggunakan kortikosteroid inhalasi, tingkatkan dosis dua kali selama 7-10 hari

Respon tidak sempurna Eksaserbasi sedang

PEF 50 %-80% terprediksi Mengi yang persisten dan napas tersengal-sengal Mengi yang nyata dan napas tersengal-sengal.

• Tambahkan kortikosteroid oral

• Ulangi β2- agonis segera

• Jika kondisi masih berat dan tidak

Bawa ke Bagian Gawat Darurat RS

Gambar 3. Algoritma Perawatan sendiri Penyakit Asma di rumah (Kelly dan Sorkness, 2005)

Keterangan :

PEF : Peak Expiratory Flow;

(38)

B. Sistem Pernapasan

Bernapas adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung

oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung

CO2 sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh (Ikawati, 2006).

Fungsi dari sistem pernapasan adalah untuk mengambil O2 yang kemudian

dibawa oleh darah ke seluruh tubuh untuk mengadakan pembakaran,

mengeluarkan CO2 hasil dari metabolisme. Sistem pernapasan terdiri dari hidung,

faring, laring, trakea, bronkus dan paru-paru (Gunawan, 2006).

a. Hidung

Merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang

dipisahkan oleh sekat septum nasi. Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir

yang memiliki banyak pembuluh darah dan terhubung dengan lapisan faring pada

semua sinus yang masuk ke dalam rongga hidung. Di dalamnya terdapat

bulu-bulu untuk menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka

nasalis inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi

untuk mengahangatkan udara (Gunawan, 2006).

b. Faring

Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan

makanan. Terdapat di bawah dasar pernapasan, di belakang rongga hidung, dan

mulut sebelah depan ruas tulang leher. Di bawah selaput lendir terdapat jaringan

(39)

c. Laring

Setelah melalui faring udara akan melalui laring. Laring terletak di depan

bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea di

bawahnya. Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian

epiglotitis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Sundaru, 2001).

d. Trakea

Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16-20 cincin yang

terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi untuk

mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh

selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk

mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan

(Gunawan, 2006).

e. Bronkus

Merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian

vertebra thorakalis IV dan V. Mempunyai struktur serupa dengan trakea dan

dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar dan lebih pendek

daripada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai 3 cabang. Bronkus

kiri terdiri dari 9-12 cincin dan mempunyai 2 cabang. Cabang bronkus yang lebih

kecil dinamakan bronkiolus, disini terdapat cincin dan terdapat gelembung paru

(40)

f. Paru-paru

Merupakan alat tubuh yang sebagian besar dari terdiri dari

gelembung-gelembung. Di sinilah tempat terjadinya pertukaran gas, O2 masuk ke dalam darah

dan CO2 dikeluarkan dari darah (Gunawan, 2006).

Gambar 4 . Sistem Pernapasan (Cohen & Wood, 2000) C. Asma

1. Definisi

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang

dikarakteristikkan dengan peristiwa penyempitan saluran napas dan obstruksi

(41)

tertahan, mengi, batuk, dan dada terasa sesak, masing-masing dari ringan sampai

yang mengancam kehidupan. Banyak elemen sel dan seluler yang berperan dalam

asma, termasuk sel mast, eosinofil, limfosit T, macrofag, neutrofil, dan sel epitelia

(William and Self, 2002).

Menurut Kelly dan Sorkness (2005) asma adalah peradangan kronik pada

saluran napas dimana banyak sel dan seluler berperan di dalamnya, khususnya

sel mast, eosinofil, limfosit T, macrofag, neutrofil, dan sel epitelia.

Gambar 5. Bronkus normal dan bronkus pada penderita asma (Adam, 2005) 2. Etiologi

Penyebab asma belum diketahui secara pasti. Asma merupakan penyakit kompleks dengan faktor genetik dan faktor lingkungan yang ikut berperan di dalam menyebabkan terjadinya asma. Faktor pemicu terjadinya asma, yaitu:

1. atopy ( hipersensitivitas),

2. zat allergen, misalnya : asap, debu, bulu binatang, serbuk sari, 3. obat-obat tertentu, misalnya : NSAID (ibuprofen, aspirin), 4. infeksi bakteri dan virus pada saluran pernapasan,

5. olahraga,

6. kelelahan dan stress, 7. lingkungan: cuaca dingin,

(42)

3. Patofisiologi

Karakteristik utama adalah kerusakan saluran napas, peradangan, dan

hiperesponsive bronkial (BHR). Perubahan yang lama dengan hipertropi otot

polos dan peningkatan sel goblet menyumbang menetapnya kerusakan saluran

napas yang ditunjuk sebagai remodel. Keterbatasan saluran napas pada penderita

asma dihubungkan dengan pengurangan diameter saluran napas yang merupakan

hasil dari kontraksi otot polos menyebabkan konstriksi bronkhiolus seperti

peradangan intraluminal, edema dan produksi mukus. Asma bronkial merupakan

penyakit inflamasi dimana ukuran diameter jalan napas menyempit secara kronis

akibat edema dan tidak stabil. Selama serangan pasien mengalami mengi dan

kesulitan bernapas akibat bronkospasme, edema mukosa dan pembentukan

mukus. Bronkial hiperresponsive (BHR) disebabkan oleh:

1. kontraksi otot polos (bronkokonstriksi),

2. hipersekresi mukus,

3. edema mukosa (William and Self, 2002).

Sel inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia

(histamin, leukotrien, platelet-activating factor, bradikinin), dan faktor

kemotaktik (sitokin dan kemotaxin) yang mendasari munculnya inflamasi saluran

napas pada penderita asma. Inflamasi terjadi apabila timbul hiperresponsive pada

saluran napas penderita asma, sehingga cenderung terjadi penyempitan saluran

napas yang diakibatkan oleh respon alergi, iritan, infeksi virus dan beban fisik.

Hal tersebut juga mengakibatkan edema, peningkatan produksi mukus, keluarnya

sel inflamasi pada saluran napas dan sel epitel mengalami kerusakan (Nelson,

(43)

4. desquamasi epitelia.

Gambar 6 . Patofisiologi asma (Kelly dan Sorkness, 2005)

Alergen yang berhubungan dengan lingkungan luar merusak permukaan

mukosa saluran napas dan ditangkap oleh antigen presenting cells (APCs) dimana

proses ini dipresentasikan ke sel T-helper (Th). Sel Th2 mengeluarkan sitokin

yang menyebabkan proliferasi sel B dan respon allergen-spesific Ig E.

Imunoglobulin E terikat melalui reseptor Fc sehingga sel mast menjadi peka.

Setelah sel mast menjadi peka, maka akan terbentuk cross-links surface-bound Ig

E yang menyebabkan peningkatan kalsium yang merangsang pengeluaran

mediator pre-formed yaitu seperti histamin, protease, mediator lipid seperti

leukotrien dan prostaglandin. Produk yang dibentuk itu merupakan gejala klinik

pada alergi. Sitokin yang dikeluarkan juga berasal dari degranulasi sel mast dan

inflamasi serta respon Ig E (Rahajoe dkk, 2004).

4. Tanda dan Gejala

Tanda-tanda awal sebelum munculnya serangan asma sifatnya sangat unik

(44)

suasana hati, pilek, gatal-gatal pada tenggorokan, merasa capai, dan susah tidur.

Gejala asma memberikan suatu indikasi bahwa serangan asma sedang terjadi,

gejala yang paling umum penderita mengalami mengi, batuk-batuk, napas pendek

dan dada terasa sesak (Hadibroto, 2005).

5. Klasifikasi

Menurut GINA (2006) klasifikasi asma yang relevan dan yang digunakan

sekarang , diklasifikasikan menjadi :

Tabel II. Klasifikasi Asma (Anonim, 2006) Karakteristik Terkontrol Terkontrol

sebagian

Tidak terkontrol

Gejala setiap hari Tidak ada (2 kali atau kurang dalam satu minggu)

Lebih dari 2 kali dalam seminggu

Keterbatasan aktivitas Tidak terjadi Kadang-kadang Nocturnal simptom Tidak terjadi Kadang-kadang Membutuhkan terapi

reliever

Tidak perlu (2 kali atau kurang dalam satu minggu)

Lebih dari 2 kali dalam seminggu

Fungsi paru (PEF atau FEV1)

Eksaserbasi Tidak ada Sekali / lebih

dalam setahun

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu juga, dilakukan untuk

menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi akut,

(45)

efek samping obat, mencegah terjadi keterbatasan aliran udara irreversibel serta

mencegah kematian karena asma (Mangunnegoro, 2006).

b. Sasaran Terapi

Sasaran dari penatalaksaan asma meliputi gejala asma, bronkokonstriksi,

peradangan saluran napas, obstruksi saluran napas oleh mukus serta frekuensi dan

keparahannya (William and Self, 2002).

c. Strategi Terapi

1. Terapi Non Farmakologis :

Edukasi pasien dan menghindari penyebab asma merupakan manajemen

strategi asma untuk setiap pasien. Edukasi pasien merupakan komponen penting

dalam strategi terapi asma. Kunci topik edukasi meliputi: pengetahuan dasar

tentang asma (termasuk mengenali simptom dan tindakan yang dilakukan jika

simptom berkembang), aturan pengobatan, cara penggunaan alat inhalasi yang

tepat, saran untuk menghindari alergen, kegunaan dari pengobatan sendiri, penting

juga untuk melibatkan keluarga pasien dalam edukasi ini karena keluarga pasien

juga ikut berperan serta dalam proses terapi pasien tersebut.

Penundaan terapi merupakan faktor utama yang menyebabkan tingginya

angka kematian akibat asma. Expert Panel Report 2 (EPR 2) merekomendasikan

untuk melakukan home monitoring dari Peak Expiratory Flow (PEF) pada pasien

asma yang persisten berat. Alat yang digunakan untuk PEF adalah Peak Flow

Meter. Pasien juga harus diajari cara menggunakan Peak Flow Meter yang benar

(46)

2. Terapi Farmakologis

Secara garis besar, terapi yang digunakan untuk mengobati asma

dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu:

a. Reliever

Obat golongan ini efektif untuk meringankan bronkokonstriksi akut dan

hanya untuk mengobati asma akut. Obat ini tidak memiliki efek dalam mencegah

serangan akut atau mencegah inflamasi yang panjang. Pengobatan ini hanya

digunakan saat terjadi serangan asma, dan tidak dapat digunakan secara terus

menerus (Wolf, 2004).

Obat golongan reliever bekerja sebagai bronkodilator dan mengurangi

simptom. Obat golongan ini terdiri dari inhalasi agonis β2 kerja cepat,

antikolinergik, teofilin kerja singkat dan oral agonis β2 kerja cepat (Anonim,

2006).

1). Inhalasi agonis β2 kerja cepat

Inhalasi agonis β2 kerja cepat merupakan obat pilihan untuk

menghilangkan bronkospasme selama serangan asma dan digunakan sebelum

melakukan latihan yang dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Contoh obat

golongan ini: salbutamol, terbutalin, fenoterol, reproterol dan pirbuterol.

Obat golongan ini hanya digunakan dalam dosis rendah dan sangat

dibutuhkan. Penambahan dosis, khususnya penggunaan setiap hari menunjukkan

keadaan asma tidak terkontrol dan memerlukan pengobatan yang baru. Efek

(47)

2). Antikolinergik

Antikolinergik termasuk bronkodilator, tetapi kerjanya tidak seefektif

agonis β2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk

mencapai efek maksimum. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan

asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi

dengan menurunkan tonus kolinergik vagal instrinsik, selain itu juga menghambat

refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan (Mangunnegoro, 2006).

Contoh obat golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium

bromide. Agar dapat mencapai efek bronkodilator maksimal maka disarankan

menggunakan kombinasi antikolinergik dan agonis β2 kerja cepat sebagai

bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang

kurang respon dengan agonis β2 kerja cepat saja. Efek samping obat ini berupa

rasa kering di mulut dan rasa pahit (Mangunnegoro, 2006).

3). Teofilin kerja singkat

Teofilin kerja singkat dapat mengurangi simptom asma. Obat ini potensial

menimbulkan efek samping, meskipun secara umum dapat dihindari dengan

penyesuaian dosis dan monitoring (Anonim, 2006).

4). Oral agonis β2 kerja cepat

Oral agonis β2 kerja cepat cocok digunakan untuk beberapa pasien yang

tidak dapat menggunakan inhalasi. Walaupun penggunaan obat ini memiliki efek

(48)

b. Controller

Obat golongan ini mengurangi inflamasi bronkhus dan memberikan

kontrol yang panjang terhadap asma dengan menurunkan frekuensi kekambuhan

(Wolf, 2004).

Controller merupakan obat yang digunakan setiap hari yang mempunyai

efek lama untuk mengontrol asma, utamanya memberikan efek antiinflamasi.

Obat golongan ini meliputi: glukokortikosteroid, antileukotrien, agonis β2 kerja

lama, kromolin (Anonim, 2006).

1). Glukokortikosteroid

a). Glukokortikosteroid inhalasi

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan anti inflamasi yang lebih efektif

dalam pengobatan asma persisten. Obat ini telah terbukti manfaatnya dalam

mengurangi simptom asma, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan fungsi

paru, menurunkan hiperresponsive jalan napas, mengontrol inflamasi, mengurangi

frekuensi dan keparahan dan mengurangi kematian karena asma (Anonim, 2006).

Contoh obat golongan ini adalah budesonid dan flutikason. Efek samping

obat ini termasuk oropharyngeal candidiasis, dysphonia, dan kadang-kadang

batuk karena iritasi saluran napas atas (Mangunnegoro, 2006).

b). Glukokortikosteroid sistemik

Merupakan anti inflamasi yang efektif untuk mengobati asma. Cara

kerjanya dalam mengobati asma terdiri dari meningkatkan jumlah reseptor β2

(49)

produksi dan hipersekresi mukus, menurunkan BHR serta mencegah terjadinya

airway remodeling (Kelly dan Sorkness, 2005).

Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah deksametason dan

prednisolon. Efek samping obat ini meliputi osteoporosis, arterial hipertensi,

diabetes, hipothalamicpituitary-adrenal axis suppression, obesitas, katarak,

glaukoma dan lemah otot (Anonim, 2006).

2). Antileukotrien

Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok

sintesis semua leukotrien atau memblok semua reseptor-reseptor pada sel target.

Keuntungan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga

mudah diberikan (Kelly dan Sorkness, 2005).

Obat-obat golongan antagonis reseptor leukotrien adalah montelukast,

pranlukast dan zafirlukast sedangakan contoh inhibitor lipoksigenase adalah

zilueton (NAEPP,1997). Efek samping obat ini antara lain gangguan

gastrointestinal, sakit kepala, demam, mialgia, reaksi alergi kulit, meningkatnya

enzim hati dan infeksi saluran nafas atas (BNF, 2003).

3). Agonis β2 kerja lama

Contoh obat golongan agonis β2 kerja lama adalah salmeterol dan

formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Seperti lazimnya agonis

β2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,

menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pengelepasan

(50)

4). Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium

belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan anti inflamasi

nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang

diperantarai Ig E yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel

inflamasi tertentu, selain menghambat saluran kalsium pada sel target. Kalsium

intrasel sangat diperlukan untuk degranulasi atau pelepasan histamin dan mediator

inflamasi lainnya dari sel mast. Terjadinya penghambatan masuknya kalsium

dalam sel dapat menstabilkan sel mast, sehingga tidak melepaskan mediator

inflamasi. Efek samping yang ditimbulkan obat ini minimal, umumya batuk

(Mangunnegoro, 2006 ).

D. Perilaku Swamedikasi

Perilaku manusia merupakan hasil refleksi dari berbagai gejala kejiwaan,

seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan

sebagainya (Notoadmojo, 1993). Perilaku merupakan respon dari seseorang

terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya dan perilaku

seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang obyek

tersebut, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 1997).

Perilaku kesehatan adalah segala bentuk pengalaman dan interaksi individu

dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan tentang

kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Proses

pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dari

(51)

Notoatmodjo (1993) membagi perilaku kesehatan menjadi 4 kelompok,

yaitu: 1) perilaku seseorang terhadap sehat dan penyakit, yang meliputi perilaku

sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion

behavior); perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior); perilaku

sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking behavior); perilaku

sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior), 2)

perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, 3) perilaku terhadap makanan

(nutrition behavior), 4) perilaku terhadap kesehatan lingkungan (enviromental

health behavior). Green (1980) menyebutkan bahwa perilaku terbentuk dari 3

faktor, yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin

(enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors). Hal ini berarti

terbentuknya perilaku kesehatan juga dipengaruhi keberadaan ketiga faktor

tersebut.

Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang

sangat luas. Benyamin Bloom seorang ahli psikologi membagi perilaku menjadi 3

kawasan. Pembagian ini terdiri dari ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah

psikomotor. Selanjutnya untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga

kawasan diukur dari pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan

(practice) atau praktek (Notoatmodjo, 1993).

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa

seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya.

(52)

terhadap segala hal yang diterima dari lingkungan melalui panca inderanya

(Dharmmesta dan Handoko, 2000).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang. Pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa

perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 1993).

2. Sikap

Sikap didefinisikan sebagai evaluasi perasaan emosional, dan

kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dari

seseorang terhadap beberapa obyek atau gagasan. Sikap dilakukan konsumen

berdasarkan pandangannya terhadap produk dan proses belajar baik dari

pengalaman maupun keadaan lainnya (Kotler, 1997).

3. Tindakan

Teori aksi yang juga dikenal sebagai teori bertindak ini pada mulanya

dikembangkan oleh Max Weber. Weber berpendapat bahwa individu melakukan

suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman, dan

penafsiran atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini

merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif yang

artinya penelitian menyuguhkan sedeskriptif mungkin fenomena yang ada, tanpa

menganalisa bagaimana dan mengapa fenomena tersebut terjadi. Rancangan

penelitian yang digunakan adalah cross sectional (studi potong lintang), yaitu :

merupakan penelitian yang pengukuran variabel (ciri) dilakukan satu kali dimana

terjadi hanya pada saat itu.

B. Definisi Operasional

1. Swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat (obat bebas, bebas

terbatas, OWA, termasuk obat tradisional) oleh responden untuk mengobati

penyakit asma, baik untuk diri sendiri maupun untuk anggota keluarga yang

menderita asma.

2. Asma adalah peradangan pada bronkus yang menyebabkan sesak napas serta

berbunyi (mengi). Asma yang dimaksudkan bukan asma :

a. yang diderita pasien pertama kali, dan belum didiagnosa dokter

b. yang menetap atau asma berat

c. yang diderita oleh pasien yang dirawat di rumah sakit atau menjalani

pengobatan di IGD

3. Responden adalah ibu-ibu yang berumur ≤ 60 tahun bertempat tinggal di

(54)

melakukan swamedikasi penyakit asma baik untuk diri sendiri maupun

keluarga.

4. Ibu-ibu adalah wanita yang pernah menikah dan tercantum dalam Kartu

Keluarga dan berstatus sebagai istri atau kepala keluarga.

5. Perilaku swamedikasi meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan responden

mengenai swamedikasi.

6. Permasalahan meliputi pemahaman responden mengenai swamedikasi,

pengenalan penyakit asma dan pemilihan serta penggunaan obat asma.

C. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu-ibu di Kota Yogyakarta dan

Kabupaten Kulon Progo yang pernah melakukan swamedikasi terhadap penyakit

asma.

D. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di 2 (dua) kabupaten/kota di Kota Yogyakarta dan

Kabupaten Kulon Progo. Pembatasan lokasi penelitian yang hanya dilakukan di 2

kabupaten/kota dari 5 kabupaten/kota yang ada di Propinsi DIY disebabkan oleh

adanya keterbatasan dana dan waktu untuk melakukan studi ini. Penelitian di Kota

Yogyakarta dilakukan di 8 RW, yaitu Demangan RW 2, Demangan RW 8, Baciro

RW 2, Baciro RW 8, Pakuncen RW 2 dan RW 8 serta Wirobrajan RW 2 dan RW

8. Di Kabupaten Kulon Progo dilakukan penelitian pada 8 dusun, yaitu Dusun

Sogan I dan Sogan II, Dusun Durungan, Dusun Beji, Dusun Ngangin-angin,

(55)

E. Besar Sampel

Penelitian ini di lakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo

yang ditetapkan secara purposif. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini

didapatkan dengan metode sampling accidental, yaitu sampel diperoleh saat

peneliti melakukan pengambilan data. Terdapat 38 responden yang menjadi

subyek penelitian dan bersedia diwawancarai. Data penelitian diperoleh dari 38

responden.

F. Subyek Penelitian

Kriteria inklusi subyek penelitian ini adalah ibu-ibu yang sehat jasmani

dan rohani, dapat berkomunikasi dengan lancar, berumur ≤ 60 tahun yang pernah

atau sering melakukan swamedikasi asma baik untuk dirinya sendiri maupun

untuk anggota keluarganya.

G. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober

2007. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juli sampai dengan September

2007.

H. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan berupa pedoman wawancara.

Pembuatan pedoman wawancara ditujukan untuk mengetahui dan menemukan

parmasalahan yang dihadapi responden dalam melakukan swamedikasi penyakit

asma. Pedoman wawancara telah dirancang untuk mengetahui pendapat responden

(56)

melihat kesesuaian pemilihan dan penggunaan obat untuk mengatasi penyakit

asma yang diderita beserta informasi dan cara penyimpanan obat.

Tabel III. Profil Pertanyaan Pedoman Wawancara

Pertanyaan Jumlah

Pendapat Responden tentang Swamedikasi 9

Kesesuaian Pengenalan Penyakit Asma 11

Kesesuaian Pemilihan Obat Asma serta Informasi dan Cara Penyimpanan Obat

19

I. Tata Cara Penelitian 1. Analisis Situasi

a. Studi Pustaka

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan penelusuran

pustaka mengenai permasalahan seputar swamedikasi penyakit asma, serta

pendalaman materi untuk menyiapkan kuesioner dan pedoman wawancara.

b. Penentuan dan Observasi Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo. Dipilih 2

kabupaten/kota sebagai lokasi penelitian dari 5 kabupaten/kota yang ada.

Observasi lokasi dilakukan untuk mengadakan persiapan sebelum langsung

mengadakan penelitian. Observasi dilakukan bersamaan dengan perkenalan

kepada beberapa perangkat pemerintahan di lokasi penelitian yang bersangkutan.

c. Pengurusan ijin Penelitian

Selama proses memperoleh data penduduk, juga disiapkan perijinan untuk

melakukan penelitian, permohonan perijinan diajukan kepada BAPPEDA, dan

kemudian kepada semua perangkat struktural pemerintahan pada daerah yang

(57)

2. Pembuatan Instrumen Penelitian

a. Pembuatan Pedoman Wawancara

Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan

swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu di 8 dusun, di 4 desa, di 2 kecamatan, di

Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta yaitu wawancara dengan alat ukur

yang disebut pedoman wawancara.

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti

ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus

diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang

lebih mendalam dan jumlah respondenya sedikit/kecil. Teknik pengumpulan data

ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau

setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi. Sutrisno Hadi

(1986) mengemukakan bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti dalam

menggunakan metode wawancara dan juga kuesioner adalah sebagai berikut :

1). bahwa subyek (responden) adalah orang yang paling tahu tentang dirinya

sendiri,

2). bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan

dapat dipercaya,

3). bahwa interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan peneliti.

b. Pengujian Validitas Pedoman Wawancara

Pengujian validitas pedoman wawancara bertujuan menilai apakah

(58)

validitas isi, yaitu: analisis rasional terhadap pertanyaan yang telah disusun yang

dilakukan oleh dosen pembimbing. Uji ini lebih dikenal dengan istilah

professional judgment.

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Wawancara

dilakukan oleh 2 orang di mana 1 orang sebagai pewawancara sedangkan yang

lain berperan sebagai raportur. Data yang didapat melalui wawancara ini bersifat

subyektif. Semua jawaban dianggap benar. Prosedur dan semua pertanyaan

tercantum pada transkrip wawancara. Data yang terkumpul adalah hasil

wawancara yang berupa tulisan yang dicatat oleh raportur sesuai hasil wawancara

dan telah dikonfirmasikan kembali kepada setiap responden.

J. Tata Cara Analisis Hasil

Analisis data dilakukan dengan menyederhanakan atau meringkas

kumpulan data yang memaparkan permasalahan yang dihadapi dalam

swamedikasi penyakit asma, menjadi suatu sumber informasi yang berguna.

Penyajian tersebut dapat diberikan dalam bentuk tabel atau juga grafik. Untuk

menjamin keakuratan data, maka dalam penelitian ini dilakukan beberapa

kegiatan:

1. Editing

Melakukan pemeriksaan wawancara hasil penelitian apakah sudah lengkap isi

jawabannya dan juga keakuratan datanya

2. Processing

(59)

3. Cleaning

Data yang sudah dimasukkan ke paket program komputer dicek/diperiksa kembali

kebenarannya.

Analisis data pada penelitian dilakukan secara univariat untuk

mengetahui gambaran deskriptif untuk variabel karakteristik individu (umur,

pendidikan, dan pekerjaan, pendapatan). Bentuk analisis berupa analisis distribusi

frekuensi, dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

K. Kesulitan Penelitian

Kesulitan dalam penelitian ini adalah kurangnya partisipasi dari

responden yang memenuhi kriteria inklusi, terbatasnya waktu dan tenaga peneliti

(60)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden 1. Karakteristik Demografi

Pengobatan sendiri sudah sangat umum dilakukan oleh masyarakat,

banyak faktor yang berpengaruh dalam melakukan pengobatan sendiri, berikut ini

akan dipaparkan mengenai demografi dari responden yang diamati melakukan

pengobatan sendiri. Demografi responden di karakteristikan menjadi umur,

tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan. Data demografi responden

merupakan data kategorik, oleh karena itu peringkasan data dilakukan dengan

menggunakan distribusi frekuensi dengan ukuran persentase.

a. Umur Responden

Umur responden sangat bervariasi, yakni antara 30 tahun sampai dengan

60 tahun. Responden tersebar hampir merata pada setiap lapisan umur, responden

yang terbesar sebanyak 26,31% berada pada rentang umur 46-50 tahun. Umur

merupakan faktor yang berpengaruh dalam perilaku kesehatan. Orang dengan

(61)

menangani masalah kesehatan sehingga akan mempengaruhi pencarian

Perguruan Tinggi SLTA SLTP SD Tidak Sekolah

Gambar 8. Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam pencarian pengobatan.

Responden yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah mendapatkan dan

menerima informasi tentang kesehatan serta dapat menangani masalah

kesehatannya dengan lebih baik karena informasi yang telah diterima.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden

meyandang pendidikan SLTA (31,6%), kemudian disusul Perguruan Tinggi

(23,7%), responden yang berpendidikan SLTP (18,4%), responden yang

berpendidikan SD (18,4%) dan responden yang tidak sekolah (7,9%).

c. Tingkat Pendapatan

Penghasilan Responden (n= 38)

66% 16%

13% 5%

Gambar

Gambar1. Langkah-langkah pengembangan  intervensi··························· 17
Tabel I. Keuntungan dan Kerugian  Peningkatan Perilaku Swamedikasi
Gambar 1. Langkah-langkah pengembangan intervensi (Hubley, 1993 )
Gambar 3. Algoritma Perawatan sendiri Penyakit Asma di rumah (Kelly dan
+7

Referensi

Dokumen terkait