• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh edukasi terhadap aspek perilaku swamedikasi common cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh edukasi terhadap aspek perilaku swamedikasi common cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul - USD Repository"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH EDUKASI TERHADAP ASPEK PERILAKU

SWAMEDIKASI COMMON COLD OLEH KADER-KADER KESEHATAN DI KECAMATAN JETIS, KABUPATEN BANTUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Nisitantri Prabaningrum

NIM : 058114018

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

PENGARUH EDUKASI TERHADAP ASPEK PERILAKU

SWAMEDIKASI COMMON COLD OLEH KADER-KADER KESEHATAN DI KECAMATAN JETIS, KABUPATEN BANTUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Nisitantri Prabaningrum

NIM : 058114018

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Make Hopes as long as you can cause live nothing means when you stop hoping 

Kita semua hidup dalam ketegangan, dari waktu ke waktu, serta dari hari ke hari; dengan kata lain, kita  adalah pahlawan dari cerita kita sendiri (Mary Mccarthy) 

Banyak kegagalan dalam hidup ini 

dikarenakan orang‐orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan  keberhasilan saat mereka menyerah (Thomas Alva Edison) 

Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekuatan. Hal itu hanya dapat diraih 

dengan pengertian (Einstein) 

Semua

 

indah

 

pada

 

waktunya

 

Karya ini kupersembahkan kepada :

Jesus Christ n Bunda Maria yang telah berkenan mendengarkan doa dan permohonanku,

Diriku, Bapak, Ibu, Kakak dan adik tercinta, Kakak Ipar, Yanuarius Budi Santoso, Teman-teman

(6)
(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena atas kasih dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Pengaruh Edukasi Terhadap Aspek Perilaku Swamedikasi Common

Cold Oleh Kader-Kader Kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul” dengan

baik dan tepat waktu. Skripsi ini disusun guna memenuhi syarat untuk

mendapatkan gelar sarjana farmasi (S. Farm) di Universitas Sanata Dharma.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih

kepada:

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma dan dosen penguji yang telah memberi banyak masukan dan

kesempatan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat berjalan lancar

2. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku dosen pembimbing dan sebagai nara

sumber dalam penyuluhan common cold, atas segala bimbingan, masukan,

kebaikan dan kesabarannya sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.

3. Romo Drs. Petrus Sunu Hardiyanta, SJ., M.Sc. selaku dosen pembimbing atas

bantuan, bimbingan, masukan dan kesabarannya sehingga skripsi ini dapat

selesai tepat waktu

4. Bapak Yosef Wijoyo M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas masukan dan

saran-saran yang membangun

5. Kedua Orang tua yang telah memberikan dukungan doa, spirit, moral maupun

(8)

6. Christiana Shinta Estri Wahyuningrum dan YB Dwi Setianto atas segala

dukungan doa, semangat dan bantuan yang telah diberikan sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini

7. Yudha Triagung Pamungkas atas segala dukungan yang telah diberikan kepada

penulis

8. Yanuarius Budi Santoso atas pengorbanan, kesabaran, kesetiaan dan dukungan

yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan

baik dan tepat waktu.

9. Bernadetta Eka Niasari atas dukungan semangat dan kesetiaannya sebagai

tempat berbagi dan motivator yang handal.

10.Beatrik Noviyanti atas semangat, dukungan, bantuan dan pinjaman bukunya.

11.Hetty, Siska, Ria, Desi dan Reni atas dukungan semangat dan doa yang

diberikan.

12.Buat anak kos angkatan 2005 (Ina, Agatha, Nia, Indra) atas dukungan dan

teman seperjuangan dalam menempuh kesulitan hidup

13.Anak-anak kos agata atas kebaikan dan kepedulian kalian semua

14.Vincentia Septiana selaku teman seperjuangan atas kesabaran dan

dukungannya sehingga penelitian ini dapat selesai dengan lancar

15.Andine, Novi, Rini, Vivi, Dewi, Christin, dan Vira atas dukungan dan

semangat yang telah diberikan

16.Anak farmasi angkatan 2005 khususnya kelas A atas dukungan dan

(9)

17.Alexander Daru Wijayanto atas bantuan dalam pemecahan rumus serta

semangat dan doa yang telah diberikan

18.Rina dan Tina atas dukungan semangat dan doanya

19.Bapak Lurah Desa Canden dan Trimulyo yang sudah berkenan membantu dan

menyediakan tempat penyuluhan

20.Bapak Lurah Desa Sumberagung dan Patalan yang sudah berkenan memberi

ijin sehingga penelitian ini dapat berlangsung

21.Seluruh Bapak dukuh di Kecamatan Jetis atas bantuan dan ijin yang telah

diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar

22.Kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis (khusunya bagi para responden

penelitian) atas waktu luang, kesabaran dan kesediaannya dalam mengikuti

penelitian ini. Terima kasih atas doa dan dukungannya

23.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan skripsi yang tidak

sempurna ini. Oleh sebab itu penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang

membangun dari semua pihak untuk mencapai kesempurnaan. Besar harapan

penulis agar skripsi ini dapat berguna bagi semua orang khususnya dalam

peningkatan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, 18 Agustus 2009

(10)
(11)

INTISARI

Swamedikasi merupakan kegiatan atau tindakan mengobati diri sendiri maupun keluarganya dengan Obat Tanpa resep (OTR) secara tepat dan bertanggung jawab. Common cold merupakan penyakit yang banyak diderita dan ditangani dengan swamedikasi. Untuk mencapai tujuan terapi diperlukan perilaku swamedikasi yang tepat dan bertanggungjawab, sedangkan perilaku swamedikasi masyarakat masih rendah sehingga diperlukan tindakan untuk mengubah perilaku tersebut. Salah satu cara mengubah perilaku seseorang adalah dengan pemberian edukasi melalui penyuluhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pemberian edukasi terhadap pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi common cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul.

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental non randomized pre-test dan post-test dengan kelompok kontrol. Data diperoleh dari 91 responden perlakuan dan 91 responden kontrol dari desa terpisah. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Responden merupakan kader-kader kesehatan yang pernah mengalami common cold. Intervensi yang diberikan berupa penyuluhan oleh seorang apoteker. Post-test dilakukan secara bertahap yaitu pada hari yang sama dengan penyuluhan dan satu bulan setelah penyuluhan dengan menggunakan kuisioner yang sama dengan pretest. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik Mann Whitney dan Wilcoxon.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberian edukasi berpengaruh terhadap perubahan perilaku swamedikasi common cold oleh kader-kader kesehatan dengan angka signifikansi untuk pengetahuan sebesar 0,000; sikap sebesar 0,000 dan tindakan sebesar 0,011.

(12)

ABSTRACT

Self-medication is an activity or action to cure ourselves or family by giving non prescription drugs in appropriate and responsible way. Common cold belongs to illness that mostly occurs and can be cured by self-medication. In order to reach the aim of the therapy an appropriate and responsible self medication treatment in necessary, an the other hand self medication in society is still weak that needs an action to change that behavior. One way to change people’s behavior is by giving an education and illumination. The aim of this research is to find the effect of education to knowledge, attitude, and practice of common cold self medication treatment by health framework in sub-district of Jetis, Bantul regency.

This research is an quasi experimental with non randomized pretest and posttest with control group design. The data is collected from 91 treatment respondent and 91 control respondent from separated village. Sampling method used is purposive sampling. The respondent are health framework who have experienced common cold. The intervention is an illumination given by a Pharmacist. Posttest is given step by step i.e in the same day when illumination is held and one month after illumination by giving the same questionnaire given an pretest. The data result is analyzed using appropriate statistic test such as Mann-Whitney and Wilcoxon.

The result of this research reveals that education gives an affect to common cold self medication treatment by health framework with significance mark for knowledge is 0,000; attitude is 0,000 and practice is 0,011.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x

INTISARI ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan umum ... 5

2. Tujuan khusus ... 6

(14)

1. Definisi ... 7

2. Perilaku swamedikasi ... 7

B. Common Cold ... 9

1. Definisi ... 9

2. Epidemiologi ... 9

3. Etiologi ... 10

4. Patofisiologi ... 10

5. Gejala dan tanda ... 13

6. Komplikasi ... 13

7. Penatalaksanaan ... 13

8. Swamedikasi common cold ... 18

C. Perilaku Kesehatan ... 20

1. Pengetahuan (knowledge) ... 20

2. Sikap (attitude) ... 21

3. Praktik atau tindakan (practice) ... 22

D. Teori Perilaku ... 23

1. Teori Weber ... 23

2. Teori Parsons ... 23

3. Teori kepercayaan kesehatan dari Rosenstock ... 24

E. Perubahan Perilaku ... 25

1. Pengetahuan ... 25

2. Sikap ... 26

(15)

F. Teori Perubahan Perilaku ... 27

1. Teori stimulus organisme (SOR) ... 27

2. Teori perubahan perilaku dari Green ... 28

3. Teori pertentangan kekuatan dari Lewin ... 29

G. Promosi Kesehatan ... 30

H. Landasan Teori ... 32

I. Hipotesis ... 33

BAB III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 34

B. Variabel Penelitian ... 34

C. Definisi Operasional ... 35

D. Subyek dan Kriteria Inklusi Penelitian ... 36

E. Populasi dan Besar Sampel ... 36

F. Waktu dan Tempat Penelitian ... 37

G. Teknik Pengambilan Sampel ... 37

H. Instrument Penelitian ... 38

I. Tahapan Penelitian ... 39

1. Penentuan lokasi penelitian ... 39

2. Pengurusan ijin penelitian ... 40

3. Penentuan besar sampel ... 40

4. Pembuatan instrument ... 41

5. Pengambilan data ... 42

(16)

J. Analisis Hasil ... 44

1. Pengujian normalitas data ... 44

2. Pengujian hasil data ... 45

K. Keterbatasan Penelitian ... 45

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Karakteristik Responden ... 46

1. Karakteristik umur responden ... 46

2. Karakteristik tingkat pendidikan responden ... 49

3. Karakteristik pekerjaan responden ... 50

4. Karakteristik tingkat pendapatan responden ... 52

5. Frekuensi kejadian penyakit common cold selama satu bulan ... 54

B. Pola Pengobatan Responden Saat Terkena Penyakit Common Cold ... 55

1. Kejadian common cold selama satu bulan terakhir ... 55

2. Cara penanganan responden ketika terkena penyakit common cold ... 56

C. Pengaruh Edukasi Terhadap Perilaku Swamedikasi Common Cold ... 57

1. Pengaruh edukasi terhadap pengetahuan ... 59

2. Pengaruh edukasi terhadap sikap ... 62

3. Pengaruh edukasi terhadap tindakan ... 65

4. Rangkuman pembahasan ... 68

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75

(17)

LAMPIRAN ... 80

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Distribusi frekuensi umur responden penelitian baik untuk kelompok

perlakuan maupun kelompok kontrol ... 47

Tabel II. Hasil uji normalitas Kolmogorov Smirnov ... 59

Tabel III. Perbandingan hasil uji Mann-Whitney tingkat pengetahuan sebelum

dan sesudah penyuluhan ... 59

Tabel IV. Perbandingan pengetahuan pretest-posttest antara responden

kelompok kontrol dan perlakuan... 61

Tabel V. Perbandingan hasil uji Mann-Whitney sikap sebelum dan sesudah

penyuluhan ... 62

Tabel VI. Perbandingan sikap pretest-posttest antara responden kelompok

kontrol dan perlakuan... 64

Tabel VII. Perbandingan hasil uji Mann-Whitney tindakan sebelum dan sesudah

penyuluhan ... 65

Tabel VIII. Perbandingan tindakan pretest-posttest antara responden kelompok

kontrol dan perlakuan... 67

Tabel IX. Perbandingan hasil pretest dan posttest kelompok perlakuan dan

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Ikatan antara rhinovirus dengan reseptor ICAM-I ... 11

Gambar 2. Produksi partikel virus baru oleh sel yang terinfeksi ... 11

Gambar 3. Patogenesis common cold ... 12

Gambar 4. Algoritma swamedikasi common cold ... 19

Gambar 5. Proses terbentuknya sikap dan reaksi... 22

Gambar 6. Teori Max Weber ... 23

Gambar 7. Teori Parsons ... 24

Gambar 8. Proses perubahan perilaku ... 28

Gambar 9. Karakteristik umur responden penelitian ... 48

Gambar 10. Kategorisasi umur responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ... 48

Gambar 11. Karakteristik tingkat pendidikan responden penelitian... 49

Gambar 12. Karakteristik jenis pekerjaan responden penelitian ... 50

Gambar 13. Kategorisasi pekerjaan responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ... 51

Gambar 14. Karakteristik tingkat pendapatan responden penelitian ... 52

Gambar 15. Kategorisasi tingkat pendapatan responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ... 54

(20)

Gambar 17. Persentase responden yang mengalami common cold selama satu

bulan terakhir ... 56

Gambar 18. Cara penanganan common cold oleh responden penelitian ... 57

Gambar 19. Perbandingan perubahan variabel pengetahuan antara kelompok

perlakuan dengan kelompok kontrol ... 60

Gambar 20. Perbandingan perubahan variabel sikap antara kelompok perlakuan

dengan kelompok kontrol ... 63

Gambar 21. Perbandingan perubahan variabel tindakan antara kelompok

perlakuan dengan kelompok kontrol ... 66

Gambar 22. Perbandingan perubahan perilaku swamedikasi responden kelompok

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. PERIJINAN ... 80

Lampiran 2. INFORMED CONSENT ... 81

Lampiran 3. KUESIONER ... 84

Lampiran 4 . JAWABAN KUESIONER PENELITIAN... 88

Lampiran 5. SARAN KUISIONER YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK PENELITIAN SELANJUTNYA ... 90

Lampiran 6. UJI RELIABILITAS DAN VALIDITAS KUESIONER ... 92

Lampiran 7. HASIL UJI STATISTIK ... 93

Lampiran 8. HASIL KUESIONER RESPONDEN ... 112

(22)

BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang

Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan Keputusan

Menteri Kesehatan RI Nomor 574/Menkes/SK/IV/2000 telah menetapkan Visi

pembangunan kesehatan di Indonesia dengan “Indonesia Sehat 2010” yang

menggambarkan bahwa pada tahun 2010 bangsa Indonesia hidup dalam

lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat serta mampu menjangkau

pelayanan kesehatan bermutu secara adil dan merata (Ismaryani, 2008).

Sebagai jawaban atas tantangan tersebut, disusunlah visi Depkes

“Masyarakat yang Mandiri Untuk Hidup Sehat” dengan misi “Membuat

Masyarakat Sehat”. Salah satu strateginya melalui penggerakan dan

pemberdayaan masyarakat untuk hidup sehat. Dalam hal ini masyarakat harus

berperan aktif dalam pembangunan kesehatan. Pembangunan kesehatan yang

merupakan salah satu tujuan nasional akan terwujud apabila masyarakat dalam

negara tersebut sehat (Ismaryani, 2008).

Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan merupakan sasaran utama

promosi kesehatan. Masyarakat sebagai sasaran primer (primary target) promosi

kesehatan harus diberdayakan agar mereka mau dan mampu memelihara dan

meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya

atas proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam

(23)

Mencermati perjalanan setiap program dalam upaya peningkatan derajat

kesehatan masyarakat yang telah dilakukan selama ini, kader kesehatan

mempunyai peranan besar dalam setiap kegiatan dan program kesehatan. Kader

kesehatan telah mengabdi dan membina masyarakat, khususnya di bidang

kesehatan, melalui berbagai kegiatan yang dilakukan, baik di dalam Pos

Pelayanan Terpadu (Posyandu) maupun di luar posyandu (Issumantri, 2007).

Menurut Departemen Kesehatan RI yang dimaksud dengan Kader

Kesehatan adalah siapa saja anggota masyarakat yang dipilih dari dan oleh

masyarakat setempat yang mau dan sanggup bekerja secara sukarela dan ikhlas

dalam melaksanakan kegiatan dan menggerakkan masyarakat untuk melakukan

berbagai upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Kader sebaiknya dapat

membaca, menulis dan masih cukup waktu untuk bekerja bagi masyarakat di

samping usahanya mencari nafkah (Issumantri, 2007).

Swamedikasi merupakan kegiatan atau tindakan mengobati diri sendiri

maupun keluarganya dengan Obat Tanpa Resep (OTR) secara tepat dan

bertanggung jawab. Obat Tanpa Resep (OTR) meliputi obat bebas dan obat bebas

terbatas. Keuntungan pengobatan sendiri menggunakan OTR antara lain: aman

bila digunakan sesuai dengan aturan, efektif untuk menghilangkan keluhan,

efisiensi biaya, efisiensi waktu, dapat ikut berperan dalam mengambil keputusan

terapi, dan meringankan beban pemerintah dalam keterbatasan jumlah tenaga

kerja dan sarana kesehatan di masyarakat (Holt dan Edwin, 1986 cit Kristina,

(24)

Seringkali dijumpai bahwa pengobatan sendiri menjadi sangat boros

karena mengkonsumsi obat – obatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan atau bisa

berbahaya misalnya karena penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan pakai.

OTR dalam pemakaian harus sesuai dengan indikasi, lama pemakaian yang benar,

disertai dengan pengetahuan pengguna tentang resiko efek samping dan

kontraindikasinya (Suryawati,1997).

Penyakit yang dapat diobati sendiri biasanya bersifat self limiting, salah

satu contohnya adalah penyakit common cold. Common cold adalah penyakit yang

disebabkan oleh infeksi virus pada hidung. Gejala yang terjadi biasanya bersin,

sakit tenggorokan, batuk, suara serak, hidung keluar lendir, dan gejala lain seperti

sakit kepala, demam dan kedinginan.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul diketahui

bahwa prevalensi penyakit common cold di Kecamatan Jetis pada akhir tahun

2007 sebesar 12%. Penyakit common cold merupakan penyakit yang ringan,

namun bila tidak diobati secara benar dapat memperparah penyakit. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Supardi dan Notosiswoyo (2005), pengetahuan

pengobatan sendiri umumnya masih rendah dan kesadaran masyarakat untuk

membaca label pada kemasan obat juga masih kecil.

Sehubungan dengan hal itu maka diperlukan pembelajaran bagi

masyarakat agar mereka dapat menangani penyakit common cold dengan tepat

dan bertanggung jawab. Pembelajaran ini dilakukan dengan cara memberikan

informasi/edukasi melalui penyuluhan kepada kader-kader kesehatan karena

(25)

Pembelajaran ini bertujuan untuk mengubah perilaku swamedikasi common cold

oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Aspek Perilaku

kesehatan tersebut meliputi tiga domain yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.

Pengaruh pemberian edukasi terhadap perilaku swamedikasi common

cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis menarik untuk diteliti.

Pertama berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2007 angka

kejadian penyakit common cold di Kecamatan Jetis relatif tinggi. Kedua common

cold merupakan penyakit ringan yang dapat ditangani dengan pengobatan

mandiri. Ketiga mengingat peran serta kader-kader kesehatan yang cukup besar

dalam kesehatan masyarakat.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka

permasalahan yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana karakteristik kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis,

Kabupaten Bantul sebagai kelompok kontrol dan kelompok perlakuan?

b. Bagaimana pola penanganan penyakit common cold oleh kader-kader

kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul ?

c. Apakah pemberian edukasi berpengaruh terhadap perubahan perilaku

swamedikasi penyakit common cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan

Jetis, Kabupaten Bantul ?

2. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai common cold yang telah dilakukan adalah penelitian

(26)

perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh ibu – ibu di Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta” yang dilakukan oleh Handayani (2008) dan penelitian yang

berjudul “Pengaruh penyuluhan obat terhadap peningkatan perilaku pengobatan

sendiri yang sesuai dengan aturan” yang dilakukan oleh Supardi et al. Sejauh

pengetahuan peneliti penelitian tentang pengaruh pemberian edukasi terhadap

perubahan perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh kader-kader

kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul belum pernah dilakukan oleh

peneliti lain.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Memberikan gambaran mengenai pengaruh pemberian edukasi terhadap

perubahan perilaku swamedikasi common cold oleh kader-kader kesehatan di

Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan

perubahan perilaku suatu masyarakat khususnya untuk penyakit common cold

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian edukasi

terhadap perubahan perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh kader-

(27)

2. Tujuan khusus

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui karakteristik kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis,

Kabupaten Bantul

b. Mengetahui pola penanganan penyakit common cold oleh kader-kader

kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul

c. Mengetahui pengaruh pemberian edukasi terhadap perubahan perilaku

swamedikasi penyakit common cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan

(28)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Pengobatan Mandiri 1. Definisi

Pengertian pengobatan mandiri menurut The International

Pharmaceutical Federation (FIP) dan The World Self Medication Industry

(WSMI) adalah penggunaan obat tanpa resep oleh masyarakat yang dilakukan

sesuai dengan inisiatif mereka sendiri (Anonim, 1999c).

Peranan dari pengobatan mandiri (Supardi, 1997) antara lain

penanggulangan secara tepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan

konsultasi medis, pengurangan beban pelayanan kesehatan karena keterbatasan

sumberdaya dan tenaga, serta peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan

untuk masyarakat yang jauh dari puskesmas.

2. Perilaku swamedikasi

Pengobatan mandiri dengan obat tanpa resep menurut Holt dan Hall

(1990) hendaknya dilakukan secara tepat dan bertanggung jawab, biasanya pada

kasus :

a. perawatan simtomatik minor, misalnya badan terasa tidak enak maupun cedera

ringan

b. penyakit self-limiting atau paliatif misalnya flu dan sakit kepala

c. pencegahan dan penyembuhan penyakit ringan, misalnya mabuk perjalanan

(29)

d. penyakit kronis yang sebelumnya sudah pernah didiagnosis dokter atau tenaga

medis profesional lainnya, misalnya arthritis dan asma.

Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya

tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam

mengatasi masalah kesehatan, demografi dan epidemiologi, ketersediaan

pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial

ekonomi (Holt and Hall, 1990).

Dalam penggunaan produk obat tanpa resep secara aman dan efektif,

seorang konsumen harus memperhatikan beberapa aturan yang digunakan oleh

seorang tenaga kesehatan dalam mengobati pasien dengan obat resep. Aturan

tersebut seperti pengenalan gejala yang cermat, keadaan objek terapi, pemilihan

produk yang akan digunakan, pemilihan dosis dan aturan pakai yang sesuai,

memperhitungkan riwayat penyakit seseorang, kontraindikasi, penyakit penyerta

dan penggunaan obat yang bersamaan, dan memonitoring respon terhadap

pengobatan dan kemungkinan adanya efek samping (Anonim, 2000).

Untuk produk obat tanpa resep, semua informasi yang dibutuhkan agar

dalam penggunaannya efektif dan aman terdapat dalam label, teks informasi

kepada pasien, pengalaman pribadi, beraneka macam sumber informasi seperti

media, iklan dan nasehat yang diberikan oleh tenaga kesehatan profesional.

Farmasis memegang peranan penting dalam memberi saran kepada konsumen

dalam penggunaan obat yang aman dan tepat ketika akan melakukan pengobatan

mandiri (Anonim, 2000).

(30)

B. Common Cold

1. Definisi

Common cold merupakan infeksi virus yang menyerang saluran

pernafasan atas yang dapat sembuh dengan sendirinya. Penyakit common cold

tidak dapat dicegah maupun diobati (Tietze, 2000). Menurut Clayman (1994)

yang disebut sebagai common cold adalah penyakit ringan yang berasal dari

infeksi oleh lebih dari 200 jenis virus yang berbeda. Hardnge and Shryock (2003)

mendefinisikan common cold sebagai infeksi saluran pernafasan bagian atas

(hidung, sinus, kerongkongan) yang disebabkan oleh salah satu dari kemungkinan

dua ratus virus, yang menyerang sel-sel lapisan tersebut, menyebabkan lapisan

tersebut mengeluarkan lendir. Common cold adalah infeksi minor pada hidung

atau tenggorokan yang disebabkan oleh beberapa virus berbeda (Anonim, 2009).

2. Epidemiologi

Kejadian common cold tertinggi terjadi pada anak pra-sekolah sebanyak

5-7 kali pertahun tetapi bagi mereka yang tidak memperhatikan kesehatan

sehari-hari bisa sampai 12 kali tiap tahun. Orang dewasa biasanya mengalami common

cold sebanyak 2-3 kali pertahun tetapi bisa lebih jika mereka hidup dengan atau

berjumpa secara teratur dengan anak-anak baik pra-sekolah maupun yang sudah

sekolah. Asap rokok, rendah nutrisi, peningkatan populasi dan stress psikologi

kronik dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit common cold (Tietze,

(31)

3. Etiologi

Rhinovirus merupakan patogen dengan lebih dari 100 serotipe yang

biasanya menyebabkan 50-60% penyakit common cold pada orang dewasa.

Patogen penting lain yang menyebabkan common cold adalah Respiratory

Syncytial Virus (RSV) merupakan patogen pada anak-anak dan coronavirus.

Beberapa patogen seperti virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus,

enterovirus, rubeola, rubella, dan varicella menyebabkan gejala yang sama dengan

common cold (Tietze, 2000).

Kontak virus dengan nasal mukosa atau conjunctiva menginisiasi infeksi.

Model transmisi yang paling efektif adalah kontak antara tangan orang sehat

dengan tangan seseorang yang terdapat sekresi hidung yang mengandung virus.

Dimana orang sehat tersebut kemudian menyentuh hidung atau mata mereka

dengan tangan mereka sehingga virus dapat masuk ke dalam tubuh. Model

transmisi yang kurang efektif dengan cara menghirup partikel kecil/besar dari

aerosol virus atau dengan memegang permukaan benda mati yang terkena virus

diikuti dengan self inoculation (Tietze, 2000).

Kondisi yang dapat memicu timbulnya common cold antara lain daya

tahan tubuh lemah atau menurun, pergantian musim biasanya musim dingin, usia

balita dan anak-anak lebih mudah terserang common cold dan pada wanita

berkaitan dengan siklus menstruasi (Li Wan Po, 1997).

4. Patofisiologi

Virus common cold berkumpul dan masuk ke saluran nasal melalui jari

(32)
(33)

mengaktifkan mediator nyeri dan reflek neurogenik, menghasilkan penambahan

mediator nyeri, vasodilatasi, transudasi plasma, sekresi glandular, dan stimulasi

refleks nyeri serabut saraf serta bersin dan batuk. Terjadi hipersekresi cairan

hidung yang disebabkan refleks mediator dan mekanisme sistem saraf

parasimpatik (Tietze, 2004).

Rhinovirus berikatan dengan reseptor ICAM-1 ↓

Virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi ↓

Terjadi komplek reaksi sistem imun dijaringan ↓

Aktivasi leukosit dan protein plasma ditempat infeksi ↓

Mengeluarkan chemokine distress signal dan sitokin ↓

Mengaktifkan mediator nyeri dan reflek neurogenik

Gambar 3. Patogenesis common cold (Tietze, 2004)

Jumlah virus yang sedikit (1-30 partikel virus) ketika dikenali masuk

dalam hidung sudah cukup untuk menyebabkan kekambuhan common cold. Dari

waktu virus masuk ke hidung, membutuhkan waktu 8-12 jam untuk daur

reproduktif virus yang lengkap dan untuk melepaskan virus baru ke dalam sekresi

nasal. Interval ini disebut periode inkubasi. Gejala common cold dapat segera

mulai setelah virus diproduksi pertama dalam hidung (10-12 jam). Waktu dari Pengeluaran

histamine dari sel

Formasi bradikinin, prostaglandin atau

histamine 

Stimulasi reflek nyeri serabut saraf 

Vasodilatasi 

Hidung tersumbat 

Sakit tenggorokan

Bersin-bersin  Keluarnya lendir

(34)

mulainya infeksi sampai puncak gejala secara khas adalah 36-72 jam (Anonim,

2007b).

5. Gejala dan tanda

Gejala common cold biasanya muncul 1-3 hari setelah infeksi virus. Sakit

tenggorokan adalah gejala pertama yang muncul selanjutnya diikuti oleh hidung

tersumbat, rhinorrhea (keluarnya lendir pada hidung), bersin dan batuk. Pasien

akan merasa dingin, sakit kepala, merasa tidak enak badan, myalgia (nyeri otot)

atau demam dengan suhu rendah. Sakit tenggorokan berubah secara cepat. Gejala

nasal mendominasi selama 2-3 hari dan batuk mendominasi selama 4-5 hari.

Batuk adalah gejala yang jarang (<20%). Gejala bertahan selama 1-2 minggu

(Tietze, 2000).

6. Komplikasi

Sekitar 80% penderita selesma sampai tingkatan tertentu mengalami

sinusitis, yang merupakan infeksi pada sinus. Nyeri di sekitar mata, demam yang

makin tinggi, dan sumbatan yang menghebat dapat menjadi tanda bahwa selesma

telah menyebabkan infeksi bakteri pada sinus (Schachter, 2005).

7. Penatalaksanaan a. Tujuan terapi

Tujuan dari terapi common cold adalah mengurangi gejala dan membantu

pasien merasa dan berfungsi dengan baik (Tietze, 2000).

b. Sasaran terapi

Sasaran terapi adalah gejala yang dirasa paling berat dan merupakan awal

(35)

berkurangnya cairan dan sumbatan nasal, rentetan gejala berikutnya kemungkinan

besar juga akan berkurang (Donatus, 1997).

c. Strategi terapi

Gejala pada common cold dapat dikurangi dengan dua macam terapi

yaitu terapi non farmakologi dan farmakologi.

1) Terapi non farmakologi

Terapi tanpa obat termasuk peningkatan asupan cairan, istirahat cukup,

makan-makanan yang bergizi, peningkatan kelembaban dengan vaporizer cool

mist atau mandi uap, kumur dengan larutan saline dan irigasi nasal (Tietze, 2000).

Delapan gelas air/jus perhari sangat disarankan. Karena dapat menjaga

hidung dan tenggorokan dari kekeringan. Hindari kopi, teh atau minuman cola

yang mengandung kafein dan minuman yang mengandung alkohol karena kafein

maupun alkohol dapat menyebabkan dehidrasi. Berhenti merokok dan hindari

orang merokok sebab menghirup asap rokok dapat menyebabkan iritasi

tenggorokan dan batuk. Mencuci tangan secara teratur dan menghindari

menyentuh hidung ataupun mata ketika terkena common cold dapat mengurangi

penyebaran virus (Anonim, 2009).

2) Terapi farmakologi

Pengobatan menggunakan OTR dapat mengurangi gejala dan harus

digunakan sesegera mungkin ketika merasa terkena common cold (Anonim,

2009). Dekongestan merupakan terapi utama pada common cold. Ketika pasien

demam (37,8°C) dapat diobati dengan analgesik/antipiretik seperti aspirin,

(36)

dan dapat diobati dengan antitusive. Sakit tenggorokan dapat diobati dengan

lozenges, kumur dan anastetik (seperti benzokain dan diclonin) (Tietze, 2000).

Hidung tersumbat, batuk dan keluar ingus dapat diobati dengan dekongestan,

antihistamin atau kombinasi keduanya. Pengobatan dengan antivirus belum

tersedia untuk menyembuhkan common cold. Antibiotik tidak diperlukan dalam

pengobatan common cold dan hanya dapat digunakan pada saat terkena common

cold bila terjadi komplikasi bakteri yang disebabkan oleh common cold (Anonim,

2009).

Efektivitas dari antihistamin generasi pertama untuk bersin-bersin, keluar

ingus dan kemungkinan batuk telah ditunjukkan dalam penelitian klinik baru-baru

ini. NSAID efektif digunakan untuk gejala common cold seperti demam, sakit

kepala, dan perasaan tidak enak dan mungkin juga untuk mengendalikan batuk.

Antihistamin generasi pertama bila digunakan dengan NSAID merupakan

treatment awal untuk common cold yang diberikan untuk mengurangi sebagian

besar gejala common cold (Anonim, 2007b).

a) Dekongestan

Dekongestan digunakan untuk mengurangi hidung tersumbat dan

sumbatan pada saluran Eustachian. Dekongestan adalah agonis α-adrenergic

(simpatomimetik). Perangsangan pada reseptor α-adrenergic dapat mengkerutkan

pembuluh darah dalam tubuh, mengurangi asupan darah ke hidung, mengurangi

jumlah darah pada pembuluh sinusoid, dan mengurangi edema mucosal. Jika

dekongestan berikatan langsung dengan reseptor α-adrenergic maka

(37)

kedalam terminal saraf prejunctional dimana menggantikan norepinefrine dari

tempat penyimpanan vesicle maka diklasifikasikan mempunyai aksi tidak

langsung. Beberapa obat mempunyai mekanisme aksi campuran. Phenilephrine,

oxymetazoline, dan tetrahidrozoline adalah contoh dekongestan dengan

mekanisme aksi langsung, efedrine, pseudoefedrine dan fenilpropanolamin

mempunyai aksi tidak langsung atau campuran. Secara umum simpatomimetik

aksi tidak langsung mempunyai onset yang lambat dan durasi panjang (Tietze,

2000).

Dekongestan dikontraindikasikan pada pasien yang mempunyai riwayat

hipersensitif atau idiosinkratik terhadap dekongestan dan pada pasien yang

menerima terapi MAOI (Tietze, 2000).

b) Antihistamin

Antihistamin dalam common cold dapat mengurangi rhinorrhea dan

bersin-bersin (Tietze, 2000). Obat antihistamin mengurangi daya kerja histamin

dengan menempati tempat yang seharusnya untuk histamin pada reseptor H1

(Sartono, 1993). Antihistamin juga bermanfaat untuk mengobati reaksi

hipersensitif atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih.

Antihistamin mempunyai efek mengantuk dan dikontraindikasikan bagi penderita

glukoma, asma dan wanita yang menyusui. Antihistamin yang sering digunakan

antara lain klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat, prometazin HCl,

tripolidin (Anonim, 1997).

(38)

c) Analgesik-Antipiretik sistemik

Analgesik sistemik efektif untuk menghilangkan atau mengurangi rasa

sakit dan demam yang dihubungkan dengan common cold (Tietze, 2000). Obat

analgesik-antipiretik mempengaruhi pusat-pusat pengatur kalor dari sistem saraf

pusat (SSP) yang terletak pada hipotalamus. Reaksi yang timbul adalah

vasodilatasi pada kulit yang mengakibatkan pengeluaran kalor bertambah

(Anonim, 2009). Terdapat tiga kelompok analgesik/antipiretik yang tersedia

sebagai OTC yaitu aspirin, asetaminofen, dan nonsteroidal anti-inflammatory

drugs (NSAIDs) (Anonim, 2009b). Aspirin tidak boleh diberikan pada anak

dibawah 8 tahun karena dapat menyebabkan reye’s syndrome (Anonim, 2009a).

d) Anastetik lokal

Lozenges, troches, pencuci mulut dan spray mengandung lokal anastetik

(benzokain) digunakan untuk mengurangi gejala sakit tenggorokan. Produk lokal

anastetik digunakan tiap 3-4 jam (Tietze,2000).

e) Antitusif dan ekspektoran

Batuk dibedakan menjadi batuk produktif dan non produktif. Pemilihan

obat tergantung pada jenis batuknya. Penekan batuk (antitusif) dapat

meningkatkan ambang batuk dan digunakan untuk mengobati batuk non

produktif. Ekspektoran meningkatkan sekresi bronkial dan memudahkan

mengeluarkan sekret dan digunakan untuk mengobati batuk produktif. Penekan

batuk yang direkomendasikan FDA adalah dekstrometrophan, dan difenhidramin.

Ekspektoran yang direkomendasikan FDA adalah guaifenesin (gliseril guiakolat)

(39)

f) Suplemen

Herbal, mineral dan produk lain seperti Echinacea, eucalyptus, bawang

putih, madu, lemon, zinc dan vitamin C diterima banyak masyarakat untuk

mengobati common cold. Walaupun, hal ini tidak didukung dengan penelitian

ilmiah (Anonim, 2009). Penelitian terbaru dengan kontrol yang cermat

mengindikasikan bahwa vitamin C mungkin dapat mempersingkat lamanya

selesma dan mungkin meringankan gejala tetapi belum diketahui bagaimana

kerjanya. Namun, belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa konsumsi

vitamin C dapat mencegah gejala (Schachter, 2005).  8. Swamedikasi common cold

Common cold merupakan penyakit ringan yang bisa sembuh dengan

sendirinya tanpa pengobatan. Akan tetapi bila gejala common cold sangat

mengganggu aktivitas dapat dikurangi dengan tindakan swamedikasi secara tepat

dan bertanggungjawab menggunakan OTR. Penyakit common cold bila tidak

diobati dengan tepat dapat memperparah penyakit. Pengobatan common cold

didasarkan pada gejala yang paling parah. Berikut adalah algoritma cara

penanganan common cold :

 

(40)

 

Gambar 4. Algoritma swamedikasi common cold (Tietze, 2000) Pasien menderita common cold

Criteria eksklusi swamedikasi : 

Demam  38°C,  nyeri  dada,  nafas  menjadi  pendek,  gejala  semakin  memburuk,  penyakit  kardiopulmonari,  seperti  asma, COPD, CHF, penyakit imunosuppresant, AIDS, pasien  dalam kondisi yang lemah 

Hubungi dokter 

Apakah gejala berhubungan dengan alergi?  sendiri penyakit alergi Dilakukan perawatan 

Mengetahui  riwayat  pengobatan, termasuk  pengobatan  alternatif.  Evaluasi  pasien  untuk menghindari pengobatan dan tindakan pencegahan. Rekomendasikan tindakan  tanpa obat seperti istirahat dan hidrasi cukup. Nilai gejala yang paling parah. 

Hidung  tersumbat  dan  keluar lendir dari hidung 

Salin  nasal  spray  atau  dekongestan.  Hubungi  dokter  jika  gejala  bertahan  setelah 7‐10 hari dari pengobatan  

Nyeri dan sakit  Analgesik/antipiretik  sistemik.  Hubungi  dokter  jika gejala bertahan setelah 7‐10 hari dari pengobatan 

Demam   Analgesik/antipiretik  sistemik.  Hubungi  dokter  jika 

gejala bertahan setelah 7‐10 hari dari pengobatan 

Batuk

Kumur dengan air garam atau spray  anastetik lokal

Jika mengalami susah tidur  Gunakan  spray  nasal  dekongestan  dan gunakan antihistamin pada malam hari  Ekspektoran  untuk  batuk  berdahak  dan antitusif untuk batuk kering 

Faringitis 

Apakah  gejala  common 

cold terobati?  Sesuaikan  dosis  atau  ganti  dengan  agen  lain. 

Hubungi dokter jika terapi alternatif gagal 

(41)

C. Perilaku Kesehatan

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman

serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain perilaku merupakan

respon/reaksi seseorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun

dari dalam dirinya (Sarwono, 2007).

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap

stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan

kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan (Notoadmojo, 2007).

Menurut Sarwono (2007) perilaku kesehatan dirumuskan sebagai segala bentuk

pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang

menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang

berhubungan dengan kesehatan.

Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku

manusia itu ke dalam 3 domain, ranah atau kawasan yakni : a) kognitif

(cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (phychomotor). Dalam

perkembangannya teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil

pendidikan kesehatan, yakni :

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif

(42)

(overt behavior). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmojo, 2007).

Penelitian Roger cit Notoadmojo (2007)mengungkapkan bahwa sebelum

orang mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang

berurutan yakni :

a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu

b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus

c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi

dirinya)

d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru

e. Adoption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Roger menyimpulkan

bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap diatas (Notoadmojo,

2007).

2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau

aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu

masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah

(43)

lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoadmojo,

2007).

Gambar 5. Proses terbentuknya sikap dan reaksi (Notoadmojo, 2007)

3. Praktik atau tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan

faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas.

Menurut Notoadmojo (2007), Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan :

a. Persepsi (perception). Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan

dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat

pertama.

b. Respon terpimpin (guided response). Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan

urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator

praktik tingkat dua.

c. Mekanisme (mechanism). Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu

dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan,

maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. Stimulus 

Rangsangan  Proses Stimulus Reaksi 

Tingkah laku

(terbuka) 

(44)

d. Adopsi (adoption). Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa

mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

D. Teori Perilaku 1. Teori Weber

Max Weber seorang ahli sosiologi dan ekonomi yang ternama

mengembangkan teori aksi yang dikenal sebagai teori bertindak (action theory).

Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas

pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsirannya atas suatu objek stimulus

atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang

rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana yang paling tepat

(Ritzer,1983, cit, Sarwono, 2007).

STIMULUS TINDAKAN

Gambar 6. Teori Max Weber (Sarwono, 2007)

2. Teori Parsons

Teori Weber dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, yang

menyatakan bahwa aksi bukanlah perilaku. Aksi merupakan tanggapan/respon

mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental

yang aktif dan kreatif. Menurut Parsons yang utama bukanlah tindakan individual

melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur

perilaku (Poloma, 1987, cit, Sarwono, 2007). Parsons melihat bahwa tindakan Pengalaman

Persepsi  Pemahaman  Penafsiran 

(45)

individu dan kelompok dipengaruhi oleh tiga sistem yaitu sistem sosial, sistem

budaya dan sistem kepribadian masing-masing individu. Dalam setiap sistem

sosial individu menduduki suatu tempat (status) tertentu dan bertindak (berperan)

sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku

individu ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya (Sarwono, 2007).

Sistem sosial

Sistem budaya INDIVIDU PERILAKU

Sistem kepribadian

Gambar 7. Teori Parsons (Sarwono, 2007)

3. Teori kepercayaan kesehatan dari Rosenstock

Rosenstock cit Sarwono (2007) percaya bahwa perilaku individu

ditentukan oleh motif dan kepercayaannya, tanpa mempedulikan apakah motif dan

kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan pandangan

orang lain tentang apa yang baik untuk individu tersebut. Model kepercayaan

kesehatan ini mencakup lima unsur utama yaitu:

a. Perceived susceptibility yaitu persepsi individu tentang kemungkinannya

terkena suatu penyakit. Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut

akan lebih cepat merasa terancam.

b. Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived

seriousness) yaitu resiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari

penyakit itu.

c. Perceived threats yaitu besarnya ancaman yang dirasakan individu ketika

(46)

d. Perceived benefits and barriers yaitu kemampuan untuk mempertimbangkan

keuntungan dan kerugian dari alternatif yang diberikan untuk mengurangi

suatu ancaman.

e. Cues to action atau faktor pencetus diperlukan untuk memutuskan menerima

atau menolak alternatif tindakan tersebut. Faktor pencetus bisa datang dari

dalam diri individu (munculnya gejala-gejala penyakit itu) ataupun dari luar

(nasihat orang lain, kampanye kesehatan).

E. Perubahan Perilaku

Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan

dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari

pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program

kesehatan. Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses yang

kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Menurut Notoadmojo (2007)

perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru

dalam kehidupannya melalui tiga tahap :

1. Pengetahuan

Sebelum seseorang mengadopsi perilaku, ia harus tahu terlebih dahulu

apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya dan keluarganya.

Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau

kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi :

a. Pengetahuan tentang sakit atau penyakit yang meliputi : penyebab penyakit,

(47)

pengobatan, bagaimana cara penularan, bagaimana cara pencegahannya

termasuk imunisasi.

b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat,

meliputi : jenis-jenis makanan bergizi, manfaat makanan bergizi bagi

kesehatannya, pentingnya olahraga bagi kesehatan, penyakit-penyakit atau

bahaya merokok, minum-minuman keras, narkoba, dan pentingnya istirahat

cukup, relaksasi, rekreasi bagi kesehatan

c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan, meliputi manfaat air bersih,

cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran yang

sehat, dan sampah, manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat

dan akibat polusi (polusi air, udara dan tanah) bagi kesehatan

2. Sikap

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, proses selanjutnya

akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut.

Indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan kesehatan,

yakni:

a. Sikap terhadap sakit dan penyakit adalah bagaimana penilaian atau pendapat

seseorang terhadap : gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit, cara

penularan penyakit, cara pencegahan penyakit. 

b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat adalah penilaian atau pendapat

seseorang terhadap cara-cara memelihara dan cara-cara (berperilaku) hidup

(48)

c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan adalah pendapat atau penilaian

seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan.

3. Perilaku

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian

mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses

selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang

diketahui atau disikapinya. Inilah yang disebut praktik kesehatan atau perilaku

kesehatan (overt behavior). Indikator praktik kesehatan meliputi :

a. Tindakan (praktik) sehubungan dengan penyakit. Tindakan ini mencakup

pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit.

b. Tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Tindakan ini

mencakup antara lain mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang,

melakukan olahraga secara teratur, tidak merokok.

c. Tindakan (praktik) kesehatan lingkungan. Perilaku ini mencakup membuang

air besar dijamban, membuang sampah ditempat sampah, menggunakan air

bersih untuk mandi, cuci, masak, dll.

F. Teori Perubahan Perilaku 1. Teori stimulus organisme (SOR)

Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan

perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi

dengan organisme. Hosland, et al (cit Notoadmojo, 2007) mengatakan bahwa

(49)

perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang

terdiri dari :

a. Stimulus (rangsang) yang diberikan kepada organisme dapat diterima atau

ditolak. Apabila stimulus ditolak berarti stimulus tidak efektif dalam

mempengaruhi perhatian individu, dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus

diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus

efektif.

b. Apabila stimulus telah mendapatkan perhatian dari organisme (diterima) maka

ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya

c. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan

untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya

d. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka

stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan

perilaku).

Gambar 8. Proses perubahan perilaku (Notoadmojo, 2007)

2. Teori perubahan perilaku dari Green

Lawrence green mengatakan bahwa kesehatan individu/masyarakat

dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor diluar

Stimulus Organisme

‐ Perhatian ‐ Pengertian ‐ Penerimaan

Reaksi  (perubahan sikap) 

(50)

kelompok faktor : a) faktor-faktor prediposisi (predisposing factors) mencakup

pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi norma sosial, dan unsur-unsur

lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat, b) faktor pendukung

(enabling factors) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan

untuk mencapainya, c) faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan

perilaku petugas kesehatan. Green menyatakan bahwa pendidikan kesehatan

mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok

faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku

positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada

umumnya (Sarwono, 2007).

3. Teori pertentangan kekuatan dari Lewin

Seorang ahli psikologi sosial, Kurt Lewin membuat teori yang

dinamakan force field analysis yang berasumsi bahwa didalam diri individu selalu

terdapat kekuatan/dorongan yang saling bertentangan yaitu kekuatan yang

mendorong individu untuk melakukan suatu tindakan (driving forces) dan

kekuatan yang menghambat/melarang dilakukannya tindakan tersebut (restraining

forces). Dalam proses perubahan perilaku dilakukan dengan tiga cara yaitu :

a. Memperkuat driving forces dengan cara menggalakkan upaya persuasi dan

pemberian informasi tentang program kesehatan yang sedang dilaksanakan

b. Mengurangi restraining forces, yaitu memperkecil hambatan-hambatan yang

ada dalam diri individu (fisik, psikologis, ekonomis) serta di masyarakat (tabu,

tradisi, norma)

(51)

Perubahan perilaku itu sendiri tidaklah terjadi secara langsung melainkan

melalui lima tahap yang oleh Lewin disebut sebagai tahap-tahap “mencair sampai

membeku kembali” (unfreezing to refreezing). Proses itu dimulai dengan :

a. Tahap pencairan (unfreezing) dimana individu mencari berbagai informasi

sehubungan dengan hal/perilaku baru serta menyiapkan diri untuk berubah

meninggalkan kebiasaan lama

b. Tahap diagnosis masalah (problem diagnosis) dimana individu mulai

mengidentifikasi semua kemungkinan yang berkaitan dengan perilaku baru,

keuntungan, hambatan, dan resikonya jika perilaku itu diterima atau ditolak

c. Tahap penentuan tujuan (goal setting). Berdasarkan pertimbangan tadi maka

individu menentukan tujuan dari perubahan perilaku tersebut, artinya untuk

apa dia berubah dan sampai sejauh mana dia akan berubah

d. Tahap penerimaan perilaku baru (new behaviour) yang merupakan fase

dimana individu mulai mencoba mempraktekkan perilaku baru dan

mengevaluasi dampak dari perilaku tersebut

e. Tahap pembekuan kembali (refreezing). Jika ternyata perilaku itu berdampak

positif dan nyata manfaatnya maka perilaku tersebut akan

diterima/diinternalisasikan sebagai pola perilaku yang permanen,

menggantikan perilaku yang lama (Sarwono, 2007).

G. Promosi Kesehatan

Menurut WHO yang dimaksud dengan promosi kesehatan adalah suatu

(52)

sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya. Bertolak dari pengertian yang

dirumuskan WHO tersebut, di Indonesia pengertian promosi kesehatan

dirumuskan sebagai berikut : upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat

melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka

dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber

daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan

politik yang berwawasan kesehatan (Anonim, 2005).

Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan

adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk

mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara

keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan

meningkatkan kesehatannya (Anonim, 2003).

Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku tersebut oleh

WHO dikelompokkan menjadi 3 :

1. Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan

Perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga

ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang diharapkan. Cara ini akan

menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu

akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum

didasari oleh kesadaran sendiri.

2. Pemberian informasi

Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai

(53)

meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan

pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka dan akhirnya

akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang

dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu

lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari oleh

kesadaran mereka sendiri (bukan paksaan).

3. Diskusi partisipasi

Cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua yang dalam

memberikan informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua

arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi,

tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi

yang diterimanya. Dengan demikian maka pengetahuan kesehatan sebagai dasar

perilaku mereka diperoleh secara mantap dan lebih mendalam, dan akhirnya

perilaku yang mereka peroleh akan lebih mantap juga, bahkan merupakan

referensi perilaku orang lain (Notoadmojo, 2007).

H. Landasan Teori

Pengambilan keputusan dalam pengobatan mandiri dapat dipengaruhi

oleh berbagai faktor termasuk usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi,

pengetahuan, tingkat pendidikan, dan latar belakang pendidikan. Pemahaman

seseorang yang semakin tinggi terhadap penyakit maupun gejala yang timbul serta

pengobatannya, maka kecenderungan untuk melakukan pengobatan mandiri

(54)

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau

objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, dan minuman. Perubahan atau adopsi perilaku adalah suatu proses yang

kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Perubahan perilaku melalui

proses perubahan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik

(practice) (Notoadmojo, 2007). Salah satu cara untuk memperoleh perubahan

perilaku adalah dengan cara memberikan informasi-informasi kesehatan yang

akan meningkatkan pengetahuan masyarakat.

Semua bentuk penyuluhan kesehatan kepada masyarakat merupakan

contoh pemberdayaan masyarakat yang meningkatkan komponen pengetahuan

masyarakat. Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan

kesadaran mereka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai

dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan

cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat

langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri (Notoadmojo, 2007).

 

I. Hipotesis

Adanya pengaruh edukasi terhadap peningkatan perilaku swamedikasi

(55)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai pengaruh edukasi terhadap perubahan perilaku

swamedikasi penyakit common cold oleh kader-kader kesehatan di Kecamatan

Jetis, Kabupaten Bantul ini termasuk jenis penelitian kuasi eksperimental dengan

rancangan penelitian berupa nonrandomized pre-test dan post-test dengan

kelompok kontrol yang dilakukan terhadap 100 responden di desa perlakuan dan

100 responden di desa kontrol di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Kuasi

eksperimental merupakan suatu eksperimen di mana kondisi obyek penelitian sulit

untuk diubah dalam bentuk memberikan perlakuan tertentu. Oleh karena itu di

dalam kondisi yang sudah berlangsung itu diusahakan memisah-misahkan

variabel yang ada, sehingga seolah-olah terdapat perlakuan dan variabel kontrol

serta variabel-variabel lain seperti terdapat di dalam eksperimen yang sebenarnya

(Nawawi, 2007). Penilaian responden dilakukan dengan pre-test dan post-test

menggunakan kuesioner. Evaluasi (post-test) dilakukan secara bertahap yaitu pada

hari yang sama setelah penyuluhan dan satu bulan setelah penyuluhan.

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek penelitian

(faktor-faktor berperan) atau gejala yang diteliti. Variabel yang akan diteliti dalam

penelitian ini meliputi :

(56)

2. Variabel tergantung yaitu perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh

kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul yang memiliki

tiga domain yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan

C. Definisi Operasional

1. Penyuluhan adalah kegiatan untuk memberikan edukasi kepada kader-kader

kesehatan mengenai definisi common cold, gejala dan tanda, faktor penyebab,

penularan, pengobatan, dan pencegahan

2. Perilaku swamedikasi adalah aspek global yang tersusun dari penilaian

pengetahuan, sikap dan tindakan responden terhadap swamedikasi common

cold

3. Pengetahuan adalah tingkat pemahaman dari responden mengenai penyakit

common cold yang meliputi definisi, gejala, pengobatan dan pencegahannya

yang tergambar dalam kuesioner pada pernyataan nomor 1-11

4. Sikap adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang mengenai penyakit

common cold yang meliputi definisi, gejala, pengobatan dan pencegahannya

yang tergambar dalam kuesioner pada pernyataan nomor 12-22

5. Tindakan adalah praktik atau perilaku kesehatan yang mencakup pencegahan

dan pengobatan common cold yang tergambar dalam kuesioner pada

pernyataan nomor 23-33

6. Common cold adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus pada hidung

yang bersifat self limiting dan dapat sembuh setelah 5-7 hari. Gejala yang

(57)

cold dalam bahasa awam biasa disebut selesma tetapi dalam penelitian ini

common cold disebut dengan pilek.

7. Swamedikasi merupakan kegiatan atau tindakan mengobati diri sendiri

maupun keluarganya dengan Obat Tanpa Resep (OTR) secara tepat dan

bertanggung jawab

8. Obat Tanpa Resep (OTR) adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter,

tidak termasuk Obat Wajib Apotek (OWA) dan digunakan untuk tindakan

swamedikasi penyakit common cold

9. Kader-kader kesehatan adalah anggota masyarakat yang dipilih dari dan oleh

masyarakat setempat yang akan melaksanakan kegiatan dan menggerakkan

masyarakat untuk melakukan berbagai upaya peningkatan kesehatan

masyarakat.

D. Subyek dan Kriteria Inklusi Penelitian

Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kader-kader kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Kriteria inklusi dalam

penelitian ini adalah kader-kader kesehatan yang pernah mengalami common cold

(baik dirinya sendiri ataupun anggota keluarganya), bertempat tinggal di

Kecamatan Jetis, berusia kurang dari 60 tahun, dan bersedia mengikuti penelitian

ini.

E. Populasi dan Besar Sampel

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang terdiri dari manusia,

(58)

(Nawawi, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader-kader

kesehatan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Sampel merupakan sebagian

dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian (Nawawi,

2007). Sampel dalam penelitian ini adalah kader-kader kesehatan yang pernah

mengalami penyakit common cold baik dirinya sendiri maupun anggota

keluarganya yang bertempat tinggal di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul.

F. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian mengenai “Pengaruh Edukasi Terhadap Aspek Perilaku

Swamedikasi Penyakit Common Cold oleh Kader-Kader Kesehatan di Kecamatan

Jetis Kabupaten Bantul” ini dilaksanakan di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul

dan dimulai pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Juni 2009.

Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2009.

G. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive

sampling. Dalam teknik ini pengambilan sampel dari populasi dilakukan dengan

cara memilih sampel dari suatu populasi didasarkan pada informasi yang tersedia

serta sesuai dengan penelitian yang sedang berjalan sehingga perwakilannya

terhadap populasi dapat dipertanggungjawabkan (Narimawati dan Munandar,

2008) .

Kecamatan Jetis terdiri atas 4 Desa. Dua desa untuk kelompok kontrol

dan 2 desa lagi untuk kelompok perlakuan. Masing-masing desa akan diambil

(59)

memenuhi kriteria inklusi penelitian yang direkomendasikan oleh kepala

pedukuhan dan bersedia untuk mengikuti penelitian ini.

Rumus untuk menghitung ukuran sampel :

 ,

. . .

. . . .

. .

83,78 = 84 orang

     84 

Dimana :

n = ukuran sampel

N = besar populasi = 650 kader kesehatan

P = probabilitas suatu kejadian (prosentase taksiran hal yang akan diteliti) jika tidak diketahui dianggap 50% q = 100% - p

Z = nilai standar normal yang besarnya tergantung α (α=5%) D = besarnya penyimpangan yang masih bisa ditolerir

(Pujiraharjo dkk, 1993)

H. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa lembar

kuesioner. Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data dengan menyebarkan

daftar pertanyaan kepada responden, dengan harapan mereka akan memberikan

respon atas daftar pertanyaan tersebut (Umar, 2003).

Kuesioner disusun dengan dua bagian. Bagian pertama memuat

pertanyaan mengenai karakteristik responden seperti nama, alamat, umur, tingkat

(60)

penanganan common cold. Bagian kedua memuat pernyataan tentang variabel

penelitian yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan dengan menggunakan skala

likert yang dimodifikasi menjadi 4 skala yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak

setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Jumlah pernyataan adalah 33

pernyataan, 11 pernyataan mengenai pengetahuan responden mengenai common

cold, 11 pernyataan mengenai sikap responden terhadap common cold dan 11

pernyataan mengenai tindakan responden terhadap common cold. Pertanyaan

disusun dengan pernyataan yang bersifat favourable dan unfavourable.

Pernyataan favourable merupakan pernyataan yang isinya mendukung, memihak,

atau menunjukkan ciri adanya atribut yang akan diukur. Penyataan unfavorable

merupakan pernyataan yang tidak mendukung, berlawanan, tidak memihak

ataupun tidak menunjukkan ciri atribut yang akan diukur. Penilaian untuk

pernyataan yang bersifat favourable adalah sangat setuju = 4, setuju = 3, tidak

setuju = 2, sangat tidak setuju = 1, sedangkan untuk pernyataan yang bersifat

unfavourable adalah sangat setuju = 1, setuju = 2, tidak setuju = 2, sangat tidak

setuju = 4.

I. Tahapan Penelitian 1. Penentuan lokasi penelitian

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan data dinas kesehatan tahun

2007 yang menyebutkan bahwa Kecamatan Jetis mempunyai prevalensi tinggi

terhadap penyakit common cold. Oleh sebab itu penelitian dilaksanakan di

Gambar

Tabel I.  Distribusi frekuensi umur responden penelitian baik untuk kelompok
Gambar 20.  Perbandingan perubahan variabel sikap antara kelompok perlakuan
Gambar 3. Patogenesis common cold (Tietze, 2004)
Gambar 4. Algoritma swamedikasi common cold (Tietze, 2000)
+7

Referensi

Dokumen terkait

faktor yang mempengaruhi audit report lag , jika ditinjau dari karakteristik.. perusahaan dan karakteristik

Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta II (PJT-II) seluas 1.364.072 ha, dengan fokus pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu, yang merupakan

Potensi bakat serta talenta dan minat yang ditunjang dengan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dalam seni bela diri terutama seni pencak silat makin maju pesat, hal

Maka berdasarkan pada uraian tersebut diketahui bahwa 7P atau bauran pemasaran, yaitu tujuh marketing mix antara sebelum dan setelah larangan parkir Toko Oleh-Oleh

Hal yang dilakukan guru antara lain: membuat rencana pelaksanaan pembelajaran(RPP), menentukan materi membuat media gambar beseri. Pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan

Dari hasil penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa jumlah dana pihak ketiga mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan jumlah unit pada Bank Perbankan

(3) KlUI yang tidak membentuk LPSE dapat melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik dengan menjadi pengguna LPSE KJUD/l lain.. (4) Penyelenggaraan LPSE

pendapatan asli daerah dan belanja tidak langsung terhadap kemiskinan. melalui pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali tahun