• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN ADAT ISTIADAT LELUHUR ATAU TRADISI LELUHUR SEBAGAI WUJUD NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DI DESA KARANGBENDA KECAMATAN ADIPALA KABUPATEN CILACAP - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PELAKSANAAN ADAT ISTIADAT LELUHUR ATAU TRADISI LELUHUR SEBAGAI WUJUD NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DI DESA KARANGBENDA KECAMATAN ADIPALA KABUPATEN CILACAP - repository perpustakaan"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PELAKSANAANADAT ISTIADAT LELUHUR ATAU TRADISI

LELUHUR DI DESA KARANGBENDA KECAMATAN ADIPALA

KABUPATEN CILACAP

A.Kondisi Desa Karangbenda

Lokasi desa Karangbenda di kilometer 3,5 dari pusat Kecamatan Adipala, jarak ke ibukota Kabupaten Cilacap 26 km dan ke pusat ibu kota provinsi 278 km, dengan luas 448.689 Ha. Batas wilayah desa Karangbenda adalah sebelah utara dengan desa Pedasong, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat dengan desa Adiraja, dan sebelah timur dengan desa Glempang Pasir (Wawancara dengan Suradi, 13 Maret 2017). Nama Karangbenda memiliki arti hubungan antar manusia beserta alamnya, dalam tatanan meraih harta dunia. Karang digambarkan pikiran manusia yang penuh gagasan, dan canangan dunia. Benda digambarkan harta benda berlimpah ruah yang ada di bumi (Sidik Purnama Negara, 2010: 47).

(2)

dalam 847 KK, dengan komposisi sebagai berikutlaki-laki 1.577 jiwa dan perempuan 1.975 jiwa. Jika ditinjau dari segi usia penduduk desa Karangbenda dapat dikelompokkan sebagai berikut usia 0-15 tahun 1.199 jiwa, usia 15-65 tahun 2.019 jiwa, dan usia 65 tahun ke atas 334 jiwa.

Lingkungan sosial masyarakat desa Karangbenda masih terjaga dengan baik dalam hidup yang rukun saling tolong menolong tanpa adanya perdebatan antar masyarakatnya.Prinsip menghormati ajaran agama dan praktek keagamaan yang berbeda-beda sudah menjadi keseharian masyarakat sehingga interaksi sosial yang menuju ke arah kompetisi yang tidak sehat dan konflik tidak terjadi.

(3)

dengan melakukan beberapa ritual yang diyakini mampu mengharmoniskan alam manusia dengan alam gaib. Tidak jarang ritual ini juga merupakan upaya untuk meminta keperluan dan tujuan hidup (mencari berkah). Melalui ritual masyarakat bisa memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuan hidupnya melalui kekuatan-kekuatan yang berperan dalam tindakan gaib (Wawancara dengan Supardiman, 13 Maret 207).

Gambar.1

Gunung Selok dari Daratan sumber : http://pariwisata.cilacapkab.go.id

Gambar.2

(4)

Gambar.3

Gunung Selok Sebelah Utara Sumber : Dokumen pribadi

(5)
(6)

berupasatu batang pohon berdaun dan bunga yang menjadi buah. Sedangkan lima artinya hitungan jumlah lima, maksudnya dalam penggunaan pancaindra sedapat mungkin seperti lurusnya pohon pinang, sehingga hanya berdaun, berbunga dan berbuah. Maknanya kita tidak boleh senonoh atau sembarangan, dalam melihat, mendengar, mencium atau menghirup, meraba dan merasakannya (Sidik Purnama, 2010 : 44-48).

Gambar. 4

Gerbang Pertama Masuk Kawasan Gunung Selok Sumber : Dokumen pribadi

(7)

hidup dalam landasan kejujuran dan tenggang rasa, dan Sang Hyang Sejati bermakna kebesaran Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyediakan bumi untuk memfasilitasi kehidupan (Sidik Purnama Negara, 2010: 51).

Gambar. 5

Jalan Menuju Padepokan Sumber : http://pariwisata.cilacapkab.go.id

(8)

petilasan Sang Hyang Wisnu Murti bermakna menggunakan seluruh organ berpusat pada akal pikiran semuanya untuk kebaikan, Eyang Lengkung Kusuma bermakna tingginya kepentingan perilaku manusia di dunia mengemban amanat kemuliaan kemanusiaan, dan Cakra Baskara atau Eyang Lengkung Cuwiri bermakna bahwa dalam kehidupan manusia wajib mengembangkan rasa kasih sayang . Meski disebut jambe pitu namun di sana tidak ada pinang berjumlah pitu (tujuh). Pemberian nama Jambe Pitu diambil berdasarkan dari jumlah hari dalam satu minggu. Makna lain dari Jambe Pitu adalah penjelasan adanya tujuh lapisan organ manusia yaitu rambut, kulit, daging, darah, tulang, otot, dan sum sum. Pengertian jambe adalah jumbuh atau kemanunggalan, sedangkan pitu diartikan tujuh lapisan. Maksudnya bahwa menyatunya tujuh lapisan terbentuknya organ tubuh manusia, merupakan sarana fungsi kemuliaan atas akal, hati, dan perasaan (Sidik Purnama Negara, 2010: 51)

Gambar.6

(9)

Gambar.7 Gerbang Masuk Pura

Sumber : Dokumen pribadi

(10)

Didepan petilasan Jambe Lima terdapat bangunan komplek persembahyangan atau Vihara untuk penganut Budha. Dikenal sebagai Vihara Agung Shang Yang Jati, yang dipimpin seorang biksu Banthe Dharma Teja asal Cilacap.Pedepokan Agung tersebut berupa komplek bangunan yang didirikan di atas ketinggian 200 m. Ada lima bangunan untuk persembahyangan, sebagai simbol rumah dewa. Seperti rumah Dewa Brahma CiMen Fu lengkap dengan patungnya. DewaBumi, Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan Kong.Padepokan ini merupakan tempat ibadah agama Siwa-Budha, dua agama paling tua di dunia digabungkan dalam satu ajaran dan bisa berasimilasi dengan baik tanpa menimbulkan pertentangan (Wawancara dengan Tikun, 15 Maret2017).

Gambar.9

(11)

Gambar.10 Patung Budha

Sumber : Dokumen pribadi

(12)
(13)

Nagarajaterletak masih di kaki Gunung Selok di sebelah barat Gua Rahayu dan Gua Ratu ± 1 km ke arah barat dengan menelusuri alur sungai. Gua Nagaraja ini bersebelahan dengan Gua Lawa. (3) Gua Pakuwaja terletak di kaki Gunung Selok bagian timur tenggara, tempat ini banyak dikunjungi orang yang berziarah dan ada tempat untuk sholat dan di dekatnya ada air untuk berwudlu. Menurut legenda Pakuwaja adalah petilasan Pangeran Pakuwaja yaitu putera mahkota Kerajaan Majapahit terakhir, pada masa runtuhnya Majapahit beliau berkehendak perang demi mempertahankan kerajaannya.

Disamping gua-gua tersebut masih ada gua-gua yang lain dikunjungi para peziarah yang letaknya disebelah barat kaki Gunung Selok yaitu Gua Sri Bolong, Gua Putih, Gua Grujugan, Untuk menuju Gua tersebut dari depan Balai desa Karangbenda ada jalan menuju selatan terus menelusuri jalan perhutani sampai ke Kaindran kemudian menuju Gua Sri Bolong, Gua Putih, Gua Grujugan disebut Gua Grujugan karena di mulut gua terdapat air yang terus menerus mengalir dari atas kebawah.

Gambar. 12

(14)

Disamping gua-gua tersebut di Gunug Selok juga terdapat benteng peninggalan Jepang yang konon sebagai tempat pertahanan Jepang dan tempat pengintaian musuh yang datang dari laut.Berdasarkan keterangan informan, konon ceritanya ada 24 benteng peninggalan bala tentara Jepang namun yang masih utuh tinggal satu yang sudah direnovasi dan di atas benteng peninggalan Jepang kearah barat daya terdapat makam Kiai Sumolangu yang banyak dikunjungi para peziarah dari daerah Kebumen. Makam Kiai Sumolangu sementara ini masih ditutupi gubug dan disekelilingnya baru dibangun pondasi keliling.Konon Kiai Sumolangu berasal dari daerah Kebumen dan meninggal di Gunung Selok.

Kehidupan ekonomi masyarakat desa Karangbenda sangatberagam, dapat diketahui pada tabel berikut :

Tabel.1

Mata Pencaharian Masyarakat Desa Karangbenda

NO Nama Mata Pencaharian Jumlah

1 PNS/TNI/Polri 7

2 Wiraswasta/pedagang 150

3 Petani 840

4 Tukang 99

5 Buruh tani 85

6 Pensiunan 6

7 Nelayan 95

8 Peternak 672

9 Jasa 27

10 Pekerja seni 2

(15)

Berdasarkan data di atas ternyata kehidupan ekonomi masyarakat desa Karangbenda mayoritas dari sektor pertanian dan peternakan, disusul dari kegiatan perdagangan, tukang, nelayan, buruh tani, dan jasa. Berdasarkan data di kantor desa Karangbenda ternyata jumlah penduduk miskin berdasarkan standar BPS sebanyak 410 jiwa atau 201 KK.

Berdasarkan tingkat pendidikan masyarakat desa Karangbenda mayoritas berpendidikan SD, sehingga wajib belajar 9 tahun di desa Karangbenda belum berhasil. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah tamatan SD sebanyak 1.368 siswa yang melanjutkan ke SMP/MTs hanya 613 orang. Untuk lebih jelasnya tentang tingkat pendidikan masyarakat desa Karangbenda dapat dilihat pada tabel 2, sebagai berikut :

Tabel.2

Tingkat Pendidikan Masyarakat Karangbenda

NO Jenjang Sekolah Jumlah

1 Tidak / belum sekolah 838

2 Belum tamat SD/sederajat 372

3 Tamat SD/sederajat 1.368

4 SMP/sederajat 613

5 SMA/SMK 322

6 Akademi/D1-DII 5

7 Akademi/D3 11

8 Sarjana S1 22

9 Sarjana/S2 1

Jumlah Total 3.552

(16)

Berdasarkan data di atas, ternyata tingkat pendidikan masyarakat desa Karangbenda masih banyak yang tidak meneruskan dari SD ke SMP/MTs, yang melanjutkan kuliah juga masih sangat sedikit. Kenyataan inilah yang berpengaruh juga pada pola pikir masyarakat desa Karangbenda.

Sesuai dengan data dari kantor desa Karangbenda sebenarnya agama mayoritas yang dianut masyarakatnya adalah Agama Islam. Untuk mengetahui jenis agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat desa Karangbenda disajikan tabel berikut :

Tabel.3

Data Pemeluk Agama dan Penganut Kepercayaan Masyarakat Desa Karangbenda

NO Agama dan Kepercayaan

RW

Jumlah

1 2 3 4

1 Islam 865 915 730 961 3.471

2 Kristen 3 - 1 2 6

3 Katholik - 3 4 - 7

4 Hindu 2 1 1 3 7

5 Budha - 2 1 2 5

6 Kepercayaan 10 11 11 21 53

Jumlah Keseluruhan 880 932 748 989 3.552

(Sumber : Data Monografi desa Karangbenda)

(17)

(Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Kejawen), Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan kepercayaan.Penganut Islam mayoritas adalah dari ormas Nahdlatul Ulama. Dari 9 musholla, hanya satu yang merupakan mushola dari ormas Muhammadiyah. Sebagian adalah penganut Islam KTP karena sebenarnya mereka melaksanakan ajaran dan praktik Kejawen. Banyaknya kaum Nahdliyin di Karangbenda dimungkinkan karena dalam ajaran dan praktiknya Nahdlatul Ulama dianggap lebih akomodatif terhadap tradisi masyarakat desa Karangbenda. Sementara itu, penganut Muhammadiyah hanya sedikit, yaitu ada di satu musholla di Babakan.Pada kenyataannya di dusun Congot terdapat penganut HPK bernama Paguyuban Cahaya Sejati yang dipimpin oleh bapak Witomiarso dengan anggotanya sekitar 328 orang. Tujuannya adalah memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa diberi keselamatan di dunia dan di akherat.

Gambar. 13

(18)

Selain itu, di dusun Karangbenda RT 01 RW 04 juga terdapat kelompok kejawen yang bernama Ngudi Luhur dengan ketuanya bapak Noto Miharjo. Anggota dari paguyuban ini lebih sedikit dibanding anggota Paguyuban Cahaya Sejati, yaitu sekitar 75 orang.

Gambar. 14

Ketua Paguyuban Ngudi Luhur Bersama Peneliti Sumber : Dokumen pribadi

Gambar. 15

(19)
(20)

dengan masyarakat yang datang dari berbagai agama dan wilayah. Mereka pada umumnya ber-KTP dengan agamanya Islam.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Karangbenda pada khususnya, dan masyarakat Jawa pada umumnya, merupakan tradisi. Pada kenyataannya tradisi ini merupakan suatu bagi andari kebudayaan. Koentjaraningrat memandang bahwa kebudayaan sebagai keseluruan dari kelakuan dan hasil kelakuan yang didapatkan dengan cara belajar dan kesemuanya itu tersusun didalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat,1990:45) Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, dimana pada satu sisi manusia menciptakan budaya sekaligus produk dari budaya tempat diahidup, hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya. Betapapun awamnya, kehidupan berbudaya merupakan cirri khas manusia dan akan terus hidup melintasi alur jaman. Kebudayaan akan selalu menjadi warisan nenek moyang, karena kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang diwariskan turun-temurun. Kebudayaan tumbuhdan berkembang dalam kehidupan manusia dan hamper selalu mengalami proses penciptaan kembali.

(21)

mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya.Berikut merupakan pedoman untuk beradat-istiadat sebagai bekal bermasyarakat yaitu pertama, empan papan maksudnya diperlukan kecakapan dalam membaca situasi dan kondisi sehingga akan bisa bijaksana dalam mengetuk pintu interaksi dan masuk ruang adaptasi; kedua,lambe ati maksudnya dalam berbicara harus tertata dan jangan sampai meninggalkan etika dan estetika, sehingga pembicaraan akan menyentuh hati seseorang atau sekelompok orang (Sidik Purnama Negara, 2010: 47).

Beberapa kegiatan ritualsebagai tradisiturun-temurun yang dilaksanakan oleh masyarakat desa Karangbenda sebagai bentuk kerukunan masyarakat tanpa memandang latar belakang agama dan kepercayaan akan penulis paparkan, antara lain tradisi kehamilan sampai dengan kelahiran, selamatan setelah kematian, tradisi nyadran,suran, dan ritual yang dilakukan pada setiap bulan Sura, setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, serta setiap tanggal 15 setiap bulannya dengan mengambil tempat pada petilasan yang ada di Gunung Selok.

(22)

Gambar. 17

Tempat Ritual Kompleks Jambe Lima Sumber : Dokumen pribadi

Gambar. 18

(23)

Pada kegiatan ritual tersebut pelakunya tidak hanya intern masyarakat Karangbenda tetapi dari berbagai penjuru daerah, dengan berbagai agama dan kepercayaan.

Gambar. 19 Padepokan Jambe Pitu Sumber : Dokumen pribadi

B.Tradisi Kehamilan Sampai dengan Kelahiran.

Pada tradisi kehamilan sampai dengan kelahiran yang dilakukan oleh

(24)

Tradisi kehamilan sampai dengan kelahiran di desa Karangbenda di mulai ketika bayi berumur empat bulan dalam kandungan.Tradisi empat bulan bayi dalam kandungan disebut ngapati atau ngupati. Saat janin atau embrio berusia 120hari atau e m p a t bulan dimulailah kehidupan dengan ruh,dan saat itulah ditentukan bagaimana ia berkehidupan selanjutnya,didunia sampai di akhirat. Maka menyongsong penentuan ini, hendaklah diadakan upacara ngapati(ngupati) yaitu berdoa (sebagai sikap bersyukur, ketundukan dan kepasrahan) mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak lahir sebagai manusia yang utuh sempurna, yang sehat, yang dianugerahi rezeki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh dengan nilai-nilai ibadah, beruntung didunia dan diakhirat. Begitupula, selain berdoa hendaklah bersedekah, karena doa dan sedekah adalah dua kekuatan yang bisa menembus takdir (Chafidh, 2006 : 25).

(25)

Gambar. 20 Ketupat

Sumber : Dokumen pribadi

Dalam bahasa Jawa, Mitoni berasal dari kata pitu artinya tujuh. Ritual Mitoni ini dilaksanakan pada bulan ke tujuh pada kehamilan pertama. Kata pitu juga bisa berarti pitu lungan untuk memohon berkah Gusti Allah (Tuhan) untuk keselamatan calon orang tua dan anaknya. Doa dipanjatkan agar sang bayi lahir pada masanya dengan sehat, selamat dan sang ibu juga diharapkan agar melahirkan dengan lancar, sehat dan selamat. Selanjutnya diharapkan seluruh keluarga hidup bahagia.

(26)

dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kedua upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain sarung si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan ditempat siraman (kamar mandi) sebagai symbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang (Chafidh, 2006 : 38).

Perlengkapan kenduri pada acara tujuh bulan atau mithoni pada dasarnya hampir sama dengan acara ngupati yaitu nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk disertai kluban, kupat, lepet, lalaban. Perbedaannya pada acara mithoni ini ada rujak tebu, cengkir gading, dan tujuh nasi kuning. Kegiatan kendurinya dilakukan juga pada siang hari.

Gambar.21 Tumpeng Tujuh

Sumber : dokumen pribadi

(27)

tidakhanya sekedar sebagaitanda pengenal saja, tetapi juga mengandung arti tertentu agar si pemilik nama selamat-sentosa dalam menjalani kehidupannya .Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, pemberian nama yang tidak tepat kepada seorang anak akan mengakibatkan anak yang bersangkutan selalu sakit atau bernasib sial. Pemberian nama pada masyarakat Jawa umumnya bertepatan dengan upacara selamatan sepasaran bayi yang baru dilahirkan. Pemberian nama tersebut dapat dilakukan oleh ayah, ibu, nenek, atau boleh juga orang lain(misalnya kiai, dukun bayiatau lurah)dengan persetujuan orangtua bayi.

(28)

buah-buahan, bubur merah, bubur putih, jenang sengkolo yaitu bubur merah yang diatasnya diberi bubur putih, nasi brok yaitu nasi yang ditaruh di dalam satu piring dengan lauk-pauknya. Sajian tersebut dikendurikan dengan mengundang para tetangga seperti pada waktu selamatan brokohan. Disamping sajian untuk kenduri pada selamatan sepasaran ada sementara orang yang membuat sajian tulakan yaitu alat untuk menolak bala. Tulakan ini terdiri dari sebungkus kecil nasi dan lauk-pauk serta kue-kue sama seperti untuk kenduri. Kecuali sajian untuk kenduri dan tulakan ada suatu bingkisan yang diberikan kepada dhukun bayi. Bingkisan itu berupa nasi tumpeng dengan lauk-pauk, pisang duasisir,kelapa satu biji, gula merah, beras satu kilo gram, ayam hidup satu ekor, kembang telon. Bersamaan dengan selamatan sepasaran, sibayi diberi nama. Secara resmi nama diumumkan pada waktu berlangsungnya kenduri sepasaran itu. Pemberian nama ini ada beberapa dasar. Disamping pemberian nama bersamaan dengan upacara sepasaran ini ada sementara orang yang mengadakan upacara tindhik. Tindhik adalah cara yang dilakukan untuk member lubang pada telinga sebagai tempat meletakkan subang bagi kaum wanita.

(29)
(30)

melakukan perlindunganterhadap dirinya,karena merekamasih terlalu kecil dan rapuh,sehinggamembutuhkan bantuanorangdewasa.Oleh sebab itu,diadakan tradisi selapanansebagaiupaya untuk melindungi si anak.Perlindungan tersebut bukanhanyasebatas perlindungan fisik, tetapimasyarakat Karangbenda juga percayadengan perlindungan terhadap hal-hal yang gaib.Oleh sebab itu, paraorang tuamengadakan peringatan-peringatan kelahiran sebagai bagiandari perlindungan terhadap bayi.Masyarakat desa Karangbenda tidak hanyamempercayai roh-roh jahat yangkerap mengganggu anak-anak,namun juga mengenal apa yangdisebut denganpamomong,yangmenurut mereka adalah penjaga diri.

C.Tradisi Selamatan Kematian Seseorang

Pada setiap ada kematian salah satu warga, maka seluruh warga masyarakat pada umumnya, secara sukarela untuk memberikan bantuan. Begitu juga di desa Karangbenda, secara bergotong-royong mempersiapkan segala sesuatu untk kepentingan upacara pemakaman, dan berbagai hal yang berkaitan dengan peralatan penguburan. Beberapa rangkaian upacara kematian dilakukan,yaitu brobosan, nyaur tanah, telung dina, pitung dina, patangpuluh dina, nyatus dina,

pendak pisan, pendak pindo, dan sewu dina.

Brobosan, suatu upacara yang diselenggarakan di halaman rumah orang

(31)

jenazah selesai; secara berturutan, para ahli waris yang ditinggal (mulai anak laki-laki tertua hingga cucu perempuan) berjalan melewati keranda yang berada di atasnya (mbrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam; secara urutan, yang pertama kali mbrobosi keranda adalah anak laki-laki tertua dan keluarga inti, selanjutnya disusul oleh anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.Upacara tradisional ini merupakan pengejawantahan dari pepatah Mikul dhuwur mendhem jero yakni menjunjung tinggi, menghormati, mengenang

jasa-jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dan tidak perlu diungkit-ungkit . Selain itu disediakan perlengkapan lain seperti adanya bunga ronce, sawur berupa bunga dicampur uang dan beras kuning, kelapa muda, dan lain-lain.

Surtanah berasal dari kata (Jawa: ngesur tanah), yang berarti nylameti wong kang mentas mati (Poerwodarminto, 1989: 396) yang maksudnya melakukan

(32)

Selamtan nelung dina ini dilaksanakan tepat tiga hari sesudah kematian seseorang. Telu berarti tiga, dan dina berarti hari. Materi atau perlengkapan pada selamatan telung dina hampir sama pada selamatan surtanah, tetapi tanpa tumpeng pungkur beserta lauk pauknya, kemudian ditambah dengan takir pontang, yaitu wadah dari daun pisang dan daun kelapa yang masih muda, berisikan nasi putih dan nasi punar, yaitu nasi yang diberi kunyit, sehingga disebut juga disebut nasi/sega kuning. Selain itu juga ditambah ancah, yaitu sayur kecambah, kacang panjang yang telah dipotong-potong, bawang merah yang telah diiris-iris, garam dan lain sebagainya. Dalam hal penggunaan sajen juga sama.

Upacara selamatan pitung dina/tujuh hari itu tepat hari kematian seseorang. Rangkaian materinya sama dengan selamatan telung dina/tiga hari, tetapi ditambah dengan apem, ketan, dan kolak. Ada sebagian anggota masyarakat Karangbenda yang berpendapat bahwa apem, ketan, dan kolak itu diadakan hanya mulai pada selamatan patang puluh dina/empat puluh hari. Masalah sesajen masih sama.

(33)

Gambar.22 Ingkung Ayam Sumber : Dokumen pribadi

Upacara selamatan satus dina/seratus hari ini dilaksanakan tepat seratus hari sejak kematian seseorang. Macam materi atau perlengkapan dan sesajen juga sama dengan kegiatan selamatan empatpuluh hari.

Upacara selamatan pendak pisan ini dilaksanakan tepat tempo setahun sejak kematian seseorang, sedangkan upacara selamatan pendak pindo ini dilaksanakan tepat tempo dua tahun sejak hari kematian seseorang. Materi dan perlengkapan serta sesajennya juga sama dengan di atas.

(34)

selamatan kematian ini yang memotong juga harus kayim, baru penyelesaiannya dilakukan oleh orang lain yang telah ditunjuk.

Tujuan dari kegiatan selamatan kematian ini mendoakan kepada si mayat agar jembar kuburane (luas kuburanya) dan leres lampahane (lurus jalannya) menjalani kehidupan dialam kubur dengan memohon kepada pangerang kang Maha Kuasa. Acara ini dikenal dengan acara dzikiran atau muji. Adapun makna dari bilangan-bilangan tersebut adalah sebagai berikut:hari ketiga adalah masa menyempurnakan bulu kuku (wulu kuku),hari ketujuh adalah masa meyempurnakan daging, hari keempat puluh adalah masa menyempurnakan otot, hari keseratus adalah masa menyempurnakan tulang, dan hari keseribu adalah masa menyempurnakan sumsum.

D.Tradisi Nyadran

(35)

Dalam kontek sinilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu, karena tumbuh dalam masyarakat itu sendiri, tradisi biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung atau pun tidak langsung member pengetahuan tentang keadaan lokal. Ini yang akan member bekal bagi manusia yang mempelajarinya, atau juga bagi generasi muda yang masih peduliakan kondisi disekitar mereka, karena tradisi itu tumbuh dari masyarakatnya sendiri.

Nyadran dilakukan setiap bulan Sya‟ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Lazimnya kegiatan nyadran dilakukan dengan ziarah kemakam-makamleluhur atau orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat disatu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing. Seperti di desa Karangbenda, nyadran dilaksanakan dimakam Punden dan makam leluhur.

Tujuan utama dari upacara ini adalah rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah karena masyarakat disini sebagian besar nelayan. Setelah melaksanakan nyadran, masyarakat lazimnya melakukan tradisi padusan. Padusan berasal dari bahasa Jawa yaitu adus maksudnya mandi. Padusan merupakan kegiatan mandi untuk bersih diri, yang mempunyai makna persiapan lahir dan batin menuju bulan Ramadhan. Biasanya padusan dilakukan disumber-sumber air yang dianggap sakral atau suci.

(36)

dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk“ menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam.

Aneka makanan, kemenyan, dan bunga memiliki arti simbolis. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul; Ingkung yaitu ayam yang dimasak utuh melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan; pisang raja melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia; jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan; ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan; kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa; dan bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati yang tulus. Beraneka bawaan ini merupakan unsure sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi rebutan parape ziarah yang hadir, inilah artike bersamaan dalam nyadran.

(37)

oleh kaum perempuan.Sepanjang perjalanan, mereka melakukan tapa bisu atau dilarang berbicara.Sesampainya di kompleks makam Bonokeling, para penganut Kejawen akan "muji" (semacam zikir) sebagai wujud permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang digelar pada Jumat mulai pukul 00.00 WIB hingga 04.00 WIB. Sementara perbekalan yang mereka bawa, akan dimasak pada hari Jumat pagi di sekitar makam Bonokeling (Wawancara dengan Noto Miharjo, 23 April 2017).

Gambar. 23

Ritual Jalan Kaki Komunitas HPK Sumber : Dokumen pribadi

E.Tradisi Suran

(38)

ngrowot, puasa ngebleng dan sebagainya. Puasa patigeni dilakukan dengan cara tidak memakan makanan hasil perapian, puasa mutih artinya hanya makan nasi putih dan air putih saja saat berbuka, puasa ngrowot dilakukan dengan hanya memakan buah-buahan, puasa ngebleng dilakukan dengan menanam dirinya di tanah dan sebagainya. Puasa-puasa ini tentu saja dilakukan dengan tujuan untuk melatih kejiwaan dan kekuatan batin agar dekat dengan Allah sing agawe urip (Tuhan yang mencipta kehidupan). Urip iku urup artinya bahwa hidup itu adalah pengabdian kepada Tuhan untuk kepentingan kemanusiaan.Bulan Sura di kalangan orang Jawa dikenal sebagai bulan tirakatan. Tirakat yang dilakukan oleh orang Jawa tentu agak berbeda dengan tarekat dalam pengertian organisasi kaum sufi. Tirakatan artinya adalah tindakan untuk pendekatan khusus kepada Allah swt, melalui puasa, berdzikir atau eling kepada Allah, melanggengkan ritual-ritual khusus yang dianggap sebagai cara atau jalan agar bisa berdekatan dengan Tuhan. Puncak kegiatan suran adalah kenduri selamatan dengan perlengkapan berupa : tumpeng rasulan, nasi ambeng lengkap dengan lauk-pauknya, ayam panggang, jajan pasar, kupatlepet, dan telor ayam kampung. Selain itu ada sajian berupa

komaran yang terdiri dari pisang ambon dan pisang raja, ayam panggang, dan segala jenin minuman (Wawancara dengan Witomiarso, 13 April 2017).

(39)
(40)

Bulan Sura saja, tetapi pada waktu-waktu tertentu seperti pada malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Ali juru kunci Gua Rahayu bahwa ritual labuhan berupa aneka sesaji yang dipersiapkan dimaksudkan untuk membersihkan diri dari segala kesulitan, sial, atau ibarat baju dicuci untuk dibersihkan kembali. Adapun sesaji itu berupa kemenyan, sekar telon, jajanan pasar,tumpeng mugana, sayur kambing, kopi manis, kopi pahit, teh manis, teh pahit, air putih, kelapa muda ijo. Sesaji tersebut diyakini sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur, dan sebagai wasilah atau perantara doa manusia kepada Gusti Allah. Ada keyakinan bahwa, doa yang tanpa syarat diyakini akan tidak dikabulkan, sebaliknya doa yang dibarengi dengan syarat tertentu akan dikabulkan (Wawancara dengan Witomiarso, 13 April 2017).

Selain ritual tersebut di atas, di desa Karangbenda ini masih ada bentuk ritual Umum,yaitu 1) Selamatan masa tanam atau miwiti dilakukan dengan tujuan agar tanaman yang akan mereka tanam nantinya menghasilkan panenan yang banyak. Pemilik sawah/ ladang melakukan selamatan dengan menaruh sesaji di sawah atau ladang yang sudah siap ditanami. Adapun bentuk sesajinya adalah menyan, dupa yang dibakar dan beberapa jajan pasar.Sebagai tanda tempat sesaji itu ditancapkan tangkai kayu atau bambu belah yang sudah lama dipakai. Tujuan sesaji dan selamatan tersebut adalah minta kepada "Dewi Sri sing mbahureksa tetanduran" (Dewi Sri yang melindungi tanaman) untuk menyampaikan keinginan

(41)

Gambar

Gambar. 4 Gerbang Pertama Masuk Kawasan Gunung Selok
Gambar. 5 Jalan Menuju Padepokan
Gambar.7 Gerbang Masuk Pura
Gambar. 11
+7

Referensi

Dokumen terkait