IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENYAKIT ASMA OLEH IBU-IBU DI KOTA YOGYAKARTA DAN
KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2007
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Limdrawati NIM : 048114005
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
“Ingin disembuhkan adalah bagian dari kesembuhan itu sendiri”.
Lucius Annaeus Seneca
Kupersembahkan Karya Kecilku ini
untuk:
Keluargaku tercinta : Papa, Mama,
Adikku Julius, Lia, Devi, Danel,
Aloysius
Edi Kurniawan yang ku kasihi
PRAKATA
Skripsi ini berisi identifikasi permasalahan perilaku swamedikasi
penyakit asma oleh ibu-ibu di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.
Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari anugerah dan berkat dari
Tuhan Yang Maha Esa dan dukungan dari berbagai pihak yang sangat membantu
penulis dalam menyusun skripsi. Terima kasih yang setulus-tulusnya penulis
ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan skripsi ini,
diantaranya:
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah memberikan saran dan kritik yang
membangun serta bersedia meluangkan waktu sebagai dosen penguji.
2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing penulis dalam
penyelesaian skripsi ini. Motivasi, harapan, nasihat dan ilmu yang telah
diberikan menjadi seperti aliran listrik yang selalu menyala: memberikan
terang dan respon positive untuk selalu “sadar”. Ide-ide dan pemikiran
mendalam yang telah di-sharing-kan semakin menyegarkan dan membuka
cakrawala berfikir yang semakin kompleks.
3. Bapak dr. Harimat Hendarwan, M.Kes. yang telah memberikan
bimbingan selama penyusunan skripsi serta bersedia meluangkan waktu
untuk berdiskusi.
4. Bapak Drs. Mulyono, Apt. yang telah memberikan saran dan kritik yang
5. Program Hibah A3 yang menyelenggarakan proyek penelitian payung.
6. Romo Sunu yang telah memberi semangat dan membantu dalam
pemecahan masalah yang sedang dialami.
7. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt yang selalu memberi semangat dan
motivasi untuk tetap semangat.
8. Ibu Titien dan Ibu Sri Hidayati yang telah memberikan bekal keterampilan
untuk melakukan wawancara dan berkomunikasi yang baik.
9. Br. Agus Mujiyo yang selalu memberiku nasehat dan doa serta saran
dalam menghadapi permasalahan yang muncul dalam berinteraksi dengan
banyak orang.
10. Teman-teman yang berpayung bersama dalam penelitian ini: Yoanna Rissa
Mayasari, Henny Puspitasari, Yosephine Marreta, Fandy Kurniawan,
Alexander Arie, Kartikasari, Ana yang mengalami dan merasakan
asyiknya bekerja sama dalam mewujudkan penelitian ini.
11. Para responden yang telah memberikan bantuan yang sangat berharga
selama pelaksanaan penelitian.
12. Keluarga tercinta: papa, mama, adik-adikku (Julius, Prasilya, Devi,
Danel), akong dan ama, serta semua anggota keluarga besar dari pihak
mama dan papa, terima kasih sekali atas semua doa dan support-nya.
13. Edi Kurniawan yang selalu memberiku semangat, nasehat, cinta kasih,
perhatian, dan selalu membimbingku disaat putus asa, serta selalu
14. Rosa, Dian Kurniasari (DK), Silvia, Dessy, Ineke, Cicilia, Meidina, Reni
Ismiyati, Filana, Stefani Yuanita, Cin Frengky Cuwondo, Fhery Catur,
Erlin, Amanda, Novi, Lusi Lahrita, Simon, Candra, Yanti Yap
teman-teman angkatan 2004 kelas FKK serta secara khusus kelompok praktikum
A.
15. Penghuni rumah 99999: Bapak dan Ibu Sakijan, Mas Arya, Mbak Ida,
Mbak Kusuma, serta anak-anak semua antara lain Fenny, Meri, Juliana,
Emilia, Debora Sibala, Cordelia, Vivi, Wewen, Lise, Grace, Okta Reni,
Deasy, Lina, Maria, Diana, Tika, Mami Mona, Hani, Nana dan Cicilia
Nina.
16. Penghuni Srigunting No.15: Lidya Yulita (Ling-ling), Amei , Ani, Tika,
Pisca, Desy Natalia (Cacam), Monita, Adhi Kurniawan, Cita atas
keceriaan, semangat dan nasehat.
17. Teman-teman kost Villa Orange: Teddy, Juvendi, Suryanto, Hengki,
Welly, Daniel, Sudarso, William yang telah memberikan bantuan dan
saran untuk penelitian ini.
18. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat seluas-luasnya bagi
para pengguna.Akhir kata, sebagai suatu tulisan, niscaya skripsi ini akan ada
karena itu kritik dan saran akan sangat bermanfaat untuk perbaikan bagi penulis.
Tuhan memberkati!
Yogyakarta, 25 Januari 2008
INTISARI
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada saluran pernafasan. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 300 juta penduduk dunia menderita asma. Asma menyebabkan gangguan aktivitas bahkan sampai kematian pada penderitanya. Menurut Informasi Spesialite Obat Indonesia (2006) ada 135 obat asma yang dijual bebas. Berdasarkan suatu penelitian terdapat 48% penggunaan obat bebas untuk mengatasi asma, sehingga perlu diketahui seperti apakah karakteristik pelaku swamedikasi serta apakah permasalahan yang terjadi dalam swamedikasi penyakit asma.
Tujuan dari penelitian ini adalah membuat modul edukasi yang sesuai kebutuhan untuk meningkatkan kesesuaian pengobatan yang rasional. Teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara pada 38 responden (ibu-ibu) yang didapatkan secara accidental sampling method di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental deskriptif dengan rancangan crosssectional.
Sebesar 26,31% responden berada pada rentang umur 46-50 tahun, menempuh tingkat pendidikan SLTA (31,6%), 66% responden berpenghasilan kurang dari Rp 1.500.000,00, serta 50% responden mempunyai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Permasalahan yang terjadi meliputi, tidak menyadari kerugian dalam swamedikasi (34%), tidak mengetahui jenis asma (90%), pertimbangan memilih obat (61%), tidak mendapatkan informasi obat (92%).
ABSTRACT
Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways. The World Health Organization (WHO) estimates that there are 300 millions of people in the world who suffer from asthma. Asthma causes the disfunction of the activity even death to the sufferer. According to Informasi Spesialite Obat Indonesia (2006) there are 135 asthma’s medicine sold freely in the market. According to a research, there are 48% of free medicine use to heal asthma, so we need to know what kind of the characteristic of swamedicationer and what’s the problem that happen is asthma’s swamedication.
The aim of this research is to make education modul as needed to increase the rational medication appropriateness. The data taking technic is being done by interviewing 38 respondents (housewife) that is being achieved with accidental sampling method in Yogyakarta and Kulon Progo. This research includes the non- experimental descriptive research with cross sectional design.
The 26,31% of respondents are between the range of age in 46-50 years old, had taken Senior High School education level, 66% of respondents gain money less than Rp 1.500.000 and 50% of respondents profession is a housewife. The problems occur include, the unawareness of disadvantage in swamedication 34%, not knowing the type of asthma 90%, consideration in choosing the medicine 61%, do not get the information about medicine 92%.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v
PRAKATA ... vi
INTISARI ... x
ABSTRACT ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
SINGKATAN DAN ISTILAH... xix
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah... 5
C. Keaslian Penelitian... 5
D. Manfaat Penelitian... 6
BAB II PENELAHAN PUSTAKA ... 8
A. Swamedikasi .... .... ... 8
1. Definisi... 8
2. Perilaku Swamedikasi... 8
3. Keuntungan dan Kerugian ... 10
4. Golongan Obat Untuk Swamedikasi... 12
5. Pemilihan dan Penggunaan Obat Tanpa Resep... 14
6. Peran Apoteker dalam Pengobatan Sendiri... 14
7. Pengobatan yang Rasional ... 15
8. Upaya Peningkatan Kerasionalan Perilaku Swamedikasi ... 16
9. Algoritma Perawatan Sendiri ... 18
B. Sistem Pernapasan... 19
C. Asma ... 21
1. Definisi ... 21
2. Etiologi... 22
3. Patofisiologi... 23
4. Tanda dan Gejala... 24
5. Klasifikasi... 25
6. Penatalaksanaan Asma... 25
D. Perilaku Swamedikasi ... 31
1. Pengetahuan ... 32
2. Sikap ... 33
BAB III METODE PENELITIAN ... 34
A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 34
B. Definisi Operasional ... 34
C. Populasi Penelitian... 35
D. Lokasi Penelitian... 35
E. Besar Sampel... 36
F. Subyek Penelitian ... 36
G. Waktu Penelitian ... ... 36
H. Instrumen Penelitian ... ... 36
I. Tata Cara Penelitian ... ... 37
1. Analisis Situasi... 37
2. Pembuatan Instrumen Penelitian... 38
3. Pengumpulan Data... 39
J. Tata Cara Analisis Hasil ... 39
K. Kesulitan Penelitian ... 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41
A. Karakteristik Responden ... 41
B. Pola Perilaku Swamedikasi Penyakit Asma... 44
C. Identifikasi Permasalahan Swamedikasi Penyakit Asma... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 65
LAMPIRAN ... 70
DAFTAR TABEL
Tabel I. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi ··· 10
Tabel II. Klasifikasi Asma ··· 25
Tabel III. Profil Pertanyaan Pedoman Wawancara ··· 37
Tabel IV. Tindakan yang dilakukan bila sakit ringan...44
Tabel V. Pendapat tentang Swamedikasi...45
Tabel VI. Swamedikasi untuk anggota keluarga ··· 46
Tabel VII. Keuntungan Swamedikasi...47
Tabel VIII. Kerugian Swamedikasi... 47
Tabel IX. Penyebab Asma. ··· 49
Tabel X. Tanda dan Gejala Asma ··· 50
Tabel XI. Lama Menderita Asma··· 50
Tabel XII. Golongan obat untuk swamedikasi··· 51
Tabel XIII. Obat yang digunakan dalam swamedikasi ··· 52
Tabel XIV. Informasi obat asma yang ingin diketahui responden··· 53
Tabel XV. Tempat Membeli Obat··· 54
Tabel XVI. Permasalahan tentang pemahaman responden mengenai swamedikasi penyakit asma ··· 54
Tabel XVII. Permasalahan Pengenalan Penyakit Asma ··· 56
DAFTAR GAMBAR
Gambar1. Langkah-langkah pengembangan intervensi··· 17
Gambar 2. Langkah-langkah pengembangan intervensi ··· 17
Gambar3. Algoritma Perawatan sendiri Penyakit Asma di Rumah ··· 18
Gambar 4. Sistem Pernapasan ··· 21
Gambar 5. Bronkus normal dan bronkus pada penderita asma ··· 22
Gambar 6. Patofisiologi asma ··· 24
Gambar 11. Umur Responden ··· 41
Gambar 12. Tingkat Pendidikan Responden ··· 42
Gambar 13. Pendapatan Responden...42
Gambar 14. Pekerjaan Responden ··· 43
Gambar 15. Frekuensi melakukan swamedikasi··· 46
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Karakteristik Responden ··· 70
Lampiran 2. Pedoman Wawancara ··· 73
Lampiran 3. Data Wawancara··· 77
SINGKATAN DAN ISTILAH
BHR : Bronkial Hiperresponsive
DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta
FEV1 : Forced Expiratory Volume
FIP : Federation International Pharmaceutical
GINA : Global Initiative for Nation Asthma
IRT : Ibu Rumah Tangga
ISAAC : International Study on Asthma and Allergy in Children
MDI : Metered Dose Inhaler
NAEPP : National Asthma Education and Prevention Program
NSAID : Non Steroid Anti Inflamasi Drug
OTC : Over The Counter
OTR : Obat tanpa resep
OWA : Obat Wajib Apotek
PEF : Peak Expiratory Flow
SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga
Susenas : Survei sosial ekonomi nasional
Swamedikasi : pengobatan sendiri
WHO : World Health Organization
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang
Swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk
obat tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat
dikenali sendiri dan untuk beberapa kondisi kronis yang sudah pernah didiagnosa
oleh dokter (Anonim, 1998).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan oleh
Departemen Kesehatan RI tahun 1993 menunjukkan beberapa tindakan yang
dilakukan untuk menghadapi penyakit yaitu sebanyak 5% “membiarkan”, 5%
“diobati dengan cara sendiri, 9% “diobati dengan obat tradisional atau jamu”,
63% “memakai obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter”, dan 18% “pergi
ke Puskesmas” (DepKes, 1993). Survei di Amerika Serikat yang menunjukkan
bahwa dalam waktu satu tahun, sebanyak 75% penduduk mengalami gejala atau
merasa menderita sakit. Dari jumlah tersebut, diketahui sebanyak 65%
“mengobati sendiri menggunakan obat bebas”, 25% “pergi ke dokter”, dan 10%
“tidak berbuat apa-apa” (Sartono, 1993). Data hasil survei di atas menunjukkan
tindakan swamedikasi atau mengobati diri sendiri cukup tinggi.
Tindakan swamedikasi (self medication) mempunyai kecenderungan untuk
meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) tahun 2001 diperoleh bahwa 77,3% penduduk sakit di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan swamedikasi sebagai tindakan
Beberapa faktor yang berperan dalam peningkatan swamedikasi tersebut,
yaitu: pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta
pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit
ringan yang mampu dikenali sendiri, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan
obat-obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR/Obat Tanpa Resep
(OTC/Over The Counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit
ringan atau gejala yang muncul, serta diterimanya pengobatan tradisional sebagai
bagian dari sistem kesehatan (Anonim, 1998).
Suatu penelitian oleh Consumers Healthcare Products Association di
Amerika Serikat menunjukkan populasi wanita dewasa lebih banyak daripada pria
dalam melakukan pengobatan sendiri dan persentase tersebut semakin bertambah
pada wanita dengan semakin bertambahnya umur. Sebanyak 66% wanita saling
memberikan motivasi diantara mereka untuk memahami persoalan kesehatan dan
masalah pengobatannya, hal ini ditemukan pada kelompok pria hanya sebesar
58%. Sebanyak 82% wanita dan 71% pria mengakui menggunakan OTR untuk
mengobati penyakit ringan yang sering mereka alami (Anonim, 2001).
Berdasarkan beberapa penelitian wanita lebih sering memperhatikan kesehatan
dan melakukan swamedikasi, oleh karena itu subyek dalam penelitian ini adalah
ibu-ibu.
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang
dikarakteristikkan dengan peristiwa penyempitan dan obstruksi saluran napas
yang dipicu oleh berbagai sebab. Asma menimbulkan gangguan kualitas hidup
terasa sesak, masing-masing dari ringan sampai yang mengancam kehidupan
(Kelly dan Sorkness, 2005).
Suatu laporan dari delapan negara Asia-Pasifik yang dilaporkan dalam
Journal of Allergy and Clinical Immunology tahun 2003 menunjukkan, asma
mengganggu kualitas hidup. Dari 3.207 kasus yang diteliti, dampak asma
terhadap kualitas hidup yang terganggu ditunjukkan dari keterbatasan dalam
berekreasi atau olahraga 52,7%, aktivitas fisik 44,1%, pemilihan karier 37,9%,
aktivitas sosial 38%, cara hidup 37,1%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%.
Absen dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami oleh
36,5% anak dan 26,5% orang dewasa seperti gejala-gejala batuk, termasuk batuk
malam dalam sebulan terakhir pada 44-51%, bahkan 28,3% penderita mengaku
terganggu tidurnya paling tidak sekali dalam seminggu (Sundaru, 2004).
Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 300 juta penduduk dunia
menderita asma. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai
180.000 orang setiap tahun. Kondisi ini tidak hanya terjadi di negara berkembang,
tapi juga di negara maju. Prevalensi penyakit ini pun semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Di Indonesia, prevalensi gejala asma melonjak dari 4,2% menjadi
5,4%. Jakarta sendiri memiliki prevalensi gejala asma mencapai 7,5% (Stevani,
2007).
Di Indonesia, penelitian pada anak sekolah umur 13-14 tahun dengan
menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in
meningkat tahun 2003 menjadi 5,2%. Kenaikan ini tentu saja perlu upaya
pencegahan agar prevalensi asma tetap rendah.
Persoalan asma harus ditangani secara serius karena merupakan penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang merupakan salah satu penyebab kematian
dan mengurangi produktivitas penyandangnya. Dengan obat dan cara pengelolaan
yang baik, seharusnya asma bukan masalah lagi di Indonesia (Anonim, 2005).
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk swamedikasi ada ribuan jenis
dengan berbagai fungsi beredar di pasaran. Menurut Informasi Spesialite Obat
Indonesia (2006) ada 135 obat asma yang dijual bebas. Hasil penelitian Pretet
(1989) di Perancis terdapat 48% penggunaan obat tanpa resep untuk mengobati
penyakit asma yang sedang diderita. Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan
yang sangat tinggi. Salah memilih obat, tentu bisa bahaya (Anonim, 2002).
Permasalahan seputar swamedikasi relatif banyak yang tidak muncul ke
permukaan karena sesuai dengan konsep swamedikasi bahwa tindakan
pengobatan dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa intervensi dan pengawasan
dari tenaga kesehatan. Obat-obat yang digunakan untuk swamedikasi pun
merupakan obat tanpa resep yang dapat diperoleh di warung-warung biasa dan
tidak harus di apotek.
Hasil penelitian tentang swamedikasi yang pernah dilakukan pada
vaginitis di Kota Yogyakarta tahun 2006 (Widayati, 2006) menunjukkan bahwa
terdapat 71% ketidaksesuaian dalam aspek pengenalan penyakit dan 33%
ketidaksesuaian dalam pemilihan obatnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas
masalah-masalah yang terkait dengan swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu
khususnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.
1. Perumusan Masalah
a. Seperti apa karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit asma di
Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo ?
b. Seperti apa pola perilaku swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu di Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo ?
c. Apa saja permasalahan yang timbul dalam swamedikasi penyakit asma
oleh ibu-ibu di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai swamedikasi penyakit asma di Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Kulon Progo selama ini belum pernah dilakukan, penelitian mengenai
penyakit asma yang pernah dilakukan antara lain, oleh Anitawati (1996),
mengenai “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial Untuk Pasien Rawat Inap di
Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari Selama Tahun 1998”, Kusuma (1998),
mengenai “Kajian Pola Peresepan Obat Asma yang Diberikan pada Pasien Asma
Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2002”,
Nugraha (2002) “Pola Peresepan Obat Penyakit Asma Bronkial pada Pasien
Pediatri di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun
2006”, Chinthia (2002), mengenai “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial
Pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun
1999-2001”, Gibson (2002) mengenai “ Kajian Peresepan Pasien Dewasa Asma
Yogyakarta Tahun 2000”. Semua penelitian yang pernah dilakukan adalah
mengevaluasi resep yang diberikan kepada pasien, penelitian yang di lakukan
sekarang ini, ingin mengetahui permasalahan yang terjadi dalam melakukan
swamedikasi penyakit asma.
3. Manfaat Penelitian a) Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu kefarmasian khususnya
tentang swamedikasi, serta dapat membantu masyarakat dalam mengobati atau
menangani penyakit asma, sehingga dapat terwujud pengobatan sendiri yang
tepat dan rasional.
b) Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai baseline dalam pengembangan
modul edukasi bagi masyarakat untuk peningkatan kesesuaian swamedikasi
penyakit asma.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Mengetahui pola perilaku swamedikasi dan permasalahan yang terjadi
dalam swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu di Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Kulon Progo sehingga dapat dibuat modul edukasi yang sesuai
kebutuhan dalam peningkatan swamedikasi penyakit asma oleh masyarakat Kota
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit asma di Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.
b. Mengetahui pola perilaku swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu di Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.
c. Mengetahui permasalahan yang timbul dalam swamedikasi penyakit asma di
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA A. Swamedikasi (self-medication)
1. Definisi
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1998, swamedikasi
adalah pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk obat tradisional) oleh
individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri dan
untuk beberapa kondisi kronis yang sudah pernah didiagnosa oleh dokter. Sesuai
dengan pernyataan bersama antara World Self-Medication Industry (WSMI) dan
Federation International Pharmaceutical (FIP), self-medication atau
swamedikasi didefinisikan sebagai penggunaan obat tanpa resep dokter oleh
masyarakat atas inisiatif sendiri (Anonim, 1999). Beberapa pustaka menyebutkan
definisi swamedikasi yang berbeda-beda, tetapi yang sering dipakai secara luas
adalah pengobatan menggunakan obat tanpa resep.
2. Perilaku Swamedikasi
Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tingkat
pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam mengatasi
masalah kesehatan (doctor minded), demografi dan epidemiologi, ketersediaan
pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial
ekonomi (Holt and Hall, 1990).
Covington (2000), menjelaskan bahwa faktor keyakinan dan sikap,
karakteristik demografi, status ekonomi, dan pendidikan atau pengetahuan
Faktor keyakinan dan sikap meliputi penghargaan terhadap nilai
kesehatan, motivasi dan tanggung jawab untuk mempelajari penyakit yang
diderita dan perawatannya, persepsi tingkat keseriusan penyakit, kecenderungan
dipengaruhi oleh orang lain. Karakteristik demografi meliputi usia, jumlah
keluarga, jenis kelamin dan status sosial ekonomi. Faktor ekonomi meliputi status
ekonomi seseorang, biaya perawatan kesehatan (baik produk maupun pelayanan),
kemudahan untuk mendapatkan produk kesehatan, dan ketersediaan produk
maupun pelayanan. Faktor pendidikan terutama tingkat pendidikan
mempengaruhi pengetahuan dasar seseorang mengenai kondisi kesehatan yang
diderita dan pengobatannya, kemampuan untuk menginterpretasikan informasi
kesehatan, tersedianya informasi yang berguna dari tenaga kesehatan maupun dari
media informasi.
Perilaku swamedikasi ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data
dari Consumers Healthcare Products Association di Amerika tahun 2002
menunjukkan peningkatan penjualan obat tanpa resep dari tahun 1970-2000
(Anonim, 2002). Suatu survei yang pernah dilakukan di Amerika Serikat
menyebutkan bahwa terjadi peningkatan perilaku swamedikasi di kalangan
masyarakat dengan beberapa parameter yaitu: 1) tingkat kepuasan konsumen
terhadap keputusan mereka sendiri dalam mengatasi masalah kesehatannya, 2)
kecenderungan melakukan swamedikasi dengan obat tanpa resep untuk mengatasi
simptom yang dirasakan dan penyakit ringan yang umum diderita, 3) keyakinan
bahwa obat tanpa resep aman digunakan apabila dipakai sesuai petunjuk, 4)
diubah menjadi tanpa resep, 5) kesadaran membaca label sebelum memilih dan
menggunakan obat tanpa resep, terutama mengenai aturan pakai dan cara pakai
serta efek samping obat (Pal, 2002). Penggunaan obat tanpa resep untuk
swamedikasi menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman, berkualitas
dan memberikan efikasi sesuai yang diharapkan (Holt and Hall, 1990).
3. Keuntungan dan Kerugian
Tabel I. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi
Obyek Keuntungan Kerugian
Kenyamanan dan kemudahan akses
Diagnosis tidak sesuai / tertunda
Tanpa biaya periksa / konsultasi
Pengobatan berlebihan / tidak sesuai
Hemat waktu Kebiasaan menggunakan OTR
Empowerment Adverse Drug Reaction
Ada indikasi yang tak terobati Pasien
Kenaikan biaya berobat Penurunan beban kerja Tidak dapat melakukan
monitoring terapi Farmasis Perannya akan lebih
dibutuhkan di Apotek
Adanya konflik kepentingan antara bisnis dan etika profesi
Pengambil kebijakan Menghemat biaya kesehatan masyarakat Industri Farmasi Meningkatkan profit
pada penjualan obat bebas
-
Swamedikasi untuk gejala atau penyakit ringan dirasakan oleh penderita
memberikan keuntungan, antara lain kepraktisan dan kemudahan melakukan
tindakan pengobatan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah (Rantucci, 1997).
swamedikasi terhadap penderita, dokter/pelayanan kesehatan, farmasis, pengambil
kebijakan dan industri farmasi dapat dilihat pada tabel I di atas (Sihvo, 2000).
Swamedikasi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan obat
tradisional dan obat tanpa resep yang beredar di masyarakat. Dasar pemilihan
obat tanpa resep untuk swamedikasi adalah pengalaman menggunakan obat
tertentu pada waktu yang lalu atau diberitahu orang lain baik orang tua, tetangga,
maupun teman. Dengan kemajuan yang pesat dalam bidang periklanan, baik
melalui media cetak (surat kabar, majalah, dan sebagainya) maupun media
elektronik (radio dan televisi), produsen obat dengan mudah memasarkan obatnya
sehingga mempermudah konsumen dalam memilih obat bebas.
Dalam menggunakan obat yang dijual bebas ada beberapa masalah yang
harus dihadapi, yaitu: pertama, sebagian obat yang dijual bebas mengandung
campuran beberapa obat yang berkhasiat, sehingga harga obat menjadi mahal;
kedua, karena merupakan campuran beberapa obat berkhasiat maka satu macam
obat dinyatakan dapat digunakan untuk berbagai macam penyakit dan gejala
penyakit; ketiga, karena penggunaan yang bermacam-macam, maka petunjuk
penggunaannya menjadi tidak jelas; keempat, masyarakat menganggap bahwa
pengobatan mandiri cukup aman sehingga pada waktu memerlukan pertolongan
dokter sudah dalam keadaan terlambat; kelima, masyarakat percaya bahwa
pemerintah tidak akan mengizinkan penjualan bebas obat-obat yang merugikan
bagi kesehatan, pada obat-obat tertentu mempunyai efek samping yang dapat
merugikan bagi pengguna sehubungan dengan penyakit yang diderita (Sartono,
4. Golongan Obat Untuk Swamedikasi
Penggolongan obat di Indonesia terdiri dari 6 golongan yaitu: 1) obat
bebas, 2) obat bebas terbatas, 3) obat wajib apotek (OWA), 4) obat keras, 5)
psikotropika, dan 6) narkotika (Anonim, 1996b). Golongan obat yang dapat
diperoleh tanpa resep dokter adalah obat bebas, bebas terbatas dan OWA, khusus
untuk yang disebut terakhir adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep
dokter hanya oleh apoteker di apotek dan terbatas pada obat keras yang tercantum
dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Obat Wajib Apotek
(Anonim, 1996c).
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan
bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (Anonim, 1990).
Golongan obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah obat bebas,
bebas terbatas dan OWA (Anonim, 1996c). Golongan obat bebas dapat diperoleh
secara bebas tanpa resep dokter, baik di apotek maupun di toko-toko atau warung.
Obat bebas terbatas juga dapat dibeli tanpa resep dokter, dengan syarat hanya
dalam jumlah yang telah ditentukan dan disertai tanda peringatan (Anonim, 1997).
Menurut SK Menteri Kesehatan RI nomor 6355/Dirjen/SK/1969, ada
enam macam tanda peringatan yang dicantumkan dalam kemasan obat bebas
terbatas sesuai dengan obatnya, yaitu:
1) P.No.1.Awas ! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya di dalam,
3) P.No.3.Awas ! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan,
4) P.No.4.Awas ! Obat keras. Hanya untuk dibakar,
5) P.No.5.Awas ! Obat keras. Tidak boleh ditelan,
6) P.No.6.Awas ! Obat keras. Obat wasir jangan ditelan.
Menurut SK Menteri Kesehatan R.I. Nomor 347/MENKES/SK/VII/1990,
obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada
pasien di apotek tanpa resep dokter. Dalam melayani pasien yang memerlukan
obat wajib apotek, apoteker diwajibkan untuk memenuhi ketentuan dan batasan
tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam obat wajib apotek yang
bersangkutan. Apoteker di apotek juga diwajibkan membuat catatan pasien serta
obat yang telah diserahkan dan memberikan informasi meliputi dosis dan aturan
pakainya, kontraindikasi, efek samping, dan hal lain yang perlu diperhatikan
pasien (Anonim, 1996).
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter untuk swamedikasi harus
memenuhi kriteria, yaitu: 1) tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada
wanita hamil, anak di bawah umur 2 tahun dan orang tua di atas umur 65 tahun, 2)
pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit, 3) penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat
khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, 4) penggunaannya diperlukan
untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia, 5) obat dimaksud memiliki
rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan
5. Pemilihan dan Penggunaan Obat Tanpa Resep
Pemilihan dan penggunaan obat-obat tanpa resep atau yang sering disebut
over the counter (OTC) yaitu obat yang tergolong obat bebas dan obat bebas
perlu memperhatikan; pertama, apakah obatnya masih baik atau tidak; kedua,
perhatikan tanggal kadaluarsa (jika ada), apakah sudah lewat atau belum, dan
yang terakhir adalah bacalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh pabrik
dengan baik dalam brosur atau selebaran yang disertakan yang berisi informasi
tentang: indikasi (petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan penyakit),
kontraindikasi (petunjuk kegunaan obat yang tidak diperbolehkan, karena
berlawanan dengan kondisi tubuh penderita), efek samping (efek yang timbul
yang tidak diinginkan karena dapat merugikan atau berbahaya bagi penderita),
dosis obatnya (besarnya obat yang boleh digunakan untuk orang dewasa atau
anak-anak berdasarkan berat badan dan umur anak), waktu kadaluarsa, cara
penyimpanan obat (misalnya harus disimpan di tempat dingin, diluar pengaruh
cahaya dan sebagainya), interaksi obat dengan obat lain yang digunakan dan
makanan yang dimakan (Nasution dan Lubis, 1993).
6. Peran Apoteker dalam Pengobatan Sendiri
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
922/MENKES/PER/X/1993 pasal 15 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam upaya
penggunaan obat yang benar oleh masyarakat, apoteker wajib memberikan
informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan
swamedikasi maka peran apoteker dalam pemberian informasi obat sangat
mendukung swamedikasi yang rasional.
Dalam pengobatan sendiri, apoteker berperan dalam hal pemberian
informasi, saran dan konseling. Peran ini dapat membantu masyarakat memilih
produk obat yang efektif dan aman. Apoteker yang bekerja di apotek tidak hanya
memberikan informasi obat, namun bisa pula membantu dalam
merekomendasikan obat apa yang sebaiknya dipilih untuk pasien. Apoteker tidak
hanya bertugas untuk menyediakan, menyiapkan dan menyerahkan obat saja,
namun harus menjamin bahwa obat yang diberikan, efektif, aman, dan bermutu
baik serta dengan kebutuhan pasien. Dalam pengobatan mandiri, apoteker juga
berperan dalam hal pemberian informasi penggunaan obat dengan tepat dan
menyarankan agar pasien patuh pada aturan pemakaian obat.
Apoteker sebagai garis depan dari pelayanan kesehatan berkewajiban
untuk membantu pasien dalam mengevaluasi kondisi kesehatannya. Sebagai
langkah awal apoteker dapat menyarankan salah satu diantaranya, tanpa
menggunakan obat apupun, perawatan sendiri atau menyarankan untuk pergi ke
dokter sesuai dengan kondisi yang dialami oleh penderita (Isetts & Brown, 2004).
7. Pengobatan yang Rasional
World Health Organization (WHO) merekomendasikan enam
langkah dalam pengobatan rasional, yaitu menentukan masalah pasien,
menetapkan tujuan pengobatan, memeriksa kerasionalan penggunaan obat yang
membuat resep, memberi informasi, instruksi dan hal-hal yang perlu diwaspadai
dan terakhir melakukan monitoring (Anonim, 1994).
Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari
berbagai segi. Selain pemborosan dari segi ekonomi, penggunaan obat yang tidak
rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya
meningkatnya efek samping obat, meningkatnya kegagalan pengobatan,
meningkatnya resistensi antimikroba, dan sebagainya. Dampak negatif ini tidak
secara langsung dapat dilihat (Anonim, 2000).
Untuk memenuhi syarat-syarat tersebut dapat dijelaskan beberapa hal
seperti ketepatan diagnosis, ketepatan pemilihan obat, ketepatan penilaian
terhadap kondisi pasien, ketepatan pemberian informasi, dan ketepatan dalam
tindak lanjut (Nasution dan Lubis, 1993).
8. Upaya Peningkatan Kerasionalan Perilaku Swamedikasi
Hubley (1993) membuat rancangan pengembangan intervensi yang
terdiri dari 4 tahapan. Tahapan pengembangan intervensi Hubley kemudian
digunakan oleh World Health Organization (2004) untuk meningkatkan perilaku
swamedikasi yang rasional oleh masyarakat. Peningkatan perilaku swamedikasi
yang rasional memerlukan suatu intervensi. Salah satu bentuk intervensi adalah
edukasi kepada masyarakat (consumer). Berikut ini adalah langkah-langkah
pengembangan intervensi menurut Hubley dan WHO yang digunakan untuk
memberikan edukasi kepada masyarakat sehingga dapat tercipta suatu edukasi
Gambar 1. Langkah-langkah pengembangan intervensi (Hubley, 1993 )
Step 1
Deskripsi pengunaan obat &
identifikasi permasalahan
Step 2
Prioritas permasalahan
Step 3
Analisis permasalahan & identifikasi solusi
Step 4
Memilih dan merancang
intervensi
Step 7
Monitoring & evaluasi intervensi
Memperbaiki intervensi
Step 6
Melaksanakan intervensi
Step 5
Pretes intervensi
9. Algoritma Perawatan Sendiri
Nilai keparahan
Ukur PEF : nilai < 50% menunjukkan eksaserbasi berat
Catat gejala dan tanda : derajat batuk, sesak napas, mengi dan sesak di dada berkorelasi dengan keparahan eksaserbasi. Penggunaan otot-otot perut untuk bernapas menunjukkan adanya eksaserbasi berat
Pengatasan awal
• Inhalasi agonis beta -2 aksi pendek
• Pengobatan dilakukan sampai 3 kali 2-4 semprot dengan MDI dengan interval 20 menit atau menggunakan nebulizer
Respon bagus Eksaserbasi ringan
PEF > 80% prediksi, tidak mengi atau napas tidak tersengal-sengal.
Respon terhadap β2- agonis bertahan sampai 4 jam
• Boleh teruskan β2- agonis setiap 3-4jam selama 24-48 jam
• Untuk pasien yang menggunakan kortikosteroid inhalasi, tingkatkan dosis dua kali selama 7-10 hari
Respon tidak sempurna Eksaserbasi sedang
PEF 50 %-80% terprediksi Mengi yang persisten dan napas tersengal-sengal Mengi yang nyata dan napas tersengal-sengal.
• Tambahkan kortikosteroid oral
• Ulangi β2- agonis segera
• Jika kondisi masih berat dan tidak
Bawa ke Bagian Gawat Darurat RS
Gambar 3. Algoritma Perawatan sendiri Penyakit Asma di rumah (Kelly dan Sorkness, 2005)
Keterangan :
PEF : Peak Expiratory Flow;
B. Sistem Pernapasan
Bernapas adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung
oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
CO2 sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh (Ikawati, 2006).
Fungsi dari sistem pernapasan adalah untuk mengambil O2 yang kemudian
dibawa oleh darah ke seluruh tubuh untuk mengadakan pembakaran,
mengeluarkan CO2 hasil dari metabolisme. Sistem pernapasan terdiri dari hidung,
faring, laring, trakea, bronkus dan paru-paru (Gunawan, 2006).
a. Hidung
Merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang
dipisahkan oleh sekat septum nasi. Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir
yang memiliki banyak pembuluh darah dan terhubung dengan lapisan faring pada
semua sinus yang masuk ke dalam rongga hidung. Di dalamnya terdapat
bulu-bulu untuk menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka
nasalis inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi
untuk mengahangatkan udara (Gunawan, 2006).
b. Faring
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan
makanan. Terdapat di bawah dasar pernapasan, di belakang rongga hidung, dan
mulut sebelah depan ruas tulang leher. Di bawah selaput lendir terdapat jaringan
c. Laring
Setelah melalui faring udara akan melalui laring. Laring terletak di depan
bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea di
bawahnya. Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian
epiglotitis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Sundaru, 2001).
d. Trakea
Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16-20 cincin yang
terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi untuk
mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh
selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan
(Gunawan, 2006).
e. Bronkus
Merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian
vertebra thorakalis IV dan V. Mempunyai struktur serupa dengan trakea dan
dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar dan lebih pendek
daripada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai 3 cabang. Bronkus
kiri terdiri dari 9-12 cincin dan mempunyai 2 cabang. Cabang bronkus yang lebih
kecil dinamakan bronkiolus, disini terdapat cincin dan terdapat gelembung paru
f. Paru-paru
Merupakan alat tubuh yang sebagian besar dari terdiri dari
gelembung-gelembung. Di sinilah tempat terjadinya pertukaran gas, O2 masuk ke dalam darah
dan CO2 dikeluarkan dari darah (Gunawan, 2006).
Gambar 4 . Sistem Pernapasan (Cohen & Wood, 2000) C. Asma
1. Definisi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang
dikarakteristikkan dengan peristiwa penyempitan saluran napas dan obstruksi
tertahan, mengi, batuk, dan dada terasa sesak, masing-masing dari ringan sampai
yang mengancam kehidupan. Banyak elemen sel dan seluler yang berperan dalam
asma, termasuk sel mast, eosinofil, limfosit T, macrofag, neutrofil, dan sel epitelia
(William and Self, 2002).
Menurut Kelly dan Sorkness (2005) asma adalah peradangan kronik pada
saluran napas dimana banyak sel dan seluler berperan di dalamnya, khususnya
sel mast, eosinofil, limfosit T, macrofag, neutrofil, dan sel epitelia.
Gambar 5. Bronkus normal dan bronkus pada penderita asma (Adam, 2005) 2. Etiologi
Penyebab asma belum diketahui secara pasti. Asma merupakan penyakit kompleks dengan faktor genetik dan faktor lingkungan yang ikut berperan di dalam menyebabkan terjadinya asma. Faktor pemicu terjadinya asma, yaitu:
1. atopy ( hipersensitivitas),
2. zat allergen, misalnya : asap, debu, bulu binatang, serbuk sari, 3. obat-obat tertentu, misalnya : NSAID (ibuprofen, aspirin), 4. infeksi bakteri dan virus pada saluran pernapasan,
5. olahraga,
6. kelelahan dan stress, 7. lingkungan: cuaca dingin,
3. Patofisiologi
Karakteristik utama adalah kerusakan saluran napas, peradangan, dan
hiperesponsive bronkial (BHR). Perubahan yang lama dengan hipertropi otot
polos dan peningkatan sel goblet menyumbang menetapnya kerusakan saluran
napas yang ditunjuk sebagai remodel. Keterbatasan saluran napas pada penderita
asma dihubungkan dengan pengurangan diameter saluran napas yang merupakan
hasil dari kontraksi otot polos menyebabkan konstriksi bronkhiolus seperti
peradangan intraluminal, edema dan produksi mukus. Asma bronkial merupakan
penyakit inflamasi dimana ukuran diameter jalan napas menyempit secara kronis
akibat edema dan tidak stabil. Selama serangan pasien mengalami mengi dan
kesulitan bernapas akibat bronkospasme, edema mukosa dan pembentukan
mukus. Bronkial hiperresponsive (BHR) disebabkan oleh:
1. kontraksi otot polos (bronkokonstriksi),
2. hipersekresi mukus,
3. edema mukosa (William and Self, 2002).
Sel inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia
(histamin, leukotrien, platelet-activating factor, bradikinin), dan faktor
kemotaktik (sitokin dan kemotaxin) yang mendasari munculnya inflamasi saluran
napas pada penderita asma. Inflamasi terjadi apabila timbul hiperresponsive pada
saluran napas penderita asma, sehingga cenderung terjadi penyempitan saluran
napas yang diakibatkan oleh respon alergi, iritan, infeksi virus dan beban fisik.
Hal tersebut juga mengakibatkan edema, peningkatan produksi mukus, keluarnya
sel inflamasi pada saluran napas dan sel epitel mengalami kerusakan (Nelson,
4. desquamasi epitelia.
Gambar 6 . Patofisiologi asma (Kelly dan Sorkness, 2005)
Alergen yang berhubungan dengan lingkungan luar merusak permukaan
mukosa saluran napas dan ditangkap oleh antigen presenting cells (APCs) dimana
proses ini dipresentasikan ke sel T-helper (Th). Sel Th2 mengeluarkan sitokin
yang menyebabkan proliferasi sel B dan respon allergen-spesific Ig E.
Imunoglobulin E terikat melalui reseptor Fc sehingga sel mast menjadi peka.
Setelah sel mast menjadi peka, maka akan terbentuk cross-links surface-bound Ig
E yang menyebabkan peningkatan kalsium yang merangsang pengeluaran
mediator pre-formed yaitu seperti histamin, protease, mediator lipid seperti
leukotrien dan prostaglandin. Produk yang dibentuk itu merupakan gejala klinik
pada alergi. Sitokin yang dikeluarkan juga berasal dari degranulasi sel mast dan
inflamasi serta respon Ig E (Rahajoe dkk, 2004).
4. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda awal sebelum munculnya serangan asma sifatnya sangat unik
suasana hati, pilek, gatal-gatal pada tenggorokan, merasa capai, dan susah tidur.
Gejala asma memberikan suatu indikasi bahwa serangan asma sedang terjadi,
gejala yang paling umum penderita mengalami mengi, batuk-batuk, napas pendek
dan dada terasa sesak (Hadibroto, 2005).
5. Klasifikasi
Menurut GINA (2006) klasifikasi asma yang relevan dan yang digunakan
sekarang , diklasifikasikan menjadi :
Tabel II. Klasifikasi Asma (Anonim, 2006) Karakteristik Terkontrol Terkontrol
sebagian
Tidak terkontrol
Gejala setiap hari Tidak ada (2 kali atau kurang dalam satu minggu)
Lebih dari 2 kali dalam seminggu
Keterbatasan aktivitas Tidak terjadi Kadang-kadang Nocturnal simptom Tidak terjadi Kadang-kadang Membutuhkan terapi
reliever
Tidak perlu (2 kali atau kurang dalam satu minggu)
Lebih dari 2 kali dalam seminggu
Fungsi paru (PEF atau FEV1)
Eksaserbasi Tidak ada Sekali / lebih
dalam setahun
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu juga, dilakukan untuk
menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi akut,
efek samping obat, mencegah terjadi keterbatasan aliran udara irreversibel serta
mencegah kematian karena asma (Mangunnegoro, 2006).
b. Sasaran Terapi
Sasaran dari penatalaksaan asma meliputi gejala asma, bronkokonstriksi,
peradangan saluran napas, obstruksi saluran napas oleh mukus serta frekuensi dan
keparahannya (William and Self, 2002).
c. Strategi Terapi
1. Terapi Non Farmakologis :
Edukasi pasien dan menghindari penyebab asma merupakan manajemen
strategi asma untuk setiap pasien. Edukasi pasien merupakan komponen penting
dalam strategi terapi asma. Kunci topik edukasi meliputi: pengetahuan dasar
tentang asma (termasuk mengenali simptom dan tindakan yang dilakukan jika
simptom berkembang), aturan pengobatan, cara penggunaan alat inhalasi yang
tepat, saran untuk menghindari alergen, kegunaan dari pengobatan sendiri, penting
juga untuk melibatkan keluarga pasien dalam edukasi ini karena keluarga pasien
juga ikut berperan serta dalam proses terapi pasien tersebut.
Penundaan terapi merupakan faktor utama yang menyebabkan tingginya
angka kematian akibat asma. Expert Panel Report 2 (EPR 2) merekomendasikan
untuk melakukan home monitoring dari Peak Expiratory Flow (PEF) pada pasien
asma yang persisten berat. Alat yang digunakan untuk PEF adalah Peak Flow
Meter. Pasien juga harus diajari cara menggunakan Peak Flow Meter yang benar
2. Terapi Farmakologis
Secara garis besar, terapi yang digunakan untuk mengobati asma
dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu:
a. Reliever
Obat golongan ini efektif untuk meringankan bronkokonstriksi akut dan
hanya untuk mengobati asma akut. Obat ini tidak memiliki efek dalam mencegah
serangan akut atau mencegah inflamasi yang panjang. Pengobatan ini hanya
digunakan saat terjadi serangan asma, dan tidak dapat digunakan secara terus
menerus (Wolf, 2004).
Obat golongan reliever bekerja sebagai bronkodilator dan mengurangi
simptom. Obat golongan ini terdiri dari inhalasi agonis β2 kerja cepat,
antikolinergik, teofilin kerja singkat dan oral agonis β2 kerja cepat (Anonim,
2006).
1). Inhalasi agonis β2 kerja cepat
Inhalasi agonis β2 kerja cepat merupakan obat pilihan untuk
menghilangkan bronkospasme selama serangan asma dan digunakan sebelum
melakukan latihan yang dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Contoh obat
golongan ini: salbutamol, terbutalin, fenoterol, reproterol dan pirbuterol.
Obat golongan ini hanya digunakan dalam dosis rendah dan sangat
dibutuhkan. Penambahan dosis, khususnya penggunaan setiap hari menunjukkan
keadaan asma tidak terkontrol dan memerlukan pengobatan yang baru. Efek
2). Antikolinergik
Antikolinergik termasuk bronkodilator, tetapi kerjanya tidak seefektif
agonis β2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk
mencapai efek maksimum. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi
dengan menurunkan tonus kolinergik vagal instrinsik, selain itu juga menghambat
refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan (Mangunnegoro, 2006).
Contoh obat golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium
bromide. Agar dapat mencapai efek bronkodilator maksimal maka disarankan
menggunakan kombinasi antikolinergik dan agonis β2 kerja cepat sebagai
bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang
kurang respon dengan agonis β2 kerja cepat saja. Efek samping obat ini berupa
rasa kering di mulut dan rasa pahit (Mangunnegoro, 2006).
3). Teofilin kerja singkat
Teofilin kerja singkat dapat mengurangi simptom asma. Obat ini potensial
menimbulkan efek samping, meskipun secara umum dapat dihindari dengan
penyesuaian dosis dan monitoring (Anonim, 2006).
4). Oral agonis β2 kerja cepat
Oral agonis β2 kerja cepat cocok digunakan untuk beberapa pasien yang
tidak dapat menggunakan inhalasi. Walaupun penggunaan obat ini memiliki efek
b. Controller
Obat golongan ini mengurangi inflamasi bronkhus dan memberikan
kontrol yang panjang terhadap asma dengan menurunkan frekuensi kekambuhan
(Wolf, 2004).
Controller merupakan obat yang digunakan setiap hari yang mempunyai
efek lama untuk mengontrol asma, utamanya memberikan efek antiinflamasi.
Obat golongan ini meliputi: glukokortikosteroid, antileukotrien, agonis β2 kerja
lama, kromolin (Anonim, 2006).
1). Glukokortikosteroid
a). Glukokortikosteroid inhalasi
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan anti inflamasi yang lebih efektif
dalam pengobatan asma persisten. Obat ini telah terbukti manfaatnya dalam
mengurangi simptom asma, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan fungsi
paru, menurunkan hiperresponsive jalan napas, mengontrol inflamasi, mengurangi
frekuensi dan keparahan dan mengurangi kematian karena asma (Anonim, 2006).
Contoh obat golongan ini adalah budesonid dan flutikason. Efek samping
obat ini termasuk oropharyngeal candidiasis, dysphonia, dan kadang-kadang
batuk karena iritasi saluran napas atas (Mangunnegoro, 2006).
b). Glukokortikosteroid sistemik
Merupakan anti inflamasi yang efektif untuk mengobati asma. Cara
kerjanya dalam mengobati asma terdiri dari meningkatkan jumlah reseptor β2
produksi dan hipersekresi mukus, menurunkan BHR serta mencegah terjadinya
airway remodeling (Kelly dan Sorkness, 2005).
Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah deksametason dan
prednisolon. Efek samping obat ini meliputi osteoporosis, arterial hipertensi,
diabetes, hipothalamicpituitary-adrenal axis suppression, obesitas, katarak,
glaukoma dan lemah otot (Anonim, 2006).
2). Antileukotrien
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok
sintesis semua leukotrien atau memblok semua reseptor-reseptor pada sel target.
Keuntungan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga
mudah diberikan (Kelly dan Sorkness, 2005).
Obat-obat golongan antagonis reseptor leukotrien adalah montelukast,
pranlukast dan zafirlukast sedangakan contoh inhibitor lipoksigenase adalah
zilueton (NAEPP,1997). Efek samping obat ini antara lain gangguan
gastrointestinal, sakit kepala, demam, mialgia, reaksi alergi kulit, meningkatnya
enzim hati dan infeksi saluran nafas atas (BNF, 2003).
3). Agonis β2 kerja lama
Contoh obat golongan agonis β2 kerja lama adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Seperti lazimnya agonis
β2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pengelepasan
4). Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium
belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan anti inflamasi
nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang
diperantarai Ig E yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel
inflamasi tertentu, selain menghambat saluran kalsium pada sel target. Kalsium
intrasel sangat diperlukan untuk degranulasi atau pelepasan histamin dan mediator
inflamasi lainnya dari sel mast. Terjadinya penghambatan masuknya kalsium
dalam sel dapat menstabilkan sel mast, sehingga tidak melepaskan mediator
inflamasi. Efek samping yang ditimbulkan obat ini minimal, umumya batuk
(Mangunnegoro, 2006 ).
D. Perilaku Swamedikasi
Perilaku manusia merupakan hasil refleksi dari berbagai gejala kejiwaan,
seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan
sebagainya (Notoadmojo, 1993). Perilaku merupakan respon dari seseorang
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya dan perilaku
seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang obyek
tersebut, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 1997).
Perilaku kesehatan adalah segala bentuk pengalaman dan interaksi individu
dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan tentang
kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Proses
pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dari
Notoatmodjo (1993) membagi perilaku kesehatan menjadi 4 kelompok,
yaitu: 1) perilaku seseorang terhadap sehat dan penyakit, yang meliputi perilaku
sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion
behavior); perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior); perilaku
sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking behavior); perilaku
sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior), 2)
perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, 3) perilaku terhadap makanan
(nutrition behavior), 4) perilaku terhadap kesehatan lingkungan (enviromental
health behavior). Green (1980) menyebutkan bahwa perilaku terbentuk dari 3
faktor, yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin
(enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors). Hal ini berarti
terbentuknya perilaku kesehatan juga dipengaruhi keberadaan ketiga faktor
tersebut.
Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas. Benyamin Bloom seorang ahli psikologi membagi perilaku menjadi 3
kawasan. Pembagian ini terdiri dari ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah
psikomotor. Selanjutnya untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga
kawasan diukur dari pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan
(practice) atau praktek (Notoatmodjo, 1993).
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa
seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya.
terhadap segala hal yang diterima dari lingkungan melalui panca inderanya
(Dharmmesta dan Handoko, 2000).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 1993).
2. Sikap
Sikap didefinisikan sebagai evaluasi perasaan emosional, dan
kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dari
seseorang terhadap beberapa obyek atau gagasan. Sikap dilakukan konsumen
berdasarkan pandangannya terhadap produk dan proses belajar baik dari
pengalaman maupun keadaan lainnya (Kotler, 1997).
3. Tindakan
Teori aksi yang juga dikenal sebagai teori bertindak ini pada mulanya
dikembangkan oleh Max Weber. Weber berpendapat bahwa individu melakukan
suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman, dan
penafsiran atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini
merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif yang
artinya penelitian menyuguhkan sedeskriptif mungkin fenomena yang ada, tanpa
menganalisa bagaimana dan mengapa fenomena tersebut terjadi. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah cross sectional (studi potong lintang), yaitu :
merupakan penelitian yang pengukuran variabel (ciri) dilakukan satu kali dimana
terjadi hanya pada saat itu.
B. Definisi Operasional
1. Swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat (obat bebas, bebas
terbatas, OWA, termasuk obat tradisional) oleh responden untuk mengobati
penyakit asma, baik untuk diri sendiri maupun untuk anggota keluarga yang
menderita asma.
2. Asma adalah peradangan pada bronkus yang menyebabkan sesak napas serta
berbunyi (mengi). Asma yang dimaksudkan bukan asma :
a. yang diderita pasien pertama kali, dan belum didiagnosa dokter
b. yang menetap atau asma berat
c. yang diderita oleh pasien yang dirawat di rumah sakit atau menjalani
pengobatan di IGD
3. Responden adalah ibu-ibu yang berumur ≤ 60 tahun bertempat tinggal di
melakukan swamedikasi penyakit asma baik untuk diri sendiri maupun
keluarga.
4. Ibu-ibu adalah wanita yang pernah menikah dan tercantum dalam Kartu
Keluarga dan berstatus sebagai istri atau kepala keluarga.
5. Perilaku swamedikasi meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan responden
mengenai swamedikasi.
6. Permasalahan meliputi pemahaman responden mengenai swamedikasi,
pengenalan penyakit asma dan pemilihan serta penggunaan obat asma.
C. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah ibu-ibu di Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Kulon Progo yang pernah melakukan swamedikasi terhadap penyakit
asma.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di 2 (dua) kabupaten/kota di Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Kulon Progo. Pembatasan lokasi penelitian yang hanya dilakukan di 2
kabupaten/kota dari 5 kabupaten/kota yang ada di Propinsi DIY disebabkan oleh
adanya keterbatasan dana dan waktu untuk melakukan studi ini. Penelitian di Kota
Yogyakarta dilakukan di 8 RW, yaitu Demangan RW 2, Demangan RW 8, Baciro
RW 2, Baciro RW 8, Pakuncen RW 2 dan RW 8 serta Wirobrajan RW 2 dan RW
8. Di Kabupaten Kulon Progo dilakukan penelitian pada 8 dusun, yaitu Dusun
Sogan I dan Sogan II, Dusun Durungan, Dusun Beji, Dusun Ngangin-angin,
E. Besar Sampel
Penelitian ini di lakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo
yang ditetapkan secara purposif. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
didapatkan dengan metode sampling accidental, yaitu sampel diperoleh saat
peneliti melakukan pengambilan data. Terdapat 38 responden yang menjadi
subyek penelitian dan bersedia diwawancarai. Data penelitian diperoleh dari 38
responden.
F. Subyek Penelitian
Kriteria inklusi subyek penelitian ini adalah ibu-ibu yang sehat jasmani
dan rohani, dapat berkomunikasi dengan lancar, berumur ≤ 60 tahun yang pernah
atau sering melakukan swamedikasi asma baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk anggota keluarganya.
G. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober
2007. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juli sampai dengan September
2007.
H. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan berupa pedoman wawancara.
Pembuatan pedoman wawancara ditujukan untuk mengetahui dan menemukan
parmasalahan yang dihadapi responden dalam melakukan swamedikasi penyakit
asma. Pedoman wawancara telah dirancang untuk mengetahui pendapat responden
melihat kesesuaian pemilihan dan penggunaan obat untuk mengatasi penyakit
asma yang diderita beserta informasi dan cara penyimpanan obat.
Tabel III. Profil Pertanyaan Pedoman Wawancara
Pertanyaan Jumlah
Pendapat Responden tentang Swamedikasi 9
Kesesuaian Pengenalan Penyakit Asma 11
Kesesuaian Pemilihan Obat Asma serta Informasi dan Cara Penyimpanan Obat
19
I. Tata Cara Penelitian 1. Analisis Situasi
a. Studi Pustaka
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan penelusuran
pustaka mengenai permasalahan seputar swamedikasi penyakit asma, serta
pendalaman materi untuk menyiapkan kuesioner dan pedoman wawancara.
b. Penentuan dan Observasi Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo. Dipilih 2
kabupaten/kota sebagai lokasi penelitian dari 5 kabupaten/kota yang ada.
Observasi lokasi dilakukan untuk mengadakan persiapan sebelum langsung
mengadakan penelitian. Observasi dilakukan bersamaan dengan perkenalan
kepada beberapa perangkat pemerintahan di lokasi penelitian yang bersangkutan.
c. Pengurusan ijin Penelitian
Selama proses memperoleh data penduduk, juga disiapkan perijinan untuk
melakukan penelitian, permohonan perijinan diajukan kepada BAPPEDA, dan
kemudian kepada semua perangkat struktural pemerintahan pada daerah yang
2. Pembuatan Instrumen Penelitian
a. Pembuatan Pedoman Wawancara
Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan
swamedikasi penyakit asma oleh ibu-ibu di 8 dusun, di 4 desa, di 2 kecamatan, di
Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta yaitu wawancara dengan alat ukur
yang disebut pedoman wawancara.
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti
ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang
lebih mendalam dan jumlah respondenya sedikit/kecil. Teknik pengumpulan data
ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau
setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi. Sutrisno Hadi
(1986) mengemukakan bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti dalam
menggunakan metode wawancara dan juga kuesioner adalah sebagai berikut :
1). bahwa subyek (responden) adalah orang yang paling tahu tentang dirinya
sendiri,
2). bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan
dapat dipercaya,
3). bahwa interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan peneliti.
b. Pengujian Validitas Pedoman Wawancara
Pengujian validitas pedoman wawancara bertujuan menilai apakah
validitas isi, yaitu: analisis rasional terhadap pertanyaan yang telah disusun yang
dilakukan oleh dosen pembimbing. Uji ini lebih dikenal dengan istilah
professional judgment.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Wawancara
dilakukan oleh 2 orang di mana 1 orang sebagai pewawancara sedangkan yang
lain berperan sebagai raportur. Data yang didapat melalui wawancara ini bersifat
subyektif. Semua jawaban dianggap benar. Prosedur dan semua pertanyaan
tercantum pada transkrip wawancara. Data yang terkumpul adalah hasil
wawancara yang berupa tulisan yang dicatat oleh raportur sesuai hasil wawancara
dan telah dikonfirmasikan kembali kepada setiap responden.
J. Tata Cara Analisis Hasil
Analisis data dilakukan dengan menyederhanakan atau meringkas
kumpulan data yang memaparkan permasalahan yang dihadapi dalam
swamedikasi penyakit asma, menjadi suatu sumber informasi yang berguna.
Penyajian tersebut dapat diberikan dalam bentuk tabel atau juga grafik. Untuk
menjamin keakuratan data, maka dalam penelitian ini dilakukan beberapa
kegiatan:
1. Editing
Melakukan pemeriksaan wawancara hasil penelitian apakah sudah lengkap isi
jawabannya dan juga keakuratan datanya
2. Processing
3. Cleaning
Data yang sudah dimasukkan ke paket program komputer dicek/diperiksa kembali
kebenarannya.
Analisis data pada penelitian dilakukan secara univariat untuk
mengetahui gambaran deskriptif untuk variabel karakteristik individu (umur,
pendidikan, dan pekerjaan, pendapatan). Bentuk analisis berupa analisis distribusi
frekuensi, dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.
K. Kesulitan Penelitian
Kesulitan dalam penelitian ini adalah kurangnya partisipasi dari
responden yang memenuhi kriteria inklusi, terbatasnya waktu dan tenaga peneliti
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden 1. Karakteristik Demografi
Pengobatan sendiri sudah sangat umum dilakukan oleh masyarakat,
banyak faktor yang berpengaruh dalam melakukan pengobatan sendiri, berikut ini
akan dipaparkan mengenai demografi dari responden yang diamati melakukan
pengobatan sendiri. Demografi responden di karakteristikan menjadi umur,
tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan. Data demografi responden
merupakan data kategorik, oleh karena itu peringkasan data dilakukan dengan
menggunakan distribusi frekuensi dengan ukuran persentase.
a. Umur Responden
Umur responden sangat bervariasi, yakni antara 30 tahun sampai dengan
60 tahun. Responden tersebar hampir merata pada setiap lapisan umur, responden
yang terbesar sebanyak 26,31% berada pada rentang umur 46-50 tahun. Umur
merupakan faktor yang berpengaruh dalam perilaku kesehatan. Orang dengan
menangani masalah kesehatan sehingga akan mempengaruhi pencarian
Perguruan Tinggi SLTA SLTP SD Tidak Sekolah
Gambar 8. Tingkat Pendidikan Responden
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam pencarian pengobatan.
Responden yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah mendapatkan dan
menerima informasi tentang kesehatan serta dapat menangani masalah
kesehatannya dengan lebih baik karena informasi yang telah diterima.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden
meyandang pendidikan SLTA (31,6%), kemudian disusul Perguruan Tinggi
(23,7%), responden yang berpendidikan SLTP (18,4%), responden yang
berpendidikan SD (18,4%) dan responden yang tidak sekolah (7,9%).
c. Tingkat Pendapatan
Penghasilan Responden (n= 38)
66% 16%
13% 5%