• Tidak ada hasil yang ditemukan

pengukuran hasil)

H. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Pengetahuan akan menimbulkan suatu gambaran, persepsi, konsep, dan fantasi terhadap segala hal yang diterima dari lingkungan melalui panca inderanya (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa,dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 1993).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 1993).

2. Sikap

Sikap adalah evaluasi, perasaan emosional, dan kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntunkan yang bertahan lama dari seseorang terhadap beberapa obyek atau gagasan (Kotler, 1997). Menurut Dharmmesta dan Handoko (2000), sikap biasanya memberikan penilaian (menerima atau menolak) terhadap obyek atau produk yang dihadapinya.

Sikap dikatakan sebagai respon. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki timbulnya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk respon yang dinyatakan sebagai sikap itu didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu, yang memberi kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka dan tidak suka, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2003).

Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yitu komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective), dan komponen konatif (conative). Komponen kognitif berupa apa yang dipercayai oleh subjek pemilik sikap, komponen afektif merupakan komponen perasaan yang

menyangkut aspek emosional, dan komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh subjek (Azwar, 2003).

Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi sosial itu meliputi hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya. Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu tehadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan, serta faktor emosi dalam diri individu (Azwar, 2003).

3. Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan. Perilaku kesehatan ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku sakit dan perilaku sehat. Perilaku sehat dapat diartikan sebagai

tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Menurut Mechanic (Sarwono, 1997), perilaku sakit adalah reaksi optimal dari individu jika terkena suatu penyakit, reaksi ini sangat ditentukan oleh sistem sosialnya.

Persepsi dan reaksi terhadap gangguan sakit dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, pendidikan, kelas ekonomi dan latar belakang budaya serta umur. Wanita lebih mudah sakit dibanding pria, dengan hipotesis wanita mempunyai ambang nyeri dan ketidaknyamanan lebih rendah sehingga wanita lebih banyak mencari pengobatan dan menggunakan obat. Wanita dengan kelas sosial atas lebih banyak melakukan pengobatan sendiri dan kelas sosial bawah melakukan pengobatan medis. Hal itu berlawanan dengan yang terjadi pada kelas sosial pria. Orang-orang dengan usia tua biasanya semakin banyak menggunakan obat-obatan termasuk obat tanpa resep karena semakin banyak gejala-gejala yang dirasakan mengganggu, padahal pada orang tua kemungkinan terjadinya interaksi dan efek samping obat juga semakin besar karena menurunnya kinerja organ-organ penting dalam tubuh (Holt dan Hall, 1990).

Perilaku dan usaha yang dilakukan oleh masyarakat ketika terserang penyakit ada bermacam-macam, diantaranya adalah tanpa tindakan atau no action. Masyarakat memilih no action dengan alasan kondisi yang dialami tidak mengganggu kegiatan atau pekerjaan mereka sehari-hari dan mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apa-apa simptom yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. No action

itu juga bisa disebabkan fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak responsif dan sebagainya. Alternatif berikutnya adalah mengobati sendiri (self treatment) dengan alasan yang sama seperti

di atas, ditambah dengan kepercayaan terhadap diri sendiri untuk mengobati penyakit yang diderita berdasarkan pengalaman-pengalaman pengobatan sendiri yang sudah menimbulkan kesembuhan. Self treatment yang dilakukan ada dua macam, yaitu mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional dan mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung. Obat-obat yang digunakan umumnya adalah obat-obat tanpa resep. Tindakan lainnya adalah mencari pangobatan ke fasilitas pengobatan modern, baik itu dokter praktek, rumah sakit, balai pengobatan, atau puskesmas (Notoatmodjo, 1993)

Lima macam reaksi dalam proses individu mencari pengobatan (Sarwono, 1997), yaitu :

a. shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosis dan pengobatan sesuai dengan harapan si sakit.

b. Fragmentation, adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama, contohnya: berobat ke dokter, sekaligus ke sinse dan dukun. c. Procrastination, adalah proses penundaan pencarian pengobatan meskipun gejala

penyakitnya sudah dirasakan.

d. Self medication, adalah pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obatan yang dinilai tepat baginya.

I. Faktor- Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Kesehatan

1. Umur

Umur memiliki pengaruh di dalam pencarian pengobatan. Dari studi yang dilakukan oleh Andersen, et al, 1975 cit Hendarwan, H., 2003 menunjukkan bahwa pada usia tua (> 65 tahun) dan anak-anak (< 5 tahun) memiliki kunjungan yang tinggi pada dokter (tenaga kesehatan) apabila dibandingkan dengan golongan umur lainnya.

Pada usia > 65 tahun tingginya penggunaan pelayanan kesehatan kemungkinan dikarenakan kondisi kesehatan yang sudah lebih rentan sehingga seringkali sakit, sedangkan pada anak balita dapat disebabkan karena nilai anak itu sendiri di mata orang tuanya selain juga kondisi tubuhnya yang masih rawan terhadap penyakit.

2. Pendidikan

Terkait erat dengan pengetahuan adalah pendidikan. Pendidikan didefinisikan sebagai serangkaian proses belajar yang ditandai dengan penyampaian materi dari pendidik terhadap anak didik dan bermaksud untuk menghasilkan perubahan tingkah laku. Terdapat korelasi negatif antara pendidikan ibu dengan angka kematian anak. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin rendah angka kematian anak, karena dengan semakin tinggi pendidikan perempuan, maka ia akan lebih berdaya dalam mengambil keputusan yang benar terhadap pengobatan anaknva. Hal ini akan mengurangi fatalitas dalam menghadapi anak yang sakit. Ibu vang berpendidikan tinggi juga akan lebih cepat menerima datangnya informasi- informasi positif mengenai kesehatan.

Menurut Andersen, et al, 1975 cit Hendarwan, H., 2003, perbedaan tingkat pendidikan dapat menyebabkan perbedaan penggunaan pelayanan kesehatan oleh individu berkaitan dengan pengetahuan kesehatan, nilai, dan sikap. Studi yang dilakukan oleh Wilder dalam Andersen, et al, 1975 cit Hendarwan, H., 2003 menunjukkan bahwa untuk pengobatan pada dokter terdapat hubungan langsung yang lemah antara pendidikan dari kepala keluarga dengan penggunaan pelayanan kesehatan.

3. Pendapatan

Pendapatan berhubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan. Bagi masyarakat dengan tingkat pendapatan yang rendah, biaya pengobatan menjadi pertimbangan utama dalam mencari pengobatan. Biaya pengobatan menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, sehingga mereka akan cenderung mencari pertolongan kesehatan disesuaikan dengan kemampuan keuangannya. Bukan tidak mustahil, apabila mereka tidak memiliki keterbatasan dalam keuangan, maka mereka akan menggunakan pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.

Penelitian yang dilakukan oleh Anderson dan Sheatsley dalam Greenley (1980) menyebutkan 3 % penderita dengan gejala penyakit menunda pengobatan berkaitan dengan pertimbangan biaya. Hal yang sama juga ditemukan oleh Suchman, dimana pada pasien-pasien yang memerlukan perawatan rumah sakit, 8 % menunda pengobatannya dikarenakan alasan keuangan.