PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN
DALAM RANGKA MEMBANGUN HIDUP IMAN KELUARGA MUDA DI PAROKI SANTO MARKUS MELAK KUTAI BARAT
KALIMANTAN TIMUR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Susantina NIM : 061124056
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Ayah dan ibu ku tercinta, kakak dan adikku yang ku sayang,
keluarga-keluarga Katolik yang ada di Paroki St. Markus Melak Kutai Barat
dan keluarga-keluarga yang berada di Muara Batuq
v
MOTTO
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai
kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."
(Mat 19:6;6:34;)
Jangan pernah menyerah untuk mencoba dan Jangan pernah mencoba untuk
viii
ABSTRAK
Judul skripsi adalah “PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN DALAM RANGKA MEMBANGUN HIDUP IMAN KELUARGA MUDA DI PAROKI SANTO MARKUS MELAK KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR“. Judul skripsi ini bertitik tolak dari situasi keluarga muda Katolik di Paroki Santo Markus Melak Kutai Barat Kalimantan Timur. Dewasa ini banyak keluarga muda yang mengalami berbagai tantangan hidup yang berdampak pada munculnya persoalan-persoalan rumah tangga. Dalam Gereja keluarga dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah namun keluarga juga dihadapkan pada tantangan untuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat luas (duniawi).
Sakramen perkawinan yang melambangkan bersatunya Allah dalam kehidupan kedua suami-istri menjadi sumber kekuatan yang dihayati oleh kedua suami-istri dalam hidup keluarganya. Dalam iman inilah suami bisa memandang istri bukan sebagai teman hidup saja, melainkan sebagai uluran tangan Tuhan yang ingin mengasihi dirinya, sehingga suami atau istri dapat menjadi tanda penampakan Tuhan secara konkret.
ix
ABSTRACT
This study has as title “THE ROLE OF THE PREPARATORY COURSE FOR MARRIAGE IN FOSTERING THE LIFE OF FAITH AMONG YOUNG FAMILIES IN SAINT MARK PARISH, MELAK, WEST KUTAI, EAST KALIMANTAN”. This title stems from the situation of young Catholic families in St. Mark Parish, Melak, West Kutai, East Kalimantan. Nowadays many young families are facing various challenges of life, as seen from the problems arising within family life. In the Church, a family is called to announce the Reign of God precisely by living as an inseparable part of the world society.
The Sacrament of Matrimony which symbolizes the union of God with the life of the couple constitutes a source of strength for both husband and wife. In faith both persons can look at each other not only as a companion in life, but as an extension of God’s love for him or her, so that both as a couple will be able to manifest God in a concrete way.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Bapa karena kasih dan penyertaan-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERANAN KURSUS PERSIAPAN
PERKAWINAN DALAM RANGKA MEMBANGUN HIDUP IMAN
KELUARGA MUDA DI PAROKI SANTO MARKUS MELAK KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR.
Skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis mengenai situasi
keluarga-keluarga muda Katolik di Paroki Santo Markus Melak Kutai Barat Kalimantan Timur
yang menghadapi berbagai tantangan hidup dan berdampak pada munculnya
persoalan-persoalan rumah tangga. Sedangkan pada dasarnya keluarga-keluarga
dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah walau tidak sedikit juga dihadapkan
pada tantangan, godaan, tawaran kerajaan duniawi yang mempengaruhi kehidupan
keluarga-keluarga tersebut kearah yang kurang baik. Karena menyadari bahwa
pernikahan dan keluarga termasuk nilai-nilai manusiawi yang paling berharga, maka
Gereja turut ambil bagian dengan menawarkan bantuan kepada mereka yang sudah
menyadari nilai pernikahan serta keluarga, dan berusaha menghayatinya dengan
setia, kepada mereka yang sedang ragu-ragu serta gelisah dan mencari kebenaran,
maupun kepada mereka yang secara tidak adil dihalang-halangi, supaya jangan
secara bebas menghayati hidup keluarga mereka. Oleh karena itu skripsi ini
dimaksudkan untuk membantu Gereja dalam membantu keluarga-keluarga muda
xi
Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan setulus hati
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. C. B. Putranta, SJ selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan
dorongan serta meluangkan waktu dalam membimbing penulis dengan penuh
perhatian dan kesabaran serta memberikan masukan-masukan, saran juga
motivasi bagi penulis dalam menyusun skripsi ini.
2. Bapak Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd selaku dosen penguji yang selalu
memotivasi dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Dra. Y. Supriyati, M.Pd. sebagai dosen pembimbing akademik yang
terus-menerus serta dengan sabar mendampingi penulis sampai selesainya penulisan
skripsi ini.
4. Drs. H.J Suhardiyanto, SJ sebagai kaprodi IPPAK USD yang selalu memberikan
motivasi dan dukungan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.
5. P. Drs. F.X Heryatno W.W.,SJ.,M.Ed sebagai dosen yang selalu memberikan
perhatian dan juga motivasi kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi
ini.
6. Segenap staf dosen Prodi IPPAK-FKIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma, yang telah membimbing penulis selama belajar
xii
7. Segenap staf sekretariat dan perpustakaan Prodi IPPAK dan Perpustakaan
Kolsani, dan seluruh karyawan bagian lain yang telah memberikan dukungan
kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
8. Kepada Pastor Ambros Pantola, SVD selaku Pastor Paroki di Paroki St. Markus
Melak Kutai Barat Kalimantan Timur yang telah mengijinkan penulis untuk
melaksanakan penelitian di Paroki tersebut dan berkenan memberikan
masukan-masukan demi kelancaran dan kelengkapan materi penulisan skripsi ini.
9. Keluarga-keluarga yang telah dengan ikhlas mengisi Kuesioner penulis dengan
baik.
10.Ayah dan ibu ku tercinta yang selalu memberikan dukungan dan motivasi baik
secara materi maupun yang non materi, serta dukungan doa-doa yang tulus.
11.Saudara-saudariku Atissakenah, Syahbayan, Yohanes Kandam, Maria Rina
Nailin, Samuel Prayitno Licing, Karmanto, Dianto serta semua saudara-saudari
penulis yang ada di Kutai Barat yang selalu berdoa untuk penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
12.Nenek dan Kakek di Linggang Bigung dan Sakaq Tada, Om Gun, Iful, Ran,
Darmawijaya, Jam, Abiet, Alex, tante Ocha, Chia, Celin, Pami, Minar yang
selalu memberikan dukungan doa dan motivasi kepada penulis selama penulisan
skripsi.
13.Sahabat-sahabat mahasiswa khususnya angkatan 2006/2007 yang turut
xiii
14.Yohanes Baptista S, Sisilia Lun, Oliva, Hiping, Odete Soares, Agatha, Hermas
dan Ana yang selama ini dengan tulus memberikan dukungan cinta, dan
perhatian hingga selesainya skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna serta memerlukan kritik serta saran yang
membantu juga membangun. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat
menjadi inspirasi bagi mereka yang memiliki perhatian terhadap perkembangan iman
keluarga terutama keluarga-keluarga muda.
Yogyakarta, 10 Maret 2011
Penulis
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penulisan ... 1
B. Rumusan Permasalahan ... 6
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat Penulisan ... 7
E. Metode Penulisan ... 7
F. Sistematika Penulisan ... 7
BAB II. PENTINGNYA KURSUS PERKAWINAN DALAM MEMPERSIAPKAN KELUARGA KATOLIK YANG BERIMAN... 10
A. Arti, Hakekat, Ciri-Ciri Perkawinan dan Persoalan-persoalan yang sering muncul dalam perkawinan ... 11
xv
2. Hakekat Perkawinan ... 16
a. Persekutuan Hidup dan Cinta ... 16
b. Perkawinan Merupakan Lembaga Sosial ... 17
c. Perkawinan Merupakan Lembaga Hukum Negara . 18 d. Perkawinan Merupakan Sakramen (antara dua orang Pria dan Wanita yang Dibaptis) ... 18
3. Tujuan Perkawinan Katolik ... 20
4. Ciri-Ciri Perkawinan Katolik ... 23
5. Persoalan/Permasalahan yang Sering Muncul Dalam Perkawinan ... 26
B. Kursus Persiapan Perkawinan ... 31
1. Pengertian Kursus Persiapan Perkawinan ... 31
2. Tujuan Kursus Persiapan Perkawinan ... 32
3. Relevansi Kursus Perkawinan di Masyarakat ... 33
4. Pentingnya Kursus Persiapan Perkawinan ... 34
C. Keluarga ... 37
1. Keluarga Muda ... 39
2. Hidup Iman Keluarga yang Kontekstual ... 39
3. Membangun Keluarga Kristiani yang Kontekstual ... 42
BAB III. PENELITIAN TENTANG KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN DALAM RANGKA MEMBANGUN HIDUP IMAN KELUARGA MUDA DI PAROKI SANTO MARKUS MELAK KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR ... 46
A. Situasi umum Paroki St. Markus Melak Kutai Barat Kalimantan Timur ... 47
xvi
2. Letak dan Situasi Geografis Paroki St. Markus
Melak Kutai Barat Kalimantan Timur ... 49
3. Situasi Umat Paroki St. Markus Melak Kutai Barat Kalimantan Timur ... 49
a. Jumlah Umat Paroki St. Markus Melak Kutai Barat Kalimantan Timur ... 49
b. Situasi Sosial-ekonomi Umat Paroki Paroki St. Markus Melak Kutai Barat Kalimantan Timur .... 50
B. Persiapan penelitian ... 52
1. Latar Belakang Penelitian ... 52
2. Rumusan Permasalahan ... 53
3. Tujuan Penelitian ... 53
4. Metode Penelitian ... 54
5. Tempat dan Waktu Penelitian ... 56
6. Responden Penelitian ... 56
7. Instrumen Penelitian ... 57
a. Kuesioner ... 57
b. Wawancara/interview ... 58
8. Variabel Penelitian ... 59
C. Laporan Hasil Penelitian ... 60
1. Laporan Hasil Kuesioner ... 62
2. Laporan Hasil Wawancara ... 76
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 80
E. Rangkuman Hasil Penelitian ... 91
xvii
A. Latar Belakang Penyusunan Program Rekoleksi ... 95
B. Usulan Program Rekoleksi ... 97
C. Contoh Satuan Pelaksanaan Rekoleksi ... 127
BAB V. KESIMPULAN SARAN DAN PENUTUP ... 151
A. Kesimpulan ... 151
B. Saran ... 153
C. Penutup ... 154
DAFTAR PUSTAKA ... 155
LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Permohonan Penelitian ... (1)
Lampiran 2 : Soal-soal Kuesioner ... (2)
Lampiran 3 : Daftar Pertanyaan Wawancara ... (9)
Lampiran 4 : Tabel Hasil Penelitian ... (10)
xviii
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada
Umat Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV).
Ende:Arnoldus, 1984/1985, Hal 8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II Tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern, tanggal 22
November 1981
GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, tanggal 7 Desember 1965
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983
C. Singkatan Lain
ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Art : Artikel
Dok : Dokumen
xix KK : Kepala Keluarga
KPP : Kursus Persiapan Perkawinan
KWI : Komisi Waligereja Indonesia
LCD : Liquid Crystal Display
MSF : Missionarii A Sacra Familia (Misionaris Keluarga Kudus) PASUTRI : Pasangan Suami-Istri
PNS : Pegawai Negeri Sipil
POLRI : Polisi Republik Indonesia
RT : Rukun Tetangga
RW : Rukun Warga
UU : Undang-Undang
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Hidup keluarga yang beriman, bahagia, dan sejahtera, merupakan impian
semua pasangan suami-istri dalam membangun hidup berkeluarga, begitu pula
untuk keluarga-keluarga Katolik. Banyak pasangan suami-istri yang rela melakukan
apa saja demi mempertahankan keutuhan keluarganya. Namun kenyataannya pada
saat ini banyak keluarga-keluarga yang gagal membangun impian dan harapan
tersebut, banyak suami-istri bercerai, anak-anak yang hidup terpisah karena
masalah orang tua, anak yang kecewa terhadap orang tua kemudian pergi
meninggalkan rumah dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut kebanyakan
disebabkan oleh pengertian akan martabat perkawinan yang semakin kabur, tidak
dihargai dengan semestinya oleh kedua pasangan suami-istri, nilai luhur dari
persekutuan cinta semakin direndahkan.
Dewasa ini, banyak pasangan suami-istri Katolik yang menikah tanpa
dibekali persiapan yang cukup misalnya: menikah dalam usia muda, kurang
mendapat pembekalan mengenai hidup berkeluarga. Pada umumnya pasangan yang
menikah tanpa persiapan yang matang ketika menghadapi situasi atau masalah yang
sulit dalam kehidupan berumah tangga akan merasa kesulitan dan kurang dapat
mengambil keputusan dengan bijaksana, kurang mampu mengarahkan keluarganya
keprihatinan penulis bahwa betapa rapuhnya pondasi rumah tangga
keluarga-keluarga yang kurang mendapat pembekalan yang memadai mengenai hidup
berkeluarga. Sehingga tidak jarang pasangan suami-istri mengambil keputusan yang
salah dalam menyelesaikan masalah dalam keluarga yang dihadapi.
Oleh karena itu alangkah baiknya apabila kedua calon pasangan suami-istri
sebelum menikah terlebih dahulu sudah mendapatkan bekal yang cukup dalam hal
mempersiapkan keluarga yang baik dan sungguh-sungguh berdasarkan kepada
ajaran Gereja. Dalam Gereja pembekalan untuk calon pasangan yang akan menikah
dikenal dengan Kursus Persiapan Perkawinan yang selanjutnya dalam tulisan akan
disingkat KPP. Penghayatan yang baik mengenai makna KPP yang telah diterima
dalam kehidupan berkeluarga Katolik sangatlah berpengaruh terhadap
perkembangan keluarga tersebut selanjutnya.
Dalam KPP, semua hal yang berhubungan dengan hidup berkeluarga akan
akan diberikan kepada calon pasangan suami-istri. Seperti yang dinyatakan dalam
Konsili Vatikan II yang secara khusus memberikan perhatian terhadap keutuhan
keluarga, para uskup mencemaskan keutuhan keluarga-keluarga terutama keluarga
Kristiani seperti yang dinyatakan dalam dokumen Gaudium et Spes :
munculnya masalah akibat pertambahan penduduk. Itu semua serba menggelisahkan suara hati” (Art. 47)
Berdasarkan kutipan tersebut dapat kita lihat perhatian Gereja kepada
perkembangan keluarga sangatlah besar. Gereja sangat prihatin terhadap apa yang
dialami oleh keluarga-keluarga belakangan ini. Pada saat ini keluarga sudah bukan
lagi menjadi tempat yang paling nyaman untuk manusia karena dalam keluarga
begitu kompleksnya permasalahan-permasalahan yang terkadang tidak dapat
diselesaikan oleh kedua pasangan suami-istri sehingga berimbas kepada anggota
keluarga yang lain seperti anak-anak. Keluarga yang baik perlu dipersiapkan lama
karena keadaan keluarga yang baik merupakan unsur yang sangat penting dalam
sebuah keluarga. Keadaan keluarga yang baik akan tercipta apabila pasangan
suami-istri mempunyai kesadaran dan penghayatan yang sama akan makna dari
sebuah perkawinan dan rumah tangga yang dijalaninya, sehingga keduanya akan
mempunyai tujuan yang sama dalam membangun masa depan keluarga.
Keluarga adalah sel terkecil dalam masyarakat dan juga basis terkecil dalam
Gereja. Keluarga yang baik dan harmonis akan sangat membantu terciptanya suatu
tatanan hidup yang baik di dalam masyarakat maupun keterlibatan hidup
menggereja. Orang tua menjadi contoh tersendiri dalam membimbing dan
mengajarkan anggota keluarga kepada hidup yang sesuai dengan norma-norma dan
agama serta menjadi teladan utama untuk menerapkan nilai-nilai Kristiani dalam
Kesejahteraan anggota keluarga menjadi pertimbangan awal bagi kedua
pasangan yang sudah direncanakan sejak lama sebelum mereka menikah dan
menjadi tujuan utama dalam sebuah keluarga. Perkawinan yang tidak dipersiapkan
dengan baik dapat mengakibatkan keutuhan rumah tangga yang dibangun menjadi
rapuh misalnya kurang bijaksana dalam menyikapi suatu masalah. Maka oleh sebab
itu sangatlah penting penghayatan perkawinan dengan rencana yang sedemikian
matang untuk semua pasangan keluarga muda yang akan membangun sebuah
bahtera rumah tangga sehingga mampu dengan bijaksana menyikapi segala hal atau
masalah yang terjadi dalam kehidupan keluarganya.
Sayangnya pada saat ini banyak keluarga-keluarga Katolik yang kurang
menghayati sakramen perkawinan dalam hidup berkeluarga hal ini banyak terjadi
justru pada pasangan-pasangan muda yang usia perkawinannya belum terlalu lama.
Pada umumnya calon pasangan suami-istri Katolik tidak begitu memperhatikan,
tidak begitu memperdulikan betapa pentingnya KPP bagi mereka. Kebanyakan dari
calon pasangan suami-istri mengikuti KPP hanya sebagai persyaratan untuk dapat
menerima Sakramen Perkawinan saja. Lebih ironis lagi apabila calon pasangan itu
sudah mengalami “kecelakaan” atau hamil diluar nikah dan ingin untuk segera
menikah, maka kemungkinan untuk mengikuti KPP tidak akan ada, bahkan
kalaupun ada bukan dalam bentuk KPP, tetapi lebih hanya dalam bentuk
nasihat-nasihat saja oleh Pastor Paroki, Katekis atau orang yang ditugaskan. Padahal calon
pasangan suami-istri yang akan menikah akan menghadapi kehidupan, tantangan
Seperti halnya keluarga-keluarga muda yang ada di Paroki St. Markus Melak
Kutai Barat Kalimantan Timur banyak pasangan-pasangan yang menikah tanpa
persiapan yang matang, hanya dua atau tiga kali pertemuan menjelang upacara
perkawinan, terkadang waktu yang disediakan oleh calon suami-istri tersebut
menjelang perkawinan begitu pendek/singkat sehingga tidak mempunyai waktu
yang cukup untuk pembekalan yang selayaknya bagi pasangan yang akan menikah.
Pasangan yang menikah diharapkan sudah siap dalam segala hal baik itu dari
fisik maupun mental namun kebanyakan keluarga-keluarga muda saat ini sudah siap
secara fisik namun secara mental mereka belum siap misalnya belum siap dalam arti
belum mengerti mengenai apa itu hidup berkeluarga, bagaimana mendidik anak
yang baik dalam keluarga, kurang dapat menghayati makna sebuah perkawinan itu
sendiri yaitu antara pria dan wanita yang monogam dan tak terceraikan.
Paroki St. Makus Melak merupakan salah satu Paroki yang berada di
Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur, terletak di pusat kabupaten dengan
jumlah umat yang cukup banyak. Umat Paroki St. Markus Melak berada di
Stasiistasi, karena Paroki St. Markus Melak sangat luas sehingga terkadang
pelayanan terhadap sakramen perkawinan tidak maksimal, misalnya saja apabila
ada calon pasangan suami-istri yang akan menikah bertempat tinggal di daerah atau
stasi yang jauh dari Paroki maka mereka tidak akan bisa mengikuti KPP secara
teratur, bahkan tidak jarang calon pasangan suami-istri itu mendapat KPP singkat
dari Pastor Paroki pada saat yang sama ketika akan melangsungkan upacara
Berawal dari keprihatinan yang ada dikalangan keluarga-keluarga muda di
Paroki St. Markus Melak Kutai Barat Kalimantan Timur inilah penulis kemudian
mengambil judul: PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN DALAM RANGKA MEMBANGUN HIDUP IMAN KELUARGA MUDA DI PAROKI SANTO MARKUS MELAK KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR
B. Rumusan Permasalahan
1. Apakah makna perkawinan Katolik bagi keluarga-keluarga muda?
2. Sejauhmana keluarga-keluarga muda Katolik sudah mencerminkan hidup
keluarga Kristiani dalam kehidupan berkeluarganya?
3. Apa saja permasalahan yang mereka hadapi dalam membangun hidup iman
dalam keluarga?
4. Apa peranan KPP bagi pasangan suami-istri Katolik dalam membina
kehidupan keluarganya?
C. Tujuan Penulisan
1. Menguraikan makna perkawinan agar keluarga-keluarga Katolik terbantu
dalam menghayatinya.
2. Membantu keluarga-keluarga muda Katolik agar semakin siap dalam
membangun hidup berkeluarganya sesuai dengan nilai-nilai Kristiani
3. Memaksimalkan peranan KPP dalam membantu kesiapan calon pasangan
D. Manfaat Penulisan
1. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam bagi penulis tentang makna
dan peranan Sakramen Perkawinan bagi kehidupan berkeluarga Katolik
2. Memberikan sumbangan pemikiran berkaitan dengan usaha membangun
hidup iman dalam keluarga bagi keluarga muda di Paroki St. Markus Melak.
3. Memberi sumbangan pemikiran bagi Paroki St. Markus Melak dalam
meningkatkan peran penghayatan KPP untuk membangun basis-basis kuat
dalam Gereja yang berdasarkan nilai-nilai Kristiani dalam keluarga.
E. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif
analitis. Yaitu penulisan yang memanfaatkan studi kepustakaan dan penelitian
lapangan yang dapat membantu demi tercapainya penulisan skripsi ini.
F. Sistematika Penulisan
Judul skripsi ini adalah: PERANAN KURSUS PERSIAPAN
PERKAWINAN DALAM RANGKA MEMBANGUN HIDUP IMAN
KELUARGA DI PAROKI SANTO MARKUS MELAK KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR. Berdasarkan judul tersebut penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I yang merupakan pendahuluan dalam bab ini penulis akan menguraikan
mengenai latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan, manfaat, metode, dan yang
Pada Bab II ini penulis membagi pokok bahasan kedalam tiga bagian. Bagian
pertama penulis akan membahas mengenai arti, hakekat, ciri-ciri dan
persoalan-persoalan yang sering muncul dalam perkawinan seperti: masalah karena kesulitan
ekonomi, kesulitan dalam hal relasi sebagai suami-istri, kondisi anak-anak, kesulitan
berelasi dengan masyarakat, kesulitan membangun relasi dengan Tuhan. Bagian
kedua ini oleh penulis akan dibahas mengenai: pengertian, tujuan, relevansi, serta
pentingnya KPP di masyarakat. Keluarga yang baik perlu dipersiapkan lama sebab
keluarga yang baik adalah faktor utama untuk keselamatan (kesejahteraan), baik
pribadi, masyarakat maupun Gereja, pengertian mengenai martabat perkawinan dan
hidup berkeluarga harus jelas bagi muda-mudi, lebih-lebih di era globalisasi yang
diwarnai oleh media masa yang begitu kuat pengaruhnya, seperti: radio, televisi,
dunia maya, film, majalah, dsb. Persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum
menikah tentunya mempunyai tujuan agar keluarga yang kelak dibangun menjadi
keluarga yang sungguh-sungguh mengenal dan beriman kepada Allah serta sesuai
dengan harapan bangsa juga Gereja. Oleh karena itu ada baiknya kita mengenal dan
memahami apa yang dimaksudkan dengan keluarga. Pada bagian ketiga dibahas
mengenai keluarga pembahasan ini mencakup beberapa hal yang berkaitan dengan
keluarga muda seperti: keluarga muda, hidup iman keluarga yang kontekstual, dan
membangun keluarga Kristiani yang kontekstual.
Dalam Bab III skripsi ini penulis membahas mengenai penelitian terhadap
peranan KPP dalam membangun hidup iman keluarga muda. Pada Bab III ini penulis
penulis akan memberikan gambaran mengenai Situasi umum Paroki St. Markus
Melak Kutai Barat Kalimantan Timur yang terdiri atas sejarah, letak dan situasi
geografis, situasi umat, situasi sosial-ekonomi Umat Paroki Paroki St. Markus Melak
Kutai Barat Kalimantan Timur.
Kemudian bagian kedua adalah mengenai: persiapan penelitian yang
didalamnya mencakup latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan
penelitian, metode penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian,
instrumen penelitian, variabel penelitian. Variabel penelitian yang akan dibahas
adalah: pastoral keluarga, pemahaman tentang hubungan suami-istri, kepedulian
terhadap perkembangan iman dalam keluarga, keterlibatan keluarga dalam hidup
menggereja, keterlibatan umat dalam hidup bermasyarakat dan kebudayaan yang
berpengaruh terhadap pemikiran pasangan suami-istri tentang perkawinan, variabel
yang terakhir adalah tanggapan mengenai KPP di Paroki St. Markus Melak Kutai
Barat Kalimantan Timur.
Bab IV penulis merencanakan sebuah program untuk pendampingan
keluarga. Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang penyusunan program,
materi program, dan penjabaran program KPP. Dalam bagian terakhir akan diberikan
satu contoh rencana pelaksanaan rekoleksi yang akan dilaksanakan.
Bab V pada bab ini berisi kesimpulan dan saran dari penulis sehubungan
dengan usaha untuk menggali pentingnya KPP untuk membantu pasangan suami-istri
dalam mempersiapkan hidup berkeluarga yang berdasarkan nilai-nilai Kristiani
BAB II
PENTINGNYA KURSUS PERKAWINAN DALAM MEMPERSIAPKAN KELUARGA KATOLIK YANG BERIMAN
Hidup berkeluarga yang beriman, harmonis dan langgeng selalu menjadi
impian semua pasangan suami-istri. Untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah,
membutuhkan perjuangan, pengorbanan, dan melewati berbagai tahapan-tahapan
yang tidak gampang. Dalam membangun hidup berkeluarga dibutuhkan kesadaran
untuk rela berkorban bukan hanya dari satu pasangan saja melainkan oleh keduanya
untuk saling mendukung, memahami, dan mengerti.
Pada Bab II ini penulis membagi pokok bahasan kedalam tiga bagian. Bagian
pertama penulis akan membahas mengenai arti, hakekat, ciri-ciri dan
persoalan-persoalan yang sering muncul dalam perkawinan seperti: masalah karena kesulitan
ekonomi, kesulitan dalam hal relasi sebagai suami-istri, kondisi anak, kesulitan
berelasi dengan masyarakat, kesulitan membangun relasi dengan Tuhan. Bagian
kedua dalam bab II akan dibahas mengenai: pengertian, tujuan, relevansi, serta
pentingnya KPP di masyarakat. Keluarga yang baik perlu dipersiapkan lama sebab
keluarga yang baik adalah faktor utama untuk keselamatan (kesejahteraan), baik
pribadi, masyarakat maupun Gereja, pengertian mengenai martabat perkawinan dan
hidup berkeluarga harus jelas bagi muda-mudi, lebih-lebih di era globalisasi yang
diwarnai oleh media masa yang begitu kuat pengaruhnya, seperti: radio, televisi,
menikah tentunya mempunyai tujuan agar keluarga yang kelak dibangun menjadi
keluarga yang sungguh-sungguh mengenal dan beriman kepada Allah serta sesuai
dengan harapan bangsa juga Gereja. Oleh karena itu ada baiknya kita mengenal dan
memahami apa yang dimaksudkan dengan keluarga. Pada bagian ketiga dibahas
mengenai keluarga pembahasan ini mencakup beberapa hal yang berkaitan dengan
keluarga muda seperti: keluarga muda, hidup iman keluarga yang kontekstual, dan
membangun keluarga Kristiani yang kontekstual.
A. Arti, Hakekat, Ciri-Ciri Perkawinan dan Persoalan-persoalan yang sering muncul dalam perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dewasa ini pemahaman mengenai hakikat dan makna perkawinan masih
sangat kabur, rancu dan barangkali juga keliru. Banyak hal-hal yang mempengaruhi
pola pikir pasangan mengenai makna dan hakikat sebuah perkawinan misalnya:
kurangnya pendidikan yang integral dan sehat di bidang perkawinan dan seksualitas
dari generasi ke generasi, juga karena perkawinan itu sendiri sedang dihayati oleh
tidak sedikit pasangan dalam berbagai semangat, bentuk dan cara yang berbeda.
Dalam Undang-undang, perkawinan adalah: “Ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri, dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sseorang yang dapat menikah adalah mereka yang sudah cukup umur,
mempunyai niat untuk hidup secara bersama-sama, berkembang dalam sebuah
komitmen yang serius, ingin mempunyai keturunan dari dirinya sendiri, dan juga
dihimbau untuk mengikuti peraturan pemerintah yang telah ditentukan (
Undang-Undang yang berlaku) maupun dalam aturan agama yang menyangkut bidang
perkawinan. Namun ironisnya pada saat ini banyak sekali pasangan yang melakukan
perkawinan tanpa memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan aturan
agamanya maupun dari peraturan pemerintah.
Dalam kenyataannya hidup perkawinan tidak mudah, banyak hal yang harus
dipahami dan dimengerti oleh kedua calon pasangan suami-istri mulai dari
memahami tentang makna perkawinan yang sebenarnya sampai kepada hal-hal kecil
tentang anak juga harus dipahami oleh kedua pasangan suami-istri yang ingin
membangun kehidupan perkawinannya dengan baik. Dalam hidup perkawinan, kedua
pasangan mempunyai peranan yang sama untuk membangun keluarga, saling
membantu baik dalam memenuhi kebutuhan keluarga maupun untuk masa depan
keluarga tersebut kedepannya serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa
dan negara lewat membangun keluarga yang sungguh-sungguh dapat diandalkan.
Kedua pasangan mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing, tanggung jawab
suami sebagai kepala rumah tangga dan tanggung jawab istri sebagai ibu rumah
tangga bahkan pemerintah juga sudah mengatur secara khusus hal tersebut dalam
Undang-Undang perkawinan. Oleh karena itu nilai sebuah perkawinan begitu luhur
menghargai nilai-nilai tersebut dengan saling menghargai dan menjaga serta
bersama-sama memperkembangkan keluarganya kearah yang dicita-citakan agama, dan
bangsa.
Perkawinan juga mendapat tempat yang penting dalam hidup beragama,
khususnya dalam tradisi Kristiani perkawinan merupakan tanda dan sarana hadirnya
Allah dalam hidup umat-Nya. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah
dan Allah sendiri adalah kasih. Karena itu panggilan untuk mengasihi merupakan
panggilan khas manusia. Manusia mirip dengan Allah jika ia dapat menjadi manusia
yang mengasihi dan mencintai sesamanya dan makhluk hidup ciptaan-Nya. Menurut
Kitab Hukum Kanonik (Kanon 1055) perkawinan adalah perjanjian (feodus,
covenant) antara seorang pria dan seorang wanita untuk membantu kebersamaan
seluruh hidup. Pengertian ini berdasarkan pada Dokumen Konsili Vatikan II,
Gaudium et Spes art. 48, bahwa perkawinan adalah sebagai suatu feodus coniugi
(perjanjian nikah), dan bukan lagi sebagai contractus (sebuah kontrak), seperti yang
masih kita jumpai dalam Kitab Hukum Kanonik 1917, (Kanon 1012) yang
mengatakan:
$1. Kristus Tuhan mengangkat kontrak perkawinan antara orang-orang yang dibaptis ke martabat Sakramen
$2. Karena diantara orang dibaptis tiada kontrak perkawinan sah yang bukan dengan sendirinya adalah Sakramen (Kanon 1012).
Dalam hukum Gereja aspek perjanjian dari perkawinan dideskripsikan dalam
dua istilah yaitu feodus (covenant) dan contractus (contract) Kedua istilah ini
kekayaan nuansa yang khas. istilah Contractus/contract adalah gagasan paling tua
dalam tradisi kanonik yang mendeskripsikan perkawinan adalah sebuah kontrak
istilah ini sudah ada sejak abad ke IX yang terdapat pada hukum romawi. Sedangkan
istilah feodus adalah deskripsi dari perkawinan yang lebih dari hanya sebuah kontrak,
tetapi sebuah gagasan biblis dan spiritual yang melukiskan relasi antara Yahweh dan
Israel, atau menurut Rasul Paulus yaitu relasi antara Kristus dan Gereja-Nya. Kedua
arti perkawinan ini memperlihatkan kepada kita bahwa perkawinan mempunyai nilai
yang mulia dan khusus dalam hidup manusia karena Yesus telah mengangkat
perkawinan kepada martabat Sakramen, sesuatu yang Kudus, agar keluarga yang
dibina dalam perkawinan menjadi keluarga yang Kudus karena telah bersatu dalam
Yesus Kristus sendiri. (Raharso C, 2006: 21-26).
Cinta Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik karena dalam hidup
perkawinan manusia dituntut untuk saling mencintai sepenuhnya terhadap pasangan
dalam persetujuan secara bebas dari keduanya, bahkan jika perlu rela mengorbankan
nyawa demi pasangannya seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus yang telah
mengorbankan nyawa demi cinta-Nya kepada manusia dan ketaatan-Nya kepada
Bapa. Kristus juga berpesan kepada manusia untuk saling mengasihi satu sama lain,
perintah itulah juga yang menjadi dasar perkawinan Katolik untuk saling mengasihi,
setia dan penuh cinta (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-23)
Persekutuan hidup memberikan arti pula bahwa mereka yang kawin itu
menjadi satu hidupnya dan sebagai partner, dalam arti sama hak dan kewajibannya,
perkawinan adalah persatuan hidup, karena keduanya saling mencintai. Tanpa
persatuan hidup (kesatuan dalam cinta) persekutuan perkawinan tidak ada artinya.
Perkawinan yang merupakan suatu persekutuan hidup perlu
diresmikan/disahkan tetapi bukan berarti hanya sebuah kontrak, perkawinan juga
memerlukan kesetiaan antara kedua pasangan, tidak dapat ditarik kembali, dan
memerlukan persetujuan bebas dari keduanya. Perkawinan pada hakekatnya adalah
komitmen jangka panjang dari kedua pasangan yang tidak dapat dibatalkan walau
dengan alasan apapun kecuali kematian. Sebuah perjanjian timbal balik antara
seorang pria dan seorang wanita yang digerakkan oleh cinta kasih, karena cinta dan
demi cinta Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sekaligus Allah
memanggil mereka untuk saling mencintai, sebagaimana Allah adalah cinta dan hidup
didalam persekutuan cinta kasih Tritunggal, demikian juga Allah menaruh dalam hati
laki-laki dan perempuan daya dan panggilan untuk mencintai dan membentuk
persaudaraan, kesatuan dan persekutuan hidup. Allah sendirilah yang mendirikan
perkawinan itu dan menganugerahinya dengan rahmat dan tujuan, maka secara
kodratinya perkawinan itu suci (GS 48).
Dengan demikian Tuhan sendirilah yang menjadi jaminan stabilitas
persekutuan cinta kasih. Cinta kasih suami-istri merupakan dasar perkawinan, ikatan
pribadi yang mau diusahakan dalam kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dengan
2. Hakekat Perkawinan Katolik
Hakekat perkawinan Katolik adalah perjanjian/persekutuan personal seluruh
hidup antara seorang pria dan wanita yang berdasarkan pada perjanjian cinta kasih
menuju kepada kebahagiaan bersama.
Perkawinan adalah sebuah perjanjian atau kesepakatan yang mengingatkan
akan perjanjian antara Allah dan manusia yang bernuansa cinta kasih. Bentuk
perkawinan Katolik persekutuan seluruh hidup antara pria dan wanita yang
menyangkut kesatuan hati dan perasaan walaupun mereka adalah dua pribadi yang
berbeda. Orang yang melaksanakan perkawinan adalah sungguh-sungguh dalam arti
pria dan wanita yang normal, baik secara fisik maupun psikis. Ikatan cinta mesra dan
hidup bersama antara suami dan istri yang diadakan oleh Sang Pencipta dan
dilindungi dengan hukum-hukum-Nya yang menampakkan cinta kasih Allah kepada
umat-Nya (GS, 48)
Dalam hakekatnya perkawinan Katolik adalah suatu hal yang kompleks yang
perlu mendapat perhatian dari semua umat terutama pasangan-pasangan suami-istri
Kristiani yang hidup dalam persekutuan cinta bahwa perkawinan adalah:
a. Persekutuan Hidup dan Cinta
Landasan iman Kristiani adalah cinta Ilahi, manusia beriman kepada Allah
karena cinta Allah kepada manusia. Atas dasar cinta jugalah Gereja didirikan oleh
karena itu segala kegiatan Gereja seharusnya berdasarkan atas cinta dengan demikian
Persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam
kesatuan lahir batin yang mencakup seluruh hidup atas dasar cinta kasih merupakan
persekutuan yang sesungguhnya dalam hubungan suami-istri. Persetujuan bebas yang
menjadi syarat mutlak dan harus dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi untuk
terjadinya dan sahnya perkawinan. Dalam cinta perkawinan, kesetiaan “dalam untung
dan malang” menjadi hal yang utama namun bukan berarti persatuan suami-istri akan
selalu bertahan sampai mati atau kedua pasangan tidak akan merasa jenuh atau bosan,
tentunya persatuan kedua pasangan dapat berkembang, namun dapat juga mundur,
bahkan hancur. Oleh karena itu kedua suami-istri diharapkan dapat menjaga dan
memupuk kesatuannya agar tetap awet dan langgeng (Gilarso, T 2008 : 9-10).
b. Perkawinan Merupakan Lembaga Sosial
Dalam masyarakat umum perkawinan merupakan satu-satunya lembaga yang
menghalalkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan mendapatkan
keturunan. Juga dalam tradisi masyarakat perkawinan merupakan suatu yang amat
sangat dijaga dan menjadi perhatian kebanyakan orang, masyarakat kebanyakan tidak
akan tinggal diam apabila ada masalah yang terjadi dalam sebuah keluarga misalnya:
kekerasan rumah tangga, ketidak adilan dan lain sebagainya. Kasus-kasus seperti ini
akan sangat cepat menjadi perhatian masyarakat banyak karena keluarga adalah sel
c. Perkawinan Merupakan Lembaga Hukum Negara
Perkawinan adalah ikatan resmi yang perlu disahkan karena perkawinan
bukan hanya ikatan bebas menurut selera sendiri, bukan sekedar masalah cinta saling
cinta, keluarga, melainkan masalah masyarakat sosial, masa depan bangsa oleh
karena itu negara mempunyai kewajiban dalam mengatur perkawinan masyarakatnya
(Gilarso T, 2008 : 10).
d. Perkawinan Merupakan Sakramen (antara dua orang Pria dan Wanita yang
Dibaptis)
Perkawinan sebagai Sakramen hanya dapat diterima dalam iman, di dalam
iman, suami menerima istri bukan hanya sebagai kawan hidup melainkan sebagai
uluran tangan Tuhan yang mengasihinya sepenuh hati. Demikian juga dengan istri
menerima suami sebagai karunia Tuhan yang akan mengangkat hidupnya menuju
kebahagiaan. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis (yang telah bersatu secara
pribadi dengan Kristus) merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan
rahmat bagi kedua mempelai. Rahmat yang mereka terima adalah rahmat yang
menguduskan mereka berdua, rahmat yang menyempurnakan cinta dan persatuan
antara mereka; dan rahmat yang membantu mereka dalam hidup berkeluarga, hingga
semakin dekat dengan Tuhan. Tuhan hadir dalam setiap kehidupan mereka bukan
hanya dalam upacara di gereja, Tuhan ada sebagai bagian dari hidup keduanya
mereka oleh karena itu mereka tidak akan bisa dipisahkan oleh alasan apapun juga.
(Gilarso T, 2008 : 11)
Dalam perkawinan yang tak terceraikan menandakan hadirnya Allah dalam
hubungan yang khusus, hubungan yang mengangkat perkawinan itu sendiri menjadi
sakral dan istimewa, hubungan yang sakral dan istimewa inilah yang kemudian
mendorong perkawinan menjadi salah satu tanda dan sarana kehadiran Allah dalam
diri manusia (Sakramen). Lewat perkawinan manusia dapat membina hubungan baik
dengan Allah yaitu dengan saling mengasihi, cinta kasih terhadap pasangan,
menghargai dan menghormati pasangan masing-masing dan masih banyak lagi yang
dapat diungkapkan oleh kedua pasangan dalam hidup perkawinannya yang
menggambarkan kemesraan hubungannya dengan Allah.
Sakramentalitas perkawinan hanya akan terjadi pada kedua pasangan yang
telah dibaptis. Dalam Kitab Hukum Kanonik (kanon 1055) menyebutkan bahwa
Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen ($1) sehingga perkawinan
antara kedua orang yang sudah dibaptis adalah bersifat sakramen ($2). Sehingga
keduanya pasangan tersebut dengan sendirinya menjadi sah dalam perkawinan karena
mereka telah sama-sama sudah dibaptis.
Gereja juga menyerukan dalam Konsili Vatikan II yang mengungkapkan
kenyataan sakramental dari perkawinan terutama dalam kesatuan Kristus dengan
Gereja:
dan dibantu serta dikuatkan dalam tugas luhur ayah dan ibu. Oleh sebab itu suami-istri kristen dikuatkan dan seolah-olah ditahbiskan untuk tugas dan martabat statusnya dengan sakramen khusus (GS 48).
3. Tujuan Perkawinan Katolik
Perkawinan mempunyai beberapa tujuan yang sesuai dengan pemahaman,
adat budaya serta agama yang dianut. Bagi umat Katolik tujuan perkawinan yang
paling pokok adalah:
a. Pengembangan cinta kasih menuju kebahagiaan dan kesejahteraan bersama
suami-istri
Momen dimana seseorang menentukan pilihan atas seseorang yang menjadi
dambaannya untuk dijadikan teman hidup selama-lamanya. Pasangan yang
sungguh-sungguh menghayati perkawinannya dalam cinta kasih yang utuh dan sepenuhnya
tentu mempunyai tujuan yang lebih mulia dan suci, karena keduanya menyadari
bahwa perkawinan yang dijalani bukan hanya untuk hidup berdua atau demi
kepentingan sesaat atau dorongan nafsu, rasa tertarik, rasa simpati atau asmara saja
melainkan lebih menyeluruh dan untuk kebaikan bersama keduanya rela
menyerahkan diri demi kebahagiaan pasangannya, keduanya bukan hanya sekedar
pasangan hidup melainkan adalah belahan jiwa dan bersama-sama berjuang untuk
b. Kelahiran dan pendidikan anak
Mempunyai anak merupakan kerinduan semua pasangan-pasangan
suami-istri, karena tidak ada pasangan yang telah menikah yang tidak mengharapkan
keturunan, dan hanya dalam perkawinan yang merupakan lembaga yang sah untuk
dapat mewujudkan keinginan tersebut, namun tidak semua keinginan dan kerinduan
pasangan-pasangan tersebut dapat terpenuhi dalam penikahannya, karena
anak/keturunan merupakan anugerah Tuhan. Namun ada atau tidaknya
anak/keturunan bukan berarti perkawinan mereka gagal sebab masih ada tujuan lain
seperti pengembangan kasih sayang serta pemenuhan kebutuhan seksual yang
tercapai diantara keduanya.
Tanggung jawab pasangan yang telah dianugerahi anak oleh Allah tidaklah
hanya berhenti pada hadirnya anak didunia. Suami-istri mempunyai tanggung jawab
untuk memberikan pendidikan yang layak/memadai kepada anak yang diberikan oleh
Tuhan supaya mereka dapat hidup dengan wajar. (Timottius, 2010 : 12-13).
c. Pemenuhan kebutuhan seksual
Lembaga perkawinan merupakan satu-satunya institusi yang sah dan legal
dimana pria dan wanita yang saling mencintai dapat saling memenuhi kebutuhan
seksual. Karena setiap orang dewasa (laki-laki dan perempuan) yang normal memiliki
kebutuhan akan pemenuhan dorongan seksual yang ada dalam dirinya. Namun
melainkan dengan kesadaran dan tanggung jawab yang penuh sebagai ungkapan dan
pemberian diri yang total dan utuh kepada pasangan. (Timottius, 2010 : 13).
d. Lain-lain
Selain tujuan diatas, perkawinan juga mempunyai maksud/tujuan lain
misalnya: kesejahteraan keluarga, jaminan perlindungan dan keamanan, demi
ketenangan, nama baik, kerukunan keluarga, jaminan nafkah, sah dan sehatnya
keturunan, dan lain sebagainya.
Gereja memandang hidup perkawinan sebagai kebersamaan seluruh hidup
atau kesatuan suami-istri atas dasar cinta yang mempunyai tujuan pokok pada
kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak. Lebih jelas lagi dapat
dilihat pada kanon sebagai berikut:
$1. “Perjanjian perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak;...”(Kanon 1055)
Memang tujuan perkawinan tidak hanya terpaku kepada apa yang tertulis
diatas dan masih banyak lagi hal-hal yang harus diperhatikan oleh suami-istri untuk
semakin menghayati kehidupan perkawinannya baik dalam membangun hubungan
4. Ciri-Ciri Perkawinan
Perkawinan Katolik adalah lambang kasih Kristus kepada Gereja. Perkawinan
Katolik tidak berarti hanya kepada perkawinan itu sendiri, melainkan juga membawa
makna yang dilambangkannya. Sebagaimana Kristus mencintai Gereja demikianlah
suami harus mencintai istri. Karena Kristus mencintai Gereja maka layaknya Gereja
setia pada Kristus. Karena suami mencintai istri, maka layaklah istri setia kepada
suami begitu pula sebaliknya. Perkawinan Katolik yang melambangkan kasih Kristus
inilah menjadi semangat bagi pasangan suami-istri untuk terus menghidupkannya
dalam kehidupan perkawinannya. Penghayatan hidup perkawinan yang
mencerminkan hubungan Kristus dengan Gereja dapat kita lihat dalam beberapa
ciri-ciri perkawinan seperti berikut:
1) Monogami
Istilahnya satu (mono) yang menggambarkan sebuah angka yang tidak dapat
dibagi. Hal ini menjadi gambaran yang jelas bila dalam perkawinan, mengapa dari
dua orang atau dua manusia dapat menjadi “satu” dalam arti “satu” yang tidak dapat
dibagi-bagi lagi. Seorang suami hanya mempunyai satu istri, demikian pula
sebaliknya, dengan demikian cinta mereka akan menjadi penuh dan utuh, tak terbagi.
Karena pria dan wanita mempunyai martabat yang sama yaitu mencintai dan dicintai.
Pernyataan ini senada dengan yang tertulis dalam Undang-Undang tentang
Perkawinan pasal 3 yang mengatakan: “Pada azasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh
semakin menegaskan bahwa perkawinan antara satu orang pria dan satu orang wanita
merupakan sebuah perkawinan yang paling ideal dan sungguh-sungguh
menggambarkan sebuah kesempurnaan dalam perkawinan.
Pasangan suami-istri dituntut untuk saling setia, suami setia kepada istri dan
begitu pula sebaliknya istri setia kepada suami, tanpa kesetiaan akan sulit
dilaksanakan sebuah perkawinan yang monogam adalah anugerah dan perkawinan
Katolik adalah lambang kasih Kristus kepada Gereja.
2) Tak terceraikan (indissolubilitas)
“Perkawinan Katolik tak terceraikan” pernyataan ini mempertegas ciri yang
pertama. Seperti yang kemudian ditulis dalam Kitab Hukum Kanonik yang
mengatakan: “Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa
manusiawi manapun atas alasan apapun, selain oleh kematian (Kanon 1141)
perkawinan Katolik memberikan kebebasan pasangan pria dan wanita untuk memilih
sesuai dengan pilihannya karena Gereja tidak memaksa terjadinya suatu perkawinan.
Atas dasar pilihannya itulah suami diharapkan dapat mencintai istri
sungguh-sungguh, demikian pula sebaliknya bagi sang istri. Kedua pasangan diharapkan dapat
menjadi pasangan yang selalu mengutamakan komitmen atau perjanjiannya untuk
selalu bersama dalam segala hal seperti yang dikatakan oleh Gilarso dalam bukunya
bahwa:
jika mereka bercerai maka mereka tidak dapat atau gagal mengembangkan cinta sejati itu (Gilarso, 1996: 12).
Suami atau istri yang menjadi pilihannya tetap menjadi pilihannya untuk
selama-lamanya. Suami atau istri yang telah berjanji di hadapan Gereja harus
senantiasa mewujudkan janji itu.
3) Terbuka bagi keturunan
Siap menjadi orang tua, bila diberikan Tuhan juga siap selalu menjadi
pasangan kalaupun belum diberikan keturunan, selain itu dalam hal memiliki
keturunan, kedua pasangan harus benar-benar siap, dan bijaksana dalam mengambil
keputusan untuk mempunyai keturunan. Dalam hukum Gereja Katolik segala bentuk
penolakan yang dilakukan secara sengaja terhadap keturunan dilarang secara tegas
(Gilarso, T 2008 : 12-13).
4) Keluarga Kristiani adalah “Gereja mini”
Keluarga adalah persekutuan dasar bagi iman dan tempat persemaian iman
yang sejati karena keluarga menjadi awal dari tempat berkumpulnya orang-orang atau
manusia. Maka dalam keluarga Katolik, diharapkan iman dapat berkembang dalam
keluarga dengan lebih leluasa, karena keluarga merupakan dasar, basis dalam setiap
kehidupan manusia, bukan hanya dalam Gereja saja untuk pewartaan kabar gembira
Allah, tapi keluarga merupakan tempat segala macam pendidikan untuk anak-anak
dan semua anggota keluarga. Dalam keluarga orang tua menjadi kepala keluarga
wajib memberikan pendidikan bagi anak-anak dan anggota keluarganya sebagai
sopan-santun, tata krama, adat-istiadat, terutama dalam hal penghayatan iman, orang
tua menjadi dasar pengetahuan iman contoh nyata dan teladan yang sungguh-sungguh
dapat dilihat secara langsung bagi anak-anak serta anggota keluarganya yang lain.
Cinta kasih yang diikat dalam suatu perkawinan hendaknya dikembangkan
oleh suami-istri secara terus menerus dan dengan suka rela, agar cinta kasih yang
dinyatakan dalam janji perkawinan semakin nyata. Dengan demikian cinta kasih yang
total dan menyeluruh ini menggabungkan yang manusiawi dan ilahi, serta mendorong
suami-istri untuk saling memberi diri dengan bebas yang kemudian diwujudnyatakan
dalam kehidupan sehari-hari melalui perkataan dan perbuatan.
Oleh karena sebuah perkawinan adalah sesuatu yang sangat khusus dan
istimewa, maka untuk mencapai sesuatu yang dikatakan perkawinan perlu adanya
suatu persiapan. Persiapan yang dilakukan tidak dapat dilakukan dengan
sembarangan, atau sekenanya saja melainkan sungguh-sungguh direncanakan dan
mendapat dukungan dari berbagai pihak yang juga turut bekerjasama demi
tercapainya tujuan perkawinan (Gilarso, T 2008 : 13).
5. Persoalan/Permasalahan Yang Sering Muncul Dalam Perkawinan
Hidup perkawinan adalah hidup cinta, saling menghargai, kuat dalam
penderitaan, kesabaran dan menerima kekecewaan, merupakan bekal orang yang
mencintai. Perkawinan merupakan aspek yang dinamis, bertumbuh, berkembang dan
Keluarga-keluarga Katolik dewasa ini sangat membutuhkan perhatian
terutama dalam hal membangun iman keluarganya, namun kita juga tidak boleh
mengesampingkan pengetahuan yang dimiliki oleh pasangan-pasangan yang telah
menikah, banyak sekali pasangan-pasangan yang memiliki pengetahuan dan
memahami serta tahu bagaimana menciptakan keluarga yang harmonis yang sunguh
menghayati iman akan Kristus dalam kehidupan keluarganya.
Hal inilah yang ingin diwujudkan dalam kehidupan berkeluarga, tujuan utama
dalam pembinaan keluarga adalah agar semakin banyak tercipta keluarga yang
sungguh-sungguh berakar kepada Kristus sebagai batu penjuru dalam hidup
keluarganya. Dengan bantuan keluarga-keluarga yang telah memahami dan mengerti
serta sungguh-sungguh mau berbagi cara-cara membangun hidup berkeluarga dengan
berdasarkan kepada cinta kasih kepada Allah, kita akan bersama-sama membangun
lebih banyak lagi keluarga-keluarga yang diharapkan oleh Gereja juga bangsa dan
negara. Namun dalam usaha mewujudkan hidup keluarga tersebut seringkali keluarga
dihadapkan pada persoalan-persoalan yang diantaranya ialah:
a. Masalah Karena Kesulitan Ekonomi
Tidak sedikit keluarga yang mengalami masalah ekonomi, bagaimana dengan
penghasilan dapat mencukupi segala kebutuhan keluarga pada saat ini maupun untuk
masa yang akan datang (Timmottius, 2010: 147-148).
Banyak hal yang menyebabkan munculnya masalah ekonomi dalam keluarga
pemborosan, kebodohan, cacat, penyakit dan lain sebagainya. Akibat dari masalah ini
tentu saja akan menimbulkan masalah baru seperti: rasa minder atau malu yang
kemudian dialami oleh suami atau istri, kesulitan untuk maju dan berkembang,
anak-anak kurang mendapat pendidikan yang layak, terkadang juga menjadi mudah iri
terhadap kesuksesan orang lain. Segala macam permasalahan itu juga mengakibatkan
seseorang menjadi berpikir instan misalnya berusaha mendapatkan uang dengan cepat
dengan: mencuri, korupsi, atau melakukan tindak kejahatan yang lain. (Gilarso, T
2008 : 135-153).
b. Kesulitan Dalam Relasi Sebagai Suami-Istri
Hampir semua suami-istri pernah mengalami masalah dalam relasi antar
mereka berdua, entah masalah yang berat atau masalah yang ringan. Namun
diantaranya keduanya tentu mempunyai cara-cara yang berbeda dalam menghadapi
masalah tersebut. Permasalahan-permasahan yang muncul dalam relasi antar
suami-istri menggambarkan ketidak dewasaan pribadi dari salah satu pasangan atau bahkan
kedua-duanya. Lunturnya rasa cinta dan ketertarikan dari mereka berdua, adanya
perbedaan pandangan yang sulit untuk didamaikan, mungkin juga karena campur
tangan dari pihak keluarga seperti mertua, orang tua, cemburu dan juga teman (Hart,
c. Masalah Karena Kondisi Anak-anak
Anak-anak juga terkadang menjadi masalah bagi orang tuanya dalam arti ada
orang tua yang memilik anak yang cacat, bodoh, nakal bahkan tidak mempunyai
anakpun terkadang juga menjadi masalah bagi pasangan suami-istri. Akibat yang
ditimbulkan ialah menghadapi anak yang bandel, nakal terkadang orang tua merasa
tidak berhasil mendidik anak, rasa malu terhadap masyarakat luas, rasa sedih dll
(Hart, 1988: 137149).
d. Kesulitan Berelasi Dengan Masyarakat
Masyarakat sekitar merupakan bagian dari kehidupan perkawinan pasangan
suami-istri. Namun terkadang dalam hubungannya seseorang tidak mungkin akan
selalu harmonis. Pasangan suami-istri yang telah mejalani hidup berdua satu rumah,
setiap saat saja bisa bermasalah apalagi dengan orang yang berada diluar rumah,
entah itu permasalahan ringan ataupun berat atau karena hal sepele dan sebaliknya.
Suatu keluarga yang kurang dapat berelasi baik dengan orang-orang disekitar pada
umumnya terjadi di kota-kota besar. Rumah-rumah besar yang berpagar tinggi yang
dikelilingi oleh teralis dan anjing penjaga yang galak juga dapat menghalangi
silahturahmi dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Bagitu pula dengan
kesibukan kerja, suami dan istri sama-sama bekerja, berangkat pagi dan pulang
malam sehingga tidak ada waktu untuk berkunjung kepada tetangga dan lain
sekitar yang juga dapat mempengaruhi perkembangan sebuah keluarga (Hart, 1988:
121-135).
e. Kesulitan Membangun Relasi Dengan Tuhan
Perbedaan agama antara suami dan istri dapat menimbulkan relasi dengan
Tuhan menjadi terganggu. Kesulitan dalam pendidikan agama dirumah, rasa enggan
berdoa karena adanya perbedaan agama dengan suami atau istri. Minder untuk
berangkat kegereja karena suami beragama lain juga dapat menjadi kendala untuk
seseorang istri untuk dekat dengan Tuhan begitu pula sebaliknya.
Kenyataan umum perkawinan dewasa ini khususnya di indonesia memang
masih jauh dari apa yang diharapkan banyak sekali keluarga-keluarga yang masih
berada dalam problema yang sukar untuk dicari jalan keluarnya, tentu saja hal seperti
telah mendapat perhatian dari komisi keluarga baik yang berada di Paroki maupun
keuskupan masing-masing. Kenyataan inilah yang menarik perhatian penulis, bahwa
kasus-kasus dalam keluarga ini tidak pernah ada habisnya selalu ada hal-hal baru
yang membutuhkan perhatian secara khusus. Dan memang problema dalam hidup
berkeluarga itu sangatlah kompleks bukan hanya dalam hal berumah tangga namun
ada faktor lain yang juga memicu problem dalam kehidupan rumah tangga. Namun
perlu diketahui pula bahwa Gereja juga tidak tinggal diam, banyak usaha yang
dilakukan oleh Gereja demi menciptakan keluarga-keluarga yang sungguh-sungguh
berdasarkan pada iman Kristiani yang tangguh. Walau masih banyak
bukan hanya dari pihak Gereja tetapi juga dari umat secara keseluruhan, baik itu
kerabat-kerabat dekat maupun jauh, teman-teman, lingkungan sekitar, dan juga
pemerintah (Hart, 1988: 151-165)
B. Kursus Persiapan Perkawinan
1. Pengertian Kursus Persiapan Perkawinan
Dalam ajaran Katolik mengenai perkawinan mendapat tempat yang khusus
dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah lewat hubungan
kedua pasangan suami-istri. Maka untuk mempersiapkan hubungan yang khusus itu
kedua pasangan dihimbau untuk mempersiapkan secara matang dan bukan hanya bagi
kedua pasangan melainkan juga agar hubungan yang akan dibina tersebut layak
dihadapan Allah. Gereja memberi perhatian khusus pula dalam hal ini, yang menjadi
fokus bagi Gereja adalah agar hubungan kedua pasangan suami-istri tersebut kelak
mampu mencerminkan hubungan Allah dengan umat-Nya, maka Gereja juga
menyiapkan diri dengan membekali kedua pasangan calon suami-istri ini dangan
berbagai pengertian-pengertian, pemahaman-pemahaman mengenai perkawinan baik
itu lewat kacamata Gereja, dan juga Kitab Suci agar kedua pasangan menjadi layak
membangun keluarga yang sungguh-sungguh bukan hanya berguna bagi negaranya
atau lingkungan sekitarnya, melainkan juga menjadi gambaran hadirnya Allah dalam
dunia. Untuk membekali kedua pasangan calon suami-istri yang akan menjalani
kehidupan berkeluarga ini Gereja sudah mempersiapkan tim khusus yang anggotanya
sendiri-sendiri. Pendampingan ini dimulai ketika kedua calon pasangan suami-istri ini akan
menikah misalnya dengan KPP, dan juga pendampingan ketika kedua calon
suami-istri tersebut telah hidup berkeluarga misalnya dengan pembinaan lanjutan bagi
pasangan yang sudah menikah, entah itu dengan rekoleksi, retret pasutri,
seminar-seminar yang berhubungan dengan persoalan-persoalan hidup berkeluarga dan lain
sebagainya. Pada bagian ini yang menjadi topik bahasan penulis adalah mengenai
KPP itu sendiri. KPP adalah suatu kegiatan persiapan pembekalan bagi kedua calon
pasangan suami-istri dalam hidup berkeluarga dengan tujuan membekali calon
mempelai untuk dapat memahami arti dan makna perkawinan secara umum dan
memahami kekhasan perkawinan Katolik sehingga diperoleh wawasan yang
mendalam tentang ajaran Gereja Katolik mengenai perkawinan. Banyak hal yang
akan dibahas dalam KPP oleh karena itu Gereja membuat jadwal khusus bagi
pasangan yang akan mengikuti kursus persiapan perkawinan tersebut. Materi-materi
yang ada dalam KPP adalah materi-materi yang dianggap penting dan bermanfaat
bagi kedua pasangan kelak.
2. Tujuan Kursus Perkawinan
1) Mempersiapkan muda mudi yang akan menikah/hidup berkeluarga dalam
bentuk kursus perkawinan (penyadaran dan pemberdayaan antara lain: sebagai
langkah persiapan bagi muda-mudi untuk hidup berkeluarga yang baik dan
suatu usaha memberikan bekal dalam hidup keluarga Katolik, melengkapi
kesehatan, ekonomi, paham gender, dan pengetahuan lainnya yang berkaitan
erat dengan hidup berkeluarga, memberikan pegangan bagi mereka untuk
mengambil tindakan dan mengatur hidupnya sendiri menurut azas dan moral
Kristiani.
2) KPP memberikan penjelasan bagi mereka tentang hal-hal yang berhubungan
dengan masalah perkawinan dan masalah keluarga di Paroki.
3) KPP menanamkan benih panggilan Kristiani melalui keluarga-keluarga yang
sungguh-sungguh menghayati panggilan hidup dalam berkeluarga.
3. Relevansi Kursus Perkawinan di masyarakat
KPP sebagai tanggapan terhadap kebutuhan masyarakat dan Gereja. KPP ini
merupakan pelayanan terhadap masyarakat/umat dan tanggung jawab dari Gereja,
guna memperluas pandangan Kristiani mengenai perkawinan dan keluarga, yang juga
merupakan harapan baik Gereja maupun masyarakat, demi tercapainya keluarga
bahagia. KPP sebagai pembaharuan terhadap pastoral perkawinan. Dalam persiapan
dan pembinaan, aspek keutamaan mulai diperhatikan melalui semua yang terkait
dalam persiapan ini sebagai biro konsultasi perkawinan yang jarang ada di
masyarakat. Kedua pasangan yang akan hidup berkeluarga memang secara fisik dan
mental akan dianggap sudah cukup layak untuk membangun kehidupan berkeluarga,
namun Gereja menyelenggarakan KPP tersebut bukan untuk mendikte atau
menganggap kedua pasangan tidak tahu sama sekali atau tidak mengerti mengenai
agar keluarga yang kelak terbina menjadi keluarga yang sungguh-sungguh
mempunyai tujuan yang istimewa yang mengarah kepada keluarga Kristiani yang
menjadikan Kristus sebagai kepala keluarganya. Menjadi bekal yang
sungguh-sungguh mampu dihidupkan oleh pasangan suami-istri dan menjadi spiritualitas yang
sungguh-sungguh dihayati dengan semakin sempurna dalam hubungan dengan Allah.
Maka dalam persiapan perkawinan itulah spiritualitas dan semangat itu kembali
disiram dan disegarkan dalam KPP.
4. Pentingnya Kursus Persiapan Perkawinan
KPP sangat penting bagi para calon mempelai yang akan segera
melangsungkan pernikahan. Ini terlihat juga bahwa KPP sangat penting dengan
dikeluarkannya peraturan pada setiap keuskupan, yang menetapkana setiap calon
mempelai harus mengikuti KPP terlebih dahulu sebelum mereka menikah.
Ketentuan itu tentu saja tidak lahir begitu saja dari para pemimpin Gereja,
melainkan ketentuan itu lahir dari pengalaman-pengalaman dan kejadian yang
merugikan perkawinan. Peristiwa yang merugikan perkawinan Katolik, misalnya:
percekcokan dalam keluarga, suami-istri tidak hidup dalam satu rumah, dan
perceraian. Dalam hal ini KPP menjadi solusi yang tepat untuk membekali para
calon mempelai sebelum melangsungkan perkawinan. KPP itu sangat penting
terutama dalam hal :
1) Bagi para calon yang akan menikah, sangat penting sebab bekal yang mereka
melainkan juga hal-hal praktis, seperti kesehatan, ekonomi rumah tangga,
psikologi, komunikasi suami-istri, pendidikan anak dsb.
2) Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa keluarga mengalami kesulitan yang
disebabkan karena kurangnya persiapan dalam perkawinan, calon pasangan
suami-istri terpaksa cepat-cepat melangsungkan perkawianan tanpa bimbingan
yang memadai dan menyeluruh.
3) Urusan perkawinan bukan hanya urusan perseorangan, melainkan juga urusan
masyarakat (sosial) dan Gereja.
4) Keluarga yang baik perlu dipersiapkan lama sebab keluarga yang baik adalah
faktor utama untuk keselamatan (kesejahteraan), baik pribadi, masyarakat
maupun Gereja (bdk. GS 47).
5) Pengertian mengenai martabat perkawinan dan hidup berkeluarga harus jelas
bagi muda-mudi, lebih-loebih di era globalisasi yang diwarnai oleh media masa
yang begitu kuat pengaruhnya, radio, film, majalah, dsb.
Pengertian mengenai martabat perkawinan (keluarga) harus jelas bagi
muda-mudi. Kebutuhan akan persiapan yang teratur dan terperinci sungguh-sungguh
dirasa-kan dewasa ini, baik oleh muda-mudi sendiri maupun oleh pimpinan Gereja,
lebih-lebih karena adanya gejala-gejala negatif masyarakat yang mengaburkan martabat
perkawinan dan adanya perubahan nilai-nilai (bdk. GS 46 dan 47). Segala upaya
diberikan dalam persiapan. Dewasa ini, susunan dan struktur keluarga sedang
(pandangan yang jelas dan sehat) untuk menciptakan suasana yang lebih memuaskan.
Kalau kita menggunakan kesempatan sekarang ini dengan baik, kita dapat
menunjukkan "persekutuan cinta" yang merupakan sumber terbaik untuk kehidupan
manusiawi yang baru, yaitu anak-anak. Oleh karena itu, persiapan dapat dibedakan:
Persiapan jangka panjang, suasana keluarga yang sehat, pendidikan di sekolah,
lingkungan pergaulan, kegiatan sosial, ketrampilan, dan lain-lain. Persiapan jangka
pendek, khusus bagi muda-mudi yang akan menghadapi kehidupan berkeluarga
(per-kawinan), seperti yang diberikan pada saat kursus. Dengan melihat betapa pentingnya
kursus perkawinan bagi kehidupan pasangan suami-istri, di beberapa paroki, kursus
perkawinan sebagai sarana mendapatkan pemahaman minimal mengenai perkawinan
Katolik menjadi syarat wajib untuk memasuki jenjang perkawinan. Namun, kursus
hidup berkeluarga ini perlu dihayati bukan sebagai kewajiban atau syarat semata,
tetapi sebagai suatu rekoleksi dan permenungan yang sederhana untuk
mempersiapkan diri lebih baik dan memantapkan niat memasuki jenjang perkawinan.
KPP bukan hanya bermanfaat untuk memperlancar proses pernikahan ataupun
melengkapi persyaratan untuk menikah bagi kedua pasangan melainkan agar kedua
pasangan semakin mantap dan memperoleh bekal yang layak untuk dapat digunakan
sebagai patokan dalam berpikir ketika sudah hidup berkeluarga. KPP mendapat
perhatian khusus juga dalam Gereja dengan dikeluarkannya peraturan pada setiap
keuskupan, yang menetapkan setiap calon mempelai dihimbau untuk mengikuti
KPP terlebih dahulu sebelum mereka menikah. Ketentuan itu tentu saja tidak lahir
kejadian yang merugikan perkawinan yang pernah dialami oleh Gereja. KPP dalam
hal ini menjadi solusi yang tepat untuk membekali para calon mempelai sebelum
melangsungkan perkawinan.
C. Keluarga
Keluarga adalah sekelompok manusia yang tinggal bersama baik itu dengan
anggota yang lain maupun hanya antara pasangan suami-istri saja. Keluarga adalah
lembaga yang berdasarkan pada perkawinan, namun bukan berarti juga bahwa
perkawinan menjadi sarana satu-satunya untuk membangun sebuah keluarga.
Keluarga adalah tempat pembentukan manusia lebih tepatnya lagi keluarga adalah
tempat memanusiakan manusia. Dalam lingkup keluarga semua anggota dari
kanak-kanak sampai kakek berkembang dengan saling membentuk untuk
memperkembangkan kepribadian mereka masing-masing dalam hubungan yang erat
satu dengan yang lainnya. Keluarga adalah sel terkecil dalam masyarakat dan Gereja,
yang menjadi dasar atau basis dalam setiap kegiatan bermasyarakat dan
perkembangan awal dalam iman berasal dari keluarga.
Hidup berkeluarga merupakan suatu panggilan, dalam mengarungi bahtera
kehidupan dan selalu ada gelombang yang menghantam. Dengan perkawinan
terbentuklah keluarga baru, yang bisa saja jumlah anggotanya akan terus bertambah
bahagia dan semuanya itu dapat dipenuhi dalam keluarga. Di dalam keluarga kita
dapat memperoleh apa yang sewajarnya diinginkan oleh semua orang seperti: merasa
diperlukan, diperhatikan, dihargai, disayangi. Suasana keluarga yang hangat dapat
mengisi kebutuhan akan merasa diperlukan, diperhatikan, dihargai, disayangi ini
dengan istimewa. Dalam keluarga selayaknya dibangun suasana saling percaya,
saling mengerti dan kasih sayang tercipta dalam rumah tangga dan menjadi tempat
berteduh yang nyaman jauh dari semua kesukaran dan kerisauan yang terjadi diluar.
Dalam suasana yang layak dan terkondisi dengan baik dalam keluarga anak-anak
merasa aman dan kepribadian mereka dapat berkembang sepenuhnya.
Pandangan Katolik tentang hidup berkeluarga bermula pada ajaran Yesus
dan ajaran para rasul, kemudian dikembangkan dari abad ke abad. Perkawinan
Kristen merupakan ”lambang” dari hubungan Kristus dengan Gereja. Perkawinan
merupakan kesatuan erat antar seorang pria dan seorang wanita, yang kemudian
diwujudkan dalam hubungan intim khususnya dan dalam menjalani kehidupan
berkeluarga pada umumnya. Kesatuan ini bukan hanya antara suami-istri tetapi juga
dengan anak-anaknya kelak, yang juga merupakan bagian dari perkawinan tersebut.
Inilah yang disebut keluarga dimana bagian utuh yang harus ada didalamnya.
Hidup berkeluarga adalah hidup dimana kedua pasangan suami-istri hidup
bersama-sama, beserta anak-anak, dalam satu rumah, dan terjalin komunikasi yang
baik, bebas, masing-masing anggota keluarga berada pada perannya masing-masing
dan saling membantu dalam menghadapi berbagai macam tantangan dalam keluarga