• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek nefroprotektif dekoksi biji persea americana mill. jangka panjang terhadap kadar kreatinin dan gambaran histologis ginjal tikus yang diinduksi karbon tetraklorida - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Efek nefroprotektif dekoksi biji persea americana mill. jangka panjang terhadap kadar kreatinin dan gambaran histologis ginjal tikus yang diinduksi karbon tetraklorida - USD Repository"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

i

OPROTEKTIF DEKOKSI BIJIPersea ameri

ANJANG TERHADAP KADAR KREATIN N HISTOLOGIS GINJAL TIKUS YANG DIIN

KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan

kekekalan dalam hati mereka.”

Pengkotbah 3:11

(5)
(6)
(7)

vii PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Pengasih, yang berkat rahmat dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi “Efek Nefroprotektif Dekoksi BijiPersea americana Mill. Jangka Panjang Terhadap Kadar Kreatinin dan Gambaran Histologis Ginjal Tikus yang Diinduksi Karbon Tetraklorida”

dengan luar biasa baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pembimbing skripsi atas perhatian, kesabaran, bimbingan, masukan dan motivasi kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Ipang Djunarko, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu dr. Fenty, M.Kes., Sp.K sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.

(8)

viii

5. Ibu Rini Dwiastuti, M.Si., Apt. selaku Kepala Penanggungjawab Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian ini.

6. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., yang telah menyediakan waktu untuk memberikan bantuan dalam determinasi bijiPersea americana.

7. Pak Kayat, Pak Heru, Pak Parjiman, Pak Wagiran, Pak Parlan, Pak Kunto, dan Pak Bimo selaku laboran laboratorium Fakultas Farmasi yang telah membantu penulis dalam proses pelaksanaan penelitian di laboratorium. 8. Beasiswa Unggulan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia atas kontribusinya dalam membiayai proses perkuliahan dan penelitian ini.

9. Keluargaku Papa, Mama, Rangga, yang menjadi motivasi terbesar Penulis. Terimakasih untuk cinta, perhatian, pengertian, dan semangat yang selalu diberikan kepada Penulis.

10. Teman-teman seperjuangan dalam tim alpukat Angel, Dara, Ote, Cilla, Ike, Kiting, Diput, Dion, Lydia, Irene, Ita, Komang, Obet, dan Liana, untuk semangat, kerjasama, bantuan, dan informasi yang selalu di bagikan dalam proses penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

(9)

ix

12. Teman-teman “Wisma Surya” Mbak Tyas, Mbak Asti, Dita, Nadia, Via,

Yoana, Kak Dini atas bantuan, dukungan, semangat, tawa, perhatian dan masukan yang diberikan selama pembuatan skripsi ini.

13. Evan, Deva, Indra, Echy, terimaksih untuk tawa dan semangatnya selama pengerjaan skripsi ini.

14. Teman-teman FSM D 2010, FKK B 2010 dan seluruh angkatan 2010 atas kebersamaan kita.

15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Demikian juga dengan tugas akhir ini yang belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Karena itu penulis membuka diri untuk menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Akhir kata, penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama demi kemajuan pengetahuan di bidang Farmasi.

Yogyakarta, 29 Oktober 2013

(10)

x LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

(11)

xi

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... A. Anatomi dan Fisiologi Ginjal... B.Persea americanaMill... A. Jenis dan Rancangan Penelitian... B. Variabel dan Definisi Operasional... 1. Variabel utama... D. Alat dan Instrumen Penelitian...

(12)

xii

1. Alat pembuatan dekoksiPersea americanaMill... 2. Alat uji nefroprotektif... E. Tata Cara Penelitian...

1. Pengumpulan Bahan... 2. Determinasi tanaman Persea americanaMill... 3. Penetapan kadar air serbuk Persea americanaMill ... 4. Pembuatan dekoksi biji Persea americanaMill ... 5. Penetapan dosis dekoksi biji Persea americanaMill ... 6. Pembuatan larutan karbon tetraklorida... 7. Uji Pendahuluan... a. Penetapan dosis nefrotoksin karbon tetraklorida... b. Penetapan waktu pencuplikan darah... 8. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji... 9. Pembuatan preparat histologis... 10. Pembuatan Serum... 11. Penetapan kadar serum kontrol dan serum kreatinin... F. Tata Cara Analisis Hasil...

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... A. Penyiapan Bahan ...

(13)

xiii

1. Penentuan dosis nefrotoksik karbon tetraklorida... 2. Penentuan waktu pencuplikan darah... 3. Penetapan lama pemejanan dekoksi biji Persea americanaMill ... 4. Penetapan dosis dekoksi biji Persea americanaMill ... C. Hasil Uji Efek Nefroprotektif Dekoksi Biji Persea americanaMill... 1. Kontrol negatifolive oil dosis 2ml/kgBB ... 2. Kontrol nefrotoksin karbon tetraklorida dosis 2ml/kgBB... 3. Kontrol dekoksi bijiPersea americanaMill ... 4. Kelompok perlakuan dekoksi Persea americana Mill dosis 360,71 mg/kgBB,

(14)

xiv

Kelas gagal ginjal kronis menurut National Kidney Foundation... Rata-rata kadar serum kreatinin tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48, dan 72 jam, n=4...

Hasil uji Pairwise Comparisons aktivitas serum kreatinin tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48, dan 72 jam... Purata ± SD serum kreatinin praperlakuan dekoksi bijiPersea americana Mill. Pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida, n=5... Hasil uji Scheffe serum kreatinin praperlakuan dekoksi biji Persea americana Mill. Pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida...

Hasil pemeriksaan histologis ginjal pada keenam kelompok perlakuan... Rata-rata serum kreatinin tikus setelah pemberianolive oil dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0 dan 48 jam, n=5... Hasil penetapan kadar air serbuk biji Persea americana Mill...

(15)

xv Diagram batang rata-rata aktivitas serum kreatinin tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48, dan 72 jam...

Diagram batang purata serum kreatinin praperlakuan dekoksi biji Persea americana Mill. pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida... Diagram batang rata-rata serum kreatinin tikus setelah pemberian olive oil dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0 dan 48 jam... Gambaran histologi ginjal tikus kontrol olive oil dosis 2 mL/kgBB berupa DHET...

Gambaran histologi ginjal kontrol olive oildosis 2 mL/kgBB berupa ITC... Histologi ginjal tikus kontrol karbon tetraklorida dosis 2ml/kgBB... Gambaran histologis ginjal tikus perlakuan Dosis 360,71 mg/kgBB tikus 1...

(16)

xvi

Foto serbuk bijiPersea americanaMill... Foto pembuatan dekoksi bijiPersea americanaMill... Foto larutan ekstrak etanol biji P.americana...

Surat pengesahan determinasi serbuk biji Persea americanaMill... Hasil Determinasi Serbuk BijiPersea americanaMill... Surat pengesahan Medical and Health Research Ethics Committee (MHREC)... Analisis statistik kadar serum kreatinin pada uji pendahuluan penentuan dosis nefrotoksin karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB... Analisis statistik kadar serum kreatinin pada kontrol nefrotoksin karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB... Analisis statistik kadar serum kreatinin pada kontrol negatif olive oil dosis 2 ml/kgBB... Analisis statistik kadar serum kreatinin pada kontrol dekoksi dan perlakuan dosis 360,71; 642,06; 1142,86 mg/kgBB... Perhitungan efek nefroprotektif (%)... Perhitungan penetapan peringkat dekoksi biji Persea americanaMill. kelompok perlakuan... Perhitungan konversi dosis untuk manusia... Penetapan kadar air bijiPersea americanaMil... Pengukuran validitas dan realibilitas... Surat pengesahan hasil pemeriksaan histologis...

(17)

xvii

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya efek nefroprotektif pada pemberian jangka panjang dekoksi biji Persea americana Mill. teramati pada penurunan kadar kreatinin serum dan melihat gambaran histologis tikus terinduksi karbon tetraklorida.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan tikus jantan galur Wistar berusia 2-3 bulan, dengan berat badan 150-250 g. Penelitian dilakukan dengan membagi 30 ekor tikus jantan galur Wistar secara acak menjadi enam kelompok perlakuan. Kelompok I, yaitu kontrol nefrotoksin yang diberi karbon tetraklorida dalam olive oil (1:1) 2 ml/kgBB secara intraperitonial . Kelompok II (kontrol negatif) diberiolive oildengan dosis 2 ml/kgBB. kelompok III (kontrol dekoksi) diberi dekoksi biji Persea americana Mill. dosis 1142,86 mg/kgBB kelompok IV-VI (kelompok perlakuan) diberi dekoksi biji Persea americana Mill. dengan tiga peringkat dosis berturut-turut 360,71; 642,06; 1142,86 mg/kgBB. Pemberian dekoksi biji Persea americana Mill. dilakukan secaraper oral, sekali sehari selama enam hari berturut-turut kemudian pada hari yang ketujuh semua tikus pada kelompok perlakuan diberi karbon tetraklorida dosis 2ml/kgBB secara intraperitonial. Empat puluh delapan jam setelah diberikan karbon tetraklorida, darah diambil melalui sinus orbitalis mata tikus untuk diukur kadar kreatinin serumnya dan dianalisis dengan one-way ANOVA dan uji Scheffe. Lalu tikus dikorbankan untuk diambil ginjalnya, dicuci pada larutan larutan saline (NaCl 0,9%) dan diawetkan dengan direndam dalam formalin 10% untuk dibuat preparat histologis lalu diamati penampakan mikroskopiknya.

Berdasarkan hasil penelitian, dekoksi biji Persea americana Mill.memberikan efek nefroprotektif pada tikus terinduksi karbon tetraklorida pada dosis 360,71; 642,06; dan 1142,86 mg/kgBB dengan efek nefroprotektif berturut-turut 100; 90,5; dan 52,4%. Dosis efektif nefroprotektif dekoksi biji Persea americana Mill. adalah 360,71 mg/kgBB. Belum diketahui pengaruh pemberian dekoksi biji Persea americana Mill. pada tikus jantan galur Wistar yang diinduksi karbon tetraklorida hingga tingkat seluler organ ginjal.

(18)

xviii ABSTRACT

The aim of this research to estabish nephroprotective effect of dekoksi Persea americana Mill. seed by reducing creatinine serum level and histologic review in rats induced by carbon tetrachloride and get the effective dose.

This research was an experimental research with direct sampling design. This research used Wistar male rats, age 2-3 months, and weight ± 150-250 g. The rats were divided into six treatment groups randomly. The first group (negative control) was given olive oil 2 ml/kgBW. Then, the second group (nephrotoxin control) was givencarbon tetrachloride 2 ml/kgBW i.p. Third group (extract control) was given dekoksi dekoksi Persea americana Mill.seed 1142,86 mg/kgBW.The fourth until sixth group (treatment) were given dekoksi Persea americana Mill.seed dose 360,71; 642,06; and 1142,86 mg/kgBW orally once a days for six days successively and then in the seventh day all of the treatments group were given carbon tetrachloride 2 ml/kgBW by i.p. Fourty eight hours later, blood was collected from the orbital sinus eye to be measured creatinine serum level and examined the histological properties of kidney. It was analyzed statistically with One Way Anova andScheffetest.

Based of the result of the research, dekoksi Persea americana Mill.seed gave nephroprotective effects by reducing creatinine serum level. Nephroprotective effect with dose of 360,71; 642,06; and 1142,86 mg/kgBW successively were 100%; 90,476%, and 52,381%. The effective dose of dekoksi Persea americanaMill. seed was 360,71 mg/kgBW. We cannot say that using of dekoksi biji Persea americana Mill. can protect tke kidney until it’structural

phase.

(19)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Ginjal merupakan salah satu organ yang vital bagi manusia terkait fungsi utamanya sebagai organ ekskresi. Selain sebagai organ yang berperan dalam ekresi zat-zat yang beracun dari darah dalam bentuk urine, ginjal juga berfungsi untuk mengatur keseimbangan jumlah air dan garam dalam darah, keseimbangan pH tubuh, mengatur tekanan darah dan sebagai tempat pengolahan vitamin D (Pearce, 2009). Terdapat beberapa gangguan fungsi ginjal, yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis. Klasifikasi tersebut didasarkan pada kecepatan perkembangan penyakit, gejala yang muncul, dan sifat kerusakan yang ditimbulkan. Ada yang bersifat reversible ada pula yang irreversible (William James House, 2005).

Gagal ginjal merupakan penyakit degeneratif yang akhir-akhir ini

menjadi “trend”, tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju.

(20)

Afrika Amerika. Penderitaend stage renal disfunction(ESRD) antara tahun 1990-2009 meningkat hampir 600%, dari 290 menjadi 1.738 kasus per tahun, dan pada akhir tahun 2009 lebih dari 871.000 penderita ESRD menjalani terapi (NIDDK, 2012). Pada tahun 2007, di Amerika 110.000 penderita ESRD telah menjalani terapi. Penyebab utama dari ESRD di Amerika yaitu diabetes dan hipertensi (CDC, 2010). Jumlah penderita gagal ginjal di Indonesia belum diketahui secara akurat. Berdasarkan data InaSN pada tahun 2002-2004 jumlah penderita ESRD di Indonesia paling banyak berada di Jawa dan Bali (Prodjosujadi, 2006). Rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan hanya 10.000 pasien yang menjalani hemodialisis dari sekitar 150.000 penderita ESRD di Indonesia ( YDGI, 2009).

(21)

kesehatan profesional. Oleh karena itu penting untuk terus mengembangkan obat herbal di Indonesia dengan penelitian berbasis ilmiah sehingga dapat diintegrasikan secara tepat dalam sistem kesehatan nasional (Sampurno, 2003).

Persea americana Mill. (alpukat) merupakan tanaman yang tersebar secara merata di Indonesia (Rukmana, 1997). Ekstrak air dari biji Persea americanaMill. ini banyak digunakan untuk terapi sejumlah penyakit degeneratif seperti diabetes, hiperkolesterolemia, dan hipertensi di Nigeria (Imafidon dan Okunrobo, 2009). Kemampuan ini didasarkan pada kandungannya akan sejumlah senyawa antioksidan, seperti saponin yang mempunyai efek sebagai diuretik (Nwaoguikpe dan Braide, 2011).

Karbon tetraklorida sebagai senyawa model yang digunakan untuk memicu terjadinya stres oksidatif pada hewan uji. Karbon tetraklorida nantinya akan dimetabolisme oleh sitokrom P450 menjadi radikal bebas triklorometil (CCl3) (Basu, 2003) dan triklorometilperoksida (OOCCl3) yang lebih reaktif (US Enviromental Protection Agency, 2010). Triklorometil peroksi dapat menyerang poli asam lemak tidak jenuh pada membran sel sehingga membentuk Reactive Oxygen Species (ROS) yang akhirnya menyebabkan nekrosis sel (Recknagel, Glende , Dolak, Waller, 1989). Perlakuan dengan karbon tetraklorida pada ginjal akan menginduksi peningkatan serum asam urat, urea, dan kreatinin secara signifikan setelah 72 jam pemejanan (Olagunju, Adeneyeb, Fagbohunkac, Bisugac, Ketikuc, Benebod, 2009).

(22)

jarang dilakukan. Selama ini biji Persea americanahanya dibuang saja dan tidak memiliki manfaat sama sekali. Penelitian tentang biji Persea americana yang telah ada pun masih terbatas pada aktivitasnya terhadap profil lemak, kadar gula, dan tekanan darah. Belum ada penelitian tentang aktivitas biji Persea americana sebagai nefroprotektif. Padahal banyak penderita gagal ginjal di Indonesia yang belum menjalani terapi gagal ginjal karena tingginya biaya. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan kemampuan nefroprotektif dekoksi biji Persea americana Mill. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif terapi gagal ginjal, mengingat kandungan biji Persea americana Mill. akan sejumlah senyawa antioksidan. Dipilih dekoksi pada penelitian ini karena dekoksi merupakan cara yang paling sering digunakan oleh masyarakat dalam konsumsi obat tradisional. Sehingga diharapkan dapat diketahui efeknya sesuai dengan yang digunakan pada masyarakat luas.

1. Perumusan masalah

a. Apakah pemberian dekoksi biji Persea americana Mill. dalam jangka panjang memberikan efek nefroprotektif dengan mencegah peningkatan kadar kreatinin pada tikus jantan galur Wistar yang diinduksi karbon tetraklorida?

(23)

c. Berapa besar dosis efektif nefroprotektif dekoksi bijiPersea americanaMill. pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida?

2. Keaslian penelitian

Terdapat sejumlah penelitian yang telah menggunakan ekstrak air biji alpukat. Alhassan, Sule, Atiku, Wudil, Abubakar, Mohammed (2012) menggunakan ekstrak air biji Persea americanasebagai antidiabetik pada tikus yang diinduksi aloksan. Hampir sama dengan penelitian tersebut, Anggraeni (2006) telah menguji aktivitas infusa biji Persea americana terhadap glukosa darah tikus Wistar yang diberi beban glukosa. Efek bijiPersea americanapada tekanan darah dan profil lemak tikus hipertensi telah dilakukan oleh Imafidon dan Amaechina (2010). Ogochukwu, Raymond, dan Stephen juga melakukan penelitian serupa untuk melihat efek biji Persea americanapada tekanan darah tikus Sprague-Dawley. Sedangkan Nwaogikpe dan Braide (2012), melihat aktivitas biji Persea americana pada serum kolesterol di kelinci. Imafidon dan Okunrobo (2009) juga melakukan evaluasi biokimia penggunaan biji Persea americana sebagai obat tradisional. Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh peneliti belum ada penelitian mengenai efek nefroprotektif jangka panjang biji Persea americana Mill. terhadap ginjal tikus jantan galur Wistar yang diinduksi karbon tetraklorida.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

(24)

pemberian dekoksi biji Persea americana Mill. yang memiliki efek nefroprotektif jangka panjang.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dosis biji Persea americana Mill. yang memiliki efek nefroprotektif jangka panjang.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian dekoksi biji Persea americana Mill. terhadap ginjal tikus jantan galur Wistar.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh pemberian dekoksi bijiPersea americanaMill. dalam jangka panjang terhadap kadar serum kreatinin tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.

b. Mengetahui pengaruh pemberian dekoksi bijiPersea americanaMill. dalam jangka panjang terhadap gambaran histologis ginjal tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.

(25)

7 BAB II

PENALAAHAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal (ren, nephros) merupakan bagian penting dari tractus urinaria yang terletak di dalam ruangretroperitonium pada dindingposterior abdomen, di kedua sisicolumna vertebralis, dan di depanmusculus psoas major. Ginjal kanan dan kiri berbentuk seperti kacang dengan skeleton thoracis sebagai pelindung pada bagian atasnya (Paryana dan Wibowo, 2007). Ukuran ginjal bervariasi, dengan panjang antara 6 sampai 7,5 sentimeter dan tebal 1,5 sampai 2,5 sentimeter dengan berat mencapai 140 gram pada orang dewasa. Ginjal bagian kanan jauh lebih pendek dan tebal dibandingkan ginjal bagian kiri. Selain itu, posisi ginjal bagian kanan jauh lebih rendah daripada ginjal bagian kiri karena adanya hepar yang memenuhi bagian kanan (Pearce, 2009).

(26)

pembuluh darah, serabut saraf, serta sedikit jaringan adiposa (Paryana dan Wibowo, 2009).

Gambar 1. Anatomi ginjal (Paryana dan Wibowo, 2009).

(27)

Gambar 2. Bagian nefron ginjal (Sheerwood, 2009)

(28)

Fungsi glomerolus pada pembentukan urine dengan memfiltrasi urine sehingga bebas dari protein plasma. Selanjutnya urine akan menuju tubulus kontortus proksimal dan akan terjadi proses reabsorbsi substansi yang penting bagi tubuh seperti glukosa, asam amino, laktat, vitamin yang larut air, dan elektrolit (Na+, K+, Cl-, dan HCO3-). Setelah itu, urine akan menuju lengkung Henle yang berperan dalam mengatur konsentrasi urine. Terakhir, urine akan menuju tubulus kontortus distal dan tubulus kolektivus berfungsi untuk mereabsorpsi natrium serta sekresi dan eliminasi kalium dari urine (Matfin dan Porth, 2009).

Ginjal menerima suplai darah dari arteri renalis yang bercabang banyak dan membentuk banyak pembuluh halus yang disebut dengan arteriol aferen. Dimana masing-masing dari arteriol aferen ini akan menyuplai darah di setiap nefron. Darah yang tidak terfiltrasi akan meninggalkan glomerolus menuju ke komponen tubular melalui arteriol eferen, yang merupakan gabungan dari kapiler-kapiler glomerolus. Selanjutnya arteriol eferen akan bercabang-cabang membentuk kapiler lain yang dikenal dengan kapiler peritubulus. Fungsinya untuk menyuplai darah ke cairan ginjal dan mempunyai peran penting pada proses perubahan filtrat menjadi urine. Kapiler peritubulus akan menyatu dan membentuk venula yang akan mengalirkan darah kotor dari ginjal melalui vena renalis (Sherwood, 2009).

(29)

aliran darah pada ginjal pada tekanan konstan dalam rentang tekanan darah sistolik (80-200 mmHg). Kedua saraf otonom tersebut menjalankan fungsinya dengan cara mengendalikan diameter pembuluh darah ginjal sehingga aliran darah pada ginjal tetap dapat terjaga pada rentang yang telah ditentukan (Angriani dan Nurachmah, 2011).

Sebagai organ vital di dalam tubuh manusia, ginjal mempunyai beberapa fungsi penting, antara lain :

1. Regulasi ion plasma

Ginjal menjalankan fungsi ini dengan meningkatkan atau menurunkan ekskresi ion-ion spesifik di dalam urine dengan mengatur konsentrasi ion-ion tersebut di dalam plasma. Ion yang konsentrasinya diatur oleh ginjal seperti natrium (Na+), potassium (K+), kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+), klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-), dan fosfat (HPO42-dan H2PO4-).

2. Regulasi volume plasma

Ginjal meregulasi volume plasma dengan mengontrol kecepatan ekskresi air pada urine yang mempunyai efek secara langsung ke volume dan tekanan darah.

3. Regulasi konsentrasi ion hidrogen di plasma (pH)

(30)

4. Regulasi osmolaritas plasma

Ginjal dapat mengatur osmolaritas (konsentrasi solut) dalam plasma karena kecepatan ginjal dalam mengekresikan air terhadap solut relatif bervariasi.

5. Pembuangan produk sisa metabolisme dan substansi lain dari plasma Ginjal membersihkan plasma dari produk sisa dan mengeluarkannya dari tubuh dengan mengeksresikan kotoran dan substansi lain yang tidak berguna seperti urea dan asam urat, food additive, pestisida, atau obat yang masuk dari luar tubuh melaluiurine.

6. Fungsi sekunder

Selain fungsinya sebagai regulator air dan ion, ginjal juga berperan sebagai organ endokrin karena daapt memproduksi hormon erythroprotein (menstimulasi produksi eritrosit di sumsum tulang belakang), renin (untuk produksi angiotensin II yang mengatur tekanan darah).

Selain itu ginjal juga berfungsi untuk mengaktivasi vitamin D3 yang berfungsi untuk mengatur kadar kalsium dan fosfat di dalam darah. Ginjal juga berfungsi untuk menyediakan suplai glukosa bagi plasma dari hasil glukoneogenesis yang mengubah giserol dan asam amino menjadi glukosa.

(Stanfield, 2005). Terdapat beberapa macam kerusakan ginjal, antara lain :

1. Gagal ginjal akut

(31)

adanya trauma pada ginjal, kehilangan darah dalam jumlah besar, adanya racun dan obat-obatan yang merusak ginjal. Kondisi tersebut dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal secara permanen (William James House, 2005).

Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan ginjal antara lain Angiotensin-converting enzyme(ACE)Inhibitor,aminoglikosida, dan NSAIDs. Zat seperti karbon tetraklorida dan logam berat seperti merkuri juga dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal akut ditandai dengan penurunan nilai Glomerular Filtration Rate (GFR), akumulasi buangan nitrogen di dalam darah (azotemia), dan perubahan cairan tubuh dan elektrolit. Terdapat tiga macam gagal ginjal akut, yaitu prerenal, intrarenal, dan postrenal. Prerenal disebabkan adanya penurunan aliran darah ke ginjal, intrarenal disebabkan adanya gangguan pada ginjal itu sendiri. Sedangkan postrenal disebabkan adanya obstruksioutput urine(Matfin dan Porth, 2009).

2. Gagal ginjal kronis

Gangguan tipe ini adalah gangguan yang menyebabkan kegagalan fungsi pada ginjal secara bertahap. Terjadi secara perlahan dan terkadang tidak ada gejala yang nampak dalam jangka waktu yang lama. Orang dengan gagal ginjal kronis lebih beresiko terkena serangan jantung dan stroke. Sebagian besar penyakit ginjal berupa penyakit ginjal kronis (William James House, 2005).

(32)

gagal ginjal kronis menurut National Kidney Foundation dapat dilihat pada Tabel I.

Tabel I.Kelas gagal ginjal kronis menurutNational Kidney Foundation Matfin dan Porth, 2009

Stage Deskripsi

Glomerular Filtration Rate (mL/menit/1,73 m2) 1 Gangguan ginjal dengan nilai GFR

normal atau meningkat ≥90

2 Gangguan ginjal dengan nilai GFR

menurun ringan 60-89

3 Penurunan nilai GFR sedang 30-59

4 Penurunan nilai GFR parah 15-29

5 Gagal ginjal <15

Pada penderita gagal ginjal kronis dapat terjadi kondisi dimana ginjal seseorang dapat sudah hampir tidak bisa atau sudah tidak bisa melakukan fungsinya secara normal sebagai organ eksresi yang disebut sebagai end-stage renal failure. Terapi yang dapat dilakukan terhadap penderita dengan kondisi ini adalah dengan dialisis atau transplantasi ginjal (William James House, 2005).

Untuk mengetahui kondisi ginjal dapat dilakukan pengukuran untuk beberapa nilai yang mencerminkan fungsi ginjal. Parameter yang dapat digunakan untuk menilai baik buruknya fungsi ginjal, antara lain:

1. Blood Urea Nitrogen(BUN)

(33)

daging dengan kandungan protein yang tinggi ataupun protein dalam darah pada kondisi bleeding ulcer, ataupun dehidrasi (Langston, 2011). Nilai normal untuk BUN berkisar antara 6-20 mg/dL. Ada beberapa obat-obatan yang dapat mempengaruhi nilai BUN. Antibiotik seperti golongan sefalosporin, tetrasiklin, vankomisin, aminoglikosida dan beberapa obat diuretika seperti thiazide dan furosemid mampu meningkatkan nilai BUN. Sedangkan obat-obatan yang menurunkan BUN, yaitu kloramfenikol dan streptomisin. Orang-orang dengan gangguan hati nilai BUN-nya mungkin menunjukkan nilai yang rendah meskipun kinerja ginjal normal (Dugdale, 2011).

2. Kreatinin

(34)

melakukan tes ini seperti aminoglikosida, simetidin, obat kemoterapi yng mengandung logam berat, seperti cisplatin, sefalosporin, NSAIDs, trimethoprim (Dugdale, 2011).

3. Urine Spesific Gravity

Uji ini untuk mengukur kemampuan ginjal dalam proses pembentukan urine. Jika ginjal dalam kondisi normal maka dapat memproduksi urine dalam volume besar, maka batas nilai normal uji ini >1,025. Namun, jika terdapat gangguan pada ginjal maka akan menunjukkan nilai berat spesifikurineantara 1,008-1,012 (Langston, 2011). 4. KlirensGlomerular Filtration Rate(GFR)

Untuk mengetahui efektivitas kerja ginjal dalam mengeksresikan berbagai zat perlu dilakukan uji, yang disebut dengan klirens. Secara harafiah, klirens ginjal terhadap suatu zat adalah volume plasma yang dibersihkan secara menyeluruh dari suatu zat oleh ginjal per satuan waktu. Ada beberapa zat yang dapat digunakan untuk menghitung klirens ginjal, yaitu :

a. Klirens inulin

(35)

b. Klirens kreatinin

Penghitungan klirens dengan kreatinin ini jauh lebih banyak dipilih dalam penghitungan klirens karena kreatinin terdapat dalam tubuh manusia, yaitu merupakan produk sampingan metabbolisme otot yang seluruhnya akan dieksresikan oleh glomerolus. Sehingga dalam pengukurannya tidak memerlukan pemberian dengan infus intravena seperti pengukuran klirens dengan insulin. Namun, ada beberapa kekurangan dari pengukuran GFR dengan kreatinin yaitu adanya sekresi sejumlah kecil kreatinin oleh tubulus menyebabkan jumlah eksresi kreatinin pada urine melebihi jumlah yang seharusnya. Tetapi, secara normal ada beberapa kesalahan dalam penghitungan kreatinin plasma yang mengakibatkan kelebihan pengukuran konsentrasi plasma. Sehingga, secara tidak langsung kedua kesalahan ini saling menutupi dan akan tetap didapatkan perkiraan GFR yang masuk akal (Guyton dan Hall, 2008).

c. Klirens PAH (Para Amino Hipurat) untuk menentukan RPF (renal plasma filtrate)

(36)

B. Persea americanaMill. 1. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub kelas : Magnoliidae Ordo : Laurales Famili : Lauraceae

Genus : Persea

Spesies :Persea americanaMill.

(Plantamor, 2012). 2. Sinonim

Laurus persea L., Persea drymifolia Schlecht. & cham., Persea gratissima Gaertn.f., Persea nubigena L.O.Williams, Persea persea (L.) Cockerell (World Agroforesty Center,2013).

3. Nama daerah

(37)

penyebaran agama Hindu melalui orang Spanyol. Di Indonesia sendiri alpukat pada mulanya hanya berkembang di pulau Jawa saja. Namun, kini telah menyebar ke hampir semua provinsi di Indonesia (Rukmana, 1997). 4. Morfologi

Tinggi tanaman ini berkisar antara 9-20 m. Panjang daunnya antara 7-41 cm dengan bentuk elips, oval, atau lanset yang berwarna kemerahan ketika muda dan menjadi agak hijau tua, halus, dan liat ketika sudah dewasa. Bunganya berwarna kuning kehijauan dengan diameter 1-1,3 cm. Buahnya berbiji tunggal dan besar yang dikelilingi oleh daging buah yang tertutup oleh kulit buah. Daging buahnya mengandung 3-30% minyak. Kulit buahnya tipis dan bertekstur. Warna buahnya pada saat matang bisa hijau, ungu, kemerahan, kecoklatan, atau hitam, tergantung varietasnya. Bentuk buahnya dari bulat sampai lonjong dengan berat mencapai 2,3 kg per buahnya (Orwa, Mutua, Kindt, Jamnadass, and Anthony.2009).

5. Kandungan

(38)

6. Khasiat dan kegunaan

Ekstrak air biji alpukat memiliki banyak khasiat terkait kandungan senyawa antioksidannya, seperti flavonoid, saponin, alkaloid, tanin, cyanogenic. Flavonoid merupakan senyawa yang membantu menjaga kolesterol LDL melawan oksidasi dan pengurangan agregasi platelet yang menyebabkan darah menggumpal (Hertog 1995, Fuhrman and Aviram 2001, dan Whitney, Cataldo, Rolfes, 2002). Selain itu flavonoid juga diketahui mempunyai aktivitas anti-alergi, anti-inflamasi, antitrombosis dan sebagai vasopressor karena mekanisme kerjanya pada asam arakhidonat (Bonilla and Gilbertsville 2009). Saponin merupakan komponen steroid yang mempunyai efek sebagai konstrasepsi oral dan diuretik. Oleh karena itu tidak heran jika sejumlah obat diuretik menggunakan saponin sebagai zat aktifnya (Nwaoguikpe dan Braide, 2011). Sedangkan tanin merupakan komponen polifenolik yang mempunyai efek sebagai vasorelaksan, anti iritasi, antimikroba dan antidiare (Westendarp, 2006, dan Stoclet, Chataigneau, Ndiayc, Ock, El-Bedoui, Schini-Karth, Chataigneau, 2004).

(39)

2012) dengan cara menahan laju peningkatan glukosa darah (Anggraeni, 2006). Selain itu, penggunaan ekstrak air biji alpukat juga dapat mengurangi kadar kolesterolol total, trigliserida, dan kolesterol LDL (Nwaoguikpe dan Braide, 2011) karena adanya kandungan betasitosterol dan tokoferol pada biji alpukat. Tokoferol adalah antioksidan alami yang melindungi jaringan dari peroksidasi lipid dengan membersihkan radikal bebas sehingga dapat mencegah oksidasi reseptor LDL untuk memfasilitasi pengambilan kolesterol menuju jaringan (Imafidon dan Amaechina, 2010).

C. Karbon tetraklorida

Gambar 4. Struktur kimia karbon tetraklorida (U.S.Department of Health and Human Services, 2011).

(40)

banyak digunakan sebagai larutan pembersih di rumah dan sebagai pelumas di industri. Sifatnya yang tidak dapat terbakar menyebabkan karbon tetraklorida digunakan sebagai pemadam kebakaran (U.S.Department of Health and Human Services, 2005). Sampai tahun 1978, karbon tetraklorida juga masih digunakan sebagai pembunuh insektisida (Daft 1991). Kini, karbon tetraklorida sudah tidak digunakan pada skala rumah tangga dan hanya digunakan untuk keperluan industri (U.S.Department of Health and Human Services, 2005).

Ada beberapa senyawa dari alam yang dapat menginduksi toksisitas pada organ, salah satunya adalah karbon tetraklorida (CCl4). Karbon tetraklorida nantinya akan dimetabolisme oleh sitokrom P450 menjadi triklorometil (CCl3 ) yang sangat reaktif, danphosgeneyang menyebabkan peroksidasi lemak, merusak susunan membran sel dan menyebabkan kematian sel (Basu, 2003). Pada kondisi kaya oksigen, triklorometil akan diubah menjadi triklorometil peroksi yang lebih reaktif (US Enviromental Protection Agency, 2010). Adanya radikal bebas ini akan berikatan kovalen dengan makromolekul seluler untuk membentuk asam nukleat, protein dan lipid (Recknagel dan Glende, 1973). Ikatan antara triklorometil dengan makromolekul ini yang disebut dengan haloalkilasi (Dianzani, 1984).

(41)

1989). Mekanismenya adalah dengan mengambil hidrogen dari metilen karbon diantara ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh yang akan membentuk radikal bebas lemak. Adanya penataulangan ikatan rangkap menjadi ikatan terkonjugasi akan mengubah posisi radikal elektron menjadi berdampingan dengan karbon tetrahedral (gambar 5). Reaksi tersebut dan reaksi antara radikal bebas karbon dengan oksigen secara molekuler menghasilkan radikal bebas peroksilipid. Jika donor hidrogen berupa asam lemak tidak jenuh maka dapat terbentuk radikal peroksilipid. Namun, jika donor hidrogen berupa radikal bebas hidrokarbon sederhana, maka akan terbentuk alkana (Klaasen, 1996). Peroksidasi lipid menyebabkan hilangnya inegritas membran (Recknagel et al., 1989) dan produksi aldehida yang dapat menyerang protein dan menyebabkan mutasi DNA (Comporti, 1985; Comporti, Benedetti, Ferrali, 1984). Peningkatan malondialdehida (MDA) yang mengindikasikan tingkat peroksidasi lipid digunakan sebagai acuan untuk mengidentifikasi radikal bebas yang menyebabkan kerusakan pada sel (Janero, 1990).

(42)

(antioksidan, konsentrasi glutation intrasel, superoksida dimutase (SOD), dan katalase (CAT)) akan rusak dan tidak diproduksi lagi (Szymonik-Lesiuk, Czechowska, Stryjecka-Zimmer, Slomka, Madro, Celinski, Wielosz, 2003).

Gambar 5. Mekanisme peroksidasi lipid

(US Enviromental Protection Agency, 2010).

(43)

Ucar, dan Ozturk (2003) pemejanan karbon tetraklorida pada ginjal tikus Sprague-Dawley secara subkutan menunjukkan hasil histopatologi berupa nekrosis fokal glomerolus, epitel vaskuolisasi atau nekrosis, dan pelepasan protein. Jumlah sisitolik fosfolipase A2 meningkat secara signifikan pada korteks dan medula ginjal pada tikus mengalami sirosis dan ascites terinduksi karbon tetraklorida. Peningkatan fosfolipase A2 meningkatkan produksi prostaglandin pada tikus yang terkena sirosis (Niederberger, Gines, Martin, 1998). Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kerusakan ginjal karena induksi karbon tetraklorida bersifat tak terbalikkan karena menyebabkan nekrosis.

D. Dekoksi

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia, tanpa terkena cahaya matahari secara langsung. Air, eter, etanol, atau campuran etanol dan air dapat digunakan sebagai cairan penyari dalam pembuatan ekstrak (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2010). Pada akhir proses ekstraksi semua atau hampir pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2005).

Dekoksi merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan-bahan herbal dengan air sebagai pelarut pada suhu 90◦C selama 30 menit

(44)

E. Keterangan Empiris

(45)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

a. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi dosis pemberian dekoksi bijiPersea americanaMill.

b. Variabel tergantung

Variabel tergantung penelitian ini adalah kadar kreatinin dan gambaran histologis ginjal tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida setelah pemberian jangka panjang dekoksi biji Persea americanaMill.

2. Variabel Pengacau

a. Variabel Pengacau Terkendali

(46)

pemberian yang sama secara per oral, pemberian karbon tetraklorida secara intaperitoneal pada hari ke-7, dan bahan uji yang digunakan berupa bijiPersea americana yang diperoleh dari daerah Padang, Sumatera Barat diambil pada bulan Januari 2013.

b. Variabel Pengacau Tak Terkendali

Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi patologis tikus jantan galur Wistar yang digunakan.

3. Definisi Operasional

a. DekoksiPersea americanaMill.

Dekoksi Persea americana Mill.diperoleh dengan mengekstrak 8,00 g serbuk kering biji Persea americanaMill.dalam 100,0 ml air pada suhu 900C selama 30 menit sehingga diperoleh dekoksi biji Persea americana Mill.. Sebelumnya serbuk dibasahi terlebih dahulu dengan 16 mLaquadest.

b. Kadar kreatinin

Kadar kreatinin dalam darah adalah jumlah kreatinin (mg) dalam tiap satu desiliter (dL) darah subjek uji.

c. Histologi ginjal

(47)

d. Pemberian jangka panjang.

Didefinisikan sebagai pemberian dekoksi biji Persea americana Mill. satu kali sehari selama enam hari berturut-turut pada waktu yang sama secaraper oral.

C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama

a. Hewan uji yang digunakan yaitu tikus jantan galur Wistar dengan umur 2-3 bulan dan berat badan 150-250 g yang diperoleh dari Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Biji Persea americana yang diperoleh dari daerah Padang, Sumatera Barat pada bulan Januari 2013.

2. Bahan kimia

a. Bahan nefrotoksin yang digunakan adalah karbon tetraklorida yang diperoleh dari laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta merk E. Merck, Darmstadt, Germany.

b. Pelarut untuk dekoksi digunakan aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

c. Kontrol negatif menggunakanOlive oilBertolli®

(48)

e. Kontrol serum Kreatinin Cobas® (PreciControl ClinChem Multi 2) Roche/Hitachi analyzer

f. Reagen serum kreatinin

D. Alat atau Instrumen Penelitian 1. Alat pembuatan dekoksi bijiP. americana

Panci lapis enamel, termometer,stopwatch, Bekerglass, gelas ukur, cawan porselen, batang pengaduk, penangas air, timbangan analitik, kain flannel, moisture balance.

2. Alat uji nefroprotektif

Seperangkat alat gelas berupa Bekker glass, gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, pipet tetes, batang pengaduk (Pyrex Iwaki Glass®). Timbangan elektrik Mettler Toledo®, sentrifuge Centurion Scientific®, vortexGenie Wilten®,spuit per oral dan syringe 3 cc Terumo®,spuit ip. dansyringe 1 cc Terumo®, pipa kapiler, tabungEppendorf, Microlab 200 Merck®.

E. Tata Cara Penelitian 1. Pengumpulan bahan

(49)

2. Determinasi tanamanPersea americanaMill.

Determinasi tanaman Persea americana Mill. dilakukan dengan mencocokan ciri-ciri makroskopis dan mikrokopis serbuk biji Persea americana Mill. yang diperoleh dari Sumatra Barat dengan serbuk biji yang diserbuk sendiri sehingga telah diketahui pasti merupakan serbuk biji Persea americana Mill. Pembuatan serbuk biji Persea americana Mill. dilakukan dengan cara mengambil biji Persea americana Mill., dikupas kulit arinya, lalu dicacah kasar, dikeringkan pada suhu ruangan setelah itu dikeringkan dengan oven agar biji benar-benar kering. Setelah kering lalu dihaluskan hingga menjadi serbuk. Lalu diayak menggunakan ayakan dengan nomor mesh 40.

Perbandingan yang dilakukan meliputi perbandingan secara makroskopik dan mikroskopik dengan cara mencocokkan biji Persea americanaMill. yang diserbuk sendiri dengan bijiPersea americanaMill.yang didapatkan.

3. Penetapan kadar air serbuk bijiPersea americanaMill.

(50)

4. Pembuatan dekoksi bijiPersea americanaMill.

Dekoksi P. americana diperoleh dengan mengekstrak 8,00 g serbuk kering biji P. americana dalam 100,0 ml air pada suhu 900C selama 30 menit pada panci enamel (Badan POM RI, 2010). Sebelumnya serbuk dibasahi terlebih dahulu dengan 16 mL aquadest. Kemudian hasil dekok disaring dengan menggunakan kain flanel hingga mencapai volume 100,0 mL. Jika volume kurang dapat ditambahkan air secukupnya lalu disaring lagi hingga volumenya mencapai 100,0 mL.

5. Penetapan dosis dekoksi Persea americana

Dasar penetapan peringkat dosis adalah bobot tertinggi tikus (350 gBB) dan pemberian cairan secara per oral 5 mL. Penetapan dosis tertinggi dekoksi Persea americanaadalah sebagai berikut:

D x BB = C x V

D x 350 gBB = 8 mg/mL x 5 mL D = 1142,86 mg/kg BB

Sedangkan, dosis terendah didasarkan pada penggunaan di masyarakat yaitu kurang lebih 1 sendok teh serbuk biji P. americana Mill. Dosis pada perlakuan ini adalah 4 g/70 kgBB manusia. Konversi manusia (70 kg ke tikus 200 g) = 0,018.

Dosis untuk 200 g tikus = 0,018 x 4000 mg = 72 mg/200 gBB tikus Dosis untuk 1 g tikus = 0,36 mg/gBB

= 360 mg/kgBB

(51)

6. Pembuatan larutan karbon tetraklorida

Karbon tetraklorida dibuat dalam konsentrasi 50%, dengan cara melarutkan 50 g karbon tetraklorida ke dalamolive oilsebanyak 50 ml (Janakat dan Al-Merrie ,2002).

7. Uji pendahuluan

a. Penetapan dosis nefrotoksin karbon tetraklorida

Dosis nefrotoksik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Moneim dan El-Deib (2012) dan data orientasi yang dilakukan, dimana pada dosis karbon tetraklorida 2 ml/kgBB dapat menyebabkan kerusakan ginjal dengan kenaikan kadar kreatinin serum.. Orientasi dilakukan dengan menginjeksikan 1 ml/kgBB dan 2 ml/kgBB larutan karbon tetraklorida dalam olive oil (1:1) secara intraperitonial. Kemudian darah diambil melalui sinus orbitalismata tikus, dan dilihat mana yang mengalami peningkatan kadar serum kreatinin paling signifikan. Dosis yang meningkatkan kadar serum kreatinin lebih signifikan yang digunakan sebagai dosis nefrotoksin karbon tetraklorida.

b. Penetapan waktu pencuplikan darah

(52)

membandingkan kadar serum kreatinin yang didapatkan dengan kadar serum kreatinin normal yaitu 0,2-0,8 mg/dL (Malole dan Pramono, 1989).

8. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji

Penelitian ini membutuhkan tiga puluh ekor tikus yang dibagi secara acak ke dalam enam kelompok perlakuan, masing-masing sejumlah lima ekor tikus. Kelompok I (kontrol nefrotoksin) diberi larutan karbon tetraklorida : olive oil(1:1) dosis 2 ml/kgBB secara i.p. Kelompok II (kontrol negatif) diberi olive oil dosis 2 ml/kgBB secara i.p. Kelompok III (kontrol ekstrak) diberi dekoksi bijiPersea americanaMill. dosis 1142,86 mg/kgBB selama enam hari berturut-turut secara per oral. Kelompok IV, V dan VI merupakan kelompok perlakuan yang diberi dekoksi biji Persea americana Mill. enam hari berturut-turut dengan dosis 360,71; 642,06; dan 1142,86 mg/kgBB. Pada hari ke-7 kelompok IV-VI diberi larutan karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB secara intraperitonial . Setelah 48 jam diambil darahnya melaluisinus orbitalis mata, lalu diukur kadar kreatinin serumnya.

(53)

9. Pembuatan preparat histologis

Ginjal tikus yang telah diawetkan pada formalin 10% selanjutnya dibuat preparat histologis di Laboratorium Patologi Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

10. Pembuatan serum

Darah diambil melalui bagian sinus orbitalis mata tikus lalu ditampung dalam tabung Eppendorf. Darah didiamkan selama kurang lebih 15 menit, kemudian disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm, lalu diambil bagian supernatannya.

11. Penetapan kadar serum kontrol dan serum kreatinin

Digunakan Mikrolab 200 Merck® untuk menganalisis kadar kreatinin serum. Pengukuran aktivitas kreatinin ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

a. Penetapan aktivitas serum kontrol

Dilakukan dengan cara mencampur 1000 μ L reagen I, kemudian dicampurkan 50 μ L serum kontrol, didiamkan selama lima menit. Setelah

itu, ditambahkan 250 μ L reagen II dan dibaca aktivitasnya setelah satu

menit.

b. Penetapan kadar kreatinin serum

Dilakukan dengan cara mencampur 1000 μ L reagen I, kemudian

dicampurkan 50μ L serum, didiamkan selama lima menit. Setelah itu,

(54)

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data aktivitas kreatinin serum diuji dengan Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui distribusi data, dan untuk analisis variansi digunakan Levene’s test untuk melihat homogenitas varian antar kelompoknya. Jika distribusi data normal dan homogen maka dilanjutkan dengan analisis variansi pola searah (one way ANOVA) untuk mengetahui perbedaan masing-masing kelompok dengan taraf kepercayaan 95%. Kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk melihat perbedaan antar kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05). Bila data tidak homogen atau tidak normal distribusinya maka dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis untuk mengetahui perbedaan kadar kreatinin serum antar kelompok. Kemudian dilanjutkan uji denganMann Whitneyuntuk melihat perbedaan tiap kelompok.

Perhitungan persen efek nefroprotektif terhadap hepatotoksin karbon tetraklorida diperoleh dengan rumus:

( ) ( )

(55)

37 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penyiapan Bahan 1. Hasil determinasi tanaman

Penelitian ini menggunakan tanamanPersea americanaMill. Sebagai bahan utama, dengan biji sebagai bagian dari tanaman yang dieksplorasi. Tujuan dilakukannya determinasi tanaman ini adalah untuk bahan uji yang digunakan benar-benar biji Persea americana Mill. sehingga nantinya tidak ada kesalahan dalam penyiapan bahan. Determinasi ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Kampus III Universitas Sanata Dharma Paingan.

Determinasi dilakukan dengan cara membandingkan serbuk jadi biji Persea americana Mill. yang didapatkan dari Padang dengan serbuk biji Persea americanaMill. yang diserbuk sendiri. Hasil determinasi menunjukkan bahwa serbuk biji yang digunakan benar-benar serbuk biji Persea americana Mill.

2. Penetapan kadar air serbuk kering bijiPersea americana Mill.

(56)

Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan RI (1995) adalah serbuk yang memiliki kandungan air kurang dari 10%.

Untuk melakukan uji ini digunakan alat moisture balance dengan metode Gravimetri. Serbuk yang akan digunakan dipanaskan pada suhu 110˚

selama 15 menit. Tujuan dipanaskan pada suhu 105˚ agar air yang terkandung

dalam biji Persea americana Mill. dapat menguap. Waktu 15 menit diasumsikan kadar air dalam serbuk bijiPersea americana Mill. telah menguap hingga memenuhi persyaratan parameter standarisasi non spesifik. Setelah itu dilakukan perhitungan terhadap kadar air yang diteliti. Hasil perhitungan menunjukkan kadar air dalam serbuk biji Persea americana Mill. sebesar 7,4%. Hal ini menujukkan serbuk biji Persea americanaMill. Memenuhi salah satu syarat serbuk yang baik.

B. Uji Pendahuluan 1. Penentuan dosis nefrototoksin karbon tetraklorida

Karbon tetraklorida digunakan sebagai toksin yang akan merusak ginjal hewan uji. Tujuan dilakukan penentuan dosis karbon tetraklorida untuk mengetahui pada dosis berapa karbon tetraklorida dapat menyebakan kerusakan pada ginjal tikus yang ditandai dengan peningkatan nilai kreatinin. Kreatinin digunakan sebagai indikator perubahan biokimia ginjal karena kreatinin cenderung tidak dipengaruhi olehintakeprotein seperti ureum.

(57)

berupa nekrosis sel tubulus ginjal (Olagunju et al., 2009). Dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah 2 mL/kg BB, dengan konsentrasi karbon tetraklorida 50%. Dosis ini mengacu pada penelitian yang dilakukan Moneim dan El-Deib (2012), dengan pemberian karbon tetraklorida dosis 2ml/kgBB terjadi kenaikan kadar kreatinin serum tikus hingga satu setengah kali dibanding kadar kreatinin kontrol. Hasil orientasi yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa dosis karbon tetraklorida yang menyebabkan kenaikan kadar kreatinin serum tikus adalah pada dosis 2 ml/kgBB.

2. Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji

Tujuan penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji adalah untuk mengetahui jangka waktu yang dibutuhkan oleh karbon tetraklorida untuk menimbulkan ketoksikan maksimal pada ginjal, yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai kreatinin pada waktu tertentu. Setelah karbon tetraklorida dosis 2 mL/kg BB diinjeksikan secara intraperitonial lalu darah diambil dari sinus orbitalis mata dengan selang waktu 0, 24, 48, dan 72 jam. Hasil uji berupa kadar kreatinin disajikan pada tabel II, dan gambar 6.

Tabel II.Rata-rata kadar serum kreatinin tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48, dan 72 jam, n=4

Selang waktu (jam)

Purata kadar serum kreatinin ± SD (mg/dL)

0 0,35 ± 0,06

24 0,53 ± 0,10

48 1,00 ± 0,14

72 0,45 ± 0,06

(58)

menunjukkan nilai signifikansi 0,002 (<0,05). Hasil tersebut menunjukkan adanya perbedaan di antara keempat kelompok sampel. Untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan antar kelompok ditampilkan data Pairwise Comparisons pada tabel III.

Gambar 6. Diagram batang rata-rata aktivitas serum kreatinin tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada selang

waktu 0, 24, 48, dan 72 jam

Tabel III.Hasil ujiPairwise Comparisons aktivitas serum kreatinin tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada selang waktu 0,

24, 48, dan 72 jam

Selang waktu 0 24 48 72

0 TB B TB

24 TB B TB

48 B B B

72 TB TB B

Keterangan :

(59)

Berdasarkan tabel II terlihat bahwa peningkatan kadar kreatinin paling tinggi terjadi pada jam ke-48 yaitu sebesar 1,00 ± 0,141 mg/dL, dan tabel III menunjukkan perbedaan yang berarti antara jam ke-0 dan 48, yang berarti ada perubahan kadar serum kreatinin secara signifikan dari jam 0 dan jam ke-48. Oleh karena itu jam ke-48 dipilih sebagai waktu pencuplikan darah setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kg BB, karena menurut Malole dan Pramono (1989) kadar serum kreatinin tikus normal yaitu 0,2-0,8 mg/dL, sedangkan purata kadar serum kreatinin pada jam ke-48 yaitu 1,00 ± 0,141 mg/dL.

3. Penetapan lama pemejanan dekoksi bijiPersea americanaMill.

Penetapan lama pemejanan dekoksi biji Persea americana Mill. pada penelitian ini didasarkan pada penelitian Olaguju et al. (2009), yaitu dengan memberikan ekstrak tanaman yang ingin kita uji selama enam hari secara per oral lalu pada hari ke-7 diberikan karbon tetraklorida sebagai nefrotoksin secaraintraperitonial.

4. Penetapan dosis dekoksi bijiPersea americanaMill.

(60)

americana Mill. yang dapat dipejankan secara oral pada tikus 80 mg/ml, sehingga dosis maksimalnya adalah 1142,86 g/kgBB. Selanjutnya ditentukan tiga tingkatan dosis dekoksi biji Persea americanaMill., yaitu 360,71; 642,06; dan 1142,86 mg/kgBB.

C. Hasil Uji Efek Nefroprotektif Dekoksi BijiPersea americanaMill. Gambaran histologi dan penurunan kadar kreatinin pada tikus jantan galur Wistar setelah pemberian dekoksi biji Persea americana Mill. secara per oral satu kali sehari selama enam hari berturut-turut digunakan sebagai evaluasi efek nefroprotektif dekoksi biji Persea americana Mill. Hasil yang didapat selanjutnya dianalisis normalitasnya dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov, dan didapatkan hasil bahwa distribusi data normal. Levene’s test juga menunjukkan bahwa distribusi data homogen. Oleh karena itu, uji dilanjutkan dengan menggunakan one way ANOVA. Hasil uji berupa serum kreatinin praperlakuan dekoksi biji Persea americana Mill. pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida disajikan pada tabel IV dan gambar 7.

Tabel IV.Purata ± SD serum kreatinin praperlakuan dekoksi bijiPersea americanaMill. Pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida, n=5 Kelompok Perlakuan Purata ± SD serum

kreatinin (mg/dL)

% efek nefroprotektif I Kontrol nefrotoksin karbon

tetraklorida 2mL/kgBB 1,00 ± 0,12 -II Kontrol negatifolive oil2mL/kgBB 0,58 ± 0,04

-III DBPA 1142,86 mg/kgBB 0,62 ± 0,08

-IV DBPA 360,71 mg/kgBB + karbon

tetraklorida 2mL/kgBB 0,58 ± 0,04 100% V DBPA 642,06 mg/kgBB + karbon

tetraklorida 2mL/kgBB 0,62 ± 0,04 90,5% VI DBPA 1142,86 mg/kgBB + karbon

tetraklorida 2mL/kgBB 0,78 ± 0,04 52,4% Keterangan :

(61)

Gambar 7. Diagram batang purata serum kreatinin praperlakuan dekoksi bijiPersea americanaMill. pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida

(62)

Tabel V. Hasil ujiScheffeserum kreatinin praperlakuan dekoksi bijiPersea americanaMill. Pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida

Kelompok

B = Berbeda bermakna (p≤0,05) TB = berbeda tidak bermakna (p>0.05) DBPA = dekoksi bijiPersea americanaMill.

(63)

Persea americana Mill., serta kelompok dosis 360,71; 642,06; dan 1142,86 mg/kgBB. ditampilkan pada tabel VI.

Tabel VI.Hasil pemeriksaan histologis ginjal pada keenam kelompok perlakuan Kelompok Perlakuan Gambaran Histologis Ginjal

Kontrol negatifolive oil Terdapat perubahan struktural berupa degenerasi hidropik epitel tubulus pada satu tikus dan intratubular hialin cast.

Kontrol Nefrotoksin Gambaran sel ginjal normal, tidak terdapat perubahan patologik spesifik.

DBPA 1142,86 mg/kgBB Gambaran sel ginjal normal, tidak terdapat perubahan patologik spesifik.

DBPA 360,71 mg/kgBB + karbon tetraklorida

2mL/kgBB

Terdapat perubahan berupa nefritis interstitialis pada dua tikus yang disertai dengan nekrosis epithel tubulus maupun radang di pelvis renis, dan intratubular hyalin castpada satu tikus lain.

DBPA 642,06 mg/kgBB + karbon tetraklorida

2mL/kgBB

Terdapat perubahan berupa dilatasi lumen tubulus pada kedua tikus dan satu tikus yang lain tidak terjadi perubahan apapun.

DBPA 1142,86 mg/kgBB + karbon tetraklorida

2mL/kgBB

Terdapat perubahan struktural pada satu tikus berupa degenerasi hidropik dan intratubular hyalin cast, sedangkan pada dua tikus lain tidak terdapat perubahan apapun.

Keterangan :

DBPA = dekoksi bijiPersea americanaMill.

1. Kontrol negatif (olive oil2 mL/kgBB)

(64)

Tabel VII.Rata-rata serum kreatinin tikus setelah pemberianolive oil dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0 dan 48 jam, n=5

Selang waktu (jam) Purata kadar serum kreatinin ± SD (mg/dL)

0 0,46 ± 0,06

48 0,58 ± 0,05

Gambar 8. Diagram batang rata-rata serum kreatinin tikus setelah pemberianolive oildosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0 dan 48 jam

(65)

peningkatan tersebut masih dalam range normal. Sebagai data pendukung disertakan gambaran histologis ginjal tikus yang disajikan pada gambar 9 dan 10.

Gambar 9. Gambaran histologi ginjal tikus kontrol olive oildosis 2 mL/kgBB berupa DHET

Gambar 10. Gambaran histologi ginjal kontrololive oildosis 2 mL/kgBB berupa ITC

Ada perbedaan hasil antara kadar serum kreatinin dan hasil gambaran histologis ginjal tikus. Kadar serum kreatinin masih dalam rangenormal (0,58

DHET

(66)

± 0,05 mg/dL), sedangkan gambaran histologis ginjal ini menunjukkan adanya degenerasi hidropik epitel tubulus (DHET) saja (gambar 9) maupun yang disertai denganintratubular hialin cast(ITC) (gambar 10). Perbedaan hasil ini dapat disebabkan adanya perbedaan sistem imun tikus yang menyebabkan perbedaan efek dari paparan zat asing yang masuk. Selain itu bisa juga terjadi karena gangguan metabolisme lain yang tidak spesifik, seperti pengaruh lingkungan atau ruangan yang kotor sehingga menimbulkan penyakit bagi hewan uji (Agustiyanti, 2008). Namun, pada prinsipnya DHET atau hydrops merupakan gangguan yang reversibel karena hydrops merupakan kondisi dimana sel menerima cairan lebih banyak dari yang seharusnya yang mengakibatkan bengkaknya sitoplasma (Jones, Ronald, Norval, 2006). Adanya akumulasi cairan disebabkan karena kerusakan pompa Na+/K+ ATPase keluar dan masuk sel ginjal. Karena rusaknya membran sel ginjal, maka ion natrium yang harusnya dipompa keluar ketika ion kalium masuk banyak yang tertinggal di dalam sel dan akan menyebabkan osmosis sehingga cairan yang ada di sekitar sel ginjal akan merembes masuk ke dalam sitoplasma dan menyebabkan bengkaknya sel (Cheville 2006, Carlton, dan McGavin 1995). ITC yang digambarkan sebagai akumulasi protein yang dapat berupa butiran hialin pada sitoplasma merupakan indikasi peningkatan penyerapan protein dari isi lumen tubulus oleh epitel tubulus distal dan proksimal (Joneset al.2006).

2. Kontrol nefrotoksin karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB

(67)

karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB terhadap ginjal tikus dan sebagai patokan analisis efek nefroprotektif dekoksi biji Persea americana Mill. Uji dilakukan dengan cara menginjeksikan karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB secara intraperitonial pada hari ke-7 perlakuan, setelah 48 jam darah diambil dari sinus orbitalis mata tikus. Penentuan dosis dan waktu pencuplikan ini didasarkan pada orientasi yang telah dilakukan. Data mengenai perbandingan rata-rata kadar serum kreatinin tikus yang diinduksi karbon tetraklorida dan diberikan olive oil dosis dosis 2 mL/kgBB 48 jam ditampilkan pada tabel IV dan gambar 11.

(68)

Gambar 11. Histologi ginjal tikus kontrol karbon tetraklorida dosis 2ml/kgBB

Kelima tikus yang diinduksi karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB, diambil tiga diantaranya secararandomuntuk dilakukan histologi. Ketiga tikus yang dilakukan histologi tidak menunjukkan adanya perubahan patologi secara spesifik. Hal ini dapat disebabkan kerusakan yang terjadi belum mencapai perubahan struktural, walaupun sudah terjadi perubahan biokimia berupa peningkatan kadar kreatinin. Menurut Donatus (2001), respon biokimia muncul sebagai respon tubuh akan paparan racun. Salah satu contoh respon biokimia adalah peningkatan kadar kreatinin. Namun, respon biokimia tidak selalu disertai dengan respon seluler seperti perubahan seluler ketika paparan yang terjadi tidak sampai tahap struktural.

Pada pemejanan dengan karbon tetraklorida ginjal merupakan organ sasaran sekunder, sedangkan organ sasaran utamanya adalah hati. Jika ada kerusakan pada ginjal maka itu disebabkan adanya kerusakan pada hati yang

glomerolus

(69)

sangat parah hingga menyerang ke bagian ginjal. Oleh karena itu dapat dipertimbangkan untuk adanya penelitian lanjutan mengenai obat yang menimbulkan toksisitas dengan sasaran utamanya ginjal, seperti gentamicin. 3. Kontrol dekoksi bijiPersea americanaMill.

Tujuan dilakukannya kontrol dekoksi biji Persea americana Mill. adalah untuk melihat ada tidaknya pengaruh dekoksi biji Persea americana Mill. pada kadar serum kreatinin tikus. Sehingga jika ada peningkatan kadar serum kreatinin peningkatan tersebut benar-benar disebabkan karena induksi karbon tetraklorida bukan karena ada interfensi dari dekok yang digunakan. Dosis yang digunakan yaitu dosis tertinggi dekoksi biji Persea americanaMill. 1142,86 mg/kgBB.

(70)

perbedaan yang bermakna (Tabel V), yang berarti antara kontrol karbon tetraklorida dan kontrol dekoksi ini ada perbedaan kadar serum kreatinin yang signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian dekoksi biji Persea americana Mill. saja tidak menyebabkan kenaikan serum darah kreatinin pada tikus (gambar 7) .

Gambaran histologis juga menunjukkan tidak ada perubahan patologi secara spesifik (gambar 11). Sehingga pemaparan dekoksi biji Persea americana Mill. benar-benar tidak mempengaruhi ginjal hewan uji baik secara biokimia maupun seluler.

4. Kelompok perlakuan dekoksi biji Persea americana Mill. Dosis 360,71 mg/kgBB, 642,06 mg/kgBB, dan 1142,86 mg/kgBB pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB

Ada tidaknya penurunan kadar serum kreatinin tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida setelah praperlakuan dengan dekoksi biji Persea americana Mill. merupakan evaluasi yang dilakukan terhadap efek nefroprotektif dekoksi bijiPersea americanaMill.

(71)

gambar 12-14. Semakin meningkatnya dosis justru kadar serum kreatinin juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan adanya mekanisme pro oksidan sebagai efek aktivitas penggunaan dosis tinggi jangka panjang antioksidan. Sehingga, antioksidan yang merupakan donor elektron bebas jika terlalu banyak atau terlalu lama terpapar ke sel maka akan mengoksidasi sel-sel itu sendiri yang ditandai dengan penurunan kadar serum kreatinin pada dosis yang tinggi.

(72)

Sebagai data pendukung akan disajikan gambaran histologis dari kelompok perlakuan dengan dosis 360,71; 642,06; dan 1142,86 mg/kgBB pada gambar 12-14.

Gambar 12. Gambaran histologis ginjal tikus perlakuan Dosis 360,71

mg/kgBBtikus 1 berupa (a) NET karyolisis (b) NI (c) NET piknosis (d) Inti sel normal

Gambar 13. Gambaran histologis ginjal tikus perlakuan Dosis 360,71

mg/kgBBtikus 1 berupa radang pelvisrenal(RPR) a

b

c d

(73)
(74)

patologis sebelum uji ini berlangsung (sebelum dipejani dengan karbon tetraklorida). Dosis 360,71 mg/kgBB setelah diuji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna dengan kontrol negatif (olive oil) dan kadar serum kreatinin yang normal (0,58±0,05 mg/dL). Namun, pada gambaran histologi ginjalnya ditemukan sejumlah kerusakan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya gangguan patologis terhadap hewan uji karena sistem imun atau paparan lingkungan, atau pencuplikan untuk histologi yang dilakukan tepat mengenai bagian yang rusak.

Gambar 14. Gambaran histopatologi tikus perlakuan dekoksi biji

Persea americanaMill. Dosis 642,06 mg/kgBB berupa dilatasi lumen tubulus

Ketiga tikus yang dilakukan pemeriksaan histologi pada perlakuan dekoksi biji Persea americana Mill. dosis 642,06 mg/kgBB, dua diantaranya menunjukkan adanya dilatasi/ pelebaran beberapa lumen tubulus (gambar 14)

(75)

yang ditandai dengan memipih/memendeknya bentuk sel epitel tubulus. Sedangkan satu yang lain (gambar 11) menunjukkan tidak ada perubahan patologis pada ginjalnya. Dilatasi disebabkan karena pemejanan dengan karbon tetraklorida yang bersifat nefrotoksik. Adanya dilatasi dapat menyebabkan sel-sel epitel tubulus menjadi tipis. Bila kadar serum kreatinin pada perlakuan dengan dekoksi biji Persea americana Mill. menunjukkan hasil yang normal tetapi tidak dengan gambaran histologisnya. Adanya gangguan patologis terhadap hewan uji karena sistem imun atau paparan lingkungan, atau pencuplikan untuk histologi yang dilakukan tepat mengenai bagian yang rusak juga dapat menjadi alasan perbedaan hasil antara kadar kreatinin dosis 642,06 mg/kgBB yang masih dalam range normal (0,78±0,05 mg/dL), sedangkan gambaran histologis menunjukkan adanya kerusakan jaringan.

(76)

mitokondria dan retikulum endoplasma sehingga kedua organel tersebut bengkak. Pembengkakan yang terjadi secara mikroskopis terlihat sebagai ruang-ruang jernih di dekat inti. Pembengkakan ini bersifat reversible(Cheville 1999). Namun, menurut Spector dan Spector (1993) degenerasi hidropik merupakan awal dari terjadinya nekrosa tubulus yang dipicu oleh stres oksidatif yang disebabkkan oleh zat toksik seperti karbon tetraklorida. Intratubular hyalin cast (ITC) digambarkan sebagai akumulasi protein berupa butiran hialin pada sitoplasma yang disebabkan kapiler glomerolus yang berubah menjadi permeabel terhadap plasma protein sehingga protein dapat masuk ke dalam mesangium hingga ruang Bowman (Cunningham, 2002). Jika dibandingkan dengan kadar serum kreatininnya, hasilnya tidak jauh berbeda, yang berarti kemungkinan terjadi kesalahan pada saat pencuplikan sampel kecil. Kadar serum kreatinin dosis 1142,86 mg/kgBB sebesar 0,78±0,05 mg/dL. Nilai ini merupakan batas atas menurut Malole dan Pramono (1989) karena rangekadar serum keatinin normal tikus menurut Malole dan Pramono (1989) adalah 0,2-0,8 mg/dL, namun pada analisis efek nefroprotektif masih menunjukkan adanya efek sebesar 52,4%.

(77)

Mill. ini sangat mungkin dikembangkan dan diformulasikan menjadi obat baru, tetapi sebelumnya perlu dilakukan uji-uji lain untuk menegaskan keamanan dekoksi biji Persea americana Mill. ini. Uji yang dapat dilakukan berupa uji toksisitas, uji pre-klinik dan uji klinik.

Gambar

Tabel I.Kelas gagal ginjal kronis menurut
Gambar 1.  Anatomi ginjal
Gambar 2. Bagian nefron ginjal
Tabel I. Kelas gagal ginjal kronis menurut National Kidney Foundation
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : bahwa dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan bebas Fiskal Luar Negeri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak

(2) Format Surat Pernyataan Penerima Bantuan Operasional Pondok Pesantren sebagaimana terlampir dalam Petunjuk Teknis ini yang menyatakan kesediaan penggunaan dana Bantuan

FKTP dapat menjadi teladan untuk FKTP di sekitarnya serta menjadi tempat pembelajaran ( benchmark ) bagi tenaga kesehatan dan FKTP lainnya. FKTP dapat menjadi salah satu

AD\'IIRTISEMENT ON CUSTOMER SAVING DECISION AT BTN

[r]

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana pada Program Studi S1 Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas

• Untuk mengerjakan boneka memerlukan waktu 1jam pekerjaan tukang kayu dan 2 jam tukang poles sedang untuk kereta api diperlukan 1jam pekerjaan tukang kayu dan 1 jam

Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari Perspektif Konseling