• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Histopatologi Efek Imunomodulator Dari Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Pada Organ Sistem Limforetikular Mencit (Mus musculus) Pada Masa Laktasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Histopatologi Efek Imunomodulator Dari Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Pada Organ Sistem Limforetikular Mencit (Mus musculus) Pada Masa Laktasi"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN HISTOPATOLOGI EFEK IMUNOMODULATOR

DARI DAUN TORBANGUN

(Coleus amboinicus

Lour) PADA

ORGAN SISTEM LIMFORETIKULAR MENCIT

(Mus

musculus)

PADA MASA LAKTASI

Lina Puspita Sari

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

LINA PUSPITA SARI. Histopathological Study ofthe Immunomodulator Effects of Torbangun Leaves (Coleus amboinicus Lour) in the Lymphoreticular System Organ of Lactating Mice (Mus musculus). Supervised by DEW1 RATIH AGUNGPIUYONO and M. IUZAL M. DAMANIK. 2008.

ABSTRACT

The purpose ofthis research was to study the immunomodulator effects o j Torbangun leaves (Coleus amboinicus Lour) in the lymghoreticular organ system of mice (Mus musculus) histopathologically. Nine mice divided into three groups; control group, group received 5% Torbangun leaves soup and 5% dry Torbangun leaves group. The mice were given Torbangun leaves at the 14Ih day ofpregnancy until day 7 post partus. The mice then were euthanized. The spleen, lymphonode and thymus were collected as histopathological samples. Samples were processed routinely to prepare histopathology slide stained with Haematoxylin Eosin. Besides that, blood was taken from heart for blood dgerentiation cells examination and stained with Giemsa. The observation results of that the mice given 5% Torbangun leaves soup showed hyperplastic reactive lymphoid follicle of spleen, while thymus and lymphnodes although did not showed hyperplasia but in reactive condition. The mice that given 5% dry Torbangun leaves showed hyperplastic reaciive lymphoid follicle of spleen and lymphnodes, while thymus although did not showed hyperplasia but in reactive condition. Blood smear examination revealed that the conszrmption soup and d v Torbangun leaves increased leucocytes in the blood circulation. Based on the histopathology observation it suggested that the consumption of Torbangun leaves, both soup and dry leaves could induce the lymphoid organ to become reactive and release leukocytes to the peripherial blood circulation. However the consumption of dry Torbangun leaves had higher immunostimulant effect than soup.

(3)

LINA PUSPITA SARI. Kajian Histopatologi Efek Irnunomodulator dari Daun Torbangtm (Coleus amboinicus Lour) pada Organ Sistem Limforetikular Mencit (Mus musculus) pada Masa Laktasi. Dibimbiig oleh DEW1 RATIH AGUNGPRIYONO dan M. RIZAL M. DAMANIK. 2008.

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan mtuk mempelajari efek imunomodulator dari daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) pada organ sistem liioretikular mencit (Mus musculus) secara histopatologi. Sebanyak 9 ekor mencit dibagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok yang diberi perlakuan sop daun Torbangun 5%, dan d a m Torbangun kering 5%. Konsumsi dam Torbangun dilakukan saat mencit bunting 14 hari sampai 7 hari post-partus. Kemudian hewan dieuthanasi dan diambil organ limpa, limfonodus, dan timus. Sampel diproses secara rutin untuk pembuatan sediaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. Selain it-, darah diambil dari jantung mtuk dibuat preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa dan dilakukan pengamatan diferensiasi darah. Hasil pengamatan pada mencit yang diberi perlakuan sop daun Torbangun terjadi hiperplasia reaktif folikel limfoid limpa, sedangkan pada timus dan limfonodt~s walaupun tidak terjadi hiperplasia organ, tetapi juga dalam kondisi yang reaktif. Pada mencit yang diberi daun Torbangun kering terjadi hiperplasia reaktif foliiel limfoid limpa dan lirnfonodus, sedangkan pada timus walaupun tidak terjadi hiperplasia organ, tetapi juga dalam kondisi yang reaktif. Pemberian sop dan d a m Torbangun kering juga meningkatkan j~unlah leukosit pada peredaran darah. Berdasarkan pada hasil pengamatan yang ada, dapat diambil kesimpulan bahwa konsumsi daun Torbangun dalam bentuk sop dan d a m kering dapat menggertak organ limfoid sehingga menjadi reaktif mtuk melepas set leukosit ke peredaran darah. Pemberian daun Torbangun kering lebih menggertak sistem imun dibandingkan dalam bentuk sop.

(4)

KAJIAN HISTOPATOLOGI EFEK IMUNOMODULATOR

DARI DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour) PADA

ORGAN SISTEM LIMFORETIKULAR MENCIT (Mus

musculus) PADA MASA LAKTASI

Lina Puspita Sari

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk menlperoleh gelar Sajana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

JudulSkripsi : Kajian Histopatologi Efek Imunomodulator dari Daun Torbangull (Coleus amboinicus Lour) pada Organ Sistem Limforetikular Mencit (Mus musculus) pada Masa Laktasi Nama : Lina Puspita Sari

NRP : B 04104070

Disetujui oleh,

Pembimbing I Pembimbing I1

drh. Dewi Ratih ~gLngprivono Ph.D. drh. M.R.M.Damauik. M.Rep.Sc.Pl1.D.

NIP. 131 760 839 NIP. 131 902 365

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kandangan, Kalimantan Selatan pada tanggal 22 September 1986 sebagai anak pertama dari 3 bersaudara pasangan Bapak Suparto dan Ibu Ekowati.

Saat berunlur 4 tahun, penulis dan keluarga pindah ke Tanali Grogot, Kalimantan Timur. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1990 di TK Ruhui

Rahayu, Tanah Grogot. Selanjutnya, sekolah dasar sampai menengah pertama diselesaikan di Tanah Grogot, pada tahun 1992 penulis masuk ke SDN 01 8 Tanah

Grogot dan lulus tahun 1998, kemudian penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Tanah Grogot dan lulus tahun 2001. Setelah itu penulis langsung melanjutkan ke SMU

Batik I Surakarta dan lulus pada tahun 2004.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB. Selama menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif dalam Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Omitologi dan Unggas sebagai anggota dan Himpro Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik (HKSA) sebagai anggota divisi Kuda

(7)

PRAKATA

Tak ada kata yang terucap selain Alhamdulillahirabbilalamin atas segala

petunjuk-Nya sehingga karya kecil ini dapat penulis selesaikan.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul 'Kajian Histopatologi Efek Imunomodulator dari Dam Torbangun (Coleus amboinicus Lour) pada Organ Sistem Liforetikular Mencit (Mus musculus) pada Masa Laktasi', yang

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan

salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keiuarga, sahabat, dan para pengikutnya.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ayah dan Ibu, adik-adikku Meli dan Angga yang sangat penulis sayangi dan cintai atas segala dukungannya baik materi inaupun spiritualnya.

2. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D selaku dosen pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan, arahan, koreksi dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi.

3. drh. M.Rizal M.Damanik, M.Rep.Sc,Ph.D sebagai dosen Pembimbing I1

atas bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dr. drll. Sri Estuningsih MSi sebagai dosen penilai seminar dan penguji.

5. drh. Endang Rachman, MS selaku dosen pembimbing akademik.

6 . Dana penelitian yang berasal dari hibah bersaing 'Peningkatan Mutu Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) sebagai Makanan Tradisional Berkhasiat dengan Penambahan Bahan Pengawet dan Penerapan Tehnik Kemasan' dan Dana Penyangga Penelitian Mahasiswa S1 Bagian Patologi FKH IPB.

7. Seluruh tehnisi dan pegawai bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, terutama Pak Kasnadi, Pak Soleh, Pak Endang, Bu Meli, mbak Kiki

(8)

9. Mas Muhan atas dukungan, kasih sayang dan bantuannya selama ini. 10. Sahabat-sahabat terbaikku Vet's Angels (Ata, Dhe, Inge, Iya, Chamut,

dan Ay2) atas dukungan dan kebersamaanya.

1l.Rekan-rekan penelitianku mas Muhan, Dhani, Epan, d m Sius atas ke jasamanya.

12. Teman-teman sepejuangan di laboratorium Patologi Popon, Mungki, Ivan, Dika, Derot, Wence, Sri, Aqii, Rina d m Gugi.

13. Teman-temanku yang baik Eka, Inggit, Agus, Fuad, Sogi, Kuga, Imis, putri, mbak Yu, mbak Fit, Mimi, Syeni, Rahma, Kikik, teh Ida, Bagus, Herlina, Yus, Om Zu, mbak Sitru, Pak Ali, Romi, Arum, Dita, Nanang, Andro, Ari, Fajrin, Sunu, Puput, mas Do, mas Dah, Nanda, Jaya, Arios, Fikri, lyo, Uwi, mas Bud, mas Hasan, Husna, Yulia.

14. Teman-teman Asteroidea 41 yang selalu terbaik dan teristimewa. 15. Semuapihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa karya kecil ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan pihak yang membutuhkan.

Bogor, November 2008

(9)

DAFTAR IS1

...

DAFTAR TABEL

...

..

viii

...

DAFTAR GAMBAR ix

...

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN Latar Belakang

...

1

Rumusan Masalah

...

2

Tujuan Penelitian

...

2

.

.

Manfaat Peneliti an

...

2

TINJAUAN PUSTAKA Torbangun (Coleus amboinicus Lour)

...

Klasifikasi

...

Botani

...

Pen~anfaatan

...

Mencit (Mus musculus)

...

...

Klasifikasi

...

Morfologi

...

Organ Limforetikular Timus

...

Limpa

...

10

Limfonodus

...

12

Leukosit

...

13

Imunomodulator

...

16

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

...

Hewan Coba

. .

...

Bahan Penelltian

. .

...

Alat Penelih an

...

Prosedur Kerja

...

...

Pembuatan Sop Daun Torbangun

...

Pembuatan Daun Torbangun Kering

...

Pembuatan Pakan

...

Pemeliharaan Mencit

...

Pembuatan Preparat Histopatologis Pembuatan Preparat Ulas Darah

...

...

Pengarnatan Sediaan Histopatologi dan Ulas Darah Analisa Data

...

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi pada Organ Timus

...

26

Perubahan Histopatologi pada Organ Limpa

...

28

Perubahan Histopatologi pada Organ Limfonodus

...

32

...

(10)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

...

39
(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi Zat Gizi Dam Torbangun

...

2 Komposisi Zat Gizi Sop Daun Torbangun

...

3 Data Biologis Mencit

...

4 Komposisi Bahan Pembuatan Sop Dam Torbangun

...

5 Perbandingan Ketebalan Korteks dan medula

...

...

6 Perbandingan Jumlah Sel Timosit

7 Perbandingan Jumlah Folikel Limpa

...

8 Perbandingan Diameter Folikel Limpa

...

9 Perbandingan Jumlah Sel Limfoid Limpa

...

10 Perbandingan Jumlah Folikel Lidonodus

...

1 1 Perbandingan Diameter Folikel Limfonodus

...

12 Perbandingan Jumlah Sel Limfoid Limfonodus

...

(12)

DAFTAR GAMBAR

[image:12.514.47.453.30.769.2] [image:12.514.24.447.102.542.2]

Halaman

...

1 Gambar Torbangun (Coleus amboinicus Lour) 4

2 Gambar Mencit (Mus musculus albinus)

...

6

...

3 Gambar Timus 9

...

4 Gambar Limpa 10

...

5 Gambar Limfonodus

...

6 Gambar Limfosit

...

7 Gambar Monosit

...

8 Gambar Neutrofil

...

9 Gambar Eosinofil

...

10 Gambar Basofil

11 Gambar Diagram Perbandingan Ketebalan Korteks dan medula

...

12 Gambar Diagram Perbandingan Jumlah Sel T i o s i t Korteks

...

13 Gambar Diagram Perbandingan Jumlah Folikel Limpa

...

14 Gambar Diagram Perbandingan Diameter Folikel Limpa

...

15 Gambar Diagram Perbandingan Jumlah Sel Limfoid L i p a

...

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil Pengamatan Histopatologis Organ Timus

...

43 2 Hasil Pengamatan Histopatologis Organ Linlpa

...

44 3 Hasil Pengamatan Histopatologis Organ L i o n o d u s

...

49

...

4 Hasil Pengamatan Differensiasi Darah 51

(14)

Latar Belakang

Indonesia sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar 26%

telah dibudidayakan dan sisanya sekitar 74% masih tumbuh liar di hutan-hutan, dan dari yang telah dibudidayakan, lebih dari 940 jenis digunakan sebagai obat

eadisional (Syukur dan Hernani 2002).

"Back to nature!", gaungnya semakin nyaring melanda dunia kesehatan.

Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya orang yang berpaling pada tanaman obat-obatan sebagai altematif pilihan menyembuhkan keluhan penyakit

yang mereka derita. Selama ini berkembang asumsi "mengkonsumsi ramuan obat aman-aman saja dan tidak akan menimbulkan efek samping sehingga boleh diminum tanpa memperhatikan dosis" (Duryatmo 2003).

Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai ramuan tradisional di Indonesia. Wanita Batak yang

sedang menyusui di Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara memiliki tradisi mengkonsumsi dam Torbangun dalam bentuk sayur sop selama satu bulan setelah melahirkan. Mereka percaya bahwa dengan mengkonsumsi sop d a m Torbangun, produksi air susu ibu akan meningkat (Damanik et al. 2001).

Selain itu, daun Torbangun juga dikenal memiliki banyak khasiat antara lain sebagai antipiretik, analgetik, obat luka, obat batuk, dan sariawan (Depkes 1989), antioksidan, antitumor, antikanker, dan antihipotensi (Duke 2000). Biasanya obat yang memiliki multikhasiat mempunyai reseptor organ target pada sistem limforetikular yang melaksanakan fungsi imun. Imunomodulator adalah suatu cara untuk mengembalikan dan memperbaiki sistem imunitas yang terganggu dan menekan fungsi imun yang berlebihan (Bellanti dan Kadlec 1993).

Untuk mengetahui apakah daun Torbangun memiliki efek

(15)

mudah berbiak, nludah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono 1989). Selain itu, mencit memiliki siklus hidup yang pendek, dapat

mengkonversi pakan secara efektif, relatif tahan terhadap penyakit, dan harga relatif murah.

Rumusan Masalah

Daun Torbangun adalah tanaman asli Indonesia yang memiliki banyak

khasiat. Salah satunya, daun Torbangun merupakan tanaman yang memiliki efek laktogogum (meningkatkan produksi air susu) dan berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit (Damanik et al. 2006). Hal ini telah dibuktikan dari penelitian-penelitian sebelurnnya. Akan tetapi, sampai saat ini data-data mengenai daun Torbangun masih sangat sedikit, sehingga sangat diperlukan penelitian lanjutan.

Oleh karena daun Torbangun ini memiliki khasiat menyembuhkan berbagai penyakit, maka perlu diungkapkan kondisi dari organ sistem limforetikular. Daun Torbangun biasa dirarnu inenjadi bahan pembuat obat tradisional atau dikonstunsi oleh ibu yang sedang hamil dan menyusui dalam bentuk sayur sop maupun lalapan, sehingga dalam penelitian ini juga dibandingkan antara daun Torbangun kering dan yang telah diolah menjadi sop.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah daun Torbangun dalam bentuk sop dan daun kering memberikan efek imunomodulator dengan mempelajari gambaran histopatologis dari organ sistem limforetikular mencit yang diberi daun Torbangun dalam bentuk sop dan d a m kering.

Manfaat Penelitian

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Torbangun (Coleus amboinicus Lour)

a. Klasifikasi

Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di daerah S~unatra Utara, tanaman

ini

dikenal dengan nama Bangun-bangun atau Tarbangun (Damanik et al. 2001). Sedangkan di daerah Sunda, dam Torbangun dikenal dengan nama Ajeran atau Acerang, di daerah Jawa diienal dengan nama daun

Kucing, di Madura daun Kambing, dan Majha Nereng. Di daerah Bali dikenal dengan nama Iwak dan di daerab Timor dikenal dengan nama Kunu Etu (Heyne

1987).

Dalam susunan taksonomi, tanaman Torbangun yang secara internasional dikenal dengan Coleus amboinicus Lour diklasifikasikan seperti berikut :

divisi : Spermatophita subdivisi : Angiospermae kelas : Dikotiledonae bangsa : Solanales suku : Labialae marga : Coleus

jenis : Coleus amboinicus Lour (Anonimus 2008a).

b. Botani

Secara makroskopis, tanaman Torbangun memiliki ciri batang berkayu lunak, beruas-mas dan berbentuk bulat, diameter pangkal 5 15 mrn, tengah

*

10

m m

dan ujung 5 5 rnm. Daun tanaman

ini

tunggal, helaiannya bundar telur,

panjang helaiannya 5 3,5-6 cm, pinggirnya agak berombak dengan panjang tangkai 5 1,5-3 cm, dan tulang dam menyirip (Gambar 1). Tanaman Torbangun

(17)

Gambar 1 Daun Torbangun, berbentuk bundar telur, pinggirannya berombak, dan mlang daun menyirip. Sumber: Anonimus (2008b).

c. Pemanfaatan

Komposisi zat gizi daun Torbangun yang terdapat dalam buku yang

[image:17.518.51.454.42.781.2]

bejudul Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia (Mahmud et al. 1990) menyebutkan bahwa dalam 100 gram daun Torbangun terkandung lebih banyak kalsium, besi dan karoten total dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus). Data lengkap tentang komposisi zat gizi d a m Torbangun tercanturn dalam Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun

Komposisi Zat Gizi Torbangun

Energi (kal) 27,O

Protein (g) 1,3

Lem3.k (g) 0,6

Hidrat arang (g) 4 0

Serat (g) 1,o

Abu (g) 1,6

Kalsium (g) 279

Fosfor (g) 40

Besi (mg) 13,6

Karoten total (mg) 13288

Vitamin A (g) 0

Vitamin Bl(g) 0,16

Vitamin

C

(g) 5,l

Air (g) 92,5

[image:17.518.117.381.64.248.2]
(18)

Daun Torbangun biasa diolah oleh masyarakat etnis Batak dalam bentuk sayur sop. Sayur sop ini diberikan kepada ibu yang baru melahirkan (Damanik et

al. 2006). Selanjutnya komposisi zat gizi sop daun Torbangun yang terkandung dalam 150 gram sop daun Torbangun dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Konlposisi Zat Gizi Sop Daun Torbangun (150 g) Zat Gizi Rata-rata i SD

Lemak (g) 16;3 i 4,6

Protein (g) Karbohidrat (g) Air (g)

Mineral (mg) Seng Besi Kalsium Magnesium po&asium

(Sumber : Damanik et al. 2006)

Berdasarkan penelitian Damanik et al. 2006, pada saat minggu kedua (hari ke-14 hingga ke-28 setelah suplementasi sayur sop daun Torbangun), wanita yang

telah mengkonsumsi sop daun Torbangun tetap mengalami peningkatan kuantitas dan kualitas ASI. Selain itu, d a m Torbangun mampu meningkatkan kesehatan wanita pasca melahirkan, berperan sebagai uterine cleansing agent, dan dalam bentuk sop, d a m Torbangun dapat menggantikan energi yang hilang selama proses melahirkan.

Tanaman ini juga memiliki khasiat sebagai antipiretik, analgetik, obat

luka, obat batuk, dan sariawan (Depkes 1989). Selain itu, daun ini juga mengandung vitamin C, BI, B12, betakaroten, niacin, karvakrol, kalsiwn, asam- a s a n lemak, asam oksalat, dan serat (Duke 2000). Heyne (1987) menyatakan bahwa dari 120 kg d a m segar kurang lebih terdapat 25 ml minyak atsiri yang mengandung fen01 (isopropyl-o-besol) dan atas dasar itu ia menyatakan bahwa Torbangun merupakan antiseptikum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari d a m Torbangun selain sebagai antiseptik temyata mempunyai aktivitas yang tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al. 2000). Disamping minyak atsiri, daun

(19)

Mencit (Mus musculus)

a. Klasifikasi

Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik. Untuk berbagai penelitian dalam laboratorium Swiss albino mice adalah mencit yang paling sering digunakan

( ~ a l o l e dan Pramono 1989).

Mencit termasuk dalam klasifikasi berikut ini,

kingdom f i l m subfilum kelas ordo subordo famili subfamili genus spesies

: Animalia

: Chordata : Vertebrata : Mamrnalia

: Rodentia

: Myomorpha : Muridae : Murinae : Mus

: Mus musculus (Anonimus 2007).

b. Morfologi

[image:19.514.48.429.55.765.2]

Mencit putih memiliki bulu pendek halus benvama putih serta ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan dan kepala. Mencit memiliki warna bulu yang berbeda disebabkan oleh perbedaan proporsi darah dengan mencit liar dan memiliki kelenturan pada sifat-sifat produksi dan reproduksinya (Nafiu 1996). Berikut ini disajikan hewan mencit pada Gambar 2.

(20)

Mencit memiliki banyak keunggulan sebagai hewan percobaan, antara lain siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-

sifatnya tinggi dan mudah ditangani (Moriwaki et al. 1994). Data biologis mencit laboratorium dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Data Biologis Mencit (Mus musczclus)

Lama produksi ekonomis Lama bunting

Umur disapih

Umur dewasa kelamin Umur dikawinkan Siklus estrus Lama estrus Berat dewasa Berat lahir Jumlah anak Suhu rektal Pemapasan Denyut jantnng Puting susu Kecepatan tumbuh Imunitas pasif 9 bulan 19-21 hari 21 hari 35 hari 8 minggu 4-5 hari 12-14 jam

Jantan : 20-40 gram Betina : 18-35 gram 0,5-1,O gram

Rata-rata 6, bisa sampai 15 3 5-39°C (rata-rata 37,4OC)

140-180/menit, turun menjadi 80 dengan anastesi, naik sampai 230 bila stress

600-650/menit, turun menjadi 350 dengan anastesi, naik srunpai 750 bila stress

10 puting, 3 pasang di daerah dada, 2 pasang di daerah perut

1 grarnrhari

Terutama melalui usus hingga umur 17 hari, juga melalui kantung kuning tel&

(Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo 1988)

Organ Limforetikular

Organisme terlindung dari penyusupan pengamh luar (eksogen) serta pengamh dalam (endogen) yang merugikan dan berbentuk makromolekul oleh sistem kekebalan. Sistem ini mencakup semua organ limfatik seperti t h u s , tonsil,

limpa, kelenjar getah bening dan hemal node, juga jaringan limfoid yang menyebar dan folikel getah bening dalam stroma pada berbagai organ tubuh. Limfosit yang bersirkulasi, dan limfosit jaringan serta sel plasma yang tersebar luas dalam tubuh organisme juga berperan dalam sistem perlindungan tubuh

[image:20.518.46.458.103.779.2]
(21)

Walaupun antigen terjerat da.11 diproses oleh makrofag dari sistem fagositik mononuklear, tetapi penyusunan tanggap kebal adalah fimgsi limfosit. L i f o s i t ini

adalah sel yang relatif polos bulat kecil yang merupakan tipe sel yang paling banyak terdapat di dalam organ seperti limpa, simpul limfe, dan timus. Fungsi

utama limfosit adalah produksi antibodi atau sebagai efektor khusus dalam menanggapi antigen terikat makrofag. Proses tanggap kebal ini terjadi di dalam

organ limfoid (Tizard 2004).

Selanjutnya akan dijabarkan beberapa dari organ sistem limforetikular yaitu timus sebagai organ limfoid primer dan limpa dan limfonodus sebagai organ limfoid sekunder.

a. Timus

Timus pada hewan piara terdapat sepasang, terletak di daerah mediastinum rongga dada. Pada hewan yang baru lahir timus relatif besar dan menjelang dewasa kelamin secara berangsur-angsur mengecil (mengalami involusi) dan digantikan oleh jaringan lemak (Hartono 1989). Tetapi sisa timus yang terdapat pada ruang toraks tetap tinggal pada beberapa hewan sampai tua. Disamping involusi yang berhubungan dengan umur ini, timus juga mengalami atrofi cepat sebagai reaksi terhadap stress, sehingga hewan yang mati sesudah menderita sakit yang lama mungkin mempunyai timus yang sangat kecil (Tizard 2004).

Timus terdiri dari sejumlah lobus berisi sel epitel yang tersusun longgar

(Tizard 2004), dan tiap lobus t h u s dikelilingi oleh jaringan ikat bempa kapsula yang berhubungan dengan septa tipis yang membaginya secara tidak sempurna menjadi lobulus. Tiap lobulus timus terbagi atas korteks dan inedula. Lazimnya medula tiap lobulus berhubungan satu dengan lainnya, ini khas untuk timus

(Hartono 1989).

(22)

Limfoblast dan lilnfosit medium menguasai jalinan retikulum epitel tepi, keduanya mengalami mitosis dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi limfosit

kecil yang menduduki bagian dalam korteks. Makrofag yang mengandung pecahan limfosit yang difagositosis terdapat di sekitar medula. Karena korteks mengandung lebih banyak limfosit daripada medula, korteks selalu mengambil warna lebih gelap daripada medula (Gambar 3).

Medula. Beberapa sel retikulum epitel dalam medula memiliki struktur yang sama dengan korteks meskipun yang lain jauh lebii besar dan keadaan epitel lebih jelas. Medula lebih banyak mengandung mitoko~ldria, rER yang lebih ekstensif, dan apparatus golgi, juga butir-butirnya memberikan aktivitas sekresi. Sel-sel epitel medula khas membentuk benda-benda timus atau benda Nissl, terdiri dari satu atau beberapa sel yang mengalami degenerasi atau berkapur, dikeliiingi oleh sel-sel pipih bertanduk dengan susunan konsentris yang mengandung banyak

desmosom dan berkas filament mikro. Sel-sel jalinan retikuler adalah limfosit kecil dangan sedikit makrofag (Delmann 1989).

Gambar 3 Timus, K: Korteks, M: Medula. Sumber: Delmann dan Eurell(2006).

Fungsi timus belum banyak diketahui secara pasti. Beberapa dugarul diantaranya menghasilkan timosit atau l i i o s i t . Timus sendiri tidak menghasilkan antibodi, karena korteks bersifat impermeabel terhadap antigen. Antibodi dihasilkan oleh sel plasma yang berkembang dari limfosit B, proses ini berlangsung berkat kolaborasi dengan limfosit T (Hartono 1989).

(23)

yang baru lahir dibuang, maka terjadi beberapa akibat penting. Pembuangan timus

(timektorni) yang dilakukan pada mencit benunur sehari menyebabkan hewan ini sangat lebih peka terhadap infeksi. Pemeriksaan yang lebih seksama memperlihatkan bahwa terdapat p e n m a n jurnlah linlfosit yang beredar dalam peredaran darah dan sangat berkurangnya kemarnpuan hewan untuk menimbulkan beberapa jenis tanggap kebal. Khususnya, kemampuan untuk menolak cangkok jaringan asing sangat berkompromi yang menggambarkan hilangnya sama sekali tanggap kebal berperantara sel. Tanggap kebal yang diperantarai antibodi juga tertekan, tapi hanya terbatas (Tizard 2004).

Kelainan pada t h u s yang mengakibatkan imunodefisiensi bisa disebabkan oleh agen infeksius, toksin, neoplasma, dan malnutrisi (Searcy 1995). Beberapa kelainan yang dapat terjadi pada timus antara lain hipoplasia, atropi, hiperplasia,

dan neoplasma (Jones et al. 2006).

b. Limpa

Limpa adalah jaringan limfoid yang membentuk organ dan paling besar dalam tubuh hewan (Hartono 1989). Menurut Tizard (2004), limpa berfungsi

menyaring darah. Disamping itu, limpa menyimpan eritrosit dan trombosit dan melaksanakan eritropoiesis pada fetus. Karena itu, limpa terbagi atas dua bagian: satu bagian untuk menyimpan eritrosit, untuk penjeratan antigen dan untuk eritropoiesis, yang disebut pulpa merah dan bagian yang lain yang di dalamnya terjadi tanggap kebal yang disebut pulpa putih (Gambar 4)

Gambar 4 Limpa, W: Pulpa Putih, R: Pulpa Merah. Sumber: Delmann dan Eurell(2006).

(24)

Pulpa merah. Sebagian besar dari pulpa limpa benvama merah, dan mengandung banyak darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa merah terdiri dari arteriol pulpa, kapiler selubung serta kapiler terminal, sinus venous atau venula, dan bingkai limpa (Delmann 1989).

Pulpa putih. Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar di

seluruh limpa sebagai nodullus limpa dan seperti selubung limfatik periarterial. Pada kedua lokasi, serabut retikuler dan sel retikuler membentuk jalinan stroma dalam tiga dimensi mengandung pecahan limfosit, makrofag, dan sel-sel aksesori lain mirip dengan yang terlihat pada kelenjar getah bening. Sel-sel utama dalam

nodulus adalah limfosit B, sedangkan limfosit T menempati daerah yang langsung mengitari arteria nodularis (Delmann 1989).

Daerah marginal. Pada perrnukaan pulpa putih, retikulum membentuk beberapa lapis konsentris, yang langsung berbatasan dengan lapis terakhir adalah daerah marginal. Di daerah ini banyak terdapat makrofag dan populasi limfosit

khusus. Semua unsur dari sel darah, demikian juga antigen, mengadakan kontak dengan makrofag dan limfosit setempat. Partikel yang mengambang dalam plasma darah difagositosis secara efisien oleh makrofag, dan merupakan kondisi ideal untuk penampilan antigen @elmanu 1989).

Ada beberapa teori yang perlu diperhatikan mengenai hubungan antara arteriol dan venula pada limpa. Pertama adalah teori terbuka, yaitu darah akan mengalir dari terminal arterial ke luar dalam pulpa merah, dari sini akan menemukan permulaan dari aliran venous. Kedua adalah teori tertutup, yaitu darah dari arteriola terminal masuk sinusoid atau sinus venous, valvulae aferen dan eferen dari sinus venous secara periodik membuka dan menutup, ha1 ini memungkinkan terjadiiya proses p e n g a l i i , pengisian, penyimpanan, dan

pengosongan dari sinus venous, pada proses penyimpanan sinus membesar, makrofag mempergunakan kesempatan untuk mengangkut pecahan eritrosit.

(25)

Menurut Jones et al. (2006), perubahan yang sering terjadi pada limpa berhubungan dengan ukurannya. Pembesaran limpa bisa diakibatkan oleh beberapa mekanisme yang berbeda, yaitu gangguan sirkulasi, penyakit inflamasi, penyakit metabolik, dan neoplasia. Pada kondisi septisemia, terjadi pembesaran limpa dengan kongesti akut dan degenerasi dari folikel limfoid serta hiperseluler dari area sinus (Jubb et al. 1993).

c. Limfonodus (Kelenjar Getah Bening)

Kelenjar getah bening atau limfonodus adalah satu-satunya jaringan limfoid yang terdapat di antara aliran limfe (Hartono 1989), menyaring limfe sebelum kembali memasuki aliran darah. Organ ini paling terorganisasi dari s e l d organ limfatik, dan hanya satu-satunya yang memiliki pembuluh limfe

aferen, pembuluh limfe eferen, dan sinus (Delmann 1989).

Bentuk kelenjar getah bening mirip kacang (Hartono 1989), organ ini

memiliki sedikit lekuk yang disebut hillus dimana pembuluh darah dan pembuluh limfe masuk atau keluar kelenjar getah bening. Parenkim dibagi dalam korteks yang terdiri dari folikel getah bening dan jaringan limfatik yang menyebar, dan medula yang terdiri dari jaringan limfatik membentuk bingkai medula (medullary cords). Foliiel getah bening menjamin suatu mekanisme yang unik d i i a n a limfosit mampu memberikan respon terhadap antigen yang berkembang dalam limfe (Delmann 1989).

(26)

Fungsi kelenjar getab bening antara lain berpartisipasi dalam menghasilkan limfosit, terbukti banyak terjadi mitosis dari liioblast, terutama di pusat

germinativum. Dengan label radioaktif temyata 95% dari limfosit yang meninggalkan kelenjar getah bening adalah limfosit sirkulasi, artinya berasal dari luar. Hanya 5% yang mungkin berasal dari kelenjar getah bening. Limfosit keluar dari aliran darah melalui venula pasca kapilar (postcapillary venules) di daerah

subkortikal dari korteks, masuk aliran limfe.

Kelenjar getah bening merupakan penghasil utama antibodi. Banyak cara

antigen ditangani tubuh, dengan cara dikeluarkan atau ditangkap oleh makrofag dan dihancurkan dengan enzim lisosom. Cara lain dengan ditangkap oleh

mikrofag untuk membangkitkan reaksi, agar limfosit berdiferensiasi menbentuk sel plasma (Hartono 1989). Kejadian hiperplasia reaktif berhubungan erat dengan limfadenitis. Limfadenitis akan tampak mengikuti proses inflamasi. Tanpa

inflamasi, hewan tidak akan dapat bertahan hidup dalam interaksi dengan lingkungan yang bermikroba, benda asing, trauma, dan neoplasma (Jones et al.

2006). Menurut Slauson dan Cooper (1990), peradangan pada limfonodus yang menghambat aliran l i i a t i k dapat menyebabkan edema. Lesio patologis pada limfonodus bisa disebabkan oleh trauma, luka operasi, neoplasma, maupun inflamasi.

Leukosit

Leukosit terdiri dari limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Semuanya ikut berpartisipasi dalam pertahanan tubuh, tetapi masing-masing memiliki kerja kinetik dan fungsi yang berdiri sendiri (Duncan 1986). Menurut Slauson dan Cooper (1990), ada tiga tipe dari sel darah putih yang mengambil bagian dalam reaksi inflamasi yaitu leukosit polimorfonuklear atau granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil), monosit dan makrofag, serta limfosit dan plasma sel.

(27)

berdiferensiasi. Ada beberapa kategori limfosit yaitu, limfosit kecil, limfosit sedang, dan limfosit besar. L i f o s i t kecil dan sedang bersirkulasi dalam darah, sedangkan limfosit besar ditemukan pada kelenjar getah bening (Jain 1993).

Gambar 6 Limfosit (panah hijau). Sumber: Delmann dan Eurell(2006).

Monosit. Monosit adalah jenis yang k e d ~ ~ a dari leukosit aganulosit. Sel ini memiliki sitoplasma yang lebih banyak dari limfosit dan memiliki inti berbentuk seperti ginjal atau tapal kuda (Gambar 7). Sel ini akan terstimulasi jumlahya jika terjadi infeksi atau peradangan kronis, memiliki masa edar yang singkat dalam sirkulasi darah kemudian masuk ke dalam jaringan dan bentbah jadi makrofag (Guyton 1995). Monosit bersifat motil dan berpindah dengan gerakan amuboid ke daerah yang mengalami infeksi kronis untuk terjadinya respon fagosit (Ganong 1999).

(28)

Neutrofii. Neutrofil adalah leukosit yang diproduksi di sumsum tulang dan tennasuk golongan polimorfonuklear, memiliki inti yang berlobulasi, bentuk dewasa mempunyai 3 sampai 5 inti, kromatin-kromatin halus di sitoplasma benvama merah muda sampai ungu (Gambar 8). Menurut Tizard (2004), neutrofil merupakan salah satu basis pertahanan tubuh dari serangan penyakit yang dapat mengakibatkan infeksi atau peradangan. Neutrofil juga dapat meningkat dalam kondisi stress tetapi sulit dibedakan dengan respon inflamasi (Jackson 2007).

Gambar 8 Neutrofil @anah hijau).

Eosinofil. Menurut Hartono (1989), eosinofil memiliki dua atau tiga gelambir, jalinan kromatin pekat tanpa nukleolus, butir-butir spesifiknya besar dan bersifat asidofil (Gambar 9). Eosinofil memiliki dua fungsi istimewa. Pertama, menyerang dan menghancurkan kutikula lama cacing. Kedua, dapat menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dalam reaksi hipersensitifitas tipe 1 (Tizard 2004).

(29)

Basofil. Menurut Hartono (1989), eosinofil memiliki inti bergelambir dua dengan wana agak pucat, butir-butimya tidak uniform dan mengambil warna biru

tua sampai ungu, cukup pekat dan sering menutup wanla inti yang agak cerah (Gambar 10). Basofil diproduksi di dalam sumsum tulang. Basofil memiliki fungsi yang sama dengan sel mast, yaitu membangkitkan proses peradangan akut pada tempat deposisi antigen (Tizard 2004).

Gambar 10 Basofil (panah hijau). Sumber: Delmann dan Eurell(2006).

Imunomodulator

Imunomodulator adalah bahan atau zat-zat yang dapat menyebabkan alterasi spesifik maupun alterasi urnum dari respon imun. Hal ini bisa disebabkan ole11 respek sistem imun terhadap antigen spesifik maupun antigen umum. Selain itu dapat pula diinduksi oleh radiasi ionisasi, antimetabolisme spesifik, berbagai jenis agen antimitotik, dan serum antiliinfosit (Singleton d m Sainsbury 2001). Berdasarkan efek yang ditimbulkannya, imunomodulator terbagi menjadi imunostimulan dan imunosupresan. Imunostimulan adalah bahan (obat dan

nutrisi) yang dapat meningkatkan sistem imun dengan menginduksi atau meningkatkan aktifitas dari komponen-komponennya. Salah satu contoh dari obat imunostimulan adalah leukine dan leyamisole.

(30)

imun dari antigen lain atau dapat meningkatkan komponen dari sistem imun tanpa

sifat antigenik spesifik, seperti adjuvant. Dalam imunologi, adjuvant adalah agen yang dapat menstimulasi sistem imun dan meningkatkan respon terhadap vaksin

tanpa memiliki efek antigenik spesifik. Cara ke rja adjuvant belum diketahui secara pasti (Anonimus 2008~).

Menurut Tizard (2004), tidak semua antigen bisa membangkitkan respon imun. Agar dapat bersifat antigenik, molekul hams besar, walaupun molekul kecil dapat berlaku sebagai antigen, molekul besar akan jauh lebih antigenik. Misalnya albumin serum dengan berat molekul lebii dari 6000 Dalton akan lebih antigenik dibandingkan dengan angiotensin yang memiliki berat molekul 1031 Dalton. Antigen juga harus memiliki kompleksitas susunan kimiawi yang tinggi, makromolekul dengan struktur yang kompleks seperti protein merupakan antigen yang jauh lebih baik daripada polihner besar sederhana dengan sub unit bendang yang identik. Selain itu antigen juga harus memiliki sifat dasar bahan asing sehingga dapat dikenal sebagai bukan unsur tubuh yang normal, memiliki kelarutan yang tinggi dalam tubuh, serta dapat didegradasi oleh makrofag dan mikrofag.

Sistem imun terdiri dari dua bagian besar, yaitu sistem imun non spesifik dan sistem imun spesifk. Sistem

imun

non spesifik merupakan garis pertahanan pertama melawan invasi organisme asing, sedangkan sistem imun spesifik merupakan garis pertahanan kedua dan juga dapat memberikan perlindungan dalam melawan invasi ulang dari patogen yang sama. Masing-masing dari sistem imun ini terdii dari komponen seluler dan humoral yang memiliki fungsi pertahanan (Mayer 2008).

Sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk bereaksi melawan invasi

organisme dimana sistem imun non spesifik terlibat di dalam proses tersebut, sistein imun yang non spesifik selalu ada dan siap bermobilisasi ke tempat

(31)

BAHAN

DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap kegiatan, yaitu persiapan hewan penelitian dan pembuatan histopatologi organ dengan pewarnaan Haematoxylin Eosin

(HE)

serta pembuatan preparat ulas darah sampai pengamatan hasil. Kegiatan tahap pertama dilaksanakan di Laboratorium Lapang (kandang C) bagian Non-Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Petemakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor mulai Desember 2007 sanlpai dengan Maret 2008. Kegiatan tahap kedua dilaksanakan di bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor mulai Maret sampai dengan

Juli 2008.

Hewan Coba

Hewan percobaan yang digunakan adalah 9 ekor mencit (Mus musculus) putih. Penelitian ini menggunakan organ sistem imun yaitu limpa, timus, dan limfonodus serta darah dari mencit (Mus musculus) betina 7 hari post partus. Sampel diambil dari tiga ekor mencit dari masing-masing perlakuan, yaitu kontrol, perlakuan dengan pemberian sop Torbangun 5% dan pemberian d a m Torbangun kering 5% pada betina bunting.

Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan selama masa pra-pemeliharaan atau persiapan kandang yaitu deterjen dan alkohol 70% yang dipergunakan sebagai desinfeksi, serta sekam padi untuk alas kandang. Pada masa adaptasi diberikan

(32)

Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sayur sop daun Torbangun dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi Bahan yang Digunakan dalam Pembuatan Sop Daun Torbangun

No. Bahan Jumlali

1. Daun Torbangun segar 250 gr

2. Santan 575 ml

3. Bawaig putih 2,4 gr

4. Bawangmerah 9,94 gr

5. Kemiri 9 2 gr

6. Kunyit 1,79 gr

7. Jahe L98 gr

8. Laos 1,89 gr

9. Sereh 1 tangkai

10. Merica 043 gr

11. Garam Secukupnya

12. Airjeruk nipis 2 sendok makan Total berat formula

*

875 m

Selanjutnya bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologis dan preparat ulas darah masing-masing adalah Buffer Ne~~tral

Formalin (BNF) lo%, alkohol konsentrasi bertingkat (70-loo%), xylol (I dan II), pardm histoplast, larutan pewarna HE (Hematoxylin Eosin), dan Giemsa.

Afat Penelitian

Peralatan yang digunakan untuk pemeliharaan mencit (Mus musculus) adalah kandang berupa baki plastik berukuran (36 x 28 x 12) cm dengan kawat penutup, timbangan digital, botol air minum, tempat pakan, sarung tangan, masker, sikat baki, sikat botol, kain lap, spoit, alat pengukur suhu dan kelembapan. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan pakan adalab mixer, drum dyer, mesin pres kaleng, mesin pembuatpellet dan oven.

[image:32.518.52.458.65.774.2]
(33)

Prosedur Kerja

a. Pembuatan Sop Daun Torbangun

Pembuatan sayur sop d a m Torbangun dilakukan dalam dua proses, yaitu proses pemasakan daun Torbangun menjadi sop, dan proses pengemasan sop daun Torbangun ke dalam kemasan kaleng dan disimpan selama dua minggu. Resep pembuatan s a p sop daun Torbangun diperoleh berdasarkan hasil diskusi dengan seorang wanita suku Batak yang mengerti proses pembuatan sayur sop tersebut.

Proses pembuatan sop daun Torbangun adalah sebagai berikut:

1. Daun Torbangun disortasi dan dipisahkan dari tangkai, kemudian ditimbang.

2. Bumbu-bumbu dibersihkan atau dikupas kemudian ditimbang dan dicuci. 3. Kemiri dan kmyit disangrai atau dibakar terlebih dahulu sebelum

diialuskan.

4. Daun diremas-remas dengan menggunakan garam dan diperas untuk mengurangi bau langu dan cairan hitarn dari dam. Setelah itu, dicuci bersih dan ditiriskan.

5. Bumbu-bumbu dihaluskan. Setelah itu, santan dimasak bersama bumbu, sereh yang telah ditumbuk, dan Butil Hidroksi Toluen (BHT) sebanyak 5 mg per kilogram daun Torbangun pada suhu 75OC

.

Lalu daun Torbangun dimasukkan dan dimasak hingga matang.

6. Selanjutnya dikemas dalam kemasan kaleng kedap udara dan disimpan dalam suhu mang selama dua minggu.

7. Setelah disimpan selama 14 hari, sop diblender agar menjadi halus, kemudian dikeringkan hingga menjadi tepung menggunakan drum dryer yang selanjutnya dibuat menjadi pellet.

b. Pembuatan Daun Torbangun Kering

(34)

c. Pembuatan Pakan

Pakan perlakuan terdiri dari pakan ayam komersial dan dam Torbangun dengan taraf sebagai berikut:

K : Pakan (kontrol)

S : Pakan (95%)

+

sop daun Torbangun (5%) D : Pakan (95%)

+

daun Torbangun kering (5%)

d. Pemeliharaan Mencit

Kandang dan semua peralatan yang akan digunakan dicuci bersih dengan menggunakan deterjen, disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%, kemudian alas kandang dilapisi dengan sekam padi. Sebelum diberi perlakuan, selama satu minggu mencit diadaptasikan dalam kandang percobaan. Pemberian obat cacing dilakukan pada hari pertama dan antibiotik pada hari kedua sampai hari keempat. Pemberian ini dimaksudkan agar mencit bebas dari penyakit bakterial maupun cacing yang ada dalam tubuh yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mencit sebelum diberi perlakuan. Pemberian dilakukan pada hari pertama agar akibat dari stress yang ditimbulkan dari pemindahan tempat, interaksi dengan lingkungan dan teman baru serta akibat dari obat yang diberikan dapat ditekan seminimal mtmgkin sehingga waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi lebii singkat. Kemudian masing-masing satu ekor mencit jantan dan tiga ekor betina disatukan dalam satu kandang.

Selanjutnya pemisahan antara mencit jantan dengan mencit betina dilakukan setelah mencit betina bunting. Pemberian ransum perlakuan dimulai pada hari ke-14 setelah bunting dimana sebelum diberikan perlakuan mencit mengkonsumsi pakan ayam komersial atau tanpa penambahan daun Torbangun.

Perlakuan diiulai pada hari ke-14 setelah bunting karena merupakan waktu yang paling tepat dan memberikan efek positif tertinggi terhadap daya reproduksi mencit (Wardani 2007).

(35)

pipa aluminium (supaya tidak dimakan oleh mencit), dan mencit menghisap air

melalui pipa tersebut.

e. Pembuatan Preparat Histopatologis

Pemanenan organ sistem imun mencit dilakukan pada hari ke-7 post-partus dengan mematikan mencit. Untuk pengambilan sampel organ lirnforetikular dilakukan dengan mengambil organ l h p a , timus, dan limfonodus mencit pada ketiga induk tiap-tiap perlakuan. Organ yang telah diambil, kemudian dipotong

tipis dengan ketebalan 0,5 cm dan dimasukkan ke dalam larutan BNF 10%. Selanjunya diproses secara rutin untuk pembuatan sediaan histopatologi yang terdiri dari dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding, sectioning dan staining.

Dehidrasi merupakan proses penarikan air dari jaringan dan meiicegah terjadmya pengerutan terhadap sampel. Sampel jaringan didehidrasi di dalam alkohol bertingkat (alkohol 70, 80, 90, 95%, dan alkohol absolut), xylol I, xylol 11, serta paraffin I dan I1 dengan menggunakan alat automatic tissue processor selruna 2 jam. Clearing atau penjernihan adalah proses intermedier antara proses dehidrasi dengan proses embedding dengan paraffin. Xylol biasanya digunakan sebagai zat dalam proses clearing, karena xylol dapat bercampur dengan air. Selanjutnya dilakukan tahap embedding atau pembuatan blok paraffin.

Tahap berikutnya adalah sectioning, yaitu pemotongan jaringan menggunakan mikrotom yang terdiri dari tiga tahap: tahap pemotongan kasar, tahap pemotongan halus dan tahap pengembangan lembaran potongan dalam air

hangat (40-45' C). Blok paraffin yang telah dipotong diletakkan pada gelas objek dan dishpan dalam inkubator (37" C) selama 24 jam hingga jaringan melekat sempurna. Untuk mempermudah penglihatan dan pengenalan dalam mikroskop, maka dilakukan staining (pewmaan jaringan).

(36)

lalu dicelupkan ke dalam larutan Lithium Karbonat (10-15 menit) lalu direndam dalam air kran selama 2 menit. Sediaan kemudian dicelup ke dalam pewarna eosin (2-3 menit) dan dicuci kembali dengan air kran (30-60 detik) untuk menghilangkan k e l e b i i zat warna. Selanjutnya dilakukan rehidrasi dengan larutan alkohol95% sebanyak 10 celupan, alkohol absolut I sebanyak 10 celupan, alkohol absolut I1 (2 menit), xylol I (1 menit), dan xylol I1 (2 menit). Kemudian sediaan dikeringkan dan ditutup dengan cover glass menggunakan bahan perekat

permount.

f. Pembuatan Preparat Ulas Darah

Untuk pembuatan preparat ulas darah dilakukan prosedur sebagai berikut :

1. Object glass direndam lebih dahulu dalam alkohol 70% sebelum dipergunakan, kemudian dibersihkan dengan kapas atau kain lap yang bersih, kering dan bebas lemak.

2. Mencit dimasukkan dalam wadah yang tertutup rapat dengan eter overdosis.

3. Darah diambil dari jantung semua mencit dari setiap perlakuan, diteteskan sebanyak satu tetes pada satu sisi object glass.

4. Kemudian satu object glass lain yang masih baik (tepinya masih rata) diletakkan pada permukaan object glass pertama dengan membentuk sudut kira-kiia 30-45".

5. Object glass kedua ditarik sampai menyentuh tetes darah, darah dibiarkan menyebar sepanjang tepi object glass kedua.

6. Object glass kedua didorong sepanjang permukaan object glass pertama dengan kecepatan yang cukup sehingga terbentuk lapisan darah yang tipis dan merata.

(37)

Setelah dibuat preparat ulas, kemudian dilakukan pewamaan Giemsa dengan cara ke rja sebagai berikut :

1. Metil alkohol disiapkan dalam cawan pewamaan.

2. Preparat ulas darah diiasukkan ke dalam metil alkohol tadi dan dibiarkan selama 3-5 menit.

3. Setelah 3-5 menit preparat diangkat dan dikeringkan di udara.

4. Setelah kering kemudian dimasukkan ke dalam larutan pewama giemsa selama 15-60 menit.

5. Kemudian dicuci dengan air dan dikeringkan di udara.

g. Pengamatan Sediaan Histopatologi dan Ulas Darah

Data diperoleh dengan menhtung atau mengukur parameter-parameter tertentu pada sediaan histopatologi secara kuantitatif. Pengukuran dan penghitungan luas bidang pandang dilakukan menggunakan video mikrometer (Olympus).

Organ timus dilakukan pengukuran ketebalan korteks dan medulanya, serta dihitung kepadatan sel timositnya. Untuk membandingkan ketebalan korteks antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan maka dilakukan pengukuran tebal korteks pada 15 titik yang berbeda, sedangkan untuk membandiigkan ketebalan medula dilakukan pengukuran tebal medula pada 2 titik yang berbeda yaitu secara vertikal dan horizontal dari masing-masing sampel tiap kelompok dengan perbesaran 40x. Kemudian, untuk membandingkan kepadatan sel timosit antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan maka dilakukan penghitungan

jumlah sel timosit dari masing-masing sampel tiap kelompok dengan perbesaran 100x. Penghitungan dilakukan pada bagian korteks timus di 10 lapang pandang

dengan luas lapang pandang 22.56pm2. Data yang didapat kemudian dikonversikan dalam 1000pm2.

(38)

diameter folikel antara kelonlpok kontrol dan kelompok perlakuan maka dilakukan pengukuran diameter folikel dari masing-masing sampel tiap keloinpok dengan perbesaran 40x. Untuk membandiigkan kepadatan sel limfoid antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan maka dilakukan penghitungan jumlah sel limfoid dari masing-masing sampel tiap kelompok dengan perbesaran 100x.

Pengbitungan dilakukan pada bagian pulpa putih (folikel) untuk lirnpa dan folikel yang terdapat pada korteks untuk limfonodus di 10 lapang pandang dengan luas lapang pandang 22.56pm2. Data yang didapat kemudian dikonversikan dalam

1000 pmz.

Pada preparat ulas darah dilihat perubahan pada diferensiasi sel darah. Untuk membandingkan jumlah leukosit antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan maka dilakukan penghitungan leukosit dari masing-masing sampel di

10 lapang pandang dengan luas lapang pandang 22.56pm2. Hasil yang didapat kemudian dikonversikan dalam 1000 pmZ.

h. Analisa Data

(39)

HASIL

DAN PEMBAaASAN

Perubahan Histopatologi pada Organ Timus

Hasil pengukuran ketebalan korteks dan medula timus pada tiap perlakuan disajikan dalam bentuk diagram batang (Gambar ll), dan hasil uji statistiknya

ditunjukkan pada Tabel 5.

1

Ketebalan Korteks dan Medula

s korteks

rnedula

[image:39.514.41.429.48.602.2]

Kontrol SOP Daun kering perlakuan

Gambar 11 Diagram Perbandimgan Ketebalan Korteks dan Medula.

Tabel 5 Perbandingan Ketebalan Koneks d m Medula

Perlakuan Ketebalon Koneks (ltm) Ketebalan Medula (pm)

Kontrol 13.21h4.55a 51 .45h59.7Sa

SOD daun Torbangun 5%

-

12.59*4.55= 80.65h66.46" Daun Torbangun kering 5% 14.39*5.503 66.70~66.46" Keterangan : Iluruf superscript yang berbeda pada kolorn yang s m a rnenunjukkan perbedaan yang
(40)

atas bahwa dari ketiga kelompok baik kontrol, sop dam Torbangun 5% rnaupun dam Torbangun kering 5% menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05).

Menurut Searcy (1995), timus adalah organ limfoepitelial yang paling penting dalam perkembangan dan fimgsi dari sistem imun, terutama pada bagian korteksnya. Karena menurut Sarnuelson (2007), timosit yang berasal dari sumsum tulang menjadi immunocompetent, yaitu mampu menyusun respon imun di dalam korteks. Dari hasil tersebut, mengindikasikan bahwa t h u s mencit yang diberi daun Torbangun kering 5% memiliki kecenderungan terjadi hiperplasia. Hiperplasia adalah peningkatan ukuran dan kepadatan sel (Cheville 2006). Menurut Jubb et a1 (1993), hiperplasia timus pada hewan dewasa biasanya terpusat pada korteks.

Selanjutnya hasil penghitungan jumlah sel timosit pada tiap perlakuan disajikan dalam bentuk diagram batang (Gambar 12), dan hasil uji statistiknya

ditunjukkan pada Tabel 6.

Jumlah Sel Timosit per

1000

vm2

Luas Korteks

.-

Kontrol SOP Daun kering

[image:40.514.44.445.0.798.2]

perlakuan

Gambar 12 Diagram Perbandingan Jumlah Sel Timosit Korteks.

Tabel 6 Perbandingan Jumlah Sel Timosit

Perlakuan Jumlah Sel Timosit per 100OPm2

Kontrol 10336.88*885.OOc

SOD daun Torbanmn

.,

5% 9450.35*833.94~ Daun Torbangun krring 5% 7872,34*75 1 .14a
(41)

Dalam diagram batang di atas dapat dilihat bahwa kelompok yang diberi perlakuan baik sop daun Torbangun 5% maupun d a m Torbangun kering 5% mengalami penurunan jumlah sel tunosit bila dibandingkan dengan kontrol. Keseimbangan dari produksi dan distribusi sel timosit sangat penting dalam homeostasis imun. Penurunan jumlah timosit pada korteks kemungkinan terjadi karena adanya gertakan dari antigen. Antigen pertama kali masuk melewati epitel, masuk ke aliran limfatik, mengalir ke kelenjar getah bening regional dan bersirkulasi dalam peredaran darah (Cheville 2006). Apabila ada rangsangan antigen, sel timosit yang teraktivasi berpindah dari korteks ke jalur medula lalu keluar ke peredaran darah melalui saluran limfe eferen (Searcy 1995).

Dari tabel di atas dapat dilihat baliwa jlunlah sel timosit pada kelompok perlakuan baik sop d a m Torbangun 5% maupun daun Torbangun kering 5% menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kelo~npok kontrol (W0.05). Rataan jumlah sel timosit kelompok sop lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan kelompok d a m kering. Dengan demikian, timus yang diberi perlakuan dalam kondisi reaktif. Pemberian daun Torbangun kering menimbulkan kondisi yang lebih reaktif daripada dalam bentuk sop. Pada pembuatan sop diberikan penambahan-penambahan bahan lain, seperti bumbu-bumbu dan antioksidan BHT (Butil Hidroksi Toluen) yang mungkin dapat menetralkan khasiat dari daun Torbangun. Selain itu proses pemasakan menjadi sop kemungkinan juga dapat menghilangkan bahan aktif yang terkandung dalam daun Torbangun. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa pemberian dam Torbangun dalam bentuk sop dan daun kering dapat menyebabkan dilepaskannya sel timosit ke peredaran darah. Dengan demikian, walaupun timus dari kedua perlakuan tidak mengalami hiperplasia namun dalam kondisi yang reaktif.

Perubahan Histopatologi pada Organ Lirnpa

(42)

Jumlah Folikel Limpa per 1000

pm2 Satuan Luas

-

E

a Kontrol SOP Daun kering

.-

perlakuan

Gambar 13 Diagram Perbandingan Jumlah Folikel Limpa.

Tabel 7 Perbandingan Jumlah Folikel Limpa.

Perlakuan Jumlah Folike1/1000~m~

Kontrol 1.18*0.25"

Sop dam Torbangun 5% 1.037*0.28'

Daun Torbangun kering 5% 0.89*0.23"

Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

Daliun diagram batang di atas dapat dilihat bahwa kelompok yang diberi perlakuan baik sop daun Torbangun 5% maupun dam Torbangun kering 5% mengalami p e n m a n jumlah folikel bila dibandingkan dengan kontrol. Namun setelah diuji secara statistik, dapat dilihat dari tabel di atas bahwa dari ketiga kelompok baik kontrol, sop d a m Torbangun 5% maupun daun Torbangun kering 5% menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (PB0.05). P e n m a n jumlah folikel kemungkiian dapat terjadi karena adanya peningkatan diameter dari folikel tersebut, sehingga beberapa folikel bergabung menjadi satu.

Selanjutnya hasil pengukuran diameter folikel limfoid pada tiap perlakuan disajikan dalam bentuk diagram batang (Gambar 14), dan hasil uji statistiknya

(43)

- .- --

Diameter Folikel Limpa

Kontrol SOP Daun kering

[image:43.514.55.453.58.798.2]

perlakuan

Gambar 14 Diagram Perbandingan Diameter Folikel Limpa.

Tabel 8 Perbandingan Diameter Folikel Limpa

Sop daun Torbangun 5% 13.93i3.3sb

Daun Torbangun kering 5% 14.84k4.93~

Ketenngan : Hwuf superscript yang berbeda pada kolom yang sanla menunjukkan perbedaau yang nyata (P<0.05)

Dalam diagram batang di atas dapat diliiat bahwa kelompok yang diberi perlakuan baik sop d a m Torbangun 5% maupun daun Torbangun kering 5% mengalami peningkatan diameter folikel bila dibandingkan dengan kontrol. Dari tabel dapat dilihat bahwa diameter folikel pada kelompok perlakuan baik sop d a m Torbangun 5% maupun dam Torbangun kering 5% menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kelompok kontrol (P<0.05). Akan tetapi antar perlakuan yaitu sop d a m Torbangum 5% dan daun Torbangum kering 5% tidak berbeda nyata (Pz0.05). Menurut Tizard (2004), apabila ada antigen yang masuk, pusat germinativum akan mengalami hiperplasia yang akan menyebabkan diameter folikel meningkat. Pemberian daun Torbangun dalam bentuk sop dan daun kering dapat menginduksi te rjadinya hiperplasia folikel.

(44)

hasil penghitungan jumlah sel limfoid pada tiap perlakuan dalam bentuk diagram batang (Gambar 15), dan hasil uji statistiknya ditunjukkan pada tabel 9.

Jumlah Sel Limfoid Limpa per

1000

vm2 satuan luas

Kontrol SOP Daun kering

[image:44.514.41.442.52.697.2]

perlakuan

Gambar 15 Diagram Perbandingan Jumlah Sel L i o i d Limpa.

Tabel 9 Perbandingan Jumlah Sel Limfoid Limpa

Perlakuan Jumlah Sei Limfoid per 1 0 0 0 ~ m ~

Kontrol 11493.79i1533.97~

SOD daun Torbangun 5%

-

9847.81i1724.59a Daun Torbangon kcring 5% 10534.87~1373.66'

Keterangan : Humf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pcrbedmn yang nyata (P<o.o~)

(45)

kering menyebabkan dilepaskannya sel limfosit ke sirkulasi darah. Dengan demikian secara kuantitatif dan uji statistik, pemberian daun Torbangun dalam bentuk sop clan daun kering dapat menginduksi folikel limfoid limpa mengalami hiperplasia dan dalam kondisi reaktif.

Perubahan Histopatologi pada Organ Limfonodus

[image:45.514.39.437.32.678.2]

Hasil penghitungan jumlah folikel pada tiap perlakuan disajikan dalan bentuk diagram batang (Gambar 16), dan hasil uji statistiknya ditunjukkan pada Tabel 10.

Jumlah Folikel Limfonodus

per1000 vmZ Satuan Luas

3

.-

Kontrol SOP Daun kering

perlakuan

Gambar 16 Diagram Perbandingan Jumlah Folikel Limfonodus.

Tabel 10 Perbandigan Jumlah Folikel L i o n o d u s

Perlakuan Ju~nlah Folike1/1000prn'

Kontrol 2.90

Son daun Torbanrmn 5%

-

1.24

Daun Torbangun kering 5% 1.12

Keterangan : Hasil tidak dapat diuji secara statistik.

(46)

berukwan sangat kecil pada hewan mencit, sehingga tejadi pengeliruan dengan organ tubuh serupa limfonodus. Menurut Searcy (1995), limfonodus berperan penting dalam pertahanan tubuh dan fungsi imun. Limfonodus bisa mengalami atropi maupun hipertropi, atau bisa juga menjadi tempat dari inflamasi lokal maupun mum. Penyakit inflamasi selalu berhubungan dengan perubahan pada aliran limfatik dan daerah di sekitar limfonodus (Cheville 2006).

Hasil pengukuran diameter folikel limfoid pada tiap perlakuan disajikan dalam bentuk diagram batang (Gambar 17), dan hasil uji statistiknya ditunjukkan pada Tabel 1 1.

Diameter Folikel Limfonodus

Kontrol SOP Daun kering

perlakuan

[image:46.514.43.439.45.667.2]

Ganibar 17 Diagram Perbandingan Diameter Folikel Limfonodus.

Tabel 11 Perbandingan Diameter Folikel Limfonodus

Perlakuan Diameter Folikel (pm)

Kontrol 9.93*1.93"

Sop daun Torbangun 5% 9.07*3.79"

Daun Torbangun kering 5% 14.88~5.84~

Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukknn perbedaan yang nyata (Pi0.05)

(47)

tabel dapat dilihat bahwa diameter folikel pada kelompok perlakuan sop d a m Torbangun

5%

tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan konrol @>0.05). Sedangkan kelompok perlakuan daun Torbangun kering

5%

menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kelompok kontrol (P<0.05). Menurut Jones et al.

(2006), stimulasi antigen bisa menyebabkan hiperplasia reaktif yang dicirikan dengan pembesaran folikel limfoid. Umumnya, pada kondisi sistem imun yang

aktif akan terjadi peningkatan dari plasma sel. Pemberian daun Torbangun dalam bentuk dam kering dapat mengaktifkan sistem imun, sedangkan dalam bentuk sop

tidak reaktif. Hal ini mungkin disebabkan adanya bahan yang terkandung dalam daun Torbangun hilang setelah proses pemanasan menjadi sop.

Hasil penghitungan jumlah sel limfoid pada tiap perlakuan disajikan dalam bentuk diagram batang (Gambar

IS),

dan hasil uji statistiknya ditunjukkan pada Tabel 12.

Jumlah

Sel

Limfoid Limfonodus

per

1000 pm2 satuan luas

Kontrol SOP Daun kering

perlakuan

Gambar 18 Diagram Perbandingan Jumlah Sel Limfoid Limfonodus.

Tabel 12 Perbandingan Jumlah Sel Limfoid Lifonodus

Perlakuan Jumlah Sel Limfoid per 1 0 0 0 ~ m ~

Kontrol 1061 1.7~1391.75~

Sop daun Torbangun 5% 8324.47h1379.23" Daun Torbangun kering 5% 9348.4W1591.83"

[image:47.514.38.447.36.651.2]
(48)

Dalam diagram batang di atas dapat dilihat bahwa kelompok yang diberi perlakuan baik sop d a m Torbangun 5% maupun d a m Torbangun kering 5% mengalami p e n m a n jumlah sel limfoid bila dibandingkan dengan kontrol. Dari tabel dapat dilihat bahwa jumlah sel limfoid pada kelompok perlakuan baik sop

daun Torbangun 5% maupun dam Torbangun kering 5% menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kelompok kontrol (P<0.05). Akan tetapi antar perlakuan yaitu sop daun Torbangun 5% dan daun Torbangun kering 5% tidak berbeda nyata

(P>0.05).

Pada kejadian limfadenitis akut terjadi hiperplasia folikel limfoid terutama pada pusat ge~minativum dan terjadi aliran limfosit ke pembuluh darah perifer

(Jones et al. 2006). Menurut Searcy (1995), keberhasilan pertemuan antara limfosit dan antigen dibantu oleh antigen-presenting cells yang menampakkan antigen dengan imunogenitas yang tinggi. Limfonodus mengerahkan limfosit muda folikel limfoid untuk menjadi limfosit di peredaran darah untuk melakukan fungsinya mendeteksi antigen. Kebanyakan limfosit yang terdapat dalam folikel pada superfisial korteks adalah sel-B. Sel-B ini dapat inasuk ke peredaran darah

sebagai sel memori.

Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa pemberian d a m Torbangun dalam bentuk sop maupun d a m kering menyebabkan dilepaskannya sel limfosit

ke sirkulasi darah sebagai sel memori. Dengan demikian walaupun hanya folikel limfoid dari kelompok yang diberi daun Torbangun kering yang mengalami hiperplasia, tapi grup daun Torbangun kering dan sop sama-sama dalam kondisi reaktif.

Differensiasi Sel Darah

(49)

Pada pemeriksaan differensiasi darah ini ditemukan adanya limfosit, monosit, dan neutrofil. Sedangkan eosinofil dan basofil tidak ditemukan. Eosinofil tidak ditemukan kemungkinan karena mencit yang diteliti mengalami stress saat pemeliharaan. Menurut Jain (1993), jumlah eosinofil cenderung rendah pada saat

stress. Sedangkan basofil sendiri memang sangat jarang ditemukan dalam peredaran darah (Slauson dan Cooper 1990). Berikut disajikan hasil penghitungan

jumlah leukosit dalam bentuk diagram batang (Gambar 19), dan hasil uji statistiknya ditunjukkan pada Tabel 13.

Leukosit

rn Limfosit

tm Monosit

Neutrofil

Kontrol SOP Daun kering

[image:49.514.32.444.27.488.2]

perlakuan

Gambar 19 Diagram Perbandingan Jumlah Leukosit.

Tabel 13 Perbandingan Jumlah Leukosit

Perlakuan Jumlah Limfosit Jumlah Monosit Jurnlah Neutrofil Kontrol 517.14+199.88" 59.10+67.718 443.26a230.33a Sop daun Torbangun 5% 679.675204.73= 44.33*O.0Oa 369.39+92.27" Daun Torbangun kering 5% 664.89+132.9Sa 118.2W167.82n 753.55i469.10a Keterangan : IIuruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata (FY0.05)

(50)

dan peningkatan jumlah neutrofil bila dibandingkan dengan kontrol. Dari tabel dapat dilihat bahwa jumlah leukosit pada kelompok perlakuan baik sop d a m

Torbangun 5% maupun daun Torbangun kering 5% menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata terhadap kelompok kontrol (P>0.05). Secara statistik hal ini disebabkan karena simpangan baku penghitungan leukosit cukup tinggi nilainya, akibat variasi individu. Namun demikian, secara kuantidtif terjadi perubahan jumlah leukosit pada kelompok perlakuan. Peningkatan jumlah sel darah putih dalam sirkulasi darah yang tidak signifikan dan tidak adanya sel darah putih yaig menonjol menunjukkan tidak adanya antigen lain.

Menurut Slauson dan Cooper (1990), limfosit berhubungan dengan reaksi imun dan merupakan mediator dari respon imun berperantara antibodi maupun respon hipersensitifitas yang berlangsung lambat. Menurut Searcy (1995), pada reaksi imun, peningkatan monosit terjadi karena monosit bermigrasi ke tempat terjadinya rangsangan antigen dan dapat berubah menjadi makrofag. Makrofag memainkan peranan yang penting dalam respon imun. Pada fungsi in~unomodulator yang merupakan respon imun yang tidak spesifik, sel darah putih yang paling berperan adalah monosit.

Neutrofil pada penelitian ini juga mengalami peningkatan. Menurut Slauson dan Cooper (1990), neutrofil merupakan leukosit pertama yang bereaksi

pada kondisi peradangan akut. Peningkatan neutrofil mengindikasikan adanya peradangan akut pada mencit percobaan. Tetapi pada penelitian ini lokasi peradangan tidak dapat diidentifikasikan karena tidak dilakukan pengamatan histopatologi pada organ lain.

(51)

kondisi yang reaktif. Pemberian sop dan daun Torbangun kering juga meningkatkan jumlah limfosit pada peredaran darah.

Dari hasil tersebut dapat diliiat bahwa perubahan yang terjadi pada organ

limforetikular mempengamhi komposisi sel leukosit dalam peredaran darah. Hal ini terjadi karena adanya antigen, sehingga sel limfosit jaringan keluar ke peredaran darah perifer dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit pada aliran

darah. Pada penelitian ini antigen yang diberikan adalah daun Torbangun. Beberapa komponen d a m Torbangun antara lain minyak atsiri, saponin, flavonoid, dan polifenol (Anonim 2008a). Zat aktif yang dapat meningkatkan sistem imun yang terkandung dalam daun Torbangun kemungkinan adalah

(52)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pemberian d a m Torbangun dapat menimbulkan efek imunostimulan sehingga organ limfoid menjadi reaktif untuk melepas sel leukosit ke

peredaran darah perifer.

2. Pemberian daun Torbangun kering memiliki efek imunostimulan yang lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk sop.

Saran

(53)

DAFTAR

PUSTAKA

[Anonimus]. 2007. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/informati on/Mus~musculus.html[7 Desember 20071

[Anonimus]. 2008a. Coleus amboinicus Lour. http://bebas.vlsm.org/v12/artikel/

ttg-tanaman_obat/depkes/bukul/l-083.pdf [31 Januari 20081

[Anonimus]. 2008b. http://plantamor.com/spcalbum.php?rcx=rc~55&rct=60& plct=0&spcx=zizjujba&urt=2-15k [31 Januari 20081

[Anonimus]. 2008c. http://en.wikipedia.org/ [15 Oktober 20081.

Bellanti JA dan Kadlec JV. 1993. Prinsip-prinsip Imunologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. 3" edition. USA: Black well Publishing Profesional.

Damanik R, Dsunanik N, Daulay Z, Saragih S, R Premier, N Wattanapenpaiboon, Wahlqvist ML. 2001. Consumption of Bangun-Bangun Leaves (Coleus amboinicus Lour) to Increase Breast Milk Production Among Bataknesse

Women in North Sumatra Island, Indonesia.

w w w . h e a l t h y e a t i n g c l u b . c o m / A P J C N u t S O O 1 / D a m a n i k 6 7 .pdf [3 1 Januari 20081

Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon. 2006. Lactagogue Effect of

Torbangun, a Bataknese Traditional Cuisine.

www.healthyeatingclub.com/APJCNNolume15/vo115.2/Finished/Rizal.pd

f [31 Januari 20081

Dellmann HD. 1989. Buku Teks Histologi Ve

Gambar

Gambar Timus .....................................................................
Gambar 1 Daun Torbangun, berbentuk bundar telur, pinggirannya berombak, dan
Gambar 2 Mencit (Mus musculus albinus). Surnber: Anonimus (2007).
Tabel 3 Data Biologis Mencit (Mus musczclus)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi tinggi ini dapat diinterpretasikan bahwa subjek penelitian pada dasarnya memiliki sikap yang terbentuk dari aspek kepuasan kerja seperti yang dikemukakan oleh

Champignon ..Pada kenyataannya beberapa pendataan data jamur dan hasil produksi nya masih dilakukan dengan prosedur manual, misalnya pada contoh kasus penerimaan data

This final project report describe the problems faced by Tourism and Culture Office Boyolali to promote Boyolali tourism attraction and the strategies to overcome the problems..

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektivitasan unsur bauran komunikasi pemasaran dalam strategi yang diterapkan oleh Taman Simalem Resort

Pola ritmis yang dimainkan oleh gitar pada bagian akhir ini untuk. menggambarkan semangat

[r]

(1)WAJIB PAJAK RESTORAN WAJIB MELEGALISASI BON PENJUALAN ( BILL ) KEPADA KEPALA DINAS PENDAPATAN DAERAH, KECUALI DITETAPKAN LAIN OLEH KEPALA DINAS PENDAPATAN

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata