DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI DIARE OLEH IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Kartikasari Bastinia Darusman NIM : 048114056
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI DIARE OLEH IBU-IBU DI
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Kartikasari Bastinia Darusman NIM : 048114056
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2008
iii
iv
Tuhan Punya Rencana Indah
Aku berkata, “ Aku tidak pandai “
Tuhan berkata, “ Aku memberikan padamu hikmat “ (1 Korintus 1:30) Aku berkata, “ Aku tidak mengerti “
Tuhan berkata, “ Aku akan menuntun langkah-langkahmu “ (Amsal 3:5-6) Aku berkata, “ Aku terlalu capai “
Tuhan berkata, “ Aku akan memberikan kelegaan padamu “ (Matius 11:28) Aku berkata, “ Aku tidak bisa meneruskan “
Tuhan berkata “ Kasih karuniaku cukup “ (2 Korintus 12:9- Mazmur 91:15) Aku berkata, “ Aku tidak bisa melakukannya “
Tuhan berkata, “ Kamu bisa melakukan semuanya “ (Filipi 4:13) Aku berkata, “ Itu tidak mungkin “
Tuhan berkata, “ Tidak ada hal yang tidak mungkin “ (Lukas 18:27) Aku berkata, “ Aku tidak bisa mengatasi “
Tuhan berkata “ Aku akan menyediakan kebutuhanmu “ (Filipi 4:19) Aku berkata, “ Sekarang aku merasa sangat kuatir “
Tuhan berkata, “ Serahkanlah segala kekuatiranmu padaku “ (I Petrus 5:7)
Ebo!ibozb!lbsfob!sfodbob!ebo!qfozfsubbo!Ozb/!
!
Dedicated to :
Jesus Christ ,
My Grandma and My Parents,
My Sist and My Bro,
And My Love...
PRAKATA
Segenap puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala penyertaan, kekuatan, kesabaran, kebijaksanaan, berkat dan karunia yang dilimpahkanNya pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan Terhadap Perilaku Swamedikasi Diare Oleh Ibu-Ibu Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” dengan tepat waktu. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) pada Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis telah mendapatkan pendampingan, penyertaan, dukungan dan segala bentuk bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Program Hibah Kompetisi (PHK) A3 dan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah sangat membantu penelitian ini sehingga dapat terlaksana dengan baik.
2. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt, selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing skripsi. 4. Bpk. dr. Harimat Hendarwan, M.Kes, selaku dosen pembimbing skripsi. 5. Ibu dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes, selaku dosen penguji skripsi. 6. Bpk Ipang Djunarko, S.Si, Apt, selaku dosen penguji skripsi.
7. Segenap dosen dan karyawan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
8. Nenek, Papa, dan Mama atas segala bantuan, dukungan, kasih, doa dan penyertaannya di sepanjang hidup penulis.
9. Kakak ipar, kakak dan adikku, Yusak, Rike, Welly dan Stanley atas segala bantuan doanya.
10.Maverick Emannuel Budiman dan Regina Graciela Budiman.
11.David Adhitama Hendra Atmaja, terima kasih atas kesabarannya menunggu skripsi ini selesai, atas penyertaannya, dan kasih sayangnya. 12.Teman-teman sekelompok penelitian, Pipin, Rissa, Anna, Henny, Limdra,
Arie dan Fandy.
13.Mahes, Ditto dan Eddy, yang sudah membantu banyak pada kelompok penelitian ini.
14.Teman-temanku, Liza, Lidia, Feri Dian S, Andrew, Brian, Tinttus, Frengky, Ika Ndu, Filisia, Dika, Nina, Nur, dan segenap mahasiswa angkatan 2004 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma khususnya FKK.
15.Para Pejabat Pemerintah Daerah di Kabupaten Kulonprogo dan Kota Yogyakarta yang telah banyak membantu.
16.Semua responden yang telah memberikan waktunya untuk diwawancara. 17.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis selama penelitian maupun penyusunan skripsi ini.
Dengan segenap kerendahan hati penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat menyempurnakan dan membangun.
Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
INTISARI
Swamedikasi lebih dipilih masyarakat daripada pergi ke dokter atau puskesmas karena memiliki beberapa keuntungan antara lain menghemat biaya dan waktu walaupun disadari bahwa keberhasilan pengobatan memiliki keterbatasan. Diare merupakan suatu gejala penyakit yang ditunjukkan dengan buang air besar lebih dari 3 kali sehari dan dengan konsistensi feses lebih cair. Dengan demikian, diperlukan penelitian untuk meningkatkan appropriateness perilaku swamedikasi penyakit diare. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dalam perilaku swamedikasi penyakit diare dan mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit diare oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian ini mencakup 2 sub penelitian yaitu non eksperimental deskriptif dan non eksperimental analitik. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional (studi potong lintang). Penelitian dilakukan di 16 dusun, 8 desa, 4 kecamatan masing-masing di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo yang didapatkan dengan metode acak sederhana. Instrumen penelitian adalah kuisioner dan pedoman wawancara. Data kuantitatif yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan chi square sedangkan data kualitatif diidentifikasi permasalahan yang timbul.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat permasalahan dalam swamedikasi, pengenalan diare, dan pemilihan obat diare. Data kuantitatif menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan dan dengan perilaku swamedikasi diare, tidak adanya hubungan antara pengetahuan dengan tindakan swamedikasi diare, adanya hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan dan sikap swamedikasi diare, dan tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi diare.
Kata kunci : swamedikasi, diare, permasalahan, pengetahuan, sikap, perilaku, pendidikan, dan pendapatan.
ABSTRACT
Self Medication is more preferable than going to the doctor due to the efficiency of the cost and money, even though it is realized that the success of the self medication itself has some limitation. Diarrhea is a symptom characterized by more than 3 times a day stools defecate and a watery stools. Therefore, it needs to conduct a study about appropriate self medication behavior. This research aims at identifying the problems of diarrhea self medication behavior and knowing the relationship between the level of education and income with diarrhea self medication behavior of the women in Daerah Istimewa Yogyakarta.
This study consist of descriptive non experimental and analitic non experimental with cross sectional design. This study was conducted in Yogyakarta and Kulonprogo using the simple random method. The main instrument of this study were questionaire and interview guide. Quantitative data were analyzed using chi square and for the qualitative data were identified about the problem..
This qualitative study shows that there were problem about self medication knowledge, diarrhea recognition, and diarrhea drug choice. The quantitative results that there is no relationship between level of education with diarrhea self medication knowledge and attitude, relationship between level of education with diarrhea self medication action, relationship between level of income with diarrhea self medication knowledge and attitude, and no relationship between level of income with diarrhea self medication action.
Key words : self medication, diarrhea, problem, knowledge, attitude, action, education, and income.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA. ... v
PRAKATA... vi
INTISARI ... ix
ABSTRACT... x
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN... xxi
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
1. Permasalahan ... 5
2. Keaslian penelitian... 6
3. Manfaat penelitian ... 8
B. Tujuan Penelitian ... 8
BAB II. PENELAHAAN PUSTAKA ... 10
A. Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna... 10
B. Diare... 11
1. Definisi diare... 11
2. Klasifikasi diare ... 13
3. Etiologi diare... 15
4. Patofisiologi diare ... 20
5. Tanda dan gejala diare ... 25
6. Penatalaksanaan diare ... 25
a. Tujuan terapi diare ... 26
b. Sasaran terapi diare ... 26
c. Strategi terapi diare ... 26
C. Persepsi Sehat-Sakit ... 34
D. Swamedikasi (Self-medication)... 35
1. Definisi... 35
2. Perilaku swamedikasi... 36
3. Keuntungan dan kerugian swamedikasi... 37
4. Penyakit ringan ... 37
5. Penggolongan obat untuk swamedikasi ... 38
6. Peranan apoteker dalam swamedikasi... 39
7. Swamedikasi pada diare... 39
E. Penggunaan Obat yang Rasional ... 42
F. Perilaku (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan) ... 44
1. Pengetahuan ... 46
2. Sikap ... 47
3. Tindakan ... 48
G. Teori Tentang Perilaku... 48
1. Teori aksi ... 48
2. Model perubahan perilaku dari Green ... 49
3. Model kepercayaan kesehatan dari Rosenstock... 50
H. Pendidikan... 51
I. Pendapatan... 51
J. Landasan Teori ... 52
K. Hipotesis... 54
BAB III. METODE PENELITIAN ... 56
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 56
B. Variabel Penelitian ... 57
C. Definisi Operasional... 58
D. Subyek Penelitian... 61
E. Populasi dan Sampel... 61
F. Besar Sampel ... 61
G. Waktu Penelitian ... 67
H. Tempat Penelitian ... 67
I. Instrumen Penelitian ... 68
1. Pedoman wawancara... 68
2. Kuesioner ... 69
J. Tata Cara Penelitian ... 70
1. Studi pustaka ... 68
2. Analisis situasi ... 68
a. Penentuan lokasi penelitian... 70
b. Perijinan ... 70
c. Perhitungan besar sampel... 70
3. Pembuatan instrumen penelitian. ... 71
a. Pedoman wawancara ... 71
1). Pembuatan pedoman wawancara... 71
2). Uji validitas... 72
b. Kuesioner ... 72
1. Pembuatan kuesioner ... 72
2. Uji pemahaman bahasa ... 73
3. Uji validitas ... 73
4. Uji reliabilitas... 74
K. Pengambilan Data ... 75
a. Kualitatif ... 75
b. Kuantitatif ... 76
L. Tata Cara Pengolahan Data ... 76
1. Analisis data kualitatif ... 76
2. Analisis data kuantitatif ... 77
a). Analisis univariat ... 77
b). Analisis bivariat ... 77
M. Keterbatasan Penelitian ... 76
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 78
A. Karakteristik Responden ... 78
B. Identifikasi Permasalahan Pada Perilaku Swamedikasi Diare ... 87
C. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Perilaku Swamedikasi
Diare... 105
D. Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Dengan Perilaku Swamedikasi Diare... 111
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 119
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran... 120
DAFTAR PUSTAKA ... 122
LAMPIRAN... 127
BIOGRAFI PENULIS ... 177
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Klasifikasi klinik diare ... 14
Tabel II. Klasifikasi diare berdasarkan tanda dan gejala diare ... 14
Tabel III . Penilaian derajat dehidrasi penderita diare ... 22
Tabel IV. Takaran pemakaian oralit pada diare ... 27
Tabel V. Keuntungan dan kerugian peningkatan perilaku swamedikasi ... 37
Tabel VI. Jumlah dan distribusi sampel ... 63
Tabel VII. Jumlah dan distribusi sampel di Kota Yogyakarta... 63
Tabel VIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Gondokusuman 63 Tabel IX. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Demangan ... 63
Tabel X. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Baciro... 63
Tabel XI. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wirobrajan... 64
Tabel XII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wirobrajan ... 64
Tabel XIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Pakuncen... 64
Tabel XIV. Jumlah dan distribusi sampel di Kabupaten Kulonprogo ... 64
Tabel XV. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Nanggulan ... 64
Tabel XVI. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Banyuroto ... 64
Tabel XVII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Donomulyo ... 65
Tabel XVIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wates ... 65
Tabel XIX. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Sogan ... 65
Tabel XX. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wates ... 65
Tabel XXI. Bagian-bagian pedoman wawancara... 69
Tabel XXII. Bagian-bagian kuesioner... 70
Tabel XXIII. Permasalahan pada pemahaman responden mengenai swamedikasi ... 87
Tabel XXIV. Permasalahan pada kesesuaian pengenalan diare ... 91
Tabel XXV. Permasalahan pada kesesuaian pemilihan tindakan untuk menangani diare ... 96
Tabel XXVI. Tabel krostabulasi antara tingkat pendidikan dan
pengetahuan mengenai swamedikasi diare ... 105 Tabel XXVII. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan
pengetahuan mengenai swamedikasi diare ... 106 Tabel XXVIII. Hasil uji chi square tingkat pendidikan dan
pengetahuan mengenai swamedikasi diare ... 106 Tabel XXIX. Tabel krostabulasi antara tingkat pendidikan dan
sikap terhadap swamedikasi diare... 108 Tabel XXX. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan
sikap terhadap swamedikasi diare... 108 Tabel XXXI. Hasil uji chi square tingkat pendidikan dan tindakan
dalam swamedikasi diare ... 109 Tabel XXXII. Tabel krostabulasi antara tingkat pendidikan dan
tindakan dalam swamedikasi diare ... 110 Tabel XXXIII. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan
tindakan dalam swamedikasi diare ... 110 Tabel XXXIV. Hasil uji chi square tingkat pendidikan dan tindakan
dalam swamedikasi diare ... 111 Tabel XXXV. Tabel krostabulasi antara tingkat pendapatan dan
pengetahuan mengenai swamedikasi diare ... 112 Tabel XXXVI. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan
pengetahuan mengenai swamedikasi diare ... 112 Tabel XXXVII. Hasil uji chi square tingkat pendapatan dan
pengetahuan mengenai swamedikasi diare ... 113 Tabel XXXVIII. Tabel krostabulasi antara tingkat pendapatan dan
sikap terhadap swamedikasi diare... 114 Tabel XXXIX. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan
sikap terhadap swamedikasi diare... 114 Tabel XL. Hasil uji chi square tingkat pendapatan dan tindakan
dalam swamedikasi diare ... 115
Tabel XLI. Tabel krostabulasi antara tingkat pendapatan dan
tindakan dalam swamedikasi diare ... 116 Tabel XLII. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan
tindakan dalam swamedikasi diare ... 117 Tabel XLIII. Hasil uji chi square tingkat pendapatan dan tindakan
dalam swamedikasi diare ... 117
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Anatomi dan fisiologi saluran pencernaan... 10
Gambar 2. Gangguan-gangguan pada saluran cerna... 11
Gambar 3. Bristol Stool Chart... 12
Gambar 4. Bagan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare... 15
Gambar 5. Penyebab diare ... 16
Gambar 6. Berbagai macam makanan penyebab diare... 19
Gambar 7. Bagan akibat (efek) dehidrasi ... 23
Gambar 8. Mekanisme obat antidiare ... 33
Gambar 9. Algoritma swamedikasi diare pada usia 1 bulan hingga 5 tahun... 40
Gambar 10. Algoritma swamedikasi untuk anak kecil berusia 5 tahun ke atas dan dewasa ... 41
Gambar 11. Bagan langkah-langkah pengembangan intervensi yang dimaksudkan meningkatkan penggunaan rasional oleh konsumen... 43
Gambar 12. Perbaikan permasalahan yang terjadi pada penggunaan obat ... 43
Gambar 13. Skema hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku... 53
Gambar 14. Bagan penelitian payung penyusunan modul edukasi untuk peningkatan appropriateness perilaku swamedikasi 7 penyakit ringan dan penggunaan vitamin ... 56
Gambar 15. Bagan distribusi responden ... 66
Gambar 16. Bagan tempat penelitian yang didapatkan dengan metode sampling klaster multi tahap ... 68
Gambar 17. Bagan tata cara penelitian ... 75
Gambar 18. Persentase usia responden... 79 Gambar 19. Persentase status pernikahan responden ... 79 Gambar 20. Persentase jumlah anak responden... 80 Gambar 21. Persentase jumlah anggota keluarga yang tinggal
serumah ... 80 Gambar 22. Persentase tingkat pendidikan responden ... 81 Gambar 23. Pengkatagorisasian tingkat pendidikan responden ... 82 Gambar 24. Persentase jenis pekerjaan responden ... 82 Gambar 25. Persentase pendapatan keluarga (sebulan)
responden ... 83 Gambar 26. Pengkatagorisasian pendapatan keluarga (sebulan)
responden ... 84 Gambar 27. Persentase frekuensi responden melakukan
swamedikasi dalam 1 bulan terakhir... 84 Gambar 28. Persentase frekuensi responden melakukan
swamedikasi diare dalam 1 bulan terakhir... 85 Gambar 29. Pengkatagorisasian responden berpengetahuan
tinggi dan rendah mengenai swamedikasi diare ... 86 Gambar 30. Pengkatagorisasian responden bersikap positif dan
negatif terhadap swamedikasi diare ... 86 Gambar 31. Pengkatagorisasian responden yang memiliki
tindakan positif dan tindakan negatif dalam swamedikasi diare ... 87
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.Karakteristik responden... 127 Lampiran 2.Kuesioner swamedikasi penyakit diare ... 132 Lampiran 3.Pedoman wawancara untuk ibu-ibu tentang swamedikasi
penyakit diare... 135 Lampiran 4.Hasil tes uji reliabilitas kuesioner... 138
Lampiran 5.Hasil tes normalitas data pengetahuan, sikap dan tindakan ... 139 Lampiran 6.Hasil uji chi square... 141 Lampiran 7.Jawaban responden pada identifikasi permasalahan ... 146 Lampiran 8. Perijinan... 159
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Daerah Istimewa Yogyakarta dan seringkali disingkat DIY adalah sebuah propinsi di Indonesia. Di Propinsi DIY, pencapaian derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari indikator kematian (Angka Kematian Bayi/AKB), berdasarkan
Susenas 2002 didapat AKB sebesar 20/1000 kelahiran, Angka Kematian Ibu
(AKI), kesakitan (pola penyakit menular dan tidak menular), Umur Harapan
Hidup (UHH) yaitu sebesar 72,17 tahun pada tahun 2002, dan status gizi
(Anonim, 2005). Berdasarkan Dinas Kesehatan Propinsi DIY tahun 2005
didapatkan data jumlah fasilitas kesehatan di Propinsi DIY sebagai berikut,
Rumah Sakit sebanyak 42, Rumah Bersalin sebanyak 47, Balai Pengobatan
sebanyak 91, Puskesmas sebanyak 560, Apotik sebanyak 289, dan Toko Obat
sebanyak 53 (Anonim, 2005).
Salah satu kebiasaan manusia yang diwarisi dari nenek moyangnya ialah melakukan swamedikasi atau pengobatan sendiri jika menderita sakit (Sartono,1993). Swamedikasi adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat-obat tanpa resep untuk mengatasi penyakit-penyakit ringan (minor illness) secara tepat dan bertanggung jawab (Holt dan Hall, 1990). Swamedikasi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan obat tradisional atau jamu dan obat-obat paten baik dari golongan obat bebas maupun golongan obat bebas terbatas (Sartono, 1993).
Dari penelitian perilaku masyarakat terhadap timbulnya gejala penyakit, yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI, diperoleh data kuantitatif yaitu jumlah masyarakat yang membiarkan saja penyakitnya sebanyak 5%, mengobati dengan cara sendiri sebanyak 5%, mengobati dengan jamu sebanyak 9%, memakai obat bebas sebanyak 63% dan pergi ke dokter/puskesmas sebanyak 18% (Sartono, 1993).
Di negara maju seperti Amerika Serikat, setiap tahun sebanyak 75 % dari jumlah penduduknya menderita sakit. Dari jumlah tersebut, diketahui masyarakat yang tidak berbuat apa-apa pada penyakitnya sebanyak 10%, pergi ke dokter sebanyak 25%, dan mengobati sendiri 65% (Sartono, 1993).
Dalam menentukan pengambilan keputusan pengobatan mandiri dapat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, pengetahuan, tingkat pendidikan, serta persepsi seseorang terhadap gejala-gejala penyakit dan cara penyembuhannya. Keterkaitan terhadap struktur budaya setempat dan latar belakang pendidikan turut menentukan pengambilan keputusan pengobatan sendiri (Schwartz dan Hoopes, 1990). Holt dan Hall (1990) mengatakan bahwa perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam mengatasi masalah kesehatan (doctor minded), demografi dan epidemiologi, ketersediaan pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial ekonomi.
beberapa parameter yaitu: 1) tingkat kepuasan konsumen terhadap keputusan mereka sendiri dalam mengatasi masalah kesehatannya, 2) kecenderungan melakukan pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep untuk mengatasi gejala yang dirasakan dan penyakit ringan yang umum diderita, 3) keyakinan bahwa obat tanpa resep aman digunakan apabila dipakai sesuai petunjuk, 4) keinginan agar beberapa obat yang saat itu harus diperoleh dengan resep dokter, diubah menjadi tanpa resep, 5) kesadaran membaca label sebelum memilih dan menggunakan obat tanpa resep, terutama mengenai aturan pakai dan cara pakai serta efek samping obat (Pal, 2002).
Beberapa faktor yang dapat dikatakan berperan dalam peningkatan perilaku swamedikasi, yaitu : pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat – obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR / Obat Tanpa Resep (OTC / Over The Counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan atau gejala yang muncul, serta diterimanya pengobatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan (WHO, 1998).
pengobatan dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa intervensi dan pengawasan dari tenaga kesehatan. Obat – obat yang digunakan untuk swamedikasi juga obat tanpa resep yang dapat diperoleh di warung – warung biasa dan tidak harus di apotek.
Suatu penelitian oleh Consumers Healthcare Products Association di Amerika Serikat menunjukkan populasi wanita dewasa lebih banyak daripada pria dalam melakukan pengobatan sendiri dan semakin bertambah pada wanita dengan bertambahnya usia. Sebanyak 66% wanita saling memberikan motivasi untuk memahami persoalan kesehatan dan masalah pengobatannya, hal ini ditemukan hanya sebesar 58% pada kelompok pria. Sebanyak 82% wanita dan 71% pria mengakui menggunakan OTR untuk mengobati penyakit ringan (Anonim, 2001).
Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Departemen kesehatan RI dalam surveinya tahun 2000 mendapatkan angka kesakitan diare sebesar 301/ 1000 penduduk. Di Amerika, sekitar 3 juta anak-anak terkena diare setiap tahunnya dan sekitar 55.000 dari mereka perlu dirawat di rumah sakit (Longe, 2005). Menurut Survei Kesehatan Nasional 2001, diare menempati peringkat ketiga dengan 9,4 % kematian. Pada kelompok balita, diare menempati peringkat kedua dengan 13,2 % kematian (Rahadi, 2001).
kesehatan yang dikelola oleh tenaga kesehatan), serta faktor pendorong (sikap dan perilaku orang lain yang menjadi acuan) (Notoatmodjo,1993). Pendidikan merupakan ”behavioral investment” (Notoatmodjo, 2003).
Masyarakat dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi memiliki tingkat penggunaan pelayanan kesehatan pada tenaga kesehatan yang lebih tinggi pula (Greenley, 1980). Tingkat sosial dan kenyataan perekonomian yang rendah mempengaruhi kesehatan dalam hidupnya (WHO, 2003).
Berdasarkan hal-hal di atas, maka diperlukan identifikasi permasalahan pada swamedikasi diare sebagai suatu landasan pembuatan modul edukasi untuk swamedikasi diare yang merupakan salah satu cara peningkatan apropriateness perilaku swamedikasi diare. Hasil penelitian ini akan digunakan sebagai data dasar/baseline survey untuk mendesain modul edukasi swamedikasi khususnya untuk diare. Penelitian ini juga akan mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi diare meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku.
1. Permasalahan
a. Seperti apa karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi diare di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
b. Seperti apa permasalahan swamedikasi diare oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
d. Apakah terdapat hubungan tingkat pendapatan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi diare oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. Keaslian penelitian
Penelitian dengan judul ”Hubungan Tingkat Pendidikan Dan Tingkat Pendapatan Dengan Perilaku Swamedikasi Diare Oleh Ibu-Ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” menyerupai beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
a. Guidelines For Adults On Self-Medication For The Treatment Of Acute Diarrhoea (Wingate dkk, 2001). Penelitian tersebut merupakan studi literatur yang ditujukan untuk merumuskan terapi swamedikasi diare akut untuk pasien dewasa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa loperamid adalah terapi pilihan. Obat antidiare efektif menghilangkan gejala tetapi dapat membawa risiko efek samping yang tidak diinginkan. Rehidrasi oral tidak dapat menyembuhkan diare, tidak menambah keuntungan untuk dewasa yang dapat menjaga asupan cairannya. Agen probiotik, terbatas pada efikasi dan availabilitasnya. Obat-obat antimikrobia, tidak disarankan penggunaannya pada swamedikasi.
(43,5%). Pada umumnya lama pengobatan sendiri yang dilakukan masyarakat sebelum mendatangi pelayanan kesehatan profesional kurang dari 4 hari (50,8%). Tingkat penghasilan masyarakat berpengaruh positif secara signifikan terhadap harga obat yang biasa digunakan untuk pengobatan sendiri dan terhadap lama pengobatan sendiri sebelum mendatangi pelayanan kesehatan dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap banyaknya penyakit yang diobati sendiri. c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Obat Batuk Bebas di Masyarakat Desa Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo (Lestari, 2006). Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh dalam penggunaan obat batuk bebas di masyarakat Desa Wadaslintang, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo pada Desember 2004. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan obat batuk bebas di masyarakat Desa Wadaslintang, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo adalah iklan (39,1%), harga (24,5%), jenis batuk yang diderita (18,2%), efek samping yang mungkin timbul (13,6%) dan komposisi (4,5%).
3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis
Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang kefarmasian mengenai permasalahan-permasalahan yang terkait dengan swamedikasi serta mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi diare oleh ibu-ibu khususnya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar/baseline survey penelitian untuk mendesain modul edukasi swamedikasi khususnya untuk diare. Modul edukasi tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai panduan bagi masyarakat untuk melakukan swamedikasi secara tepat dan benar untuk meningkatkan appropriateness perilaku swamedikasi diare bagi masyarakat yang berbeda tingkat pendidikan maupun pendapatannya.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi diare di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Mengetahui permasalahan pada swamedikasi diare oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan swamedikasi diare oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna
Anatomi saluran cerna manusia secara garis besar meliputi : mulut, lambung, usus halus (jejunum), usus dua belas jari (duodenum), dan kolon. Selain itu juga terdapat organ-organ lain, seperti hati, kandung empedu, dan pankreas yang berfungsi untuk membantu melaksanakan fungsi pencernaan makanan. Anatomi dan fisiologi ini juga dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Anatomi dan fisiologi saluran pencernaan (Wakefield, 2005) Proses pencernaan dimulai dari mulut, dimana makanan dikunyah untuk dihaluskan sambil bercampur dengan ludah yang mengandung enzim amilase dan ptialin. Selanjutnya oleh gerakan peristaltik, makanan masuk ke lambung melalui esofagus. Kemudian bercampur dengan getah lambung, yang terdiri dari asam hidroklorida dan pepsin. Oleh pengaruh asam ini, pylorus membuka dan menutup
secara refleks. Makanan yang sudah setengah cair (khimus) melewati
pylorus masuk ke dalam usus dua belas jari. Di dalam usus, khimus dinetralisir
oleh cairan alkalis dari getah pankreas dan empedu. Oleh pengaruh enzim
pankreas, karbohidrat dan lemak dibentuk menjadi suatu emulsi khimus dengan
garam kolat untuk memudahkan penyerapan oleh usus. Di dalam usus besar
bagian air dalam khimus dan garam diserap kembali dan sisanya dikeluarkan
melalui dubur sebagai feses (Anonim, 1997).
Gambar 2. Gangguan-gangguan pada saluran cerna (Sachdev, 2007)
B. Diare 1. Definisi
Markum (1999) menyebutkan diare adalah buang air besar dengan
frekuensi tiga kali atau lebih per hari disertai perubahan feses menjadi cair dengan
defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah dan/atau lendir
dalam feses (Noerasid, dkk, 1988).
Secara biokimia, diare adalah gangguan transport air dan elektrolit di
intestinal. Dalam keadaan normal, epithelium intestinal menjaga keseimbangan
antara sekresi dan absorpsi. Vili-vili epithelium mengabsorpsi air dan ion sodium
ketika epithelium kript mensekresi air dan ion klorida. Proses tersebut di bawah
pengaruh transmiter neuroendokrin, hormon-hormon, dan substansi intestinal
lainnya. Adanya racun yang dihasilkan dari enterotoksin, infeksi atau kerusakan
seluler akibat infeksi, mekanisme homeostasis terganggu dan diikuti diare (Li
Wan Po, 1997).
Tingkat lembek atau cairnya feses hingga dapat dikatakan diare, dapat
dilihat pada gambar 3 dimana tipe 5-7 dikatakan sebagai diare.
2. Klasifikasi diare
a. Berdasarkan durasi
Diare diklasifikasikan berdasarkan durasinya dalam 2 golongan, yaitu
akut dan persisten. Lama waktu diare yang kurang dari 2 minggu adalah diare
akut, diare lebih dari 2 minggu adalah persisten. Noerasid dkk (1988)
mendefinisikan diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi
dan anak yang sebelumnya sehat. Diare dapat berupa diare akut atau diare kronis,
diare akut dapat sembuh sendiri dan biasanya sembuh dalam waktu 72 jam dari
onset, sedangkan diare kronik berlangsung ±1 bulan. Diare akut dapat ditangani
dengan cairan-elektrolit, pola makan, dan obat tanpa resep. Sedangkan diare
kronik memerlukan perawatan medis.
b. Berdasarkan penyebab
Menurut Firdaus (1997) dan Markum (1999), berdasarkan penyebabnya,
diare digolongkan menjadi diare infeksi dan diare noninfeksi. Diare noninfeksi
meliputi malabsorpsi, alergi dan keracunan. Berdasarkan penyebabnya, diare juga
dapat dibedakan menjadi diare spesifik dan diare nonspesifik. Disebut diare
spesifik apabila penyebab diare telah diketahui secara pasti, sedangkan diare
nonspesifik adalah diare yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti.
c. Berdasarkan mekanisme
Berdasarkan mekanisme terjadinya, diare dapat digolongkan menjadi 4
jenis diare yaitu diare sekretori, diare osmotik, diare eksudatif dan diare motilitas
Mekanisme umum yang terjadi pada diare akut adalah osmotik dan
sekretori, sedangkan perubahan motilitas dan penurunan absorpsi biasanya adalah
mekanisme untuk gangguan diare kronik.
Tabel I. Klasifikasi klinik diare (Longe, 2005)
Tipe Mekanisme Penyebab
Osmotik Larutan/cairan/ substansi yang aktif secara osmotik dan tidak terabsorpsi.
Defisit laktosa, kelebihan magnesium antasid.
Sekretori Peningkatan sekresi dan/atau penurunan absorpsi elektrolit dan air.
Eschericia coli, ileal resection, kanker thyroid.
Eksudatif Absorpsi yang tidak sempurna, pengeluaran lendir dan darah akibat inflamasi atau ulcer akibat gangguan inflamasi.
Ulcerative colitis, penyakit Crohn’s, disentri, leukemia.
Gangguan Motilitas Penurunan waktu kontak makanan dengan dinding usus, pengosongan kolon yang terlalu cepat, dan pertumbuhan bakteri.
Diabetes neuropathy, Sindrom iritasi perut.
d. Berdasarkan tanda dan gejala
Longe (2005), mengklasifikasikan diare menjadi tiga yaitu diare ringan,
diare sedang dan diare berat. Longe (2005) mengklasifikasikan diare berdasarkan
tanda dan gejalanya menjadi diare ringan, sedang dan berat, klasifikasi diare ini
dijabarkan pada tabel berikut :
Tabel II. Klasifikasi diare berdasarkan tanda dan gejala diare (Longe, 2005)
Diare Ringan Diare Sedang Diare Berat
Buang air besar 3 kali sehari, tekanan darah normal dan tidak terjadi penurunan tekanan darah ketika berdiri, demam ringan atau tanpa demam, haus ringan, dan mulut kering terutama di bawah lidah.
Buang air besar 4-5 kali sehari, demam lebih dari 38˚C, kehilangan kekenyalan kulit, tekanan darah normal dengan penurunan sedikit tekanan darah saat berdiri, dan mulut kering.
Untuk diare ringan dan sedang dapat ditangani dengan swamedikasi,
sedangkan diare berat tidak dapat ditangani dengan swamedikasi (Longe, 2005).
3. Etiologi diare
Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus atau parasit. Diare
dapat juga disebabkan oleh malabsorpsi makanan, keracunan makanan, dan alergi
(Winardi, 1981).
Berdasar teori klasik, diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik
usus hingga pelintasan khimus dipercepat dan masih mengandung banyak air pada
saat meninggalkan tubuh sebagai feses. Ketidakseimbangan pengangkutan air dan
elektrolit berperan penting pada patogenesis diare, terjadi perubahan absorpsi dan
sekresi cairan dan elektrolit yang dapat meningkatkan terjadinya dehidrasi.
Peningkatan pengeluaran cairan dapat terjadi karena sekresi yang meningkat
(secretory diarrhea) pada diare infeksi, osmotik karena adanya bahan-bahan
dalam lumen usus, dan motilitas usus yang meningkat (Anonim, 1994).
Keadaan
Kuman Penderita
Diare
PENYEBAB PENYAKIT DIARE
Infeksi
Malabsorpsi
Alergi
Keracunan
Ilmuno defisiensi
Sebab-sebab lain Bakteri
Sigella, Salmonella
E. coli, Golongan vibrio
Bacillius cereus, Clostridium perfringes, Staphylococus auereus, Camplyobacher aeromonas
Virus
Parasit
Rotavirus, Norwalk + Norwalk
like agent, Adenovirus
Protozoa, Ertamoeba histolytica,
Giardia lamblia, Balantidium coli
Cacing perut, Ascaris, Trichurits, Strongyloides
Jamur, Candida
Keracunan bahan-bahan kimia
Keracunan oleh racun yang dikandung dan di produksi
Jasad renik → Algae
Ikan, buah-buahan, sayur-sayuran
Menurut Longe (2005), ada beberapa hal yang dapat menyebabkan diare,
meliputi mikroorganisme penyebab diare seperti bakteri, virus dan protozoa,
obat-obat yang dapat menginduksi diare, AIDS, dan makanan penginduksi diare.
a. Bakteri penyebab diare atau pemroduksi toksin penyebab diare
Pasien dengan diare yang disebabkan agen pemroduksi toksin mengalami
diare berair, yang biasanya melibatkan usus halus. Pasien mengalami onset yang
mendadak dari feses cair yang banyak, nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah,
kram, dan mungkin demam ringan. Jika bagian usus besar yang diserang
organisme invasif akan menimbulkan sindrom seperti disentri. Sindrom ini
dikarakterisasi dengan demam, kram abdomen, tenesmus (ketegangan), feses
bervolume sedikit yang jarang dan mungkin mengandung darah dan lendir
(Longe, 2005). Penyebab umum diare akibat bakteri adalah Campylobacter,
Salmonella, Shigella, dan Escherichia coli (Anonim, 2007).
b. Virus penyebab diare
Banyak virus yang menyebabkan diare termasuk rotavirus, norwalk
virus, cytomegalovirus, virus herpes simplex, dan virus hepatitis (Anonim, 2007).
Rotavirus sering menyebabkan diare akut terutama pada bayi dan anak usia 6
hingga 12 bulan (Firdaus, 1997). Tanda-tanda klinis termasuk periode inkubasi 12
hingga 48 jam, diikuti dengan muntah, diare cair dan demam ringan (Longe,
2005).
c. Protozoa penyebab diare
Beberapa protozoa penyebab diare adalah Balantidum coli, Capillaria
Strongyloides stercoralis, Faciolopsis buski, Sarcocystis suihominis, Trichuris
trichiura, Isospora belli (Firdaus, 1997). Giardia adalah suatu infeksi pada usus
halus yang umumnya terjadi pada anak-anak, wisatawan, atau seperti pendaki.
Gejala mungkin tidak ada atau ringan. Setelah 1-3 hari masa inkubasi, gejala
mungkin termasuk feses cair, kram abdomen, kembung, dan nyeri epigastric. E.
Hystolitica menyebabkan amebiasis pada area dengan sanitasi yang rendah dan
pada wisatawan, pekerja migran dan pasien. Penyakit ini dikarakterisasi dengan
nyeri kram yang berat, tenesmus, dan disentri antara 3-10 hari (Longe, 2005).
d. Obat-obat penginduksi diare
Obat seperti laksatif, misoprostol, olsalazine, agen antikanker, quinidine,
dan colchicine mungkin menyebabkan diare. Obat-obat yang menyebabkan retensi
elektrolit dan air di lumen intestinal mungkin menyebabkan hiperosmolar, diare
osmotik. Laksatif antasid yang mengandung magnesium mungkin menyebabkan
diare, berdasarkan pada dosis yang diminum dan penerimaan individual.
Obat-obat yang mempengaruhi kontrol autonomik dari motilitas intestinal normal,
seperti agen antihipertensi dengan aktivitas sympatolitik, mungkin juga
menyebabkan diare. Kram umum dan diare mungkin mengikuti penggunaan
obat-obat prokinetik seperti bethanecol, metoclopramide, atau cisapride (Longe, 2005).
e. AIDS
Pasien dengan AIDS dan HIV diketahui sangat mudah untuk terkena
bermacam-macam infeksi yang menimbulkan diare sebagai suatu manifestasi.
Demam dan onset yang mendadak dari ledakan feses cair dimulai setelah 1-3 hari
f. Makanan penginduksi diare
Intoleransi makanan dapat menyebabkan diare dan mungkin dihasilkan
dari suatu alergi makanan atau dari makanan yang dicerna yang berlemak atau
pedas atau mungkin jumlah yang besar dari makanan yang kasar atau banyak
biji-bijian (Longe, 2005).
Malabsorpsi
Keracunan (food poisoning)
Alergi (alergi susu, alergi makanan, sensitif protein susu sapi, enteropatty/CMPSE)
- Makanan itu sendiri
- Makanan itu kecampuran racun - Makanan yang beracun (Clostridium
botulinus, Staphylococcus) - Lemak : terutama trigliserida rantai
panjang
- Protein: asam amino, B laktoglobin - Vitamin dan mineral
Karbohidrat
Disakarida
Monosakarida
Glukosa Fruktosa Galaktosa
Makanan
4. Patofisiologi diare
Mekanisme diare bergantung pada penyebab diare tersebut. Mekanisme
ini meliputi :
a. Diare sekretori terjadi ketika usus halus dan usus besar mensekresi air dan
elektrolit lebih banyak daripada yang diabsorpsi. Hal tersebut dapat
disebabkan karena stimulasi substansi. Substansi yang menyebabkan hal ini
termasuk vasoactive intestinal peptide (VIP) dari tumor pankreas, makanan
berlemak yang tidak diabsorpsi dalam steatorrhea, laksatif, hormon
sekretin, toksin dan garam empedu berlebih. Pada diare infeksius
perubahan proses sekresi dan absorpsi ini terjadi akibat aktivitas toksin
yang dikeluarkan oleh bakteri di mukosa usus. Toksin ini akan
mengaktivasi adenilat siklase, yang menyebabkan peningkatan AMP siklik
intrasel. Adanya AMP siklik akan meningkatkan sekresi Cl- dan air dari
kelenjar usus dan menurunnya absorpsi Na+ dan air dari lumen usus. Diare
sekretori dapat diterapi dengan antibiotik apabila penyebabnya adalah
bakteri, adsorben dapat digunakan untuk membantu menyerap toksin,
selain itu makanan atau minuman yang mengandung kafein harus dihindari
karena dapat meningkatkan AMP siklik.
b. Diare osmotik terjadi ketika larutan dari makanan yang dicerna tidak dapat
diabsorpsi secara sempurna oleh usus halus masuk ke lumen usus. Larutan
tersebut kemudian menyebabkan penarikan air dan elektrolit ke dalam
lumen usus karena usus berusaha menyesuaikan tekanan osmotik isi usus
intoleransi laktosa, pemberian magnesium pada antasida, atau konsumsi
karbohidrat yang sulit larut. Diare osmotik dapat diterapi dengan terapi
non-farmakologis yaitu pengaturan makanan.
c. Diare eksudatif terjadi ketika ada gangguan integritas lapisan mukosa
akibat infeksi dan peradangan atau luka pada saluran cerna yang
mengakibatkan gangguan absorpsi cairan dan keluarnya serum, protein,
lendir serta darah ke saluran cerna. Diare eksudatif ini dapat disebabkan
karena infeksi, penyakit crohn, kanker dan vaskulitis. Diare eksudatif ini
dapat diterapi dengan obat-obat antiinflamasi seperti golongan
kortikosteroid.
d. Gangguan motilitas dapat menimbulkan diare dengan tiga mekanisme,
yakni mengurangi waktu kontak antara makanan dan dinding usus dalam
usus halus, pengosongan kolon yang terlalu cepat dan pertumbuhan bakteri.
Gangguan motilitas ini dapat disebabkan karena diabetes neuropati atau
irritable bowel syndrome (Longe dan Di Piro, 2005). Diare yang
disebabkan gangguan motilitas ini dapat diterapi dengan menggunakan
obat-obat antimotilitas.
Mekanisme umum yang terjadi pada diare akut adalah osmotik dan
sekretori, sedangkan perubahan motilitas dan penurunan absorpsi biasanya adalah
Akibat diare baik akut maupun kronik dapat menyebabkan berbagai
macam keadaan klinis.
a. Kehilangan air (dehidrasi)
Empat mekanisme patofisiologi umum kekacauan
keseimbangan air dan elektrolit, yang terjadi pada diare, dan dasar dari
diagnosis dan terapi, meliputi :
1). suatu perubahan dalam transport ion aktif dengan penurunan absorpsi
sodium atau kenaikan sekresi klorida,
2). perubahan dalam motilitas intestinal,
3). peningkatan osmolaritas luminal, dan
4). peningkatan tekanan hidrostatik jaringan.
Dehidrasi sebenarnya dibagi menjadi 3 macam, yakni dehidrasi
ringan, dehidrasi sedang, dan dehidrasi berat. Disebut dehidrasi ringan jika
cairan tubuh yang hilang 5%. Jika cairan yang hilang sudah lebih dari 10%
disebut dehidrasi berat (Widjaya, 2002).
Tabel III. Penilaian derajat dehidrasi penderita diare (Anonim, 2000)
Penilaian Tanpa Dehidrasi Dehidrasi ringan/sedang
Lesu, tidak sadar Sangat cekung Tidak ada Sangat kering
Kehilangan cairan tubuh (air)
Kehilangan cairan tubuh (air) (defisit volume)
Kehilangan turgor kulit, denyut nadi lemah atau tiada, takikardia, mata cekung, ubun-ubun besar cekung, suara parau, kulit dingin, sianosis (jari-jari), selaput lendir kering,
anuria-uraemia
PENGOBATAN
ELEKROLIT-ELEKTROLIT (garam-garam) AIR
Defisiensi bikarbonat/asidosis (muntah-muntah, pernafasan cepat dan dalam, cardiac reverse menurun, defisiensi K+ intrasel), defisiensi K+ (kelemahan
otot-otot, ileus paralitik (distensi abdomen), cardiac arrhythmia-cardiac arrest), hipoglikemia (lebih sering terjadi pada anak-anak malnutrisi dan bayi-bayi kecil.
Kehilangan elektrolit-elektrolit tubuh (defisit elektrolit dan defisit lainnya)
Gambar 7. Bagan akibat (efek) dehidrasi (Noerasid dkk, 1988)
b. Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis)
Metabolik asidosis ini terjadi karena :
1) kehilangan Na-bikarbonat bersama feses,
2) adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga
benda keton tertimbun dalam tubuh,
3) terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan,
4) produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat
dikeluarkan oleh feses (terjadi oliguria),
5) pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.
Secara klinis, asidosis dapat diketahui dengan memperhatikan
pernafasan. Pernafasan bersifat cepat, teratur, dan dalam yang disebut
c. Hipoglikemia dapat terjadi oleh karena beberapa sebab,
1) Penyimpanan atau persediaan glikogen dalam hati terganggu
2) Adanya gangguan absorpsi glukosa (walaupun jarang terjadi)
Gejala hipoglikemia tersebut dapat berupa : lemas, apatis, peka
rangsang, tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma. Adanya
hipoglikemi ini perlu dipertimbangkan apabila terjadi kejang yang tiba-tiba
tanpa adanya panas atau penyakit lain yang disertai dengan kejang.
d. Gangguan gizi
Sewaktu diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya
penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan karena :
1) makanan sering dihentikan karena takut diare dan muntah menjadi
bertambah hebat,
2) pada anak-anak walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan
pengenceran, dan susu encer ini diberikan terlalu lama,
3) makanan yang diberikan tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dengan baik
karena adanya hiperperistaltik.
e. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, dapat terjadi
gangguan sirkulasi darah berupa renjatan (shock) hipovolemik. Akibatnya
perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat
mengakibatkan pendarahan dalam otak, kesadaran menurun dan bila tidak
5. Tanda dan gejala diare
Menurut Hambleton (1995), gejala yang biasa ditemukan pada penderita
diare antara lain diare cair terkadang mengandung darah atau lendir, muntah dapat
mendahului sebelum atau sesudah diare, anoreksia, nyeri perut, distensi,
Madang-kadang ileus, dehidrasi, kehilangan elektrolit dan air.
Menurut Widjaya (2002), gejala-gejala klinis yang dapat timbul apabila
penderita terkena diare adalah bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah, suhu
badan meningkat, dan nafsu makan berkurang, feses makin cair, mengandung
darah/lendir, warna feses berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur
empedu, anus lecet, gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang,
muntah sesudah dan sebelum diare, hipoglikemia (penurunan kadar gula darah),
dehidrasi (kekurangan cairan). Bila terjadi dehidrasi timbul rasa haus, elastisitas
(turgor dan tonus) kulit menurun, bibir dan mulut kering, mata cowong, air mata
tidak keluar, tekanan darah rendah.
6. Penatalaksanaan diare
Diare yang diakibatkan infeksi umumnya dapat sembuh dengan
sendirinya. Mengurangi sakit dan mengembalikan hilangnya cairan dan elektrolit
umumnya mampu mengatasi diare yang ringan hingga sedang. Pengaturan awal
bagi orang dewasa dan anak-anak perlu dipusatkan pada penggantian cairan dan
elektrolit dengan cairan oral dalam dosis yang tepat. Secara simultan,
menghilangkan rasa sakit karena diare sebenarnya dapat dicapai dengan
menggunakan obat antidiare yang bukan berasal dari resep dokter, seperti
sembuh dan berfungsi normal kembali antara 24 sampai 72 jam tanpa pengobatan
tambahan, sedangkan diare yang cukup parah membutuhkan pemeriksaan dan
perawatan medis (Longe, 2005).
a. Tujuan terapi
Terdapat 5 tujuan terapi diare (Longe dan Di Piro, 2005), yaitu :
1) memperbaiki atau mencegah kehilangan cairan dan elektrolit dan
gangguan asam basa,
2) rehidrasi dengan memberikan oralit sebagai upaya rehidrasi oral,
3) menghilangkan tanda atau gejala,
4) mengidentifikasi dan mengobati diare, jika dimungkinkan,
5) mengontrol penyakit lain yang juga diderita oleh pasien selain diare.
b. Sasaran terapi
1) Cairan tubuh dan elektrolit.
2) Gejala.
3) Penyebab
c. Strategi terapi
Strategi pengobatan diare yaitu dapat dilakukan dengan menggunakan
obat (terapi farmakologis) dan atau tanpa menggunakan obat (terapi non
farmakologis). Apabila telah diketahui penyebabnya maka strategi terapi
1) Terapi non-farmakologis
a) Cairan dan elektrolit
Terapi yang utama pada diare adalah terapi rehidrasi. Oral Rehydration
Solution adalah campuran NaCl 3,5 gram, KCl 1,5 gram, Natrium sitrat 2,5 gram
dan glukosa 20 gram dalam 1 liter air matang. Pasangan glukosa dan garam Na
dapat diserap baik oleh usus penderita diare. Natrium memiliki kemampuan
meningkatkan pengangkutan dan meninggikan daya absorbsi gula melalui
membran sel. Gula dalam larutan NaCl juga berkhasiat meningkatkan penyerapan
air oleh dinding usus. Pasien dengan dehidrasi berat membutuhkan larutan
rehidrat secara intravaskuler untuk pertolongan pertama, dan larutan ORS saat
bisa minum, diteruskan dengan ORS tunggal saat gejala dehidrasi hilang.
Perawatan secara oral dapat dilakukan dalam 2 tahap tergantung pada
kondisi pasien, yaitu rehidrasi dan pemeliharaan terapi. Rehidrasi dilakukan untuk
menggantikan cairan yang kurang didalam tubuh, setelah rehidrasi terapi sudah
dilakukan, elektrolit yang diberikan untuk pemeliharaan agar komposisi elektrolit
tubuh normal kembali. Jika pasien sudah tidak mengalami dehidrasi, untuk
pemeliharaan cairan dan elektrolit terapi tetap dilakukan (Longe, 2005).
Tabel IV. Takaran pemakaian oralit pada diare (Anonim, 2000)
Umur < 1 tahun 1-4 tahun 5-12 tahun Dewasa
Tidak ada dehidrasi
Terapi A :
Mencegah dehidrasi
Dengan dehidrasi Terapi B :
Mengatasi dehidrasi
Tiap kali buang air besar
100 ml (0,5 gelas)
3 jam pertama beri oralit 300 ml
(1,5 gelas)
Selanjutnya setiap buang air besar beri oralit
b) Pengaturan makanan
Pasien dengan diare osmotik disarankan untuk menghindari makanan
berlemak, dan makanan kaya akan gula sederhana. Pasien dengan diare sekretori
disarankan untuk menghindari makanan atau minuman yang mengandung kafein
karena kafein dapat meningkatkan cAMP yang dapat menimbulkan jumlah cairan
sekresi dan dapat memperparah diare (Longe, 2005).
c) Pencegahan
Infeksi bakteri terjadi disebabkan oleh kuman dalam gastrointestinal. Hal
tersebut terjadi karena kurangnya perawatan di rumah dan lingkungan sekitar
yang tidak higienis. Pencegahan untuk diare yaitu mencuci tangan, dan
menggunakan teknik sterilisasi yang mungkin dapat mencegah terjadinya infeksi
kuman. Menjaga makanan agar tetap terjaga sanitasi untuk menghindari kuman
yang mungkin muncul (Longe, 2005).
2) Terapi farmakologis
Antidiare adalah obat yang bila diminum pada saat terserang diare akan
menunjukkan efek menghentikan diare. Zat-zat yang menekan peristaltik
sebetulnya tidak begitu layak untuk digunakan karena pada waktu diare
pergerakan usus sudah banyak berkurang, lagipula virus dan toksin perlu
dikeluarkan secepat mungkin dari dalam tubuh. Obat-obat untuk pengobatan diare
sebaiknya jangan diberikan lebih dari 7-10 hari, karena bisa jadi diare yang
diderita bukan benar-benar diare tetapi merupakan gejala dari penyakit yang lain
Sebagai penunjang dapat digunakan adsorbensia (arang aktif,
silikondioksida koloida, kaolin), zat pengembang (pektin) atau adstringensia
(preparat yang mengandung tannin seperti garam bismuth atau garam perak).
Norit atau arang aktif (karbo adsorben) adalah arang halus (nabati atau hewani)
yang telah diaktifkan melalui proses tertentu. Norit mempunyai daya serap pada
permukaannya (adsorpsi) yang kuat, terutama terhadap zat-zat yang molekulnya
besar, misalnya alkaloida, toksin bakteri atau zat-zat beracun yang berasal dari
makanan (Tjay dan Rahardja, 2002).
a) Loperamid
Loperamid sangat popular, efektif dan merupakan obat antidiare yang
aman untuk meringankan gejala diare akut dan diare spesifik (Longe, 2005). Obat
yang termasuk antimotilitas ini dapat digunakan pada pasien yang mengalami
diare akibat gangguan motilitas.
(1) Mekanisme aksi, loperamid merupakan turunan opiat yang mempunyai
efek antidiare dengan menstimuli reseptor μ opioid yang berlokasi di otot
sirkulasi intestinal. Aksinya yaitu menghambat motilitas saluran cerna,
membantu mengabsorspi cairan dan elektrolit melalui saluran cerna.
(2) Indikasi, loperamid efektif sebagai agen antidiare yaitu diare perjalanan,
diare akut nonspesifik, atau diare kronik yang dihubungkan dengan adanya
peradangan pada perut. Tidak diindikasikan untuk anak-anak di bawah umur
6 tahun dan juga pada diare berdarah.
(3) Efek samping yaitu rasa pusing dan konstipasi. Efek samping lainnya yaitu
dan reaksi hipersensitivitas. Apabila terjadi distensi abdominal, konstipasi
dan ileus, penggunaan loperamid dihentikan.
(4) Interaksi obat, jarang dilaporkan, tetapi loperamid dapat meningkatkan
efek penekan sistem saraf pusat.
(5) Kontraindikasi, loperamid tidak digunakan untuk pasien yang fecal
leukosit, demam tinggi dan disentri (Longe, 2005).
b) Adsorben
Adsorben gastrointestinal contohnya yaitu attapulgit, kaolin, pektin,
telah digunakan untuk penatalaksanaan diare akut nonspesifik yang ringan
(Longe, 2005). Bubuk kaolin biasanya dikombinasikan dengan pektin dan
digunakan secara luas sebagai bubuk adsorben. Penggunaan yang rasional dari
obat tersebut pada diare akut nonspesifik didasarkan pada kemampuannya
mengadsorpsi beberapa toksin bakteri yang menyebabkan kondisi tersebut
(Gangarosa,-). Obat golongan adsorbensia ini dapat digunakan untuk terapi
diare sekretori akibat toksin.
(1) Mekanisme aksi, adsorpsi kaolin tidak selektif. Ketika diberikan secara
oral, mungkin menyerap nutrisi dan enzim pencernaan, seperti halnya toksin,
bakteri dan berbagai material toksin di saluran cerna. Mereka juga mungkin
mengadsorpsi obat-obat di saluran cerna.
(2) Efek samping, konstipasi, bengkak, fullness (perut terasa penuh).
(3) Interaksi obat, penurunan absorpsi di saluran cerna untuk clindamycin,
c) Bismuth subsalisilat (BSS)
Obat ini hanya digunakan OTR di USA, efektif untuk menanggulangi
diare akut (Longe, 2005). Bismuth subsalisilat mengikat toksin pada intestinal
dan menutupi permukaan mukosal yang teriritasi. Penggunaan obat ini dapat
menyebabkan feses berwarna abu kehitaman dan pigmen berwarna coklat pada
lidah secara temporer atau sementara (Gangarosa,-).
(1) Mekanisme aksi, bismut oksiklorid tidak dapat larut dan kurang diabsorpsi
dengan baik dari traktus GI. Dan asam salisilat dengan mudah dan efektif
diabsorpsi. Efek terapik bismut dihubungkan dengan efek antimikroba
bismut untuk melawan enterooksigenik dan enterogregatif E.coli dan
C.jejuni serta kuman patogen lainnya. Bismuth subsalisilat juga mengikat
secara langsung enterotoksin yang dihasilkan oleh E.coli dan kuman patogen
lainnya.
(2) Indikasi, bismuth subsalisilat diindikasikan untuk mengurangi gejala diare
nonspesifik. Bismuth Subsalisilat juga diindikasikan untuk gangguan
pencernaan dan sebagai adjuvant antibiotik untuk mengatasi H.pylori yang
berhubungan dengan penyakit tukak peptik.
(3) Efek samping, pasien yang sensitif aspirin tidak boleh menggunakan BSS.
Konsentrasi bismut dalam darah di atas 50mg/L telah dapat disebut sebagai
keadaan ensefalopati yang ditandai dengan melambatnya tremor,
ketidakstabilan postural, ataksia, mioklonus, menurunkan konsentrasi,
kebingungan, kerusakan memori, epilepsi, visual dan halusinasi, psikosis,
(4) Kontraindikasi, produk ini kontraindikasi untuk wanita menyusui dan
wanita hamil dan oleh karena itu tidak boleh digunakan tanpa
pemberitahuan. Bismuth subsalisilat tidak dapat digunakan untuk pasien
AIDS karena akan berisiko terjadi neurotoksisitas.
(5) Interaksi obat, BSS mungkin berinteraksi dengan antikoagulan oral,
methotrexate, probenecid, dan obat-obat lanilla yang potensial berinteraksi
dengan aspirin (Longe, 2005).
d) Polikarbopil
Polikarbopil adalah serbuk kering laksatif yang telah digunakan untuk
mengatasi diare.
(1) Mekanisme aksi, polycarbophil dan mengabsorpsi hingga 60 kali berat
aslinya dalam air.
(2) Indikasi, karena sifat absorptifnya maka polycarbophil direkomendasikan
untuk semua jenis diare.
(3) Efek samping, ringan dan jarang, termasuk nyeri epigastrik yang
bergantung pada dosis, dan menjadi bengkak.
(4) Interaksi obat, polycarbophil dilaporkan menurunkan absorpsi dari
warfarin, digoxin, tetrasiklin, dan siprofloksasin (Longe, 2005).
e) Enzym pencernaan
Untuk pasien dengan defisiensi enzym laktase di saluran pencernaan,
tersedia cedían enzym laktase. Sediaan ini dapat ditambahkan (dalam tetes) pada
produk susu atau ditelan (dalam tabel) dengan susu pada waktu makan untuk
C. Persepsi Sehat-Sakit
Menurut Neuman (1990), sehat adalah keadaan dinamis yang berubah
secara terus-menerus sesuai dengan adaptasi individu terhadap berbagai
perubahan pada lingkungan internal dan eksternalnya untuk mempertahankan
keadaan fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan, dan spiritual yang
sehat. Sedangkan sakit merupakan proses dimana fungsi individu dalam satu atau
lebih dimensi yang ada mengalami perubahan atau penurunan bila dibandingkan
dengan kondisi individu sebelumnya.
Penelitian Kresno (1988), mengenai persepsi sehat-sakit mengartikan
sehat diartikan masyarakat sebagai suatu keadaan tubuh enak, nyaman, dan
mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Sakit diartikan sebagai rasa sakit, lemah,
pusing, gelisah, rewel, nangis terus, kantung kering. Disini terlihat bahwa persepsi
sehat-sakit lebih didasarkan pada konsep obyektif mengenai kemunculan
fenomena gejala yang dapat diukur. Keadaan ini menimbulkan perbedaan cara
penanggulangan penyakit antara petugas kesehatan dengan masyarakat.
Penelitian Rapid Ethnographic Assesment (REA) di Kabupaten Cianjur
pada tahun 1996 (Puska-UI), yang menyebutkan bahwa menurut masyarakat
terdapat 2 kelompok penyakit yang sifatnya berbeda, yaitu :
1. sakit luar yang disebabkan oleh lingkungan fisik rumah yang tidak bersih,
makanan ibu salah, dimandikan air dingin, diberi es dan makanan asam,
2. sakit dalam yang disebabkan oleh kemasukan roh atau karena kesambet
Termasuk keadaan ini adalah kejang-kejang, tampek yang belum keluar
bintik-bintiknya, mencret dengan disertai dehidrasi berat, mencret disertai
darah atau lendir.
Persepsi ini menimbulkan pula perbedaan di dalam cara masyarakat di
dalam menanganinya, dimana untuk sakit luar dapat diatasi oleh pelayanan
kesehatan modern, sedangkan untuk sakit dalam lebih merupakan porsi dukun
atau paraji untuk mengatasinya. Disinilah letak bahaya dari konsep tersebut,
karena justru penyakit yang parahlah yang ditangani oleh upaya kesehatan
tradisional.
D. Swamedikasi (Self-medication) 1. Definisi
Swamedikasi adalah bagian dari self-care. Menurut World Health
Organization (WHO) tahun 1998, swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan
dan penggunaan obat – obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh
individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri.
Sesuai dengan pernyataan bersama antara World Self-Medication
Industry (WSMI) dan Federation International Pharmaceutical (FIP),
self-medication atau swamedikasi didefinisikan sebagai penggunaan obat – obatan
tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif mereka sendiri (FIP & WSMI,
1999).
Terkait dengan penyakitnya, maka yang termasuk dalam lingkup
penderita. Seringkali pula istilah self-care dan self-medication digunakan secara
sinonim.
2. Perilaku swamedikasi
Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya
tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam
mengatasi masalah kesehatan (doctor minded), demografi dan epidemiologi,
ketersediaan pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan
faktor sosial ekonomi (Holt danHall, 1990).
Suatu survei yang pernah dilakukan di Amerika Serikat menyebutkan
bahwa terjadi peningkatan perilaku swamedikasi di kalangan masyarakat dengan
beberapa parameter.
a. Tingkat kepuasan konsumen terhadap keputusan mereka sendiri dalam
mengatasi masalah kesehatannya.
b. Kecenderungan melakukan pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep
untuk mengatasi simptom yang dirasakan dan penyakit ringan yang umum
diderita.
c. Keyakinan bahwa obat tanpa resep aman digunakan apabila dipakai sesuai
petunjuk.
d. Keinginan agar beberapa obat yang saat itu harus diperoleh dengan resep
dokter, diubah menjadi tanpa resep.
e. Kesadaran membaca label sebelum memilih dan menggunakan obat tanpa
resep, terutama mengenai aturan pakai dan cara pakai serta efek samping
Penggunaan obat tanpa resep untuk swamedikasi menuntut kepastian
bahwa obat tersebut terbukti aman, berkualitas dan memberikan efikasi sesuai
yang diharapkan (Holt dan Hall, 1990).
3. Keuntungan dan kerugian swamedikasi
Beberapa keuntungan dan kerugian sehubungan dengan peningkatan
perilaku swamedikasi terhadap penderita, dokter / pelayanan kesehatan, farmasis,
pengambil kebijakan dan industri farmasi dapat dilihat pada tabel V berikut ini
(Sihvo, 2000).
Tabel V. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi (Sihvo, 2000)
Obyek Keuntungan Kerugian
Kenyamanan dan kemudahan akses Diagnosis tidak sesuai / tertunda Tanpa biaya periksa / konsultasi Pengobatan berlebihan / tidak sesuai
Hemat waktu Kebiasaan menggunakan OTR
Empowerment Adverse Drug Reaction
Ada indikasi yang tak terobati Pasien
Kenaikan biaya berobat
Penurunan beban kerja Tidak dapat melakukan monitoring terapi Lebih banyak waktu untuk menangani kasus
penyakit berat
Kehilangan kesempatan untuk konseling dengan pasien
Berkurangnya peran Dokter/ sarana pelayanan
kesehatan
Berkurangnya pendapatan
Farmasis Perannya akan lebih dibutuhkan di Apotek Adanya konflik kepentingan antara bisnis dan etika profesi
Pengambil kebijakan Menghemat biaya kesehatan masyarakat Industri Farmasi Meningkatkan profit pada penjualan obat
bebas
-
4. Penyakit ringan (minor illness)
Terdapat bermacam – macam pengertian minor ailments, namun secara
umum didefinisikan sebagai kondisi klinis yang relatif ringan dan hanya
membutuhkan sedikit intervensi atau bahkan tidak sama sekali (self-limited
karena virus, pusing, demam, batuk, gusi bengkak, dermatitis kontak, diare, dan
lain-lain (Colin-Thome,-).
5. Penggolongan obat untuk swamedikasi
Penggolongan obat di Indonesia terdiri dari 6 golongan yaitu: obat bebas,
obat bebas terbatas, obat wajib apotek (OWA), obat keras, psikotropika, dan
narkotika (DepKes RI, 1996).
Golongan obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah obat
bebas, bebas terbatas dan OWA. Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat
diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Dalam
melayani pasien yang memerlukan obat wajib apotek, apoteker diwajibkan untuk
memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam
obat wajib apotek yang bersangkutan. Apoteker di apotek juga diwajibkan
membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan dan memberikan
informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping, dan
hal lain yang perlu diperhatikan pasien (DepKes RI, 1996).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
RINo.2380/A/SK/VI/83 tanggal 15 Juni 1983, obat bebas dan obat bebas terbatas
harus diberi tanda khusus berupa lingkaran. Untuk obat bebas, warna
lingkarannya hijau dengan tepi garis hitam, sedangkan untuk obat bebas terbatas,
warna lingkarannya biru tua dengan garis tepi hitam (DepKes, 1996).
Golongan obat bebas dapat diperoleh secara bebas tanpa resep dokter,
dibeli tanpa resep dokter, dengan syarat hanya dalam jumlah yang telah
ditentukan dan disertai tanda peringatan (Depkes RI, 1997).
6. Peranan apoteker dalam swamedikasi
Apoteker adalah tenaga ahli yang paling tahu mengenai obat dan
penggunaannya. Pada perkembangan swamedikasi, apoteker idealnya sebagai
gerbang (titik pertama) sistem perawatan kesehatan primer obat.
Dalam upaya meningkatkan pemakaian obat secara rasional diperlukan
peningkatan secara bersama-sama dalam seluruh proses terapi, yang mencakup :
penegakan diagnosis, pemilihan kelas terapi dan jenis obat, penentuan dosis dan
cara pemberian obat ke pasien dan evaluasi terapi (mencakup keberhasilan terapi
maupun kemungkinan timbulnya interaksi dan efek samping). Dengan bekal
pengetahuan dan keterampilan khusus, terutama farmakokinetika klinik, apoteker
dapat terlibat langsung dalam pelayanan pasien (direct patient care), apoteker
dapat berperan dalam tahap pemberian obat ke pasien. Dalam tahap ini, fungsinya
dapat berupa pemberi informasi, motivasi serta pemantauan penggunaan obat oleh
pasien (Suryawati, 1997).
7. Swamedikasi pada diare
Diare yang masih dalam batas lingkup swamedikasi adalah diare akut
yang termasuk dalam kategori diare ringan dan diare sedang. Longe (2005)
menggambarkan bagan atau algoritma penanganan diare yang memisahkan
gejala-gejala diare yang masih dapat diterapi dengan swamedikasi dan gejala-gejala-gejala-gejala diare