• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Itikad Tidak Baik Sebagai Pengecualian Daluwarsa Pada Alasan Pembatalan Merek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi Kasus Itikad Tidak Baik Sebagai Pengecualian Daluwarsa Pada Alasan Pembatalan Merek"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Kasus Itikad Tidak Baik Sebagai Pengecualian Daluwarsa Pada

Alasan Pembatalan Merek

Pramu Ichsan Chusnun Henny Marlyna

ILMU HUKUM - FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA p.ichsan@gmail.com

ABSTRAK

Skripsi ini membahas mengenai perbedaan antara unsur itikad tidak baik dengan unsur persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal sebagai alasan pembatalan merek. Skripsi ini juga membahas mengenai alasan dibalik pengaturan batas waktu untuk mengajukan pembatalan merek. Melihat pada pengaturan di Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Paris Convention for the Protection of Intellectual Property, pengaturan batas waktu ini untuk memberikan waktu bagi para pemilik merek terkenal untuk bertindak atas merek yang bermasalah atau yang dianggap sama dengan merek mereka. Namun sebuah merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal tidak selalu dapat dikatakan memiliki itikad tidak baik dalam pendaftarannya. Dalam Putusan Nomor 45/Merek/2005/PN.JKT.PST, Putusan Nomor 012 K/N/HaKI/2006 dan Putusan Nomor 49/Merek/2012/PN.JKT.PST, Skripsi ini menilai bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan adanya itikad tidak baik dari Tergugat. Sehingga seharusnya merek “Giordani” dan merek “Accènt” tidak dibatalkan walaupun memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal Penggugat.

Kata Kunci : Daluwarsa Pembatalan Merek; Itikad Tidak Baik; Merek;

Case Study on Bad Faith as Expiration’s Exception on Trademark Cancellation Reason ABSTRACT

This paper discusses the differences between the element of bad faith with element of the identical or similarity with the well-known trademark as the reason for trademark cancellation. Furthermore, this paper also examines about the reasons behind the limitation time regulation to file a trademark cancellation. Refering to the Trademark Act no. 15 of 2001 and Paris Convention for the Protection of Intellectual Property, this time limitation was regulated to give the owner of well-known trademark time to response on the conflicting trademark. However a trademark that has an identical or similar mark with a well known trademark is not always registered in bad faith. In verdict no. 45/Merek/2005/PN.JKT.PST, verdict no. 012 K/N/HaKI/2006 and verdict no. 49/Merek/2012/PN.JKT.PST, this paper argues that the Plaintiff was not able to prove the existence of bad faith on the Defendant’s trademark registration. Therefore, the trademark “Giordani” and trademark “Accènt” should not be cancelled although it has similarity with the the Plaintiff’s well-known trademark.

(2)

Pendahuluan

a. Latar Belakang

Merek menjadi salah satu pertimbangan bagi konsumen dalam membeli suatu barang dagang ataupun jasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa di mata konsumen, sebuah merek dapat membedakan kualitas suatu barang atau jasa dengan barang atau jasa yang lain. Berkaitan dengan kepentingan produsen, sebuah merek juga sangat penting karena berhubungan dengan reputasi produsen dari barang atau jasa yang dijual di pasar. Reputasi yang dimiliki oleh produsen tentu tidak didapat secara instan saat mereka mulai berusaha, melainkan melalui tahapan-tahapan yang membutuhkan dana, tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Contohnya dengan mempublikasikan produknya melalui media cetak maupun elektronik, pemetaan konsumen berprospektif ataupun strategi pemasaran lainnya. Sehingga merek memiliki dampak ekonomi yang besar terhadap daya jual ataupun daya beli sebuah produk.

Dengan besarnya dampak ekonomi dari suatu merek, besar pula kemungkinan terjadinya pemboncengan merek oleh pihak yang tidak mempunyai tanggung jawab. Alasan dilakukannya pemboncengan merek ini antara lain karena pelaku tidak bersedia untuk mengeluarkan waktu, dana dan tenaga untuk mempromosikan mereknya. Sehingga diharapkan dengan membonceng merek yang sudah terkenal, pelaku dengan mudah mendapatkan keterkenalan atau ketenaran pada produknya tanpa perlu melakukan upaya promosi. Ketakutan akan terjadinya tindakan seperti ini mendorong pelaku usaha untuk meminta perlindungan atas mereknya kepada Pemerintah.

H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H., berpendapat bahwa merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.1 Kata yang dapat ditekankan dalam pengertian merek tersebut dan pengertian di Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek adalah daya pembeda. Alasan mengapa sebuah merek perlu mempunyai daya pembeda yang cukup adalah agar ada perbedaan dengan merek-merek yang lain sehingga tidak membingungkan konsumen dan juga melindungi hak ekonomi dari produsen sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya. Namun fakta menunjukkan bahwa tidak jarang ditemukan dua merek yang didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang memiliki persamaan pada pokoknya maupun keseluruhan sehingga menimbulkan sengketa. Undang-Undang memberikan suatu upaya hukum untuk mengajukan pembatalan merek bila terdapat                                                                                                                          

1 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, cet.4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

(3)

persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek lain. Upaya pembatalan merek ini dapat diajukan dengan beberapa alasan salah satunya adalah apabila merek yang dipersengketakan telah didaftarkan dengan itikad tidak baik.2

Dalam pengajuan pembatalan merek dengan alasan diatas, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek memberikan batas waktu lima tahun sejak pendaftaran merek untuk mengajukan gugatan pembatalan merek. Undang-Undang yang sama juga memberikan pengecualian daluwarsa untuk beberapa alasan pembatalan merek, dimana salah satu alasannya adalah apabila merek yang bersangkutan didaftarkan dengan itikad tidak baik.3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek memberikan definisi itikad baik pada penjelasan Pasal 4 yaitu pendaftaran merek yang dilakukan secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen. Artinya di sini yang membedakan syarat ini dengan syarat pendaftaran merek lainnya adalah ada beberapa unsur yang harus dipenuhi agar orang pribadi atau badan hukum dapat dikatakan mempunyai itikad baik yaitu pendaftaran yang dilakukan secara :

1. Layak dan jujur

2. Tanpa niat untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain. Karena itikad tidak baik menjadi salah satu pengecualian daluwarsa pengajuan gugatan, maka penting untuk membuktikan itikad tidak baik dari pemilik merek untuk menentukan suatu kasus sudah daluwarsa atau belum. Namun dalam lanjutan penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek tersebut diberikan contoh dimana merek dagang A yang sudah terkenal selama bertahun-tahun, ditiru sedemikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek dagang A. Dikatakan dalam penjelasan itu bahwa dari contoh tersebut telah terjadi itikad tidak baik dari peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur kesengajaannya dalam meniru merek dagang yang sudah dikenal tersebut. Contoh pada penjelasan ini menimbulkan asumsi bahwa selama terbukti bahwa satu merek memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek lain yang sudah terkenal, maka merek tersebut didaftarkan dengan itikad tidak baik. Contoh ini tentu berbeda dengan pengertian pemohon yang beritikad baik seperti dijelaskan sebelumnya dimana seharusnya untuk membuktikan seseorang mempunyai itikad tidak baik adalah                                                                                                                          

2 Indonesia, Undang-Undang Merek, UU No. 15 Tahun 2001, LN No. 110 Tahun 2001, TLN. No.

4131, Pasal 4

(4)

dengan merek dagang A membuktikan ketidakjujuran ataupun niat dari pelaku dalam mendaftarkan mereknya bukan dengan membuktikan persamaan pada pokoknya dengan merek yang sudah terkenal.

Hal ini menjadi penting untuk ditelaah kembali karena pada akhirnya akan berdampak pada pertimbangan apakah suatu kasus merek sudah melewati jangka waktu pengajuan gugatan atau tidak ada jangka waktu pengajuan gugatan. Mengingat bahwa berbeda dengan alasan itikad tidak baik, alasan persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal tergolong dalam alasan-alasan yang mempunyai batas waktu pengajuan gugatan pembatalan merek.4 Dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya suatu merek yang didaftarkan dengan itikad tidak baik perlu dibuktikan niat dari pendaftar merek tersebut. Namun cara pembuktian itikad tidak baik dengan menunjukkan adanya persamaan pada pokoknya dan keterkenalan suatu merek pada kenyataannya telah terjadi pada beberapa kasus merek di Indonesia.

Dalam putusan kasus merek tahun 2012 di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat antara PT. Cipta Busana Jaya melawan PT. Sepatu Bata, Tbk dalam merek “Accent”, PT. Cipta Busana Jaya sebagai Penggugat mendalilkan gugatannya atas dasar itikad tidak baik karena gugatan yang diajukan telah lewat enam tahun sejak tanggal pendaftaran merek Tergugat. Namun karena terbukti ada persamaan pada pokoknya antara merek Penggugat yang sudah terkenal dengan merek Tergugat maka hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pendaftaran merek “Accènt” milik Tergugat telah didaftarkan dengan itikad tidak baik. Kemudian dalam Putusan Nomor 49/Merek/2012/PN.JKT.PST ini hakim memutuskan bahwa Penggugat yang berhak atas merek “Accent” sehingga kasus tersebut tidak daluwarsa. Hingga saat ini, kasus tersebut sudah putus di tingkat Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan sedang dalam proses kasasi.

Kasus menarik juga terjadi pada tahun 2005 dalam kasus merek “Giordano” dan “Giodani” antara Walton International Limited dan Oriflame Cosmetics, S. A. Dimana Walton International Limited selaku pemegang hak untuk menggunakan merek “Giordano” menggugat Oriflame Cosmetics karena meniru merek “Giordano” dengan mendaftarkan merek “Giordani”. Gugatan dalam Putusan Nomor 45/Merek/2005/PN.JKT.PST ini diajukan oleh Walton International Limited enam tahun setelah pendaftaran merek “Giordani”, sehingga Walton International Limited mendasarkan gugatannya pada itikad tidak baik karena gugatan yang diajukan telah melewati batas lima tahun yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

                                                                                                                         

(5)

Namun perihal pembuktian itikad tidak baik ini tidak dimasukkan dalam pertimbangan hakim, dimana hakim hanya mempertimbangkan karena jangka waktu pengajuan gugatan yang telah lewat dari batas yang ditentukan maka kasus ini dinyatakan sudah daluwarsa. Padahal sesuai ketentuan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek beserta penjelasannya, untuk membuktikan suatu kasus sudah daluwarsa atau belum, perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya pertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum atau itikad tidak baik pada merek tersebut. Di tingkat pertama merek “Giordani” memang tidak dibatalkan namun pembatalan terhadap merek “Giordani” terjadi pada tingkat kasasi dimana Mahkamah Agung berpendapat bahwa merek “Giordani” telah didaftarkan dengan itikad tidak baik.

Adanya ketidaksesuaian antara pengaturan dan pelaksanaan pengaturan itikad tidak baik dan implikasinya pada daluwarsa atau tidaknya suatu putusan pada 2 kasus diatas menarik perhatian penulis untuk mengupas lebih dalam mengenai itikad tidak baik juga mengenai daluwarsa pengajuan pembatalan merek dan pengecualiannya di Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dengan judul “STUDI KASUS ITIKAD TIDAK BAIK SEBAGAI PENGECUALIAN DALUWARSA PADA ALASAN PEMBATALAN MEREK DALAM UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK”. b. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan pada poin sebelumnya, maka dapat ditentukan pokok permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini yaitu :

1. Apakah pemohon yang mendaftarkan suatu merek sudah pasti memiliki itikad tidak baik apabila merek tersebut memiliki persamaan dengan merek lain yang terkenal? 2. Apakah yang menjadi alasan pengaturan daluwarsa pembatalan merek menurut Paris

Convention for the Protection of Industrial Property dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek?

3. Bagaimanakah analisis daluwarsa pengajuan gugatan pembatalan merek pada Putusan Nomor 49/Merek/2012/PN.NIAGA.JKT.PST, Putusan Nomor 012 K/N/HaKI/2006 dan Putusan Nomor 45/Merek/2005/ PN.JKT.PST?

c. Tujuan Penelitian

(6)

Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek itikad tidak baik dihubungkan dengan pengecualian daluwarsa dari gugatan pembatalan merek. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan apakah pemohon yang mendaftarkan suatu merek dapat dipastikan memiliki itikad tidak baik apabila merek tersebut memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek lain yang terkenal .

2. Menjelaskan mengenai alasan pengaturan daluwarsa pembatalan merek menurut Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

3. Menjelaskan implementasi pengaturan daluwarsa pembatalan merek dalam analisis kasus pengajuan pembatalan merek dalam Putusan Nomor 45/Merek/2005/PN.JKT.PST, Putusan Nomor 012 K/N/HaKI/2006 dan Putusan Nomor 49/Merek/2012/PN.NIAGA. JKT.PST.

d. Tinjauan Teoritis

Untuk menjawab pokok permasalahan maka dalam tinjauan teoritis ini perlu dijabarkan definisi dari persamaan pada pokoknya dan itikad tidak baik. Persamaan pada pokoknya merupakan salah satu syarat yang harus dihindari dari suatu merek jika ingin didaftarkan. Secara umum Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama menyatakan bahwa sebagai pegangan mengenai persamaan pada pokoknya antara merek-merek yaitu apabila suatu merek bersangkutan akan menimbulkan kekeliruan pada khalayak ramai, jika dipakai bagi barang-barang sejenis, maka dianggap ada persamaan pada pokoknya.5 Ketentuan mengenai ini

terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dimana dikatakan sebagai berikut :

Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut :

a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis

b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis

c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal.6

                                                                                                                         

5 Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, (Bandung: Alumni 1977), hlm. 92. 6 Indonesia, Op.Cit., Penjelasan Pasal 6 ayat (1).

(7)

Secara ringkas, pendaftaran merek harus ditolak apabila dalam merek itu terdapat persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terdaftar terlebih dahulu, dengan merek yang sudah terkenal dan dengan indikasi geografis yang sudah dikenal. Bagi merek yang terkenal, selain untuk barang yang sejenis, ketentuan ini juga termasuk untuk barang yang tidak sejenis.7 Undang-Undang juga memberikan penjelasan mengenai

definisi persamaan pada pokoknya. Menurut Undang-Undang persamaan pada pokoknya adalah

Kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.8

Seperti yang dapat dilihat bahwa pengaturan definisi persamaan pada pokoknya diatas bersifat alternatif. Artinya apabila salah satu unsur terpenuhi maka dapat dikatakan bahwa pelanggaran terhadap persamaan pada pokoknya telah terjadi. Contoh apabila antar kedua merek terdapat kemiripan bunyi saat diucapkan maka sudah terbukti ada persamaan pada pokoknya tanpa perlu melihat dari unsur-unsur lainnya.

Hak atas merek (Merkenrecht) dikategorikan sebagai benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang.9 Sehingga untuk dapat dianggap sebagai pemilik tidak cukup dengan adanya penguasaan (bezit) saja namun perlu ada bukti-bukti kepemilikan secara yuridis seperti surat-surat ataupun sertifikat. Dalam Pasal 530 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa kedudukan berkuasa tersebut dapat diperoleh dengan 2 cara yaitu dengan :

1. Itikad baik :

Dalam pasal selanjutnya dijelaskan bahwa kedudukan itu dikatakan mempunyai itikad baik apabila si pemegang memperoleh kebendaan dengan cara hak milik dan tidak mengetahui akan cacat cela yang terkandung di dalamnya.10

2. Itikad tidak baik/buruk

Seseorang dikatakan memiliki itikad tidak baik/buruk dalam penguasaannya, apabila orang itu mengetahui bahwa bukan dialah pemilik kebendaan tersebut.                                                                                                                          

7Ibid., Pasal 6 ayat (2). 8Ibid., Pasal 6 ayat (1) huruf a.

9 Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat hlm. 31 Skripsi ini

 

10 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet. 34, (Jakarta: Pradnya

(8)

Itikad baik selamanya harus dianggap ada pada tiap-tiap pemegang kedudukan. Barangsiapa menuduh akan itikad buruk kepadanya, harus membuktikan tuduhannya.11

Sehingga pembuktiannya tidak terbalik, dimana beban pembuktian itikad tidak baik/buruk ini ada di Penggugat selaku pihak yang menuduh. Namun, perlu diperhatikan bahwa pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah mencari dan mewujudkan kebenaran formil. Dimana hakim bersifat pasif dan tidak dituntut keyakinan pada diri dan sanubari hakim dalam memutus perkara. Hal ini yang membedakan hukum acara perdata dengan hukum acara pidana. Sehingga kebenaran yang dicari dalam hukum acara perdata sangat bergantung pada apa yang dikemukakan oleh para pihak.12 sehingga kalimat tersebut menekankan bahwa Penggugat harus benar-benar dapat membuktikan itikad tidak baik dari Tergugat mengingat bahwa hakim tidak akan menggali lebih jauh dan tidak akan memutus diluar apa yang dikemukakan para pihak. Dari penafsiran secara a contrario, maka pemohon yang beritikad tidak baik menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Didaftarkan secara tidak layak dan tidak jujur

2. Berniat untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain 3. Berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang,

mengecoh atau menyesatkan konsumen.

Undang-Undang memberikan contoh pada merek dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun, ditiru demikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek dagang A tersebut.13 Dalam contoh tersebut, Undang-Undang menyatakan bahwa telah terjadi itikad tidak baik dari peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur kesengajaannya dalam meniru merek dagang yang sudah dikenal tersebut. Jika dilihat sekilas dari contoh tersebut, Undang-Undang mempersamakan syarat itikad tidak baik dan syarat persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya. Padahal kata-kata yang penting untuk diperhatikan dalam ketentuan tersebut yaitu kata sengaja. Dimana perlu dibuktikan unsur sengaja dari Tergugat dalam meniru merek dari Penggugat, bahwa Tergugat memiliki kesadaran sengaja melakukan peniruan atau pemboncengan merek. Dalam praktek peradilan merek, permasalahan itikad tidak baik ini sangat penting. Hal yang paling harus diperhatikan terkait kasus merek yang didasari itikad                                                                                                                          

11Ibid., Pasal 533.

12 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan , cet. 7 (Sinar Grafika: Jakarta, 2008), hlm. 498.

(9)

tidak baik di Pengadilan Niaga adalah dengan membuktikan adanya pengetahuan terlebih dahulu dari Tergugat mengenai keterkenalan merek Penggugat.14

Terkait pengaturan mengenai itikad tidak baik (bad faith) di Pasal 6bis ayat (3) dari

Paris Convention for the Protection of Industrial Property, Prof. Georg Hendrik Christiaan Bodenhausen menyampaikan pendapatnya dalam hal kapan suatu itikad tidak baik itu muncul, yaitu sebagai berikut : “Bad faith will normally exist when the person who registers or uses the conflicting mark knew of the well-known mark and presumably intended to profit from the possible confusion between that mark and the one he has registered or used.”15 Dalam terjemahan bebas, itikad tidak baik muncul pada saat seorang yang mendaftarkan dan menggunakan mereknya mengetahui merek terkenal lain dan dianggap sengaja mengambil keuntungan dari kemungkinan terjadinya kebingungan antara merek terkenal tersebut dengan merek orang tersebut. Dalam Section 3 Perjanjian TRIPS Pasal 24 angka 5 tentang

Geographical Indications disebutkan

where a trademark has been applied for or registered in good faith, or where rights to a trademark have been acquired through use in good faith shall not prejudice eligibility for or the validity of the registration of a trademark, or the right to use a trademark, on the basis that such a trademark is identical with, or similar to, a geographical indications.

Dari pengaturan itu jelas bahwa tidak semata-mata sebuah merek yang memiliki persamaan pada pokoknya ataupun secara keseluruhan dapat disimpulkan memiliki itikad tidak baik dalam pendaftaran atau pemakaian merek tersebut. bahwa ada perbedaan syarat yang harus dipenuhi antara itikad tidak baik dan persamaan pada pokoknya atau keseluruhan. Sebagai perbandingan cara pembuktian itikad tidak baik, Joint Recommendation Concerning Provisions on the Protection of Well Known Marks, diatur pula mengenai itikad tidak baik. Dikatakan bahwa :

In determining bad faith for the purpose of this paragraph, the competent authority shall take into consideration whether the person who obtained the registration of or used the mark which is in conflict with a well known mark had, at the time when the mark was used or registered, or the application for its registration was filed, knowledge of, or reason to know of, the well known mark.16

                                                                                                                         

14 Informasi ini didapat dari hasil wawancara dengan salah satu hakim di Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat

15 G.H.C. Bodenhausen, Guide to the Application of the Paris Convention for the Protection of

Industrial Property, cet. 3, (BIRPI: WIPO Publication, 2004), hlm 93.

16 WIPO, Joint Recommendation Concerning Provisions on the Protection of Well-Known Marks,

(10)

Ini mendukung pernyataan-pernyataan sebelumnya dimana untuk membuktikan adanya itikad tidak baik, perlu dilihat pengetahuan atau alasan untuk mengetahui merek yang terkenal tersebut.17

Gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran merek. Namun tidak ada pembatasan jangka waktu untuk alasan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau itikad tidak baik. Pemberian batas waktu atau daluwarsa pada pengajuan gugatan pembatalan merek tidak lain untuk memberikan kepastian hukum kepada pemilik merek terdaftar. Undang-Undang Dasar 1945 juga menjamin hak atas kepastian hukum, mengingat bahwa mendapatkan kepastian hukum juga bagian dari hak asasi manusia.18 Jika batasan waktu pendaftaran merek selama lima tahun tersebut tidak ditentukan undang-undang, maka dalam praktek akan sangat mudah sekali terjadi pembatalan pendaftaran merek.19 Menurut Paris Convention for the Protection of Industrial Property, Pembatasan ini diatur di dalam konvensi semata-mata dengan maksud untuk memberikan waktu bagi para pemilik merek terkenal untuk bertindak atas merek-merek yang bermasalah atau yang dianggap sama dengan merek mereka.20

Sebagai perbandingan, Ketentuan mengenai daluwarsa pembatalan merek ini juga dipertegas dalam Joint Recommendation Concerning Provisions on the Protection of Well Known Marks Pasal 4 ayat (5) dimana dikatakan bahwa “A Member State may not prescribe any time limit for requesting the invalidation of the registration of a mark which is in conflict with a well-known mark if the conflicting mark was registered in bad faith.”

e. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode penelitian normatif, dimana penulis akan melihat dari asas-asas hukum merek dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai merek di Indonesia. Pengaturan merek yang akan dibahas disini tidak hanya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek saja tetapi juga dari                                                                                                                          

17 Untuk lebih jelasnya mengenai contoh pembuktian itikad tidak baik dalam kasus di pengadilan,

penulis mengulas 2 (dua) kasus sebagaimana dijelaskan di hlm. 49 Skripsi ini.  

18 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 28D ayat (1)

19 Tim Redaksi Tatanusa, Himpunan Putusan-Putusan Pengadilan Niaga Dalam Perkara Merek, cet. 1,

(Jakarta: PT. Tatanusa, 2002), hlm. 233.

(11)

pengaturan-pengaturan sebelumnya dan juga peraturan internasional yang diratifikasi oleh Indonesia seperti Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property (TRIPs).

Dalam penelitian ini, selain menggunakan studi kepustakaan, wawancara juga dilakukan untuk mendapatkan data tambahan dalam beberapa bab yang dibahas. Karena itu jenis data yang penulis perlukan adalah data primer dan data sekunder. Untuk sumber data sekunder, penulis akan mengambil dari data yang terdiri dari bahan primer, bahan sekunder dan bahan tersier. Dimana pembahasan teori dalam tulisan ini akan diambil dari peraturan perundang-undangan, bahan hukum dan hasil karya ahli hukum yang membahas mengenai hukum merek ini, baik berupa buku, artikel majalah, dan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.21

Kemudian untuk memberikan petunjuk-petunjuk mengenai definisi istilah yang dipakai didalam tulisan ini, penulis juga memerlukan bahan berupa kamus dan ensiklopedia digunakan sebagai pelengkap. Dengan demikian alat pengumpulan data yang diperlukan adalah studi dokumen dan wawancara.22 Pada akhirnya seluruh data dan informasi yang diperoleh akan diolah dengan pendekatan kualitatif karena perlunya pendekatan ini untuk membahas dan menganalisis 3 (tiga) putusan dalam penelitian ini.

f. Pembahasan

Untuk mengetahui bagaimana penerapan unsur itikad tidak baik dalam kasus merek di Indonesia maka Penulis dalam Jurnal ini menganalisis 2 (dua) kasus. Pertama adalah kasus merek “Giordano” dan “Giordani” dalam Putusan No. 45/Merek/2005/PN.NIAGA.JKT.PST dan Putusan Kasasi No. 012 K/N/HaKI/2006. Kasus kedua adalah kasus merek “Accent” dan “Accènt” dalam Putusan No. 49/Merek/2012/PN.NIAGA.JKT.PST. Untuk menganalisis apakah majelis hakim telah menerapkan unsur itikad tidak baik secara benar maka perlu diperhatikan pertimbangan putusannya terlebih dahulu. Dalam Putusan No. 45/Merek/ 2005/PN.NIAGA.JKT.PST, Hakim mengatakan :

“Menimbang, bahwa dalil Penggugat mengajukan pembatalan merek “Giordani” Nomor 424868 tanggal 25 Maret 1999 adalah karena mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek “Giordano” milik Penggugat sebagai merek terkenal, bukan karena alasan bertentangan dengan moral agama, kesusilaan atau ketertiban umum,                                                                                                                          

21 Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.

(12)

maka sesuai ketentuan pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang merek gugatan pembatalan merek sebagaimana disebutkan oleh Penggugat hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran. Karena gugatan telah lewat waktu maka beralasan untuk menerima Eksepsi ini dan menyatakan bahwa gugatan telah lewat waktu/daluwarsa.”23

Sedangkan dalam tingkat kasasi, majelis hakim mempertimbangkan bahwa karena ada persamaan pada pokoknya antara merek “Giordani” dan merek terkenal “Giordano”, maka pendaftaran merek “Giordani” sudah didasarkan atas itikad tidak baik. Untuk menganalisis pertimbangan tersebut, Penulis melihat dari 4 (empat) aspek yaitu keterkenalan merek penggugat, persamaan pada pokoknya, itikad tidak baik dan daluwarsa pembatalan merek. Dari keterkenalan merek, penulis sepakat dengan pertimbangan majelis hakim tingkat kasasi yang menyatakan bahwa merek “Giordano” adalah merek terkenal. hal ini dibuktikan oleh Penggugat dengan bukti-bukti sebagai berikut :

1. Fotokopi bukti pendaftaan Merek Dagang “Giordano” :

a. Kelas 25, atas nama Penggugat di Indonesia, Hong Kong, Swiss dan Afrika Selatan

b. Kelas 18, atas nama Penggugat di Indonesia dan Singapura c. Kelas 03, atas nama Penggugat di Korea Selatan

2. Fotokopi surat pernyataan mengenai investasi, promosi, perdagangan produk-produk “Giordano” dan pendaftaran merek “Giordano” di seluruh dunia.

3. Fotokopi Bukti Iklan dan promosi produk merek dagang “Giordano” 4. Fotokopi foto produk-produk kosmetik Penggugat di luar negeri

5. Fotokopi Putusan-Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Putusan-Putusan Mahkamah Agung

Penulis juga sepakat dengan pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa ada persamaan pada pokoknya antara merek “Giordano” dan “Giordani” dimana menurut penulis ada persamaan bunyi antara kedua merek tersebut. Menurut penulis, kata “Giordano” tersusun atas huruf-huruf yang sama dengan “Giordani” dengan cara penempatan huruf-huruf tersebut yang sama. Dimana kata “Giordano” terdiri atas huruf G, I, O, R, D, A, N, O. Sedangkan merek “Giordani” terdiri atas huruf G, I, O, R, D, A, N, I. Dimana 7 dari 8 huruf atau 87,5% huruf yang ada di kata “Giordano” ada juga di kata “Giordani” dengan susunan huruf yang sama pula sehingga jika diucapkan akan memiliki bunyi yang sama.24 Karena itu                                                                                                                          

23 Lihat hlm. 31 Putusan No. 45/Merek/ 2005/PN.NIAGA.JKT.PST

24 Cara penentuan persamaan pada pokoknya ini penulis dapatkan dari yuriprudensi dalam Putusan

(13)

menurut penulis pembedaan huruf I dan O tidak cukup untuk membedakan kedua merek tersebut sehingga menurut penulis sebagaimana tertera dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek ada kemiripan antara merek “Giordano” Penggugat dan merek “Giordani” Tergugat.

Memang ada pembedaan kelas barang antara merek “Giordano” dan merek “Giordani” dimana “Giordano” didaftarkan pada kelas barang 18 dan 25 sedangkan “Giordani” didaftarkan pada kelas barang 3. Namun sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa merek “Giordano” adalah merek yang terkenal. Sehingga persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal tetap dapat dibatalkan walaupun kedua merek terdaftar dalam kelas barang yang berbeda.25 Menurut penulis, adanya 2 merek ini dapat menimbulkan kebingungan di konsumen dimana seakan-akan merek “Giordani” merupakan merek turunan dari merek “Giordano” untuk merek pada produk parfum. Sehingga menurut penulis, ada persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal tetap dapat membingungkan konsumen karena seakan-akan suatu merek memiliki hubungan dengan merek yang sudah terkenal.

Namun, terkait itikad tidak baik penulis tidak sepakat dengan pertimbangan majelis hakim tingkat pertama yang langsung menyatakan pengajuan pembatalan merek tersebut dauwarsa semata-mata karena tanggal pengajuan gugatan sudah lewat waktu. Penulis juga tidak sepakat dengan pertimbangan majelis hakim tingkat kasasi yang menyatakan bahwa pemilik merek “Giordani” memilik itikad tidak baik dalam pendaftarannya. Sebagaimana telah dipaparkan dalam teori di bab sebelumnya, untuk membuktikan adanya itikad tidak baik dari Tergugat, Penggugat memang perlu membuktikan adanya persamaan dengan merek Penggugat dan keterkenalan merek Penggugat dan itu telah dibuktikan di poin-poin sebelumnya. Namun dalam poin ini yang terpenting untuk dibuktikan oleh Penggugat adalah Tergugat mengetahui mengenai merek Penggugat pada saat mendaftarkan mereknya. Dalam kasus “Giordano” dan “Giordani” ini, Penggugat menyatakan dalam gugatannya bahwa oleh karena terdapat persamaan pada pokoknya antara merek milik Penggugat dengan merek milik Tergugat maka tidak dapat disangkal lagi bahwa Oriflame Cosmetics telah terbukti memiliki itikad tidak baik (bad faith) dalam mendaftarkan mereknya, karena memiliki niat yang tidak jujur dengan meniru, menjiplak dan membonceng keterkenalan merek “Giordano” Penggugat untuk mengeruk keuntungan secara melawan hukum, di mana pemakaian kata “Giordani” akan menimbulkan kesan seakan-akan merupakan produk hasil dari Penggugat, sehingga                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            

(14)

pada akhirnya akan terjadi kondisi persaingan curang (Unfair Competition) yang sangat merugikan Penggugat.

Pandangan yang diberikan oleh Penggugat dalam itikad tidak baik ini tentu tidak sesuai dengan teori itikad tidak baik di dalam hukum merek. Karena di dalam pandangannya Penggugat menyatakan bahwa semata-mata karena merek “Giordani” ada persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal “Giordano” maka Oriflame Cosmetics selaku Tergugat telah mendaftarkan mereknya dengan itikad tidak baik. Sedangkan dalam teori itikad tidak baik di dalam hukum merek, harus dibuktikan bahwa Oriflame Cosmetics mengetahui mengenai merek “Giordano” pada saat mendaftarkan mereknya.

Karena itu tepat jika Tergugat II menyatakan dalam jawabannya bahwa Selain keterkenalan merek dari Penggugat, Penggugat juga harus membuktikan itikad tidak baik yang dimiliki oleh Tergugat I karena menurut Tergugat II pendaftaran merek “Giordani” telah didaftarkan dengan itikad baik karena telah memenuhi semua persyaratan pendaftaran yang diperlukan dan juga telah melalui pemeriksaan substantif sebagaimana telah dilakukan oleh Tergugat II. Disini Tergugat II juga melihat bahwa karena semata-mata merek Penggugat terkenal tidak semata-mata merek “Giordani” Tergugat bisa dibatalkan begitu saja karena tanggal diajukannya gugatan sudah melewati batas waktu yang ditentukan Undang-Undang. Dan untuk menyatakan gugatan tidak daluwarsa atau tidak lewat batas waktu, Penggugat wajib membuktikan bahwa Tergugat memiliki Itikad tidak baik dalam mendaftarkan mereknya.

Hal ini berdampak pada putusan apakah kasus merek tersebut daluwarsa atau tidak. Melihat pada Kasus “Giordano” dan “Giordani” diatas, Walton International Limited memang berhasil membuktikan bahwa mereknya “Giordano” memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek “Giordani” dan berhasil membuktikan keterkenalan merek dari Penggugat. Namun karena Walton International Limited tidak berhasil membuktikan bahwa Tergugat memiliki itikad tidak baik sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka kasus tersebut sudah seharusnya dinyatakan daluwarsa.

Dalam kasus kedua antara merek “Accent” dan “Accènt”, pertimbangan majelis hakim adalah sebagai berikut :

“Karena merek Accènt Tergugat memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek Accent milik Penggugat yang merupakan merek terkenal yang lebih dahulu terdaftar, jelas-jelas merupakan perbuatan itikad tidak baik dengan tujuan membonceng pada ketenaran nama perniagaan dan nama merek dagang yang telah terkenal tersebut.”26                                                                                                                          

(15)

Sama halnya dengan analisis putusan “Giordano” dan “Giordani”, Untuk menganalisis pertimbangan tersebut, Penulis melihat dari 4 (empat) aspek yaitu keterkenalan merek penggugat, persamaan pada pokoknya, itikad tidak baik dan daluwarsa pembatalan merek. Dari segi keterkenalan merek, penulis sepakat dengan pertimbangan majelis hakim tingkat kasasi yang menyatakan bahwa merek “Accent” adalah merek terkenal. hal ini dibuktikan oleh Penggugat dengan bukti-bukti sebagai berikut :

1. Sertifikat Merek tanggal 4 Februari 2004 dan sertifikat merek “Accent” 2. Perjanjian Persepakatan Pemindahan dan Penyerahan Hak atas Merek

tanggal 10 Januari 2003 dan surat pencatatannya di HKI tanggal 25 Agustus 2009 3. Surat Perjanjian Sewa Menyewa

4. Iklan “Accent” di Koran Kompas, Majalah Dossier, Majalah Puteri Indonesia, Majalah Batavia Air, Majalah Femina, Fashion Show Miss Universe, Testimoni Miss Universe dan lainnya.

5. Foto-foto fashion show, Finalis Puteri Indonesia dalam Batik “Accent”, sebagai sponsor dan lainnya

6. Pendaftaran di Perbadanan Harta Intelek Malaysia No. 98009495 beserta Perpanjangannya dan Rincian informasi merek dagang di China dan persetujuan pendaftaran pembaruan.

Penulis juga sepakat dengan pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa ada persamaan pada pokoknya antara merek “Accent” dan “Accènt” dimana menurut penulis ada persamaan bunyi antara kedua merek tersebut. memang terdapat sedikit perbedaan antara merek “Accent” milik Penggugat dan merek “Accènt” dimana pada huruf “e” di merek Tergugat ditambahkan garis diatasnya. Namun adanya perbedaan huruf “e” dan “è” pada kedua merek tersebut tidaklah menimbulkan perbedaan yang signifikan pada kedua merek tersebut, karena apabila diucapkan kedua merek tersebut tetap mempunyai bunyi ucapan yang sama. Namun penulis tidak sepakat dengan pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa pendaftaran merek “Accènt” telah didaftarkan dengan itikad tidak baik hanya semata-mata karena memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal lain. Menurut penulis, majelis hakim telah mempersamakan unsur persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal dan unsur itikad tidak baik.

Karena tidak terbuktinya itikad tidak baik sebagaimana yang sudah dianalisa diatas maka menurut penulis putusannya seharusnya menolak gugatan Penggugat untuk sebagian. Hal ini dikarenakan Penggugat berhasil membuktikan keterkenalan mereknya dan berhasil

(16)

membuktikan bahwa mereknya memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek “Accènt” Tergugat, walaupun tidak berhasil membuktikan adanya itikad tidak baik dari Tergugat.

Melihat pada Kasus “Accent” dan “Accènt” diatas, karena PT. Cipta Busana Jaya tidak berhasil membuktikan bahwa Tergugat memiliki itikad tidak baik sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka kasus tersebut sudah seharusnya dinyatakan daluwarsa. Karena itu, menurut penulis adalah langkah tepat bagi PT. Sepatu Bata, Tbk untuk mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Namun hal yang harus diperhatikan oleh PT. Sepatu Bata, Tbk adalah bahwa walaupun PT. Sepatu Bata, Tbk berhasil mempertahankan mereknya namun mereknya pada akhirnya tidak akan dapat diperpanjang. Hal ini dikarenakan terlah terbuktinya persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal. Karena itu pada saat perpanjangan pendaftaran, merek PT. Sepatu Bata, Tbk kemungkinan akan ditolak perpanjangannya dikarenakan memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek “Accent” Penggugat yang terkenal. Hal ini dikarenakan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sebagai pemeriksa termasuk dalam kasus ini sebagai Turut Tergugat sehingga Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual akan mengetahui bahwa merek “Accènt” memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal.

g. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek selain melindungi merek terkenal juga melindungi pemilik merek yang beritikad baik. Pendaftar merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal tidak selalu memiliki itikad tidak baik dalam pendaftarannya terutama untuk merek atas barang/jasa yang tidak sejenis. Itikad baik ini harus selalu dianggap ada dalam setiap pendaftaran merek. Orang yang menuduh mengenai adanya itikad tidak baik dari seorang pendaftar dibebankan kewajiban untuk membuktikannya. Bahwa untuk membuktikan adanya itikad tidak baik tidak cukup dengan melihat persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal. Namun harus dibuktikan unsur niat/sengaja dari Tergugat dalam mendaftarkan merek yang dipersengketakan. Mengingat pula bahwa antara persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal dan itikad tidak baik dipisahkan penjelasannya sehingga persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua poin tersebut tentu berbeda. Unsur niat/sengaja ini dapat

(17)

dibuktikan dengan adanya pengetahuan dari Tergugat mengenai merek terkenal Penggugat dan tetap mendaftarkan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan tersebut. Untuk kasus yang tanggal pengajuan gugatannya telah melewati masa lima tahun sejak pendaftaran merek Tergugat, Pembuktian unsur niat/sengaja pada syarat itikad tidak baik ini akan berpengaruh pada penentuan apakah suatu kasus sudah daluwarsa atau belum.

2. Pengaturan daluwarsa pada pembatalan merek diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemilik merek terdaftar. Dikhawatirkan apabila tidak diatur pembatasan waktu untuk pengajuan pembatalan merek ini maka dalam praktek akan mudah sekali terjadi pembatalan merek. Ketentuan Paris Convention for the Protection of Industrial Property mengatur daluwarsa pada pembatalan merek ini untuk memberikan waktu bagi para pemilik merek terkenal untuk bertindak atas merek-merek yang bermasalah atau yang dianggap sama dengan merek mereka. Sedangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek mengatur waktu daluwarsa sebesar lima tahun karena adanya anggapan bahwa jangka waktu tiga tahun pertama sejak tanggal pendaftaran dipertimbangkan sebagai kemungkinan belum digunakannya merek, sehingga masyarakat belum mengetahui adanya suatu merek sampai setelah merek tersebut dipakai untuk suatu produk. Sebaliknya bagi pemilik merek, jangka waktu tiga tahun pertama biasanya baru digunakan misalnya bagi persiapan pabrik atau usaha. Sehingga dianggap bahwa setelah 3 tahun ini usaha sudah mulai berjalan dan merek sudah mulai dikenal dan diketahui oleh masyarakat. 3. Dalam memutus perkara antara merek “Giordano” dan “Giordani” dalam Putusan Nomor 45/Merek/2005/PN.JKT.PST, Majelis hakim memutus pengajuan gugatan telah lewat batas waktu hanya semata-mata karena tanggal pengajuan sudah melewati limit lima tahun. Majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan masalah itikad tidak baik yang dikemukakan oleh Penggugat. Padahal itu adalah hal penting untuk dibahas demi menentukan apakah gugatan sudah daluwarsa atau belum. Begitu juga dalam putusan kasasinya pada Nomor 012 K/N/HaKI/2006, Majelis Hakim juga tidak mempertimbangkan pembuktian Pemohon Kasasi/dahulu Penggugat atas itikad tidak baik Termohon Kasasi/dahulu Tergugat. Di dalam putusan kasasi ini penulis melihat bahwa karena sudah ada persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal, Majelis Hakim memutuskan bahwa pendaftaran merek “Giordani” dilakukan dengan itikad tidak baik. Sedangkan dalam Putusan Nomor 49/Merek/ 2012/PN.JKT.PST, hakim dalam pertimbangannya juga tidak membedakan antara persamaan pada pokoknya

(18)

dengan merek terkenal dan itikad tidak baik. Dalam pertimbangannya, karena telah terbukti adanya persamaan pada pokoknya antara kedua merek tersebut dan telah terbukti bahwa merek “Accent” adalah merek yang terkenal maka merek “Accènt” telah didaftarkan dengan itikad tidak baik. Jika disesuaikan dengan teori yang dijelaskan pada pembahasan, perlu dibuktikan adanya unsur sengaja dari Tergugat dalam mendaftarkan mereknya dan penulis tidak melihat adanya pembuktian dari Penggugat terkait unsur itikad tidak baik Tergugat dimana Tergugat mengetahui mengenai merek Penggugat saat mendaftarkan mereknya. Sehingga menurut penulis, baik merek “Giordani” ataupun merek “Accènt” seharusnya tidak dibatalkan karena tidak terbukti unsur itikad tidak baik yang dikemukakan oleh Penggugat/Pemohon Kasasi.

h. Saran

1. Penulis menyarankan adanya tambahan pengaturan yang lebih jelas mengenai cara pembuktian itikad tidak baik di dalam Undang-Undang Tentang Merek. Melihat pada contoh pengaturan di Part II Section 8 of the Singapore Trademark Law about Relative Grounds for Refusal Registration , saran pengaturannya adalah sebagai berikut : “Untuk menentukan ada atau tidaknya itikad tidak baik dalam suatu pendaftaran merek, patut dipertimbangkan apakah pemohon pada saat pendaftaran mereknya memiliki pengetahuan atas merek yang sudah terdaftar dan/atau terkenal”. Dengan adanya pengaturan lebih jelas mengenai cara pembuktian itikad tidak baik dalam pengaturan merek akan lebih memberikan petunjuk kepada pelaku usaha dalam membuktikan adanya itikad tidak baik dan lebih memudahkan untuk Majelis Hakim dalam memutus perkara merek yang didasarkan atas itikad tidak baik. Dengan adanya pengaturan lebih jelas mengenai cara membuktikan itikad tidak baik tersebut, Penulis juga menyarankan adanya penghapusan contoh itikad tidak baik pada penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dimana sebagaimana dijelaskan sebelumnya contoh tersebut mempersamakan syarat pada Pasal 4 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

2. Karena adanya perbedaan antara pengaturan dan aplikasinya dalam pertimbangan hakim, Penulis menyarankan kepada para hakim untuk lebih mempertimbangkan aspek itikad tidak baik dari Tergugat apabila tanggal gugatan yang diajukan sudah melewati batas waktu lima tahun. Karena itikad tidak baik adalah syarat esensial yang harus dipenuhi untuk dikabulkannya gugatan pembatalan merek yang pengajuan

(19)

gugatannya sudah melewati limit lima tahun sejak pendaftaran merek yang dimintakan pembatalannya. Mengingat apabila gugatan diajukan belum melebihi batas limit lima tahun, Penggugat cukup membuktikan adanya persamaan pada pokoknya saja agar suatu merek dapat dibatalkan.

3. Penulis menyarankan kepada pelaku usaha baik dari dalam maupun luar negeri untuk terus memonitor pendaftaran-pendaftaran merek yang dilakukan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini untuk kepentingan pelaku usaha dalam menemukan merek yang dianggap sama dan menimbulkan kerugian pada pelaku usaha tersebut. Sehingga pelaku usaha bisa meminta pembatalan merek dengan hanya didasarkan pada persamaan pada pokoknya. Hal ini penting untuk dicermati karena jika gugatan diajukan setelah melewati lima tahun, tidak lagi cukup bagi pelaku usaha yang merasa mereknya ditiru untuk membuktikan adanya persamaan pada pokoknya dan/atau keterkenalan merek pelaku usaha tersebut saja. Dimana pelaku usaha juga harus membuktikan adanya itikad tidak baik dari Tergugat sehingga penulis melihat bahwa beban pembuktian Penggugat akan lebih berat apabila pengajuan gugatan sudah melewati batas limit lima tahun.

4. Penulis menyarankan kepada konsumen untuk turut aktif dalam memonitor produk-produk yang beredar dengan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya. Untuk menghindari adanya kebingungan dalam pemilihan produk, selain memperhjatikan mereknya konsumen juga dapat memperhatikan asal produk itu dibuat. Sehingga bisa menghindari adanya penyesatan pada konsumen.

i. Daftar Referensi Buku

Bodenhausen, G.H.C. Guide to the Application of the Paris Convention for the Protection of Industrial Property. Cet. 3. BIRPI: WIPO Publication, 2004.

Gautama, Sudargo. Hukum Merek Indonesia. Bandung: Alumni, 1977.

Harahap, M. Yahya. Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992. Cet. 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Mamudji, Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

(20)

Saidin, H. OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Cet. 4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cet. 34. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

WIPO. Joint Recommendation Concerning Provisions on the Protection of Well-Known Marks. Geneva: World Intellectual Property Organization, 2000.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Merek. UU No. 15 Tahun 2001, LN No. 110 Tahun 2001, TLN. No, 4131.

International Bureau of WIPO. Paris Convention for the Protection of Industrial Property. 1883.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis unsur yang terkandung pada sampel 3 dan sampel 4 yang diambil dari lokasi bekas tambang kaolin dapat dilihat pada gambar 3 yaitu penyebaran

Hasil dari The United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) yang lebih dikenal dengan Rio 20+ yaitu The Future We Want : Rio+20 Outcome

[r]

Berikut merupakan data yang diperoleh untuk penentuan biosorben yang digunakan sebagai penyerapan beberapa zat warna seperti pada Tabel L1.1 dibawah ini:..

This study used student’s perception of justice in lecturer’s evaluation of student’s performance, commit - ment to lecturer, and student’s GPA as primary data.. Sampling was

[r]

Aplikasi kearsipan ini mempunyai kemampuan sebagai berikut: aplikasi kearsipan ini dijalankan pada jaringan personal komputer pada bagian administrasi pada Polrestabes

Subjek penelitian yang diperoleh adalah data rekam medis pasien DBD anak sebanyak 70 sampel dan data rekam medis pasien DBD dewasa sebanyak 70 sampel yang dipilih berdasarkan