• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedika penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedika penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta."

Copied!
204
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Batuk merupakan penyakit yang banyak dikeluhkan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Swamedikasi sering dilakukan masyarakat ketika batuk. Keputusan swamedikasi dipengaruhi oleh status sosial ekonomi, pengetahuan, tingkat pendidikan, serta persepsi mengenai penyakit. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui problem swamedikasi batuk serta mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi batuk oleh ibu-ibu di Propinsi DIY.

Penelitian ini mencakup identifikasi problem swamedikasi batuk dengan jenis penelitian noneksperimental deskriptif dan hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi batuk dengan jenis penelitian noneksperimental analitik. Pemilihan sampel dilakukan secara klaster multi tahap. Data kualitatif hasil wawancara diolah secara deskriptif dan data kuantitatif hasil kuesioner dianalisis menggunakan uji chi-square.

Problem pada pengetahuan swamedikasi, meliputi ketidakpahaman mengenai pengertian, kerugian, keuntungan, pertimbangan swamedikasi dan tindak lanjut bila swamedikasi tidak efektif. Problem pengenalan penyakit batuk, meliputi ketidakpahaman mengenai pengertian, penyebab, tipe, gejala dan batasan swamedikasi batuk. Problem pada kesesuaian pemilihan obat batuk, antara lain ketidaktahuan mengenai jenis obat, ketidaksesuaian pemilihan obat, tidak dibantu dalam memilih obat, kurang aktif bila informasi obat kurang dipahami, tidak mendapat informasi obat dan tidak membaca informasi obat pada kemasan.

Melalui uji chi-square, diketahui terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan swamedikasi batuk, antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan dan tindakan swamedikasi batuk tetapi tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap swamedikasi batuk oleh ibu-ibu di Propinsi DIY.

Kata kunci: batuk, perilaku swamedikasi, ibu-ibu, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan

(2)

ABSTRACT

Cough is second of the most complaint disease in Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Self-medication often do by the people when they got cough. The decision making of self-medication is influenced by the social economic status, knowledge, level of education, and the health perception. The purposes of this research are to identify the self-medication problem of cough and to know the relationship between the level of education and level of income to self-medication behavior of cough by housewife in DIY.

This research are consist of problem identification to self-medication of cough which kind of descriptive nonexperimental research and relationship between the level of education and level of income to self-medication behavior of cough which kind of analytic nonexperimental research. The sampling based to multilevel cluster. The qualitative data (interview result) processed descriptively and the quantitative data (questioner result) analyzed by chi-squaretest.

Descriptively, there’s found problems in the self-medication knowledge, such as inappropriate on the definition, the disadvantage, the benefit, the consideration and the follow-up if the medication is not effective. In the self-diagnose of cough, the problems are do not understand the definition, the etiology, the type, the symptoms and the limitation of cough self-medication. The appropriateness problems of cough medicine selection are unknowingly the type of cough medicine, helpless to select the medicine, inactive if the drug information is unclear, get no drug information and do not read the information in the package.

Through chi-square test, there are found a relationship between level of education to self-medication behavior, between level of income to self-medication knowledge and action, but there’s no relationship between level of income to self-medication attitude of cough by the housewife in DIY.

Keyword: cough, self-medication behavior, housewife, level of education, level of income

(3)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENYAKIT BATUK OLEH

IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Yoanna Rissa Mayasari Sugiyarto NIM : 048114043

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENYAKIT BATUK OLEH

IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Yoanna Rissa Mayasari Sugiyarto NIM : 048114043

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2008

(5)
(6)
(7)

This unperfect minithesis dedicated to :

Jesus my saviour, Mother Mary for fulfilling my wishes

My parent Eustachius Sugiyarto, SE. and Chatarina Rajilah,

Ama.Pd for your patiently, praying, and your great affection

My big brother Yanuarius Benny Sugiyarto

My beloved Thomas Rahadito Sugoro for your profound

love, to inspire and to always stand beside me

on the last 77 months. I hope it gonna be forever…

(8)
(9)

PRAKATA

Segenap puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala cinta, penyertaan, kekuatan, dan berkat yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi Penyakit Batuk oleh Ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” dengan sebaik-baiknya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) pada Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis telah banyak mendapatkan penyertaan, dukungan dan segala bentuk bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si, Apt., selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta serta dosen penguji skripsi

2. Ibu Aris Widayati, M.Si, Apt., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan membimbing dan selalu memberikan semangat kepada penulis 3. Bapak dr. Harimat Hendarwan, M.Kes, selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah banyak membantu dan membimbing penulis 4. Bapak Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen penguji skripsi

5. Dikti atas dana hibah A3 yang diberikan untuk mendanai penelitian penulis yang merupakan bagian dari penelitian payung

6. Bappeda DIY yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian

(10)

7. Bappeda Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian

8. Bappeda Kabupaten Kulon Progo yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian

9. Dosen, karyawan dan laboran Fakultas Farmasi yang telah banyak membantu penulis selama menuntut ilmu di Universitas Sanata Dharma

10.Kedua orang tua penulis Eustachius Sugiyarto dan Chatarina Rajilah atas kesabaran, dukungan, doa serta penyertaan sepanjang hidup penulis dan kakak penulis Yanuarius Benny Sugiyarto untuk doa dan semangatnya

11.Pakdhe Bruder Frans D. Atmadja yang memberikan semangat dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini

12.Thomas Rahadito Sugoro yang selalu mendampingi, memberikan semangat serta saran dan atas penghiburan dalam hidup penulis. Terima kasih karena diperkenankan menjadi bagian hidupmu

13.Keluarga besar Budiyo Budiharjo dan Karti Notowiryono atas doa dan semangatnya

14.Teman-teman sekelompok penelitian, Mbakyu Anna Dudul, Bul-bul Tice, Bul-bul Puipin, Henny, Cici Limdra, Zonkie dan Fandy. Terima kasih untuk persahabatan, kerjasama, solidaritas, dukungan dan doa yang diberikan

15.Mahes, Ko’ Edi dan Ko’ Bokong atas bantuannya selama penelitian

16.Teman-teman penulis, Teteh Nung, Gadhul, Cemplon, Sisca, Rina, Sisil, Liza, Jem Nana, Jem Keke, Ndhu, Ari, Rintul, Tikachu, Nopheng, Rian dan segenap

(11)

mahasiswa angkatan 2004 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma khususnya kelas FKK

17.Untuk Inez, Hevie, Anggia, Galuh, Tias, Retha, Angie, Achie, Sella, dan teman-teman SMA penulis atas persahabatan yang sangat berharga

18.Semua responden yang telah memberikan waktu, tanpa kelapangan hati mereka penulis takkan mencapai titik ini

19.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini

Dengan segenap kerendahan hati penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat menyempurnakan dan membangun.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Penulis

(12)
(13)

INTISARI

Batuk merupakan penyakit yang banyak dikeluhkan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Swamedikasi sering dilakukan masyarakat ketika batuk. Keputusan swamedikasi dipengaruhi oleh status sosial ekonomi, pengetahuan, tingkat pendidikan, serta persepsi mengenai penyakit. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui problem swamedikasi batuk serta mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi batuk oleh ibu-ibu di Propinsi DIY.

Penelitian ini mencakup identifikasi problem swamedikasi batuk dengan jenis penelitian noneksperimental deskriptif dan hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi batuk dengan jenis penelitian noneksperimental analitik. Pemilihan sampel dilakukan secara klaster multi tahap. Data kualitatif hasil wawancara diolah secara deskriptif dan data kuantitatif hasil kuesioner dianalisis menggunakan uji chi-square.

Problem pada pengetahuan swamedikasi, meliputi ketidakpahaman mengenai pengertian, kerugian, keuntungan, pertimbangan swamedikasi dan tindak lanjut bila swamedikasi tidak efektif. Problem pengenalan penyakit batuk, meliputi ketidakpahaman mengenai pengertian, penyebab, tipe, gejala dan batasan swamedikasi batuk. Problem pada kesesuaian pemilihan obat batuk, antara lain ketidaktahuan mengenai jenis obat, ketidaksesuaian pemilihan obat, tidak dibantu dalam memilih obat, kurang aktif bila informasi obat kurang dipahami, tidak mendapat informasi obat dan tidak membaca informasi obat pada kemasan.

Melalui uji chi-square, diketahui terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan swamedikasi batuk, antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan dan tindakan swamedikasi batuk tetapi tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap swamedikasi batuk oleh ibu-ibu di Propinsi DIY.

Kata kunci: batuk, perilaku swamedikasi, ibu-ibu, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan

(14)

ABSTRACT

Cough is second of the most complaint disease in Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Self-medication often do by the people when they got cough. The decision making of self-medication is influenced by the social economic status, knowledge, level of education, and the health perception. The purposes of this research are to identify the self-medication problem of cough and to know the relationship between the level of education and level of income to self-medication behavior of cough by housewife in DIY.

This research are consist of problem identification to self-medication of cough which kind of descriptive nonexperimental research and relationship between the level of education and level of income to self-medication behavior of cough which kind of analytic nonexperimental research. The sampling based to multilevel cluster. The qualitative data (interview result) processed descriptively and the quantitative data (questioner result) analyzed by chi-squaretest.

Descriptively, there’s found problems in the self-medication knowledge, such as inappropriate on the definition, the disadvantage, the benefit, the consideration and the follow-up if the medication is not effective. In the self-diagnose of cough, the problems are do not understand the definition, the etiology, the type, the symptoms and the limitation of cough self-medication. The appropriateness problems of cough medicine selection are unknowingly the type of cough medicine, helpless to select the medicine, inactive if the drug information is unclear, get no drug information and do not read the information in the package.

Through chi-square test, there are found a relationship between level of education to self-medication behavior, between level of income to self-medication knowledge and action, but there’s no relationship between level of income to self-medication attitude of cough by the housewife in DIY.

Keyword: cough, self-medication behavior, housewife, level of education, level of income

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... xix

INTISARI ... x

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN... xxi

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah ... 5

2. Keaslian Penelitian... 5

3. Manfaat ... 7

B. Tujuan ... 8

1. Tujuan Umum ... 8

2. Tujuan Khusus ... 8

(16)

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 9

A. Sistem Pernafasan ... 9

1. Hidung... 9

2. Kerongkongan... 10

3. Kotak Suara... 11

4. Batang Tenggorok... 11

5. Paru-paru... 12

B. Batuk ... 12

1. Definisi... 12

2. Etiologi... 13

3. Mekanisme ... 15

4. Tanda dan Gejala ... 17

5. Tipe-tipe Batuk ... 17

6. Penatalaksanaan ... 18

C. Swamedikasi ... 24

1. Definisi... 24

2. Perilaku Swamedikasi ... 25

3. Penyakit Ringan/Minor Illness... 26

4. Golongan Obat Swamedikasi... 27

5. Pemilihan dan Penggunaan Obat Tanpa Resep ... 29

6. Pengobatan yang Rasional ... 30

7. Peranan Apoteker dalam Swamedikasi... 32

8. Swamedikasi Batuk... 33

(17)

D. Pendidikan... 35

E. Pendapatan ... 36

F. Perilaku ... 37

1. Pengetahuan ... 40

2. Sikap ... 42

3. Tindakan ... 44

G. Teori tentang Perilaku... 45

1. Teori Aksi ... 45

2. Model Perubahan Perilaku dari Green ... 45

3. Model Kepercayaan Kesehatan dari Rosenstock ... 46

H. Landasan Teori... 47

I. Hipotesis ... 48

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 51

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 51

B. Definisi Operasional ... 52

C. Variabel Penelitian... 54

D. Populasi Penelitian... 54

E. Lokasi Penelitian... 55

F. Besar Sampel ... 57

G. Waktu Penelitian ... 61

H. Instrumen Penelitian ... 62

I. Tata Cara Penelitian ... 63

1. Analisis Situasi... 63

(18)

2. Pembuatan Instrumen Penelitian... 65

3. Pengumpulan Data ... 69

J. Tata Cara Pengolahan Data... 70

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 73

A. Karakteristik Responden ... 73

B. Problem yang Timbul dalam Swamedikasi Batuk ... 80

1. Problem Pada Pengetahuan Responden Mengenai Swamedikasi... 80

2. Problem Pada Kesesuaian Pengenalan Penyakit Batuk ... 83

3. Problem Pada Kesesuaian Pemilihan Obat Batuk ... 89

C. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Swamedikasi Batuk... 98

1. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengetahuan Mengenai Swamedikasi Batuk... 100

2. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Sikap Swamedikasi Batuk ... 101

3. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tindakan Swamedikasi Batuk ... 103

D. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi Batuk ... 104

1. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Pengetahuan Mengenai Swamedikasi Batuk... 104

2. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Sikap Swamedikasi Batuk ... 106

3. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Tindakan Swamedikasi Batuk... 107

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(19)

LAMPIRAN... 119 BIOGRAFI PENULIS ... 180

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi ... 26

Tabel II. Tanda dan Gejala Penyakit yang Dihubungkan dengan Batuk .. 34

Tabel III. Kabupaten dan Kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta . 55 Tabel IV. Jumlah dan Distribusi Sampel di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 58

Tabel V. Jumlah dan distribusi sampel di Kota Yogyakarta ... 58

Tabel VI. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Gondokusuman... 59

Tabel VII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Demangan ... 59

Tabel VIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Baciro... 59

Tabel IX. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wirobrajan... 59

Tabel X. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wirobrajan ... 59

Tabel XI. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Pakuncen... 59

Tabel XII. Jumlah dan distribusi sampel di Kabupaten Kulon Progo ... 59

Tabel XIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Nanggulan ... 60

Tabel XIV. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Banyuroto ... 60

Tabel XV. Jumlah dan distribusi sampel di kelurahan Donomulyo ... 60

Tabel XVI. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wates ... 60

Tabel XVII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Sogan ... 60

Tabel XVIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wates ... 60

Tabel XIX. Tabel Bagian-bagian Kuesioner... 63

Tabel XX. Kategorisasi Pendidikan Responden... 75

(21)

Tabel XXI. Kategorisasi Pendapatan Responden ... 76

Tabel XXII. Problem pada Pengetahuan Mengenai Swamedikasi... 80

Tabel XXIII. Problem pada Pengenalan Penyakit Batuk ... 83

Tabel XXIV. Problem Pada Kesesuaian Pemilihan Obat Batuk ... 89

Tabel XXV. Kategori Pengetahuan Responden ... 99

Tabel XXVI. Kategori Sikap Responden... 99

Tabel XXVII. Kategori Tindakan Responden... 99

Tabel XXVIII.Nilai harapan hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan mengenai swamedikasi batuk ... 100

Tabel XXIX. Hasil uji chi-square tingkat pendidikan dan pengetahuan mengenai swamedikasi batuk... 101

Tabel XXX. Nilai harapan hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi batuk... 102

Tabel XXXI. Hasil uji chi-square tingkat pendidikan dan sikap swamedikasi batuk... 102

Tabel XXXII. Nilai harapan hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan swamedikasi batuk ... 103

Tabel XXXIII. Hasil uji chi-square tingkat pendidikan dan tindakan swamedikasi batuk ... 104

Tabel XXXIV. Nilai harapan hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan mengenai swamedikasi batuk ... 105

Tabel XXXV. Hasil uji chi-square tingkat pendapatan dan pengetahuan mengenai swamedikasi batuk... 105

(22)

Tabel XXXVI. Nilai harapan hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap swamedikasi batuk... 106 Tabel XXXVII. Hasil uji chi-square tingkat pendapatan dan sikap

swamedikasi batuk ... 107 Tabel XXXVIII. Nilai harapan hubungan antara tingkat pendapatan dengan

tindakan swamedikasi batuk ... 108 Tabel XXXIX. Hasil uji chi-square tingkat pendapatan dan tindakan

swamedikasi batuk ... 108

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Sistem Pernafasan ... 10 Gambar 2. Gambar skematik fase terjadinya batuk ... 16 Gambar 3. Bagan langkah-langkah pengembangan suatu intervensi dalam

peningkatan penggunaan obat yang rasional oleh konsumen ... 31 Gambar 4. Algoritma Swamedikasi Batuk ... 34 Gambar 5. Bagan Hasil Modifikasi Blum dan Green ... 39 Gambar 6. Skema Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku

Swamedikasi ... 48 Gambar 7. Skema Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku

Swamedikasi ... 48 Gambar 8. Bagan Lokasi dan Besar Sampel Penelitian... 61 Gambar 9. Bagan tata cara penelitian dan pengolahan data ... 72 Gambar 10. Karakteristik Umur Responden... 73 Gambar 11. Karakteristik Pendidikan Responden ... 74 Gambar 12. Karakteristik Pendapatan Responden ... 76 Gambar 13. Karakteristik Pekerjaan Responden ... 78 Gambar 14. Frekuensi swamedikasi yang dilakukan keluarga dalam sebulan.. 79 Gambar 15. Frekuensi terserang batuk dalam keluarga sebulan terakhir ... 79

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perizinan ... 119 Lampiran 2. Hasil Uji Reliabilitas... 137 Lampiran 3. Kuesioner ... 138 Lampiran 4. Hasil Kuesioner : Pengetahuan ... 142 Lampiran 5. Hasil Kuesioner : Sikap ... 146 Lampiran 6. Hasil Kuesioner : Tindakan ... 150 Lampiran 7. Pedoman Wawancara... 154 Lampiran 8. Hasil Wawancara ... 158 Lampiran 9. Karakteristik Responden ... 174

(25)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Salah satu kebiasaan manusia yang diwarisi dari nenek moyangnya ialah melakukan swamedikasi atau pengobatan sendiri jika menderita sakit (Sartono,1993b). Swamedikasi adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat-obat tanpa resep untuk mengatasi penyakit-penyakit ringan (minor illness) secara tepat dan bertanggung jawab (Holt dan Hall, 1990). Swamedikasi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan obat tradisional atau jamu dan obat-obat paten baik dari golongan obat bebas maupun golongan obat bebas terbatas (Sartono, 1993b).

Sekarang ini semakin banyak masyarakat memilih swamedikasi. Menurut Donatus (1997) kenyataan ini didukung laporan bahwa lebih kurang 82% masyarakat melakukan praktek swamedikasi. Peningkatan ini disebabkan karena harga obat dan pelayanan kesehatan semakin mahal, banyak produk-produk tanpa resep yang beredar, serta maraknya iklan obat di media cetak dan media elektronik.

Data yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2001 diketahui bahwa 77,3 % penduduk sakit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan swamedikasi sebagai tindakan awal dalam pencarian pengobatan (Handayani, 2003).

(26)

Kecenderungan swamedikasi yang terus meningkat juga didukung oleh beberapa faktor, antara lain: pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat-obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR/Obat Tanpa Resep (OTC/Over The Counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan atau gejala yang muncul, serta diterimanya pengobatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan (WHO, 1998).

Swamedikasi yang dilakukan oleh masyarakat dapat menjadi sangat boros karena konsumsi obat-obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan, atau malah bisa berbahaya misalnya karena penggunaan yang tidak sesuai aturan pakai. Bagaimanapun, obat bebas dan bebas terbatas bukan berarti bebas efek samping, sehingga pemakaiannya pun harus sesuai dengan indikasi, dosis, lama pemakaian yang benar, disertai dengan pengetahuan pengguna tentang risiko efek samping dan kontraindikasinya (Lazarus , Tsechkovski, dan Tarakanova, 2002).

(27)

mengungkapkan bahwa 82% wanita dan 71% pria menggunakan obat tanpa resep untuk mengobati penyakit ringan yang dialami (Pal, 2002).

Upaya swamedikasi juga umum dilakukan masyarakat ketika terserang batuk dengan mengkonsumsi obat-obat tradisional, menggunakan obat-obat tanpa resep yang banyak terdapat di warung-warung, toko obat dan apotek, dan jika belum sembuh baru kemudian berobat ke dokter. Masyarakat yang menderita batuk umumnya melakukan upaya pengobatan karena batuk membuat mereka terganggu terutama pada saat bekerja dan tidur (Tietze, 2000).

Batuk merupakan penyakit yang umum diderita masyarakat. Mayoritas batuk yang terjadi dalam masyarakat merupakan batuk akut dan batuk yang self-limiting,

sehingga banyak masyarakat menangani batuk dengan menggunakan obat-obat over the counter (Everett, Kastelik, Thompson, dan Morice, 2007). Pada tahun 2002, batuk menempati urutan kedua setelah pilek dengan persentase sebesar 45,32% sebagai penyakit yang paling banyak dikeluhkan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DepKes RI, 2004).

(28)

Barat (Supardi dan Notosiswoyo, 2005) menunjukkan bahwa swamedikasi yang benar (sesuai dengan aturan) masih rendah.

Beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan perilaku swamedikasi penyakit batuk oleh ibu-ibu adalah tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap penyakit batuk. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Holt dan Hall (1990) dimana perilaku swamedikasi sebagai suatu pencarian pengobatan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam mengatasi masalah kesehatan (doctor minded), demografi dan epidemiologi, ketersediaan pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial ekonomi. Menurut Schwartz dan Hoopes (1990) dalam menentukan pengambilan keputusan swamedikasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, pengetahuan, tingkat pendidikan, serta persepsi seseorang terhadap gejala-gejala penyakit dan cara penyembuhannya. Faktor sosial ekonomi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perilaku swamedikasi. Menurut Berk (2007), status sosial ekonomi merupakan kombinasi dari 3 variabel yang berhubungan yaitu pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.

(29)

terhadap perilaku swamedikasi penyakit batuk khususnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.

1. Rumusan Masalah

a. Seperti apa karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit batuk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

b. Apa saja problem yang timbul dalam swamedikasi penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

c. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

d. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian sebelumnya yang menyerupai penelitian ini adalah:

(30)

sedangkan yang penulis kaji dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi problem yang timbul dalam swamedikasi penyakit batuk serta mengetahui apakah terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan terhadap swamedikasi penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. ”Pengaruh Iklan Obat Batuk Terhadap Pemilihan dan Penggunaan Obat Batuk Bebas dan Bebas Terbatas oleh Masyarakat di Kota Surakarta”. Dalam penelitian ini dikaji mengenai pengaruh iklan obat batuk terhadap pengetahuan dan keterampilan dalam memilih obat batuk sebagai wujud dari swamedikasi penyakit batuk oleh masyarakat di Surakarta (Jati, 2003). Sedangkan dalam penelitian ini penulis mengidentifikasi problem dalam swamedikasi penyakit batuk serta mengetahui apakah terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan terhadap swamedikasi penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(31)

tingkat pendapatan terhadap swamedikasi penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ditinjau dari permasalahan yang dikaji, terdapat perbedaan antara penelitian ini dengan ketiga penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Selain itu dilihat dari lokasi penelitian, ketiga penelitian sebelumnya mengambil lokasi di Wonosobo, Surarakarta dan Sragen, sedangkan penelitian ini dilakukan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ”Hubungan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi Penyakit Batuk oleh Ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” belum pernah dilakukan.

3. Manfaat

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu farmasi khususnya mengenai swamedikasi penyakit batuk.

b. Manfaat Praktis

(32)

B. Tujuan 1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi problem pada perilaku swamedikasi penyakit batuk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit batuk yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai dasar pembuatan modul edukasi bagi masyarakat dan guideline intervensi oleh apoteker untuk meningkatkan kesesuaian swamedikasi penyakit batuk.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit batuk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Mengidentifikasi problem yang timbul dalam swamedikasi penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

c. Mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan swamedikasi penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(33)

BAB II

PENELAHAAN PUSTAKA

A. Sistem Pernafasan

Pernafasan adalah proses ganda, yaitu pertukaran gas di dalam jaringan atau ”pernafasan dalam” dan pertukaran gas yang terjadi di dalam paru-paru atau disebut ”pernafasan luar” (Pearce, 2004).

Sistem pernafasan terdiri dari hidung, kerongkongan (pharynx), kotak suara

(larynx), batang tenggorok (trachea), saluran pernafasan (bronchi/cabang batang tenggorok) dan paru-paru.

1. Hidung

Hidung terdiri dari dua ruang yang berdampingan satu sama lain, yang dipisahkan oleh pelat tulang rawan dan tulang yang disebut septum. Dua lubang hidung bermula dari wajah, dan di bagian belakang lubang hidung bersambung ke kerongkongan. Membran yang berisi kelenjar-kelenjar yang mengeluarkan lendir dan kaya pembuluh darah menutupi seluruh rongga. Di dalam lubang hidung terdapat banyak rambut yang menyaring partikel-partikel debu dan kotoran-kotoran lain. Membran pelapis dilengkapi dengan tonjolan-tonjolan seperti rambut yang dilengkapi

cillia (Hardngè dan Shryock, 2003). Sewaktu udara melalui hidung, udara disaring oleh cillia, dan karena kontak dengan permukaan lendir yang dilaluinya maka udara menjadi hangat, dan oleh penguapan air dari permukaan selaput lendir menjadi lembab. Hidung menghubungkan lubang-lubang dari sinus udara para-nasalis yang

(34)

masuk ke rongga-rongga hidung, dan juga lubang-lubang naso-lakrimal yang menyalurkan air mata dari mata ke dalam bagian bawah rongga nasalis, ke dalam hidung (Pearce, 2004).

Gambar 1. Sistem Pernafasan (diambil dari Cohen & Wood, 2000)

2. Kerongkongan

(35)

limfoid yang agak terpisah mengelilingi kerongkongan. Di bagian atas, di sebelah kanan dan kiri, terdapat adenoids yang mengelilingi saluran pendengaran. Sedikit di bawah adenoids terdapat amandel atau palatine tonsils di kanan dan kiri. Di antara amandel terdapat jaringan limfe kecil yang agak terpencar. Pada waktu udara yang dihirup melewati struktur limfe ini, mereka menyaring kuman-kuman penyebab penyakit (Hardngè dan Shryock, 2003).

3. Kotak suara

Kotak suara atau larynx terletak tepat di bawah kerongkongan. Dan bagian bawah kotak suara bersambungan langsung dengan batang tenggorok. Bagian dalam kotak suara dilapisi dengan lapisan lendir. Dalam kotak suara terdapat pita suara yang terdiri atas otot-otot kecil. Kemudian pita suara ini yang merupakan pembentuk suara (Hardngè dan Shryock, 2003). Kotak suara terdiri atas kepingan tulang rawan, yang terbesar adalah tulang rawan tiroid. Pada puncak tulang rawan tiroid terdapat

epiglottis yang berupa katup tulang rawan dan membantu menutup larynx sewaktu menelan (Pearce, 2004).

4. Batang tenggorok

(36)

batang tenggorok dan cabang batang tenggorok terdiri dari selaput lendir yang bersilia, yang berfungsi membersihkan udara yang dihirup, dihangatkan atau didinginkan. Bila fungsi silia terganggu sehingga lendir berkumpul, maka batuk akan membersihkan saluran pernafasan (Hardngè dan Shryock, 2003).

5. Paru-paru

Paru-paru merupakan saluran bercabang-cabang, dari cabang tenggorok besar hingga bronchioles. Bronchioles yang jumlahnya sangat banyak terdiri dari kantung-kantung udara yang disebut alveoli. Dinding alveoli ini hanya setebal satu lapis sel, sehingga memungkinkan oksigen dan karbondioksida bisa keluar masuk dengan bebas melewati pembuluh-pembuluh darah kapiler yang berdekatan. Paru-paru mempunyai dua sumber pembuluh darah, yaitu pembuluh darah arteri yang membawa darah yang sudah kehabisan oksigen untuk diisi kembali di paru-paru, dan pembuluh darah arteri cabang tenggorok yang kaya oksigen untuk memberikan oksigen ke setiap sel paru-paru itu sendiri (Hardngè dan Shryock, 2003).

B. Batuk 1. Definisi

(37)

pernafasan di otak (Kuswibawati,2000). Refleks batuk dapat ditimbulkan oleh sebab mekanis seperti asap rokok, debu, tumor, perubahan suhu secara mendadak, rangsangan kimiawi seperti gas, bau-bauan, peradangan (infeksi) dan alergi (Tjay dan Raharja, 2002).

Kesadaran akan gangguan yang ditimbulkan batuk bervariasi untuk masing-masing penderita, batuk dapat mengganggu jika timbulnya mendadak terutama jika disertai nyeri dada, sesak nafas, atau dahak yang banyak. Namun, batuk yang kronis (menahun), misalnya pada perokok yang menderita infeksi saluran pernafasan, penderita mungkin sulit menyadarinya dan mungkin menganggapnya normal (Kuswibawati, 2000).

2. Etiologi

Kebanyakan orang menganggap bahwa batuk adalah penyakit ringan yang bisa sembuh sendiri. Meskipun demikian, bukan tidak mungkin batuk yang lama selain sangat menjengkelkan dan bisa menular, bisa juga menimbulkan infeksi sekunder pada saluran pernafasan. Batuk dapat ditimbulkan oleh stimulasi infeksi (peradangan), mekanis, kimiawi, dan termal (suhu) pada reseptor batuk (Tjay dan Rahardja, 2002).

(38)

hidung tersumbat. Hingga saat ini belum ditemukan obat-obatan untuk penyakit infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus, sehingga hanya diberikan pengobatan untuk menghentikan gejalanya. Pada keadaan ini apabila tidak disertai dengan suhu tubuh yang meningkat, biasanya penderita bisa mencari pengobatan sendiri untuk menghentikan gejalanya (Weinberger dan Braunwald, 2001).

Stimulasi mekanis ditimbulkan oleh karena masuknya partikel-partikel kecil seperti debu, dan oleh karena penekanan atau tegangan saluran pernafasan misalnya karena penekanan tumor atau bisa juga karena penurunan kelenturan jaringan paru yang disebabkan jaringan perut, atau edema paru (adanya cairan dalam paru) (Tjay dan Rahardja, 2002).

Rangsang kimiawi dapat terjadi akibat kemasukan gas yang bersifat iritatif termasuk asap rokok dan gas kimia. Banyak obat yang bisa menimbulkan efek yang merugikan pada sistem respirasi dan menyebabkan batuk. Namun demikian, batuk sendiri bisa merupakan efek samping dari obat. Pada 10% pasien, batuk disebabkan oleh induksi beberapa obat-obatan, seperti penghambat angiotensin-converting

enzyme (ACE) (Tietze, 2004). Pada 5-20% pasien yang menggunakan ACEI

(39)

(Weinberger dan Braunwald, 2001). Rangsang termal ditimbulkan karena dingin atau panas (Tjay dan Rahardja, 2002).

Batuk akut biasanya disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernafasan atas, misalnya pada common cold. Batuk sub akut disebabkan oleh batuk

postinfectius, sinusitis oleh bakteri dan asma. Penyebab penyakit batuk kronis yang paling sering pada pada pasien yang tidak merokok adalah sindrom postnasal drip, asma, penyakit refluks gastroesophageal (Tietze, 2004).

3. Mekanisme

Batuk disebabkan oleh stimulasi pada reseptor, baik pada reseptor kimiawi maupun mekanik yang terletak di lapisan mukosa (lendir) saluran pernafasan dan paru-paru. Kemudian rangsang tersebut dibawa oleh serabut syaraf menuju ke pusat batuk di otak yang kemudian akan mengkoordinir otot-otot tulang iga, otot-otot perut dan diafragma (sekat antara rongga dada dengan rongga perut) sehingga menyebabkan terjadinya batuk (Tietze, 2000).

(40)

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi. Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu (Aditama, 1993).

Gambar 2. Gambar skematik fase terjadinya batuk (Aditama, 1993)

(41)

lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah (Aditama, 1993).

Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Di pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis. Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran nafas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. (Aditama, 1993).

4. Tanda dan Gejala

Batuk ditandai dengan adanya gatal pada tenggorokan, tenggorokan sakit, reflek batuk dan postnasal drip. Sedangkan batuk yang disebabkan oleh bakteri virus maupun jamur diawali dengan tenggorokan serak dan kering yang kemudian keluar sputum dengan disertai reflek batuk yang pendek. Selain demam, nyeri dada dan kongesti, infeksi pada batuk juga ditandai adanya dahak yang berwarna bukan bening maupun putih (Feinstein, 1994).

5. Tipe-tipe Batuk

(42)

pernafasan bawah yang bila ditahan untuk tidak dikeluarkan dapat menurunkan kemampuan jalan pernafasan dan paru-paru dalam melawan infeksi. Sekret yang dikeluarkan dapat berupa cairan bening (pada bronkhitis), purulent (pada infeksi bakteri), berwarna keruh, ataupun berbau (pada infeksi bakteri anaerob). Batuk nonproduktif (batuk kering) menimbulkan ketidaknyamanan dalam beraktivitas. Batuk nonproduktif dapat disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernafasan, infeksi bakteri, penyakit refluks gastroesophageal, penyakit jantung dan obat-obatan (Tietze, 2004).

6. Penatalaksanaan a. Tujuan Terapi

Tujuan utama swamedikasi batuk adalah untuk mengurangi jumlah dan keparahan batuk. Sedangkan tujuan terapi yang kedua adalah untuk mencegah komplikasi (Tietze, 2004).

b. Sasaran Terapi

Bila diketahui penyebabnya sasaran terapi batuk adalah penyebab batuk (terapi spesifik/kausatif), sedangkan bila tidak diketahui penyebabnya sasaran terapi batuk adalah gejala yang terjadi saat batuk (terapi nonspesifik/simptomatik) (Weinberger dan Braunwald, 2001).

c. Strategi Terapi

(43)

obat ACEI yang digunakan) dan mengatasi pemicu endogen (postnasal drip, penyakit refluks gastroesophageal) yang menyebabkan batuk (Weinberger dan Braunwald, 2001).

Pada terapi simptomatik batuk, strategi terapi yang dilakukan untuk batuk produktif adalah meningkatkan aliran dahak dan mengencerkan dahak, sedangkan pada batuk nonproduktif dengan menekan reseptor atau pusat batuk (Tietze, 2004). Strategi terapi untuk mengatasi batuk ada dua macam yaitu farmakologis dan nonfarmakologis.

(1). Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis adalah terapi dengan menggunakan obat, obat batuk dapat digolongkan menjadi empat golongan besar, yaitu :

(a). antitusif

Antitusif menurut Wijoyo (2000) adalah golongan obat yang bersifat meredakan/menekan batuk, sedangkan Tietze (2004) menyatakan bahwa obat batuk golongan antitusif berfungsi menaikkan ambang batuk. Mekanisme kerja obat golongan antitusif yaitu dengan cara menekan pusat-pusat batuk secara langsung, baik yang berada di sumsum sambungan (medulla) atau mungkin bekerja terhadap pusat saraf yang lebih tinggi (di otak) dengan efek tranquilizer (menenangkan).

(44)

Kodein diindikasikan menekan batuk yang disebabkan oleh bahan kimia atau mekanik pengiritasi saluran pernafasan. Kodein tidak diperuntukkan untuk anak-anak. Umumnya kodein pada dosis sebagai antitusif mempunyai toksisitas rendah dan dapat menimbulkan resiko adiksi. Kodein bekerja dengan menekan pusat batuk pada medulla dan nucleus tractus solaris untuk meningkatkan ambang batuk. Kodein dapat menimbulkan efek samping antara lain mual, muntah, mengantuk, pening, dan konstipasi. Interaksi kodein adalah dengan obat-obat penekan susunan syaraf pusat seperti barbiturat, obat penenang dan alkohol (Tietze, 2004). Kodein mempunyai kontraindikasi pada orang-orang yang mempunyai riwayat hipersensitivitas terhadap kodein, pasien yang sebelumnya sudah mendapat antitusif lain atau obat-obat penekan sistem syaraf pusat termasuk alkohol, dan pasien yang mempunyai kecanduan terhadap kodein (Tietze, 2000).

(45)

mual, muntah dan konstipasi. Dekstrometorfan mempunyai kontraindikasi terhadap pasien dengan riwayat hipersensitivitas dekstrometorfan atau pasien dengan riwayat ketergantungn dekstrometorfan, dan pasien yang menggunakan obat-obat penghambat Monoamin Oksidase (MAO). Pasien yang menggunakan obat-obat penghambat MAO hanya boleh menggunakan dekstrometorfan minimal 14 hari setelah menggunakan obat-obat penghambat MAO tersebut. Dekstrometorfan berinteraksi dengan alkohol, antihistamin, obat-obat psikotropik dan obat-obat penekan susunan syaraf pusat lain (Tietze, 2004).

Golongan antitusif yang ketiga adalah difenhidramin HCl. Antitusif golongan ini diindikasikan untuk menekan batuk nonproduktif yang disebabkan iritasi saluran pernafasan oleh bahan kimia atau mekanik. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh difenhidramin antara lain mengantuk, koordinasi tubuh terganggu, depresi pernafasan, retensi urin, dan mulut menjadi kering. Difenhidramin potensial menekan efek dari narkotik, analgesik nonnarkotik, benzodiazepam, dan alkohol pada susunan syaraf pusat. Difenhidramin juga menambah efek antikolinergik dari obat-obat penghambat MAO dan antimuskarinik lainnya (Tietze, 2004).

(b). ekspektoran

(46)

untuk meringankan batuk berdahak atau batuk produktif. Zat aktif yang termasuk golongan ekspektoran antara lain gliseril guaikolat (guaifenesin), amonium klorida, serta sirup ipekak (Wijoyo, 2000).

Guaifenesin melonggarkan dan mengencerkan sekresi saluran pernafasan, dan meminimalkan produksi dari batuk produktif. Efek samping yang dapat timbul antara lain mual, muntah, pusing, ruam-ruam, diare, mengantuk, dan sakit perut. Guaifenesin dikontraindikasikan pada orang-orang yang mempunyai hipersensitivitas terhadap guaifenesin (Tietze, 2004).

Amonium klorida merupakan garam amonium yang banyak ditemukan dalam obat batuk dan tidak memiliki efek samping yang serius. Dan berfungsi sebagai pengencer dahak (Li Wan Po, 1990).

Sirup ipekak merupakan senyawa alkaloid. Alkaloid yang bertanggung jawab terhadap efek terapetik maupun toksiknya adalah ementin dan cephaeline. Penggunaan sirup ipekak untuk anak-anak dengan dosis setidaknya 10 mL harus dihindari karena dapat berakibat fatal (Li Wan Po, 1990).

(c). mukolitik

(47)

(d). antitusif topikal

Minyak menguap dari camphor, mentol, dan eucalyptus merupakan obat dengan bau kuat untuk pengobatan yang kemungkinan mempunyai efek topikal antitusif, analgesik, anastetik, dan aktivitas antipruritik. Mekanisme kerja dari obat golongan antitusif topikal ini adalah menstimulasi syaraf sensoris dari hidung dan mukosa melalui uap air yang dihirup sehingga menimbulkan sensasi analgesik lokal dan pernafasan terasa lega. Toksisitas yang dapat ditimbulkan bila antitusif topikal yang mengandung camphor atau mentol masuk ke dalam saluran pencernaan antara lain rasa terbakar dalam mulut, mual, muntah, gangguan epigastrum, gelisah,

delirium, seizures, dan kematian (Tietze, 2004).

(2). Terapi nonfarmakologis

Terapi nonfarmakologis untuk mengatasi batuk ada beberapa macam.

Humidifiers meningkatkan kelembapan udara yang dihirup. Kelembapan yang

meningkat dapat mengurangi iritasi pada saluran pernafasan dan mengurangi batuk.

Vaporizers adalah humidifiers yang baik untuk mengobati batuk atau dapat menggunakan inhalan volatile. Penggunaan cool-mist vaporizers dan humidifiers

(48)

misalnya pergantian posisi tidur di sisi kiri dan kanan. Permen keras dan lozenges

yang tidak mengandung obat juga dapat mengurangi iritasi saluran pernafasan dan mengurangi batuk (Tietze, 2004).

C. Swamedikasi 1. Definisi

Swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri (“the selection and use of medicines include herbal and tradisional product by individuals to treat self-recognised illnesses or

symptoms”) (WHO, 1998). Definisi swamedikasi menurut The International

Pharmaceutical Federation (FIP) dan The World Self-Medication Industry (WSMI) adalah penggunaan obat tanpa resep dokter oleh masyarakat yang dilakukan sesuai dengan inisiatif mereka sendiri (FIP dan WSMI, 1999). Beberapa pustaka menyebutkan definisi swamedikasi yang berbeda-beda, tetapi yang sering dipakai secara luas adalah pengobatan menggunakan obat tanpa resep. Terkait dengan penyakitnya, maka yang termasuk dalam lingkup swamedikasi adalah minor illness

atau gejala yang mampu dikenali sendiri oleh penderita.

(49)

sumberdaya dan tenaga, serta peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang jauh dari puskesmas, merupakan peranan dari pengobatan sendiri (Supardi, 2005).

2. Perilaku Swamedikasi

Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam mengatasi masalah kesehatan (doctor minded), demografi dan epidemiologi, ketersediaan pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial ekonomi (Holt dan Hall, 1990). Suatu survei yang pernah dilakukan di Amerika Serikat menyebutkan bahwa terjadi peningkatan perilaku swamedikasi di kalangan masyarakat dengan beberapa parameter yaitu: 1) tingkat kepuasan konsumen terhadap keputusan mereka sendiri dalam mengatasi masalah kesehatannya, 2) kecenderungan melakukan pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep untuk mengatasi simptom yang dirasakan dan penyakit ringan yang umum diderita, 3) keyakinan bahwa obat tanpa resep aman digunakan apabila dipakai sesuai petunjuk, 4) keinginan agar beberapa obat yang saat itu harus diperoleh dengan resep dokter, diubah menjadi tanpa resep, 5) kesadaran membaca label sebelum memilih dan menggunakan obat tanpa resep, terutama mengenai aturan pakai dan cara pakai serta efek samping obat (Pal, 2002).

(50)

keuntungan dan kerugian sehubungan dengan peningkatan perilaku swamedikasi terhadap penderita, dokter/pelayanan kesehatan, farmasis, pengambil kebijakan dan industri farmasi dapat dilihat pada tabel I (Sihvo, 2000).

Tabel I. Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi (Sihvo, 2000)

Objek Keuntungan Kerugian

Kenyamanan dan kemudahan akses

Diagnosis tidak sesuai / tertunda Tanpa biaya periksa / konsultasi Pengobatan berlebihan / tidak

sesuai

Hemat waktu Kebiasaan menggunakan OTR

Empowerment Adverse Drug Reaction

Ada indikasi yang tak terobati Pasien

Kenaikan biaya berobat Penurunan beban kerja Tidak dapat melakukan

monitoring terapi Lebih banyak waktu untuk

menangani kasus penyakit berat

Kehilangan kesempatan untuk Farmasis Perannya akan lebih dibutuhkan di

Apotek

Adanya konflik kepentingan antara bisnis dan etika profesi Pengambil kebijakan Menghemat biaya kesehatan

masyarakat

Industri Farmasi Meningkatkan profit pada penjualan obat bebas

-

3. Penyakit Ringan/Minor Illness

(51)

4. Golongan Obat Swamedikasi (Obat Bebas, Bebas Terbatas dan OWA)

Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, pengingkatan kesehatan dan kontrasepsi. Penggolongan obat yang beredar di Indonesia, yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi, terdiri dari 6 golongan yaitu: 1) obat bebas, 2) obat bebas terbatas, 3) obat wajib apotek (OWA), 4) obat keras, 5) psikotropika, dan 6) narkotika. Golongan obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah obat bebas, bebas terbatas dan OWA, khusus untuk yang disebut terakhir adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter hanya oleh apoteker di apotek dan terbatas pada obat keras yang tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Obat Wajib Apotek (DepKes R.I., 1996c).

Sesuai dengan namanya, golongan obat bebas dapat diperjualbelikan secara bebas, tanpa resep dokter. Obat-obat tersebut dapat diperoleh di apotek dan warung (Widjajanti, 1989).

(52)

Ada enam macam tanda peringatan yang dipilih sesuai dengan obatnya, yaitu (Widjajanti, 1989):

Peringatan no.1 :Awas ! Obat keras. Bacalah aturan memakainya

Peringatan no.2 :Awas ! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan Peringatan no.3 :Awas ! Obat keras. Hanya untuk bagian luar badan Peringatan no.4 :Awas ! Obat keras. Hanya untuk dibakar

Peringatan no.5 :Awas ! Obat keras. Tidak boleh ditelan Peringatan no.6 :Awas ! Obat keras. Obat wasir jangan ditelan.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.2380/A/SK/VI/83 tanggal 15 Juni 1983, obat bebas dan obat bebas terbatas harus diberi tanda khusus berupa lingkaran. Untuk obat bebas, warna lingkarannya hijau dengan tepi garis hitam, sedangkan untuk obat bebas terbatas, warna lingkarannya biru tua dengan garis tepi hitam (DepKes R.I., 1996b).

(53)

Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter untuk swamedikasi harus memenuhi kriteria, yaitu: 1) tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas usia 65 tahun, 2) pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit, 3) penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, 4) penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia, 5) obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri. Sampai saat ini terdapat 3 daftar yang memuat golongan OWA yang lazim disebut OWA.1, 2, dan 3 (Anonim, 1993).

5. Pemilihan dan Penggunaan Obat Tanpa Resep

Pemilihan dan penggunaan obat-obat tanpa resep atau yang sering disebut

(54)

yang boleh digunakan untuk orang dewasa atau anak-anak berdasarkan berat badan dan umur anak), waktu kadaluarsa, cara penyimpanan obat (misalnya harus disimpan di tempat dingin, diluar pengaruh cahaya dan sebagainya), interaksi obat dengan obat lain yang digunakan dan makanan yang dimakan (Nasution dan Lubis, 1993).

6. Pengobatan yang Rasional

World Health Organizataion (WHO) merekomendasikan enam langkah dalam pengobatan rasional, yaitu: menentukan masalah pasien; menetapkan tujuan pengobatan; memeriksa kerasionalan penggunaan obat yang dipilih serta meneliti efektivitas dan keamanannya; memulai pengobatan dengan membuat resep; memberi informasi, instruksi dan hal-hal yang perlu diwaspadai; dan terakhir melakukan

monitoring (WHO, 1994). Untuk memenuhi syarat-syarat pengobatan yang rasional dapat dijelaskan melalui beberapa hal seperti ketepatan diagnosis, ketepatan pemilihan obat, ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien, ketepatan pemberian informasi, dan ketepatan dalam tindak lanjut (Nasution dan Lubis, 1993).

World Health Organization menyatakan bahwa untuk meningkatkan

kesesuaian penggunaan obat yang rasional oleh masyarakat dibutuhkan suatu edukasi. Intervensi atau edukasi yang diberikan kepada pasien akan lebih relevan apabila hal tersebut difokuskan pada penggunaan obat yang tidak rasional dan edukasi pada problem penggunaan obat yang dirasa penting untuk konsumen (WHO, 2004a).

(55)

dilakukan yaitu pendeskripsian penggunaan obat dan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam penggunaan obat oleh masyarakat (WHO, 2004a). Selanjutnya hasil penelitian ini dalam perkembangannya dapat digunakan untuk dilanjutkan dengan penelitian yang mengacu ke langkah-langkah berikutnya sesuai dengan bagan pada gambar 3.

Gambar 3. Bagan langkah-langkah pengembangan suatu intervensi dalam peningkatan penggunaan obat yang rasional oleh konsumen (WHO, 2004a)

Meningkatkan intervensi Meningkatkan intervensi

La ngk a h 2

Memprioritaskan permasalahan

La ngk a h 3

Menganalisis permasalahan dan mengidentifikasi solusi/penyelesaian Meningkatkan

analisis

La ngk a h 7

Memonitor dan mengevaluasi intervensi

La ngk a h 4

Memilih dan mengembangkan intervensi

La ngk a h 1

Mendeskripsikan penggunaan obat dan mengidentifikasi permasalahan

La ngk a h 5

Pre-test intervensi

La ngk a h 6

(56)

7. Peranan Apoteker dalam Swamedikasi

Apoteker merupakan profesi yang mempunyai kualifikasi untuk melayani keinginan publik dalam farmakoterapi obat tanpa resep karena apoteker telah dibekali dengan edukasi dan pelatihan pada tingkat universitas dengan instruksi yang mendalam mengenai patofisiologi, farmakologi, kimia medisinal, farmasetika, dan farmakokinetika. Selain itu, apoteker mempunyai akses yang mudah kepada pasien sebagai penyedia obat serta sumber informasi untuk memaksimalkan nilai terapi obat dan meminimalkan efek samping yang potensial terjadi (Pal, 2002).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 922/MENKES/PER/X/1993 pasal 15 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam upaya penggunaan obat yang benar oleh masyarakat, apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat (DepKes RI, 1996d). Dalam menyikapi perilaku swamedikasi maka peran apoteker dalam pemberian informasi obat sangat mendukung swamedikasi yang rasional.

(57)

pengetahuan dan keterampilan khusus, terutama farmakokinetika klinik, apoteker dapat menjadi pendamping dan konsulen bagi penulis resep dalam menyediakan informasi pada tahap penentuan dosis dan cara pemberian serta dalam evaluasi terapi. Selain itu apoteker dapat terlibat langsung dalam pelayanan pasien (direct patient care), apoteker dapat berperan dalam tahap pemberian obat ke pasien. Dalam tahap ini, fungsinya dapat berupa pemberi informasi, motivasi serta pemantauan penggunaan obat oleh pasien (Suryawati, 1997).

Apoteker sebagai garis depan dari pelayanan kesehatan berkewajiban untuk membantu pasien dalam mengevaluasi kondisinya. Sebagai langkah awal apoteker dapat menyarankan salah satu antara tanpa menggunakan obat apupun, menyarankan untuk melakukan swamedikasi atau menyarankan untuk pergi ke tenaga medis lain seperti dokter sesuai dengan kondisi yang dialami oleh penderita (Isetts & Brown, 2004).

8. Swamedikasi batuk

Tabel II. Tanda dan gejala penyakit yang dihubungkan dengan batuk (Tietze, 2004)

Penyakit Tanda dan Gejala

Infeksi Virus pada Saluran Pernafasan

Bersin, radang tenggorokan, rhinorhea

Infeksi Saluran Pernafasan Bawah

Suhu tubuh diukur dari mulut sekitar 38,6oC, sekret mukus yang kental, bernanah atau berwarna keruh, keringat dingin saat malam

Postnasal Drip Drainase mukus dari hidung, pembersihan tenggorokan berkali-kali Asma Sesak nafas, batuk terutama pada waktu malam, batuk sebagai

respon terhadap iritan seperti debu, asap ataupun serbuk sari

COPD Batuk produktif setiap hari selama setidaknya 3 bulan, setidaknya selama dua tahum berturut-turut

Penyakit Refluks Gastroesophageal

Merasa jantung terbakar, memburuk dalam keadaan terlentang, meningkat pada penggunaan obat rendah asam

(58)

Batuk dapat merupakan gejala dari berbagai macam penyakit akut maupun kronis. Swamedikasi dengan menggunakan obat batuk bebas maupun obat bebas terbatas ditujukan untuk batuk yang self-limiting (Li Wan Po, 1990). Swamedikasi tidak dianjurkan untuk batuk yang merupakan tanda dan gejala penyakit kronis yang ditunjukkan oleh tabel II di atas.

Pasien menderita batuk

(ya)

(tidak)

(ya) Mulailah pengobatan dengan antitusif, lozenges, dan antitusif topical lainnya. Evaluasi kembali dalam 7 hari.

Apakah gejala membaik? - Batuk dengan dahak berwarna hijau atau berwarna kuning kental

- Demam lebih dari 38,6o C

- Keringat berlebih pada waktu malam - Hemoptysis

- Mempunyai riwayat maupun gejala penyakit kronis yang berhubungan dengan batuk (seperti asma, COPD, bronkitis kronis, gagal jantung kongestif)

- Terdapat benda asing pada pernafasan

- Batuk yang diduga disebabkan oleh penggunaan obat - Batuk lebih dari 7 hari

- Batuk yang memburuk selama swamedikasi

Mengetahui riwayat medis dan riwayat pengobatan, termasuk penggunaan lain dan obat alternatif, baik yang digunakan rutin, digunakan sebelumnya, dan mengetahui frekuensi/lama penggunaan obat

(tidak)

Mulai pengobatan dengan ekspektoran dan terapi nonfarmakologi. Terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan misalnya dengan menggunakan uap atau dengan banyak minum air hangat. Bila batuk mengganggu tidur atau kerja, pengobatan dapat dikombinasikan dengan antitusif. Evaluasi kembali dalam 7 hari.

Apakah merupakan batuk kering ?

Lanjutkan pengobatan sampai batuk hilang. Evaluasi kembali bila diperlukan

Gambar 4. Algoritma Swamedikasi Batuk (diambil dari Tietze, 2004)

(59)

yang tidak sesuai dapat menimbulkan keparahan penyakit dan menyebabkan dampak serius. Dan pasien dengan perkecualian dalam melakukan swamedikasi batuk seperti yang terlihat dalam algoritma (Gambar 4) direkomendasikan untuk menghubungi dokter (Tietze, 2004).

Dalam melakukan swamedikasi batuk, obat tanpa resep pilihan yang dapat digunakan untuk batuk nonproduktif adalah kodein atau dekstrometorfan, tetapi bukan merupakan pilihan obat bagi pasien yang menggunakan penghambat MAO. Difenhidramin merupakan pilihan yang lebih baik untuk batuk yang berhubungan dengan alergi. Guaifenesin merupakan obat yang dapat digunakan sebagai ekspektoran (Tietze, 2004).

D. Pendidikan

Pendidikan didefinisikan sebagai serangkaian proses belajar yang ditandai dengan penyampaian materi dari pendidik terhadap anak didik dan bermaksud untuk menghasilkan perubahan tingkah laku (Hendarwan, 2003).

(60)

pendidikan akan mempengaruhi kepribadian dan kecerdasan seseorang dalam hubungannya dengan perilaku.

Menurut Andersen (1975), perbedaan tingkat pendidikan dapat menyebabkan perbedaan penggunaan pelayanan kesehatan oleh individu berkaitan dengan pengetahuan kesehatan, nilai, dan sikap.

E. Pendapatan

(61)

F. Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya (Notoadmojo, 1993). Perilaku merupakan respon dari seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya dan perilaku seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 1997).

Perilaku kesehatan adalah segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan tentang kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Proses pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dari dalam maupun dari luar individu (Sarwono, 1997).

(62)

pengobatan sendiri yang sudah menimbulkan kesembuhan. Self-treatment yang dilakukan ada dua macam, yaitu mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional dan mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung. Obat-obat yang digunakan umumnya adalah obat-obat tanpa resep. Tindakan lainnya adalah mencari pangobatan ke fasilitas pengobatan modern, baik itu dokter praktek, rumah sakit, balai pengobatan, atau puskesmas (Notoatmodjo, 1993).

Lima macam reaksi dalam proses individu mencari pengobatan (Suchman cit., Sarwono, 1997), yaitu :

1. shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosis dan pengobatan sesuai dengan harapan pasien

2. fragmentation, adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama, contohnya: berobat ke dokter, sekaligus ke sinse dan dukun 3. procrastination, adalah proses penundaan pencarian pengobatan meskipun gejala

penyakitnya sudah dirasakan

4. self medication, adalah pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obatan yang dinilai tepat baginya

5. discontinuity, adalah penghentian proses pengobatan

(63)

Gambar 5. Bagan Hasil Modifikasi Blum dan Green (cit., Sarwono, 1997)

Notoatmodjo berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari: a). ranah kognitif (cognitive domain), b). ranah afektif (affective domain), dan c). ranah psikomotor (psycomotor domain).

(64)

subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Namun demikian, di dalam kenyataan stimulus yang diterima subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap (Notoatmodjo, 2003).

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Pengetahuan akan menimbulkan suatu gambaran, persepsi, konsep, dan fantasi terhadap segala hal yang diterima dari lingkungan melalui panca inderanya (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

(65)

aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai kegiatan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan contoh terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

d. Analisis (analysis)

(66)

penggunaan kata kerja, seperti menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu matei atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2. Sikap

Sikap adalah evaluasi, perasaan emosional, dan kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan yang bertahan lama dari seseorang terhadap beberapa objek atau gagasan (Kotler, 1997). Menurut Dharmmesta dan Handoko (2000), sikap biasanya memberikan penilaian (menerima atau menolak) terhadap objek atau produk yang dihadapinya.

(67)

terhadap stimulus dalam bentuk baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka dan tidak suka, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2007).

Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yitu komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective), dan komponen konatif (conative). Komponen kognitif berupa apa yang dipercayai oleh subjek pemilik sikap, komponen afektif merupakan komponen perasaan yang menyangkut aspek emosional, dan komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh subjek (Azwar, 2007).

(68)

3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Sikap ibu yang sudah positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut dapat mengimunisasikan anaknya (Notoatmodjo, 2003).

Tingkat-tingkat praktek, antara lain: a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b. Respon Terpimpin (Guided Respons)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh. c. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau suatu ide sudah merupakan suatu kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

d. Adaptasi (Adaptation)

(69)

G. Teori tentang Perilaku 1. Teori Aksi

Teori aksi yang juga dikenal sebagai teori bertindak ini (action theory) pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber. Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman, dan penafsirannya atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat (Ritzer, 1983, cit., Sarwono, 1997).

Teori Weber dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, yang mulai dengan mengkritik Weber, menyatakan bahwa aksi atau action itu bukanlah perilaku atau behavior. Aksi merupakan tanggapan atau respon mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif (Sarwono, 1997).

Menurut Parsons, yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur perilaku (Poloma, 1987, cit., Sarwono, 1997). Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Parsons melihat bahwa tindakan individu dan kelompok dipengaruhi tiga sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian masing-masing individu. 2. Model Perubahan Perilaku dari Green

Gambar

Gambar 1. Sistem Pernafasan (diambil dari Cohen & Wood, 2000)
Gambar 2. Gambar skematik fase terjadinya batuk (Aditama, 1993)
Gambar 3. Bagan langkah-langkah pengembangan suatu intervensi dalam peningkatan penggunaan obat yang rasional oleh konsumen (WHO, 2004a)
Tabel II. Tanda dan gejala penyakit yang dihubungkan dengan batuk (Tietze, 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data hasil wawancara digunakan untuk pendekatan kualitatif, sedangkan nilai kuesioner yang meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan dipakai untuk pendekatan kuantitatif.. Data

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan tingkat ekonomi dengan tindakan pengobatan mandiri pada penyakit batuk baik itu dengan menggunakan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang pengobatan mandiri penyakit batuk dan untuk mengetahui apakah dengan pemberian informasi menggunakan

Minum Air Putih & Obat Batuk (OTC) Dekstrometorpan Komix, Konidin, Vick Formula 44 Tablet, Kapsul, Sirup Keluarga/Tetangga/Sanak Saudara, Iklan Elektronik

Hasil uji statistik Kendall Tau menunjukkan nilai sebesar 0,491 dengan taraf signifikansi (p) 0,008 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan

Ridwan (2009) menyebutkan bahwa pada orang yang sakit, ia akan cenderung melakukan suatu usaha untuk menyembuhkan penyakitnya. Perilaku tersebut dapat dimulai dari