• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra tertua yang memiliki bentuk paling pendek dibandingkan bentuk karya sastra lainnya. Puisi memiliki struktur dan tatanan bahasanya yang khas. Secara garis besar, Herman J. Waluyo dalam Teori dan Apresiasi Puisi mendefinisikan puisi sebagai “Karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapkan. Walaupun singkat atau padat, namun berkekuatan.”

Dalam perkembangannya, lahir beragam puisi yang dipengaruhi oleh faktor tertentu, antara lain: faktor eksternal puisi seperti kondisi sosial politik, aliran filsafat yang berkembang di masa itu, lingkup daerah dan budaya, maupun media dan teknologi; yang juga mempengaruhi faktor internal puisi seperti tema yang diangkat, penggunaan pilihan kata (diksi), perwajahan, atau secara garis besar unsur fisik dan batin puisi. Perkembangan puisi biasanya ditandai dengan kemunculan penyair yang secara signifikan menghadirkan pendekatan puisi yang baru.

Secara garis besar, sebagaimana yang dijabarkan oleh Herman J. Waluyo dalam Teori dan Apresiasi Puisi, perkembangan puisi di Indonesia dapat dilihat melalui periodisasi: Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950 - 1960-an, Angkatan 1966 - 1970-an, Angkatan 1980 - 1990-an, Angkatan Reformasi, dan Angkatan 2000.

Para penyair di setiap angkatannya menghadirkan puisi dengan pendekatan yang beragam, seperti melalui pengungkapan isi, bagaimana puisi tersebut dibacakan/dideklamasikan, orientasi/tujuan puisi, struktur bahasa,

(2)

dan perwajahan/penyajiannya. Perkembangan ini bisa dilihat, misalnya: pada transisi dari angkatan lama (Pujangga Lama dan Sastra Melayu Lama) masih sangat terikat dengan bentuk-bentuk sastra Melayu Klasik, seperti: gurindam dan hikayat ke periode Balai Pustaka yang mulai meninggalkan ikatan puisi lama. Syair pada angkatan Balai Pustaka banyak berbicara mengenai kecintaan pada negerinya dan kerinduan penyair akan kemerdekaan dengan bentuknya. Sementara pada angkatan Pujangga Baru, marak puisi-puisi yang menunjukkan relasi dengan Tuhan (Engkau, -Mu, Kau).

Lain lagi dengan Angkatan 45 yang selain menyuarakan patriotisme juga dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme yang meneropong batin manusia, kritik sosial, dan eksistensi sang penyair. Masalah kemasyarakatan juga menjadi pembahasaan dalam puisi angkatan 50-an, untuk mengisi kemerdekaan dengan berpaling pada diri dan masyarakat sendiri. Sementara di angkatan 60-an diwarnai dengan latar belakang warna politik bersamaan dengan lahirnya kelompok Lekra, LKN, Lesbumi, dan sebagainya; juga turut dipengaruhi oleh munculnya Manifesto Kebudayaan (1966).

Perkembangan puisi mutakhir juga terjadi pada 1970-1980-an dengan kemunculan bentuk puisi yang beragam, seperti mantra, puisi konkret dan eksperimental, puisi-puisi lugu, penggunaan kata-kata yang dianggap tabu, juga puisi pamflet. Pada angkatan Reformasi, situasi politik Indonesia mempengaruhi tema-tema dalam puisi yang muncul. Memasuki angkatan 2000, tidak hanya budaya dan kondisi sosial politik yang mempengaruhi puisi, melainkan juga perkembangan media dan teknologi, termasuk dalam pendekatan tema dan penyajiannya.

Adalah Afrizal Malna, seorang penggiat budaya, pemerhati teater, kurator seni, penyair, dan penulis yang memulai kegiatannya dalam kebudayaan sejak 1980-an, disebut oleh Korrie Layun Rampan sebagai pemimpin angkatan 2000. Afrizal Malna menjadi penyair yang menarik dalam perkembangan puisi dan budaya Indonesia secara luas. Ia bergiat dalam teater, menulis cerpen, novel, puisi, dan esai kritik dan penelitian teater serta puisi untuk perkembangan sastra dan budaya Indonesia. Sejak 1984, ada

(3)

delapan belas karya tulisnya yang diterbitkan berbentuk kumpulan puisi, novel, prosa, dan kumpulan esai. Afrizal Malna juga beberapa kali menerima penghargaan dari dalam dan luar negeri seperti dari Radio Nederland Wereldomroep, Dewan Kesenian Jakarta, Harian Republika, Majalah Sastra Horison, Kompas, juga Karya Pusat Bahasa. Selain itu, beliau juga pernah diundang ke beberapa universitas di Swiss dan Hamburg untuk memberikan diskusi teater dan sastra dalam rangka pertunjukan Teater SAE yang mementaskan naskahnya. Afrizal juga pernah membaca dan lokakarya puisi di Den Haag pada 1995 dalam forum penyair Indonesia-Belanda; juga memberikan diskusi dan baca puisi di beberapa universitas di Köln, Bonn, dan Hamburg pada 1995. Pada 1996 Afrizal Malna juga mengikuti Poetry International Rotterdam mengikuti Persidangan Kesusasteraan Asia Pasifik di Kuala Lumpur pada tahun 1997.

Afrizal Malna hadir dengan pendekatan puisinya yang baru yang oleh Sitok Srengenge sebagai puisi dengan “logika sungsang”. Afrizal hadir dengan puisi-puisinya yang melawan tradisi puisi dengan tanggung jawab makna, pesan, dan nilai tertentu yang diendapkan si penyair untuk direnungkan oleh pembaca. Hal ini dapat dilihat dengan penggalan puisinya ‘4 Meter Kurang 10 Menit’:

“Aku tidak berjalan ke sana. 4 meter kurang 10 menit. Seorang anak kecil berusia 50 tahun menungguku di sana. Hujan masih menggendongnya dan masih menggendongnya. Aku tidak mengenal anak kecil berusia 50 tahun itu dan aku tidak berjalan ke sana. Kemarin aku menabraknya dengan sepedaku. Lalu hujan menggendongnya dan masih menggendongnya. Kemarin aku menabraknya. Seperti ada sepeda juga yang menabrak punggungku. Dan hujan masih menggendongnya […]” (Malna, 2010:111)

Geger Riyanto (2003) menyebut Afrizal Malna menyajikan sebuah jukstaposisi visualisasi tata bahasa atas benda-benda, atau yang disebut Asarpin sebagai sebuah pengalaman skizofernia dalam puisi. Afrizal Malna berpuisi dengan menyinestesikan inderanya. Geger Riyanto menyebut bahwa eksperimen bentuk dan kejernihan visual serta pengalaman ragawi nampak jelas dalam puisi-puisi Afrizal Malna.

(4)

Puisi-puisi Afrizal Malna bisa dikatakan sebagai sebuah pendekatan puisi yang ekperimental. Dalam sebuah kesempatan wawancara, Afrizal Malna berpendapat bahwa puisi bukanlah produk bahasa. Baginya, sistem bahasa yang berlaku telah menghilangkan keserentakan benda-benda dan realita yang dialaminya. Keserentakan yang dimaksud di sini berkaitan dengan bagaimana benda-benda ditangkap secara visual secara serempak oleh mata dan otak, tanpa harus melinearkannya. Hal ini didasari pandangannya terhadap puisi yang selalu berasosiasi paling dasar dengan tubuhnya, termasuk system indera dan pemahaman yang menangkap realita yang dihadapinya. Dalam Blending, kata pengantar yang ditulis Afrizal Malna untuk Tugas Akhir penulis, beliau menyatakan bahwa, “Ruang dalam puisi-puisi saya, sudah hampir merupakan ruang grafis. Memainkan cukup banyak layer-layer visual sebagai cara mengatasi dan bisa keluar dari hukum linieritas bahasa, maupun perangkap gramatika bahasa.”

Tubuh sebagai realitas utama dalam puisinya mempengaruhi juga konten yang diangkat oleh penyair yang lahir dan hidup dalam kondisi urban ini dalam puisi-puisinya. Puisi-puisi Afrizal Malna selalu berbicara mengenai urban, kota, dan resiko modernisasi. “Asosiasi-asosiasi nyaris liar ini sepintas tampak tanpa arti. Namun bacalah dengan pikiran sedang menonton film dan tiba di bagian di mana periode sekian tahun diceritakan dengan kilasan-kilasan adegan. Kejapan-kejapan puisi Afrizal, dibaca demikian, akan menyajikan sensasi terkejar-kejar dan ketidakberartian diri yang mendarah daging. Sebuah sensasi yang merangkum modernitas.” (Riyanto, 2003). M. Zamzam Fauzanafi dalam pengantarnya di buku kumpulan puisi Afrizal

‘Untuk Teman-Temanku di Atas Bahasa’ menyebut pengalaman menyelami

montase-montase kasar dalam puisi Afrizal sebagai sebuah upaya untuk mengalami keber-ada-an melalui pengalamat melihat.

Oleh karena itu, puisi-puisi Afrizal Malna menjadi sebuah karya sastra yang menarik untuk dapat diolah dalam penyajiannya sebagai teks (tertulis, dilihat – puisi hadir dalam visual) untuk dapat memberikan pengalaman membaca dan menerima pesan yang lebih eksploratif dan ‘liar’.

(5)

Menengok sejarah desain grafis Barat, ekplorasi puisi visual yang menjadi salah satu sejarah perkembangan desain grafis dunia, pada khususnya lingkup tipografi kontemporer eksperimental, dilakukan oleh penyair Futuris bernama Filippo Marinetti dengan berangkat bersama Manifesto Futuris (The

Futurist Manifesto)-nya yang mengusung ‘liberation of the words’. Puisi

visual / konkret menghadirkan interaksi yang simultan antara huruf sebagai teks (type as text) dengan huruf sebagai gambar (type as image). Eksperimentasi tipografi dalam puisi visual yang dilakukan oleh para tokoh tersebut mencoba menegasi tradisi menulis Barat dan mengembangkan bahasa itu sendiri. Teal Triggs dalam Type Design: Radical Innovations and

Experimentation mengatakan bahwa inovasi tipografi dalam puisi visual

menghasilkan sebuah sensibilitas estetik yang baru dan sekaligus membuktikan bahwa teks dapat dibaca dan dilihat sebagai gambar (text as

image) dan teks (text as text) secara simultan.

Eksplorasi demikian dimungkinkan oleh keberadaan arsip puisi sebagai sebuah teks tertulis dalam sebuah buku dan peran tipografi yang mengikutinya yang merupakan “representasi visual dari sebuah bentuk komunikasi verbal dan merupakan properti visual yang pokok dan efektif.” (Sihombing, 2003: 58).

1.2. Lingkup Tugas Akhir

Dalam kaitannya dengan disiplin ilmu Desain Komunikasi Visual, lingkup dari tugas akhir ini adalah merancang visual yang merupakan interpretasi dari puisi-puisi Afrizal Malna yang terangkum dalam buku Pada

Bantal Berasap dengan melakukan pendekatan eksplorasi tipografi. Puisi

visual / puisi grafis berarti muatan puisi yang hadir dalam bentuk visual sekaligus sebuah kumpulan visual/grafis yang berpuisi, di mana transformasi

form dari puisi ke dalam visual menghasilkan sintesis yang berelasi secara

koheren sehingga saling melengkapi unsur komunikasi satu dengan yang lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Potensi dan komposisi sapi Bali yang dapat dikeluarkan setiap tahun tanpa mengganggu populasi yang ada sebesar 13,11% setara dengan 354 ekor terdiri dari sisa replacement stock

Langkah-langkah metodologi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi pendahuluan, studi literatur, pengumpulan data sekunder (mengumpulkan 100 data

Penjelasan dari gambar diatas yaitu setiap modul-modul komponen terhubung secara keseluruhan, diantara nya modul lcd, modul sensor tgs 2600, modul tgs 2602 dan

Pengalaman pernikahan pada usia remaja difokuskan pada pengalaman lahiriah dan batiniah yang berkaitan dengan peran remaja pria maupun remaja wanita dalam

Drucker dalam Jumanto (2013) menyatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang mengubah sesuatu atau seseorang, dengan menjadikannya dasar untuk bertindak atau dengan

Kemudian, pada langkah selanjutnya, ditambahkan indikator EBT (Eriochrom Black T) untuk menentukan titik akhir titrasi. Setelah itu, dilakukan titrasi dengan menggunakan