• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2010a) mengungkapkan siklus kehidupan manusia terdiri dari delapan tahapan yaitu masa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2010a) mengungkapkan siklus kehidupan manusia terdiri dari delapan tahapan yaitu masa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepribadian manusia terbentuk dari kontribusi perjuangan psikososial dalam siklus kehidupan (Erikson dalam Feist & Feist, 2010a). Erikson (dalam Feist & Feist, 2010a) mengungkapkan siklus kehidupan manusia terdiri dari delapan tahapan yaitu masa bayi, kanak-kanak awal, usia bermain, usia sekolah, remaja, dewasa muda, dewasa dan usia lanjut (Erikson dalam Feist & Feist, 2010a). Gaya psikoseksual dan krisis psikososial dari masing-masing tahapan berbeda-beda. Erikson (dalam Feist & Feist, 2010a) menekankan masa remaja merupakan periode krisis dan konflik-konflik seputar pencarian identitas diri. Masa remaja merupakan masa yang paling krusial (Erikson dalam Feist & Feist, 2010a) sehingga dapat dikatakan masa remaja adalah masa yang terpenting.

Pentingnya masa remaja membuat kehidupan remaja menjadi sorotan masyarakat. Fakta memprihatinkan adalah masyarakat lebih banyak menyoroti kehidupan negatif remaja. Fakta tersebut dapat terlihat dari perbandingan pemberitaan kasus remaja dan prestasi remaja Indonesia. Ketika mencari berita menggunakan mesin google dengan kata kunci ‘remaja Indonesia’ dapat ditemukan 7 dari 10 berita yang ada di halaman pertama merupakan kasus atau kenakalan remaja (berita negatif tentang remaja). Dari 10 berita tersebut, 3 yang tersisa merupakan gabungan dari 1 berita prestasi remaja dan 2 sosial media komunitas remaja.

Berita mengenai remaja juga mengisi harian nasional maupun daerah. Fenomena yang sering mendapat sorotan adalah geng motor. Geng motor adalah sebuah kelompok atau gerombolan remaja yang dilatarbelakangi oleh persamaan latar sosial, sekolah, daerah dan lainnya. Umumnya geng motor dikenal meresahkan masyarakat (Hadi, 5 November

(2)

2

2014). Fenomena geng motor banyak terjadi di berbagai daerah Indonesia, salah satunya Tasikmalaya. Di Tasikmalaya geng motor diduga mengajarkan tindak kejahatan kepada anggota baru yang merupakan remaja. Fenomena yang terjadi sejak awal 2014 yaitu bulan Januari (Nugraha, 11 Januari 2014) juga terjadi di beberapa daerah seperti Makasar, Batam, dan Bandung (Abdullah, 17 September 2014; Wulan, 20 Pebruari 2014; Ramadhan, 25 April 2014; Wiyono, 8 April 2014).

Perilaku geng motor tersebut mengingatkan pada kasus geng motor yang menghebohkan masyarakat Bali (Latif & Andalan, 8 Pebruari 2012). Geng motor yang dipimpin dan beranggotakan perempuan melakukan kekerasan pada bulan Pebruari 2012. Kekerasan yang dilakukan berupa pukulan di kepala, menjambak rambut dan menggunting pakaian korban. Kekerasan yang dilakukan oleh remaja geng motor tersebut kemudian direkam dan diunggah oleh pelaku dengan tujuan mempermalukan korban. Akan tetapi, vidio yang terunggah tersebut membuat kasus kekerasan terungkap dan pelaku di proses secara hukum (Hasan, 8 Pebruari 2012).

Geng motor hanya salah satu fenomena remaja di Bali. Selain geng motor, remaja diberitakan melakukan tindakan pemalakan pada dini hari (Hidayat, 04 Februari 2015). Tindakan pemalakan ini dilakukan oleh 10 remaja di Jalan Gatsu Timur, Denpasar-Bali. Enam bulan setelah kejadian pemalakan tersebut, remaja kembali diberitakan melakukan perampokan di Batubulan, Gianyar-Bali (Darmendra, 22 Agustus 2015). Perampokan kepada pedagang lalapan ini dilakukan oleh 11 remaja berusia 15-19 tahun yang berasal dari Denpasar, Bali. Berita terbaru datang dari dua remaja berusia 12 tahun (Suwiknyo, 12 Oktober 2015). Dua remaja yang masih

(3)

3

Sekolah Dasar (SD) ini ditangkap Polsek Denpasar Barat, Bali karena melakukan balap liar atau trek-trekan.

Berita terbaru mengenai remaja Bali, menginformasikan penangkapan seorang remaja 15 tahun yang melakukan penusukan kepada temannya (San, 13 Oktober 2015). Penusukan karena rasa sakit hati pelaku mengakibatkan kematian remaja berusia 16 tahun. Sakit hati pelaku berawal dari ejekan korban terhadap pelaku mengenai kemampuan bela diri. Rasa sakit hati mendorong pelaku mendatangi korban di Waturenggong Denpasar dan melakukan penusukan terhadap korban. Kasus-kasus yang telah dipaparkan secara menyeluruh dapat dikatakan sebagai kenakalan remaja.

Kenakalan remaja mengacu kepada suatu perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan di sekolah) hingga tindakan-tindakan kriminal (Santrock, 2002). Kenakalan remaja yang telah dipaparkan merupakan berita-berita yang banyak mengisi harian daerah maupun nasional. Padahal, selain kasus remaja, remaja Bali juga melakukan aktivitas positif dan berprestasi. Setiap perilaku remaja, baik positif maupun kenakalan didasari oleh alasan tertentu.

Dasar perilaku individu yang sehat adalah pandangan (persepsi) subjektif diri sendiri mengenai kenyataan (Schultz, 1991). Persepsi dimasa kini membantu individu dalam pengorganisasian pengetahuan, konsisten persepsi dengan perilaku individu (Kelly dalam Feist & Feist, 2010b). Persepsi masa kini yang positif pengorganisasikan pengetahuan yang baik sehingga menghasilkan perilaku yang baik seperti perilaku remaja berprestasi. Persepsi yang negatif menghasilkan perilaku yang negatif seperti kenakalan remaja, oleh karenanya penting dalam persepsi subjektif, individu tetap menggunakan objektivitas tentang diri dan dunia untuk

(4)

4

memperoleh persepsi positif. Selain persepsi, untuk dapat menjadi sehat secara psikologis penting melibatkan diri dalam suatu bentuk aktivitas (Schultz, 1991).

Berprestasi dalam bidang tertentu merupakan salah satu bentuk aktivitas yang membentuk persepsi positif. Aktivitas remaja Bali diberitakan berprestasi dalam bidang olahraga (Kembali, 10 Januari 2015). Remaja Bali mampu berada di posisi keenam dari 34 provinsi pada gelaran Pekan Olahraga Nasional. Selain mengenai remaja kenakalan maupun berprestasi remaja, remaja Bali juga melakukan beberapa aktivitas positif. Salah satu aktivitas positif remaja Bali adalah menjadi sukarelawan.

Sukarelawan di Bali menjalankan beberapa kegiatan berbeda bergantung dengan organisasi yang diikuti. Beberapa jenis aktivitas kerelawanan yang dapat diikuti remaja diantaranya sukarelawan kemanusiaan, dan sosial kemanusiaan, serta kesehatan. Remaja yang tertarik untuk melakukan aktivitas kemanusiaan dapat bergabung menjadi sukarelawan PMI (Sudiantara, 20 Pebruari 2014), sedangkan Bali Caring Community adalah wadah bagi remaja untuk menjalankan aktivitas kerelawanan dengan isu sosial kemanusiaan (Bali Caring Community). Remaja dapat membantu donator untuk memberikan bantuan secara langsung kepada yang membutuhkan dengan menjadi sukarelawan Bali Caring Community. Aktivitas seperti donor darah maupun memberikan informasi mengenai HIV (Human Immunodeficiency Virus) – AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrom) dapat dilakukan remaja dengan menjadi sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI). Selain menjadi sukarelawan PMI, pemberian infomasi mengenai HIV-AIDS juga dapat dilakukan remaja dengan bergabung menjadi sukarelawan KISARA (Kita Sayang Remaja). Sukarelawan KISARA dapat memberikan

(5)

5

informasi seputaran HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi melalui siaran radio maupun ceramah serta memberikan konseling pada remaja (KISARA).

Dampak menjadi sukarelawan dapat terlihat pada remaja yang bergabung dalam kelompok sukarelawan AIDS (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Sukarelawan AIDS dapat mewujudkan keinginan belajar mengenai kejadian sosial, mengeksplorasi kekuatan personal, mengembangkan keterampilan baru, dan belajar bekerja sama dengan berbagai macam orang. Selain itu, menjadi sukarelawan AIDS sebagai kegiatan kemanusiaan diakui sukarelawan memperkuat harga diri bahkan mengembangkan kepribadian dengan pengalaman menghadapi hal-hal sulit (Snyder & Omoto dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009).

Menjadi sukarelawan tidak mengharuskan seseorang memiliki status pendidikan tinggi karena kerelawanan adalah sifat keterlibatan untuk ikut serta membantu sesama anggota masyarakat tanpa mengharapkan keuntungan semata-mata, dengan perasaan yang ikhlas dan semangat pengabdian (Sumapradja dalam Munajat 2000). Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang khususnya remaja dapat menjadi sukarelawan tanpa memandang status karena menjadi sukarelawan adalah proses seperti yang diungkapkan Venayaksa (2011). Venayaksa (2011) mengungkapkan hari demi hari proses pematangan jiwa kerelawanan terjadi dalam diri.

Proses pematangan jiwa kerelawanan dapat menjadi kebebasan individu untuk menyatakan diri sebagai bentuk eksistensi (keberadaan) manusia (Surajiyo, 2005). Eksistensi remaja melalui aktivitas kerelawanan bukan hanya tahap estetis yang mengarah pada mendapatkan kesenangan, namun juga eksistensi etis yang lebih tinggi (Abidin, 2006). Eksistensi etis sukarelawan remaja dapat dicapai melalui perilaku maupun aktivitas berdasarkan nilai-nilai

(6)

6

kemanusiaan yang bersifat universal (Abidin, 2006) seperti aktivitas kerelawanan. Aktivitas kerelawanan sebagai gerakan sosial yang berkembang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sehingga memiliki nilai kemanusiaan. Sumbangan keterampilan, pengetahuan dan sumberdaya dari remaja dapat berdampak optimal pada masyarakat (Burns, 2012). Untuk mencapai manfaat tersebut, individu yang melakukan aktivitas kerelawanan ini akan melakukan persiapan, pelaksanaan hingga follow-up sebuah kegiatan sehingga dibutuhkan individu yang memiliki keluangan waktu dan tenaga.

Individu yang banyak memiliki waktu luang dapat terlibat dalam aktivitas kerelawanan dengan frekuensi lebih tinggi. Semakin tinggi frekuensi keterlibatan individu dapat mengindikasi semakin banyak kesempatan yang diperoleh untuk menunjukkan eksistensi. Oleh karenanya kebanyakan gerakan sosial terlihat bagus untuk memfasilitasi energi positif remaja.

Selain itu, aktivitas kerelawanan juga membutuhkan kerjasama dengan membangun relasi, meningkatkan kepercayaan diri, berinteraksi, dan belajar bekerja (Natalya, 2014). Semakin tinggi frekuensi aktivitas kerelawanan memungkinkan semakin banyak kerjasama yang terjalin dalam membangun relasi dengan teman, guru, maupun orangtua yang dapat menjadi wujud penerimaan diri (Price, 1978). Menurut Price (1978) penerimaan diri dapat mempengaruhi pembentukan identitas remaja menuju kedewasaan yang baik untuk remaja. Identitas diri terbentuk dari penggunaan kekuatan, keterampilan, pengetahuan dan sumber daya remaja dalam aktivitas kerelawanan. Ini dapat menjadi prediktor signifikan psychological well-being.

Psychological well-being memiliki enam dimensi diantaranya penerimaan diri,

kemandirian, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan hubungan positif dengan orang lain (Ryff, 1995) yang mengacu pada pengembangan potensi diri remaja sehingga

(7)

7

berdampak baik bagi kehidupan remaja. Melihat manfaat tersebut, aktivitas kerelawanan memiliki daya tarik bagi remaja yang sedang dalam pencarian identitas diri. Faktanya, banyak sukarelawan remaja yang telah mengikuti pelatihan tidak ikut terlibat dalam aktivitas kerelawanan. Program organisasi kerelawanan umumnya dijalankan atau dikerjakan oleh sukarelawan (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Sukarelawan memiliki peran penting dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerelawanan. Kurangnya keterlibatan sukarelawan yang telah dilatih dalam aktivitas kerelawanan menjadi tantangan menjalankan organisasi kerelawanan seperti yang diungkapkan Ari, Koordinator salah satu organisasi kerelawanan remaja di Bali (Dewiyanti, 26 Oktober 2014).

Lebih lanjut, dalam studi pendahuluan (Dewiyanti, 26 Oktober 2014), Koordinator sukarelawan yang selama 7 tahun bergabung dalam organisasi kerelawanan menjelaskan bahwa kesibukan yang dimiliki remaja memungkinkan kurangnya keterlibatan remaja (Dewiyanti, 26 Oktober 2014). Walaupun begitu, Ari mengungkapkan ada beberapa sukarelawan remaja yang telah bertahun-tahun menjadi sukarelawan tetap meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas kerelawanan (Dewiyanti, 26 Oktober 2014). Banyaknya waktu yang dikontribusikan untuk aktivitas kerelawanan mungkin saja berhubungan dengan jalinan hubungan positif dengan orang lain, penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, penguasaan lingkungan, otonomi dan tujuan (kebutuhan) hidup (Dewiyanti, 26 Oktober 2014) sebagai aspek psychological well-being. Ini dapat membuat sukarelawan tetap aktif melakukan aktivitas kerelawanan.

Berdasarkan paparan, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan aspek-aspek psychological well-being sukarelawan remaja di Bali. Peneliti tertarik untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi ada atau tidaknya hubungan antara

(8)

8

frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being serta bagaimana sukarelawan memaknai aktivitas kerelawanan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini diantaranya :

1. Apakah ada hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali.

2. Faktor yang mempengaruhi ada atau tidaknya hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali.

3. Apa makna aktivitas kerelawanan yang dilakukan oleh sukarelawan remaja di Bali.

C. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, diantaranya :

1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali

2. Untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi ada atau tidaknya hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali

3. Untuk menemukan makna aktivitas kerelawanan yang dilakukan oleh sukarelawan remaja di Bali

(9)

9

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat:

a. Menambah khasanah pengetahuan psikologi perkembangan sehubungan dengan pemaknaan aktivitas kerelawanan bagi sukarelawan remaja di Bali;

b. Menambah khasanah pengetahuan psikologis sosial dan psikologi klinis khususnya kesehatan mental mengenai faktor yang memengaruhi ada atau tidaknya hubungan frekuensi aktivitas kerelawanan dan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali.

2. Manfaat Praktis

a. Membantu sukarelawan remaja di Bali memahami mengenai ada atau tidaknya hubungan frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being yang dimiliki dengan menggali penyebabnya serta menemukan insight makna aktivitas kerelawanan yang dijalani sehingga dapat mengembangkan diri sebagai sukarelawan remaja;

b. Memberikan gambaran mengenai makna aktivitas kerelawanan sukarelawan di Bali kepada remaja, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi remaja untuk ikut menjalani aktivitas kerelawanan.

c. Memberikan gambaran pandangan sukarelawan remaja di Bali mengenai makna aktivitas kerelawanan kepada organisasi berbasis kerelawanan seperti Palang Merah Indonesia, Youth Center Daerah khususnya Daerah Bali (KISARA), Bali Mendidik dan Anak Alam maupun pemerintah yang diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan untuk merancang pengembangan program terkait kerelawanan untuk meningkatkan kinerja

(10)

10

maupun jumlah sukarelawan remaja sehingga remaja dapat membawa perubahan yang baik bagi komunitas dan masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai sukarelawan sudah dilakukan di negara Indiana. Penelitian kepada sukarelawan di Indiana menggunakan metode kuantitatif seperti penelitian ini. Bedanya, penelitian di Indiana tidak menggunakan metode tambahan kualitatif serta bertujuan untuk mengidentifikasi motivasi positif dan negatif pada sukarelawan aktif dan tidak aktif (Culp, 1997). Untuk mencapai tujuan, penelitian dengan subjek sukarelawan dewasa di Indiana menggunakan survei dengan alat ukur penelitian berupa kuisoner 4 halaman untuk mengumpulkan data.

Penelitian dengan topik kerelawanan juga dilakukan oleh Sergent dan Sedlacek (1990) dan Wilson (2000). Selain itu, penelitian Sergent dan Sedlacek (1990) juga menggunakan metode penelitian kuantitatif seperti penelitian ini. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan dengan subjek empat kelompok atau organisasi sukarelawan yang berbeda di eastern university, menggunakan pendekatan komparasi sehingga data yang tekumpul dari The Adjective Checklist (ACL) dan Self-Directed Search (SDS) dianalisis menggunakan chi square, uji t dan analisis multivariat kovarians. Sedangkan, penelitian oleh Wilson (2000) merupakan penelitian studi pustaka yang bertujuan untuk menjelaskan atribut individu sebagai sukarelawan yang dapat dikelompokkan ke dalam orang-orang yang menekankan motif atau pemahaman diri di satu sisi dan orang-orang yang menekankan tindakan rasional serta analisis manfaat-biaya di sisi lain. Teori yang digunakan berfokus pada faktor tingkat individu dengan menunjuk peran sumber daya sosial, ikatan khusus sosial dan kegiatan organisasi, seperti penjelasan untuk sukarelawan.

(11)

11

Kedua penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini yang berfokus pada hubungan antara aktivitas kerelawanan dan psychological well-being dengan subjek sukarelawan remaja di Bali.

Penelitian dengan metode kuantitatif yang mengukur aktivitas kerelawanan juga dilakukan oleh Gimenez-Nadal dan Molina (2015). Akan tetapi, penelitian di Amerika Serikat tersebut menggunakan pendekatan komparasi dengan membandingkan subjek sukarelawan dan bukan sukarelawan dengan melihat kebahagiaan. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan pendekatan korelasional dan didukung oleh penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi berkaitan dengan psychological well-being. Data dikumpulkan dengan skala 0-10 untuk melihat berapa banyak subjek menikmati jenis aktivitas tertentu. Selain itu, digunakan metode alternatif pengumpulan data dengan diari konvensional (Gimenez-Nadal & Molina, 2015). Walaupun meneliti mengenai kerelawanan, semua penelitian tersebut tidak meneliti psychological well-being sukarelawan.

Penelitian mengenai well-being sukarelawan telah dilakukan di Inggris maupun Belanda (Massey, Gebhardt, & Garnefski, 2009; Nazroo & Matthews, 2012). Akan tetapi, well-being yang diteliti bukanlah psychological well-being seperti penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Massey, Gebhardt, dan Garnefski (2009) mengukur kesehatan fisik, kesehatan mental, berbagai langkah-langkah, ekonomi, jaringan sosial, sukarelawan dan sosial, kemasyarakatan dan budaya kesejahteraan partisipasi. Selain itu, subjek dalam penelitian tersebut adalah pria berusia atau lebih tua dari 65 tahun dan wanita berusia 60 tahun atau lebih dengan pengambilan data menggunakan wawancara setiap dua bulan sekali untuk kemudian dilakukan analisis cross sectional association antara sukarelawan. Penelitian oleh Nazroo dan Matthews (2012) bertujuan untuk mengetahui perbedaan individu dalam tujuan dihasilkan diri dan penilaian proses tujuan

(12)

12

berdasarkan karakteristik sosiodemografi serta melihat hubungan antara konten tujuan, penilaian proses tujuan dan kesejahteraan. Selain itu, subjek yang merupakan siswa SMA berusia 12 sampai 19 di Belanda diberikan kuisoner yang berasal dari teori konten tujuan, tujuan attainability, tantangan tujuan, tujuan frustrasi, tujuan terkait self-efficacy, kesejahteraan dan kepuasan hidup.

Penelitian mengenai psychological well-being dipelopori oleh Ryff dan Keyes (1995). Ryff (1995) melakukan penelitian psychological well-being menggunakan metode kuantitatif seperti penelitian ini. Akan tetapi, penelitian tersebut tidak menguraikan mengenai kerelawanan serta pendekatan yang digunakan adalah komparasi. Selain itu, subjek penelitian yang dilakukan di wilayah geografis utama (yaitu, Timur Laut, Midwest, Selatan, dan Barat) dari Amerika Serikat tersebut adalah orang dewasa, bukan sukarelawan remaja.

Penelitian psychological well-being pada sukarelawan yang serupa dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Theoits dan Hewitt (2001). Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat tersebut menggunakan metode dan pendekatan sama dengan penelitian ini yaitu kuantitatif korelasional. Akan tetapi, variabel bebas penelitian ini berbeda dengan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan sukarelawan dimasyarakat dan enam aspek psychological well-being. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Theoits dan Hewitt (2001) melakukan kontrol pada kehidupan, kesehatan fisik dan depresi serta subjek adalah orang dewasa. Kontrol tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini.

Penelitian yang telah dipaparkan terkait sukarelawan merupakan penelitian dengan subjek mayoritas negara Barat atau luar Indonesia (Marfin & Lubis, 2011). Di Indonesia, penelitian mengenai sukarelawan sangat terbatas. Penelitian dengan subjek sukarelawan

(13)

PNPM-13

MP yang ada di Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat merupakan penelitian yang paling mendekati penelitian ini. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan korelasional yang didukung oleh kualitatif. Selain itu, data yang diambil melalui kuesioner disusun dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang akan diukur berdasarkan skala likert, kemudian dianalisis menggunakan Chi square dan Spearman. Bedanya, penelitian ini tidak meneliti mengenai psychological well-being, namun mengukur variabel-variabel dari faktor internal dan faktor eksternal untuk melihat persepsi dan motivasi relawan dalam pelaksanaan PNPM-MP (Marfin & Lubis, 2011).

Penelitian mengenai psychological well-being dengan metode kuantitaif dan korelasi yang diukur menggunakan skala psychological well-being di Indonesia dilakukan di desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Amawidyati & Utami, 2007). Akan tetapi, penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan psikologis kesejahteraan pada gempa yang selamat di Yogyakarta tersebut memiliki variabel bebas dan subjek yang berbeda dengan penelitian ini. Variabel bebas penelitian tersebut adalah religiusitas dengan subjek korban gempa bukan remaja. Penelitian psychological well-being remaja dengan metode kuantitatif pendekatan korelasi dilakukan di Adelaide, Australia Selatan (Trainor, Delfabbro, Anderson, Winefield, 2010). Selain itu, variabel bebas dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan kepada siswa sekolah yang berada di tahun kesepuluh tersebut. Varibel bebas penelitian tersebut adalah aktivitas rekreasi yang diukur menggunakan kuisoner. Kuisoner yang digunakan mengukur partisipasi dalam kegiatan rekreasi sosial, bukan sosial dan tidak terstruktur serta langkah-langkah kepribadian.

(14)

14

Penelitian yang telah dipaparkan diatas juga tidak membahas mengenai makna dari aktivitas kerelawanan pada sukarelawan remaja. Selain itu, penelitian tersebut tidak dilakukan di Indonesia khususnya di Bali sehingga subjek penelitian menjadi perbedaan dengan penelitian ini. Dari beberapa penelitian yang terlah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki keunikan tersendiri seperti metode penelitian yaitu kuantitatif didukung dengan kualitatif, dan subjek penelitian yaitu sukarelawan remaja di Bali.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

dengan memperhatikan judul-judul dan topik utama, baca tujuan umum dan rangkuman, dan rumuskan isi bacaan tersebut membahas tentang apa, (2) question adalah mendalami topik dan

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) nilai rata-rata postes keterampilan komu- nikasi siswa pada kelas yang diterap- kan model pembelajaran berbasis

Pusat Pelayanan Lanjut usia di Jember merupakan sebuah tempat yang mewadahai kegiatan pelayanan bagi lansia untuk memenuhi dan memuaskan semua kebutuhan lansia yang tidak

Persalinan ketuban pecah dini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kelainan letak janin, kehamilan ganda, kelainan bawaan dari selaput ketuban, kelainan

Implementasi sistem merupakan tahap penerapan sistem yang disesuaikan dari desain yang telah dirancang agar siap dioperasikan. Implementasi sistem penilaian

(1) wajib Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak dapat membayar Retribusi sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Wajib