• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu--ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu--ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI

PENYAKIT INFEKSI JAMUR KULIT OLEH IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Fandy Kurniawan

NIM : 048114105

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI

PENYAKIT INFEKSI JAMUR KULIT OLEH IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Fandy Kurniawan

NIM : 048114105

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)

iv

(5)

v

Persembahan

Jika anda menjumpai jalan hidup yang tidak mempunyai hambatan,

mungkin

saja anda tidak menuju kemanapun.

Frank A. Clark)

Kegagalan akan terus menguji anda dan kesuksesan tidak akan pernah

habis. Kesuksesan adalah perjalanan, bukan destinasi akhir.

(Robert Schuller)

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu

untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu

bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan

rencana Allah.

(Roma 8 : 28)

Karya kecil ini saya persembahkan dengan penuh cinta untuk :

My Holy Father, Jesus Christ

(6)
(7)

vii

PRAKATA

Puji dan Syukur saya haturkan kepada Allah Bapa Yang Maha kuasa, atas segala rahmat dan kasih karunia-Nya, hingga penulis diberikan waktu, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan Dengan Perilaku Swamedikasi Penyakit Infeksi Jamur Kulit Oleh Ibu-Ibu Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, saya tidak lepas dari bimbingan serta bantuan yang diberikan oleh semua pihak. Maka pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. “Jesus Christ”, yang selalu setia menemani dan memberikanku kekuatan baru setiap harinya sehingga penulis tidak mengenal lelah dan mempunyai daya juang tinggi untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. PHK (Program Hibah Kompetisi) A3 yang telah memberikan dukungan dana dalam penelitian ini.

3. Ibu Rita Suhardi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., dan Bapak dr. Harimat Hendarwan, M.Kes sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberi saran dari awal hingga akhir sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(8)

viii

6. Mama dan Papa tercinta, dan adiku tersayang yang telah memberikan kasih sayang yang tak terhingga baik materiil maupun non materiil.

7. Gracia yang telah memberikan motivasi dan sayangnya dari awal hingga akhir sehingga skripsi ini dapat selesai.

8. Bpk Suroso, selaku Lurah Banyuroto yang telah memberikan izin bagi kami untuk melakukan pengambilan data di kelurahan Banyuroto.

9. Masyarakat Banyuroto khususnya padukuhan Dlingo dan Ngangin-Ngangin. 10. Bpk Iman, selaku Lurah Donomulyo yang telah memberikan izin bagi kami untuk

melakukan pengambilan data di kelurahan Donomulyo.

11. Masyarakat Donomulyo khususnya padukuhan Dukuh dan Penjalin.

12. Bpk Landung Joko Purnomo, SIP, selaku Lurah Wates yang telah memberikan izin bagi kami untuk melakukan pengambilan data di kelurahan Wates.

13. Masyarakat Wates khususnya padukuhan Beji dan Durungan.

14. Bpk Prawoto Adi, MBA selaku Lurah Sogan yang telah memberikan izin bagi kami untuk melakukan pengambilan data di kelurahan Sogan.

15. Masyarakat Sogan khususnya padukuhan Sogan I dan Sogan II.

16. Bpk Purbatin Sukarsan selaku Lurah Baciro yang telah memberikan izin bagi kami untuk melakukan pengambilan data di kelurahan Baciro.

17. Masyarakat Baciro khususnya RW 02 dan RW 08.

18. Ibu Rochman Astuti Ningsih selaku Lurah Demangan yang telah memberikan izin bagi kami untuk melakukan pengambilan data di kelurahan Demangan.

(9)

ix

20. Bpk L. Daning Krisnawati, S.IP selaku Lurah Wirobrajan yang telah memberikan izin bagi kami untuk melakukan pengambilan data di kelurahan Wirobrajan.

21. Masyarakat Wirobrajan khususnya RW 02 dan RW 08.

22. Bpk Herjani S.W., selaku Lurah Pakuncen yang telah memberikan izin bagi kami untuk melakukan pengambilan data di kelurahan Pakuncen.

23. Masyarakat Pakuncen khususnya RW 02 dan RW 08.

24. Semua teman seperjuanganku, teman-teman 1 kelompok : Rissa, Limdra, Ana, Pipin, Tika, Arie, Heni atas semua bantuan dan kerjasamanya.

25. Buat teman-teman terdekatku : Andrew, Cin Frengky, Brian, Tintus dan Agus yang telah memberi support dan semangat serta bantuan selama menjalani perkuliahan. 26. Semua teman-teman 2004 FKK dan 2004 C serta semua pihak yang tidak dapat

saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga laporan ini dapat

bermanfaat bagi teman-teman dan orang lain yang membutuhkannya. Yogyakarta, 2 Januari 2008

(10)

x

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 2 Januari 2008 Penulis,

(11)

xi

INTISARI

Swamedikasi atau pengobatan sendiri dipilih oleh masyarakat daripada berobat ke dokter atau puskemas karena memiliki keuntungan yaitu menghemat biaya dan mudah dilakukan. Dermatitis merupakan salah satu penyakit ringan yang dapat diobati dengan pengobatan sendiri. Salah satu penyakit dermatitis adalah infeksi jamur kulit, dimana infeksi jamur kulit adalah penyakit kulit yang dapat menyerang kuku, rambut dan mukosa yang disebabkan infeksi jamur dengan cara membentuk filamen multiseluler, hifa, yang berkembang biak dengan membentuk spora/ragi unisel yang berkembang biak dengan membentuk tunas. Hasil penelitian tentang swamedikasi pada vaginitis di Kota Yogyakarta tahun 2006 (Widayati, 2006) menunjukkan bahwa terdapat 71% ketidaksesuaian dalam aspek pengenalan penyakit dan 33% ketidaksesuaian dalam pemilihan obatnya. Dengan demikian, diperlukan penelitian untuk meningkatkan kesesuaian perilaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, menggambarkan permasalahan yang terjadi dan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental deskriptif dan non eksperimental analitik. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional

(studi potong lintang). Lokasi penelitian berada di 16 dusun, 8 desa, 4 kecamatan dan 2 kabupaten/kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang didapatkan dengan metode acak sederhana. Instrumen penelitian adalah kuesioner dan pedoman wawancara. Data kualitatif yang didapatkan diolah dengan menggambarkan permasalahan yang timbul sedangkan data kuantitatif yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan Chi-Square.

(12)

xii

ABSTRACT

People like having self-medication better than going to a doctor or a clinic, because it has some advantages such as more economical and easy to do. Dermatitis is one of minor diseses which can be cured by self-medication. One of this illness is fungal-skin infections in which it attacks nails, hair, and mucosa. It is caused by fungus infection which composes into multi-cellular filament and hifa. They expand themselves by forming cells of spore or yeast that compose by making buds. A research of self medication on vaginitis in Jogjakarta in 2006 (Widayati, 2006) showed that there were 71% unappropriateness on identified-disease aspects and 33% unappropriateness on medicine election. Therefore, a research is needed to increase the appropriateness of doing self-medication on fungal skin infections illness.

The research is aimed to find out mothers characteristics on having self-medication of fungal skin infections illness in Jogjakarta province. The second aim is to describe the problems that are happening. The last one is to find out the relationship between educational effect and income effect on having self-medication of fungal skin infections illness done by mothers in Jogjakarta province.

The research is called experimental descriptive research and non-experimental analytic research. The research uses a design on cross sectional research. The settings of the research were 16 remote villages, 8 villages, 4 subdsictricts and 2 regencies in Jogjakarta province. They were obtained using simple random methodology. The instruments of the research are questionnaire and interview. The obtained qualitative data was processed by describing problems which appeared, whereas the obtained quantitative data was analyzeding Chi-Square.

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HAK CIPTA………. vi

PRAKATA ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x

INTISARI. ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xx

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah. ... 6

2. Keaslian penelitian ... 6

3. Manfaat penelitian. ... 7

B. Tujuan Penelitian. ... 8

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 10

(14)

xiv

B. Definisi dan Patogenesis Infeksi ... 13

C. Infeksi Jamur Kulit ... 15

D. Penatalaksanaan Infeksi Jamur Kulit ... 27

E. Persepsi Sehat-Sakit ... 39

F. Swamedikasi ... 40

G. Perilaku Kesehatan ... 54

H. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan ... 58

I. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Kesehatan ... 63

J. Landasan Teori ... 65

K. Hipotesis……. ... 66

BAB III. METODE PENELITIAN ... 69

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 69

B. Definisi Operasional ... 69

C. Variabel Penelitian ... 71

D. Subyek Penelitian ... 72

E. Populasi dan Sampel ... 72

F. Waktu Penelitian ... 73

G. Tempat Penelitian ... 73

(15)

xiv

I. Instrumen Penelitian ... 81

J. Tata Cara Penelitian ... 84

K. Pengambilan Data ... 92

L. Tata Cara Pengolahan Data ... 92

M. Kesulitan Penelitian ... 94

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 95

A. Karakteristik Demografi Responden…………..……….. 95

B. Pola Perilaku dan Identifikasi Permasalahan ……… . 101

C. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Swamedikasi...………. 126

D. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi…….…... 131

V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 136

A. Kesimpulan ………. 136

B. Saran……….. 138

DAFTAR PUSTAKA ……… . 139

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi .... 44

Tabel II. Jumlah dan distribusi sampel di Kota Yogyakarta ... 76

Tabel III. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Gondokusuman ... 76

Tabel IV. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Demangan ... 76

Tabel V. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Baciro ... 77

Tabel VI. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wirobrajan ... 77

Tabel VII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wirobrajan ... 77

Tabel VIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Pakuncen ... 77

Tabel IX. Jumlah dan distribusi sampel di Kabupaten Kulonprogo ... 77

Tabel X. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Nanggulan ... 78

Tabel XI. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Banyuroto ... 78

Tabel XII. Jumlah dan distribusi sampel di kelurahan Donomulyo ... 78

Tabel XIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wates …..………… 78

Tabel XIV. Jumlah dan distribusi sampel di kelurahan Sogan ... 78

Tabel XV. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wates ……….……... 79

Tabel XVI. Bagian Pedoman Wawancara ... 82

Tabel XVII. Bagian Kuesioner ... 84

(17)

xvi

Tabel XIX. Permasalahan Pada Pemahaman Penyakit Ringan Yang Menurut Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dapat Ditangani Dengan Swamedikasi ... 106 Tabel XX. Permasalahan Mengenai Keuntungan Pengobatan Sendiri Menurut

Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 107 Tabel XXI. Permasalahan Mengenai Kerugian Pengobatan Sendiri Menurut

Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 108 Tabel XXII. Permasalahan Mengenai Tindakan Yang Dilakukan Responde (n = 97)

di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jika Swamedikasi Tidak Berhasil ... 108 Tabel XXIII. Permasalahan Mengenai Pemahaman Infeksi Jamur Kulit Menurut

Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta .... 109 Tabel XXIV. Permasalahan Pada Penyebab Infeksi Jamur Kulit Menurut Responden

(n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 110 Tabel XXV. Permasalahan Pada Pengenalan Infeksi Jamur Kulit Menurut

Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta .... 110 Tabel XXVI.Permasalahan Pada Pembedaan Infeksi Jamur Kulit Dengan Penyakit

Kulit Lain Menurut Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 114 Tabel XXVII. Permasalahan Pada Sumber Informasi Infeksi Jamur Kulit Bagi

(18)

xvii

Tabel XXVIII.Permasalahan Pada Pemilihan Obat Infeksi Jamur Kulit Oleh Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 116 Tabel XXIX. Permasalahan Pada Alasan Pemilihan Obat Infeksi Jamur Kulit Oleh

Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 117 Tabel XXX. Permasalahan Mengenai Alasan Responden (n = 97) Tidak Bertanya

Mengenai Informasi Obat Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 120 Tabel XXXI. Permasalahan Pemilihan Tempat Pembelian Obat Infeksi Jamur Kulit

Oleh Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta....

... 121 Tabel XXXII.Permasalahan Informasi Yang Perlu Diketahui Oleh Responden

(n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sebelum Menggunakan Obat Infeksi Jamur Kulit ... 124 Tabel XXXIII.Tabel Normalitas Hasil Uji Kuisioner Pada Responden Pelaku

Swamedikasi Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 126 Tabel XXXIV.Tabel Crosstabs Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendidikan

(19)

xviii

Tabel XXXV.Tabel Chi-Square Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Pengetahuan Pada Responden Pelaku Swamedikasi Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 128 Tabel XXXVI.Tabel Crosstabs Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendidikan

Dengan Sikap Pada Responden Pelaku Swamedikasi Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 129 Tabel XXXVII.Tabel Chi-Square Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendidikan

Dengan Sikap Pada Responden Pelaku Swamedikasi Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 129 Tabel XXXVIII.Tabel Crosstabs Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendidikan

Dengan Tindakan Pada Responden Pelaku Swamedikasi Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 130 Tabel XXXIX.Tabel Chi-Square Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendidikan

Dengan Tindakan Pada Responden Pelaku Swamedikasi Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 130 Tabel XL. Tabel Crosstabs Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendapatan

Dengan Pengetahuan Pada Responden Pelaku Swamedikasi Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 131 Tabel XLI. Tabel Chi-Square Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendapatan

(20)

xix

Tabel XLII. Tabel Crosstabs Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendapatan Dengan Sikap Pada Responden Pelaku Swamedikasi Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 133 Tabel XLIII. Tabel Chi-Square Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendapatan

Dengan Sikap Pada Responden Pelaku Swamedikasi Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 133 Tabel XLIV. Tabel Crosstabs Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendapatan

Dengan Tindakan Pada Responden Pelaku Swamedikasi Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 134 Tabel XLV. Tabel Chi-Square Hasil Uji Kuisioner Hubungan Tingkat Pendapatan

(21)

xx

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penampang/anatomi Kulit dan Apendiks ... 13

Gambar 2. Pembagian penyakit infeksi jamur kulit ... 16

Gambar 3. Pengobatan sendiri infeksi jamur kulit ………. 37

Gambar 4. Pengobatan sendiri infeksi jamur kulit ………. 38

Gambar 5. Bagan intervensi peningkatan kerasionalan obat ……… 52

Gambar 6. Ringkasan Proses Identifikasi Permasalahan Penggunaan Obat …. 53 Gambar 7. Skema teori aksi menurut Weber ... 55

Gambar 8. Derajat kesehatan menurut Green ………... 56

Gambar 9. Skema model kepercayaan kesehatan menurut Rosenstock ………. 58

Gambar 10. Skema Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Swamedikasi ... 65

Gambar 11. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi ... 65

Gambar 12. Profil sampel klaster yang diperoleh dengan teknik klaster multi tahap ………... 80

Gambar 13. Bagan Tata Cara Penelitian……….. 91

Gambar 14. Usia Responden (n = 97) Pelaku Swamedikasi Penyakit Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 96

Gambar 15. Status Pernikahan Responden (n = 97) Pelaku Swamedikasi Penyakit Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 96

(22)

xxi

Gambar 17. Kategorisasi Pendidikan Responden (n = 97) Pelaku Swamedikasi Penyakit Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

... 98 Gambar 18. Pekerjaan Responden (n = 97) Pelaku Swamedikasi Penyakit Infeksi

Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 98 Gambar 19. Tingkat Pendapatan Responden (n = 97) Pelaku Swamedikasi Penyakit

Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 99 Gambar 20. Kategorisasi Pendapatan Responden (n = 97) Pelaku Swamedikasi

Penyakit Infeksi Jamur Kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

... 100 Gambar 21. Frekuensi Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Melakukan Pengobatan Sendiri Dalam 1 Bulan Terakhir ... 101 Gambar 22. Pengobatan Sendiri Oleh Responden (n = 97) di Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta Dilakukan Untuk Siapa ... 102 Gambar 23. Pemahaman Mengenai Infeksi Jamur Kulit Menurut Responden (n = 97)

di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... ... 102 Gambar 24. Permasalahan Pada Tindakan Responden (n = 97) di Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta Saat Mengalami Penyakit Ringan ... 103 Gambar 25. Permasalahan Mengenai Pemahaman Swamedikasi Menurut Responden

(23)

xxii

Gambar 26. Permasalahan Pada Pengenalan Penyakit Kadas (Tinea corporis) Menurut Responden (n = 16) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

... 112 Gambar 27. Permasalahan Mengenai Pernah atau Tidaknya Responden (n = 97)

Bertanya Mengenai Informasi Obat Infeksi Jamur Kulit Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 119 Gambar 28. Ada Atau Tidaknya Bantuan Dalam Pemilihan Obat Infeksi Jamur Kulit

Oleh Penjual Kepada Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 121 Gambar 29. Permasalah Mengenai Perhatian Responden (n = 97) Terhadap Informasi

Yang Terdapat Pada Label Atau Kemasan Obat Infeksi Jamur Kulit Oleh Responden di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 122 Gambar 30. Permasalah Mengenai Perhatian Responden (n = 97) Terhadap Informasi

Yang Terdapat Pada Label Atau Kemasan Obat Infeksi Jamur Kulit Oleh Responden di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 123 Gambar 31. Keefektifan Penggunaan Obat Infeksi Jamur Kulit Untuk Swamedikasi

Oleh Responden (n = 97) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ...

(24)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Salah satu kebiasaan manusia yang diwarisi dari nenek moyangnya ialah melakukan swamedikasi atau pengobatan sendiri jika menderita sakit (Sartono,1993). Swamedikasi adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat-obat tanpa resep untuk mengatasi penyakit-penyakit ringan (minor illness) secara tepat dan bertanggung jawab (Holt dan Hall, 1990). Swamedikasi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan obat tradisional atau jamu dan obat-obat paten baik dari golongan obat bebas maupun golongan obat bebas.

(25)

Tindakan swamedikasi (self medication) mempunyai kecenderungan untuk meningkat dari waktu ke waktu. Beberapa faktor dapat dikatakan berperan dalam peningkatan tersebut, yaitu: pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat – obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR / Obat Tanpa Resep (OTC / Over The Counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan atau gejala yang muncul, serta diterimanya pengobatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan (WHO, 1998).

Suatu penelitian oleh Consumers Healthcare Products Association di Amerika Serikat menunjukkan populasi wanita dewasa lebih banyak daripada pria dalam melakukan pengobatan sendiri dan persentase tersebut semakin bertambah pada wanita dengan semakin bertambahnya usia. Sebanyak 66% wanita saling memberikan motivasi diantara mereka untuk memahami persoalan kesehatan dan masalah pengobatannya, hal ini ditemukan pada kelompok pria hanya sebesar 58%. Sebanyak 82% wanita dan 71% pria mengakui menggunakan OTR untuk mengobati penyakit ringan yang sering mereka alami (Anonim, 2002b). Dari penelitian ini terlihat wanita lebih sering melakukan pengobatan sendiri, karena itu dalam penelitian ini menggunakan subyek ibu-ibu.

(26)

seputar swamedikasi relatif banyak yang tidak muncul ke permukaan karena sesuai dengan konsep swamedikasi bahwa tindakan pengobatan dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa intervensi dan pengawasan dari tenaga kesehatan.

Penyakit ringan yang dapat diobati dengan swamedikasi salah satunya adalah dermatitis. Salah satu yang paling sering dialami oleh masyarakat adalah infeksi jamur kulit. Dari data-data penyakit kulit akibat jamur yang pernah dilaporkan oleh pusat-pusat pendidikan di Indonesia menyatakan bahwa insiden penyakit jamur kulit merupakan insiden nomor tiga dari seluruh kasus penyakit kulit setelah penyakit infeksi oleh bakteri dan penyakit kulit karena alergi (Siregar, 2004). Jamur memang sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Sedemikian eratnya sehingga manusia tak terlepas dari jamur. Jenis fungi-fungian ini bisa hidup dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air, pakaian, bahkan di tubuh manusia sendiri. Ini didukung faktor Indonesia sebagai negara tropis sehingga Indonesia menjadi lahan subur tumbuhnya jamur. Karena itu, penyakit-penyakit akibat jamur sering kali menjangkiti masyarakat. Bahkan banyak masyarakat tak menyadari bahwa dirinya terinfeksi oleh jamur. Padahal, jamur bisa mengenai manusia dari kepala hingga ujung kaki, dari bayi hingga orang dewasa dan orang lanjut usia. Masih banyak orang meremehkan penyakit karena jamur, seperti panu atau kurap. Padahal, penyakit ini bisa menular lewat persentuhan kulit, atau juga dari pakaian yang terkontaminasi spora jamur.

(27)

tersebut, hal ini dikarenakan juga banyak produk farmasi khusus untuk obat jamur kulit yang dijual bebas di pasaran. Umumnya masyarakat pun melakukan self medication atau pengobatan sendiri dengan membeli obat antijamur yang bebas itu. Menurut Bramono (2004) penyakit infeksi jamur kulit dapat dilakukan swamedikasi asal penderitanya mengetahui dengan jelas jenis infeksi jamur yang dideritanya, oleh karena itu dalam penelitian ini akan menggambarkan pola perilaku swamedikasi infeksi jamur kulit oleh ibu-ibu di Daerah Istimewa Yogyakarta dan permasalah dalam perilaku swamedikasi tersebut.

Hasil penelitian tentang swamedikasi pada vaginitis di Kota Yogyakarta tahun 2006 (Widayati, 2006) menunjukkan bahwa terdapat 71% ketidaksesuaian dalam aspek pengenalan penyakit dan 33% ketidaksesuaian dalam pemilihan obatnya. Hal ini juga menjadi dasar penelitian untuk swamedikasi pada penyakit infeksi jamur kulit, dimana terbukti bahwa ada ketidaksesuaian dalam pengenalan penyakit dan obat.

(28)

dengan beberapa parameter yaitu: tingkat kepuasan konsumen terhadap keputusan mereka sendiri dalam mengatasi masalah kesehatannya, kecenderungan melakukan pengobatan sendiri dengan OTR untuk mengatasi gejala yang dirasakan dan penyakit ringan yang umum diderita, keyakinan bahwa OTR aman digunakan apabila dipakai sesuai petunjuk, keinginan agar beberapa obat yang saat itu harus diperoleh dengan resep dokter, diubah menjadi tanpa resep, kesadaran membaca label sebelum memilih dan menggunakan OTR, terutama mengenai aturan pakai dan cara pakai serta efek samping obat (Pal, 2004). Penggunaan OTR untuk swamedikasi menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman, berkualitas dan memberikan efikasi sesuai yang diharapkan (Holt dan Hall, 1990).

(29)

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ini :

a. seperti apa karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

b. seperti apa pola perilaku dan permasalahan yang terjadi pada swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

c. apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

d. apakah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

2. Keaslian penelitian

Penelitian serupa sebelumnya pernah dilakukan oleh :

(30)

jumlah biaya pengobatan dan variasi lama pengobatan berdasarkan penggunaan antijamur.

b. Nuryanti (2002) dengan judul Pola Pengobatan Penyakit Kulit Infeksi Jamur Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Mei-Juni 2001. Hasil dari penelitian ini diperoleh persentase golongan dan jenis obat antijamur yang digunakan, variasi golongan obat selain antijamur, variasi jumlah penggunaan obat antijamur yang diberikan berdasarkan bentuk sediaan, cara penggunaan obat antijamur, total jumlah biaya pengobatan dan variasi lama pengobatan berdasarkan penggunaan antijamur.

Penelitian yang dilakukan oleh Erlianti (2001) tidak hanya meneliti infeksi jamur kulit saja tetapi juga infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri dan virus, sedang penelitian yang dilakukan Nuryanti (2002) hanya meneliti infeksi jamur kulit. Penelitian Erlianti dan Nuryanti berbeda dengan penelitian ini dimana penelitian ini tidak dilakukan di rumah sakit dan juga penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pola perilaku dan permasalahan pada perilaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit serta mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

(31)

pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi terhadap penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu-ibu khususnya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini akan dijadikan sebagai dasar/baseline survey untuk mendesain modul edukasi swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit yang dapat digunakan sebagai panduan bagi masyarakat untuk melakukan swamedikasi secara tepat dan benar.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui pola perilaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit serta mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Mengetahui seperti apa pola perilaku dan permasalahan yang timbul dalam swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(32)
(33)

10

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A.Anatomi dan Fungsi Kulit

1. Anatomi kulit

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar merupakan pembungkus yang elastis dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya 1,5 m2 luas kulit orang dewasa dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh. Kulit bervariasi mengenai kelembutan, tipis dan tebalnya rata-rata tebal kulit 1-2 mm; kulit yang elastis dan longgar terdapat pada kelopak mata, bibir dan alat kelamin sedangkan kulit yang tebal terdapat pada kaki dan tangan orang dewasa dengan tebal 6 mm. Kulit yang tipis terdapat pada muka, yang lembut pada leher dan badan, dan yang berambut kasar terdapat pada kepala (Harahap, 2000).

Pembagian kulit secara garis besar tersusun tiga lapisan, antara lain : a. lapisan epidermis atau kutikel

Terdiri dari 5 lapisan (stratum) yakni stratum korneum merupakan lapisan kulit paling luar, stratum lusidum merupakan lapisan di bawah lapisan stratum korneum,

(34)

lapisan malphigi atau pickle cell layer dan stratum basale merupakan lapisan sel-sel berbentuk kubus (kolumner).

b. lapisan dermis (korium)

Lebih tebal daripada lapisan epidermis yang terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa padat.

c. lapisan subkutis (hipodermis)

Merupakan lapisan kelanjutan dermis yang terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak (Wasitaatmadja, 1999).

2. Fungsi kulit

Kulit mempunyai fungsi yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia antara lain sebagai :

a. pelindung, dimana pada kulit terdapat jaringan tanduk pada sel-sel epidermis paling luar yang akan membatasi masuknya benda-benda dari luar dan keluarnya cairan berlebihan dari tubuh. Melanin yang memberi warna kulit melindungi kulit dari sinar ultra violet.

b. pengatur suhu, dimana pada waktu suhu dingin peredaran darah dikulit berkurang guna mempertahankan suhu bada, sedang pada waktu panas peredaran darah di kulit meningkat sehingga terjadi penguapan keringat dan menyebabkan suhu tubuh dapat dijaga tidak terlalu panas.

(35)

masuk peredaran darah, karena dapat campur dengan lemak yang menutupi permukaan kulit.

d. indera perasa, kulit sebagai indera perasa terjadi karena rangsangan terhadap saraf sensoris dalam kulit. Fungsi indera perasa yang pokok yaitu merasakan nyeri, peraba, dan merasakan panas atau dingin.

e. fungsi pergetahan, dimana kulit diliputi oleh dua jenis pergetahan, yaitu sebum dan keringat. Getah sebum dihasilkan oleh kelenjar sebaseus dan keringat dihasilkan oleh kelenjar keringat (Harahap, 2000).

f. pembentukan vitamin D, terjadi dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Kebutuhan vitamin D tidak cukup hanya dari hal tersebut, sehingga pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.

(36)

Gambar 1. Penampang/anatomi Kulit dan Apendiks (Wasitaatmadja, 1999) Keterangan :

1. Epidermis : a. Stratum korneum b. Stratum Lusidum

c. Stratum granulosum d. Stratum spinosum e. Stratum basale 2. Dermis : f. Pars papillare

g. Pars retikulare

h.Melanosit

i. Badan Meissner

j. Sel Langerhans k Glandula sebasea

1. Rambut

m.Muskulus arektor pili

n. Badan pacini

3. Subkutis

4. Unit kelenjar Apokrin 5. Unit kelenjar ekrin

6. Vaskularisasi dermal : - pleksus superfisialis - pleksus profunda

B.Definisi dan Patogenesis Infeksi Jamur Kulit

1. Definisi

(37)

2. Etiologi

Penyebabnya adalah fungus (jamur) bisa berupa filamen multiseluler, hifa, yang berkembang biak dengan membentuk spora atau ragi unisel yang berkembang biak dengan membentuk tunas (Harahap, 2000). Menurut Siregar (2004), pembagian ini sukar karena kita harus sampai pada spesies jamur sebagai penyebab penyakitnya, misalnya : Trikopitosis (penyebabnya Trikofiton), Aspergilosis (penyebabnya spesies Aspergilus), Epidermofitosis (penyebabnya spesies Epidermofiton).

3. Patogenesis

a. Faktor endogen

1) perubahan fisiologi

a) kehamilan, karena perubahan pH vagina b) kegemukan, karena banyak keringat c) debilitas, tidak bertenaga

d) kelainan sifat bawaan dari lahir

e) endokrinopati yaitu gangguan gula darah kulit

f) penyakit kronik seperti tuberkulosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum yang buruk

2) umur, orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status imunologiknya tidak sempurna.

3) imunologik, merupakan penyakit genetik. b. Faktor eksogen

(38)

2) kebersihan kulit

3) kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur

4) kontak dengan penderita, misalnya pada thrush, balanopositis (Harahap, 2000).

C. Infeksi Jamur Kulit

Infeksi jamur kulit cukup banyak ditemukan di Indonesia, yang merupakan negara tropis beriklim panas dan lembab, apalagi bila hygiene juga kurang sempurna (Harahap, 2000).

Fungus (jamur) penyebab infeksi pada manusia bisa filamen multiseluler, hifa, yang berkembang biak dengan membentuk spora atau ragi unisel yang berkembang biak dengan membentuk tunas. Penyakit jamur kulit atau dermatomikosis adalah penyakit kulit yang dapat menyerang kuku, rambut dan mukosa yang disebabkan infeksi jamur. Penyakit kulit infeksi jamur dapat menyerang penduduk di seluruh dunia tanpa memandang umur, jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan.

(39)

Penggolongan penyakit infeksi jamur kulit digambarkan pada skema berikut ini:

1. Infeksi Superfisialis *Pitiriasis versikolor

2. Infeksi Kutan a. Dermatomitosis

1) Tinea kapitis

a) Gray patch

b) Kerion

c) Black dot ringworm

2) Tinea barbae Dermatomikosis 3) Tinea korporis

4) Tinea kruris

5) Tinea pedis dan manus 6) Tinea unguinum

b. Kandidosis kutis

1) Kandidiasis oral

2) Kandidiasis vulvovaginitis

3) Kandidiasis intertigo

4) Diaper resh

5) Erosiinterdigitalis balstomatika 3. Infeksi Subkutan

a. Aktinomikosis

b. Kromomikosis

c. Fikomikosis subkutis

d. Spotrotrikosis

(40)

Dermatomikosis pada umumnya dibagi atas :

1. infeksi superfisialis

Merupakan infeksi jamur yang terjadi pada permukaan kulit, contohnya: pitiriasis versikolor. Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial pada lapisan tanduk kulit yang disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityresporum orbiculare. Infeksi bersifat menahun, ringan dan tanpa peradangan, terjadi pada muka, badan, leher, lengan atas, ketiak, paha, dan lipat paha (Harahap, 2000).

Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan mikroskopis langsung dan pemeriksaan dengan lampu wood. Gambaran klinis yang khas berupa bercak berwarna putih sampai coklat, merah dan hitam dengan distribusi tersebar, berbatas tegas dengan skuama halus diatasnya. Pemeriksaan mikroskopis dengan larutan KOH 10-20%, tampak hifa pendek bersepta, kadang-kadang bercabang atau hifa yang terpotong-potong dengan spora yang berkelompok. Pemeriksaan dengan lampu wood memberikan fluoresensi berwarna kuning emas (Siregar, 2004)

(41)

jamur yang berat, itrakonazol 100 mg perhari selama 2 minggu untuk pengobatan infeksi jamur namun reaksi obat ini agak terlambat dan justru penyembuhannya terjadi 1-2 minggu setelah obat dihentikan. Untuk mencegah timbulnya kekambuhan, perlu diberikan pengobatan pencegahan, misalnya sekali dalam seminggu, sebulan dan seterusnya. Warna kulit akan pulih jika tidak terjadi reinfeksi. Pajanan sinar matahari dan kalau perlu obat fototoksik dapat dipakai dengan hati-hati, misalnya oleum bergamot atau metoksalen untuk memulihkan warna kulit tersebut (Harahap, 2000).

2. infeksi kutan

Terdiri dari dermatofitosis dan kandidosis kutis merupakan penyakit jamur pada jaringan yang mengandung zat tanduk seperti kuku, rambut, dan stratum korneum pada epidermis, yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.

a. Dermatofitosis, terdiri dari : 1) tinea kapitis (kurap kepala)

Penyakit ini menyerang rambut kulit kepala. Banyak terjadi pada anak-anak, disebabkan oleh Microsphorum dan Trichophyton.

Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan dengan lampu wood, dan pemeriksaan mikroskopis rambut langsung dengan KOH. Pada pemeriksaan mikroskopis, akan terlihat spora diluar rambut (ectotrics)

atau didalam rambut (endotrics).

(42)

warnanya kelabu.

Tinea kapitis dapat dibagi menjadi : a) gray patch

Merupakan flak kelabu akibat kumpulan skuana, rambut kering dan mudah patah, disebabkan Microsporum audouini.

b) kerion

Menyerupai abses ditandai reaksi meradang, disebabkan oleh Microsporum canis

dan Microsporum grypseum.

c) black dot ringworm

Disebabkan jamur yang hidup di dalam rambut (endotriks) sehingga rambut putus tepat dipermukaan kulit dan tinggal titik-titik hitam, disebabkan oleh

Trichophyton tonsurans (di barat) dan Trichophyton violaceum (di timur) yang menimbulkan bercak kecil

(43)

2) tinea barbae (Tinea sikosis, barber's itch)

Penyakit ini menyerang peternak yang bisa menimbulkan lesi supuratif nodular pro funda oleh Trichophyton mentagrophytos atau superfisial berkusta yang sebagian alopesia bersama folikulitis yang disebabkan oleh Microsporum canis

yang menunjukan pembengkakan konfluens dengan abses. Kulit diatasnya meradang, rambutnya longgar. Penyakit kulit jenis ini terdapat satu sisi wajah atau leher. Bentuk superfisialis menyebabkan folikulitis pustualis ringan yang rambutnya patah (T. violaceum) atau tanpa rambut yang patah (T. rubrum)

(Andrianto dan Sukardi, 1989).

3) tinea korporis (Tinea sirsinata, tinea glabrosa atau kurap)

Merupakan infeksi jamur pada kulit halus (glaborous skin) di daerah muka, badan dan lengan, disebabkan oleh T. rubrum dan T. mentagrophytes.

Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya, serta pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur.

(44)

dengan hewan atau keringat berlebihan merupakan faktor predisposisi. Tinea korporis adalah tinea imbrikata (tokelau) disebabkan oleh T. Concentricum.

Pengobatan diberikan secara sistemik berupa griseofulvin dosis 500 mg sehari selama 3-4 minggu, ketokonazol 200 mg sehari selama 3-4 minggu, itrakonazol 100 mg sehari selama 2 minggu atau terbinfin 250 mg sehari selama 2 minggu. Pengobatan topikal dengan salep whitfield masih cukup baik hasilnya, tolnaftat, tolsiklat, haloprogin, siklopirosolamin, derivat azol dan naftifin HCl (Andrianto dan Sukardi, 1989).

4) tinea kruris (jack itch, dhobie itch, crotch itch, ekzema marginatum atau tinea pada selangkang)

Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan ditemukannya elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung memakai KOH 10-20%

Manifestasi klinis biasanya disebabkan oleh Epidermophyton floccosum, Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton rubrum yang mengenai lipatan paha, daerah perineum, bokong dan perut bagian bawah. Predisposisinya berupa keringat berlebihan, pakaian yang ketat. Tinea kruris dimulai dengan bercak eritematosa kecil berskuama, berkrusta atau vesikular lalu menyebar dengan batas tegas (Andrianto dan Sukardi, 1989).

(45)

derivat azol dan naftifin HCl (Harahap, 2000).

5) tinea pedis dan manus (kaki atlet, kutu air dan hongkong foot)

Merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita pada kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki serta daerah interdigital yang disebabkan oleh jamur T.rubrum, T. mentagrophytes dan E. floccosum.

Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaa.n kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20% yang menunjukan elemen jamur.

Manifestasi klinis dijumpai pada tukang cuci atau kaki yang basah, sering ada hiperhidrosis dan bersifat basah ekzematosa dan bervesikula. Bentuknya bisa maserasi dengan sedikit skuama dan kadang-kadang vesikula atau fisura mengenai selaput di antara jari, terutama di antara jari ke-4 dan ke-5.

Trichophyton mentagrophytes penyebab tersering. Bentuk lain berupa erupsi vesikula atau bulosa bila menginvasi kulit jari kaki atau telapak kaki dan kemudian melibatkan seluruh telapak kaki. Vesikel berdiameter 2 atau 3 mm dan bila bersatu membentuk bula, kemudian mengering dan meninggalkan krusta coklat kekuningan.

(46)

Pengobatan umumnya cukup secara topikal dengan obat-obat anti jamur untuk jenis interdigital dan versikuler. Lama pengobatan 4-6 minggu, diberikan anti jamur secara peroral misalnya griseofulvin, itrakonazol dan terbenafin (Harahap, 2000).

6) tinea unguinum

Kelainan pada kuku, disebabkan T. rubrum dan T. mentagrophytes. Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10-20% atau dilakukan biakan untuk menemukan elemen.

Manifestasi klinis tinea unguinum disebabkan Trichophyton rubrum dimulai perlahan-lahan dengan reaksi radang yang minimum, pada ujung kuku namun bisa melibatkan palung kuku, yang menimbulkan warna kekuningan dan melibatkan kuku dan seluruh kuku menjadi longgar, kuku rapuh dan terpisah dari palung kuku oleh keratin subungual. Bila pecah meninggalkan sisa kekuningan dan hitam akibat kuku yang mati dan fungus. Tinea unguinum disebabkan Trichophyton mentagrophytes tanpa paronika, biasanya superfisialis, dimulai dengan pengelupasan kuku. Tinea unguinum dijumpai pada tukang cuci atau ibu rumah tangga terdapat paronika yang jelas, dimulai dari lipatan lateral kuku dan bisa dikeluarkan pusnya. Kutikula merah muda, bengkak dan nyeri jika ditekan Ditemukan pada tangan terutama yang sering berhubungan dengan air.

(47)

bulan untuk kuku jari kaki merupakan pengobatan yang standar. Pemberian itrakonazol atau terbinafin peroral selama 3-6 bulan memberikan hasil yang baik. Obat topikal dapat diberikan dalam bentuk lotio atau kombinasi krim bifonazol dengan urea 40% (Harahap, 2000).

b. Kandidosis kutis

Penyakit kulit ini jenis penyakit kulit akut atau subakut disebabkan jamur intermediate yang menyerang kulit, kuku, selaput lendir, dan alat-alat dalam. Diagnosis kandidosis berdasarkan adanya gejala klinik berupa lesi eritematosa berbatas tegas dan meluas disertai lesi satelit disekitarnya. Diagnosis ditunjang pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20% atau preparat garam.

Gejala Klinis Kadidosis kutis terdiri dari : 1) kandidosis oral (oral thrush)

Terjadi pada bayi sehat yang kontak dengan saluran vagina ibu, sedangkan pada orang dewasa ditemukan pada mukosa pipi dan lidah.

2) kandidosis vulvovaginitis/vaginitis

Disebabkan jamur jenis Candida albicans yang terjadi pada penderita diabetes militus karena kadar gula darah dan urin-yang tinggi dan pada wanita hamil karena penimbunan glikogen dalam epitel vagina.

3) kandidosis intertriginosa

(48)

4) diaper-rash

Pada bayi bisa timbul di daerah popok yang basah dimulai pada regio anal dan meluas kekeseluruhan area.

5) erosio interdigitalis blastomisetika

Penyakit ini terjadi pada daerah oval maserasi di selaput jari tangan (web)

meluas kesisi jari tangan, sedangkan pada kaki terletak antara jari ke-4 dan ke-5 (Harahap, 2000).

3. infeksi subkutan

Merupakan infeksi jamur kronis pada kutis atau sub kutis dengan ciri khas plesi berupa nodus yang superatif sepanjang aliran getah bening, disebabkan

Sprotrichum schenkii yang hidup di tanah, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sayuran yang telah membusuk (Harahap, 2000).

Infeksi subkutan antara lain : a. aktinomikosis

Aktinomikosis merupakan penyakit infeksi jamur dalam dan kronik dengan nodulasi-nodulasi supuratif, granulomatosa, disertai sinus-sinus yang mengeluarkan eksudat purulen, disebabkan Actinomykosis israelii.

b. kromomikosis

(49)

c. fitomikosis subkutis

Fitomikosis subkutis merupakan penyakit jamur yang memberikan gejala-gejala peradangan kronis dengan granuloma di bawah kulit yang teraba keras dan kenyal dengan batas tegas, disebabkan oleh Basidiobolus ranarum dan orde eteromoftora. d. sporotrikosis

Sporotrikosis merupakan infeksi kronis disebabkan Sporotrichium schenkii,

(50)

D. Penatalaksanaan Infeksi Jamur Kulit

1. Tujuan terapi :

a. menghilangkan rasa gatal, burning, dan ketidaknyamanan lainnya b. menghambat pertumbuhan jamur penyebab

c. mencegah infeksi berikutnya (Berardi, 2004)

2. Sasaran terapi :

jamur penyebab (Berardi, 2004)

3. Strategi terapi :

a. terapi non-farmakologi

Disamping pengobatan, yang penting juga adalah nasehat kepada penderita misalnya pada penderita dermatofitosis, disarankan agar :

1) memakai pakaian yang tipis

2) memakai pakaian yang berbahan cotton

3) tidak memakai pakaian dalam yang terlalu ketat (Nasution, 2005) b. terapi farmakologi

Infeksi jamur sering berkaitan dengan gangguan daya tahan tubuh, tetapi bila daya tahan tubuh turun maka pengobatan jamur sering mengalami kegagalan (Anonim, 2000b).

(51)

seperti pada alat kelamin, sistem kemih, mata, telinga, tenggorokan dan kulit dapat dilakukan secara teratur dengan menggunakan obat anti infeksi jamur.

Jenis atau klasifikasi obat antijamur yang di gunakan untuk pengobatan penyakit kulit infeksi jamur antara lain :

1) golongan polien :

a) amfoterisin b) nistatin

2) golongan imidazol :

a) klotrimazol b) ketokonazol c) ekonazol d) tiokonazol e) bifonazol f) mikonazol

3) golongan triazol :

a) flukonazol b) itrakonazol

4) golongan antijamur lainnya :

a) griseofulvin

(52)

Berikut adalah penjelasan untuk tiap-tiap golongan obat antijamur :

1) golongan polien

Yang termasuk golongan polien antara lain amfoterisin dan nistatin. a) Amfoterisin

Merupakan obat yang tidak dapat diabsorbsi oleh saluran cerna dan merupakan satu-satunya anti jamur yang dapat diberikan secara parenteral.

Mekanisme amfoterisin didalam tubuh akan terikat kuat dengan protein plasma dan penetrasi ke dalam jaringan buruk. Efek samping amfoterisin bersifat toksik dan mempunyai efek samping yang sering terjadi seperti : hilangnya nafsu makan, mual, muntah, diare, sakit perut, demam, sakit kepala, sakit otot dan sendi, anemia, gangguan fungsi ginjal (termasuk hipokalemia dan hipomagnesemia) dan toksisitas ginjal dan toksisitas kardiovaskuler (termasuk aritmia), gangguan darah dan neurologis (kehilangan pendengaran, diplopia, kejang, neuropati perifer), gangguan hati (jika ini terjadi, penggunaan amfoterisin di hentikan), ruam dan reaksi anafilaksis.

Dosis pengobatan untuk pengobatan Candida intestinal, dengan dosis pemakaian oral diperlukan 100-200 mg/6 jam, penggunaan intravena 1-3mg/kg/hari (Anonim, 2000a). Infeksi jamur sistemik, dosis percobaan selama 1 minggu 250 mcg/kg/hari maksimal 1,5 mg/kg/hari, diberikan tiap 20-30 menit.

(53)

b) Nistatin

Merupakan obat yang tidak terabsorbsi bila diberikan peroral dan terlalu toksik bila diberikan secara parenteral. Nistatin aktif terhadap beberapa jenis jamur dan ragi, tetapi digunakan untuk infeksi Candida albicans di kulit dan membran mukosa serta kandidosis intestinal.

Efek samping pemberian nistatin dapat menimbulkan efek samping seperti : mual, muntah, diare pada dosis tinggi, iritasi oral dan sensitisasi, ruam (termasuk urtikaria) dan dilaporkan juga terjadinya Steven - Johnson sindrom (akan tetapi jarang terjadi).

Dosis pemberian untuk pengobatan kulit infeksi jamur yang disebabkan

Candidiasis intestinal dibutuhkan 500.000 UI/6 jam, pada anak-anak 100.000 UI 4 kali/hari, profilaksis 1.000.000 UI/hari dan neonatal 100.000 UI/hari sebagai dosis tunggal (Anonim, 2000a).

Obat ini dipasaran mempunyai nama paten seperti: nistatin cream, candistatin cream, flagystatin, kandistatin, mycostatin cream (Anonim, 2000a).

2) golongan imidazol

(54)

a) Klotrimazol

Digunakan untuk infeksi jamur pada kulit, terutama Candida dan

Trikomoniasis. Efek samping klotrimazol kadang menyebabkan iritasi kulit atau sensitivitas.

Dosis pemberian untuk pengobatan infeksi digunakan tablet vagina 2 tablet (masing-masing 100 mg) selama 3 hari berturut-turut atau dapat di oleskan 2-3 kali sehari selama 14 hari berturut-turut.

Obat ini di pasaran mempunyai nama paten seperti: Canesten VT, Gyne-lotremin, Canesten cream, Kranos cream, Lanaderm, Lotremin, Medisten cream, Myco-hermal, Mycofug dan Tenoderm cream (Anonim, 2000a).

b) Ketokonazol

Digunakan pada mukosa sistemik, Candidiasis mukokotan terjadi resisten yang kronis, mukosa saluran cerna terjadi resisten yang serius, Candidiasis vaginal

terjadi resisten yang kronis juga infeksi dermatofita pada kulit atau kuku tangan (tidak terjadi pada kuku kaki), profilaksis mikosis pada pasien imunosupresan.

(55)

Obat ini di pasaran mempunyai nama paten seperti: Ketokonazol, Formico, Funet, Interzol, Muzarol, Mycoral, Mycozid, Nizoral, Profungal, Thicazol, Wizoloral dan Zoralin.

c) Ekonazol

Biasanya digunakan untuk Kandidiasis. Dosis pemberian dibutuhkan 1 tablet vagina (sebesar 150 mg) digunakan pada malam hari selama 3 hari berturut-turut (Anonim, 2000a). Obat ini di pasaran mempunyai nama paten seperti: Gyno-pevaril.

d) Tiokonazol

Mempunyai efek samping yang dapat mengiritasi lokal, biasanya terjadi pada minggu pertama selama pengobatan. Pengobatan dihentikan bila reaksi sensitivitas timbul. Obat ini di pasaran mempunyai nama paten seperti: Trosyd

3) golongan triazol

Yang termasuk golongan triazol antara lain flukonazol dan itrakonazol. a) Flukonazol

(56)

Dosis pemberian pengobatan oral untuk infeksi vaginitis dan balanitis kandida diperlukan 150 mg dengan dosis tunggal. Kandidosis mukosa (kecualli genitalia) diperlukan 50 mg (100mg/hari) untuk infeksi yang sulit disembuhkan, diberikan selama 7-14 hari. Kandidiasis orofarings, maksimal untuk 14 hari kecuali pada pasien imunocompromised, diperlukan 14 hari dan untuk Kandidiasis oral atropikans, 14-30 hari untuk infeksi mukosa lainnya (misalnya : esofagitis, Kandiduta dan infeksi Bronkopulmoner noninvasif).

Sediaan yang terdapat di pasaran, antara lain; Cryptal kapsul, Cancid kapsul, Diflucan kapsul, Govazol tablet, Scanazol kapsul, Sporale kapsul dan Zemyc kapsul (Anonim, 2000a).

b) Itrakonazol

Digunakan untuk kandidosis orofarings dan volvo vaginal, pitiriasis versikolor, infeksi dermatofita lainnya seperti : onikomikosis, histoplamosis, terapi alternatif bila anti jamur lain tidak cocok atau tidak efektif pada infeksi sistemik (aspergilosis, kriptokokosis, kandidosis termasuk maningitis), terapi pemeliharaan pada pasien AIDS, profilaksis infeksi jamur pada neutropenia bila terapi standar tidak cocok.

(57)

pengguanaan obat), pernah dilaporkan sindrom Steven-Johnson, hipokalemia pada penggunaan jangka panjang, udem dan rambut rontok.

Dosis pemberian untuk kandidiasis orofarings diperlukan 100 mg/hari (200 mg pada pasien AIDS atau neutropenia) selama 15 hari, untuk infeksi kandida vulvovaginitis 200 mg 2 kali sehari selama 1 hari, infeksi pitiriasis versikolor dibutuhkan 200 mg/hari selama 7 hari, tinea korporis dan tinea kruris 100 mg/hari selama 15 hari atau 200 mg/hari selama 7 hari serta tinea manus dan tinea pedis 100 mg/hari selama 30 hari. Pengobatan onikomikosis membutuhkan dosis 200 mg/hari selama 3 bulan atau bertahap 200 mg 2 kali sehari selama 7 hari di ulangi setelah interval 21 hari 2 tahap untuk kuku jari tangan, 3 tahap untuk kuku jari kaki, histoplasmosis 200 mg 1-2 kali sehari. Alternatif pada infeksi sistemik, 200 mg sekali sehari (kandidiasis 100-200 mg/hari), infeksi invasif atau diseminata dan maningitis kriptokokus sampai 200 mg 2 kali sehari. Terapi pemeliharaan pada pasien AIDS dan profilaksis pada neutropenia 200 mg/hari, dosis digandakan bila kadar dalam darah rendah penggunaan obat ini untuk anak-anak dan usia lanjut tidak dianjurkan (Anonim, 2000a).

Obat ini di pasaran mempunyai nama paten seperti: Sporanox kapsul, Sporacid kapsul, Furolonx kapsul, Zolgat kapsul.

4) golongan anti jamur yang lain

(58)

a) Griseofulvin

Secara selektif dikonsentrasikan pada lapisan keratin dan merupakan obat terpilih untuk dermatofitosis yang luas. Griseofulvin diabsorbsi dengan baik melalui saluran cerna tetapi tidak aktif bila diberikan secara topikal. Griseofulvin lebih efektif terhadap infeksi jamur kulit dari pada jamur kuku. Pengobatan dengan menggunakan griseofulvin perlu diteruskan selama 3-4 minggu. Griseofulvin menyebabkan kontraindikasi berupa gangguan fungsi hati berat dan porfiria. .

Efek samping griseofulvin dapat menyebabkan sakit kepala, mual, muntah, ruam, fotosensitivitas, pusing, lelah, agranulositosis dan leukopenia, SLE, eritema multiforme, nekrosis epidermal toksik, neuropati perifer dan gangguan koordinasi.

Dosis pemberian untuk dosis tunggal atau dosis terbagi dibutuhkan 500 mg/hari dan dosis dapat digandakan pada infeksi berat serta turunkan dosis bila terjadi perbaikan. Pada anak-anak dibutuhkan 10 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal atau dosis terbagi (Anonim, 2000a).

(59)

b) Terbinafin.

Merupakan antijamur alilamina, diperkenalkan untuk kurap (termasuk tinea pedis, tinea kruris dan tinea korpori.s) dan infeksi jamur pada kuku. Di mana terapi oral diperlukan (disebabkan tempat dan keparahan atau luasnya kulit yang terinfeksi jamur).

Efek samping terbinafin menyebabkan rasa tidak nyaman pada perut, hilangnya nafsu makan, mual, diare, sakit kepala, ruam kulit dan urtikaria. Kadang dengan artalgia atau mialgia dilaporkan adanya reaksi kulit yang serius termasuk sindrom Steven-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (hentikan pengobatan jika terjadi ruam kulit progresif), gangguan pengecapan, fotosensitivitas dan jarang terjadi toksisitas pada hati termasuk ikterus kolestatik dan hepatitis (Anonim, 2000a).

(60)

4. Algoritma terapi swamedikasi infeksi jamur kulit

Gambar 3. Pengobatan sendiri infeksi jamur kulit (Berardi, 2004)

Lesi kulit gatal, mengelupas

Mendapat riwayat penyakit. Melihat riwayat symptom, penampilan lesi dan pengaruh luas tubuh

Karakteristik lesi dari infeksi jamur ?

Menentukan kemungkinan

penyebab; rekomendasi pendekatan treatment yang sesuai

Ya Ya

tidak

Tidak dapat dilakukan

pengobatan sendiri ? Ke dokter

tidak

Terdapat pada kaki ?

Paha terdapat eritema, dibatasi oleh lesi ?

Paha terdapat eritema, tidak dibatasi oleh lesi ?

Lesi melingkar dengan pusat bersih, eritema, mengelupas ?

Ke dokter

Ke halaman berikut

Ke dokter

Seperti Tinea cruris.

Antifungal 2x sehari selama 2 minggu + pengukuran tanpa obat

Seperti Tinea corporis. Antifungal 2x sehari selama 4 minggu + pengukuran tanpa obat

Symptom hilang ?

Kulit higien baik. Jaga kulit tetap kering

(61)

Berardi, 2004

c.

Gambar 4. Pengobatan sendiri infeksi jamur kulit (Berardi, 2004)

Lesi pada kaki

Dengan inflamasi Basah,tipe basah athlete foot dengan/tanpa belahan Gelembung kecil,mengelupas dengan inflamasi

Basah, tipe basah athlete foot dengan belahan yang dalam

Lar. Al asetat 1:400 2-3x sehari kaki direndam/komp res,diikuti antifungal 2x sehari selama 4 minggu +pengukuran tanpa obat

Antifungal 2x sehari selama 4 minggu + pengukuran tanpa obat

Al. klorida 20-30% sampai bau busuk,basah,keputihan berkurang kemudian 1x sehari. Antifungal 2x sehari setelah Al. klorida selama 4 minggu + pengukuran tanpa obat

Al. klorida 10% 2x sehari setelah belahan berkurang. Setelah itu Al. Klorida 20-30% 2x sehari sampai busuk,basah,keputih an berkurang kemudian 1x sehari. Antifungal 2x sehari setelah Al. klorida selama 4 minggu + pengukuran tanpa obat

Symptom berkurang setelah treatment 4 minggu ?

Kaki menjadi baik. Jaga tetap kering

Symptom bertambah Ke dokter

Terapi lebih dari 2 minggu

Symptom berkurang

Kaki menjadi baik. Jaga tetap kering

(62)

E. Persepsi Sehat-Sakit

Dari penelitian Kresno (1988), di Indramayu didapatkan beberapa persepsi masyarakat mengenai sehat-sakit, dimana sehat diartikan masyarakat sebagai suatu keadaan tubuh enak, nyaman, dan mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Sementara sakit diartikan sebagai rasa sakit, lemah, pusing, gelisah, rewel, nangis terus, kantung kering. Disini terlihat bahwa persepsi sehat-sakit lebih didasarkan pada konsep obyektif mengenai kemunculan fenomena gejala yang dapat diukur. Keadaan ini menimbulkan perbedaan cara penanggulangan penyakit antara petugas kesehatan dengan masyarakat.

Dalam hal timbulnya demam misalnya bagi masyarakat diakibatkan oleh perubahan cuaca, cuaca buruk, cuaca terlalu panas, cuaca terlalu dingin, anak jatuh, lelah, makan tidak teratur, mandi saat panas terik, bahkan roh halus. Dengan demikian cara penanggulangannya pun dilakukan dengan memberikan ramuan yang sifatnya dingin, seperti dikompres dengan buah oyong, labu putih, campuran jeruk nipis, berobat pada dukun, serta pemberian obat panas yang dapat diperoleh dengan mudah di warung-warung seperti anaprin dan bodrexin (Kresno, 1988).

Hal ini sejalan dengan penelitian Rapid Ethnographic Assesment (REA) di Kabupaten Cianjur pada tahun 1996 (Puska-UI), yang menyebutkan bahwa menurut masyarakat terdapat 2 kelompok penyakit yang sifatnya berbeda, yaitu :

(63)

2. sakit dalam yang disebabkan oleh kemasukan roh atau karena kesambet dari orang yang bermaksud memasukkannya ke tubuh orang tuanya. Termasuk keadaan ini adalah kejang-kejang, tampek yang belum keluar bintik-bintiknya, mencret dengan disertai dehidrasi berat, mencret disertai darah atau lendir. Persepsi ini menimbulkan pula perbedaan di dalam cara masyarakat di dalam menanganinya, dimana untuk sakit luar dapat diatasi oleh pelayanan kesehatan modern, sedangkan untuk sakit dalam lebih merupakan porsi dukun atau paraji untuk mengatasinya. Disinilah letak bahaya dari konsep tersebut, karena justru penyakit yang parahlah yang ditangani oleh upaya kesehatan tradisional.

F. Swamedikasi

1. Pengobatan mandiri

Sering disebut juga dengan swamedikasi (self medication). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1998, pengobatan mandiri didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat, tidak semata-mata obat modern saja, tetapi juga obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka oleh diri sendiri untuk mengobati penyakit (Anonim, 1998). Definisi pengobatan mandiri menurut The International Pharmaceutical Federation (FIP) dan The World Self Medication Industry (WSMI) adalah penggunaan obat tanpa resep oleh masyarakat yang dilakukan sesuai dengan inisiatif mereka sendiri (Anonim, 1999b).

(64)

sendiri. Dari yang mengobati sendiri didapatkan 84,2 % menggunakan obat modern, 28,7% menggunakan obat tradisional dan 8,5 % menggunakan cara lainnya. Mengobati sendiri lebih banyak dilakukan penduduk di kawasan Jawa Bali (59,2 %) dibanding Sumatera (51,8 %) dan Kawasan Timur Indonesia (49,6 %). Data ini tidak jauh berbeda dengan data di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat dimana dalam waktu satu tahun diperkirakan jumlah penduduk yang mengeluh atau merasa menderita sakit sebanyak 75% dari seluruh jumlah penduduknya. Sebanyak 10% dari jumlah tersebut tidak berbuat apa-apa, 25% pergi ke dokter untuk mendapatkan pertolongan, dan sisanya sebanyak 65% melakukan pengobatan sendiri (Sartono, 1993) data tersebut menunjukkan bahwa persentase penderita yang melakukan pengobatan mandiri cukup besar, sehingga kenyataan tersebut dapat dijadikan salah satu dasar kebijakan dalam membina kesehatan masyarakat pada umumnya (Sartono, 1993).

(65)

Dalam menggunakan obat yang dijual bebas ada beberapa masalah yang harus dihadapi, yaitu: pertama, sebagian obat yang dijual bebas mengandung campuran beberapa obat yang berkhasiat, sehingga harga obat menjadi mahal; kedua, karena merupakan campuran beberapa obat berkhasiat maka satu macam obat dinyatakan dapat digunakan untuk berbagai macam penyakit dan gejala penyakit; ketiga, karena penggunaan yang bermacam-macam, maka petunjuk penggunaannya menjadi tidak jelas; keempat, masyarakat menganggap bahwa pengobatan mandiri cukup aman sehingga pada waktu memerlukan pertolongan dokter sudah dalam keadaan terlambat; kelima, masyarakat percaya bahwa pemerintah tidak akan mengizinkan penjualan bebas obat-obat yang merugikan bagi kesehatan, pada obat-obat tertentu mempunyai efek samping yang dapat merugikan bagi pengguna sehubungan dengan penyakit yang diderita (Sartono, 1993).

(66)

mengkonsumsi obat-obat yang mempunyai efek samping mengantuk seperti CTM, Paratusin, dan lainnya karena dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan sewaktu berkendara, demikian pula penggunaan Ephedrin pada atlet yang dapat meningkatkan prestasi walaupun hal tersebut dinilai tidak sportif (Sartono, 1993).

(67)

Tabel I. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi (Sihvo, Ahonen, Mikander, Hemminki, 2000).

Obyek Keuntungan Kerugian

Pasien Kenyamanan dan kemudahan akses Diagnosis tidak sesuai / tertunda

Tanpa biaya periksa / konsultasi Pengobatan berlebihan / tidak sesuai

Hemat waktu Kebiasaan menggunakan OTR

Empowerment Adverse Drug Reaction

Ada indikasi yang tak terobati

Kenaikan biaya berobat

Dokter/ sarana

pelayanan

kesehatan

Penurunan beban kerja Tidak dapat melakukan monitoring terapi

Lebih banyak waktu untuk menangani kasus

penyakit berat

Kehilangan kesempatan untuk konseling dengan

pasien

Berkurangnya peran

Berkurangnya pendapatan

Farmasis Perannya akan lebih dibutuhkan di Apotek Adanya konflik kepentingan antara bisnis dan

etika profesi

Pengambil

kebijakan

Menghemat biaya kesehatan masyarakat -

Industri Farmasi Meningkatkan profit pada penjualan obat bebas

2. Penyakit ringan / minor ailments

(68)

3. Pengobatan tradisional

Pengobatan tradisional menurut Undang-Undang Kesehatan No 23 Tahun 1992 merupakan salah satu upaya pengobatan atau perawatan cara lain diluar ilmu kedokteran dan atau ilmu perawatan. Obat tradisional menurut PerMenkes No 246/Menkes/Per/V/1990 adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan-bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik, atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Data Susenas (2001) menemukan bahwa sebagian masyarakat di Indonesia yang melakukan pengobatan sendiri sebesar 28,7% menggunakan obat tradisional. Penggunaan obat tradisional meningkat hampir dua kali selama 3 tahun.

4. Pengobatan alternatif

Di dalam kehidupan masyarakat saat ini, berkembang pengobatan alternatif yang cukup berperanan dalam realita upaya pengobatan masyarakat. Pengobatan alternatif yang kini dipraktekkan tidak lagi berkesan mistik, takhayul dan aneh. Pengobatan alternatif telah berjalan dalam suatu metoda dan teknis (meniru pola dokter dalam upaya penyembuhan) meski sebagian besar perlu penjelasan rasional (Smet, 1994).

5. Penggolongan Obat

(69)

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan.

a. Obat bebas

Salah satu jenis obat yang beredar di pasaran adalah obat tanpa resep. Obat tanpa resep adalah obat-obat yang oleh FDA dinyatakan efektif dan aman jika digunakan tanpa resep apabila mengikuti petunjuk yang tertera pada kemasan (Pal, 2004). Tanda khusus untuk obat bebas adalah lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam (anonim, 1983).

b. Obat bebas terbatas

Pada jaman Belanda, kelompok obat ini juga disebut daftar W (W=

waarschuwing= peringatan). Dalam golongan ini dimaksudkan obat-obatan yang diperuntukkan jenis penyakit yang pengobatannya dianggap telah dapat ditetapkan sendiri oleh masyarakat (Tjay & Rahardja, 2002). Tanda khusus untuk obat bebas terbatas adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam (Anonim, 1983).

Menurut SK Menteri Kesehatan RI nomor 6355/Dirjen/SK/1969, ada enam macam tanda peringatan yang dicantumkan dalam kemasan obat bebas terbatas sesuai dengan obatnya, yaitu:

1) P.No.1.Awas ! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya di dalam, contoh: Procold, Antimo.

(70)

3) P.No.3.Awas ! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan, contoh: Betadine untuk antiseptik lokal dan Desinfektan.

4) P.No.4.Awas ! Obat keras. Hanya untuk dibakar, contoh: Rokok anti asma. 5) P.No.5.Awas ! Obat keras. Tidak boleh ditelan, contoh: Suppositoria Dulcolax. 6) P.No.6.Awas ! Obat keras. Obat wasir jangan ditelan, contoh: Anusol Suppositoria

untuk wasir.

c. Obat Wajib Apotik

Berdasarkan SK Menteri Kesehatan R.I. Nomor 347/MENKES/SK/VII/1990, obat wajib apotik adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di apotik tanpa resep dokter. Apoteker di apotik dalam melayani pasien yang memerlukan obat diwajibkan memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam obat wajib apotik yang bersangkutan, membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan, memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien (Anonim, 1990a).

Pertimbangan kebijaksanaan obat wajib apotik, yaitu:

1) bahwa untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional; 2) bahwa peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional dapat

(71)

rasional;

3) bahwa oleh karena itu, peran apoteker di apotik dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri;

4) bahwa untuk itu, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh Apoteker di apotik.

Termasuk obat wajib apotik, yaitu:

1) obat wajib apotik nomor 1 misal: salep gentamisin, tablet metoklopramid (Anonim, 1990a).

2) obat wajib apotik nomor 2 misal: salep deksametason, salep bacitracin (Anonim, 1993a).

3) obat wajib apotik nomor 3 misal: tablet allopurinol, tablet piroksikam (Anonim, 1999a).

Obat dapat diserahkan tanpa resep hares memenuhi kriteria yaitu tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksudkan tidak memberi resiko pada kelanjutan penyakit, penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang hares dilakukan oleh tenaga kesehatan, penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia (Anonim, 1993a).

(72)

bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotik, obat keras, psikotropika dan narkotika. Penggolongan ini dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi. Namun pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 949/MENKES/PER/VI/2000 tentan

Gambar

Tabel XIX.  Permasalahan Pada Pemahaman Penyakit Ringan Yang Menurut
Tabel XXX. Permasalahan Mengenai Alasan Responden (n = 97) Tidak Bertanya
Gambar 2. Pembagian penyakit infeksi jamur kulit (Harahap, 2000)
Gambar 3. Pengobatan sendiri infeksi jamur kulit (Berardi, 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif observatif yang bertujuan untuk melihat pola penyakit kulit akibat infeksi jamur superfisial di Departemen Ilmu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kuman dan resistensi bakteri terhadap antibiotik pada penderita infeksi saluran kemih di instalasi rawat inap rumah sakit

(2) seberapa jauh perilaku beragama Ibu rumah tangga muslimah dipengaruhi oleh pola menonton dan kegiatan pendalaman keagamaan. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanasi dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku komunikasi ibu rumah tangga dan mengetahui hubungan antara perilaku komunikasi ibu rumah tangga dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi berupa metode ceramah dan leaflet pada perilaku swamedikasi di Dusun Nglawisan Kecamatan Muntilan (kajian

(2) seberapa jauh perilaku beragama Ibu rumah tangga muslimah dipengaruhi oleh pola menonton dan kegiatan pendalaman keagamaan. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanasi dengan

(2) seberapa jauh perilaku beragama Ibu rumah tangga muslimah dipengaruhi oleh pola menonton dan kegiatan pendalaman keagamaan. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanasi dengan

Kerangka penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi perilaku perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial dimana perilaku perawat terdiri pengetahuan, sikap, keterampilan, dan