HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENYAKIT COMMON COLD
OLEH IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Andriana Isti Handayani NIM : 048114032
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENYAKIT COMMON COLD
OLEH IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Andriana Isti Handayani NIM : 048114032
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
”And I pray that you may have the power to grasp
how wide,
and how long,
and how high,
and how deep,
Is the love of Christ, and to know
this love that surpasses all knowledge”
Ephesus 3 : 18
“Masa depan itu milik Tuhan
dan hanya Dia yang dapat mengungkapkannya,
dalam kondisi yang luar biasa.
Jalanilah setiap hari menuju ajaran,
percayalah bahwa Tuhan mencintai hamba-hambanya.
Tiap-tiap hari pada dirinya, membawakan suatu Keabadian”
PAULO COELHO
Kupersembahkan karya ini untuk :
Jesus Christ & Mother Marry….
My Parents,
My Love Maheswara Wisnubhuana
My Brothers & My Sisters…..
PRAKATA
Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Hubungan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi Penyakit Common Cold oleh Ibu-Ibu di Provinsi Daerah Istimwa Yogyakarta”.
Penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, sekaligus sebagai upaya memperdalam dan memperluas wawasan serta menambah wacana di dunia farmasi. Penulis dengan penuh kesadaran memahami bahwa penelitian ii masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu saran dari pembaca sangat diharapkan.
Penulis telah mendapatkan segala bentuk bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian serta memberi dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes., selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam skripsi ini.
5. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si.,Apt. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam skripsi ini.
6. Penyandang Hibah A3, atas kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
7. Bapak dan Ibu, yang senantiasa memberikan dukungan, doa dan kasih sayangnya.
8. Kakak-kakak dan adik-adikku, mbak Tanti, mas Puji, mas Aris, mas Pujo, mbak Susi, mbak Surat, Jati . Terimakasih buat pengertian dan bantuan yang selalu diberikan.
9. Maheswara Wisnubhuana. Terimakasih untuk semuanya, untuk kasih sayang, penyertaan, dan motivasi serta dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman seperjuangan Rissa, Tice, Pipin, Henny, Limdra, Ari dan Fandy, atas kerjasama dan kebersamaannya selama penelitian sehingga penelitian ini dapat selesai.
11.Teman-teman tersayang : Sisca, Wida, Atin, Nur, Rina, Fila, Sisil, Nana, Manda, Novi, Made, Liza, Reni, dan segenap mahasiswa angkatan 2004 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma khususnya FKK.
12.Dito dan Edi atas bantuannya selama melakukan penelitian 13.Anak-anak wisma Mawar, atas semua bantuannya.
15.Semua responden yang telah memberikan waktunya untuk diwawancara, tanpa mereka maka skripsi ini tidak akan pernah ada.
16.Semua pihak, yang langsung maupun tidak langsung telah membantu penyusunan skripsi ini.
Semoga Tuhan yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya atas segala kebaikan yag telah dilakukan. Ahkir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua yang membutuhkan.
Penulis
INTISARI
Tindakan swamedikasi mempunyai kecenderungan untuk meningkat dari waktu ke waktu. Common cold termasuk penyakit yang banyak diderita dan ditangani dengan swamedikasi. Perbedaan usia, status sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan berpengaruh dalam menentukan pengambilan keputusan swamedikasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang timbul pada swamedikasi common cold serta hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah non eksperimental deskriptif dan analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian ini merupakan penelitian klaster multi tahap, dimana pemilihan sampel dilakukan secara random pada tingkat kabupaten, kecamatan, desa, dusun, dan tingkat sampel. Instrumen yang digunakan pedoman wawancara dan kuesioner dengan skala Likert. Data kualitatif diolah secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan uji statistik chi-square.
Hasil analisis data kualitatif menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang swamedikasi dalam hal pemahaman swamedikasi, pertimbangan melakukan swamedikasi dan tindakan yang dilakukan ketika swamedikasi yang dilakukan hasilnya tidak membaik masih kurang. Pada bagian pengenalan penyakit terdapat ketidaksesuaian dalam pengenalan gejala, penyebab dan defferensial diagnosis common cold. Pada bagian pemilihan obat terdapat ketidaksesuaian dalam melakukan pertimbangan pemilihan obat, pemilihan obat yang tidak sesuai, dan kurangnya tingkat kesadaran responden untuk membaca informasi yang lengkap sebelum menggunakan obat.
Hasil analisis data kuantitatif menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan dan tindakan swamedikasi common cold;
tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi common cold; ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi
common cold; serta tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan dan sikap swamedikasi common cold.
ABSTRACT
Self medication practice tends to develop from time to tome. Common cold belong to most common prevalence illness and can be cure by self medication. The different of age, social economic status, and education level influence the decision to self medication. The aim of this study are to find problem that appear in common cold self medication practice and to find the relation between education and income level toward common cold self medication behavior by housewife in Daerah Istimewa Yogyakarta.
The method of this study is non experimental descriptive and analytic with cross sectional research planning. This is a multilevel cluster research in which the sample determination randomly on level of regencies, sub districts, rural, cluster of village and sample. Qualitative data from the interview is processed descriptively, while the quantitative data use chi-square statistic test.
The result of qualitative data show that problem appear in self medication practice are lack in understanding self medication practice, inappropriate way in considering self medication practice, and the steps that they do if self medication not success is less appropriate. In the explanation about the disease, there is inappropriate way in identifying the symptom, causes, and about differential diagnosis common cold. Problem that appear in aspect of appropriateness medication are considering to choose the medication, inappropriate way in choosing medicine, and lack of awareness from respondent to read the complete information before using medicine.
The analysis of quantitative data show four possibilities. First, there is a relation between education level to common cold self medication knowledge and practice. Second, there is no relation between education level to common cold self medication attitude. Third, there is a relation between economic level to common cold self medication practice. The last, there is no relation between economic level to common cold self medication knowledge and attitude.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PRAKATA... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
INTISARI. ... ix
ABSTRACT... x
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xix
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan Masalah ... 4
2. Keaslian Penelitian... 4
3. Manfaat Penelitian ... 6
B. Tujuan Penelitian ... 6
1. Tujuan Umum ... 6
2. Tujuan Khusus ... 7
A. Sistem Pernafasan ... 8
B. Common Cold ... 11
1. Definisi... 11
2. Etiologi ... 12
3. Patogenesis... 12
4. Tanda dan Gejala... 13
5. Penatalaksanaan ... 15
C. Swamedikasi ... 19
1. Definisi ... 20
2. Perilaku Swamedikasi ... 21
3. Minor Ailment ... 21
4. Obat Bebas, Bebas Terbatas dan OWA ... 22
5. Pengobatan yang Rasional ... 23
6. Peran Apoteker dalam Swamedikasi... 25
7. Algoritma Swamedikasi pada Common Cold ... 26
D. Perilaku ... 27
1. Pengetahuan ... 29
2. Sikap... 31
3. Tindakan... 32
E. Teori tentang Perilaku ... 33
F. Beberapa Variabel yang berhubungan dengan Perilaku Swamedikasi ... 36
1. Pendidikan... 36
G. Landasan Teori... 37
H. Hipotesis... 38
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 40
B. Variabel penelitian ... 41
C. Definisi Operasional ... 41
D. Subyek Penelitian... 43
E. Populasi dan Sampel ... 43
F. Teknik Sampling ... 44
G. Besar Sampel... 47
H. Lokasi Penelitian... 51
I. Waktu Penelitian ... 51
J. Instrumen Penelitian ... 52
K. Tata Cara Penelitian ... 55
L. Tata Cara Pengolahan Data... 60
M. Analisis Data ... 62
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63
A. Karakteristik Responden ... 63
B. Identifikasi Permasalahan yang Timbul dalam Swamedikasi Common Cold ... ... 72
1. Pengetahuan Responden tentang Swamedikasi ... 75
2. Kesesuaian Pengenalan Penyakit ... 72
C. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Swamedikasi Common
Cold .... ... 82
D. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi Common Cold .... ... 87
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 91
A. Kesimpulan ... 91
B. Saran . ... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 94
LAMPIRAN... 98
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Gejala pada penyakit gangguan pernafasan ... 14
Tabel II. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi 21
Tabel III. Kabupaten dan Kota di Propinsi DIY ... 44
Tabel IV. Jumlah dan distribusi sampel ... 48
Tabel V. Jumlah dan distribusi sampel di Kabupaten Kulon Progo ... 48
Tabel VI. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Nanggulan... 48
Tabel VII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Banyuroto... 49
Tabel VIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Donomulyo ... 49
Tabel IX. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wates ... 49
Tabel X. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Sogan ... 49
Tabel XI. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wates ... 49
Tabel XII. Jumlah dan distribusi sampel di Kotamadya Yogyakarta ... 49
Tabel XIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Gondokusuman.. 50
Tabel XIV. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Demangan ... 50
Tabel XV. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Baciro ... 50
Tabel XVI. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wirobrajan... 50
Tabel XVII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wirobrajan ... 50
Tabel XVIIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Pakuncen... 51
Tabel XIX. Bagia-bagian pedoman wawancara... 52
Tabel XX. Bagian-bagian kuesioner... 54
Tabel XXII. Sumber perolehan obat yang digunakan responden... 71 Tabel XXIII. Permasalahan yang timbul pada pemahaman responden tentang
swamedikasi ... 73 Tabel XXIVI. Permasalahan pada kesesaian pengenalan penyakit... 75 Tabel XXV. Permasalahan pada kesesuaian pemilihan obat... 79 Tabel XXVI. Jenis distribusi dari data pengetahuan, sikap, dan tindakan
swamedikasi common cold responden ... 82 Tabel XXVII. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan pengetahuan
swamedikasi common cold responden... 84 Tabel XXVIII. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan sikap
swamedikasi common cold responden ... 85 Tabel XXIX. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan tindakan
swamedikasi common cold responden ... 86 Tabel XXX. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan pengetahuan
swamedikasi common cold responden ... 87 Tabel XXXI. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan sikap
swamedikasi common cold responden ... 89 Tabel XXXII. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan tindakan
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur saluran pernafasan... 10
Gambar 2. Mekanisme virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi... 13
Gambar 3. Patogenesis common cold ... 13
Gambar 4. Bagan langkah-langkah dalam pengembangan intervensi yang dimaksudkan pada peningkatan penggunaan obat yang rasional oleh konsumen ... 24
Gambar 5. Langkah-langkah dalam peningkatan penggunaan obat yang rasional ... 24
Gambar 6. Algoritma swamedikasi common cold ... 26
Gambar 7. Hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi... 38
Gambar 8. Profil sampel klaster yang diperoleh dengan teknik klaster multi tahap... 46
Gambar 9. Bagan tata cara penelitian ... 61
Gambar 10. Karakteristik umur responden ... 63
Gambar 11. Karakteristik tingkat pendidikan responden... 64
Gambar 12. Kategorisasi tingkat pendidikan responden ... 65
Gambar 13. Karakteristik tingkat pendapatan responden ... 65
Gambar 14. Kategorisasi tingkat pendapatan responden ... 67
Gambar 16. frekuensi responden melakukan swamedikasi dalam satu bulan terakhir ... 68 Gambar 17. Frekuensi responden terserang common cold dalam satu
bulan terakhir ... 69 Gambar 18. Jenis obat yang digunakanresponden dalam swamedikasi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perijinan ... 98
Lampiran 2. Pedoman wawancara... 116
Lampiran 3. Kuesioner ... 122
Lampiran 4. Hasil uji reliabilitas kuesioner... 125
Lampiran 5. Data karakteristik rsponden ... 126
Lampiran 6. Data skor hasil kuesioner ... 129
Lampiran 7. Analitik deskriptif variabel pengetahuan, sikap dan tindakan . 134 Lampiran 8. Hasil uji statistik chi-square ... 135
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Salah satu kebiasaan manusia yang diwarisi dari nenek moyangnya ialah melakukan swamedikasi atau pengobatan sendiri jika menderita sakit (Sartono,1993). Swamedikasi adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat-obat tanpa resep untuk mengatasi penyakit-penyakit ringan (minor illness) secara tepat dan bertanggung jawab (Holt dan Hall, 1990). Swamedikasi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan obat tradisional atau jamu dan obat-obat modern baik dari golongan obat bebas maupun golongan obat bebas terbatas (Sartono, 1993).
Dalam menentukan pengambilan keputusan pengobatan mandiri dapat dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, pengetahuan, tingkat pendidikan, serta persepsi seseorang terhadap gejala-gejala penyakit dan cara penyembuhannya. Keterkaitan terhadap struktur budaya setempat dan latar belakang pendidikan turut menentukan pengambilan keputusan swamedikasi (Schwartz & Hoopes, 1990).
Common cold merupakan infeksi virus yang dapat sembuh dengan sendirinya, merupakan 50% dari semua penyakit yang dialami orang dewasa dan sekitar 75% dari penyakit pada anak-anak (Tietze, 2004). Menurut hasil sensus .
US Census Bureau, International Data Base menunjukkan bahwa kejadian
common cold sebanyak 66 juta kasus di Amerika Serikat pada tahun 1994 dan hampir separuh dari kasus tersebut terjadi pada usia dibawah 17 tahun (Anonim, 2004). Berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2002 menunjukkan bahwa 45,14 % penduduk Indonesia mempunyai keluhan sakit
common cold sedangkan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 47,13% (DepKes RI, 2003).
dengan penyakit infeksi saluran pernapasan lain. Menurut (Slotnick, 2001), infeksi pada common cold dapat juga mengakibatkan tubuh mudah terserang tipe infeksi lain, termasuk bronkritis, infeksi telinga, dan infeksi sinus. Gejala common cold yang berlangsung lebih dari satu minggu dapat juga menunjukkan adanya penyakit yang lebih parah, seperti influenza atau pneumonia. Oleh karena itu ketepatan pengenalan penyakit dan pemilihan tindakan maupun pemilihan obat dalam swamedikasi common cold harus diperhatikan.
Permasalahan seputar swamedikasi relatif banyak yang tidak muncul ke permukaan karena sesuai dengan konsep swamedikasi bahwa tindakan pengobatan dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa intervensi dan pengawasan dari tenaga kesehatan. Obat – obat yang digunakan untuk swamedikasi juga obat tanpa resep yang dapat diperoleh di warung – warung biasa dan tidak harus di apotek. Berdasarkan hasil penelitian tentang pengobatan sendiri sakit kepala, demam, batuk dan pilek di Jawa Barat (Supardi dan Notosiswoyo, 2005) menunjukkan bahwa pengobatan sendiri yang benar (sesuai dengan aturan) masih rendah.
swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu khususnya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
1. Permasalahan Penelitian
a. Seperti apa karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi common cold di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ?
b. Seperti apa permasalahan yang timbul dalam swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
c. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
d. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi penyakit common cold
oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian tersebut lebih menguraikan tentang pemilihan dan penggunaan obat selesma tanpa resep untuk anak yang dilakukan oleh orang tua. Penelitian mengenai pengobatan sendiri dengan obat selesma tanpa resep yang dilakukan oleh Kusumaningrum (2000) yang lebih menguraikan tentang pertimbangan mahasiswa Universitas Sanata Dharma dalam Pemilihan obat selesma. Penelitian mengenai Pengobatan Sendiri Sakit Kepala, Demam, Batuk dan Pilek pada Masyarakat di Desa Ciwalen, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat oleh Supardi dan Notosiswoyo (2005) yang dilakukan untuk menggali pola perilaku swamedikasi yang dikhususkan pada penyakit demam, sakit kepala, batuk dan pilek, yang dilakukan dengan wawancara.
3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dibidang kefarmasian mengenai gambaran permasalahan yang timbul pada swamedikasi common cold serta memberikan informasi yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu farmasi mengenai hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Manfaat praktis
Dengan mengetahui gambaran permasalahan dalam swamedikasi common cold serta hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold maka hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan model edukasi swamedikasi
common cold pada suatu populasi agar dapat melakukan tindakan swamedikasi secara tepat dan benar dalam menangani penyakit common cold.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan pada perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan terhadap perilaku swamedikasi common cold
sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan model edukasi swamedikasi
common cold .
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini dilakukan untuk :
a. Mengetahui karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit common cold di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Mengetahui gambaran permasalahan yang timbul dalam swamedikasi
common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
c. Mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
BAB II
PENELAHAAN PUSTAKA
A. Sistem Pernafasan
Pernafasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Fungsi dari sistem pernapasan adalah untuk mengambil O2 yang kemudian dibawa oleh darah ke seluruh tubuh untuk mengadakan pembakaran, mengeluarkan CO2 hasil dari metabolisme (Gunawan, 2006).
a. Hidung
Merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang dipisahkan oleh sekat septum nasi. Di dalamnya terdapat bulu-bulu untuk menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi untuk menghangatkan udara (Gunawan, 2006). Udara kering, panas, atau dingin dilembabkan dan dihangatkan atau didinginkan pada waktu mereka melewati membran hidung yang kaya akan darah (Hardnge and Shryock, 2003).
b. Faring
bagian atas, di sebelah kanan dan kiri, terdapat adenoids yang mengelilingi
saluran pendengaran. Sedikit di bawah adenoids terdapat amandel atau palatine
tonsils di kanan dan kiri. Di antara amandel terdapat jaringan limfe kecil yang
agak terpencar. Pada waktu udara yang dihirup melewati struktur limfe ini,
mereka menyaring kuman-kuman penyebab penyakit (Hardnge and Shryock,
2003).
c. Laring
Merupakan saluran udara dan bertindak sebelum sebagai pembentuk suara.
Terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk
ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita
suara dan bagian epiglottis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Gunawan,
2006).
d. Trakea
Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 – 20 cincin yang
terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi untuk
mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh
selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan
(Gunawan, 2006). Bila fungsi silia terganggu sehingga lendir berkumpul, maka
batuk akan membersihkan saluran pernafasan (Hardnge and Shryock, 2003).
e. Bronkus
Merupakan lanjutan dari trakea, mempunyai struktur serupa dengan trakea
bronkiolus, disini terdapat cincin dan terdapat gelembung paru yang disebut
alveolli (Gunawan, 2006).
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan saluran bercabang-cabang, dari cabang tenggorok besar
hingga bronchioles. Bronchioles yang jumlahnya sangat banyak terdiri dari
kantung-kantung udara yang disebut alveoli. Dinding alveoli ini hanya setebal
satu lapis sel, sehingga memungkinkan oksigen dan karbondioksida bisa keluar
masuk dengan bebas melewati pembuluh-pembuluh darah kapiler yang
berdekatan (Hardnge and Shryock, 2003).
Pusat saraf di otak secara otomatis mengendalikan proses pernafasan.
Pusat ini mengirimkan impuls-impuls saraf ke otot-otot pernafasan supaya
berkontraksi dan mengendor secara bergantian. Pusat pernafasan mengendalikan
tindakan-tindakan seperti batuk dan bersin. Bila lapisan saluran pernafasan
teriritasi, pusat pernafasan memberikan tanda pada otot perut untuk segera
berkontraksi. Hal ini dengan tiba-tiba mendorong udara ke arah atas melalui
saluran udara. Pada batuk, udara dipaksa keluar melalui mulut; pada bersin,
melalui hidung dan mulut. Tindakan tiba-tiba batuk dan bersin menolong
mengeluarkan zat-zat yang menyebabkan terjadinya iritasi (Hardnge and
Shryock, 2003).
B. Common cold 1. Definisi
Common cold merupakan infeksi virus pada saluran pernafasan atas yang
dapat sembuh dengan sendirinya. Penyebab yang paling sering pada Common cold
adalah Rhinovirus (Tietze, 2004). Bryant and Lombardy (1990) mendefinisikan
common cold sebagai gabungan berbagai gejala yang mengganggu saluran
pernafasan atas, terutama selaput lendir hidung yang disebabkan oleh virus.
Menurut Hardnge and Shryock (2003), common cold adalah infeksi saluran
pernafasan bagian atas (hidung, sinus, kerongkongan) yang disebabkan oleh salah
satu dari kemungkinan dua ratus virus, yang menyerang sel-sel lapisan tersebut,
2. Etiologi
Rhinovirus, merupakan penyebab common cold yang paling sering, sekitar
50%, pada orang dewasa dan anak-anak. Patogen lain yang dapat menyebabkan
gejala pada saluran pernafasan yang mirip dengan common cold adalah
Coronavirus, Parainfluenza virus, Adenovirus, Respiratory Syncytial Virus,
Echovirus dan Chocksakievirus (Tietze, 2004). Kondisi yang dapat memicu
timbulnya common cold antara lain daya tahan tubuh yang lemah atau menurun,
pergantian musim biasanya musim dingin, usia balita dan anak-anak lebih mudah
terserang common cold dan pada wanita berkaitan dengan siklus menstruasi.
Infeksi silang common cold kebanyakan terjadi dari kontak secara fisik atau udara
yang disebarkan melalui bersin dan batuk (Li Wan Po, 1997).
3. Patogenesis
Infeksi dimulai ketika Rhinovirus berikatan pada intercellular adhesion
molecular-1 reseptor pada sel epithelial pernafasan di hidung dan nasofaring,
virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi. Hal ini menyebabkan
terjadinya komplek reaksi sistem imun di jaringan yang melibatkan akumulasi
dan aktivasi leukosit dan protein plasma di tempat infeksi, yang akan
mengeluarkan chemokine distress signal dan sitokin, sehingga mengaktifkan
mediator nyeri dan reflek neurogenik, menghasilkan penambahan mediator nyeri,
vasodilatasi, transudasi plasma, sekresi glandular, dan stimulasi reflek nyeri
serabut saraf serta bersin dan batuk. Terjadinya hipersekresi cairan hidung yang
disebabkan reflek mediator nyeri dan mekanisme sistem saraf parasimpatik
Gambar 2. Mekanisme virus mengalami replikasi dan menyebarkan infeksi (Slotnick, 2001)
Rhinovirus berikatan dengan reseptor ICAM-1
Virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi
Terjadi komplek reaksi sistem imun di jaringan yang melibatkan akumulasi dan aktivasi leukosit mengeluarkan chemokine distress signal atau sitokin
Mengaktivkan mediator nyeri dan reflek neurogenik
Vasodilatasi
Keluarnya lendir pada hidung
Sakit tenggorokan
Stimulasi reflek nyeri serabut saraf
Hidung tersumbat Pengeluaran histamine
dari sel mast
Bersin-bersin Batuk Formasi bradykinin,
4. Tanda dan Gejala
Gejala pada common cold mulai timbul 1-3 hari setelah terinfeksi.
Tenggorokan sakit merupakan gejala pertama yang diikuti dengan hidung
tersumbat, rhinorrhea (keluarnya lendir pada hidung), bersin, dan batuk. Pasien
akan merasa dingin, sakit kepala, merasa tidak enak badan, myalgia (nyeri otot)
atau demam dengan suhu rendah. Tenggorokan sakit akan berubah dengan cepat.
Gejala berupa rasa tidak menyenangkan pada hidung terjadi selama 2 atau 3 hari
dan batuk, walaupun gejalanya tidak sering (< 20 %), terjadi selama 4 atau 5 hari.
Gejala common cold terjadi berkisar 7 hari. Tanda dan gejala common cold hampir
sama dengan influenza atau penyakit pernafasan lainnya (Tietze, 2004).
Tabel I. Gejala pada penyakit gangguan parnafasan (Tietze, 2004)
Penyakit Tanda dan Gejala
Rhinitis alergi
Mata berair, gatal pada hidung, mata atau tenggorokan, akumulasi cairan yang berlebihan atau keluarnya lendir jernih pada hidung Batuk, sesak nafas nafas berbunyi
Sakit pada tenggorokan, demam, nyeri tekan atau pembengkakan kelenjar limfe
Demam, rhinitis, dan faringitis . Berkembang menjadi batuk, stridor, dan susah bernafas
Nyeri otot, nyeri pada sendi, demam, sakit tenggorokan, batuk tidak produktif
Ear popping, nyeri pada telingga, keluarnya sekret telinga, pendengaran berkurang, kepala seperti berputar
Nyeri pada dada, nafas berbunyi, susah bernafas, batuk produktif, demam yang menetap
Nyeri tekan pada sinus, nyeri pada wajah, demam lebih sari 38,6◦C, sakit gigi, gejala pada saluran pernafasan atas lebih dari 7 hari dengan respon yang rendah pada dekongestan
Menurut Donatus (1997), perbedaan antara common cold, rhinitis alergi,
dan influenza terletak pada penyebab dan gejala. Isolasi dan identifikasi virus
penyebab merupakan metode yang efektif, namun metode tersebut tidak semudah
dalam praktek yang relevan. Influenza biasanya menimbulkan gejala yang lebih
serius daripada common cold diantaranya adanya temperatur tinggi, lemah dan
lesu, sering digunakan untuk indikasi influenza daripada common cold (Li Wan
Po, 1997).
5. Penatalaksanaan a. Tujuan Terapi
Common cold merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya.
Oleh karena itu pengobatan yang dilakukan bertujuan untuk meringankan
gejalanya saja (Tietze, 2004).
b. Sasaran Terapi
Tidak semua gejala yang timbul harus diobati. Karena merupakan
perluasan gejala sebelumnya, sehingga sasaran terapi adalah gejala yang paling
berat dan merupakan awal rantai gejala berikutnya yaitu cairan nasal dan
sumbatan nasal. Dengan berkurangnya cairan dan sumbatan nasal, rentetan gejala
berikutnya kemungkinan besar juga akan berkurang (Donatus, 1997).
c. Strategi Terapi
Gejala cairan dan sumbatan nasal pada common cold dapat dikurangi atau
dihilangkan dengan dua macam terapi, yaitu terapi non farmakologis dan terapi
1) Terapi non Farmakologis
Terapi non farmakologis merupakan terapi tanpa obat, antara lain dengan
menambah asupan cairan seperti memperbanyak minum, istirahat yang cukup,
makan makanan yang bergizi dan minum minuman yang hangat (Tietze, 2004).
2) Terapi Farmakologis
Dekongestan merupakan terapi utama common cold. Hidung tersumbat
dapat dihilangkan dengan dekongestan agonis adrenergik topikal atau oral.
Keluarnya lendir cair pada hidung disebabkan oleh beberapa faktor dan hanya
sebagian yang dapat ditangani dengan pengobatan yang tersedia. Antihistamin dan
obat antikolinergik dapat mengurangi gejala keluarnya lendir dari hidung. Bersin
merupakan gejala yang umum namun ringan, dapat dikurangi dengan
antihistamin. Batuk sekunder dengan postnasal drip dapat sembuh dengan
sendirinya namun dapat ditangani dengan dekongestan atau antitusif. Demam
dapat ditangani dengan antipiretik sistemik (Tietze,2004).
a) Dekongestan
Dekongestan khusus untuk menangani sinus dan hidung tersumbat (Tietze,
2004). Obat dekongestan termasuk golongan simpatomimetik amin. Daya
kerjanya sebagai vasokontriktor, yaitu mengecilkan pembuluh darah yang
membengkak pada lapisan mukosa hidung. Obat dekongestan melapangkan
saluran napas dan mengeringkan hidung dan sinus. Daya kerja ini disebabkan oleh
aktivitas alfa-adenergik. Kecuali atas petunjuk dan pengawasan dokter, obat
dekongestan kontraindikasi bagi penderita penyakit glaukoma, tekanan darah
penyakit kelenjar tiroid. Efek samping lain yang tidak dikehendaki ialah gelisah,
gugup, perut terasa tidak enak, dan sukar tidur (Sartono, 1993).
Dekongestan dibagi menjadi dua, yaitu dekongestan oral dan topikal.
Dekongestan oral yang direkomendasikan oleh FDA (Food and drug
Administration) adalah fenilefrin dan pseudoefedrin. Dekongestan
dikontraindikasikan terhadap penderita dengan riwayat hipersensitif, penderita
yang mendapat terapi MAO. Selain itu beberapa dekongestan dikontraindikasikan
untuk anak dibawah usia 12 tahun. Dekongestan topikal biasanya berefek lebih
lama daripada dekongestan oral. Dekongestan topikal yang beredar di pasaran
antara lain efedrin, epinefrin, fenilefrin, nafazolin, tetrahidrazolin, oximetazolin,
dan xilometazolin (Tietze, 2004).
b) Antihistamin
Obat antihistamin dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi
gejala yang diakibatkan oleh sekresi kelenjar lendir yang berlebihan, yang
menyebabkan hidung tersumbat oleh cairan lendir dan mata terasa gatal. Obat
antihistamin mengurangi daya kerja histamin dengan menempati tempat yang
seharusnya untuk histamin pada reseptor H1. Efek samping obat antihistamin yang
perlu mendapat perhatian ialah mengantuk, yang dapat mengurangi kemampuan
orang khususnya dalam mengendari kendaraan bermotor (Sartono, 1993).
Antihistamin juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitif atau keadaan
lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih. Antihistamin mempunyai
efek mengantuk dan dikontraindikasikan bagi penderita glaucoma, asma, dan
klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat, prometazin HCl, tripolidin
(Anonim, 1997).
c) Anastetik lokal
Lonzenges, troches, pencuci mulut dan sprays berisi anastetik lokal
(contohnya benzokain,) tersedia untuk membebaskan dari sakit tenggorokan
(Tietze, 2004).
d) Analgesik-Antipiretik
Analgesik sistemik efektif untuk menghilangkan atau mengurangi rasa
sakit yang kadang dihubungkan dengan common cold. Ketika pasien demam
(pada common cold berkisar 100˚F atau 37,8˚C) obat antipiretik tanpa resep
merupakan terapi yang efektif (Tietze, 2004). Obat analgetik-antipiretik adalah
obat-obat yang menghilangkan atau mengurangi rasa sakit, sekaligus menurunkan
suhu tubuh yang tinggi. Obat analgetik-antipiretik mempengaruhi pusat-pusat
pengatur kalor dari sistem saraf pusat (SSP) yang terletak di hipotalamus. Reaksi
yang timbul adalah vasodilatasi pada kulit yang mengakibatkan pengeluaran kalor
bertambah. Menurut Sartono (1993), obat analgetik-antipiretik dapat digolongkan
antara lain turunan salisilat (asetosal dan salisilamid), turunan para-aminofenol
(asetaminofen), turunan pirazolon (metampiron dan fenilbutazon), turunan asam
antharanilat (asam mefenamat), turunan indene (indometasin), golongan
feniramidol (feniramidol HCl).
e) Antitusif dan Ekspektoran
Ketika muncul gejala batuk, biasanya merupakan batuk yang non
produktif biasanya disebabkan karena terjadinya iritasi pada mukosa faringeal dan
trakea. Antitusif tidak boleh dipakai pada kasus batuk yang produktif atau
berdahak. Batuk berdahak biasanya diobati dengan cara mengurangi dahak pada
trakhea. Pengobatan batuk berdahak dengan ekspektoran bertujuan mengencerkan
dahak sehingga mudah dikeluarkan (Bryant and Lombardy, 1990). Golongan
antitusif yang disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) meliputi
kodein, dekstrometorfan dan difenihidramin (Tietze, 2004).
C. Swamedikasi 1. Definisi
Swamedikasi adalah bagian dari self-care. Menurut World Health
Organization (WHO) tahun 1998, self-care didefinisikan sebagai “what people do
for themselves to establish and maintain health, prevent and deal with illness”.
Sedangkan swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat –
obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati
penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri (“the selection and use of
medicines (include herbal and tradisional product) by individuals to treat
self-recognised illnesses or symptoms”). Sesuai dengan pernyataan bersama antara
World Self-Medication Industry (WSMI) dan Federation International
Pharmaceutical (FIP), self-medication atau swamedikasi didefinisikan sebagai
penggunaan obat – obatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif
mereka sendiri (FIP & WSMI, 1999). Beberapa pustaka menyebutkan definisi
pengobatan menggunakan obat tanpa resep. Terkait dengan penyakitnya, maka
yang termasuk dalam lingkup swamedikasi adalah minor illnesses atau gejala
yang mampu dikenali sendiri oleh penderita. Seringkali pula istilah self-care dan
self-medication digunakan secara sinonim.
2. Perilaku swamedikasi
Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tingkat
pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam mengatasi
masalah kesehatan (doctor minded), demografi dan epidemiologi, ketersediaan
pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial
ekonomi (Holt and Hall, 1990). Suatu survei yang pernah dilakukan di Amerika
Serikat menyebutkan bahwa terjadi peningkatan perilaku swamedikasi di
kalangan masyarakat dengan beberapa parameter yaitu: 1) tingkat kepuasan
konsumen terhadap keputusan mereka sendiri dalam mengatasi masalah
kesehatannya, 2) kecenderungan melakukan pengobatan sendiri dengan obat tanpa
resep untuk mengatasi simptom yang dirasakan dan penyakit ringan yang umum
diderita, 3) keyakinan bahwa obat tanpa resep aman digunakan apabila dipakai
sesuai petunjuk, 4) keinginan agar beberapa obat yang saat itu harus diperoleh
dengan resep dokter, diubah menjadi tanpa resep, 5) kesadaran membaca label
sebelum memilih dan menggunakan obat tanpa resep, terutama mengenai aturan
pakai dan cara pakai serta efek samping obat (Pal, 2002). Penggunaan obat tanpa
resep untuk swamedikasi menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman,
Swamedikasi untuk gejala atau penyakit ringan dirasakan oleh penderita
memberikan keuntungan, antara lain kepraktisan dan kemudahan melakukan
tindakan pengobatan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah (Rantucci, 1997).
Beberapa keuntungan dan kerugian sehubungan dengan peningkatan perilaku
swamedikasi terhadap penderita, dokter / pelayanan kesehatan, farmasis,
pengambil kebijakan dan industri farmasi dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini
(Sihvo, 2000).
Tabel II. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi (Sihvo, 2000)
Obyek Keuntungan Kerugian
Hemat waktu Kebiasaan menggunakan OTR
Empowerment Adverse Drug Reaction
Ada indikasi yang tak terobati
Pasien
Kenaikan biaya berobat
Penurunan beban kerja Tidak dapat melakukan monitoring terapi
Farmasis Perannya akan lebih
dibutuhkan di Apotek
Adanya konflik kepentingan antara bisnis dan etika profesi
Pengambil kebijakan Menghemat biaya kesehatan masyarakat
Industri Farmasi Meningkatkan profit pada penjualan obat bebas
-
3. Minor Ailment
Terdapat bermacam – macam pengertian minor ailments, namun secara
membutuhkan sedikit intervensi atau bahkan tidak sama sekali (self-limited
disease). Beberapa contoh penyakit ringan antara lain infeksi saluran napas atas
karena virus, pusing, demam, batuk, gusi bengkak, dermatitis kontak, diare, dll
(Colin-Thome, 2004).
4. Obat Bebas, Bebas Terbatas dan OWA
Penggolongan obat di Indonesia terdiri dari 6 golongan yaitu: 1) obat
bebas, 2) obat bebas terbatas, 3) obat wajib apotek (OWA), 4) obat keras, 5)
psikotropika, dan 6) narkotika (DepKes RI, 1996c). Golongan obat yang dapat
diperoleh tanpa resep dokter adalah obat bebas, bebas terbatas dan OWA, khusus
untuk yang disebut terakhir adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep
dokter hanya oleh apoteker di apotek dan terbatas pada obat keras yang tercantum
dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Obat Wajib Apotek
(DepKes RI, 1996b).
Golongan obat bebas dapat diperoleh secara bebas tanpa resep dokter, baik
di apotek maupun di toko-toko atau warung. Obat bebas terbatas juga dapat dibeli
tanpa resep dokter, dengan syarat hanya dalam jumlah yang telah ditentukan dan
disertai tanda peringatan (Depkes RI, 1996c).
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter untuk swamedikasi harus
memenuhi kriteria, yaitu: 1) tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada
wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas usia 65 tahun, 2)
pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit, 3) penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat
untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia, 5) obat dimaksud memiliki
rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan
sendiri (Depkes RI, 1993).
5. Pengobatan yang Rasional
Penggunaan obat secara rasional dapat diartikan sebagai pengobatan
terhadap penyakit, apabila pasien menerima obat yang memenuhi persyaratan
antara lain tepat indikasi (obat yang akan digunakan berdasarkan pada diagnosis
penyakit yang akurat), tepat penderita (tidak ada kontraindikasi atau kondisi
khusus yang memerlukan penyesuaian dosis atau mempermudah timbulnya efek
samping), tepat obat (pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan keamanan),
tepat dosis (takaran, jalur, saat, dan lama pemberian sesuai dengan kondisi
penderita), dan waspada efek samping obat (Donatus, 1997).
World Health Organization (2004) menyatakan bahwa untuk
meningkatkan kesesuaian penggunaan obat yang rasional oleh masyarakat
dibutuhkan suatu edukasi. Intervensi atau edukasi yang diberikan kepada
konsumen akan lebih relevan apabila hal tersebut difokuskan pada pola umum
penggunaan obat yang tidak rasional, dan permasalahan yang terdapat pada
penggunaan obat. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menentukan
Langkah 1
Gambar 4. Bagan langkah-langkah dalam pengembangan suatu intervensi yang dimaksudkan pada peningkatan penggunaan obat yangrasional oleh konsumen
(WHO, 2004)
EXAMINE
Mengukur Praktek yang Ada ( penelitian deskriptif kuantitatif)
6. Peran Apoteker Dalam Swamedikasi
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
922/MENKES/PER/X/1993 pasal 15 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam upaya
penggunaan obat yang benar oleh masyarakat, apoteker wajib memberikan
informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan
rasional atas permintaan masyarakat (DepKes RI, 1996a). Dalam menyikapi
perilaku swamedikasi maka peran apoteker dalam pemberian informasi obat
sangat mendukung swamedikasi yang rasional.
Peran Apoteker dalam swamedikasi adalah dalam hal pemberian
informasi, saran dan konseling. Peran ini dapat membantu masyarakat memilih
produk obat yang efektif dan aman. Apoteker tidak hanya memberikan informasi
obat namun bisa pula membantu dan merekomendasikan obat apa yang sebaiknya
dipilih oleh pasien. Apoteker tidak hanya bertugas untuk menyediakan,
menyiapkan dan menyerahkan obat saja, namun harus menjamin bahwa obat yang
diberikan efektif, aman, dan bermutu baik serta sesuai dengan kebutuhan pasien.
Dalam pengobatan sendiri, apoteker juga berperan dalam hal pemberian informasi
penggunaan obat dengan tepat dan menyarankan agar pasien patuh dalam
7. Algoritma swamedikasi pada common cold Pasien menderita common cold
Mengetahui riwayat pengobatan, termasuk dengan obat-obat alternatif (tidak)
(ya)
Kriteria ekslusi swamedikasi:
Demam > 38,5 C; nyeri dada; nafas menjadi pendek; gejala yang semakin memburuk; penyakit kardiopulmonari, seperti asma, COPD, CHF; penyakit immunosuppressant, AIDS; pasien dalam kondisi yang lemah
Hubungi dokter
Digunakan decongestan hidung dan antihistamin atau produk yang mengandung alcohol pada malam hari
Disesuaikan dosisnya atau mengganti dengan agen lain.
Gejala berkaitan dengan alergi Keluhan utama adalah batuk
Dianjurkan dengan terapi tanpa obat dengan minum banyak dan istirahat cukup
(ya)
terapi sesuai dengan yang dibutuhkan i
D. Perilaku
Perilaku merupakan respon dari seseorang terhadap stimulus yang berasal
dari luar maupun dari dalam dirinya dan perilaku seseorang dapat berubah dengan
diperolehnya tambahan informasi tentang obyek tersebut, melalui persuasi serta
tekanan dari kelompok sosialnya ( Sarwono, 1997).
Perilaku kesehatan adalah segala bentuk pengalaman dan interaksi
individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan
tentang kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Proses
pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dari
dalam maupun dari luar individu (Sarwono, 1997).
Perilaku dan usaha yang dilakukan oleh masyarakat ketika terserang
penyakit ada bermacam-macam, diantaranya adalah (1) tanpa tindakan atau no
action, alasannya kondisi yang dialami tidak mengganggu kegiatan atau pekerjaan
mereka sehari-hari dan mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak
apa-apa simptom yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. No action itu juga
bisa disebabkan fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat jauh letaknya, para
petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak responsif dan sebagainya.
(2)mengobati sendiri (self treatment) dengan alasan yang sama seperti di atas,
ditambah dengan kepercayaan terhadap diri sendiri untuk mengobati penyakit
yang diderita berdasarkan pengalaman-pengalaman pengobatan sendiri yang
sudah menimbulkan kesembuhan. Self treatment yang dilakukan ada dua macam,
yaitu mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional dan mencari
umumnya adalah obat-obat tanpa resep. (3) mencari pangobatan ke fasilitas
pengobatan modern, baik itu dokter praktek, rumah sakit, balai pengobatan, atau
puskesmas (Notoatmodjo, 2003).
Untuk menganalisis bagaimana proses seseorang dalam membuat
keputusan sehubungan dengan pencarian atau pemecahan masalah perawatan
kesehatanya, dibagi kedalam 5 tahap, yaitu :
1. tahap pengalaman atau pengenalan gejala (the symptom experience). Pada
tahap ini individu membuat keputusan bahwa di dalam dirinya ada suatu
gejala penyakit, yang didasarkan kepada adanya ketidak-enakan pada
badannya, kmudian juga rasa tidak enak, gejala tersebut dirasaka sebagai
ancaman bagi dirinya.
2. tahap asumsi peranan sakit (the assumption of the sick role). Pada tahap ini
individu membuat keputusan bahwa ia sakit dan memerlukan pengobatan
kemudian ia mulai berusaha untuk mengobati sendiri dengan caranya sendiri.
Di samping itu ia mulai mencari informasi dari anggota keluarga lain, tetangga
atau teman sekerja.
3. tahap kontak dengan pelayanan kesehatan (the medical care contact). Pada
tahap ini individu mulai berhubungan dengan fasilits kesehatan atau pelayanan
kesehatan, sesuai dengan pengetahuan, pengalaman serta informasi yang ada
pada dirinya tentang jenis-jenis pelayanan kesehatan.
4. tahap ketergantungan pasien (the dependent patient stage). Pada tahap ini
individu memutuskan bahwa dirinya, karena peranannya sebagai psien, maka
5. tahap penyembuhan atau rehabilitasi (the recovery of rehabilitation). Pada
tahap ini pasien atau individu memutuskan untuk melepaskan diri dari peran
pasien. Dengan hal ini dapat terjadi dua kemungkinan, pertama ia pulih
kembali seperti sebelum sakit. Kedua, ia menjadi cacat yang berarti tidak
dapat sempurna melakukan fungsinya seperti sebelum sakit.
Kelima tahap kejadian tersebut sekaligus merupakan isi dan urutan dari prilaku
sakit, tetapi dalam kenyataannya mungkin dapat berbeda, artinya kelima tahap ini
tidak selalu ada pada semua penyakit (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2003), untuk mengukur domain perilaku yang
terdiri dari ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor diukur dari :
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa,dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan, meliputi tahu (know), paham
(comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis),
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai kegiatan mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang yang dipelajari
antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus
dapat menjelaskan dan menyebutkan contoh terhadap obyek yang dipelajari.
Orang yang telah paham terhadap obyek materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi
dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada.
2. Sikap
Sikap dikatakan sebagai respon. Respon hanya akan timbul apabila
individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki timbulnya reaksi
individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk respon yang dinyatakan sebagai
sikap itu didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu, yang memberi
kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam berntuk baik atau buruk, menyenangkan
atau tidak menyenangkan, suka dan tidak suka, yang kemudian mengkristal
sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 1995).
Menurut Notoatmodjo (2003), sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu prilaku. Sikap
tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap
objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Seperti
halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari beberapa tingkatan:
a. menerima (receiving), menerima diartikan bahwa subyek mau memperhatikan
stimulus yang diberikan.
b. merespon (responding), memberikan jawaban ketika ditanya, mengerjakan,
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan sesuatu masalah adalah suatu indikasi sikap yang ketiga.
d. bertanggung jawab (responsible), bartanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
3. Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas dan
faktor pendukung (Notoatmodjo, 2003). Teori aksi yang juga dikenal sebagai teori
bertindak ini pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber. Weber berpendapat
bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman,
persepsi, pemahaman, dan penafsiran atas suatu obyek stimulus atau situasi
tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu
mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana – sarana yang paling tepat
Menurut Notoatmodjo (2003), tindakan mempunyai beberapa tingkatan
sebagai berikut ini:
a. persepsi (perception), persepsi diartikan sebagai mengenal dan memilih
berbagai objek yang sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
b. respon terpimpin (guided response), dapat melakukan sesuai dengan urutan
yang benar dan sesuai dengan contoh adalah indikator tindakan tingkat kedua.
c. mekanisme (mechanism), apabila seseorang telah dapat melalukan sesuatu
dengan benar secara otomatis, atau sesuatu yang sudah merupakan kebiasaan,
maka sudah mencapai tindakan tingkat tiga.
d. adopsi (adoption), adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasi tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
E. Teori tentang Perilaku 1. Teori Aksi
Teori aksi yang juga dikenal sebagai teori bertindak ini (action theory)
pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber. Weber berpendapat bahwa
individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi,
pemahaman, dan penafsirannya atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu.
Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai
tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat (Ritzer, 1983, cit.,
Teori Weber dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, yang mulai
dengan mengkritik Weber, menyatakan bahwa aksi atau action itu bukanlah
perilaku atau behavior. Aksi merupakan tanggapan atau respon mekanis terhadap
suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan
kreatif (Sarwono, 1997).
Menurut Parsons, yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan
norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur perilaku
(Poloma, 1987, cit., Sarwono, 1997). Kondisi obyektif disatukan dengan
komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk
tindakan sosial tertentu. Parsons melihat bahwa tindakan individu dan kelompok
dipengaruhi tiga sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian
masing-masing individu.
2. Model Perubahan Perilaku dari Green
Suatu teori lain dikembangkan oleh Lawrence Green yang mengatakan
bahwa kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok,
yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor diluar perilaku (non perilaku). Selanjutnya
faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor: faktor-faktor
predisposisi, pendukung, dan pendorong. Faktor predisposisi (predisposing
factors) mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma
sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat.
Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan
dan kemudahan untuk mencapainya, sedangkan faktor pendorong (reinforcing
pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan
menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan
sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut
dan terhadap kesehatan pada umumnya (Sarwono, 1997).
3. Model kepercayaan kesehatan dari Rosenstock
Menurut Rosenstock (1982) model kepercayaan kesehatan mencakup
lima unsu utama (cit., Sarwono, 1997). Unsur utama adalah persepsi individu
tentang kemungkinannya terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa
terancam. Unsur yang kedua adalah pandangan individu tentang beratnya penyakit
tersebut (perceived seriousness), yaitu resiko dan kesulitan apa saja yang akan
dialaminya dari penyakit itu. Semakin berat resiko suatu penyakit maka semakin
besar kemungkinan individu itu terserang penyakit tersebut sehingga timbul
ancaman yang besar dari dalam dirinya (perceived threast). Ancaman ini
mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan
penyakit. Beberapa alternatif tindakan ditawarkan oleh petugas kesehatan untuk
mengurangi ancaman tersebut. Individu akan mempertimbangkan, apakah
alternatif tersebut dapat mengurangi ancaman penyakit. Sebaliknya, konsekuensi
negatif dari tindakan yang dianjurkan (biaya yang lebih mahal, rasa malu, takut
akan rasa sakit, dan sebagainya) seringkali menimbulkan keinginan individu
untuk menghindari alternatif yang dianjurkan petugas kesehatan. Dalam
memutuskan, menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut, diperlukan satu
individu, nasehat orang lain, kampanye kesehatan, dan lain-lain (cit., Sarwono,
1997).
F. Beberapa Variabel yang Berhubungan dengan Perilaku Swamedikasi 1. Pendidikan
Terkait erat dengan pengetahuan adalah pendidikan. Pendidikan
didefinisikan sebagai serangkaian proses belajar yang ditandai dengan
penyampaian materi dari pendidik terhadap anak didik dan bermaksud untuk
menghasilkan perubahan tingkah laku. Terdapat korelasi negatif antara pendidikan
ibu dengan angka kematian anak. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin rendah
angka kematian anak, karena dengan semakin tinggi pendidikan perempuan, maka
ia akan lebih berdaya dalam mengambil keputusan yang benar terhadap
pengobatan anaknya. Hal ini akan mengurangi fatalitas dalam menghadapi anak
yang sakit. Ibu yang berpendidikan tinggi juga akan lebih cepat menerima
datangnya informasi-informasi positif mengenai kesehatan (Hendarwan, 2003).
2. Pendapatan
Pendapatan berhubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan. Bagi
masyarakat dengan tingkat pendapatan yang rendah, biaya pengobatan menjadi
pertimbangan utama dalam mencari pengobatan. Biaya pengobatan menjadi
pertimbangan penting bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah,
sehingga akan cenderung mencari pertolongan kesehatan disesuaikan dengan
memiliki keterbatasan dalam keuangan, maka mereka akan menggunakan
pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas (Hendarwan, 2003).
G. Landasan teori
Swamedikasi dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu keyakinan dan
sikap, karakteristik demografi, status ekonomi, dan pendidikan atau pengetahuan
konsumen. Faktor keyakinan dan sikap meliputi penghargaan terhadap nilai
kesehatan, motivasi dan tanggung jawab untuk mempelajari penyakit yang
diderita dan perawatannya, persepsi tingkat keseriusan penyakit, kecenderungan
dipengaruhi oleh orang lain. Karakteristik demografi meliputi usia, jumlah
keluarga, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Faktor ekonomi meliputi status
ekonomi seseorang, biaya perawatan kesehatan, kemudaha untuk mendapatkan
produk kesehatan, dan ketersediaan produk maupun pelayanan. Faktor pendidikan
atau pengetahuan antara lain meliputi tingkat pendidikan seseorang, pengetahuan
dasar mengenai konsdisi kesehatan yang diderita dan pengobatannya, kemampuan
untuk menginterprestasikan informasi kesehatan atau informasi pasa wadah
maupun didalamnya, tersediannya informasi yang berguna dari tenaga kesehatan
Gambar 7. Hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi penyakit common cold
tingkat pendidikan
tingkat pendidikan
pengetahuan
sikap
tindakan tingkat pendidikan
tingkat pendapatan pengetahuan
sikap tingkat pendapatan
tingkat pendapatan tindakan
H. Hipotesis
1. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan swamedikasi common cold
H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan
swamedikasi common cold.
H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan
swamedikasi common cold.
2. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi common cold
H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi
common cold.
H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi
common cold.
H0: tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan
swamedikasi common cold.
H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan swamedikasi
common cold.
4. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan swamedikasi common cold
H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan
swamedikasi common cold.
H1 : ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan
swamedikasi common cold.
5. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap swamedikasi common cold
H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikapswamedikasi
common cold.
H1 : ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap swamedikasi
common cold.
6. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi common cold
H0: tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan
swamedikasi common cold.
H1 : ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan ibu-ibu yang melakukan swamedikasi common cold.
2. Variabel tergantung (dependent) dari penelitian ini adalah perilaku swamedikasi common cold yang meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan.
C. Definisi Operasional
1. Swamedikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemilihan dan penggunaan obat yang diberikan tanpa resep dokter, termasuk obat tradisional yang dilakukan oleh ibu-ibu untuk mengobati dan atau untuk menghilangkan gejala penyakit common cold, baik untuk diri sendiri dan atau orang lain. 2. Common cold yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyakit ringan
yang dikarkterisasi dengan gejala hidung tersumbat, keluarnya lendir cair dari hidung, bersin dan batuk, badan terasa dingin, sakit kepala, tidak enak badan, nyeri otot atau demam rendah. Common cold sering disebut juga dengan istilah flu ringan atau batuk pilek.
3. Responden adalah ibu-ibu yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta yang pernah melakukan, menangani maupun mendengar/mengetahui swamedikasi penyakit common cold.
5. Identifikasi permasalahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi permasalahan dalam swamedikasi common cold yang terdiri dari aspek pengetahuan tentang swamedikasi, aspek kesesuaian pengenalan penyakit common cold dan aspek kesesuaian pemilihan obat common cold. 6. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang berhasil
diselesaikan oleh responden. Responden dikatakan mempunyai tingkat pendidikan rendah apabila pendidikan terakhirnya tidak bersekolah, SD dan SLTP atau yang sederajat, sedangkan tingkat pendidikan tinggi apabila pendidikan terakhir responden SLTA, Perguruan Tinggi atau yang sederajat. 7. Tingkat pendapatan adalah pendapatan keluarga responden yang digambarkan
melalui pendapatan bapak dan atau ibu per bulan. Tingkat pendapatan dikatakan rendah jika pendapatan keluarga kurang dari Rp. 1500.000,00, sedangkan tingkat pendapatan tinggi jika pendapatan keluarga lebih dari Rp. 1500.000,00.
8. Perilaku swamedikasi penyakit common cold adalah pengetahuan, sikap dan tindakan yang diketahui atau dilakukan responden dalam swamedikasi penyakit common cold.