• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENYAKIT COMMON COLD

OLEH IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Andriana Isti Handayani NIM : 048114032

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENYAKIT COMMON COLD

OLEH IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Andriana Isti Handayani NIM : 048114032

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

”And I pray that you may have the power to grasp

how wide,

and how long,

and how high,

and how deep,

Is the love of Christ, and to know

this love that surpasses all knowledge”

Ephesus 3 : 18

“Masa depan itu milik Tuhan

dan hanya Dia yang dapat mengungkapkannya,

dalam kondisi yang luar biasa.

Jalanilah setiap hari menuju ajaran,

percayalah bahwa Tuhan mencintai hamba-hambanya.

Tiap-tiap hari pada dirinya, membawakan suatu Keabadian”

PAULO COELHO

Kupersembahkan karya ini untuk :

Jesus Christ & Mother Marry….

My Parents,

My Love Maheswara Wisnubhuana

My Brothers & My Sisters…..

(6)
(7)

PRAKATA

Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Hubungan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi Penyakit Common Cold oleh Ibu-Ibu di Provinsi Daerah Istimwa Yogyakarta”.

Penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, sekaligus sebagai upaya memperdalam dan memperluas wawasan serta menambah wacana di dunia farmasi. Penulis dengan penuh kesadaran memahami bahwa penelitian ii masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu saran dari pembaca sangat diharapkan.

Penulis telah mendapatkan segala bentuk bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian serta memberi dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

(8)

4. Ibu dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes., selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam skripsi ini.

5. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si.,Apt. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam skripsi ini.

6. Penyandang Hibah A3, atas kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

7. Bapak dan Ibu, yang senantiasa memberikan dukungan, doa dan kasih sayangnya.

8. Kakak-kakak dan adik-adikku, mbak Tanti, mas Puji, mas Aris, mas Pujo, mbak Susi, mbak Surat, Jati . Terimakasih buat pengertian dan bantuan yang selalu diberikan.

9. Maheswara Wisnubhuana. Terimakasih untuk semuanya, untuk kasih sayang, penyertaan, dan motivasi serta dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman seperjuangan Rissa, Tice, Pipin, Henny, Limdra, Ari dan Fandy, atas kerjasama dan kebersamaannya selama penelitian sehingga penelitian ini dapat selesai.

11.Teman-teman tersayang : Sisca, Wida, Atin, Nur, Rina, Fila, Sisil, Nana, Manda, Novi, Made, Liza, Reni, dan segenap mahasiswa angkatan 2004 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma khususnya FKK.

12.Dito dan Edi atas bantuannya selama melakukan penelitian 13.Anak-anak wisma Mawar, atas semua bantuannya.

(9)

15.Semua responden yang telah memberikan waktunya untuk diwawancara, tanpa mereka maka skripsi ini tidak akan pernah ada.

16.Semua pihak, yang langsung maupun tidak langsung telah membantu penyusunan skripsi ini.

Semoga Tuhan yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya atas segala kebaikan yag telah dilakukan. Ahkir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua yang membutuhkan.

Penulis

(10)
(11)

INTISARI

Tindakan swamedikasi mempunyai kecenderungan untuk meningkat dari waktu ke waktu. Common cold termasuk penyakit yang banyak diderita dan ditangani dengan swamedikasi. Perbedaan usia, status sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan berpengaruh dalam menentukan pengambilan keputusan swamedikasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang timbul pada swamedikasi common cold serta hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah non eksperimental deskriptif dan analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian ini merupakan penelitian klaster multi tahap, dimana pemilihan sampel dilakukan secara random pada tingkat kabupaten, kecamatan, desa, dusun, dan tingkat sampel. Instrumen yang digunakan pedoman wawancara dan kuesioner dengan skala Likert. Data kualitatif diolah secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan uji statistik chi-square.

Hasil analisis data kualitatif menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang swamedikasi dalam hal pemahaman swamedikasi, pertimbangan melakukan swamedikasi dan tindakan yang dilakukan ketika swamedikasi yang dilakukan hasilnya tidak membaik masih kurang. Pada bagian pengenalan penyakit terdapat ketidaksesuaian dalam pengenalan gejala, penyebab dan defferensial diagnosis common cold. Pada bagian pemilihan obat terdapat ketidaksesuaian dalam melakukan pertimbangan pemilihan obat, pemilihan obat yang tidak sesuai, dan kurangnya tingkat kesadaran responden untuk membaca informasi yang lengkap sebelum menggunakan obat.

Hasil analisis data kuantitatif menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan dan tindakan swamedikasi common cold;

tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi common cold; ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi

common cold; serta tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan dan sikap swamedikasi common cold.

(12)

ABSTRACT

Self medication practice tends to develop from time to tome. Common cold belong to most common prevalence illness and can be cure by self medication. The different of age, social economic status, and education level influence the decision to self medication. The aim of this study are to find problem that appear in common cold self medication practice and to find the relation between education and income level toward common cold self medication behavior by housewife in Daerah Istimewa Yogyakarta.

The method of this study is non experimental descriptive and analytic with cross sectional research planning. This is a multilevel cluster research in which the sample determination randomly on level of regencies, sub districts, rural, cluster of village and sample. Qualitative data from the interview is processed descriptively, while the quantitative data use chi-square statistic test.

The result of qualitative data show that problem appear in self medication practice are lack in understanding self medication practice, inappropriate way in considering self medication practice, and the steps that they do if self medication not success is less appropriate. In the explanation about the disease, there is inappropriate way in identifying the symptom, causes, and about differential diagnosis common cold. Problem that appear in aspect of appropriateness medication are considering to choose the medication, inappropriate way in choosing medicine, and lack of awareness from respondent to read the complete information before using medicine.

The analysis of quantitative data show four possibilities. First, there is a relation between education level to common cold self medication knowledge and practice. Second, there is no relation between education level to common cold self medication attitude. Third, there is a relation between economic level to common cold self medication practice. The last, there is no relation between economic level to common cold self medication knowledge and attitude.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PRAKATA... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

INTISARI. ... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan Masalah ... 4

2. Keaslian Penelitian... 4

3. Manfaat Penelitian ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan Umum ... 6

2. Tujuan Khusus ... 7

(14)

A. Sistem Pernafasan ... 8

B. Common Cold ... 11

1. Definisi... 11

2. Etiologi ... 12

3. Patogenesis... 12

4. Tanda dan Gejala... 13

5. Penatalaksanaan ... 15

C. Swamedikasi ... 19

1. Definisi ... 20

2. Perilaku Swamedikasi ... 21

3. Minor Ailment ... 21

4. Obat Bebas, Bebas Terbatas dan OWA ... 22

5. Pengobatan yang Rasional ... 23

6. Peran Apoteker dalam Swamedikasi... 25

7. Algoritma Swamedikasi pada Common Cold ... 26

D. Perilaku ... 27

1. Pengetahuan ... 29

2. Sikap... 31

3. Tindakan... 32

E. Teori tentang Perilaku ... 33

F. Beberapa Variabel yang berhubungan dengan Perilaku Swamedikasi ... 36

1. Pendidikan... 36

(15)

G. Landasan Teori... 37

H. Hipotesis... 38

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 40

B. Variabel penelitian ... 41

C. Definisi Operasional ... 41

D. Subyek Penelitian... 43

E. Populasi dan Sampel ... 43

F. Teknik Sampling ... 44

G. Besar Sampel... 47

H. Lokasi Penelitian... 51

I. Waktu Penelitian ... 51

J. Instrumen Penelitian ... 52

K. Tata Cara Penelitian ... 55

L. Tata Cara Pengolahan Data... 60

M. Analisis Data ... 62

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Karakteristik Responden ... 63

B. Identifikasi Permasalahan yang Timbul dalam Swamedikasi Common Cold ... ... 72

1. Pengetahuan Responden tentang Swamedikasi ... 75

2. Kesesuaian Pengenalan Penyakit ... 72

(16)

C. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Swamedikasi Common

Cold .... ... 82

D. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi Common Cold .... ... 87

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran . ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN... 98

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Gejala pada penyakit gangguan pernafasan ... 14

Tabel II. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi 21

Tabel III. Kabupaten dan Kota di Propinsi DIY ... 44

Tabel IV. Jumlah dan distribusi sampel ... 48

Tabel V. Jumlah dan distribusi sampel di Kabupaten Kulon Progo ... 48

Tabel VI. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Nanggulan... 48

Tabel VII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Banyuroto... 49

Tabel VIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Donomulyo ... 49

Tabel IX. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wates ... 49

Tabel X. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Sogan ... 49

Tabel XI. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wates ... 49

Tabel XII. Jumlah dan distribusi sampel di Kotamadya Yogyakarta ... 49

Tabel XIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Gondokusuman.. 50

Tabel XIV. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Demangan ... 50

Tabel XV. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Baciro ... 50

Tabel XVI. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wirobrajan... 50

Tabel XVII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wirobrajan ... 50

Tabel XVIIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Pakuncen... 51

Tabel XIX. Bagia-bagian pedoman wawancara... 52

Tabel XX. Bagian-bagian kuesioner... 54

(18)

Tabel XXII. Sumber perolehan obat yang digunakan responden... 71 Tabel XXIII. Permasalahan yang timbul pada pemahaman responden tentang

swamedikasi ... 73 Tabel XXIVI. Permasalahan pada kesesaian pengenalan penyakit... 75 Tabel XXV. Permasalahan pada kesesuaian pemilihan obat... 79 Tabel XXVI. Jenis distribusi dari data pengetahuan, sikap, dan tindakan

swamedikasi common cold responden ... 82 Tabel XXVII. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan pengetahuan

swamedikasi common cold responden... 84 Tabel XXVIII. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan sikap

swamedikasi common cold responden ... 85 Tabel XXIX. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan tindakan

swamedikasi common cold responden ... 86 Tabel XXX. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan pengetahuan

swamedikasi common cold responden ... 87 Tabel XXXI. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan sikap

swamedikasi common cold responden ... 89 Tabel XXXII. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan tindakan

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur saluran pernafasan... 10

Gambar 2. Mekanisme virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi... 13

Gambar 3. Patogenesis common cold ... 13

Gambar 4. Bagan langkah-langkah dalam pengembangan intervensi yang dimaksudkan pada peningkatan penggunaan obat yang rasional oleh konsumen ... 24

Gambar 5. Langkah-langkah dalam peningkatan penggunaan obat yang rasional ... 24

Gambar 6. Algoritma swamedikasi common cold ... 26

Gambar 7. Hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi... 38

Gambar 8. Profil sampel klaster yang diperoleh dengan teknik klaster multi tahap... 46

Gambar 9. Bagan tata cara penelitian ... 61

Gambar 10. Karakteristik umur responden ... 63

Gambar 11. Karakteristik tingkat pendidikan responden... 64

Gambar 12. Kategorisasi tingkat pendidikan responden ... 65

Gambar 13. Karakteristik tingkat pendapatan responden ... 65

Gambar 14. Kategorisasi tingkat pendapatan responden ... 67

(20)

Gambar 16. frekuensi responden melakukan swamedikasi dalam satu bulan terakhir ... 68 Gambar 17. Frekuensi responden terserang common cold dalam satu

bulan terakhir ... 69 Gambar 18. Jenis obat yang digunakanresponden dalam swamedikasi

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Perijinan ... 98

Lampiran 2. Pedoman wawancara... 116

Lampiran 3. Kuesioner ... 122

Lampiran 4. Hasil uji reliabilitas kuesioner... 125

Lampiran 5. Data karakteristik rsponden ... 126

Lampiran 6. Data skor hasil kuesioner ... 129

Lampiran 7. Analitik deskriptif variabel pengetahuan, sikap dan tindakan . 134 Lampiran 8. Hasil uji statistik chi-square ... 135

(22)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Salah satu kebiasaan manusia yang diwarisi dari nenek moyangnya ialah melakukan swamedikasi atau pengobatan sendiri jika menderita sakit (Sartono,1993). Swamedikasi adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat-obat tanpa resep untuk mengatasi penyakit-penyakit ringan (minor illness) secara tepat dan bertanggung jawab (Holt dan Hall, 1990). Swamedikasi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan obat tradisional atau jamu dan obat-obat modern baik dari golongan obat bebas maupun golongan obat bebas terbatas (Sartono, 1993).

(23)

Dalam menentukan pengambilan keputusan pengobatan mandiri dapat dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, pengetahuan, tingkat pendidikan, serta persepsi seseorang terhadap gejala-gejala penyakit dan cara penyembuhannya. Keterkaitan terhadap struktur budaya setempat dan latar belakang pendidikan turut menentukan pengambilan keputusan swamedikasi (Schwartz & Hoopes, 1990).

Common cold merupakan infeksi virus yang dapat sembuh dengan sendirinya, merupakan 50% dari semua penyakit yang dialami orang dewasa dan sekitar 75% dari penyakit pada anak-anak (Tietze, 2004). Menurut hasil sensus .

US Census Bureau, International Data Base menunjukkan bahwa kejadian

common cold sebanyak 66 juta kasus di Amerika Serikat pada tahun 1994 dan hampir separuh dari kasus tersebut terjadi pada usia dibawah 17 tahun (Anonim, 2004). Berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2002 menunjukkan bahwa 45,14 % penduduk Indonesia mempunyai keluhan sakit

common cold sedangkan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 47,13% (DepKes RI, 2003).

(24)

dengan penyakit infeksi saluran pernapasan lain. Menurut (Slotnick, 2001), infeksi pada common cold dapat juga mengakibatkan tubuh mudah terserang tipe infeksi lain, termasuk bronkritis, infeksi telinga, dan infeksi sinus. Gejala common cold yang berlangsung lebih dari satu minggu dapat juga menunjukkan adanya penyakit yang lebih parah, seperti influenza atau pneumonia. Oleh karena itu ketepatan pengenalan penyakit dan pemilihan tindakan maupun pemilihan obat dalam swamedikasi common cold harus diperhatikan.

Permasalahan seputar swamedikasi relatif banyak yang tidak muncul ke permukaan karena sesuai dengan konsep swamedikasi bahwa tindakan pengobatan dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa intervensi dan pengawasan dari tenaga kesehatan. Obat – obat yang digunakan untuk swamedikasi juga obat tanpa resep yang dapat diperoleh di warung – warung biasa dan tidak harus di apotek. Berdasarkan hasil penelitian tentang pengobatan sendiri sakit kepala, demam, batuk dan pilek di Jawa Barat (Supardi dan Notosiswoyo, 2005) menunjukkan bahwa pengobatan sendiri yang benar (sesuai dengan aturan) masih rendah.

(25)

swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu khususnya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1. Permasalahan Penelitian

a. Seperti apa karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi common cold di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ?

b. Seperti apa permasalahan yang timbul dalam swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

c. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

d. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi penyakit common cold

oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

2. Keaslian Penelitian

(26)

Penelitian tersebut lebih menguraikan tentang pemilihan dan penggunaan obat selesma tanpa resep untuk anak yang dilakukan oleh orang tua. Penelitian mengenai pengobatan sendiri dengan obat selesma tanpa resep yang dilakukan oleh Kusumaningrum (2000) yang lebih menguraikan tentang pertimbangan mahasiswa Universitas Sanata Dharma dalam Pemilihan obat selesma. Penelitian mengenai Pengobatan Sendiri Sakit Kepala, Demam, Batuk dan Pilek pada Masyarakat di Desa Ciwalen, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat oleh Supardi dan Notosiswoyo (2005) yang dilakukan untuk menggali pola perilaku swamedikasi yang dikhususkan pada penyakit demam, sakit kepala, batuk dan pilek, yang dilakukan dengan wawancara.

(27)

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dibidang kefarmasian mengenai gambaran permasalahan yang timbul pada swamedikasi common cold serta memberikan informasi yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu farmasi mengenai hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Manfaat praktis

Dengan mengetahui gambaran permasalahan dalam swamedikasi common cold serta hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold maka hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan model edukasi swamedikasi

common cold pada suatu populasi agar dapat melakukan tindakan swamedikasi secara tepat dan benar dalam menangani penyakit common cold.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan pada perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan terhadap perilaku swamedikasi common cold

(28)

sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan model edukasi swamedikasi

common cold .

2. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini dilakukan untuk :

a. Mengetahui karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit common cold di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Mengetahui gambaran permasalahan yang timbul dalam swamedikasi

common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

c. Mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(29)

BAB II

PENELAHAAN PUSTAKA

A. Sistem Pernafasan

Pernafasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Fungsi dari sistem pernapasan adalah untuk mengambil O2 yang kemudian dibawa oleh darah ke seluruh tubuh untuk mengadakan pembakaran, mengeluarkan CO2 hasil dari metabolisme (Gunawan, 2006).

a. Hidung

Merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang dipisahkan oleh sekat septum nasi. Di dalamnya terdapat bulu-bulu untuk menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi untuk menghangatkan udara (Gunawan, 2006). Udara kering, panas, atau dingin dilembabkan dan dihangatkan atau didinginkan pada waktu mereka melewati membran hidung yang kaya akan darah (Hardnge and Shryock, 2003).

b. Faring

(30)

bagian atas, di sebelah kanan dan kiri, terdapat adenoids yang mengelilingi

saluran pendengaran. Sedikit di bawah adenoids terdapat amandel atau palatine

tonsils di kanan dan kiri. Di antara amandel terdapat jaringan limfe kecil yang

agak terpencar. Pada waktu udara yang dihirup melewati struktur limfe ini,

mereka menyaring kuman-kuman penyebab penyakit (Hardnge and Shryock,

2003).

c. Laring

Merupakan saluran udara dan bertindak sebelum sebagai pembentuk suara.

Terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk

ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita

suara dan bagian epiglottis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Gunawan,

2006).

d. Trakea

Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 – 20 cincin yang

terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi untuk

mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh

selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk

mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan

(Gunawan, 2006). Bila fungsi silia terganggu sehingga lendir berkumpul, maka

batuk akan membersihkan saluran pernafasan (Hardnge and Shryock, 2003).

e. Bronkus

Merupakan lanjutan dari trakea, mempunyai struktur serupa dengan trakea

(31)

bronkiolus, disini terdapat cincin dan terdapat gelembung paru yang disebut

alveolli (Gunawan, 2006).

f. Paru-paru

Paru-paru merupakan saluran bercabang-cabang, dari cabang tenggorok besar

hingga bronchioles. Bronchioles yang jumlahnya sangat banyak terdiri dari

kantung-kantung udara yang disebut alveoli. Dinding alveoli ini hanya setebal

satu lapis sel, sehingga memungkinkan oksigen dan karbondioksida bisa keluar

masuk dengan bebas melewati pembuluh-pembuluh darah kapiler yang

berdekatan (Hardnge and Shryock, 2003).

(32)

Pusat saraf di otak secara otomatis mengendalikan proses pernafasan.

Pusat ini mengirimkan impuls-impuls saraf ke otot-otot pernafasan supaya

berkontraksi dan mengendor secara bergantian. Pusat pernafasan mengendalikan

tindakan-tindakan seperti batuk dan bersin. Bila lapisan saluran pernafasan

teriritasi, pusat pernafasan memberikan tanda pada otot perut untuk segera

berkontraksi. Hal ini dengan tiba-tiba mendorong udara ke arah atas melalui

saluran udara. Pada batuk, udara dipaksa keluar melalui mulut; pada bersin,

melalui hidung dan mulut. Tindakan tiba-tiba batuk dan bersin menolong

mengeluarkan zat-zat yang menyebabkan terjadinya iritasi (Hardnge and

Shryock, 2003).

B. Common cold 1. Definisi

Common cold merupakan infeksi virus pada saluran pernafasan atas yang

dapat sembuh dengan sendirinya. Penyebab yang paling sering pada Common cold

adalah Rhinovirus (Tietze, 2004). Bryant and Lombardy (1990) mendefinisikan

common cold sebagai gabungan berbagai gejala yang mengganggu saluran

pernafasan atas, terutama selaput lendir hidung yang disebabkan oleh virus.

Menurut Hardnge and Shryock (2003), common cold adalah infeksi saluran

pernafasan bagian atas (hidung, sinus, kerongkongan) yang disebabkan oleh salah

satu dari kemungkinan dua ratus virus, yang menyerang sel-sel lapisan tersebut,

(33)

2. Etiologi

Rhinovirus, merupakan penyebab common cold yang paling sering, sekitar

50%, pada orang dewasa dan anak-anak. Patogen lain yang dapat menyebabkan

gejala pada saluran pernafasan yang mirip dengan common cold adalah

Coronavirus, Parainfluenza virus, Adenovirus, Respiratory Syncytial Virus,

Echovirus dan Chocksakievirus (Tietze, 2004). Kondisi yang dapat memicu

timbulnya common cold antara lain daya tahan tubuh yang lemah atau menurun,

pergantian musim biasanya musim dingin, usia balita dan anak-anak lebih mudah

terserang common cold dan pada wanita berkaitan dengan siklus menstruasi.

Infeksi silang common cold kebanyakan terjadi dari kontak secara fisik atau udara

yang disebarkan melalui bersin dan batuk (Li Wan Po, 1997).

3. Patogenesis

Infeksi dimulai ketika Rhinovirus berikatan pada intercellular adhesion

molecular-1 reseptor pada sel epithelial pernafasan di hidung dan nasofaring,

virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi. Hal ini menyebabkan

terjadinya komplek reaksi sistem imun di jaringan yang melibatkan akumulasi

dan aktivasi leukosit dan protein plasma di tempat infeksi, yang akan

mengeluarkan chemokine distress signal dan sitokin, sehingga mengaktifkan

mediator nyeri dan reflek neurogenik, menghasilkan penambahan mediator nyeri,

vasodilatasi, transudasi plasma, sekresi glandular, dan stimulasi reflek nyeri

serabut saraf serta bersin dan batuk. Terjadinya hipersekresi cairan hidung yang

disebabkan reflek mediator nyeri dan mekanisme sistem saraf parasimpatik

(34)

Gambar 2. Mekanisme virus mengalami replikasi dan menyebarkan infeksi (Slotnick, 2001)

Rhinovirus berikatan dengan reseptor ICAM-1

Virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi

Terjadi komplek reaksi sistem imun di jaringan yang melibatkan akumulasi dan aktivasi leukosit mengeluarkan chemokine distress signal atau sitokin

Mengaktivkan mediator nyeri dan reflek neurogenik

Vasodilatasi

Keluarnya lendir pada hidung

Sakit tenggorokan

Stimulasi reflek nyeri serabut saraf

Hidung tersumbat Pengeluaran histamine

dari sel mast

Bersin-bersin Batuk Formasi bradykinin,

(35)

4. Tanda dan Gejala

Gejala pada common cold mulai timbul 1-3 hari setelah terinfeksi.

Tenggorokan sakit merupakan gejala pertama yang diikuti dengan hidung

tersumbat, rhinorrhea (keluarnya lendir pada hidung), bersin, dan batuk. Pasien

akan merasa dingin, sakit kepala, merasa tidak enak badan, myalgia (nyeri otot)

atau demam dengan suhu rendah. Tenggorokan sakit akan berubah dengan cepat.

Gejala berupa rasa tidak menyenangkan pada hidung terjadi selama 2 atau 3 hari

dan batuk, walaupun gejalanya tidak sering (< 20 %), terjadi selama 4 atau 5 hari.

Gejala common cold terjadi berkisar 7 hari. Tanda dan gejala common cold hampir

sama dengan influenza atau penyakit pernafasan lainnya (Tietze, 2004).

Tabel I. Gejala pada penyakit gangguan parnafasan (Tietze, 2004)

Penyakit Tanda dan Gejala

Rhinitis alergi

Mata berair, gatal pada hidung, mata atau tenggorokan, akumulasi cairan yang berlebihan atau keluarnya lendir jernih pada hidung Batuk, sesak nafas nafas berbunyi

Sakit pada tenggorokan, demam, nyeri tekan atau pembengkakan kelenjar limfe

Demam, rhinitis, dan faringitis . Berkembang menjadi batuk, stridor, dan susah bernafas

Nyeri otot, nyeri pada sendi, demam, sakit tenggorokan, batuk tidak produktif

Ear popping, nyeri pada telingga, keluarnya sekret telinga, pendengaran berkurang, kepala seperti berputar

Nyeri pada dada, nafas berbunyi, susah bernafas, batuk produktif, demam yang menetap

Nyeri tekan pada sinus, nyeri pada wajah, demam lebih sari 38,6◦C, sakit gigi, gejala pada saluran pernafasan atas lebih dari 7 hari dengan respon yang rendah pada dekongestan

(36)

Menurut Donatus (1997), perbedaan antara common cold, rhinitis alergi,

dan influenza terletak pada penyebab dan gejala. Isolasi dan identifikasi virus

penyebab merupakan metode yang efektif, namun metode tersebut tidak semudah

dalam praktek yang relevan. Influenza biasanya menimbulkan gejala yang lebih

serius daripada common cold diantaranya adanya temperatur tinggi, lemah dan

lesu, sering digunakan untuk indikasi influenza daripada common cold (Li Wan

Po, 1997).

5. Penatalaksanaan a. Tujuan Terapi

Common cold merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya.

Oleh karena itu pengobatan yang dilakukan bertujuan untuk meringankan

gejalanya saja (Tietze, 2004).

b. Sasaran Terapi

Tidak semua gejala yang timbul harus diobati. Karena merupakan

perluasan gejala sebelumnya, sehingga sasaran terapi adalah gejala yang paling

berat dan merupakan awal rantai gejala berikutnya yaitu cairan nasal dan

sumbatan nasal. Dengan berkurangnya cairan dan sumbatan nasal, rentetan gejala

berikutnya kemungkinan besar juga akan berkurang (Donatus, 1997).

c. Strategi Terapi

Gejala cairan dan sumbatan nasal pada common cold dapat dikurangi atau

dihilangkan dengan dua macam terapi, yaitu terapi non farmakologis dan terapi

(37)

1) Terapi non Farmakologis

Terapi non farmakologis merupakan terapi tanpa obat, antara lain dengan

menambah asupan cairan seperti memperbanyak minum, istirahat yang cukup,

makan makanan yang bergizi dan minum minuman yang hangat (Tietze, 2004).

2) Terapi Farmakologis

Dekongestan merupakan terapi utama common cold. Hidung tersumbat

dapat dihilangkan dengan dekongestan agonis adrenergik topikal atau oral.

Keluarnya lendir cair pada hidung disebabkan oleh beberapa faktor dan hanya

sebagian yang dapat ditangani dengan pengobatan yang tersedia. Antihistamin dan

obat antikolinergik dapat mengurangi gejala keluarnya lendir dari hidung. Bersin

merupakan gejala yang umum namun ringan, dapat dikurangi dengan

antihistamin. Batuk sekunder dengan postnasal drip dapat sembuh dengan

sendirinya namun dapat ditangani dengan dekongestan atau antitusif. Demam

dapat ditangani dengan antipiretik sistemik (Tietze,2004).

a) Dekongestan

Dekongestan khusus untuk menangani sinus dan hidung tersumbat (Tietze,

2004). Obat dekongestan termasuk golongan simpatomimetik amin. Daya

kerjanya sebagai vasokontriktor, yaitu mengecilkan pembuluh darah yang

membengkak pada lapisan mukosa hidung. Obat dekongestan melapangkan

saluran napas dan mengeringkan hidung dan sinus. Daya kerja ini disebabkan oleh

aktivitas alfa-adenergik. Kecuali atas petunjuk dan pengawasan dokter, obat

dekongestan kontraindikasi bagi penderita penyakit glaukoma, tekanan darah

(38)

penyakit kelenjar tiroid. Efek samping lain yang tidak dikehendaki ialah gelisah,

gugup, perut terasa tidak enak, dan sukar tidur (Sartono, 1993).

Dekongestan dibagi menjadi dua, yaitu dekongestan oral dan topikal.

Dekongestan oral yang direkomendasikan oleh FDA (Food and drug

Administration) adalah fenilefrin dan pseudoefedrin. Dekongestan

dikontraindikasikan terhadap penderita dengan riwayat hipersensitif, penderita

yang mendapat terapi MAO. Selain itu beberapa dekongestan dikontraindikasikan

untuk anak dibawah usia 12 tahun. Dekongestan topikal biasanya berefek lebih

lama daripada dekongestan oral. Dekongestan topikal yang beredar di pasaran

antara lain efedrin, epinefrin, fenilefrin, nafazolin, tetrahidrazolin, oximetazolin,

dan xilometazolin (Tietze, 2004).

b) Antihistamin

Obat antihistamin dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi

gejala yang diakibatkan oleh sekresi kelenjar lendir yang berlebihan, yang

menyebabkan hidung tersumbat oleh cairan lendir dan mata terasa gatal. Obat

antihistamin mengurangi daya kerja histamin dengan menempati tempat yang

seharusnya untuk histamin pada reseptor H1. Efek samping obat antihistamin yang

perlu mendapat perhatian ialah mengantuk, yang dapat mengurangi kemampuan

orang khususnya dalam mengendari kendaraan bermotor (Sartono, 1993).

Antihistamin juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitif atau keadaan

lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih. Antihistamin mempunyai

efek mengantuk dan dikontraindikasikan bagi penderita glaucoma, asma, dan

(39)

klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat, prometazin HCl, tripolidin

(Anonim, 1997).

c) Anastetik lokal

Lonzenges, troches, pencuci mulut dan sprays berisi anastetik lokal

(contohnya benzokain,) tersedia untuk membebaskan dari sakit tenggorokan

(Tietze, 2004).

d) Analgesik-Antipiretik

Analgesik sistemik efektif untuk menghilangkan atau mengurangi rasa

sakit yang kadang dihubungkan dengan common cold. Ketika pasien demam

(pada common cold berkisar 100˚F atau 37,8˚C) obat antipiretik tanpa resep

merupakan terapi yang efektif (Tietze, 2004). Obat analgetik-antipiretik adalah

obat-obat yang menghilangkan atau mengurangi rasa sakit, sekaligus menurunkan

suhu tubuh yang tinggi. Obat analgetik-antipiretik mempengaruhi pusat-pusat

pengatur kalor dari sistem saraf pusat (SSP) yang terletak di hipotalamus. Reaksi

yang timbul adalah vasodilatasi pada kulit yang mengakibatkan pengeluaran kalor

bertambah. Menurut Sartono (1993), obat analgetik-antipiretik dapat digolongkan

antara lain turunan salisilat (asetosal dan salisilamid), turunan para-aminofenol

(asetaminofen), turunan pirazolon (metampiron dan fenilbutazon), turunan asam

antharanilat (asam mefenamat), turunan indene (indometasin), golongan

feniramidol (feniramidol HCl).

e) Antitusif dan Ekspektoran

Ketika muncul gejala batuk, biasanya merupakan batuk yang non

(40)

produktif biasanya disebabkan karena terjadinya iritasi pada mukosa faringeal dan

trakea. Antitusif tidak boleh dipakai pada kasus batuk yang produktif atau

berdahak. Batuk berdahak biasanya diobati dengan cara mengurangi dahak pada

trakhea. Pengobatan batuk berdahak dengan ekspektoran bertujuan mengencerkan

dahak sehingga mudah dikeluarkan (Bryant and Lombardy, 1990). Golongan

antitusif yang disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) meliputi

kodein, dekstrometorfan dan difenihidramin (Tietze, 2004).

C. Swamedikasi 1. Definisi

Swamedikasi adalah bagian dari self-care. Menurut World Health

Organization (WHO) tahun 1998, self-care didefinisikan sebagai “what people do

for themselves to establish and maintain health, prevent and deal with illness”.

Sedangkan swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat –

obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati

penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri (“the selection and use of

medicines (include herbal and tradisional product) by individuals to treat

self-recognised illnesses or symptoms”). Sesuai dengan pernyataan bersama antara

World Self-Medication Industry (WSMI) dan Federation International

Pharmaceutical (FIP), self-medication atau swamedikasi didefinisikan sebagai

penggunaan obat – obatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif

mereka sendiri (FIP & WSMI, 1999). Beberapa pustaka menyebutkan definisi

(41)

pengobatan menggunakan obat tanpa resep. Terkait dengan penyakitnya, maka

yang termasuk dalam lingkup swamedikasi adalah minor illnesses atau gejala

yang mampu dikenali sendiri oleh penderita. Seringkali pula istilah self-care dan

self-medication digunakan secara sinonim.

2. Perilaku swamedikasi

Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tingkat

pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam mengatasi

masalah kesehatan (doctor minded), demografi dan epidemiologi, ketersediaan

pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial

ekonomi (Holt and Hall, 1990). Suatu survei yang pernah dilakukan di Amerika

Serikat menyebutkan bahwa terjadi peningkatan perilaku swamedikasi di

kalangan masyarakat dengan beberapa parameter yaitu: 1) tingkat kepuasan

konsumen terhadap keputusan mereka sendiri dalam mengatasi masalah

kesehatannya, 2) kecenderungan melakukan pengobatan sendiri dengan obat tanpa

resep untuk mengatasi simptom yang dirasakan dan penyakit ringan yang umum

diderita, 3) keyakinan bahwa obat tanpa resep aman digunakan apabila dipakai

sesuai petunjuk, 4) keinginan agar beberapa obat yang saat itu harus diperoleh

dengan resep dokter, diubah menjadi tanpa resep, 5) kesadaran membaca label

sebelum memilih dan menggunakan obat tanpa resep, terutama mengenai aturan

pakai dan cara pakai serta efek samping obat (Pal, 2002). Penggunaan obat tanpa

resep untuk swamedikasi menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman,

(42)

Swamedikasi untuk gejala atau penyakit ringan dirasakan oleh penderita

memberikan keuntungan, antara lain kepraktisan dan kemudahan melakukan

tindakan pengobatan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah (Rantucci, 1997).

Beberapa keuntungan dan kerugian sehubungan dengan peningkatan perilaku

swamedikasi terhadap penderita, dokter / pelayanan kesehatan, farmasis,

pengambil kebijakan dan industri farmasi dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini

(Sihvo, 2000).

Tabel II. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi (Sihvo, 2000)

Obyek Keuntungan Kerugian

Hemat waktu Kebiasaan menggunakan OTR

Empowerment Adverse Drug Reaction

Ada indikasi yang tak terobati

Pasien

Kenaikan biaya berobat

Penurunan beban kerja Tidak dapat melakukan monitoring terapi

Farmasis Perannya akan lebih

dibutuhkan di Apotek

Adanya konflik kepentingan antara bisnis dan etika profesi

Pengambil kebijakan Menghemat biaya kesehatan masyarakat

Industri Farmasi Meningkatkan profit pada penjualan obat bebas

-

3. Minor Ailment

Terdapat bermacam – macam pengertian minor ailments, namun secara

(43)

membutuhkan sedikit intervensi atau bahkan tidak sama sekali (self-limited

disease). Beberapa contoh penyakit ringan antara lain infeksi saluran napas atas

karena virus, pusing, demam, batuk, gusi bengkak, dermatitis kontak, diare, dll

(Colin-Thome, 2004).

4. Obat Bebas, Bebas Terbatas dan OWA

Penggolongan obat di Indonesia terdiri dari 6 golongan yaitu: 1) obat

bebas, 2) obat bebas terbatas, 3) obat wajib apotek (OWA), 4) obat keras, 5)

psikotropika, dan 6) narkotika (DepKes RI, 1996c). Golongan obat yang dapat

diperoleh tanpa resep dokter adalah obat bebas, bebas terbatas dan OWA, khusus

untuk yang disebut terakhir adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep

dokter hanya oleh apoteker di apotek dan terbatas pada obat keras yang tercantum

dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Obat Wajib Apotek

(DepKes RI, 1996b).

Golongan obat bebas dapat diperoleh secara bebas tanpa resep dokter, baik

di apotek maupun di toko-toko atau warung. Obat bebas terbatas juga dapat dibeli

tanpa resep dokter, dengan syarat hanya dalam jumlah yang telah ditentukan dan

disertai tanda peringatan (Depkes RI, 1996c).

Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter untuk swamedikasi harus

memenuhi kriteria, yaitu: 1) tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada

wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas usia 65 tahun, 2)

pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada

kelanjutan penyakit, 3) penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat

(44)

untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia, 5) obat dimaksud memiliki

rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan

sendiri (Depkes RI, 1993).

5. Pengobatan yang Rasional

Penggunaan obat secara rasional dapat diartikan sebagai pengobatan

terhadap penyakit, apabila pasien menerima obat yang memenuhi persyaratan

antara lain tepat indikasi (obat yang akan digunakan berdasarkan pada diagnosis

penyakit yang akurat), tepat penderita (tidak ada kontraindikasi atau kondisi

khusus yang memerlukan penyesuaian dosis atau mempermudah timbulnya efek

samping), tepat obat (pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan keamanan),

tepat dosis (takaran, jalur, saat, dan lama pemberian sesuai dengan kondisi

penderita), dan waspada efek samping obat (Donatus, 1997).

World Health Organization (2004) menyatakan bahwa untuk

meningkatkan kesesuaian penggunaan obat yang rasional oleh masyarakat

dibutuhkan suatu edukasi. Intervensi atau edukasi yang diberikan kepada

konsumen akan lebih relevan apabila hal tersebut difokuskan pada pola umum

penggunaan obat yang tidak rasional, dan permasalahan yang terdapat pada

penggunaan obat. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menentukan

(45)

Langkah 1

Gambar 4. Bagan langkah-langkah dalam pengembangan suatu intervensi yang dimaksudkan pada peningkatan penggunaan obat yangrasional oleh konsumen

(WHO, 2004)

EXAMINE

Mengukur Praktek yang Ada ( penelitian deskriptif kuantitatif)

(46)

6. Peran Apoteker Dalam Swamedikasi

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

922/MENKES/PER/X/1993 pasal 15 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam upaya

penggunaan obat yang benar oleh masyarakat, apoteker wajib memberikan

informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan

rasional atas permintaan masyarakat (DepKes RI, 1996a). Dalam menyikapi

perilaku swamedikasi maka peran apoteker dalam pemberian informasi obat

sangat mendukung swamedikasi yang rasional.

Peran Apoteker dalam swamedikasi adalah dalam hal pemberian

informasi, saran dan konseling. Peran ini dapat membantu masyarakat memilih

produk obat yang efektif dan aman. Apoteker tidak hanya memberikan informasi

obat namun bisa pula membantu dan merekomendasikan obat apa yang sebaiknya

dipilih oleh pasien. Apoteker tidak hanya bertugas untuk menyediakan,

menyiapkan dan menyerahkan obat saja, namun harus menjamin bahwa obat yang

diberikan efektif, aman, dan bermutu baik serta sesuai dengan kebutuhan pasien.

Dalam pengobatan sendiri, apoteker juga berperan dalam hal pemberian informasi

penggunaan obat dengan tepat dan menyarankan agar pasien patuh dalam

(47)

7. Algoritma swamedikasi pada common cold Pasien menderita common cold

Mengetahui riwayat pengobatan, termasuk dengan obat-obat alternatif (tidak)

(ya)

Kriteria ekslusi swamedikasi:

Demam > 38,5 C; nyeri dada; nafas menjadi pendek; gejala yang semakin memburuk; penyakit kardiopulmonari, seperti asma, COPD, CHF; penyakit immunosuppressant, AIDS; pasien dalam kondisi yang lemah

Hubungi dokter

Digunakan decongestan hidung dan antihistamin atau produk yang mengandung alcohol pada malam hari

Disesuaikan dosisnya atau mengganti dengan agen lain.

Gejala berkaitan dengan alergi Keluhan utama adalah batuk

Dianjurkan dengan terapi tanpa obat dengan minum banyak dan istirahat cukup

(ya)

terapi sesuai dengan yang dibutuhkan i

(48)

D. Perilaku

Perilaku merupakan respon dari seseorang terhadap stimulus yang berasal

dari luar maupun dari dalam dirinya dan perilaku seseorang dapat berubah dengan

diperolehnya tambahan informasi tentang obyek tersebut, melalui persuasi serta

tekanan dari kelompok sosialnya ( Sarwono, 1997).

Perilaku kesehatan adalah segala bentuk pengalaman dan interaksi

individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan

tentang kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Proses

pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dari

dalam maupun dari luar individu (Sarwono, 1997).

Perilaku dan usaha yang dilakukan oleh masyarakat ketika terserang

penyakit ada bermacam-macam, diantaranya adalah (1) tanpa tindakan atau no

action, alasannya kondisi yang dialami tidak mengganggu kegiatan atau pekerjaan

mereka sehari-hari dan mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak

apa-apa simptom yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. No action itu juga

bisa disebabkan fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat jauh letaknya, para

petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak responsif dan sebagainya.

(2)mengobati sendiri (self treatment) dengan alasan yang sama seperti di atas,

ditambah dengan kepercayaan terhadap diri sendiri untuk mengobati penyakit

yang diderita berdasarkan pengalaman-pengalaman pengobatan sendiri yang

sudah menimbulkan kesembuhan. Self treatment yang dilakukan ada dua macam,

yaitu mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional dan mencari

(49)

umumnya adalah obat-obat tanpa resep. (3) mencari pangobatan ke fasilitas

pengobatan modern, baik itu dokter praktek, rumah sakit, balai pengobatan, atau

puskesmas (Notoatmodjo, 2003).

Untuk menganalisis bagaimana proses seseorang dalam membuat

keputusan sehubungan dengan pencarian atau pemecahan masalah perawatan

kesehatanya, dibagi kedalam 5 tahap, yaitu :

1. tahap pengalaman atau pengenalan gejala (the symptom experience). Pada

tahap ini individu membuat keputusan bahwa di dalam dirinya ada suatu

gejala penyakit, yang didasarkan kepada adanya ketidak-enakan pada

badannya, kmudian juga rasa tidak enak, gejala tersebut dirasaka sebagai

ancaman bagi dirinya.

2. tahap asumsi peranan sakit (the assumption of the sick role). Pada tahap ini

individu membuat keputusan bahwa ia sakit dan memerlukan pengobatan

kemudian ia mulai berusaha untuk mengobati sendiri dengan caranya sendiri.

Di samping itu ia mulai mencari informasi dari anggota keluarga lain, tetangga

atau teman sekerja.

3. tahap kontak dengan pelayanan kesehatan (the medical care contact). Pada

tahap ini individu mulai berhubungan dengan fasilits kesehatan atau pelayanan

kesehatan, sesuai dengan pengetahuan, pengalaman serta informasi yang ada

pada dirinya tentang jenis-jenis pelayanan kesehatan.

4. tahap ketergantungan pasien (the dependent patient stage). Pada tahap ini

individu memutuskan bahwa dirinya, karena peranannya sebagai psien, maka

(50)

5. tahap penyembuhan atau rehabilitasi (the recovery of rehabilitation). Pada

tahap ini pasien atau individu memutuskan untuk melepaskan diri dari peran

pasien. Dengan hal ini dapat terjadi dua kemungkinan, pertama ia pulih

kembali seperti sebelum sakit. Kedua, ia menjadi cacat yang berarti tidak

dapat sempurna melakukan fungsinya seperti sebelum sakit.

Kelima tahap kejadian tersebut sekaligus merupakan isi dan urutan dari prilaku

sakit, tetapi dalam kenyataannya mungkin dapat berbeda, artinya kelima tahap ini

tidak selalu ada pada semua penyakit (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2003), untuk mengukur domain perilaku yang

terdiri dari ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor diukur dari :

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa,dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain

kognitif mempunyai enam tingkatan, meliputi tahu (know), paham

(comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis),

(51)

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai kegiatan mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling

rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang yang dipelajari

antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan

sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus

dapat menjelaskan dan menyebutkan contoh terhadap obyek yang dipelajari.

Orang yang telah paham terhadap obyek materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat

diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,

prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek

ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi

(52)

dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti menggambarkan (membuat bagan),

membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada.

2. Sikap

Sikap dikatakan sebagai respon. Respon hanya akan timbul apabila

individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki timbulnya reaksi

individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk respon yang dinyatakan sebagai

sikap itu didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu, yang memberi

kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam berntuk baik atau buruk, menyenangkan

atau tidak menyenangkan, suka dan tidak suka, yang kemudian mengkristal

sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 1995).

Menurut Notoatmodjo (2003), sikap belum merupakan suatu tindakan

atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu prilaku. Sikap

(53)

tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap

objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Seperti

halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari beberapa tingkatan:

a. menerima (receiving), menerima diartikan bahwa subyek mau memperhatikan

stimulus yang diberikan.

b. merespon (responding), memberikan jawaban ketika ditanya, mengerjakan,

dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

c. menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan sesuatu masalah adalah suatu indikasi sikap yang ketiga.

d. bertanggung jawab (responsible), bartanggung jawab atas segala sesuatu yang

telah dipilihya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan

faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas dan

faktor pendukung (Notoatmodjo, 2003). Teori aksi yang juga dikenal sebagai teori

bertindak ini pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber. Weber berpendapat

bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman,

persepsi, pemahaman, dan penafsiran atas suatu obyek stimulus atau situasi

tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu

mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana – sarana yang paling tepat

(54)

Menurut Notoatmodjo (2003), tindakan mempunyai beberapa tingkatan

sebagai berikut ini:

a. persepsi (perception), persepsi diartikan sebagai mengenal dan memilih

berbagai objek yang sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b. respon terpimpin (guided response), dapat melakukan sesuai dengan urutan

yang benar dan sesuai dengan contoh adalah indikator tindakan tingkat kedua.

c. mekanisme (mechanism), apabila seseorang telah dapat melalukan sesuatu

dengan benar secara otomatis, atau sesuatu yang sudah merupakan kebiasaan,

maka sudah mencapai tindakan tingkat tiga.

d. adopsi (adoption), adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang

dengan baik. Artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasi tanpa mengurangi

kebenaran tindakan tersebut.

E. Teori tentang Perilaku 1. Teori Aksi

Teori aksi yang juga dikenal sebagai teori bertindak ini (action theory)

pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber. Weber berpendapat bahwa

individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi,

pemahaman, dan penafsirannya atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu.

Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai

tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat (Ritzer, 1983, cit.,

(55)

Teori Weber dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, yang mulai

dengan mengkritik Weber, menyatakan bahwa aksi atau action itu bukanlah

perilaku atau behavior. Aksi merupakan tanggapan atau respon mekanis terhadap

suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan

kreatif (Sarwono, 1997).

Menurut Parsons, yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan

norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur perilaku

(Poloma, 1987, cit., Sarwono, 1997). Kondisi obyektif disatukan dengan

komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk

tindakan sosial tertentu. Parsons melihat bahwa tindakan individu dan kelompok

dipengaruhi tiga sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian

masing-masing individu.

2. Model Perubahan Perilaku dari Green

Suatu teori lain dikembangkan oleh Lawrence Green yang mengatakan

bahwa kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok,

yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor diluar perilaku (non perilaku). Selanjutnya

faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor: faktor-faktor

predisposisi, pendukung, dan pendorong. Faktor predisposisi (predisposing

factors) mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma

sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat.

Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan

dan kemudahan untuk mencapainya, sedangkan faktor pendorong (reinforcing

(56)

pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan

menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan

sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut

dan terhadap kesehatan pada umumnya (Sarwono, 1997).

3. Model kepercayaan kesehatan dari Rosenstock

Menurut Rosenstock (1982) model kepercayaan kesehatan mencakup

lima unsu utama (cit., Sarwono, 1997). Unsur utama adalah persepsi individu

tentang kemungkinannya terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa

terancam. Unsur yang kedua adalah pandangan individu tentang beratnya penyakit

tersebut (perceived seriousness), yaitu resiko dan kesulitan apa saja yang akan

dialaminya dari penyakit itu. Semakin berat resiko suatu penyakit maka semakin

besar kemungkinan individu itu terserang penyakit tersebut sehingga timbul

ancaman yang besar dari dalam dirinya (perceived threast). Ancaman ini

mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan

penyakit. Beberapa alternatif tindakan ditawarkan oleh petugas kesehatan untuk

mengurangi ancaman tersebut. Individu akan mempertimbangkan, apakah

alternatif tersebut dapat mengurangi ancaman penyakit. Sebaliknya, konsekuensi

negatif dari tindakan yang dianjurkan (biaya yang lebih mahal, rasa malu, takut

akan rasa sakit, dan sebagainya) seringkali menimbulkan keinginan individu

untuk menghindari alternatif yang dianjurkan petugas kesehatan. Dalam

memutuskan, menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut, diperlukan satu

(57)

individu, nasehat orang lain, kampanye kesehatan, dan lain-lain (cit., Sarwono,

1997).

F. Beberapa Variabel yang Berhubungan dengan Perilaku Swamedikasi 1. Pendidikan

Terkait erat dengan pengetahuan adalah pendidikan. Pendidikan

didefinisikan sebagai serangkaian proses belajar yang ditandai dengan

penyampaian materi dari pendidik terhadap anak didik dan bermaksud untuk

menghasilkan perubahan tingkah laku. Terdapat korelasi negatif antara pendidikan

ibu dengan angka kematian anak. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin rendah

angka kematian anak, karena dengan semakin tinggi pendidikan perempuan, maka

ia akan lebih berdaya dalam mengambil keputusan yang benar terhadap

pengobatan anaknya. Hal ini akan mengurangi fatalitas dalam menghadapi anak

yang sakit. Ibu yang berpendidikan tinggi juga akan lebih cepat menerima

datangnya informasi-informasi positif mengenai kesehatan (Hendarwan, 2003).

2. Pendapatan

Pendapatan berhubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan. Bagi

masyarakat dengan tingkat pendapatan yang rendah, biaya pengobatan menjadi

pertimbangan utama dalam mencari pengobatan. Biaya pengobatan menjadi

pertimbangan penting bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah,

sehingga akan cenderung mencari pertolongan kesehatan disesuaikan dengan

(58)

memiliki keterbatasan dalam keuangan, maka mereka akan menggunakan

pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas (Hendarwan, 2003).

G. Landasan teori

Swamedikasi dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu keyakinan dan

sikap, karakteristik demografi, status ekonomi, dan pendidikan atau pengetahuan

konsumen. Faktor keyakinan dan sikap meliputi penghargaan terhadap nilai

kesehatan, motivasi dan tanggung jawab untuk mempelajari penyakit yang

diderita dan perawatannya, persepsi tingkat keseriusan penyakit, kecenderungan

dipengaruhi oleh orang lain. Karakteristik demografi meliputi usia, jumlah

keluarga, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Faktor ekonomi meliputi status

ekonomi seseorang, biaya perawatan kesehatan, kemudaha untuk mendapatkan

produk kesehatan, dan ketersediaan produk maupun pelayanan. Faktor pendidikan

atau pengetahuan antara lain meliputi tingkat pendidikan seseorang, pengetahuan

dasar mengenai konsdisi kesehatan yang diderita dan pengobatannya, kemampuan

untuk menginterprestasikan informasi kesehatan atau informasi pasa wadah

maupun didalamnya, tersediannya informasi yang berguna dari tenaga kesehatan

(59)

Gambar 7. Hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi penyakit common cold

tingkat pendidikan

tingkat pendidikan

pengetahuan

sikap

tindakan tingkat pendidikan

tingkat pendapatan pengetahuan

sikap tingkat pendapatan

tingkat pendapatan tindakan

H. Hipotesis

1. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan swamedikasi common cold

H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan

swamedikasi common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan

swamedikasi common cold.

2. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi common cold

H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi

common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi

common cold.

(60)

H0: tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan

swamedikasi common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan swamedikasi

common cold.

4. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan swamedikasi common cold

H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan

swamedikasi common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan

swamedikasi common cold.

5. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap swamedikasi common cold

H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikapswamedikasi

common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap swamedikasi

common cold.

6. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi common cold

H0: tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan

swamedikasi common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi

(61)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

(62)

B. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan ibu-ibu yang melakukan swamedikasi common cold.

2. Variabel tergantung (dependent) dari penelitian ini adalah perilaku swamedikasi common cold yang meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan.

C. Definisi Operasional

1. Swamedikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemilihan dan penggunaan obat yang diberikan tanpa resep dokter, termasuk obat tradisional yang dilakukan oleh ibu-ibu untuk mengobati dan atau untuk menghilangkan gejala penyakit common cold, baik untuk diri sendiri dan atau orang lain. 2. Common cold yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyakit ringan

yang dikarkterisasi dengan gejala hidung tersumbat, keluarnya lendir cair dari hidung, bersin dan batuk, badan terasa dingin, sakit kepala, tidak enak badan, nyeri otot atau demam rendah. Common cold sering disebut juga dengan istilah flu ringan atau batuk pilek.

3. Responden adalah ibu-ibu yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta yang pernah melakukan, menangani maupun mendengar/mengetahui swamedikasi penyakit common cold.

(63)

5. Identifikasi permasalahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi permasalahan dalam swamedikasi common cold yang terdiri dari aspek pengetahuan tentang swamedikasi, aspek kesesuaian pengenalan penyakit common cold dan aspek kesesuaian pemilihan obat common cold. 6. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang berhasil

diselesaikan oleh responden. Responden dikatakan mempunyai tingkat pendidikan rendah apabila pendidikan terakhirnya tidak bersekolah, SD dan SLTP atau yang sederajat, sedangkan tingkat pendidikan tinggi apabila pendidikan terakhir responden SLTA, Perguruan Tinggi atau yang sederajat. 7. Tingkat pendapatan adalah pendapatan keluarga responden yang digambarkan

melalui pendapatan bapak dan atau ibu per bulan. Tingkat pendapatan dikatakan rendah jika pendapatan keluarga kurang dari Rp. 1500.000,00, sedangkan tingkat pendapatan tinggi jika pendapatan keluarga lebih dari Rp. 1500.000,00.

8. Perilaku swamedikasi penyakit common cold adalah pengetahuan, sikap dan tindakan yang diketahui atau dilakukan responden dalam swamedikasi penyakit common cold.

Gambar

Gambar 16. frekuensi responden melakukan swamedikasi dalam satu
Gambar 1.  Struktur saluran pernafasan (Anonim, 1995)
Gambar 2. Mekanisme virus mengalami replikasi
Tabel I. Gejala pada penyakit  gangguan parnafasan (Tietze, 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan tingkat pengetahuan dan perilaku swamedikasi obat asam mefenamat dan membuktikan apakah ada hubungan

Batuk berdahak apabila lendir hijau; Batuk kering apabila di dada sakit 8,4 Batuk berdahak apabila ada lendir, suara nglokor; Batuk kering apabila tidak ada berdahak 4,5

Berdasarkan suatu penelitian terdapat 48% penggunaan obat bebas untuk mengatasi asma, sehingga perlu diketahui seperti apakah karakteristik pelaku swamedikasi serta

Pendidikan terakhir (p-value 0,000) dan pendapatan (p-value 0,008) mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu-ibu mengenai swamedikasi demam di dusun Wonorejo RW 08,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan, umur dan pendapatan terhadap pengetahuan dan sikap swamedikasi untuk sakit kepala

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan terhadap swamedikasi diare masyarakat Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan.. Sampel pada

hasil bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku swamedikasi obat piroxicam di apotek yang dilakukan terhadap pasien di beberapa Apotek

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP PERILAKU SWAMEDIKASI BATUK PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS AISYIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2022 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat