• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pengertian Jalan

Dalam undang-undang jalan raya no. 13/1980, jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Berkembangnya angkutan darat, terutama kendaraan bermotor yang meliputi jenis ukuran dan jumlah maka masalah kelancara arus lalu lintas keamanan dan kenyamanan menjadi perhatian. Perencanaan dari jalan hendaknya di sesuaikan dengan rencana induk tata ruang kota yang bersangkutan. Dari sudut lain, seluruh jalan perkotaan mempunyai kesamaan dalam satu hal, yaitu terbatasnya lahan untuk pengembangan jalan tersebut. Dampak lingkungan di sekitarnya harus diperhatikan dan diingat bahwa jalan itu sendiri melayani berbagai kepentingan umum seperti lalu lintas untuk transportasi.

Berkembangnya angkutan darat, terutama kendaraan bermotor yang meliputi jenis ukuran dan jumlah maka masalah kelancaran arus lalu lintas keamanan, kenyaman, dan daya dukung dari perkerasan jalan harus menjadi perhatian, oleh karena itu perlu pembatasan-pembatasan.

Berikut adalah klasifikasi jalan berdasarkan Peraturan Dirjen. BIMA No. 13/1970 : 2.1.1. Kelas Jalan Menurut Fungsi

(2)

Yaitu jalan-jalan yang melayani lalu lintas yang tinggi antara kota-kota penting. Jalan-jalan dalam golongan ini harus direncanakan untuk dapat melayani lalu lintas yang cepat dan berat.

2. Jalan Sekunder

Yaitu jalan-jalan yang melayani lalu lintas yang cukup tinggi antara kota-kota penting dan kota-kota yang lebih kecil, serta melayani daerah-daerah disekitarnya.

3. Jalan Penghubung

Yaitu jalan-jalan untuk keperluan aktifitas daerah, yang juga dipakai sebagai jalan penghubung antara jalan-jalan daro golongan yang sama atau berlainan. 2.1.2. Kelas Jalan Menurut Pengelola

1. Jalan Arteri

Yaitu jalan-jalan yang terletak di luar pusat perdagangan (out lying business district)

2. Jalan Kolektor

Yaitu Jalan-jalan yang terletak di pusat perdagangan (Central Business District) 3. Jalan Lokal

Yaitu jalan-jalan yang terletak di daerah perumahan 4. Jalan Negara

Yaitu jalan-jalan yang menghubungkan antara ibukota propinsi. Biaya pembangunan dan perawatannya di tanggung oleh pemerintah pusat

(3)

Yaitu jalan-jalan yang menghubungkan ibukota propinsi dengan ibukota kabupaten atau jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, juga jalan-jalan yang menghubungkan antar desa dalam satu kabupaten

2.1.3. Kelas Jalan Menurut Besarnya Volume dan Sifat Lalu Lintas

1. Jalan Kelas I

Jalan ini mencakup semua jalan utama, yang melayani lalu lintas cepat dan berat. Dalam komposisi lalu lintasnya tidak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan yang tidak bermuatan. Jalan-jalan kelas ini mempunyai jalur yang banyak.

2. Jalan Kelas II

Jalan ini mencakup semua jalan sekunder. Walau komposisi lalu lintas nya terdapat lalu lintas lambat. Kalan kelas II ini berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintas.

3. Jalan Kelas III

Jalan ini mencakup jalan-jalan penghubung dan merupakan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua. Konstruksi permukaan jalan yang paling tingi adalah penebaran dengan aspal.

2.2Transportasi

Secara umum, definisi transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia atau mesin (Nasution, 2004).

(4)
(5)

2.3Lalu Lintas

Lalu lintas di dalam Undang-undang No.22 tahun 2009 didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di Ruang Lalu lintas Jalan. Sedangkan yang dimaksud dengan Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung. Terdapat tiga komponen terjadinya lalu lintas yaitu manusia sebagai pengguna, kendaraan dan jalan yang saling berinteraksi dalam pergerakan kendaraan yang memenuhi persyaratan kelaikan dikemudikan oleh pengemudi mengikuti aturan lalu lintas yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang menyangkut lalu lintas dan angkutan jalan melalui jalan yang memenuhi persyaratan geometrik.

2.3.1 Lampu Lalu Lintas

Lampu lalu lintas adalah suatu alat kendali (kontrol) dengan menggunakan lampu yang terpasang pada persimpangan dengan tujuan untuk mengatur arus lalu lintas. Pengaturan arus lalu lintas pada persimpangan pada dasarnya dimaksudkan untuk bagaimana pergerakan kendaraan pada masing-masing kelompok pergerakan kendaraan (vehicle group movements) dapat bergerak secara bergantian sehingga tidak saling menggangu antar arus yang ada.

Menurut Highway Capacity Manual (HCM) 1985, ada tiga macam cara pengoperasian lampu lalu lintas yaitu :

1. Premitted operation, yaitu lampu lalu lintas dalam putaran konstan dimana setiap siklus sama dan panjang siklus serta fase tetap.

(6)

samping/minor (side/minor street) menentukan bahwa terdapat kendaraan yang datang pada satu atau kedua sisi jalan tersebut.

3. Full actuated operation, yaitu pada isyarat lampu lalu lintas ini, semua fase lalu lintas dikontrol dengan alat detektor sehingga panjang siklus atau fasenya berubah-ubah tergantung dari permintaan yang didasarkan oleh detektor.

2.3.2 Pengaturan Lampu Lalu Lintas

Pola urutan lampu lalu lintas yang digunakan di Indonesia mengacu pada pola yang dipakai di Amerika Serikat, yaitu: merah (red), kuning (amber)dan hijau (green). Hal ini untuk memisahkan atau menghindari terjadinya konflik akibat pergerakan lalu lintas lainnya. Pemasangan lampu lalu lintas pada simpang ini dipisahkan secara kordinat dengan sistem kontrol waktu secara tetap atau dengan bantuan manusia. Pengaturan lampu lalu-lintas diatur oleh dua model parameter yang terpenting, yaitu:

1. Satuan Mobil Penumpang (SMP), atau Passenger Car Unit (PCU)

2. Aliran lalu-lintas jenuh (saturation flow)

Faktor-faktor yang menunjang untuk pengaturan lampu lalu lintas adalah : 1. Jumlah aliran lalu-lintas (flow)dan komposisi lalu lintas

2. Karakteristik dari perpotongan jalan

3. Pembagian jumlah phase, standar signal yang digunakan.

Dengan faktor-faktor yang disebutkan di atas akan menghasilkan (output)dengan pengaturan lalu lintas adalah:

1. Waktu sinyal

(7)

3. Tundaan/keterlambatan (delay)

2.4Simpang

Persimpangan adalah titik pada jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan-lintasan kendaraan saling berpotongan. Persimpangan merupakan factor yang paling penting dalam menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan, khususnya di daerah pemukiman. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu permasalahan lalu lintas yang biasa terjadi di persimpangan, antara lain: 1. Volume dan kapasitas, dimana secara langsung mempengaruhi hambatan

2. Desain geometrik, dan kebebasan pandangan

3. Kecelakaan dan keselamatan jalan, kecepatan, dan lampu jalan 4. Parkir, akses dan pembangunan yang sifatnya aman

5. Pejalan kaki

6. Jarak antar persimpangan 2.4.1 Jenis Persimpangan

Lalu lintas yang bergerak pada persimpangan dapat dikendalikan dengan berbagai cara pengendalian. Pengendalian tersebut mengikuti urutan hirarki tertentu sesuai dengan jenis-jenis jalan yang saling berpotongan dan besarnya arus lalu lintas yang memasuki persimpangan. Hirarki ini dibagi atas 4 bagian besar, yaitu:

1. Persimpangan sebidang (at grade)

Persimpangan sebidang merupakan persimpangan yang kaki-kakinya berpotongan pada satu bidang datar, sehingga memungkinkan terjadinya konflik

(8)

antar satu arus dengan arus yang lain yang berpotongan. Jenis system pengendaliannya meliputi:

a. Jenis tanpa pengaturan lalu lintas (uncontrolled) b. Jenis pengaturan berhenti atau prioritas (stop)

c. Jenis pengaturan dengan lampu pengatur lampu lalu lintas (traffic light) d. Jenis pengaturan dengan bundaran lalu lintas (roundabout)

(9)

Gambar 2.3. Contoh Persimpangan Sebidang (sumber : google image)

2. Persimpangan tidak sebidang

Persimpangan tidak sebidang merupakan persimpangan yang kaki tidak berpotongan satu sama lain, melainkan saling bersilangan dengan ketinggian yang berbeda antara satu kaki dengan kaki lainnya. Contoh persimpangan tisak sebidang adalah fly over dan underpass.

(10)

Gambar 2.4. Contoh Persimpangan Tidak Sebidang (google image)

3. Persimpangan tanpa pengaturan

Persimpangan yang tidak dikendalikan ini umumnya hanya dapat digunakan pada pertemuan jalan masing kakinya kecil sehingga konflik yang terjadi juga kecil dan dengan send tidak memerlukan suatu pengendalian terhadap arus lalu lintas yang bergerak di persimpangan tersebut.

(11)

4. Persimpangan prioritas

Metode pengendalian terhadap pergerakan persimpangan sangat diperlukan, dengan maksud agar kendaraan melakukan pergerakan konflik tersebut tidak akan saling bertabrakan. Konsep utama dalam sistem prioritas merupakan suatu aturan untuk menentukan kendaraan mana yang dapat berjalan terlebih dahulu. Sistem pengendalian ini mempunyai prinsip-prinsip tertentu, yaitu:

a. Aturan-aturan prioritas harus secara jelas dimengerti oleh semua pengemudi. b. Prioritas harus terbagi dengan baik, sehingga setiap orang mempunyai

kesempatan untuk bergerak.

c. Prioritas harus terorganisasi, sehingga titik-titik konflik dapat teratasi dan diperkecil.

d. Keputusan-keputusan yang dilakukan oleh pengemudi harus dijaga agar sesederhana mungkin.

e. Jumlah total hambatan-hambatan terhadap lalu lintas harus diperkecil.

(12)

2.4.2 Geometrik Persimpangan

Geometrik persimpangan merupakan dimensi yang nyata dari suatu persimpangan. Oleh karena itu, perlu di ketahui beberapa defenisi berikut ini :

1. Approach (kaki persimpangan), yaitu daerah pada persimpangan yang digunakan untuk antrian kendaraan sebelum menyeberangi garis henti.

2. Approach width (WA), yaitu lebar pendekat atau lebar kaki persimpangan.

3. Entry Width (Qentry), yaitu lebar bagian jalan pada bagian pendekat yang digunakan untuk memasuki persimpangan, diukur pada garis perhentian.

4. Exit width (Wexit), yaitu lebar bagian jalan pada bagian pendekat yang digunakan kendaraan untuk keluar dari persimpangan.

5. Width Left Turn On Red (WLTOR), yaitu lebar bagian pendekat yang digunakan kendaraan untuk belok kiri pada saat lampu merah.

Untuk kelima hal tersebut diatas dapat dilihat dalam gambar berikut :

Gambar 2.7 Geometrik Persimpangan dengan Lampu Lalu Lintas (Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997)

(13)

6. Effective approach width (We), yaitu lebar efektif kaki persimpangan yang dijelaskan dalam gambar berikut : (MKJI 1997)

a. Untuk pendekat tipe O dan P

Gambar 2.8 Lebar Efektif Kaki Persimpangan (Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997)

Jika WLTOR > 2 m, maka : We = WA – WLTOR, atau

We = Wentry (digunakan nilai terkecil) Jika WLTOR < 2 m, maka :

We = WA, atau

We = Wentry(digunakan nilai terkecil) b. Kontrol untuk approach tipe P

Wexit = Wentry (1 – PRT – PLT – PLTOR) Dimana :

(14)

PRT = Rasio volume kendaraan belok kanan terhadap volume total PLT = Rasio volume kendaraan belok kiri terhadap voluume total

PLTOR = Rasio volume kendaraan belok kiri langsung terhadap volume total

2.4.3 Fase Lalu Lintas (phase)

Dalam pengaturan lalu lintas pada persimpangan yang berupa konflik antara arus kendaran, dapat dilakukan dengan pemisahan waktu. Pengaturan pemisahan arus lalu lintas disebut fase (phase). Banyaknya fase ditentukan oleh banyak konflik yang harus diselesaikan pada persimpangan. Pada umumnya, di beberapa persimpangan terdapat lebih dari 2 konflik utama.Oleh karena itu, dibutuhkan juga lebih dari 2 fase.

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, fase sinyal umumnya mempunyai dampak yang besar pada tingkat kinerja dan keselamatan lalu-lintas sebuah simpang, daripada jenis pengaturan. Waktu hilang sebuah simpang bertambah dan rasio hijau untuk setiap fase berkurang, bila fase tambahan diberikan. Maka sinyal akan efisien bila dioperasikan hanya pada dua fase, yaitu hanya waktu hijau untuk konflik utama yang dipisahkan. Tetapi dari sudut keselamatan lalu-lintas, angka kecelakaan umumnya berkurang bila konflik utama antara lalu-lintas belok kanan dipisahkan dengan lalu-lintas terlawan, yaitu dengan fase sinyal terpisah untuk lalu-lintas belok kanan.

Pergerakan arus lalu lintas pada persimpangan juga membentuk suatu manuver yang menyebabkan sering terjadi konflik dan tabrakan kendaraan, diantaranya adalah:

(15)

1) Berpencar (diverging)

2) Bergabung (merging)

3. Bersilangan (weaving)

4. Berpotongan (crossing)

Sumber : Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas & Angkutan Kota (1999)

2.5Analisis Simpang Bersinyal Dengan Metode MKJI 1997

Metode Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 direncanakan agar pengguna dapat memperkirakan perilaku lalu lintas dari suatu fasilitas pada kondisi lalu-lintas, geometric dan keadaan lingkungan tertentu. Metode MKJI dapat dipergunakan dalam berbagai tahapan yaitu:

1. Perancangan

Penentuan denah dan rencana awal yang sesuai dari suatu fasilitas jalan yang baru berdasarkan ramalan arus lalu-lintas

2. Perencanaan

Penentuan rencana geometric detail dan parameter pengontrol lalu-lintas dari suatu fasilitas jalan baru atau yang di tingkatkan berdasarkan kebutuhan arus lalu-lintas yang diketahui.

(16)

3. Analisa Operasional

Penentuan perilaku lalu-lintas suatu jalan pada kebutuhan lalu-lintas tertentu. Penentuan waktu sinyal untuk tundaan terkecil. Peramalan yang akan terjadi akibat adanya perubahan kecil pada geometric, aturan lalu lintas dan control sinyal yang digunakan.

2.5.1 Parameter Satuan Mobil Penumpang (SMP)

Parameter Satuan Mobil Penumpang (SMP) atau Passenger Car Unit adalah efek dari beberapa jenis kendaraan dalam kondisi arus lalu lintas yang berakibat kepada mobil penumpang dalam kondisi satu area studi. Kondisi yang mempengaruhi parameter SMP adalah:

1. Ukuran kendaraan

2. Kekuatan atau berat kendaraan

3. Kondisi pengemudi (metode, perilaku, pendidikan, jenis kelamin)

Masalah – masalah yang ada dalam penggunaan ekivalen terhadap parameter SMP adalah:

1. Terlalu banyak macam/tipe/jenis/ukuran/model dari kendaraan 2. Rasio kekuatan dan berat kendaraan melebihi beban yang seharusnya 3. Karakteristik dan metode dari pemakai jalan (motor, bus, truk, dll) 4. Sangat tergantung prosentase dari tipe kendaraan

Jumlah lalu lintas yang datang dan jumlah aliran lalu lintas (s) dapat diukur atau dihitung berdasarkan jumlah kendaraan per jam (vech/h) atau (PCU/h). Bila arus lalu lintas adalah identik dengan perbandingan (headways) sehingga PCU pada

(17)

kondisi dalam lalu lintas dapat diperhitungkan sebagai berikut, dimana perhitungan perbandingan didapat selama dalam kondisi arus aliran lalu lintas jenuh (s =

saturated).

2.5.2 Data Masukan

a. Kondisi Geometri dan Lingkungan

Berisi tentang informasi lebar jalan, lebar bahu jalan, lebar median, dan arah untuk tiap lengan simpang. Kondisi lingkungan ada 3 tipe, yaitu:

1) Komersial 2) Pemukiman 3) Akses Terbatas b. Kondisi Arus Lalu Lintas

Jenis kendaraan dibagi dalam beberapa tipe, seperti terlihat pada tabel 2.1 dan memiliki nilai konversi pada tiap pendekat seperti tersaji pada tabel 2.2

Tabel 2.1 Tipe Kendaraan

No Tipe Kendaraan Definisi

1 Kendaraan tak bermotor (UM) Sepeda, becak, gerobak

2 Sepeda bermotor (MC) Sepeda motor

3 Kendaraan ringan (LV) Sedan, jeep, minibus, pick up, mikrobus 4 Kendaraan berat (HV) Bus, truk sedang, trailer, truk gandeng

(18)

Tabel 2.2 Nilai Konversi SMP pada Simpang untuk Jalan Perkotaan Jenis

Kendaraan

Nilai konversi smp pada simpang untuk jalan perkotaan

Terlindung (P) Terlawan (O)

LV 1.0 1.0

HV 1.3 1.3

MC 0.2 0.4

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Untuk rasio kendaraan belok kiri PLT, dan rasio belok kanan PRT, dihitung dengan rumus:

2.5.3 Penggunaan Sinyal

a. Penentuan Fase Sinyal

Fase adalah suatu rangkaian dari kondisi yang diberlakukan untuk suatu arus atau beberapa arus, yang mendapatkan identifikasi lampu lalu lintas yang sama (Munawar, 2004 : 45). Jumlah fase yang baik adalah fase yang menghasilkan kapasitas besar dan rata – rata tundaan rendah.

Pengaturan 2 fase dapat dipertimbangkan pada awal analisis karena memberikan kapasitas terbesar dengan tundaan yang terendah dibandingkan dengan pengaturan fase lainnya seperti terlihat pada gambar 2.9, gambar 2.10, dan gambar 2.11.

(19)
(20)
(21)
(22)

dimana :

LEV, LAV = jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk kendaraan yang berangkat dan yang datang (m).

IEV = panjang kendaraan yang berangkat (m)

VEV, VAV = kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang berangkat dan yang datang (m/detik).

Nilai-nilai yang dipilih untuk VEV, VAV, dan IEV tergantung dari komposisi lalu lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi. Nilai-nilai sementara berikut dapat dipilih untuk kondisi di Indonesia.

Kecepatan kendaraan yang datang (VAV) = 10 m/det (kendaraan bermotor)

Kecepatan kendaraan yang berangkat (VEV) = 10 m/det (kendaraan bermotor)

= 3 m/det (kend.tak bermotor) = 1,2 m/det (pejalan kaki)

Panjang kendaraan yang berangkat, IEV = 5 m (LV atau HV)

= 2 m (MC atau UM)

3) Waktu hilang, apabila periode merah semua untuk masing-masing akhir fase telah ditetapkan, maka waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat dihitung sebagai jumlah dari waktu-waktu antar hijau :

(23)
(24)
(25)

penyimpangan dari kondisi yang sebenarnya, dari suatu kumpulan kondisi - kondisi (ideal) yang telah ditetapkan sebelumnya.

...Fn

Untuk tipe pendekat P (arus berangkat terlindung) : keberangkatan tanpa konflik antara gerakan lalu lintas belok kanan dan lurus, arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat (We). (Sumber : MKJI).

So = 600×We Keterangan:

So = arus jenuh dasar (smp/jam waktu hijau) We = lebar efektif pendekat (m)

Penyesuaian kemudian dilakukan untuk kondisi - kondisi berikut ini: Ukuran kota CS, jutaan penduduk

Hambatan Samping SF, kelas hambatan samping dari lingkungan jalan dan kendaraan tak bermotor

Kelandaian G, % naik (+) atau turun(-)

Parkir P, jarak garis henti kendaraan parkir pertama Gerakan Membelok RT, % belok - kanan

RT, % belok – kiri

Untuk tipe pendekat O, (arus berangkat terlawan): keberangkatan dari antrean sangat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa sopir - sopir di Indonesia tidak menghormati ”aturan hak jalan” dari sebelah kiri, yaitu kendaraan - kendaraan belok kanan memaksa menerobos lalu lintas lurus yang berlawanan. Model - model dari negara barat tentang keberangkatan ini, yang didasarkan pada teori

(26)

”penerimaan celah” (gap-acceptance), tidak dapat diterapkan. Suatu model penjelasan yang didasarkan pada pengamatan perilaku pengemudi telah dikembangkan dan diterapkan dalam MKJI 1997. Apabila terdapat gerakan belok kanan dengan rasio tinggi, umumnya menghasilkan kapasitas - kapasitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan model barat yang sesuai. Nilai - nilai smp yang berbeda untuk pendekat terlawan juga digunakan seperti

diuraikan diatas.

Arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat (We) dan arus lalu lintas belok kanan pada pendekat tersebut dan juga pada pendekat yang berlawanan, karena pengaruh dari faktor - faktor tersebut tidak linier. Kemudian dilakukan penyesuaian untuk kondisi sebenarnya sehubungan dengan ukuran kota, hambatan samping, kelandaian dan parkir sebagaimana terdapat dalam rumus - rumus di atas.

(27)
(28)

Tabel 2.3 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS) Penduduk kota (juta jiwa) Faktor penyesuaian (FCS)

> 3.0 1.05

1.0 – 3.0 1.00

0.5 – 1.0 0.94

0.1 – 0.5 0.83

< 0.1 0.82

2) Faktor Koreksi Hambatan Samping (FSF)

Faktor koreksi hambatan samping (FSF) ditentukan dari tabel di bawah ini sebagai fungsi dari jenis tikungan jalan, tingkat hambatan samping dan rasio kendaraan tak bermotor. Jika hambatan samping tidak diketahui, dapat dianggap tinggi agar tidak menilai kapasitas terlalu besar.

(29)
(30)
(31)
(32)
(33)

FP = faktor koreksi parkir FRT = faktor koreksi belok kanan FLT = faktor koreksi belok kiri 1) Rasio Arus / Arus Jenuh (FR)

Rasio arus jenuh (flow ratio) yang terjadi pada tiap - tiap pendekat pada kaki simpang dengan fase yang sama, merupakan perbandingan antara arus (flow : Q) dan arus jenuh (saturation flow : S). Nilai arus jenuh untuk setiap pendekat dihitung dengan rumus:

dimana,

Q = Arus lalu - lintas (smp/jam) S = Arus jenuh (smp/jam)

Nilai kritis dari FRCRIT (maksimum) dari arus yang ada dihitung pada simpang dengan penjumlahan rasio arus kritis tersebut:

Dari kedua nilai di atas maka diperoleh rasio fase PR (Phase Ratio)

untuk tipe fase yaitu :

2) Waktu Siklus dan Waktu Hijau

a) Waktu Siklus, adalah waktu untuk urutan lengkap dan indikasi sinyal dari awal waktu hijau sampai waktu hijau berikutnya. Waktu siklus sebelum penyesuaian (Cua) untuk pengendalian waktu tetap dihitung

(34)
(35)
(36)

Dimana :

C = kapasitas (smp/jam)

S = arus jenuh yang disesuaikan (smp/jam hijau) g = waktu hijau (detik)

c = waktu siklus (detik)

Nilai kapasitas dipakai untuk menghitung derajat kejenuhan (Degree of Saturation)

untuk masing – masing pendekat, dirumuskan:

Dimana :

DS = Derajat kejenuhan Q = Arus lalu - lintas C = Kapasitas

2.5.6 Tundaan

1. Panjang Antrean (NQ)

Panjang antrean adalah banyaknya kendaraan yang berada pada simpang tiap jalur saar nyala lampu merah. Jumlah rata – rata antrean kendaraan (smp) pada awal isyarat lampu hijau (NQ) dihitung sebagai jumlah kendaraan terhenti (smp) yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah kendaraan (smp) yang datang dan terhenti dalam antrean selama fase merah (NQ2), dihitung menggunakan persamaan:

(37)
(38)
(39)

Panjang antrean (QL) diperoleh dari perkalian NQ (smp) dengan luas area rata – rata yang digunakan oleh satu kendaraan ringan (smp) yaitu 20 m2, dibagi lebar masuk (m), sehingga persamaannya adalah sebagai berikut:

2. Kendaraan Terhenti (NS)

Angka terhenti (NS) masing – masing pendekat yang didefinisikan sebagai jumlah rata – rata kendaraan berhenti per smp, ini termasuk henti berulang sebelum melewati garis stop simpang. Persamaan dari angka henti (NS) adalah sebagai berikut:

dimana:

c = Waktu siklus (detik)

Q = Arus lalu - lintas (smp/jam)

Jumlah rata – rata kendaraan berhenti (Nsv) adalah jumlah berhenti rata – rata per kendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrean) sebelum melewati suatu simpang, dihitung menggunakan persamaan:

NSV = Q x NS (smp/jam)

Laju henti untuk seluruh simpang

3. Tundaan (Delay)

(40)

a. Tundaan lalu lintas (DT) yang disebabkan oleh interaksi lalu lintas dengan gerakan lainnya pada suatu simpang.

b. Tundaan geometri (DG) yang disebabkan oleh perlambatan dan percepatan saat membelok pada suatu simpang dan atau terhenti karena lampu merah. Tundaan rata – rata untuk suatu pendekat j merupakan jumlah tundaan lalu lintas rata – rata (DTj) dengan tundaan geometrik rata – rata (DGj) yang persamaannya dapat dituliskan seperti berikut ini:

Dj = DTj + DGj dimana :

Dj = Tundaan rata - rata pendekat j (detik/smp).

DTj = Tundaan lalu lintas rata - rata pendekat j (detik/smp). DGj =Tundaan geometrik rata- rata pendekat (detik/smp).

Tundaan lalu lintas (DT) yaitu akibat interaksi antar lalu lintas pada simpang dengan faktor luar seperti kemacetan pada hilir (pintu keluar) dan pengaturan manual oleh polisi, dengan rumus:

dimana:

DT = Tundaan lalu- lintas rata-rata (detik/smp) C = waktu siklus yang disesuaikan (detik) A = atau lihat Gambar 2.24 GR = rasio hijau (g/c)

DS = derajat kejenuhan

(41)
(42)

 Kecepatan = 40 km/jam

 Kecepatan belok tidak berhenti = 10 km/jam  Percepatan dan perlambatan = 1,5 m/det2

 Kendaraan berhenti melambat untuk meminimumkan tundaan, sehingga menimbulkan hanya tundaan percepatan.

 2.5.1 Parameter Satuan Mobil Penumpang (SMP) 2.5.7 Tingkat Pelayanan Jalan

Tingkat pelayanan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk mengetahui kualitas suatu ruas jalan tertentu dalam melayani arus lalu lintas yang melewatinya.Hubungan antara kecepatan dan volume jalan perlu di ketahui karena kecepatan dan volume merupakan aspek penting dalam menentukan tingkat pelayanan jalan. Menurut Warpani, (2002), tingkat pelayanan adalah ukuran kecepatan laju kendaraan yang dikaitkan dengan kondisi dan kapasitas jalan. Morlok (1991) mengatakan, ada beberapa aspek penting lainnya yang dapat mempengaruhi tingkat pelayanan jalan antara lain: kenyamanan, keamanan, keterandalan, dan biaya perjalanan (tarif dan bahan bakar).

(43)

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Tabel 2.6 Standar Tingkat Pelayanan Jalan

2.6Literatur Review

1. Alfantianto (2014) “Identifikasi Awal Terhadap Penyelesaian Masalah Lalu Lintas Pada Simpang Pancoran” merupakan tugas akhir yang membahas karakteristik lalu lintas pada simpang pancoran yang diteliti menunjukkan bahwa total arus volume kendaraan terpadat yang melintas adalah hari kerja dan hari libur yaitu pukul 07.00-09.00 dan pukul 17.00-19.00. sebagai identifikasi awal penyelesaian masalah lalu lintas ada beberapa solusi alternative yang dapat diterapkan, yaitu pelebaran ruas jalan, pembangunan fly over, pembangunan underpass, dan penambahan waktu hijau dalam fase lampu lalu lintas. Solusi dari masalah pada persimpangan pancoran yang diteliti adalah dengan pembangunan

(44)

2. Rhaptyalyani, Baru Monang Sitanggang, dan Joni Arliansyah (2014) “Arus Jenuh dan Panjang Antrian Pada Simpang Bersinyal Angkatan 66 Kota Palembang” merupakan Kajian Jurnal yang menunjukkan bahwa Tingginya nilai arus jenuh, panjang antrian, dan tundaan pada simpang bersinyal merupakan faktor penyebab kemacetan lalu lintas di simpang. Pada penelitian ini dibahas analisis arus jenuh dan panjang antrian pada Simpang Bersinyal Angkatan 66 di Kota Palembang. Lengan simpang di simpang bersinyal ini, yaitu lengan Jln. Sukamto arah ke Jln. Basuki Rahmat dan lengan Jln. Amphibi arah ke Jln. Angkatan 66, memiliki arus jenuh dan panjang antrian yang tinggi, sehingga diperlukan perbaikan simpang. Terdapat 3 alternatif perbaikan, yaitu perubahan waktu siklus waktu, perubahan geometrik pada lengan simpang, dan pembangunan fly over. Dari ketiga alternatif yang didapat ternyata hanya pembangunan fly over yang dapat mengurangi panjang antrian secara signifikan.

3. Lasthreeida J.H, Medis Surbakti (2013) “Evaluasi Kinerja Simpang Bersinyal” merupakan jurnal yang mengkaji salah satu simpang di Kota Medan yang merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia dengan tingkat kegiatan yang cukup tinggi, namun prasarana transportasi dan sikap berlalu lintas pengguna jalan masih sangat kurang mendukung. Maka sangat perlu dilakukan pengevaluasi kinerja pada persimpangan untuk mengetahui tingkat pelayanan dari simpang tersebut. Untuk mengevaluasi konerja simpang bersinyal ini digunakan dengan 2 metode yaitu dengan metode MKJI 1997 dan HCM 2000. Dari hasil perhitungan, simpang Jl. Ir. H. Juanda – Jl. Imam Bonjol kondisi eksisting untuk pendekat utara dengan metode HCM 2000 didapaat tundaan simpang sebesar = 113 dengan tingkat pelayanan F.

(45)

hasil perhitungan simpang Jl. Ir. H. Juanda – Jl. Imam Bonjol kondisi eksisting pendekatan utara, dengan metode MKJI 1997 dengan acuan tingkat pelayanan pada HCM 1985 didapat tundaan rata-rata simpang yang dihasilkan = 76,008 dengan tingkat pelayanan F. untuk hasil perhitungan antrian dan tundaan dengan metode gelombang kejut (Shock Wave) didapat untung setiap lengan simpang, Lengan Utara; Panjang Antrian: 207,256 m, Tundaan Rata-rata : 108,684. Untuk pedekatan selatan; panjang antrian: 266,907 m, untuk pendekatan timur, panjang antrian: 279,575 m, tundaan rata-rata 91,178. Jadi berdasarkan hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa tundaan simpang terbesar dihasilkan oleh metode HCM 2000 dengan besar tundaan simpang 113 det/kendaraan dan tingkat pelayanan F.

4. Erwin Aras G, Ludfi Djakfar, Achmad Wicaksono (2014) “Manajemen Lalu Lintas Pada Simpang Borobudur Kota Malang” mengkaji simpang Di Jalan Borobudur, Jalan A. Yani dan Jalan Adi Sucipto Kota Malang terdapat dua simpang bersinyal yang berjarak sangat dekat. Hal ini membuat tundaan ganda untuk kendaraan yang akan berbelok ke kanan. Dengan adanya jarak simpang yang berdekatan, terkadang membuat tundaan pada saat-saat jam puncak (peak hour). Dengan adanya masalah ini perlu adanya pengkajian ulang untuk meningkatkan kinerja simpang. Simpang yang dianalisa pada penelitian ini adalah simpang bersinyal tiga lengan Jalan Borobudur dan Jalan A. Yani Kota Malang. Kondisi simpang tersebut menunjang terjadinya kemacetan lalu lintas karena kawasan tersebut merupakan jalan menuju pusat perekonomian, pusat perkantoran, kampus dan rekreasi. Kemacetan yang ada semakin bertambah karena jarak simpang yang sangat pendek sehingga terkadang menambah antrian kendaraan yang akan berbelok

(46)

arah ke kanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara diskriptif analitis. Diskriptif berarti penelitian memusatkan pada masalah-masalah yang ada pada saat sekarang. Keadaan lalu lintas di daerah penelitian dapat diperoleh data yang akurat dan cermat, sedangkan analitis berarti data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan kemudian dianalisis. Dari hasil penelitian didapatkan jam puncak pada hari sabtu sore sebesar 2423 smp/jam. Tingkat pelayanan Simpang Borobudur masuk dalam kelas pelayanan jalan F. Dari prediksi 5 tahunan diketahui bahwa tundaan rata-rata pada simpang bersinyal Borobudur paling tinggi adalah 44,6. Keadaan tersebut masuk ke dalam kelas E. Perekayasaan didasarkan dengan memperbaiki waktu siklus yang ada sebagai salah satu alternatif perbaikan simpang. 5. Robbi Wisnu Widyatmiko (2016) “Evaluasi Kinerja Ruas dan Simpang Pada

Jalan Raya Serpong – Jalan M.H Thamrin Tangerang” merupakan tugas akhir yang membahas Di Jalan Borobudur, Jalan A. Yani dan Jalan Adi Sucipto Kota Malang terdapat dua simpang bersinyal yang berjarak sangat dekat. Hal ini membuat tundaan ganda untuk kendaraan yang akan berbelok ke kanan. Dengan adanya jarak simpang yang berdekatan, terkadang membuat tundaan pada saat-saat jam puncak (peak hour). Dengan adanya masalah ini perlu adanya pengkajian ulang untuk meningkatkan kinerja simpang. Simpang yang dianalisa pada penelitian ini adalah simpang bersinyal tiga lengan Jalan Borobudur dan Jalan A. Yani Kota Malang. Kondisi simpang tersebut menunjang terjadinya kemacetan lalu lintas karena kawasan tersebut merupakan jalan menuju pusat perekonomian, pusat perkantoran, kampus dan rekreasi. Kemacetan yang ada semakin bertambah karena jarak simpang yang sangat pendek sehingga terkadang menambah antrian kendaraan yang akan

(47)

berbelok arah ke kanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara diskriptif analitis. Diskriptif berarti penelitian memusatkan pada masalah-masalah yang ada pada saat sekarang. Keadaan lalu lintas di daerah penelitian dapat diperoleh data yang akurat dan cermat, sedangkan analitis berarti data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan kemudian dianalisis. Dari hasil penelitian didapatkan jam puncak pada hari sabtu sore sebesar 2423 smp/jam. Tingkat pelayanan Simpang Borobudur masuk dalam kelas pelayanan jalan F. Dari prediksi 5 tahunan diketahui bahwa tundaan rata-rata pada simpang bersinyal Borobudur paling tinggi adalah 44,6. Keadaan tersebut masuk ke dalam kelas E. Perekayasaan didasarkan dengan memperbaiki waktu siklus yang ada sebagai salah satu alternatif perbaikan simpang.

Gambar

Gambar 2.2. Jenis Persimpangan Sebidang  (sumber : Morlok, E. K (1991))
Gambar 2.3. Contoh Persimpangan Sebidang  (sumber : google image)  2.  Persimpangan tidak sebidang
Gambar 2.4. Contoh Persimpangan Tidak Sebidang  (google image)  3.  Persimpangan tanpa pengaturan
Gambar 2.6. Contoh Persimpangan Prioritas / bundaran  (sumber : google image)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam BMT Bina Umat Sejahtera Lasem pembiayaan dana modal kerja dengan akad Mudharabah digunakan untuk membiayai atau membantu usaha nasabah yang mengalami

Mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa mengenal praktek manajemen informatika secara nyata dalam suatu organisasi serta dapat menyajikan dalam bentuk laporan tertulis dan

Oleh karena itu simulasi pulse combustion menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) dilakukan dalam penelitian ini dengan menganalisa pengaruh inlet pulse dan

Setelan dilakukan penelitian tentang Pengaruh Pemberian Buah Pisang Ambon Terhadap Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Trimester I di Wilayah Kerja Puskesmas Balowerti

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh, diharapkan pihak Berly Bakery menerapkan cetakan sederhana untuk produksi roti bulat sehingga persentase

celebrity endorsement, source credibility, purchase intention and consumer. behaviour, and other related

Strategi penjualan dalam penelitian pada produksi Bakpia 29 lebih baik menggunakan metode Linear Programming karena menghasilkan penjualan lebih besar dari metode

Perbedaan teori wujudul hilal ini dengan teori ijtimak qabla al-ghurub ialah bahwa metodologi yang dipakai dalam menetapkan awal bulan Qamariyah tidak hanya