PENGARUH EDUKASI TERHADAP ASPEK PERILAKU
SWAMEDIKASI COMMON COLD OLEH KADER-KADER KESEHATAN DI KECAMATAN JETIS, KABUPATEN BANTUL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Nisitantri Prabaningrum
NIM : 058114018
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PENGARUH EDUKASI TERHADAP ASPEK PERILAKU
SWAMEDIKASI COMMON COLD OLEH KADER-KADER KESEHATAN DI KECAMATAN JETIS, KABUPATEN BANTUL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Nisitantri Prabaningrum
NIM : 058114018
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
HALAMAN PERSEMBAHAN
Make Hopes as long as you can cause live nothing means when you stop hoping
Kita semua hidup dalam ketegangan, dari waktu ke waktu, serta dari hari ke hari; dengan kata lain, kita adalah pahlawan dari cerita kita sendiri (Mary Mccarthy)
Banyak kegagalan dalam hidup ini
dikarenakan orang‐orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah (Thomas Alva Edison)
Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekuatan. Hal itu hanya dapat diraih
dengan pengertian (Einstein)
Semua
indah
pada
waktunya
Karya ini kupersembahkan kepada :
Jesus Christ n Bunda Maria yang telah berkenan mendengarkan doa dan permohonanku,
Diriku, Bapak, Ibu, Kakak dan adik tercinta, Kakak Ipar, Yanuarius Budi Santoso, Teman-teman
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas kasih dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Edukasi Terhadap Aspek Perilaku Swamedikasi Common
Cold Oleh Kader-Kader Kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul” dengan
baik dan tepat waktu. Skripsi ini disusun guna memenuhi syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana farmasi (S. Farm) di Universitas Sanata Dharma.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada:
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma dan dosen penguji yang telah memberi banyak masukan dan
kesempatan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat berjalan lancar
2. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku dosen pembimbing dan sebagai nara
sumber dalam penyuluhan common cold, atas segala bimbingan, masukan,
kebaikan dan kesabarannya sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.
3. Romo Drs. Petrus Sunu Hardiyanta, SJ., M.Sc. selaku dosen pembimbing atas
bantuan, bimbingan, masukan dan kesabarannya sehingga skripsi ini dapat
selesai tepat waktu
4. Bapak Yosef Wijoyo M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas masukan dan
saran-saran yang membangun
5. Kedua Orang tua yang telah memberikan dukungan doa, spirit, moral maupun
6. Christiana Shinta Estri Wahyuningrum dan YB Dwi Setianto atas segala
dukungan doa, semangat dan bantuan yang telah diberikan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini
7. Yudha Triagung Pamungkas atas segala dukungan yang telah diberikan kepada
penulis
8. Yanuarius Budi Santoso atas pengorbanan, kesabaran, kesetiaan dan dukungan
yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik dan tepat waktu.
9. Bernadetta Eka Niasari atas dukungan semangat dan kesetiaannya sebagai
tempat berbagi dan motivator yang handal.
10.Beatrik Noviyanti atas semangat, dukungan, bantuan dan pinjaman bukunya.
11.Hetty, Siska, Ria, Desi dan Reni atas dukungan semangat dan doa yang
diberikan.
12.Buat anak kos angkatan 2005 (Ina, Agatha, Nia, Indra) atas dukungan dan
teman seperjuangan dalam menempuh kesulitan hidup
13.Anak-anak kos agata atas kebaikan dan kepedulian kalian semua
14.Vincentia Septiana selaku teman seperjuangan atas kesabaran dan
dukungannya sehingga penelitian ini dapat selesai dengan lancar
15.Andine, Novi, Rini, Vivi, Dewi, Christin, dan Vira atas dukungan dan
semangat yang telah diberikan
16.Anak farmasi angkatan 2005 khususnya kelas A atas dukungan dan
17.Alexander Daru Wijayanto atas bantuan dalam pemecahan rumus serta
semangat dan doa yang telah diberikan
18.Rina dan Tina atas dukungan semangat dan doanya
19.Bapak Lurah Desa Canden dan Trimulyo yang sudah berkenan membantu dan
menyediakan tempat penyuluhan
20.Bapak Lurah Desa Sumberagung dan Patalan yang sudah berkenan memberi
ijin sehingga penelitian ini dapat berlangsung
21.Seluruh Bapak dukuh di Kecamatan Jetis atas bantuan dan ijin yang telah
diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar
22.Kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis (khusunya bagi para responden
penelitian) atas waktu luang, kesabaran dan kesediaannya dalam mengikuti
penelitian ini. Terima kasih atas doa dan dukungannya
23.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu
Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan skripsi yang tidak
sempurna ini. Oleh sebab itu penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk mencapai kesempurnaan. Besar harapan
penulis agar skripsi ini dapat berguna bagi semua orang khususnya dalam
peningkatan ilmu pengetahuan.
Yogyakarta, 18 Agustus 2009
INTISARI
Swamedikasi merupakan kegiatan atau tindakan mengobati diri sendiri maupun keluarganya dengan Obat Tanpa resep (OTR) secara tepat dan bertanggung jawab. Common cold merupakan penyakit yang banyak diderita dan ditangani dengan swamedikasi. Untuk mencapai tujuan terapi diperlukan perilaku swamedikasi yang tepat dan bertanggungjawab, sedangkan perilaku swamedikasi masyarakat masih rendah sehingga diperlukan tindakan untuk mengubah perilaku tersebut. Salah satu cara mengubah perilaku seseorang adalah dengan pemberian edukasi melalui penyuluhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pemberian edukasi terhadap pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi common cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul.
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental non randomized pre-test dan post-test dengan kelompok kontrol. Data diperoleh dari 91 responden perlakuan dan 91 responden kontrol dari desa terpisah. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Responden merupakan kader-kader kesehatan yang pernah mengalami common cold. Intervensi yang diberikan berupa penyuluhan oleh seorang apoteker. Post-test dilakukan secara bertahap yaitu pada hari yang sama dengan penyuluhan dan satu bulan setelah penyuluhan dengan menggunakan kuisioner yang sama dengan pretest. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik Mann Whitney dan Wilcoxon.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberian edukasi berpengaruh terhadap perubahan perilaku swamedikasi common cold oleh kader-kader kesehatan dengan angka signifikansi untuk pengetahuan sebesar 0,000; sikap sebesar 0,000 dan tindakan sebesar 0,011.
ABSTRACT
Self-medication is an activity or action to cure ourselves or family by giving non prescription drugs in appropriate and responsible way. Common cold belongs to illness that mostly occurs and can be cured by self-medication. In order to reach the aim of the therapy an appropriate and responsible self medication treatment in necessary, an the other hand self medication in society is still weak that needs an action to change that behavior. One way to change people’s behavior is by giving an education and illumination. The aim of this research is to find the effect of education to knowledge, attitude, and practice of common cold self medication treatment by health framework in sub-district of Jetis, Bantul regency.
This research is an quasi experimental with non randomized pretest and posttest with control group design. The data is collected from 91 treatment respondent and 91 control respondent from separated village. Sampling method used is purposive sampling. The respondent are health framework who have experienced common cold. The intervention is an illumination given by a Pharmacist. Posttest is given step by step i.e in the same day when illumination is held and one month after illumination by giving the same questionnaire given an pretest. The data result is analyzed using appropriate statistic test such as Mann-Whitney and Wilcoxon.
The result of this research reveals that education gives an affect to common cold self medication treatment by health framework with significance mark for knowledge is 0,000; attitude is 0,000 and practice is 0,011.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PRAKATA ... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x
INTISARI ... xi
ABSTRACT ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xxi
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan masalah ... 4
2. Keaslian penelitian ... 4
3. Manfaat penelitian ... 5
B. Tujuan Penelitian ... 5
1. Tujuan umum ... 5
2. Tujuan khusus ... 6
1. Definisi ... 7
2. Perilaku swamedikasi ... 7
B. Common Cold ... 9
1. Definisi ... 9
2. Epidemiologi ... 9
3. Etiologi ... 10
4. Patofisiologi ... 10
5. Gejala dan tanda ... 13
6. Komplikasi ... 13
7. Penatalaksanaan ... 13
8. Swamedikasi common cold ... 18
C. Perilaku Kesehatan ... 20
1. Pengetahuan (knowledge) ... 20
2. Sikap (attitude) ... 21
3. Praktik atau tindakan (practice) ... 22
D. Teori Perilaku ... 23
1. Teori Weber ... 23
2. Teori Parsons ... 23
3. Teori kepercayaan kesehatan dari Rosenstock ... 24
E. Perubahan Perilaku ... 25
1. Pengetahuan ... 25
2. Sikap ... 26
F. Teori Perubahan Perilaku ... 27
1. Teori stimulus organisme (SOR) ... 27
2. Teori perubahan perilaku dari Green ... 28
3. Teori pertentangan kekuatan dari Lewin ... 29
G. Promosi Kesehatan ... 30
H. Landasan Teori ... 32
I. Hipotesis ... 33
BAB III. METODE PENELITIAN ... 34
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 34
B. Variabel Penelitian ... 34
C. Definisi Operasional ... 35
D. Subyek dan Kriteria Inklusi Penelitian ... 36
E. Populasi dan Besar Sampel ... 36
F. Waktu dan Tempat Penelitian ... 37
G. Teknik Pengambilan Sampel ... 37
H. Instrument Penelitian ... 38
I. Tahapan Penelitian ... 39
1. Penentuan lokasi penelitian ... 39
2. Pengurusan ijin penelitian ... 40
3. Penentuan besar sampel ... 40
4. Pembuatan instrument ... 41
5. Pengambilan data ... 42
J. Analisis Hasil ... 44
1. Pengujian normalitas data ... 44
2. Pengujian hasil data ... 45
K. Keterbatasan Penelitian ... 45
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46
A. Karakteristik Responden ... 46
1. Karakteristik umur responden ... 46
2. Karakteristik tingkat pendidikan responden ... 49
3. Karakteristik pekerjaan responden ... 50
4. Karakteristik tingkat pendapatan responden ... 52
5. Frekuensi kejadian penyakit common cold selama satu bulan ... 54
B. Pola Pengobatan Responden Saat Terkena Penyakit Common Cold ... 55
1. Kejadian common cold selama satu bulan terakhir ... 55
2. Cara penanganan responden ketika terkena penyakit common cold ... 56
C. Pengaruh Edukasi Terhadap Perilaku Swamedikasi Common Cold ... 57
1. Pengaruh edukasi terhadap pengetahuan ... 59
2. Pengaruh edukasi terhadap sikap ... 62
3. Pengaruh edukasi terhadap tindakan ... 65
4. Rangkuman pembahasan ... 68
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 74
A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 75
LAMPIRAN ... 80
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Distribusi frekuensi umur responden penelitian baik untuk kelompok
perlakuan maupun kelompok kontrol ... 47
Tabel II. Hasil uji normalitas Kolmogorov Smirnov ... 59
Tabel III. Perbandingan hasil uji Mann-Whitney tingkat pengetahuan sebelum
dan sesudah penyuluhan ... 59
Tabel IV. Perbandingan pengetahuan pretest-posttest antara responden
kelompok kontrol dan perlakuan... 61
Tabel V. Perbandingan hasil uji Mann-Whitney sikap sebelum dan sesudah
penyuluhan ... 62
Tabel VI. Perbandingan sikap pretest-posttest antara responden kelompok
kontrol dan perlakuan... 64
Tabel VII. Perbandingan hasil uji Mann-Whitney tindakan sebelum dan sesudah
penyuluhan ... 65
Tabel VIII. Perbandingan tindakan pretest-posttest antara responden kelompok
kontrol dan perlakuan... 67
Tabel IX. Perbandingan hasil pretest dan posttest kelompok perlakuan dan
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Ikatan antara rhinovirus dengan reseptor ICAM-I ... 11
Gambar 2. Produksi partikel virus baru oleh sel yang terinfeksi ... 11
Gambar 3. Patogenesis common cold ... 12
Gambar 4. Algoritma swamedikasi common cold ... 19
Gambar 5. Proses terbentuknya sikap dan reaksi... 22
Gambar 6. Teori Max Weber ... 23
Gambar 7. Teori Parsons ... 24
Gambar 8. Proses perubahan perilaku ... 28
Gambar 9. Karakteristik umur responden penelitian ... 48
Gambar 10. Kategorisasi umur responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ... 48
Gambar 11. Karakteristik tingkat pendidikan responden penelitian... 49
Gambar 12. Karakteristik jenis pekerjaan responden penelitian ... 50
Gambar 13. Kategorisasi pekerjaan responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ... 51
Gambar 14. Karakteristik tingkat pendapatan responden penelitian ... 52
Gambar 15. Kategorisasi tingkat pendapatan responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ... 54
Gambar 17. Persentase responden yang mengalami common cold selama satu
bulan terakhir ... 56
Gambar 18. Cara penanganan common cold oleh responden penelitian ... 57
Gambar 19. Perbandingan perubahan variabel pengetahuan antara kelompok
perlakuan dengan kelompok kontrol ... 60
Gambar 20. Perbandingan perubahan variabel sikap antara kelompok perlakuan
dengan kelompok kontrol ... 63
Gambar 21. Perbandingan perubahan variabel tindakan antara kelompok
perlakuan dengan kelompok kontrol ... 66
Gambar 22. Perbandingan perubahan perilaku swamedikasi responden kelompok
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. PERIJINAN ... 80
Lampiran 2. INFORMED CONSENT ... 81
Lampiran 3. KUESIONER ... 84
Lampiran 4 . JAWABAN KUESIONER PENELITIAN... 88
Lampiran 5. SARAN KUISIONER YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK PENELITIAN SELANJUTNYA ... 90
Lampiran 6. UJI RELIABILITAS DAN VALIDITAS KUESIONER ... 92
Lampiran 7. HASIL UJI STATISTIK ... 93
Lampiran 8. HASIL KUESIONER RESPONDEN ... 112
BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang
Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 574/Menkes/SK/IV/2000 telah menetapkan Visi
pembangunan kesehatan di Indonesia dengan “Indonesia Sehat 2010” yang
menggambarkan bahwa pada tahun 2010 bangsa Indonesia hidup dalam
lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat serta mampu menjangkau
pelayanan kesehatan bermutu secara adil dan merata (Ismaryani, 2008).
Sebagai jawaban atas tantangan tersebut, disusunlah visi Depkes
“Masyarakat yang Mandiri Untuk Hidup Sehat” dengan misi “Membuat
Masyarakat Sehat”. Salah satu strateginya melalui penggerakan dan
pemberdayaan masyarakat untuk hidup sehat. Dalam hal ini masyarakat harus
berperan aktif dalam pembangunan kesehatan. Pembangunan kesehatan yang
merupakan salah satu tujuan nasional akan terwujud apabila masyarakat dalam
negara tersebut sehat (Ismaryani, 2008).
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan merupakan sasaran utama
promosi kesehatan. Masyarakat sebagai sasaran primer (primary target) promosi
kesehatan harus diberdayakan agar mereka mau dan mampu memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya
atas proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam
Mencermati perjalanan setiap program dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat yang telah dilakukan selama ini, kader kesehatan
mempunyai peranan besar dalam setiap kegiatan dan program kesehatan. Kader
kesehatan telah mengabdi dan membina masyarakat, khususnya di bidang
kesehatan, melalui berbagai kegiatan yang dilakukan, baik di dalam Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu) maupun di luar posyandu (Issumantri, 2007).
Menurut Departemen Kesehatan RI yang dimaksud dengan Kader
Kesehatan adalah siapa saja anggota masyarakat yang dipilih dari dan oleh
masyarakat setempat yang mau dan sanggup bekerja secara sukarela dan ikhlas
dalam melaksanakan kegiatan dan menggerakkan masyarakat untuk melakukan
berbagai upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Kader sebaiknya dapat
membaca, menulis dan masih cukup waktu untuk bekerja bagi masyarakat di
samping usahanya mencari nafkah (Issumantri, 2007).
Swamedikasi merupakan kegiatan atau tindakan mengobati diri sendiri
maupun keluarganya dengan Obat Tanpa Resep (OTR) secara tepat dan
bertanggung jawab. Obat Tanpa Resep (OTR) meliputi obat bebas dan obat bebas
terbatas. Keuntungan pengobatan sendiri menggunakan OTR antara lain: aman
bila digunakan sesuai dengan aturan, efektif untuk menghilangkan keluhan,
efisiensi biaya, efisiensi waktu, dapat ikut berperan dalam mengambil keputusan
terapi, dan meringankan beban pemerintah dalam keterbatasan jumlah tenaga
kerja dan sarana kesehatan di masyarakat (Holt dan Edwin, 1986 cit Kristina,
Seringkali dijumpai bahwa pengobatan sendiri menjadi sangat boros
karena mengkonsumsi obat – obatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan atau bisa
berbahaya misalnya karena penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan pakai.
OTR dalam pemakaian harus sesuai dengan indikasi, lama pemakaian yang benar,
disertai dengan pengetahuan pengguna tentang resiko efek samping dan
kontraindikasinya (Suryawati,1997).
Penyakit yang dapat diobati sendiri biasanya bersifat self limiting, salah
satu contohnya adalah penyakit common cold. Common cold adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus pada hidung. Gejala yang terjadi biasanya bersin,
sakit tenggorokan, batuk, suara serak, hidung keluar lendir, dan gejala lain seperti
sakit kepala, demam dan kedinginan.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul diketahui
bahwa prevalensi penyakit common cold di Kecamatan Jetis pada akhir tahun
2007 sebesar 12%. Penyakit common cold merupakan penyakit yang ringan,
namun bila tidak diobati secara benar dapat memperparah penyakit. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Supardi dan Notosiswoyo (2005), pengetahuan
pengobatan sendiri umumnya masih rendah dan kesadaran masyarakat untuk
membaca label pada kemasan obat juga masih kecil.
Sehubungan dengan hal itu maka diperlukan pembelajaran bagi
masyarakat agar mereka dapat menangani penyakit common cold dengan tepat
dan bertanggung jawab. Pembelajaran ini dilakukan dengan cara memberikan
informasi/edukasi melalui penyuluhan kepada kader-kader kesehatan karena
Pembelajaran ini bertujuan untuk mengubah perilaku swamedikasi common cold
oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Aspek Perilaku
kesehatan tersebut meliputi tiga domain yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.
Pengaruh pemberian edukasi terhadap perilaku swamedikasi common
cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis menarik untuk diteliti.
Pertama berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2007 angka
kejadian penyakit common cold di Kecamatan Jetis relatif tinggi. Kedua common
cold merupakan penyakit ringan yang dapat ditangani dengan pengobatan
mandiri. Ketiga mengingat peran serta kader-kader kesehatan yang cukup besar
dalam kesehatan masyarakat.
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka
permasalahan yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana karakteristik kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis,
Kabupaten Bantul sebagai kelompok kontrol dan kelompok perlakuan?
b. Bagaimana pola penanganan penyakit common cold oleh kader-kader
kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul ?
c. Apakah pemberian edukasi berpengaruh terhadap perubahan perilaku
swamedikasi penyakit common cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan
Jetis, Kabupaten Bantul ?
2. Keaslian penelitian
Penelitian mengenai common cold yang telah dilakukan adalah penelitian
perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh ibu – ibu di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta” yang dilakukan oleh Handayani (2008) dan penelitian yang
berjudul “Pengaruh penyuluhan obat terhadap peningkatan perilaku pengobatan
sendiri yang sesuai dengan aturan” yang dilakukan oleh Supardi et al. Sejauh
pengetahuan peneliti penelitian tentang pengaruh pemberian edukasi terhadap
perubahan perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh kader-kader
kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul belum pernah dilakukan oleh
peneliti lain.
3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis
Memberikan gambaran mengenai pengaruh pemberian edukasi terhadap
perubahan perilaku swamedikasi common cold oleh kader-kader kesehatan di
Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul
b. Manfaat praktis
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan
perubahan perilaku suatu masyarakat khususnya untuk penyakit common cold
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian edukasi
terhadap perubahan perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh kader-
2. Tujuan khusus
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui karakteristik kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis,
Kabupaten Bantul
b. Mengetahui pola penanganan penyakit common cold oleh kader-kader
kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul
c. Mengetahui pengaruh pemberian edukasi terhadap perubahan perilaku
swamedikasi penyakit common cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA A. Pengobatan Mandiri 1. Definisi
Pengertian pengobatan mandiri menurut The International
Pharmaceutical Federation (FIP) dan The World Self Medication Industry
(WSMI) adalah penggunaan obat tanpa resep oleh masyarakat yang dilakukan
sesuai dengan inisiatif mereka sendiri (Anonim, 1999c).
Peranan dari pengobatan mandiri (Supardi, 1997) antara lain
penanggulangan secara tepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan
konsultasi medis, pengurangan beban pelayanan kesehatan karena keterbatasan
sumberdaya dan tenaga, serta peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan
untuk masyarakat yang jauh dari puskesmas.
2. Perilaku swamedikasi
Pengobatan mandiri dengan obat tanpa resep menurut Holt dan Hall
(1990) hendaknya dilakukan secara tepat dan bertanggung jawab, biasanya pada
kasus :
a. perawatan simtomatik minor, misalnya badan terasa tidak enak maupun cedera
ringan
b. penyakit self-limiting atau paliatif misalnya flu dan sakit kepala
c. pencegahan dan penyembuhan penyakit ringan, misalnya mabuk perjalanan
d. penyakit kronis yang sebelumnya sudah pernah didiagnosis dokter atau tenaga
medis profesional lainnya, misalnya arthritis dan asma.
Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya
tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam
mengatasi masalah kesehatan, demografi dan epidemiologi, ketersediaan
pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial
ekonomi (Holt and Hall, 1990).
Dalam penggunaan produk obat tanpa resep secara aman dan efektif,
seorang konsumen harus memperhatikan beberapa aturan yang digunakan oleh
seorang tenaga kesehatan dalam mengobati pasien dengan obat resep. Aturan
tersebut seperti pengenalan gejala yang cermat, keadaan objek terapi, pemilihan
produk yang akan digunakan, pemilihan dosis dan aturan pakai yang sesuai,
memperhitungkan riwayat penyakit seseorang, kontraindikasi, penyakit penyerta
dan penggunaan obat yang bersamaan, dan memonitoring respon terhadap
pengobatan dan kemungkinan adanya efek samping (Anonim, 2000).
Untuk produk obat tanpa resep, semua informasi yang dibutuhkan agar
dalam penggunaannya efektif dan aman terdapat dalam label, teks informasi
kepada pasien, pengalaman pribadi, beraneka macam sumber informasi seperti
media, iklan dan nasehat yang diberikan oleh tenaga kesehatan profesional.
Farmasis memegang peranan penting dalam memberi saran kepada konsumen
dalam penggunaan obat yang aman dan tepat ketika akan melakukan pengobatan
mandiri (Anonim, 2000).
B. Common Cold
1. Definisi
Common cold merupakan infeksi virus yang menyerang saluran
pernafasan atas yang dapat sembuh dengan sendirinya. Penyakit common cold
tidak dapat dicegah maupun diobati (Tietze, 2000). Menurut Clayman (1994)
yang disebut sebagai common cold adalah penyakit ringan yang berasal dari
infeksi oleh lebih dari 200 jenis virus yang berbeda. Hardnge and Shryock (2003)
mendefinisikan common cold sebagai infeksi saluran pernafasan bagian atas
(hidung, sinus, kerongkongan) yang disebabkan oleh salah satu dari kemungkinan
dua ratus virus, yang menyerang sel-sel lapisan tersebut, menyebabkan lapisan
tersebut mengeluarkan lendir. Common cold adalah infeksi minor pada hidung
atau tenggorokan yang disebabkan oleh beberapa virus berbeda (Anonim, 2009).
2. Epidemiologi
Kejadian common cold tertinggi terjadi pada anak pra-sekolah sebanyak
5-7 kali pertahun tetapi bagi mereka yang tidak memperhatikan kesehatan
sehari-hari bisa sampai 12 kali tiap tahun. Orang dewasa biasanya mengalami common
cold sebanyak 2-3 kali pertahun tetapi bisa lebih jika mereka hidup dengan atau
berjumpa secara teratur dengan anak-anak baik pra-sekolah maupun yang sudah
sekolah. Asap rokok, rendah nutrisi, peningkatan populasi dan stress psikologi
kronik dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit common cold (Tietze,
3. Etiologi
Rhinovirus merupakan patogen dengan lebih dari 100 serotipe yang
biasanya menyebabkan 50-60% penyakit common cold pada orang dewasa.
Patogen penting lain yang menyebabkan common cold adalah Respiratory
Syncytial Virus (RSV) merupakan patogen pada anak-anak dan coronavirus.
Beberapa patogen seperti virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus,
enterovirus, rubeola, rubella, dan varicella menyebabkan gejala yang sama dengan
common cold (Tietze, 2000).
Kontak virus dengan nasal mukosa atau conjunctiva menginisiasi infeksi.
Model transmisi yang paling efektif adalah kontak antara tangan orang sehat
dengan tangan seseorang yang terdapat sekresi hidung yang mengandung virus.
Dimana orang sehat tersebut kemudian menyentuh hidung atau mata mereka
dengan tangan mereka sehingga virus dapat masuk ke dalam tubuh. Model
transmisi yang kurang efektif dengan cara menghirup partikel kecil/besar dari
aerosol virus atau dengan memegang permukaan benda mati yang terkena virus
diikuti dengan self inoculation (Tietze, 2000).
Kondisi yang dapat memicu timbulnya common cold antara lain daya
tahan tubuh lemah atau menurun, pergantian musim biasanya musim dingin, usia
balita dan anak-anak lebih mudah terserang common cold dan pada wanita
berkaitan dengan siklus menstruasi (Li Wan Po, 1997).
4. Patofisiologi
Virus common cold berkumpul dan masuk ke saluran nasal melalui jari
mengaktifkan mediator nyeri dan reflek neurogenik, menghasilkan penambahan
mediator nyeri, vasodilatasi, transudasi plasma, sekresi glandular, dan stimulasi
refleks nyeri serabut saraf serta bersin dan batuk. Terjadi hipersekresi cairan
hidung yang disebabkan refleks mediator dan mekanisme sistem saraf
parasimpatik (Tietze, 2004).
Rhinovirus berikatan dengan reseptor ICAM-1 ↓
Virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi ↓
Terjadi komplek reaksi sistem imun dijaringan ↓
Aktivasi leukosit dan protein plasma ditempat infeksi ↓
Mengeluarkan chemokine distress signal dan sitokin ↓
Mengaktifkan mediator nyeri dan reflek neurogenik
Gambar 3. Patogenesis common cold (Tietze, 2004)
Jumlah virus yang sedikit (1-30 partikel virus) ketika dikenali masuk
dalam hidung sudah cukup untuk menyebabkan kekambuhan common cold. Dari
waktu virus masuk ke hidung, membutuhkan waktu 8-12 jam untuk daur
reproduktif virus yang lengkap dan untuk melepaskan virus baru ke dalam sekresi
nasal. Interval ini disebut periode inkubasi. Gejala common cold dapat segera
mulai setelah virus diproduksi pertama dalam hidung (10-12 jam). Waktu dari Pengeluaran
histamine dari sel
Formasi bradikinin, prostaglandin atau
histamine
Stimulasi reflek nyeri serabut saraf
Vasodilatasi
Hidung tersumbat
Sakit tenggorokan
Bersin-bersin Keluarnya lendir
mulainya infeksi sampai puncak gejala secara khas adalah 36-72 jam (Anonim,
2007b).
5. Gejala dan tanda
Gejala common cold biasanya muncul 1-3 hari setelah infeksi virus. Sakit
tenggorokan adalah gejala pertama yang muncul selanjutnya diikuti oleh hidung
tersumbat, rhinorrhea (keluarnya lendir pada hidung), bersin dan batuk. Pasien
akan merasa dingin, sakit kepala, merasa tidak enak badan, myalgia (nyeri otot)
atau demam dengan suhu rendah. Sakit tenggorokan berubah secara cepat. Gejala
nasal mendominasi selama 2-3 hari dan batuk mendominasi selama 4-5 hari.
Batuk adalah gejala yang jarang (<20%). Gejala bertahan selama 1-2 minggu
(Tietze, 2000).
6. Komplikasi
Sekitar 80% penderita selesma sampai tingkatan tertentu mengalami
sinusitis, yang merupakan infeksi pada sinus. Nyeri di sekitar mata, demam yang
makin tinggi, dan sumbatan yang menghebat dapat menjadi tanda bahwa selesma
telah menyebabkan infeksi bakteri pada sinus (Schachter, 2005).
7. Penatalaksanaan a. Tujuan terapi
Tujuan dari terapi common cold adalah mengurangi gejala dan membantu
pasien merasa dan berfungsi dengan baik (Tietze, 2000).
b. Sasaran terapi
Sasaran terapi adalah gejala yang dirasa paling berat dan merupakan awal
berkurangnya cairan dan sumbatan nasal, rentetan gejala berikutnya kemungkinan
besar juga akan berkurang (Donatus, 1997).
c. Strategi terapi
Gejala pada common cold dapat dikurangi dengan dua macam terapi
yaitu terapi non farmakologi dan farmakologi.
1) Terapi non farmakologi
Terapi tanpa obat termasuk peningkatan asupan cairan, istirahat cukup,
makan-makanan yang bergizi, peningkatan kelembaban dengan vaporizer cool
mist atau mandi uap, kumur dengan larutan saline dan irigasi nasal (Tietze, 2000).
Delapan gelas air/jus perhari sangat disarankan. Karena dapat menjaga
hidung dan tenggorokan dari kekeringan. Hindari kopi, teh atau minuman cola
yang mengandung kafein dan minuman yang mengandung alkohol karena kafein
maupun alkohol dapat menyebabkan dehidrasi. Berhenti merokok dan hindari
orang merokok sebab menghirup asap rokok dapat menyebabkan iritasi
tenggorokan dan batuk. Mencuci tangan secara teratur dan menghindari
menyentuh hidung ataupun mata ketika terkena common cold dapat mengurangi
penyebaran virus (Anonim, 2009).
2) Terapi farmakologi
Pengobatan menggunakan OTR dapat mengurangi gejala dan harus
digunakan sesegera mungkin ketika merasa terkena common cold (Anonim,
2009). Dekongestan merupakan terapi utama pada common cold. Ketika pasien
demam (37,8°C) dapat diobati dengan analgesik/antipiretik seperti aspirin,
dan dapat diobati dengan antitusive. Sakit tenggorokan dapat diobati dengan
lozenges, kumur dan anastetik (seperti benzokain dan diclonin) (Tietze, 2000).
Hidung tersumbat, batuk dan keluar ingus dapat diobati dengan dekongestan,
antihistamin atau kombinasi keduanya. Pengobatan dengan antivirus belum
tersedia untuk menyembuhkan common cold. Antibiotik tidak diperlukan dalam
pengobatan common cold dan hanya dapat digunakan pada saat terkena common
cold bila terjadi komplikasi bakteri yang disebabkan oleh common cold (Anonim,
2009).
Efektivitas dari antihistamin generasi pertama untuk bersin-bersin, keluar
ingus dan kemungkinan batuk telah ditunjukkan dalam penelitian klinik baru-baru
ini. NSAID efektif digunakan untuk gejala common cold seperti demam, sakit
kepala, dan perasaan tidak enak dan mungkin juga untuk mengendalikan batuk.
Antihistamin generasi pertama bila digunakan dengan NSAID merupakan
treatment awal untuk common cold yang diberikan untuk mengurangi sebagian
besar gejala common cold (Anonim, 2007b).
a) Dekongestan
Dekongestan digunakan untuk mengurangi hidung tersumbat dan
sumbatan pada saluran Eustachian. Dekongestan adalah agonis α-adrenergic
(simpatomimetik). Perangsangan pada reseptor α-adrenergic dapat mengkerutkan
pembuluh darah dalam tubuh, mengurangi asupan darah ke hidung, mengurangi
jumlah darah pada pembuluh sinusoid, dan mengurangi edema mucosal. Jika
dekongestan berikatan langsung dengan reseptor α-adrenergic maka
kedalam terminal saraf prejunctional dimana menggantikan norepinefrine dari
tempat penyimpanan vesicle maka diklasifikasikan mempunyai aksi tidak
langsung. Beberapa obat mempunyai mekanisme aksi campuran. Phenilephrine,
oxymetazoline, dan tetrahidrozoline adalah contoh dekongestan dengan
mekanisme aksi langsung, efedrine, pseudoefedrine dan fenilpropanolamin
mempunyai aksi tidak langsung atau campuran. Secara umum simpatomimetik
aksi tidak langsung mempunyai onset yang lambat dan durasi panjang (Tietze,
2000).
Dekongestan dikontraindikasikan pada pasien yang mempunyai riwayat
hipersensitif atau idiosinkratik terhadap dekongestan dan pada pasien yang
menerima terapi MAOI (Tietze, 2000).
b) Antihistamin
Antihistamin dalam common cold dapat mengurangi rhinorrhea dan
bersin-bersin (Tietze, 2000). Obat antihistamin mengurangi daya kerja histamin
dengan menempati tempat yang seharusnya untuk histamin pada reseptor H1
(Sartono, 1993). Antihistamin juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitif atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih.
Antihistamin mempunyai efek mengantuk dan dikontraindikasikan bagi penderita
glukoma, asma dan wanita yang menyusui. Antihistamin yang sering digunakan
antara lain klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat, prometazin HCl,
tripolidin (Anonim, 1997).
c) Analgesik-Antipiretik sistemik
Analgesik sistemik efektif untuk menghilangkan atau mengurangi rasa
sakit dan demam yang dihubungkan dengan common cold (Tietze, 2000). Obat
analgesik-antipiretik mempengaruhi pusat-pusat pengatur kalor dari sistem saraf
pusat (SSP) yang terletak pada hipotalamus. Reaksi yang timbul adalah
vasodilatasi pada kulit yang mengakibatkan pengeluaran kalor bertambah
(Anonim, 2009). Terdapat tiga kelompok analgesik/antipiretik yang tersedia
sebagai OTC yaitu aspirin, asetaminofen, dan nonsteroidal anti-inflammatory
drugs (NSAIDs) (Anonim, 2009b). Aspirin tidak boleh diberikan pada anak
dibawah 8 tahun karena dapat menyebabkan reye’s syndrome (Anonim, 2009a).
d) Anastetik lokal
Lozenges, troches, pencuci mulut dan spray mengandung lokal anastetik
(benzokain) digunakan untuk mengurangi gejala sakit tenggorokan. Produk lokal
anastetik digunakan tiap 3-4 jam (Tietze,2000).
e) Antitusif dan ekspektoran
Batuk dibedakan menjadi batuk produktif dan non produktif. Pemilihan
obat tergantung pada jenis batuknya. Penekan batuk (antitusif) dapat
meningkatkan ambang batuk dan digunakan untuk mengobati batuk non
produktif. Ekspektoran meningkatkan sekresi bronkial dan memudahkan
mengeluarkan sekret dan digunakan untuk mengobati batuk produktif. Penekan
batuk yang direkomendasikan FDA adalah dekstrometrophan, dan difenhidramin.
Ekspektoran yang direkomendasikan FDA adalah guaifenesin (gliseril guiakolat)
f) Suplemen
Herbal, mineral dan produk lain seperti Echinacea, eucalyptus, bawang
putih, madu, lemon, zinc dan vitamin C diterima banyak masyarakat untuk
mengobati common cold. Walaupun, hal ini tidak didukung dengan penelitian
ilmiah (Anonim, 2009). Penelitian terbaru dengan kontrol yang cermat
mengindikasikan bahwa vitamin C mungkin dapat mempersingkat lamanya
selesma dan mungkin meringankan gejala tetapi belum diketahui bagaimana
kerjanya. Namun, belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa konsumsi
vitamin C dapat mencegah gejala (Schachter, 2005). 8. Swamedikasi common cold
Common cold merupakan penyakit ringan yang bisa sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan. Akan tetapi bila gejala common cold sangat
mengganggu aktivitas dapat dikurangi dengan tindakan swamedikasi secara tepat
dan bertanggungjawab menggunakan OTR. Penyakit common cold bila tidak
diobati dengan tepat dapat memperparah penyakit. Pengobatan common cold
didasarkan pada gejala yang paling parah. Berikut adalah algoritma cara
penanganan common cold :
Gambar 4. Algoritma swamedikasi common cold (Tietze, 2000) Pasien menderita common cold
Criteria eksklusi swamedikasi :
Demam 38°C, nyeri dada, nafas menjadi pendek, gejala semakin memburuk, penyakit kardiopulmonari, seperti asma, COPD, CHF, penyakit imunosuppresant, AIDS, pasien dalam kondisi yang lemah
Hubungi dokter
Apakah gejala berhubungan dengan alergi? sendiri penyakit alergi Dilakukan perawatan
Mengetahui riwayat pengobatan, termasuk pengobatan alternatif. Evaluasi pasien untuk menghindari pengobatan dan tindakan pencegahan. Rekomendasikan tindakan tanpa obat seperti istirahat dan hidrasi cukup. Nilai gejala yang paling parah.
Hidung tersumbat dan keluar lendir dari hidung
Salin nasal spray atau dekongestan. Hubungi dokter jika gejala bertahan setelah 7‐10 hari dari pengobatan
Nyeri dan sakit Analgesik/antipiretik sistemik. Hubungi dokter jika gejala bertahan setelah 7‐10 hari dari pengobatan
Demam Analgesik/antipiretik sistemik. Hubungi dokter jika
gejala bertahan setelah 7‐10 hari dari pengobatan
Batuk
Kumur dengan air garam atau spray anastetik lokal
Jika mengalami susah tidur Gunakan spray nasal dekongestan dan gunakan antihistamin pada malam hari Ekspektoran untuk batuk berdahak dan antitusif untuk batuk kering
Faringitis
Apakah gejala common
cold terobati? Sesuaikan dosis atau ganti dengan agen lain.
Hubungi dokter jika terapi alternatif gagal
C. Perilaku Kesehatan
Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman
serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain perilaku merupakan
respon/reaksi seseorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun
dari dalam dirinya (Sarwono, 2007).
Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap
stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan (Notoadmojo, 2007).
Menurut Sarwono (2007) perilaku kesehatan dirumuskan sebagai segala bentuk
pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang
menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang
berhubungan dengan kesehatan.
Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku
manusia itu ke dalam 3 domain, ranah atau kawasan yakni : a) kognitif
(cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (phychomotor). Dalam
perkembangannya teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil
pendidikan kesehatan, yakni :
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif
(overt behavior). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmojo, 2007).
Penelitian Roger cit Notoadmojo (2007)mengungkapkan bahwa sebelum
orang mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan yakni :
a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu
b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus
c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya)
d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru
e. Adoption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Roger menyimpulkan
bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap diatas (Notoadmojo,
2007).
2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu
masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoadmojo,
2007).
Gambar 5. Proses terbentuknya sikap dan reaksi (Notoadmojo, 2007)
3. Praktik atau tindakan (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas.
Menurut Notoadmojo (2007), Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan :
a. Persepsi (perception). Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat
pertama.
b. Respon terpimpin (guided response). Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan
urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator
praktik tingkat dua.
c. Mekanisme (mechanism). Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu
dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan,
maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. Stimulus
Rangsangan Proses Stimulus Reaksi
Tingkah laku
(terbuka)
d. Adopsi (adoption). Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
D. Teori Perilaku 1. Teori Weber
Max Weber seorang ahli sosiologi dan ekonomi yang ternama
mengembangkan teori aksi yang dikenal sebagai teori bertindak (action theory).
Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas
pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsirannya atas suatu objek stimulus
atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang
rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana yang paling tepat
(Ritzer,1983, cit, Sarwono, 2007).
STIMULUS TINDAKAN
Gambar 6. Teori Max Weber (Sarwono, 2007)
2. Teori Parsons
Teori Weber dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, yang
menyatakan bahwa aksi bukanlah perilaku. Aksi merupakan tanggapan/respon
mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental
yang aktif dan kreatif. Menurut Parsons yang utama bukanlah tindakan individual
melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur
perilaku (Poloma, 1987, cit, Sarwono, 2007). Parsons melihat bahwa tindakan Pengalaman
Persepsi Pemahaman Penafsiran
individu dan kelompok dipengaruhi oleh tiga sistem yaitu sistem sosial, sistem
budaya dan sistem kepribadian masing-masing individu. Dalam setiap sistem
sosial individu menduduki suatu tempat (status) tertentu dan bertindak (berperan)
sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku
individu ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya (Sarwono, 2007).
Sistem sosial
Sistem budaya INDIVIDU PERILAKU
Sistem kepribadian
Gambar 7. Teori Parsons (Sarwono, 2007)
3. Teori kepercayaan kesehatan dari Rosenstock
Rosenstock cit Sarwono (2007) percaya bahwa perilaku individu
ditentukan oleh motif dan kepercayaannya, tanpa mempedulikan apakah motif dan
kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan pandangan
orang lain tentang apa yang baik untuk individu tersebut. Model kepercayaan
kesehatan ini mencakup lima unsur utama yaitu:
a. Perceived susceptibility yaitu persepsi individu tentang kemungkinannya
terkena suatu penyakit. Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut
akan lebih cepat merasa terancam.
b. Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived
seriousness) yaitu resiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari
penyakit itu.
c. Perceived threats yaitu besarnya ancaman yang dirasakan individu ketika
d. Perceived benefits and barriers yaitu kemampuan untuk mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian dari alternatif yang diberikan untuk mengurangi
suatu ancaman.
e. Cues to action atau faktor pencetus diperlukan untuk memutuskan menerima
atau menolak alternatif tindakan tersebut. Faktor pencetus bisa datang dari
dalam diri individu (munculnya gejala-gejala penyakit itu) ataupun dari luar
(nasihat orang lain, kampanye kesehatan).
E. Perubahan Perilaku
Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan
dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari
pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program
kesehatan. Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses yang
kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Menurut Notoadmojo (2007)
perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru
dalam kehidupannya melalui tiga tahap :
1. Pengetahuan
Sebelum seseorang mengadopsi perilaku, ia harus tahu terlebih dahulu
apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya dan keluarganya.
Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau
kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi :
a. Pengetahuan tentang sakit atau penyakit yang meliputi : penyebab penyakit,
pengobatan, bagaimana cara penularan, bagaimana cara pencegahannya
termasuk imunisasi.
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat,
meliputi : jenis-jenis makanan bergizi, manfaat makanan bergizi bagi
kesehatannya, pentingnya olahraga bagi kesehatan, penyakit-penyakit atau
bahaya merokok, minum-minuman keras, narkoba, dan pentingnya istirahat
cukup, relaksasi, rekreasi bagi kesehatan
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan, meliputi manfaat air bersih,
cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran yang
sehat, dan sampah, manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat
dan akibat polusi (polusi air, udara dan tanah) bagi kesehatan
2. Sikap
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, proses selanjutnya
akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut.
Indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan kesehatan,
yakni:
a. Sikap terhadap sakit dan penyakit adalah bagaimana penilaian atau pendapat
seseorang terhadap : gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit, cara
penularan penyakit, cara pencegahan penyakit.
b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat adalah penilaian atau pendapat
seseorang terhadap cara-cara memelihara dan cara-cara (berperilaku) hidup
c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan adalah pendapat atau penilaian
seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
3. Perilaku
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian
mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses
selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang
diketahui atau disikapinya. Inilah yang disebut praktik kesehatan atau perilaku
kesehatan (overt behavior). Indikator praktik kesehatan meliputi :
a. Tindakan (praktik) sehubungan dengan penyakit. Tindakan ini mencakup
pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit.
b. Tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Tindakan ini
mencakup antara lain mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang,
melakukan olahraga secara teratur, tidak merokok.
c. Tindakan (praktik) kesehatan lingkungan. Perilaku ini mencakup membuang
air besar dijamban, membuang sampah ditempat sampah, menggunakan air
bersih untuk mandi, cuci, masak, dll.
F. Teori Perubahan Perilaku 1. Teori stimulus organisme (SOR)
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan
perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi
dengan organisme. Hosland, et al (cit Notoadmojo, 2007) mengatakan bahwa
perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang
terdiri dari :
a. Stimulus (rangsang) yang diberikan kepada organisme dapat diterima atau
ditolak. Apabila stimulus ditolak berarti stimulus tidak efektif dalam
mempengaruhi perhatian individu, dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus
diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus
efektif.
b. Apabila stimulus telah mendapatkan perhatian dari organisme (diterima) maka
ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya
c. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan
untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya
d. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka
stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan
perilaku).
Gambar 8. Proses perubahan perilaku (Notoadmojo, 2007)
2. Teori perubahan perilaku dari Green
Lawrence green mengatakan bahwa kesehatan individu/masyarakat
dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor diluar
Stimulus Organisme
‐ Perhatian ‐ Pengertian ‐ Penerimaan
Reaksi (perubahan sikap)
kelompok faktor : a) faktor-faktor prediposisi (predisposing factors) mencakup
pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi norma sosial, dan unsur-unsur
lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat, b) faktor pendukung
(enabling factors) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan
untuk mencapainya, c) faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan
perilaku petugas kesehatan. Green menyatakan bahwa pendidikan kesehatan
mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok
faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku
positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada
umumnya (Sarwono, 2007).
3. Teori pertentangan kekuatan dari Lewin
Seorang ahli psikologi sosial, Kurt Lewin membuat teori yang
dinamakan force field analysis yang berasumsi bahwa didalam diri individu selalu
terdapat kekuatan/dorongan yang saling bertentangan yaitu kekuatan yang
mendorong individu untuk melakukan suatu tindakan (driving forces) dan
kekuatan yang menghambat/melarang dilakukannya tindakan tersebut (restraining
forces). Dalam proses perubahan perilaku dilakukan dengan tiga cara yaitu :
a. Memperkuat driving forces dengan cara menggalakkan upaya persuasi dan
pemberian informasi tentang program kesehatan yang sedang dilaksanakan
b. Mengurangi restraining forces, yaitu memperkecil hambatan-hambatan yang
ada dalam diri individu (fisik, psikologis, ekonomis) serta di masyarakat (tabu,
tradisi, norma)
Perubahan perilaku itu sendiri tidaklah terjadi secara langsung melainkan
melalui lima tahap yang oleh Lewin disebut sebagai tahap-tahap “mencair sampai
membeku kembali” (unfreezing to refreezing). Proses itu dimulai dengan :
a. Tahap pencairan (unfreezing) dimana individu mencari berbagai informasi
sehubungan dengan hal/perilaku baru serta menyiapkan diri untuk berubah
meninggalkan kebiasaan lama
b. Tahap diagnosis masalah (problem diagnosis) dimana individu mulai
mengidentifikasi semua kemungkinan yang berkaitan dengan perilaku baru,
keuntungan, hambatan, dan resikonya jika perilaku itu diterima atau ditolak
c. Tahap penentuan tujuan (goal setting). Berdasarkan pertimbangan tadi maka
individu menentukan tujuan dari perubahan perilaku tersebut, artinya untuk
apa dia berubah dan sampai sejauh mana dia akan berubah
d. Tahap penerimaan perilaku baru (new behaviour) yang merupakan fase
dimana individu mulai mencoba mempraktekkan perilaku baru dan
mengevaluasi dampak dari perilaku tersebut
e. Tahap pembekuan kembali (refreezing). Jika ternyata perilaku itu berdampak
positif dan nyata manfaatnya maka perilaku tersebut akan
diterima/diinternalisasikan sebagai pola perilaku yang permanen,
menggantikan perilaku yang lama (Sarwono, 2007).
G. Promosi Kesehatan
Menurut WHO yang dimaksud dengan promosi kesehatan adalah suatu
sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya. Bertolak dari pengertian yang
dirumuskan WHO tersebut, di Indonesia pengertian promosi kesehatan
dirumuskan sebagai berikut : upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka
dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber
daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan
politik yang berwawasan kesehatan (Anonim, 2005).
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan
adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk
mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara
keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan
meningkatkan kesehatannya (Anonim, 2003).
Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku tersebut oleh
WHO dikelompokkan menjadi 3 :
1. Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan
Perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga
ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang diharapkan. Cara ini akan
menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu
akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum
didasari oleh kesadaran sendiri.
2. Pemberian informasi
Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan
pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka dan akhirnya
akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu
lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari oleh
kesadaran mereka sendiri (bukan paksaan).
3. Diskusi partisipasi
Cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua yang dalam
memberikan informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua
arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi,
tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi
yang diterimanya. Dengan demikian maka pengetahuan kesehatan sebagai dasar
perilaku mereka diperoleh secara mantap dan lebih mendalam, dan akhirnya
perilaku yang mereka peroleh akan lebih mantap juga, bahkan merupakan
referensi perilaku orang lain (Notoadmojo, 2007).
H. Landasan Teori
Pengambilan keputusan dalam pengobatan mandiri dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor termasuk usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi,
pengetahuan, tingkat pendidikan, dan latar belakang pendidikan. Pemahaman
seseorang yang semakin tinggi terhadap penyakit maupun gejala yang timbul serta
pengobatannya, maka kecenderungan untuk melakukan pengobatan mandiri
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, dan minuman. Perubahan atau adopsi perilaku adalah suatu proses yang
kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Perubahan perilaku melalui
proses perubahan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik
(practice) (Notoadmojo, 2007). Salah satu cara untuk memperoleh perubahan
perilaku adalah dengan cara memberikan informasi-informasi kesehatan yang
akan meningkatkan pengetahuan masyarakat.
Semua bentuk penyuluhan kesehatan kepada masyarakat merupakan
contoh pemberdayaan masyarakat yang meningkatkan komponen pengetahuan
masyarakat. Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan
kesadaran mereka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan
cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat
langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri (Notoadmojo, 2007).
I. Hipotesis
Adanya pengaruh edukasi terhadap peningkatan perilaku swamedikasi
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai pengaruh edukasi terhadap perubahan perilaku
swamedikasi penyakit common cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan
Jetis, Kabupaten Bantul ini termasuk jenis penelitian kuasi eksperimental dengan
rancangan penelitian berupa nonrandomized pre-test dan post-test dengan
kelompok kontrol yang dilakukan terhadap 100 responden di desa perlakuan dan
100 responden di desa kontrol di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Kuasi
eksperimental merupakan suatu eksperimen di mana kondisi obyek penelitian sulit
untuk diubah dalam bentuk memberikan perlakuan tertentu. Oleh karena itu di
dalam kondisi yang sudah berlangsung itu diusahakan memisah-misahkan
variabel yang ada, sehingga seolah-olah terdapat perlakuan dan variabel kontrol
serta variabel-variabel lain seperti terdapat di dalam eksperimen yang sebenarnya
(Nawawi, 2007). Penilaian responden dilakukan dengan pre-test dan post-test
menggunakan kuesioner. Evaluasi (post-test) dilakukan secara bertahap yaitu pada
hari yang sama setelah penyuluhan dan satu bulan setelah penyuluhan.
B. Variabel Penelitian
Variabel adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek penelitian
(faktor-faktor berperan) atau gejala yang diteliti. Variabel yang akan diteliti dalam
penelitian ini meliputi :
2. Variabel tergantung yaitu perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh
kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul yang memiliki
tiga domain yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan
C. Definisi Operasional
1. Penyuluhan adalah kegiatan untuk memberikan edukasi kepada kader-kader
kesehatan mengenai definisi common cold, gejala dan tanda, faktor penyebab,
penularan, pengobatan, dan pencegahan
2. Perilaku swamedikasi adalah aspek global yang tersusun dari penilaian
pengetahuan, sikap dan tindakan responden terhadap swamedikasi common
cold
3. Pengetahuan adalah tingkat pemahaman dari responden mengenai penyakit
common cold yang meliputi definisi, gejala, pengobatan dan pencegahannya
yang tergambar dalam kuesioner pada pernyataan nomor 1-11
4. Sikap adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang mengenai penyakit
common cold yang meliputi definisi, gejala, pengobatan dan pencegahannya
yang tergambar dalam kuesioner pada pernyataan nomor 12-22
5. Tindakan adalah praktik atau perilaku kesehatan yang mencakup pencegahan
dan pengobatan common cold yang tergambar dalam kuesioner pada
pernyataan nomor 23-33
6. Common cold adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus pada hidung
yang bersifat self limiting dan dapat sembuh setelah 5-7 hari. Gejala yang
cold dalam bahasa awam biasa disebut selesma tetapi dalam penelitian ini
common cold disebut dengan pilek.
7. Swamedikasi merupakan kegiatan atau tindakan mengobati diri sendiri
maupun keluarganya dengan Obat Tanpa Resep (OTR) secara tepat dan
bertanggung jawab
8. Obat Tanpa Resep (OTR) adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter,
tidak termasuk Obat Wajib Apotek (OWA) dan digunakan untuk tindakan
swamedikasi penyakit common cold
9. Kader-kader kesehatan adalah anggota masyarakat yang dipilih dari dan oleh
masyarakat setempat yang akan melaksanakan kegiatan dan menggerakkan
masyarakat untuk melakukan berbagai upaya peningkatan kesehatan
masyarakat.
D. Subyek dan Kriteria Inklusi Penelitian
Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Kriteria inklusi dalam
penelitian ini adalah kader-kader kesehatan yang pernah mengalami common cold
(baik dirinya sendiri ataupun anggota keluarganya), bertempat tinggal di
Kecamatan Jetis, berusia kurang dari 60 tahun, dan bersedia mengikuti penelitian
ini.
E. Populasi dan Besar Sampel
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang terdiri dari manusia,
(Nawawi, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader-kader
kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Sampel merupakan sebagian
dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian (Nawawi,
2007). Sampel dalam penelitian ini adalah kader-kader kesehatan yang pernah
mengalami penyakit common cold baik dirinya sendiri maupun anggota
keluarganya yang bertempat tinggal di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul.
F. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian mengenai “Pengaruh Edukasi Terhadap Aspek Perilaku
Swamedikasi Penyakit Common Cold oleh Kader-Kader Kesehatan di Kecamatan
Jetis Kabupaten Bantul” ini dilaksanakan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul
dan dimulai pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Juni 2009.
Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2009.
G. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive
sampling. Dalam teknik ini pengambilan sampel dari populasi dilakukan dengan
cara memilih sampel dari suatu populasi didasarkan pada informasi yang tersedia
serta sesuai dengan penelitian yang sedang berjalan sehingga perwakilannya
terhadap populasi dapat dipertanggungjawabkan (Narimawati dan Munandar,
2008) .
Kecamatan Jetis terdiri atas 4 Desa. Dua desa untuk kelompok kontrol
dan 2 desa lagi untuk kelompok perlakuan. Masing-masing desa akan diambil
memenuhi kriteria inklusi penelitian yang direkomendasikan oleh kepala
pedukuhan dan bersedia untuk mengikuti penelitian ini.
Rumus untuk menghitung ukuran sampel :
,
. . .
. . . .
. .
83,78 = 84 orang
84
Dimana :
n = ukuran sampel
N = besar populasi = 650 kader kesehatan
P = probabilitas suatu kejadian (prosentase taksiran hal yang akan diteliti) jika tidak diketahui dianggap 50% q = 100% - p
Z = nilai standar normal yang besarnya tergantung α (α=5%) D = besarnya penyimpangan yang masih bisa ditolerir
(Pujiraharjo dkk, 1993)
H. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa lembar
kuesioner. Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data dengan menyebarkan
daftar pertanyaan kepada responden, dengan harapan mereka akan memberikan
respon atas daftar pertanyaan tersebut (Umar, 2003).
Kuesioner disusun dengan dua bagian. Bagian pertama memuat
pertanyaan mengenai karakteristik responden seperti nama, alamat, umur, tingkat
penanganan common cold. Bagian kedua memuat pernyataan tentang variabel
penelitian yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan dengan menggunakan skala
likert yang dimodifikasi menjadi 4 skala yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak
setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Jumlah pernyataan adalah 33
pernyataan, 11 pernyataan mengenai pengetahuan responden mengenai common
cold, 11 pernyataan mengenai sikap responden terhadap common cold dan 11
pernyataan mengenai tindakan responden terhadap common cold. Pertanyaan
disusun dengan pernyataan yang bersifat favourable dan unfavourable.
Pernyataan favourable merupakan pernyataan yang isinya mendukung, memihak,
atau menunjukkan ciri adanya atribut yang akan diukur. Penyataan unfavorable
merupakan pernyataan yang tidak mendukung, berlawanan, tidak memihak
ataupun tidak menunjukkan ciri atribut yang akan diukur. Penilaian untuk
pernyataan yang bersifat favourable adalah sangat setuju = 4, setuju = 3, tidak
setuju = 2, sangat tidak setuju = 1, sedangkan untuk pernyataan yang bersifat
unfavourable adalah sangat setuju = 1, setuju = 2, tidak setuju = 2, sangat tidak
setuju = 4.
I. Tahapan Penelitian 1. Penentuan lokasi penelitian
Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan data dinas kesehatan tahun
2007 yang menyebutkan bahwa Kecamatan Jetis mempunyai prevalensi tinggi
terhadap penyakit common cold. Oleh sebab itu penelitian dilaksanakan di